Anda di halaman 1dari 13

Jejak Tuhan dalam Sains

(Studi pemikiran Mehdi Golshani)


Muhammad Ulil Albab
Satelitbumibulan@gmail.com
Program Megister Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin dan Humaniora
UIN Walisongo Semarang
Tahun 2023

Abstract
Discourse on the relationship between religion and science has been going on for a long
period of history. Over a long period of time, the relationship between religion and science
has experienced various dynamics. At certain moments, the relationship between religion and
science is at intersection. Here, religion does not harmonize with science. In contrast, religion
and science are caught up in binner's opposition relationship. At this time, religion, with all
its great and magical values, became a dogmatic view that took over all aspects of people's
lives. The dialectic of religion and science arises based on the basic building of both which
philosophically have a fundamental side of distinction. Science and religion have their own
characteristics and characteristics both at the level of epistemology, ontology and axiology.
But the most fundamental difference between the two, lies in the aspect of epistemology
which then raises debate. In general, the various sides of the distinction are born as a logical
consequence of religious connotations that are closer to the mystical side while science is
synonymous with the language of numbers. This paper will examine how Mehdi Golshani
views God and Science.

Keywords: Religion, Relations, Science, Mehdi Golshani


Abstrak
Diskursus mengenai hubungan agama dan ilmu pengetahuan sudah berlangsung
dalam periode sejarah yang cukup panjang. Dalam kurun waktu yang panjang tersebut, relasi
agama dan sains mengalami berbagai dinamika. Pada momen tertentu, relasi agama dan ilmu
pengetahuan berada pada garis persinggungan. Di sini, agama tidak menjalin harmonisasi
dengan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, agama dan ilmu pengetahuan terjebak dalam
hubungan oposisi binner. Pada masa ini, agama dengan segala nilai keagungan dan
kemagisannya, menjadi satu pandangan dogmatik yang mengambil alih keseluruhan aspek
kehidupan masyarakat. Dialektika agama dan sains muncul berdasarkan bangunan dasar
keduanya yang secara filosofis mempunyai sisi pebedaan yang begitu fundamental. Sains
dan agama memiliki ciri dan karakteristik masing-masing baik dalam tataran epistemologi,
ontologi dan aksiologi. Namun perbedaan yang paling mendasar diantara keduanya,terletak
pada aspek epistemologi yang kemudian memunculkan perdebatan. Secara umum, berbagai
sisi perbedaan tersebut lahir sebagai konsekuensi logis atas konotasi agama yang lebih
dekat dengan sisi mistis sedangkan ilmu pengetahuan identik dengan bahasa angka. Tulisan
ini akan mengkaji bagaimana pandangan Mehdi Golshani terhadap ralasi Tuhan dan Sains.

Kata Kunci: Agama, Relasi, Sains, Mehdi Golshani


PENDAHULUAN
Permasalahan pokok dalam ilmu filsafat adalah keberadaan Tuhan. 1 Para filsusuf
masih berbeda pendapat mengenai adanya “Tuhan” seperti contoh Ibn Al Rawandi- seorang
filusuf Persia. Dia berpendapat bahwa dogma yang bertentangan dengan akal seperti mukjizat
itu palsu, Nabi hanyalah penyihir dan surga yang dijelaskan oleh Al-Qur’an sebenarnya tidak
diinginkan, Tuhan dalam Al-Qur'an pada dasarnya terlalu manusiawi dan tidak sempurna. 2
Hal semacam ini menyimpang keras dengan pehaman islam yang sudah jelas di terangkan
dalam beberapa literature.

Filisuf lain yang berbeda pendapat dengan Ibnu al Rawandi adalah Mehdi Golshani.
Dalam pemikiran Golshani seorang manusia jika semakin mengkaji ilmu seharusnya akan
lebih dekat dengan Tuhan. Golshani yang seorang ilmuan kontemporer dan filusuf dengan
spesialisnya ilmu Fisika beranggapan bahwa ilmu sains yang ada di dunia ini ada untuk
panduan umat manusia dalam mengahadapi tantangan kehidupan dan meningkatkan
pemahaman terhadap Tuhan.3

