Anda di halaman 1dari 3

Nama : Fadilla Ma’sum Haqqoni

NIM : 22106050039
Prodi : Informatika
Kelas :A
Matkul : Islam dan Sains

TUGAS RANGKUMAN ISLAM DAN SAINS

Wacana tentang integrasi antara ilmu dan agama sudah ada sejak lama. Meskipun tidak selalu secara
eksplisit menggunakan kata “integrasi”, di kalangan Muslim modern, gagasan tentang perlunya
memadukan ilmu dan agama atau akal dan wahyu (iman) sudah tersebar luas. Banyak juga yang
menganggap bahwa pada masa kejayaan sains dalam peradaban Islam, ilmu dan agama sudah terintegrasi
dengan baik. Di Indonesia, hal ini terlihat dalam wacana tentang transformasi dari IAIN/STAIN menjadi
UIN, yang disebut sebagai “reintegrasi”.

Dalam konteks Kristen, pendekatan “integrasi” dikenalkan oleh Barbour, seorang teolog dan fisikawan
Kristen yang dianggap sebagai salah satu tokoh utama dalam wacana sains dan agama di Barat. Barbour
membagi pandangan tentang hubungan sains-agama menjadi empat tipe: konflik, independensi, dialog,
dan integrasi. Barbour lebih bersimpati pada dua pandangan terakhir, khususnya integrasi. Lebih khusus
lagi, integrasi Barbour adalah integrasi teologis di mana teori-teori ilmiah ditelusuri implikasi teologisnya
dan menghasilkan suatu teologi baru dengan mempertimbangkan juga teologi tradisional sebagai salah
satu sumbernya. “Integrasi” ala Barbour memiliki makna yang sangat spesifik, yang bertujuan
menghasilkan suatu reformasi telogi dalam bentuk theology of nature.

Namun, Huston Smith dan Seyyed Hossein Nasr mengkritik pendekatan ini, karena terlihat bahwa
teologi ditaklukkan oleh sains dan diubah untuk menyesuaikan hasil-hasil pengkajian sains. Kemudian
Golshani dengan tegas menyatakan dalam hal data ilmiah dan penemuan hukum-hukum alam, Barat atau
Timur tak relevan.

Pada tahun 1970-an hingga pertengahan 1990-an, nama-nama yang kerap muncul dalam wacana
mutakhir islam dan sains yaitu Syed M. Naquib Al-Attas yang menyebut bahwa gagasan awalnya sebagai
“dewesternisasi ilmu”, kemudian Isma’il Al-Faruqi berbicara tentang islamisasi ilmu, sedangkan Ziauddin
Sardar berbicara tentang penciptaan suatu “sains Islam kontemporer”. Tentu gagasan para pemikir
berbeda-beda, yang menjadi salah satu kelemahan bersama gagasan ini adalah bahwa ia tampaknya
terutama digagas sebagai gagasan filosofis mengenai sains, dan hingga waktu cukup lama tak jelas benar
bagaimana gagasan filosofis itu bisa dijadikan relevan dengan aktivitas ilmiah praktis. Kelemahan ini juga
menyebabkan mudah disalah pahami.

Dalam konteks ini, pembahasan Golshani membantu menjernihkan gagasan ini sehingga dapat lebih
diterima khususnya kalangan ilmuan. Bagi Golshani, kalaupun ada yang disebut “sains islami”, ia gerak
maju lebih jauh dari sains modern, bukan gerak mundur atau membongkar yang telah ada.

Dalam spektrum pandangan mengenai islam dan sains, Fazlur Rahman tidak menyepakati gagasan
“islamisasi ilmu”. Pandangannya didasari oleh keyakinannya bahwa ilmu kurang lebih bebas nilai. Yang
mejadi persoalan lebih besar adalah mampunya agamawan menyajikan suatu sistem etika yang bisa
menjawab persoalan-persoalan baru yang diakibatkan kemajuan ilmiah.
Wacana Muslim selama ini, yang tampak lebih hidup ialah terkait dengan fiqih. Para ahli fiqih selalu
berupaya menjawab persoalan kontemporer seperti penggunaan alat KB hingga autopsy dan penggantian
organ tubuh manusia hingga kloning manusia. Seperti ditunjukkan Ebrahim Moosa, kecenderungan ini
sesungguhnya sudah berjalan cukup lama, sejak masa awal perkembangan sains dalam Islam. Bedanya,
pada masa itu kaum faqih relatif lebih akrab dengan ilmu-ilmu baru sehingga ada koherensi epistemik
antara fiqih dan sains. Ini tak tampak pada masa yang lebih belakangan. Dalam pengamatan Moosa, ini
disebabkan nyaris mandeknya pendidikan sains di dunia Muslim sejak abad ke-18, justru ketika sains
berkembang amat cepat di dunia Barat.

Ilmu, Agama, dan Persentuhan Keduanya.

Agama mencakup banyak dimensi dan terdapat berbagai cara untuk menganalisis dimensi tersebut
secara sistematis dalam kajian agama. Salah satu contoh yang amat baik, Ninian Smart (2000)
menggunakan analisi pandangan dunia untuk menggali dimensi-dimensi agama. Ada 6 dimensi pandangan
dunia : (1) doktrinal atau filosofis, (2) naratif atau mitis, (3) etis atau legal, (4) praktis atau ritual, (5)
pengalaman atau emosional, dan (6) sosial atau organisasi.

