E-mail : noorviana.farmawati@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan sediaan serum yang mengandung ekstrak biji lengkeng sebagai
penghambat tirosinase dalam bentuk fitosom dengan eksipien koproses kasein dan xanthan gum sebagai basis.
Koproses eksipien yang digunakan adalah kasein dan xanthan gum dengan perbandingan 5:1 yang bertujuan
untuk memperoleh viskositas serum yang diinginkan. Pada penelitian ini digunakan metode peredaman DPPH
dan uji penghambatan aktivitas tirosinase untuk mengetahui nilai IC50 dari ekstrak biji lengkeng. Nilai IC50 dari
ekstrak biji lengkeng sebagai antioksidan adalah 6,566 µg/mL dan sebagai penghambat tirosinase adalah
1777,373 µg/mL. Ekstrak biji lengkeng diinkorporasikan dalam bentuk fitosom dan dihasilkan fitosom dengan
nilai efisiensi penjerapan sebesar 65,54% serta ukuran diameter partikel yaitu 382,59 nm. Fitosom yang telah
terbentuk lalu diformulasikan dalam sediaan serum yang mengandung eksipien koproses kasein dan xanthan
gum. Koproses kasein – xanthan gum memiliki kemampuan mengembang yang cukup baik dengan viskositas
yang tidak terlalu kental. Sediaan serum diformulasikan menggunakan eksipien koproses kasein – xanthan gum
dengan konsentrasi 3% lalu diuji stabilitas fisik serta cycling test dan terbukti stabil. Dapat disimpulkan bahwa
sediaan serum dengan koproses kasein dan xanthan gum sebagai eksipien yang mengandung fitosom ekstrak biji
lengkeng merupakan sediaan yang dapat digunakan sebagai kosmetik.
Kata Kunci : ekstrak etanol biji lengkeng, fitosom, koproses kasein – xanthan gum, penghambat
tirosinase, serum
Abstract
This study was intended to formulate serum containing phytosome of longan seed extract as tyrosinase inhibitor
using coprocessed casein and xanthan gum as a base. Coprocessed of casein and xanthan gum with ratio of 5:1 was
chosen to obtain viscosity of serum as desired. Radical scavenging DPPH and tyrosinase inhibitor activity was used
to determine IC50 value from longan seed extract. IC50 value of longan seed extract as antioxidant is 6.566 µg/mL
dan as tyrosinase inhibitor is 1777.373 µg/mL. Longan seed extract was incorporated into phytosome and the
entrapment efficiency is 65.54% with diameter particle size 382.59 nm. Phytosome was formulated into serum
containing coprocessed of casein and xanthan gum as excipient. Coprocessed casein – xanthan gum had good
enough swelling index with low viscosity. Serum as formulated using 3% of coprocessed casein – xanthan gum
and showed stable condition after physical stability test and cycling test. Therefore, the conclusion is the serum
using coprocessed of casein and xanthan gum as excipient and containing phytosome of longan seed extract had
good characteristic to be applied as cosmetic.
Keywords : coprocessed casein –xanthan gum, longan seed extract, phytosome, serum,
tyrosinase inhibitor
Kosmetik telah berkembang menjadi berbagai bentuk sediaan yang bertujuan untuk
meningkatkan kenyamanan bagi penggunanya. Salah satu dari berbagai bentuk sediaan
kosmetik yang telah berkembang akhir – akhir ini adalah serum. Serum merupakan gel
dengan viskositas yang lebih rendah. Serum memiliki kelebihan yaitu dapat memberikan efek
yang lebih nyaman dan lebih mudah menyebar di permukaan kulit karena viskositasnya yang
tidak terlalu tinggi. Untuk memperoleh basis serum dengan viskositas yang sesuai dapat
dilakukan melalui proses modifikasi eksipien. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam
modifikasi eksipien yaitu koproses yang merupakan modifikasi eksipien secara fisik antara
dua atau lebih eksipien tanpa melalui perubahan kimia. Metode koproses bertujuan untuk
memperoleh sifat yang diinginkan antar komponen eksipien dan menutupi kekurangan dari
masing – masing komponen.