Sebenarnya pertemuan antara sains dan agama sudah ada pada abad ke -17. Pada
masa itu belum ada permasalahan terkait entitas Tuhan. Ironisnya adalah pada masa itu
terjadinya revolusi ilmiah dalam dunia sains yang dipelopori oleh penganut Kristen yang taat.
Mereka berpendapat bahwa tujuan kerja ilmiah pada hakikatnya adalah mempelajari ciptaan
Tuhan.4 Meski begitu jauh sebelum adanya peradaban barat lahir, peradaban-peradaban
Kuno, Timur dan Islam terlebih dulu mengintergrasikan antara sains dan agama. Seiring
kelahiran medernisme terjadi ketidak cocokan antara sains dan agama. Bahkan sampai
sekarang padangangan dunia saintifik telah mengkonstitusi tantangan terhadap pemahaman
alam, manusia serta Tuhan yang pada awalnya mungkin mengancam pandangan keagamaan
namun berpontensi relatif.5
1
Theo Huijbers, Mencari Allah Pengantar Kedalam Filsafat Ketuhanan, (Yogyakarta:
Kansius, 1995), hlm, 115.
2
Peter Groff, Filsafat Islam AZ, (Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd 2007). hlm.86–
87.
3
Muhammad Thoyib, Model Integrasi sains dan agama dalam perspektif J.F Haught dan
M.Golshani: landasan filososfis bagi penguatan PTAI di Indonesia. (STAIN: Ponorogo) hlm 13
4
Ian G.Barbour, Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama, (Bandung : Mizan, 2002), hlm.
13.
5
Moh. Ainul Yakin, “KONSEP PEMIKIRAN MEHDI GOLSHANI: AGAMA DAN
SAINS”, Al-MIKRAJ: Jurnal Studi Islam dan Humaniora, Vol. 1 No. 2, (2021), hlm. 62.
Dialektika agama dan sains muncul berdasarkan bangunan dasar keduanya yang
secara filosofis mempunyai sisi pebedaan yang begitu fundamental. Sains dan agama
memiliki ciri dan karakteristik masing-masing baik dalam tataran epistemologi, ontologi dan
aksiologi. Namun perbedaan yang paling mendasar diantara keduanya,terletak pada aspek
epistemologi yang kemudian memunculkan perdebatan. Secara umum, berbagai sisi
perbedaan tersebut lahir sebagai konsekuensi logis atas konotasi agama yang lebih dekat
dengan sisi mistis sedangkan ilmu pengetahuan identik dengan bahasa angka. 6

Menurut John F. Haught, Secara historis, diskursus mengenai hubungan agama dan
ilmu pengetahuan sudah berlangsung dalam periode sejarah yang cukup panjang. Dalam
kurun waktu yang panjang tersebut, relasi agama dan sains mengalami berbagai dinamika.
Pada momen tertentu, relasi agama dan ilmu pengetahuan berada pada garis persinggungan.
Di sini, agama tidak menjalin harmonisasi dengan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, agama dan
ilmu pengetahuan terjebak dalam hubungan oposisi binner. Pada masa ini, agama dengan
segala nilai keagungan dan kemagisannya, menjadi satu pandangan dogmatik yang
mengambil alih keseluruhan aspek kehidupan masyarakat. Agama memegang kendali di
segala lini. Bukan saja pada aspek teologis yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan,
namun juga pada aspek lain di luarnya. Bahkan ke ranah kebebasan berpikir dan bernalar
sekalipun. Dalam sejarahnya, masa ini dikenal dengan sebutan teosentris (belief age), bahwa
ilmu pengetahuan berada di bawah kendali agama.7

Melihat hal semacam ini, penulis akan membahas bagaimana jejak Tuhan dalam ilmu
sains. Penulis berharap tulisan ini bisa memberi sedikit gambaran terkait hubungan sains dan
Tuhan menurut Mehdi Golshani.

Beografi Mehdi Golshani

Mehdi Gholsani lahir di Isfahan, Iran pada tahun 1939 M atau bertepatan dengan 131
H.8 Mehdi Golshani adalah seorang ilmuan kontemporar dan filsuf yang berkebangsaan Iran

6
Huton Smith, Ajal Agama ditengah Krdigdayaan Islam, terjemahan. Ari Budiyanti.
(Bandung: Mizan, 2003), hlm. 23.
7
John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama: dari Konfik ke Dialog, terj. Fransiskus
Borgias (Bandung: Mizan, 2004) hlm. 2.
8
Moh. Ainul Yakin, “KONSEP PEMIKIRAN MEHDI GOLSHANI: AGAMA DAN
SAINS”, Al-MIKRAJ: Jurnal Studi Islam dan Humaniora, Vol. 1 No. 2, (2021), hlm. 63.
dan juga merupakan seorang profesor fisika di Sharif University of Technology. Riset
utamanya berpusat pada persoalan-persoalan dasar dalam kosmologi dan mekanika
kuantum.9