Dalam hal integrasi sains dan agama, dimensi agama yang sangat penting untuk difokuskan akan
bergantung pada konteks spesifik dan isu yang dibahas. Misalnya, konflik seperti kontroversi Galileo antara
Gereja Katolik dan sains terutama berkaitan dengan dimensi pertama dan kedua (dengan elemen politik
juga berperan). Sementara itu, perdebatan tentang penafsiran kitab suci bisa jatuh ke dimensi pertama,
kedua, atau kelima seperti yang dijelaskan oleh Smart.

Kritik dari ulama terhadap penggunaan ilmu pengetahuan (misalnya produksi bom atom dan nuklir,
produksi teknologi berbahaya lingkungan) atau penelitian ilmiah itu sendiri (misalnya penggunaan hewan
untuk percobaan kimia atau biologi, atau subyek manusia dalam percobaan medis dan psikologis ) lebih
terfokus pada dimensi ketiga (etis dan hukum). Contoh pembahasan etika dalam agama antara lain etika
lingkungan atau fikih lingkungan dalam kajian Islam.

Dimensi lain dari agama juga dapat diintegrasikan dengan sains, tergantung pada konteksnya. Dalam
kaitannya dengan teori pengetahuan, yang mencakup ontologi, epistemologi, dan aksiologi, beberapa
sarjana yang menggunakan istilah “integrasi” tampaknya lebih fokus pada tataran ontologis (dan, dari
perspektif agama, pada dimensi pertama dan kedua). kerangka Smart). Sementara itu, seminar dan diskusi
tentang integrasi Islam dan epistemologi umum menekankan pada tataran epistemologis.

Cara lain untuk menganalisis sains, dengan fokus yang lebih besar pada ilmu-ilmu alam, dilakukan
secara informal oleh filsuf sains dari Princeton, Bas van Fraassen (1996). Dia melihat dua aspek ilmu alam:
"isi" dan "metode". Isi mengacu pada teori-teori ilmiah yang membahas tentang alam semesta, sedangkan
metode mengacu pada cara ilmuwan menyusun teori-teori tersebut.

Karenanya, dalam pandangan ini, jika “integrasi” ingin dilakukan, maka itu akan berbentuk upaya agama
mengasimilasi metode sains, khususnya dalam hal sikap kritis dan terbukanya, bukan mengonstruksi
suatu teologi berdasarkan apa yang di- sebut “implikasi filosofis/teologis” dari teori-teori ilmiah. Sejajar
dengan itu, van Fraassen, yang secara umum memang tak me- nyukai metafisika, melihat agama lebih
eksis dalam wilayah eksis- tensial manusia, bukan wilayah pengetahuan. Dengan kata lain, menggunakan
skema Smart, van Fraassen tak terlalu percaya pada dua dimensi pertama agama. Menarik juga untuk
melihat bahwa “integrasi” model ini, pada tipologi Barbour mungkin akan lebih tepat digolongkan ke
dalam “independensi”.

Contoh-contoh di atas telah cukup menggambarkan bagaimana pandangan tentang hubungan agama
dan ilmu (khususnya terkait dengan integrasi) amat di- pengaruhi oleh bagaimana tiap-tiap bidang itu
dipahami. Lebih jauh, perhatian terbesar sejauh ini adalah pada dimensi ontologi dan epistemologi ilmu,
atau dimensi filosofis dan naratif agama. Terbatas pada wilayah ini pun, ada beragam jenis integrasi yang
bisa dimunculkan.

Selain itu, bisa juga disimpulkan bahwa meskipun tampak bahwa etika adalah salah satu bidang yang
subur untuk me- numbuhkan pertemuan keduanya, nyatanya dalam wacana ilmu dan agama yang
belakangan, tampaknya bidang ini justru melihat sains terutama dari relevansi filosofis/teologisnya. Se
mentara Barbour mengizinkan perubahan konseptual pada teologi atas nama “belajar dari sains”, Smith
dan Nasr melihat implikasi-teologis sains mesti dinilai dari kacamata Tradisi yang kebenaran ajaran-
ajarannya sudah bertahan selama beberapa milenia.

Pandangan yang mirip tetapi tak sama dengan Barbour diajukan John F. Haught (1995), yang membagi
pendekatan ilmu dan agama menjadi konflik, kontras, kontak, dan konfirmasi. Ke empat pandangan ini bisa
dilihat sebagai semacam tipologi seperti yang dibuat Barbour.

Gerakan ini melangkah lebih jauh pada Konfirmasi dengan upaya mengakarkan sains beserta asumsi
metafisisnya pada pandangan dasar agama mengenai realitas-realitas yang setidaknya dalam tiga agama
monoteistik, pada akhirnya berakar pada Wujud yang disebut “Tuhan”. Asumsi metafisis sains yang disebut
Haught di antaranya bahwa alam semesta adalah suatu keteraturan (“tertib wujud”) yang rasional. Tanpa
ini, sains sebagai upaya pencarian intelektual tak dapat melakukan langkah pertamanya sekali pun
(Haught, 1995: 22-23; terj: 27-29). Ini bisa dibayangkan sebagai semacam “premis awal” Aristotelian yang
sifatnya apriori, yang diperlukan untuk menggerakkan silogisme pertama. Bagi kaum beragama, “premis
awal” ini merupakan objek keimanan.

Dalam tur ceramah dan diskusinya di Indonesia tahun lalu (2004), John F. Haught dan Mehdi Golshani
melakukan presentasi bersama-sama dalam berbagai forum, termasuk di UIN Yogya- karta dan Jakarta,
dengan tema integrasi ilmu dan agama. Yang amat menarik, meskipun ada banyak perbedaan, tampak
pula beberapa kesamaan mendasar antara Haught yang teolog Kristen dan Golshani yang fisikawan
Muslim dalam soal “strategi” pemaduan sains dengan agama.

Anda mungkin juga menyukai