Pada penelitian ini digunakan eksipien kasein dan xanthan gum yang dimodifikasi
melalui koproses. Pemilihan kasein dan xanthan gum dalam formulasi serum bertujuan untuk
memperoleh basis serum dengan viskositas yang tidak terlalu kental serta stabil dalam
penyimpanan dan pemakaian. Kasein merupakan polimer yang tersusun atas berbagai macam
asam amino yang dapat berfungsi sebagai pengental dengan sifat hidrofilisitas yang tinggi,
kompatibilitas yang baik dan tidak toksik namun memiliki viskositas yang rendah (Elzoghby,
Fotoh, dan Elgindy, 2011). Xanthan gum merupakan gum polisakarida yang memiliki struktur
heliks ganda yang membentuk struktur tiga dimensi dan dapat mengabsorbsi sejumlah air
sehingga dapat meningkatkan viskositas (Anwar, 2012). Oleh karena itu, dalam penelitian ini
kasein dikoproses dengan xanthan gum untuk memperoleh viskositas yang tidak terlalu tinggi
namun tidak terlalu rendah sehingga menghasilkan serum yang mudah dalam aplikasinya.
Sediaan serum yang dibuat mengandung zat aktif yaitu ekstrak biji lengkeng yang
diformulasikan dalam bentuk fitosom sebagai pembawa. Ekstrak biji lengkeng dapat
menghambat kerja tirosinase dengan nilai IC50 sebesar 2,9 mg/mL (Rangkadilok,
Sitthimonchai, Worasyttayangkurn, Mahidol, Ruchirawat, dan Satayavivad, 2006).
Tirosinase merupakan enzim yang berfungsi dalam mengkatalisis dua reaksi utama dalam
melanogenesis yaitu hidroksilasi dari L-tirosin menjadi L-DOPA dan oksidasi L-DOPA
menjadi dopakuinon (Gillbro dan Olsson, 2011), sehingga dapat mencegah pembentukan
melanin yang berperan dalam proses penggelapan kulit.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rangkadilok, Sitthimonchai,
Worasyttayangkurn, Mahidol, Ruchirawat, dan Satayavivad (2006) terhadap buah lengkeng
Tinjauan Teoritis
Fitosom
Fitosom merupakan vesikel pembawa untuk menginkorporasikan ekstrak tanaman
yang larut air ke dalam fosfolipid untuk menghasilkan kompleks molekular lipid. Sebagian
besar ekstrak tanaman bersifat polar. Senyawa polar tersebut sukar diabsorpsi karena ukuran
molekul yang besar sehingga tidak dapat diabsorpsi melalui difusi pasif atau kelarutan dalam
lemak yang rendah sehingga menghambat kemampuan senyawa tersebut untuk melewati
membran biologis yang kaya akan lipid. Oleh karena itu, fitosom dapat meningkatkan
absorbsi dan penetrasi untuk obat maupun kosmetik (Jain, et al., 2010 )
Fitosom dihasilkan dari reaksi antara fosfolipid seperti fosfatidilkolin. Bagian kepala
dari fitosom berikatan dengan senyawa dari tanaman sedangkan bagian badan dan ekor akan
menyelubungi bagian kepala yang berikatan dengan senyawa dari tanaman. Fitokonstituen
yang dihasilkan merupakan kompleks lipid molekuler dengan fosfolipid, sehingga disebut
juga sebagai kompleks fito-fosfolipid.
Kasein
Kasein merupakan protein utama di dalam susu dengan konsentrasi 80% dari protein
total (Ghosh, Ali, & Dias, 2009). Kasein merupakan protein berbentuk gulungan yang tidak
memiliki struktur sekunder maupun tersier. Kasein kaya akan asam amino prolin dengan
struktur terbuka protein rheomorfik yang memiliki perbedaan antara bagian hidrofobik dan
hidrofilik. Terdapat empat jenis kasein terfosforilasi antara lain αs1-CN, αs2-CN, dan β-CN,
dan κ-CN yang memiliki pusat residu serin-fosfat untuk sekuestrasi kalsium ( Elzoghby,
Fotoh, & Elgindi, 2009). Kasein dapat diperoleh secara fraksinasi tradisional dengan
mensentrifus untuk memisahkan krim yang diikuti dengan presipitasi kasein dari susu skim
pada pH 4,6 untuk memperoleh presipitat yang kaya akan kasein dan serum yang
mengandung protein whey. Kaseinat diperoleh dengan melarutkan kembali presipitat kasein
asam dengan larutan alkali hingga dicapai pH 6,7 kemudian dikeringkan. (Livney, 2009).