Gholsani menerima gelar B.S. dalam bidang Fisika dari Universitas Tehran dan gelar
Ph.D. dalam Fisika dari University of California di Berkeley pada tahun 1969, dengan
spesialisasi dalam fisika partikel. Pada tahun 1970, ia bergabung dengan Universitas
Teknologi Sharif di Teheran dan menjabat sebagai ketua Departemen Fisika selama 1973-
1975 dan 1987-1989 dan sebagai wakil rektor universitas tersebut selama 1979-1981. Sejak
1991, dia menjadi profesor fisika terkemuka di sana. Ia mendirikan Fakultas Filsafat Sains di
Universitas Teknologi Sharif pada tahun 1995, dan telah menjadi ketuanya sejak saat itu. Dia
adalah kepala Departemen Ilmu Pengetahuan Dasar di Akademi Ilmu Pengetahuan Iran
selama 1990-2000 dan menjadi direktur Institut Kajian Humaniora dan Budaya di Teheran
dari 1993 hingga 2009. Golshani menerima Penghargaan John Templeton untuk Program
Kursus Sains dan Agama pada tahun 1995.10

Sebagai sosok saintis Muslim, Golshani termasuk generasi paling baru intelektual
Muslim yang begitu tertarik dengan wacana relasi agama dengan sains modern.
Pandangannya relative jauh lebih akomodatif terhadap sains modern, jika dibandingkan
dengan para pendahulu, seperti Ziaudin Sardar dan Syed Hussen Nasr. Meski sama kritisnya
dengan Nasr dalam menelisik sains modern, namun Golshani lebih memahami tugasnya
dengan memberikan penafsiran islami atas sains modern dan tidak begitu berhasrat untuk
membangun suatu “sains islami” yang sama sekali jauh berbeda dengan sains modern
sekuler. Golshani meneumkan momentum karena belakangan memang kajian atas sejarah
sains dalam peradaban islam tidak lagi melulu diwarnai dengan aroma apologetic dan ketat
sehingga memberikan gambaran yang lebih baik mengenai karakter sains tersebut dan
menghilangkan, setidaknya meminimalisir idealisasi yang sangat kental pada kajian-kajian
terdahulu.11
9
Musyoyih dan Aina Salsabila, “Kontribusi Konsep sains islam Mehdi Golshani dalam
menyatukan epistimologi agama dan sains”. Prosding Konferensi Integritas Interkoneksi Islam dan
Sains. Vo. 2 (Maret 2020),hlm. 96.
10
Moh. Ainul Yakin, “KONSEP PEMIKIRAN MEHDI GOLSHANI: AGAMA DAN
SAINS”, Al-MIKRAJ: Jurnal Studi Islam dan Humaniora, Vol. 1 No. 2, (2021), hlm. 63.
11
Zainal Abidin Bagir, “Pergolakan PEmikiran di Bidang Ilmu Pengetahuan”, Dalam Taufik
Abdullah, dkk., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Dinamika Masa Kini, PT. Ichtiar BAru Van Hoeve,
Disela-sela kesibukannya sebagai praktisi akademik seperti tersbut di atas
Golshani juga telah membuktikan dirinya produktif dalam menuangkan ide-ide cemerlangnya
dalam bentuk buku, proseding buku dan makalah-makalah yang ditulis dalam berbagai
bahasa. Diantaranyasudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dari
sekian banyak tulisan tersebut dapat disimpulkan bahwa Golshani adalah seorang
pemikir Muslim dan praktisi di bidang fisika dasar, fisika partikel, fisika kosmologi
dan implikasi filosofis mekanika kuantum, dan agama, serta ilmu pengetahuan dan
teologi.12