Salah satu aplikasi kasein dalam sediaan farmasetik yaitu sebagai hidrogel karena memiliki
sifat hidrofilisitas yang tinggi, toksisitas yang rendah, biokompatibilitas yang baik, dan
memiliki bagian reaktif yang dapat digunakan untuk modifikasi secara kimia dalam
membentuk struktur hidrogel ( Elzoghby, Fotoh, & Elgindi, 2009).
Koproses
Koproses merupakan proses modifikasi antara dua eksipien atau lebih secara fisik
tanpa terjadi perubahan secara kimiawi. Pada koproses terbentuk interaksi pada tingkat
subpartikel yang menghasilkan sinergisme sifat fungsional yang diharapkan dan menutupi
kekurangan dari sifat masing – masing eksipien. Koproses dilakukan dengan
menginkorporasikan satu eksipien ke dalam struktur partikel dari eksipien lain yang
dikombinasikan dalam tingkat partikel. Eksipien yang dihasilkan melalui koproses akan
mengalami perubahan partikel yang meliputi bentuk, ukuran partikel, dan perubahan minor
yang terdapat dalam tingkat molekuler seperti polimorfisme. Keuntungan yang diperoleh
melalui metode koproses antara lain, tidak terjadi perubahan kimia pada eksipien yang
dihasilkan sehingga memudahkan produsen dalam pengembangan formula, adanya perbaikan
sifat fungsional dari masing – masing eksipien, serta efektivitas biaya dan waktu dalam
pengembangan eksipien baru.
Serum
Serum adalah sediaan dengan viskositas yang rendah yang menghantarkan zat aktif
melalui permukaan kulit dengan membentuk lapisan film tipis dengan mengandung bahan
aktif lebih banyak dan sedikit kandungan pelarut sehingga memilki kecenderungan konsentrat
(Draelos, 2010). Serum sebenarnya merupakan istilah komersial dalam kosmetik untuk jenis
sediaan yang memiliki komponen bioaktif lebih banyak. Teknologi pembuatan serum yang
Metode Penelitian
Bahan
Biji lengkeng (Dimocarpus longan Lour) diperoleh dari Badan Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat (BALITTRO), susu sapi cair tanpa lemak (skimmed milk), Lipoid S 75
(diperoleh dari Lipoid AG, Jerman), propilen glikol (diperoleh dari Dow Chemical Co.),
BHT, asam askorbat (diperoleh dari Shandong Luwei Pharmaceutical, China), asam kojat
(diperoleh dari Sino Lion, USA), mushroom tyrosinase (diperoleh dari Sigma Aldrich,
Singapura), L-DOPA (diperoleh dari Sigma Aldrich, Singapura), kalium dihidrogen fosfat
(diperoleh dari Merck, Jerman), metil paraben, propil paraben, xanthan gum, etanol 96%,
DPPH (diperoleh dari Sigma Aldrich, Singapura), etanol 70%, metanol p.a. (diperoleh dari
Merck, Jerman), NaOH (diperoleh dari Merck, Jerman) dan aqua destilata.
Alat
Rotary vacuum evaporator (Hahn Shin HS-2005S-N), moisture analyzer (Metler
Tolredo, Jerman), timbangan analitik (Accu-Lab), penangas air (Memmert, Hongkong),
homogenizer (Omni-Multimix Inc., Malaysia), eppendorf microcentrifuge tube, pH meter
tipe-510 (Eutech Instrument, Singapura), viskometer brookfield (Brookfield, USA),
ultrasentrifugator (Hitachi Himac CP100WX), 96-well-microtiter plate, microplate reader
680 (Bio-Rad), termometer, oven (Memmert, Jerman), lemari pendingin (Toshiba, Jepang),
inkubator (Memmert, Hongkong), freeze dryer, spray drier, vortex mixer model VM-200
(Digisystem Laboratory), ayakan (Retsch, Jerman), Fourier-Transform Infra Red 8400 S
(Shimadzu, Jepang), spektrofotmeter UV-Vis (Shimadzu UV-1601, Jepang), Scanning
Ekstraksi Simplisia
Proses ekstraksi dilakukan di BALITTRO, Bogor. Sejumlah 2 kg biji lengkeng segar
diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi menggunakan 8 L etanol 70% selama 24
jam sebanyak 3 siklus. Setelah 24 jam, dilakukan pengeringan ekstrak dengan menggunakan
rotary evaporator, penangas air dan oven vakum secara berurutan pada suhu 40 °C hingga
diperoleh ekstrak kental. (Zhang, Chen, Xiao, dan Yao, 2004, telah dimodifikasi). Ekstrak
yang diperoleh lalu dihitung rendemennya dan diuji secara kualitatif dengan pereaksi FeCl3
untuk mengetahui ada tidaknya polifenol.