MENGENAL SAINS DAN AGAMA

Istilah “Sains” atau “Ilmu” dalam pengertian lengkap dan komprehensif, adalah
serangkaian kegiatan manusia dengan pemikirannya dan menggunkan berbagai tata cara
sehingga menghasilkan sekumpulan pengetahuan yang teratur mengenal gejala-gejala alami,
kemasyarakatan dan perorangan untuk tujuan meraih kebenaran, pemahaman, penjelasan atau
penerapan. Kata ‘Sains” berasal dari bahasa latin , Scientia (“Science”, bahasa Inggris), yang
berarti pengetahuan, sedangkan pada kelanjutannya berasal dari bentuk kata kerja scire, yang
berarti mempelajari .13

Menurut literature barat, Sains mengandung lima cakupan yang merupakan


pertumbuhan kesejarahan dari pemikiran manusia yang saling melengkapi. Bahkan, bisa
dikatakan, dari cakupan satu ke satu cakupan berikutnya terjadi penegasan makna sehingga
menjadi pengertian ilmu dalam artian dewasa ini. Cakupan tersebut yang pertama adalah
sesuai dengan asal-susul dari kata “science” yang mengacu pada “pengetahuan semata-mata
mengenai apa saja”. Cakupan kedua, bahwa sesudah abad ke -17 dan memasuki abad
brikutnya, pengertian science mengalami penghalusan dan mengacu pada pengetahuan yang
teratur. Cakupan ketika, science sebagai ilmu kealaman, yang sehingga sekarang masih
dipertahankan oleh sebagian pakar. Cakupan ke empat, Lambat tahun ilmu pengetahuan alam
itu terpecah menjadi cabang-cabang ilmu seperti, Ilmu Alam, Ilmu Hayat, dan Ilmu Kimia

Jakarta, hlm. 137-159.


12
Ahsin Muhammad, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains: Tafsir Islami atas Sains.
Terjemah Issues in Islam and Science Mehdi Golshani, (Bandung: Mizan dan CRCS
GraduateProgram, UGM Yogyakarta, 2004), hlm. 20.
13
The liang Gie, Sejarah Ilmu-Ilmu, (Yogyakarta: PBIB dan Sabda persada, 2003), hlm. 9.
yang bersifat lebih khusus. Cakupan ke lima pengertian ilmu seumumnya yang muncul akibat
pembahsan lebih lanjut, misalnya tentang peranan ilmu, rakitan ilmu, atau sejarah ilmu yag
menyebabkan orang harus berbicara mengenai segenap ilmu sebagai suatu kebulatan atau
ilmu seumumnya dan bukan pada masing-masing cabang ilmu yang bersifat khusus seperti
sebelumnya.14

Sedangkan Agama memiliki beberapa istilah, antara lain religi, religion (Inggris),
religie (Belanda), religio (Bahasa Latin), dien (Arab). Dalam bahasa Arab, agama di kenal
dengan kata al-din dan al-milah. Kata al-din mengandung beberapa arti al-mulk (kerajaan),
al-izz (kejayaan), al-dzull (kehinaan), al-ikrah (pemaksaan), al-ihsan (kebajikan), al adat
(kebiasaan), al-ibadat (pengabdian), al-tha’at (taat), al islam al-tauhid (penyerahan dan
mengesakan Tuhan.15

Agama menurut Burhanudin Daya merupakan kesempurnaan eksitensi manusia,


sumber vitalitas yang mewujudkan perubahan dunia dan melestarikan kehidupan manusia.
Kualitas suatu peruahan ditentukan oleh kualitas agama yang menjadi dasar. Agama
merupakan salah satu sumber nilai, memiliki peran, arti dan bahkan sumbangan yang sangat
besar dan paling tiggi harganya bagi setiap jenjang kehidupan manusia. Semua kebudayaan
besar dan bersejarah tela berakar dalam agama-agama besar. 16

KONSEP PEMIKIRAN AGAMA DAN SAINS MENURUT MEHDI GOLSHANI

Dalam kajian epistimologi Golshani, menyimpulkan bahwa Alquran menggunakan


kata ‘ilm atau pengetahuan baik ketika membahas ilmu-ilmu kealaman maupun ilmu-ilmu
yang lain. Dengan demikian, ia menekankan, kajian tentang alam hendaknya
direkomendasikan dengan tujuan untuk menemukan pola-pola Tuhan di alam semesta (ayat-
ayat kauniyah) dan memanfaatkan demi terwujudnya kemaslahatan umat manusia. Dalam
kata pengatar bukunya yang berjudul the Holy Quran and the science of Nature, Gholsani
mengingatkan bahwa pembahasan dasar-dasar epistimologi dalam pandangan Al-quran untuk
memperkuat kajian ilmu-ilmu kealaman merupakan hal yang masih sedikit dikerjakan dalam
tradisi intelektual islam dan ia menganjurkan agar para saintis muslim untuk menyediakan
14
The liang Gie, Sejarah Ilmu-Ilmu, (Yogyakarta: PBIB dan Sabda persada, 2003), hlm. 20.
15
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya: 2002), hlm.13.
16
Burhanudin Daya, “Dakwah, Misi Zending, dan Dialog Antar Agama Di Indonesia”, dalam
Abdurrahman, dkk, Agama dan MAsyarakat, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta, 1993, hlm 11.
lebih banyak lagi waktu dan energinya dalam berkontribusi pada persoalan yang amat
penting ini.17

Menurut Golshani, Sains telah membawa sejumlah kegunaan bagi umat manusia
serta mendorong manusia untuk lebih mengenal dan dekat dengan penciptanya. Signifikasi
sains bagi umat muslim antara lain:

1. Sains mampu meningkatkan pemahaman tentang Tuhan.

2. Sains secara efektif mampu meningkatkan peradaban islam dan mewujudkan citacita islam

3. Sains berfungsi sebagai panduan umat manusia dalam menghadapi tantangan kehidupan.

Jika kehadiran sains dibungkus oleh pemahaman seperti diatas maka tidak diragukan
lagi ia tidak bertentangan dengan agama, bahkan sains adalah bagian dari agama itu sendiri.
Dengan itu pula sains menjadi sakral dan jauh dari nilai-nilai yang bertentangan dengan
agama (keilahian).18

Golshani menyatakan bahwa yang dimaksud sains islami adalah sains yang sesuai
dengan pandangan dunia islam. Baginya pandangan dunia islam tentang realitas yang harus
menjadi peranggapan metafisik sains islam meliputi pandangan bahwa: pertama, alam
diciptakan Tuhan dan dia adalah Dzat yang memeliharanya, kedua, tidak membatasi realitas
pada domain fisik-material saja, ketiga, menisbatkan tujuan pada alam semesta. Keempat,
mengakui adanya tartib moral pada alam semesta. Prosedur yang ditempuh Golshani adalah
merujuk langsung pada ayat-ayat yang dia nilai bekaitan tentang padangan dunia islam
tentang realitas. Kemudian ayat-ayat tersebut disusun dan racik agar menemukan rumusan
islam serta dilanjutkan dengan menguraikannya secara orisinil dengan memanfaatkan
pandangan para filosof dan saintis barat serta pemikir Muslim sendiri. 19

17
Musyoyih dan Aina Salsabila, “Kontribusi Konsep sains islam Mehdi Golshani dalam
menyatukan epistimologi agama dan sains”. Prosding Konferensi Integritas Interkoneksi Islam dan
Sains. Vo. 2 (Maret 2020), hal. 96.
18
Muhammad Thoyib, “Model Integrasi sains dan agama dalam perspektif J.F Haught dan
M.Golshani: landasan filososfis bagi penguatan PTAI di Indonesia”. (STAIN Ponorogo), hlm. 13.
19
Zainal Abidin Bagir, “Pergolakan PEmikiran di Bidang Ilmu Pengetahuan”, Dalam Taufik
Abdullah, dkk., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Dinamika Masa Kini, PT. Ichtiar BAru Van Hoeve,
Jakarta, hlm. 208.
Menurut Golshani, Allah merupakan kenyataan tertinggi yang menjadi pusat segala
bentuk aktivitas manusia. Meskipun aktifitas tersebut tidak berbentuk peribadatan formal
namun ketika ia menjadi penjuru dan tujuan utama maka sains pun memiliki kedudukan yang
sama dengan ilmu agama. Dalam kerangka inilah, Golshani memandang aktifitasnya selama
ini sebagai fisikawan adalah bagian dari ibadah. Karenanya, dalam pandangannya tidak ada
relasi yang bernuansa konflik atau independen dalam sains dan agama.