Penetapan Kadar Total Fenol Ekstrak Biji Lengkeng dengan Metode Folin – Ciocalteu
Sebanyak 50 mg standar asam galat ditimbang lalu dilarutkan dalam metanol p.a.
hingga 50 ml untuk memperoleh larutan induk dengan konsentrasi 1.000 µg/mL. Larutan
induk lalu diencerkan dalam berbagai konsentrasi antara lain 150, 250, 300, 350, 400, 500
µg/mL lalu diukur serapannya dan dibuat kurva kalibrasi.
Sebanyak 1 ml larutan sampel dengan konsentrasi 5000 µg/mL ditambahkan dengan
1,5 ml larutan Folin – Ciocalteu 50% lalu larutan dihomogenkan dengan vortex selama 3
menit. Larutan didiamkan selama 5 menit, kemudian ditambahkan NaHCO3 7,5% sebanyak
1,5 ml. Larutan diinkubasi dalam ruangan gelap pada suhu ruang selama 90 menit dan diukur
Keterangan :
B = absorbansi kontrol dikurangi absorbansi blangko kontrol ( B1 – B0 )
S = absorbansi sampel dikurangi absorbansi blangko sampel ( S1 – S0 )
Bahan Jumlah
Ekstrak biji lengkeng 250 mg
Fosfatidilkolin 375 mg
Etanol 96% 50 mL
Ekstrak kental biji lengkeng dan fosfolipid yang telah ditimbang ditempatkan dalam
labu bulat 1000 mL dan dilarutkan dalam 50 mL etanol 96%. Etanol 96% diuapkan dalam
kondisi vakum dengan menggunakan rotary evaporator pada suhu 50 °C dengan kecepatan
30 hingga 150 rpm yang dilakukan secara bertahap selama 2 jam. Lapisan tipis yang
Evaluasi Fitosom
a. Morfologi Fitosom
Morfologi bentuk vesikel dan ukuran fitosom dilakukan dengan menggunakan
Scanning Electron Microscope (SEM).
c. Analisis FTIR
Suspensi fitosom sebelumnya dihilangkan pelarutnya dengan metode freeze dry.
Fitosom kemudian digerus bersama serbuk KBr yang sebelumnya telah dikeringkan dengan
perbandingan 1:1 dan dimasukkan ke dalam wadah cakram untuk pengujian dengan
menggunakan FTIR dan dijalankan pada bilangan gelombang 400 hingga 4000 cm-1 (Zhang,
Tang, Xu, dan Li, 2013) .
e. Indeks Mengembang
Serbuk yang akan diuji indeks mengembang terlebih dahulu dicetak menjadi tablet
dengan massa 500 mg lalu ditambahkan aqua destilata sebanyak 10 mL hingga semua
permukaan tablet terbasahi. Pengukuran dilakukan pada menit ke – 60, 120, 180, 240,
300, 360, 420, dan 480 dengan menghitung penambahan massa tablet. Pengukuran
indeks mengembang dilakukan terhadap serbuk kasein, xanthan gum, koproses kasein –
xanthan gum, dan pencampuran fisik kasein – xanthan gum.