Jika ditelusuri lebih dalam, pemkiran Golshani diatas berangkat dari pemahaman
dirinya atas hadist Nabi Muhammad saw yang berisikan anjuran kepada seluruh umat muslim
untuk mencari ilmu. Dalam pandangan Golshani, baik atau buruk, berharga atau tidaknya
sebuah ilmu pengetahuan bukan ada pada identitas dirinya, namun lebih pada aspek
penggunaan ilmu pengetahuan, sekaligus kapasitasnya dalam mendatangkan kedekatan
kepada Tuhan semesta alam. Karena, Golshani menjelaskan bahwa setiap ilmu pengetahuan,
apapun itu jenis dan rumpunnya, sepanjang masih memiliki nilai guna bagi kehidupan
manusia, mengantarkan manusia menjadi lebih dekat dan mengenal Tuhan, serta dapat
meninggikan derajat ketaqwaan dan keimanan, maka yang demikian harus dipelajari. 20

Golshani menyebutkan bahwa ada tiga elemen pandangan hidup islam yang mempengaruhi
kosntruksi ilmu pengetahuan dan sains pada khususnya, yaitu :

1. Sifat tunggal Tuhan (Tauhid) yang mempunyai arti keesaan Tuhan, mempunyai arti
semua yang ada di segala penjuru alam semesta ini berakal dari zat tunggal dan
semua ada dibawah kekuasaan Tuhan dan pada akhirnya semua akan kembali
kepada-Nya. Begitu juga dengan sains, sains yang dihasilkan oleh manusia dari
kegiatan berpikir terhadap fenomena alam semesta sejatinya adalah bagian dari
keesaan Tuhan yang dapat berfungsi sebagai manifestasi manusia untuk mengenal
dan memahami Tuhannya dalam jarak pemahaman yang lebih dekat. 21
2. Iman terhadap hal yang gaib supra-natural dan keterbatasan pengetahuan manusia.
Meyakini atas adanya realitas abstrak yang tidak bisa disentuh dan diungkap oleh
keseluruhan kemampuan manusia, pada gilirannya dapat menghadirkan kesadaran

20
Mukhlisin Saad, “Pemikiran Mehdi Golshani tentang dialetika agama dan sains”. Toesofi:
Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam. Vol 6 No. 2 (Desember 2016), hlm. 343-344
21
Mukhlisin Saad, “Pemikiran Mehdi Golshani tentang dialetika agama dan sains”. Toesofi:
Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam. Vol 6 No. 2 (Desember 2016), hlm. 349
diri atas keberadaan Tuhan semesta alam. Pandangan ini menegaskan bahwa realitas
tidak hanya terdiri dari yang bersifat fisik semata namun ada realitas yang tidak
terjangkau oleh inderawi manusia. Iman pada reaitas supra-natural dan keterbatasan
manusia akan menghasilkan pemahaman pada tingkat inderawi, non inderawi serta
tiada batas waktu.
3. Mempecayai atas tujuan akhir semesta. Keyakinan bahwa kehadiran alam jagat raya
ini memiliki tujuan dan akhir tertentu. Semesta hadir bukan tanpa tujuan tetapi
semuanya terjadi atas garis yang dituliskan oleh Tuhan. Pada masa yang akan datang,
semua identitas ehidupan yang terbentang luas di lam semesta akan menemui
akhirnya.
4. Bepergang teguh pada moral. Unsur terakhir ini mensyaratkan bahwa ilmu
pengetahuan, apapun jenis dan rumpunnya, harus memuat nilai-nilai etika dan
menjunjung tinggi kemanusiaan-emansipatif. Pengembangan ilmu pengetahuan
(sains) harus disertai pengetahuan tentang etika. Sains tanpa disertai oleh
pertimbangan-pertimbangan etika akan menjumpai banyak masalah. Pendidikan etika
menjadi hal yang sangat penting untuk menumbuhkan perhatian moral dan tanggung
jawab.22

Keempat unsur diatas pada prinsipnya adalah nilai-nilai yang dimiliki oleh agama
ibrahimi yang menunjukkan kesamaan pandangan antara islam, kristen dan yahudi. Oleh
sebab itu, Golshani menempatkan karakteristik tersebut dalam kerangka “Theistic religion”.
Dalam proses konstruksi sains, Golshani kemudian meyakini bahwa keempat unsur
keislaman diatas merupakan tonggak sains yang mengandung nilai-nilai moral dan tanggung
hawab yang kemudian mentransormasikan dua nilai integratif yaitu nilai kemanusiaan dan
nilai ketuhanan.

PENUTUP

Istilah “Sains” atau “Ilmu” dalam pengertian lengkap dan komprehensif, adalah
serangkaian kegiatan manusia dengan pemikirannya dan menggunkan berbagai tata cara
sehingga menghasilkan sekumpulan pengetahuan yang teratur mengenal gejala-gejala alami,

22
Moh. Ainul Yakin, “KONSEP PEMIKIRAN MEHDI GOLSHANI: AGAMA DAN
SAINS”, Al-MIKRAJ: Jurnal Studi Islam dan Humaniora, Vol. 1 No. 2, (2021), hlm. 66.
kemasyarakatan dan perorangan untuk tujuan meraih kebenaran, pemahaman, penjelasan atau
penerapan.

Sedangkan Agama memiliki beberapa istilah, antara lain religi, religion (Inggris), religie
(Belanda), religio (Bahasa Latin), dien (Arab). Dalam bahasa Arab, agama di kenal dengan
kata al-din dan al-milah. Kata al-din mengandung beberapa arti al-mulk (kerajaan), al-izz
(kejayaan), al-dzull (kehinaan), al-ikrah (pemaksaan), al-ihsan (kebajikan), al adat
(kebiasaan), al-ibadat (pengabdian), al-tha’at (taat), al islam al-tauhid (penyerahan dan
mengesakan Tuhan.

Golshani menyatakan bahwa yang dimaksud sains islami adalah sains yang sesuai
dengan pandangan dunia islam. Baginya pandangan dunia islam tentang realitas yang harus
menjadi peranggapan metafisik sains islam meliputi pandangan bahwa: pertama, alam
diciptakan Tuhan dan dia adalah Dzat yang memeliharanya, kedua, tidak membatasi realitas
pada domain fisik-material saja, ketiga, menisbatkan tujuan pada alam semesta. Keempat,
mengakui adanya tartib moral pada alam semesta.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin Bagir, Zainal. “Pergolakan PEmikiran di Bidang Ilmu Pengetahuan”. Dalam


Taufik Abdullah, dkk., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Dinamika Masa Kini.
PT. Ichtiar BAru Van Hoeve. Jakarta.
Daya, Burhanudin. (1993) “Dakwah, Misi Zending, dan Dialog Antar Agama Di
Indonesia”, dalam Abdurrahman, dkk, Agama dan MAsyarakat, IAIN Sunan
Kalijaga Press, Yogyakarta.
G.Barbour, Ian. (2002). Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama. Bandung : Mizan.
Gie, The liang. (2003) Sejarah Ilmu-Ilmu, Yogyakarta: PBIB dan Sabda persada.
Groff, Peter. (2007). Filsafat Islam AZ. Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd.

Haught, John F. (2004) Perjumpaan Sains dan Agama: dari Konfik ke Dialog, terj.
Fransiskus Borgias Bandung: Mizan.
Huijbers, Theo. (1995). Mencari Allah Pengantar Kedalam Filsafat Ketuhanan,
Yogyakarta: Kansius

Kahmad, Dadang. (2002). Sosiologi Agama, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


Muhammad, Ahsin. (2004). Melacak Jejak Tuhan dalam Sains: Tafsir Islami atas
Sains. Terjemah Issues in Islam and Science Mehdi Golshani. Bandung:
Mizan dan CRCS GraduateProgram. UGM Yogyakarta.
Musyoyih dan Aina Salsabila. (2020) “Kontribusi Konsep sains islam Mehdi Golshani
dalam menyatukan epistimologi agama dan sains”. Prosding Konferensi
Integritas Interkoneksi Islam dan Sains. Vo. 2.
Thoyib, Muhammad. Model Integrasi sains dan agama dalam perspektif J.F Haught dan
M.Golshani: landasan filososfis bagi penguatan PTAI di Indonesia. STAIN:
Ponorogo.

Saad, Mukhlisin. (2016) “Pemikiran Mehdi Golshani tentang dialetika agama dan sains”.
Toesofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam. Vol 6 No. 2.
Smith, Huton. (2003). Ajal Agama ditengah Krdigdayaan Islam, terjemahan. Ari
Budiyanti. Bandung: Mizan.
Yakin, Moh. Ainul (2021). “KONSEP PEMIKIRAN MEHDI GOLSHANI: AGAMA
DAN SAINS”, Al-MIKRAJ: Jurnal Studi Islam dan Humaniora. Vol. 1 No. 2.

Anda mungkin juga menyukai