Konsentrasi ( % b/v )
Bahan
F1 F2 F3 F4
Kompleks fitosom 40,0 40,0 - -
Ekstrak biji lengkeng - - 0,1 -
Koproses kasein – xanthan gum 3,0 - 3,0 3,0
Kasein - 2,5 - -
Xanthan gum - 0,5 - -
Propilen glikol 15,0 15,0 15,0 15,0
BHT 0,1 0,1 0,1 0,1
Metil paraben 0,18 0,18 0,18 0,18
Propil paraben 0,02 0,02 0,02 0,02
Etanol 96% 2 2 2 2
Pewangi 3 tetes 3 tetes 3 tetes 3 tetes
Aqua destilata hingga 100 100 100 100
b. Cycling test
Sediaan disimpan pada suhu 4 oC selama 24 jam kemudian dikeluarkan dan
ditempatkan pada suhu 40 oC selama 24 jam. Perlakuan ini adalah satu siklus. Percobaan
diulang sebanyak 6 siklus. Kondisi fisik sediaan dibandingkan selama percobaan dengan
sediaan sebelumnya.
c. Uji stabilitas
Stabilitas sediaan dievaluasi pada suhu 40o ± 2o C , 4o ± 2o C, dan 27o ± 2o C selama 3
minggu dengan dilakukan pengamatan organoleptis yang meliputi perubahan warna, bau,
homogenitas, pengukuran pH, serta pemeriksaan adanya sineresis.
Konsentrasi Serapan
Serapan Konsentrasi Ekstrak Ekstrak
Persentase Persamaan EC50
DPPH Ekstrak dalam (A)
Peredaman (%) Regresi Linier (µg/mL)
(S0) (µg/mL) Sampel
(µg/mL) Sampel Sampel
1 2
0,6428 1 0,75 0,5669 0,5703 11,54 ± 0,374
2 1,5 0,5449 0,5444 15,27 ± 0,055
3 2,25 0,5090 0,5071 20,96 ± 0,209 y = 6,7053x +
4 3 0,4709 0,4667 27,07 ± 0,462 5,9702 6,566
5 3,75 0,4510 0,4462 30,21 ± 0,528 R2 = 0,9972
6 4,5 0,4139 0,3966 36,96 ± 1,903
7 5,25 0,3881 0,3842 39,93 ± 0,429
Berdasarkan hasil pengujian diperoleh nilai EC50 dari ekstrak biji lengkeng sebesar
6,566 µg/mL. Apabila dibandingkan terhadap nilai EC50 dari kontrol positif yaitu asam
askorbat sebesar 2,760 µg/mL dengan hasil perhitungan dan kurva kalibrasi dapat
disimpulkan bahwa ekstrak kental etanol 70% dari biji lengkeng merupakan antioksidan yang
kurang kuat apabila dibandingkan terhadap asam askorbat namun masih tergolong dalam
antioksidan yang poten.
Konsentrasi
Konsentrasi Ekstrak S Persentase Inhibisi Persamaan IC50
Ekstrak dalam B
(%) Regresi (µg/mL)
(µg/mL) Sampel
Linier
(µg/mL) S1 S2
Suspensi fitosom yang diperoleh berwarna cokelat tua dan tidak berbau spesifik.
Suspensi tersebut selanjutnya disimpan dalam botol yang tertutup untuk mencegah terjadinya
kontaminasi. Berdasarkan hasil pengujian menggunakan SEM pada berbagai perbesaran
terlihat bahwa vesikel fitosom yang terbentuk berukuran hampir bulat. Secara fisik bentuk
vesikel dari fitosom telah baik dan dapat terlihat adanya zat aktif yang terjerap dalam
fosfatidilkolin. Berdasarkan hasil pemeriksaan distrubusi ukuran partikel, ukuran diameter
rata – rata vesikel fitosom adalah 352,69 nm. Hasil dari spektrum infra merah menunjukkan
pada bilangan gelombang 3500 hingga 3200 cm-1 yang merupakan bilangan gelombang untuk
gugus –OH terjadi perbedaan puncak pada spektrum ekstrak, fosfatidilkolin, dan fitosom.
Pada spektrum fitosom terjadi pelebaran pita pada bilangan gelombang 3257 cm-1 dengan
puncak yang tidak tajam seperti pada spektrum ekstrak dan fosfatidilkolin. Pada spektrum
antara ekstrak dan fitosom terjadi pergeseran dari 3000 cm-1 pada ekstrak ke 3086 cm-1 pada
fitosom. Hal tersebut menujukkan adanya interaksi berupa ikatan hidrogen yang berasal dari
cincin fenol dari ekstrak biji lengkeng dengan fosfatidilkolin pada gugus P ═ O (Zhang, Tang,
Yu, Li, 2013). Nilai efisiensi penjerapan yang diperoleh sebesar 65,54%.
(a) (b)
Serbuk koproses kasein dan xantan gum berbentuk serbuk halus berwarna krem dan
berbau susu dengan intensitas yang sangat lemah. Morfologi eksipien koproses kasein –
xanthan gum menggunakan SEM terlihat bentuk pilinan halus dengan tingkat kerapatan
permukaan yang lebih rendah dari xanthan gum dan berbeda dari morfologi kasein yang
berbentuk seperti bongkahan kasar dengan banyak rongga serta xanthan gum yang memiliki
permukaan yang tersusun rapat. Adanya struktur pilinan tersebut yang menyebabkan eksipien
kasein – xanthan dapat memiliki kemampuan untuk menjerap air dengan nilai viskositas yang
berada di atas kasein dan dibawah xanthan gum. Berdasarkan hasil pengujian larutan kasein
3,5% diperoleh hasil bahwa kasein memiliki viskositas 1140 cps dengan sifat alir plastis
tiksotropik. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada proses koproses kasein dan xanthan gum
terjadi interaksi yang menyebabkan perubahan viskositas yang lebih tinggi daripada kasein.
koproses kasein dan xanthan gum memiliki indeks mengembang yang mencapai dua kali
lipat. Hal tersebut disebabkan adanya gabungan sifat fungsional antara kasein dengan xanthan
gum yaitu kasein yang mudah larut dalam air dengan xanthan gum yang mudah mengembang
dalam air. Xanthan gum memiliki struktur heliks ganda yang dapat membentuk struktur tiga
dimensi sehingga mampu menjerap molekul air. Hal tersebut menyebabkan perubahan sifat
fungsional pada koproses kasein dengan xanthan gum. Hasil dari koproses kasein dengan
xanthan gum menggunakan metode koproses menujukkan adanya pengaruh terhadap sifat
fungsional eksipien. Eksipien hasil koproses dapat digunakan sebagai basis serum dengan
viskositas yang diinginkan, yaitu di atas air dan di bawah gel sehingga mudah dalam
aplikasinya pada kulit.
Viskositas
Formula Warna Bau Homogenitas pH
( cps)
F1 Cokelat muda Harum Homogen 6,85 1140
F2 Cokelat muda Harum Homogen 6,86 1520
F3 Cokelat muda Harum Homogen 6,61 1120
F4 Putih Harum Homogen 6,81 760
Serum yang mengandung fitosom dengan eksipien koproses kasein dan xanthan gum
serta serum yang mengandung eksipien campuran fisik kasein dan xanthan gum berwarna
cokelat muda. Pada serum yang mengandung eksipien koproses kasein dan xanthan gum dan
campuran fisik kasein dan xanthan gum menghasilkan serum yang homogen. Serum yang
mengandung ekstrak biji lengkeng berwarna cokelat dengan intensitas warna yang lebih
tinggi pada serum yang mengandung ekstrak dengan penampilan serum yang homogen.
Sedangkan blangko serum yang hanya mengandung basis, sediaan berwarna putih. Viskositas
dari keempat formula diukur dengan menggunakan viskometer Brookfield. Serum yang
mengandung fitosom dengan eksipien koproses kasein dan xanthan gum memiliki viskositas
sebesar 1140 cps, serum yang mengandung fitosom dengan eksipien campuran fisik kasein
dan xanthan gum memiliki viskositas 1520 cps, serum yang mengandung ekstrak biji
lengkeng memiliki viskositas sebesar 1120 cps, dan blangko serum memiliki viskositas
sebesar 760 cps. Serum fitosom memiliki viskositas yang lebih tinggi daripada blangko serum
dan serum yang mengandung ekstrak sebab pada serum yang mengandung fitosom
terkandung vesikel – vesikel fitosom yang berupa partikel padatan sehingga viskositasnya
menjadi lebih tinggi. Serum yang mengandung campuran fisik kasein dan xanthan gum
memilki viskositas yang lebih tinggi sebab tidak terdapat interaksi antara kasein dengan
xanthan gum sehingga viskositas tersebut dipengaruhi oleh xanthan gum. Berdasarkan
rheogram yang dihasilkan keempat formula memiliki sifat alir plastis tiksotropik, yaitu kurva
yang dihasilkan tidak melalui titik (0,0) dan dibutuhkan yield value agar sediaan dapat
mengalir.
Cycling test merupakan uji stabilitas dipercepat untuk mengetahui adanya degradasi
kimia maupun perubahan fisik dari sediaan melalui percobaan kondisi ekstrem, misalnya
perbedaan suhu tinggi dan rendah (ICH, 2007). Suhu yang digunakan dalam cycing test yaitu
Kesimpulan
a. Ekstrak etanol biji lengkeng memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai EC50 sebesar
6,566 µg/mL dan penghambat tirosinase dengan nilai IC50 sebesar 1777,373 µg/mL.
b. Fitosom ekstrak biji lengkeng memiliki efisiensi penjerapan sebesar 65,54% dengan
ukuran diameter partikel 382,59 nm.
c. Koproses kasein dan xanthan gum dengan konsentrasi 3% dapat diformulasikan
sebagai basis serum dengan sifat alir plastis tiksoptropik dan stabil pada pengujian
stabilitas fisik dan cycling test.
Saran
Untuk perbaikan penelitian di masa yang akan datang, perlu dilakukan perbaikan
metode dalam pembuatan fitosom agar diperoleh efisiensi penjerapan yang mencapai 90%
dan dilakukan uji aktivitas penghambat tirosinase secara in vivo untuk mengetahui efektivitas
serum fitosom ekstrak biji lengkeng pada kulit manusia.
Referensi
Atkins, Peter, Paula, J.D. (2006). Physical Chemistry for Life Sciences. New York: W.H. Freeman and
Company.
Ajazuddin, Saraf, S. (2010). Application of Novel Drug Delivery System for Herbal Formulations. Fitoterapia,
81, 680-689.
Baumann, L., Saghari, S. (2009). Cosmetic Dermatology : Principles and Practice Second Edition. USA: The
McGraw-Hill Companies, 98 – 101.
Bombardelli, E., Cristoni, A., Morqzzoni, P. (1994). Phytosome in Functional Cosmetics. Fitoterapia LXV, 5,
387 – 389.
Champe, P.C, Harvey, R.A., Ferrier, D.R. (2011). Biochemistry. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins.
Chang, T.S. (2009). An Updated Review of Tyrosinase Inhibitor. International Journal of Molecular Science,
10, 2440 – 2475.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 7.
Draelos, Z.D (Ed). (2010). Cosmetic Dermatology. West Sussex: John Wiley & Sons Ltd, 504.
Elzoghby, A.O., Fotoh, W.S.A.E., Elgindy, N.A. (2011). Casein-based Formulations as Promising Controlled
Release Drug Delivery Systems. Journal of Controlled Release, 1,53, 206–216.
Ghosh, A., Ali, M.A., Dias, G. J., (2009). Effect of Cross-Linking on Microstructure and Physical Performance
of Casein Protein. Biomacromolecules, 10, 1681–1688
Gillbro, J.M., Olsson, M.J. (2011). The Melanogenesis and Mechanism of Skin-Lightening Agents – Existing
and New Approaches. International Journal of Cosmetic Science, 33, 210 – 221.
International Conference on Harmonisation. (2007). The GCC Guidelines for Stability Testing of Drug
Substances and Pharmaceutical Products 2nd Edition. International Conference on Harmonisation.
Jain, N., Gupta, B.P., Thakur, N., Jain, R., Banweer, J., Jain, D.K., Jain, S. (2010). Phytosome : A Novel Drug
Delivery System for Herbal Medicine. International Journal of Pharmacutical Sciences and Drug
Research, 2(4), 224-228.
Jhawat, V.C., Saini, V., Kamboj, S., Maggon, N. (2013). Transdermal Drug Delivery Systems: Approaches and
Advancements in Drug Absorption through Skin. International Journal of Pharmaceutical Sciences
Review and Research, 10, 47-56.
Kedare, S.B., Singh, R.P. (2011). Genesis and Development of DPPH Method of Antioxidant Assay. J Food Sci
Technol, 48(4), 412-422.
Khan, J., Alexander, A., Ajazuddin, Saraf, S., Saraf. (2013). Recent Advances and Future Prospects of Phyto-
phospholipid Complexation Technique for Improving Pharmacokinetic Profile of Plant Actives. Journal
of Controlled Release, 168, 50-60.
Livney, Y.D. (2009). Milk Proteins as Vehicles for Bioactives. Current Opinion in Colloid & Interface Science,
15, 73–83.
Marinda, W.S. (2012). Formulasi dan Uji Stabilitas Fisik Gel Liposom yang Mengandung Fraksinasi Ekstrak
Metanol Kulit Manggis (Garcinia mangostana L) sebagai Antioksidan. Skripsi Sarjana Farmasi.
Depok: FMIPA UI
Mishra, N., Yadav, N.P., Meher, J.G., Sinha, P. (2012). Phyto – vesicles : Conduit between Conventional and
Novel Drug Delivery System. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine, S1728 - S1734.
Molyneux, P. (2004). The Use of the Stable Free Radical Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for Estimating
Antioxidant Activity. Songklanakarin J.Sci.Technol, 26(2), 211-219.
Muehlhoff, E., Bennet, A., McMahon, D. (2013). Milk and Dairy Products in Human Nutrition. Rome: Food and
Agriculture Organization of The United Nations.
Nachaegari, S.K., Bansal, A.K. (2004). Coprocessed Excipient for Solid Dosage Forms. Pharmaceutical
Technology, 52 – 64.
Nawawi, R.H. ( 2012). Uji Aktivitas, Stabilitas Fisik dan Keamanan Sediaan Gel Pencerah Kulit yang
Mengandung Ekstrak Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus). Tesis Magister Herbal. Depok: Departemen
Farmasi FMIPA UI.
Patel, J., Patel, R., Khambolja, K., Patel, N. (2009). An Overview of Phytosom as an Advanced Herbal Drug
Delivery System. Asian Journal of Pharmaceutical Science, 4 (6), 363 – 371.
Paye, M., Barel, A.O., Maibach, H.I. (2001). Handbook of Cosmetic Science and Technology Second Edition.
USA: Marcel Dekker Inc,.
Pristiadi. (2012). Kajian Komparatif Aktivitas Antioksidan Formula Pengawet Alami Ekstrak Kecombrang
(Nicolaia speciosa Horan) dan Pola Pemisahan Kromatografis Ekstrak Bagian – Bagian Tanaman
Kecombrang. Tesis : Jurusan Farmasi Universitas Jenderal Sudirman.
Rangkadilok, N., Sitthimonchai, S., Worasyttayangkurn, L., Mahidol, C., Ruchirawat, M., Satayavivad, J.
(2006). Evaluation of Free Radical Scavenging and Antityrosinase Activities of Standardized Longan
Fruit Extract. Food and Chemical Toxicology, 45, 328 – 336.
Rieger, M.M. (2000). Harry’s Cosmeticology. New York: Chemical Publishing Co. Inc., 895.
Rowe, R.C., Sheskey, P.J., Quinn, M.E. (2009). Handbook of Pharmaceutical Excipients Sixth Edition. London:
Pharmaceutical Press and American Pharmacist Assiciation, 17, 279, 283, 441, 654.
Semalty, A., Semalty, M., Rawat, M.S.M., Franceschi, F. (2009). Supramolecular Phospholipids-Polyphenolics
Interactions : The PHYTOSOME® Strategy to Improve The Bioavailibility of Phytochemicals.
Fitoterapia, 81, 306-314.
Tanaka, Yoshimasa. (2001). Handbook of Cosmetic Science and Technology 2nd Edition. USA: Marcell Dekker
Inc, 473 – 477.
United States Pharmacopeia 30 – National Formulary 25. (2007). The United States Pharmacopeial Convention.
Yanyu, X., Yunmei, S., Zhipeng, C., Qineng, P. (2006). The Preparation of Silybin-Phospholipid Complex and
the Study on Its Pharmacokinetic in Rats. International Journal of Pharmaceutics, 307, 77-82.
Zhang, F., Chen, B., Xiao, S., Yao, S.Z. (2004). Optimization and Comparison of Different Extraction
Techniques for Sanguinarine and Chelerythrine in Fruits of Macleaya cordata (Willd) R. Br. Separation
and Purification Technology, 283 – 290.
Zhang, J., Tang, Q., Xu, X., Li, N. (2013). Development and Evaluation of A Novel Phytosome Loaded
Chitosan Microsphere System for Curcumin Delivery. International Journal of Pharmaceutics, 168-
174.