Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

PATOFISIOLOGI

TORCH,HIV,INFEKSI SALURAN KEMIH,COVID 19


DALAM KEHAMILAN

Oleh :

SEPUTRI YUSID WILDA,Amd.Keb (221015201243)

Dosen :

MEKAR ZENNI RADHIA,S.ST,M.Keb

Program Studi S-1 Kebidanan

Universitas Sumatera Barat

2023
TORCH
A. PENGERTIAN
1.) Toxoplasma
Infeksi Toxoplasma disebabkan oleh parasit yang disebut Toxoplasma gondi.
Pada umumnya, infeksi Toxoplasma terjadi tanpa disertai gejala yang spesifik.
Kira-kira hanya 10-20% kasu infeksi. Toxoplasma yang disertai gejala ringan,
mirip gejala influenza, bisa timbul rasa lelah, malaise, demam, dan umumnya
tidak menimbulkan masalah. Infeksi Toxoplasma berbahaya bila terjadi saat ibu
sedang hamil atau pada orang dengan sistem kekebalan tubuh terganggu (misalnya
penderita AIDS, pasien transpalasi organ yang mendapatkan obat penekan respon
imun). Jika wanita hamil terinfeksi Toxoplasma maka akibat yang dapat terjadi
adalah abortus spontan atau keguguran (4%), lahir mati (3%) atau bayi menderita
Toxoplasmosis bawaan. Pada Toxoplasmosis bawaan, gejala dapat muncul setelah
dewasa, misalnya kelinan mata dan telinga, retardasi mental, kejang-kejang dan
ensefalitasi.

2.) Rubella
Infeksi Rubella ditandai dengan demam akut, ruam pada kulit dan pembesaran
kelenjar getah bening. Infeksi ini disebabkan oleh virus Rubella, dapat menyerang
anak-anak dan dewasa muda. Infeksi Rubella berbahaya bila terjadi pada wanita
hamil muda, karena dapat menyebabkan kelainan pada bayinya.jika infeksi terjadi
pada bulan pertama kehamilan maka resiko terjadinya kelainan adalah 50%,
sedangkan jika infeksi terjadi trimester pertama maka resikonya menjadi 25%
(menurut America College of Obstatrician and Gvnecologists,1981).
3.) Cytomegalovirus
Infeksi CMV disebabkan oleh virus Cytomegalo, dan virus ini termasuk
golongan virus keluarga herpes. Seperti halnya keluarga herpes lainnya, virus
CMV dapat tinggal secara laten dalam tubuh dan CMV merupakan salah satu
penyebab infeksi yang berbahaya bagi janin bila infeksi terjadi saat ibu sedang
hamil. Jika ibu terinfeksi, maka janin yang dikandung mempunyai resiko tertular
sehingga mengalami gangguan misalnya pembesaran hati, kuning, ekapuran otak,
ketulian retardasi mental, dan lain-lain.
4.) Herpes
Infeksi herpes pada alat genital (kelamin) disebabkan oleh herpes simpleks
tipe II (HSV II). Virus ini dapat berada dalam bentuk laten, menjalar melalui
serabut syaraf sensorik dan berdiam diganglion sistem syaraf otonom. Bayi yang
dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HSV II biasanya memperlihatkan lepuh pada
kuli, tetapi hal ini tidak selalu muncul sehingga mungkin tidak diketahui. Infeksi
HSV II pada bayi yang baru lahir dapat berakibat fatal (lebih dari 50 kasus).

B. ETIOLOGI
1.) Toxoplasma
Infeksi toxoplasma disebabkan oleh parasit yang disebut Toxoplasma gondi.
Tokoplasma gondi adalah protozoa yang dapat ditemukan pada pada hampir
semua hewan dan unggas berdarah panas. Akan tetapi kucing adalah inang
primernya. Kotoran kucing pada makanan yang berasal dari hewan yang kurang
masak, yang mengandung oocysts dari toxoplasma gondi dapat menjadi jalan
penyebarannya. Contoh lainnya adalah pada saat berkebun atau saat membenahi
tanaman dipekarangan, kemudian tangan yang masih belum dibersihkan
melakukan kontak dengan mulut.
2.) Rubella
Virus ini pertama kali ditemukan di amerika pada tahun 1966, Rubella pernah
menjadi endemic di banyak negara di dunia, virus ini menyebar melalui droplet.
Periode inkubasinya adalah 14-21 hari.
3.) Cytomegalovirus
Penularan CMVakan terjadi jika ada kontak langsung dengan ciran tubuh
penderita seperti air seni, air ludah, air mata, sperma dan air susu ibu. Bisa juga
terjadi karena transplatasi organ.Kebanyakan penularan terjadi karena cairan
tubuh penderita menyentuh tangan individu yang rentan.Kemudian diabsorpsi
melalui hidung dan tangan.Teknik mencuci tangan dengan sederhana
manggunakan sabun cukup efektif untuk membuang virus dari tangan.Golongan
sosial ekonomi rendah lebih rentan terkena infeksi.Rumah sakit juga marupakan
tempat penularan virus ini, terutama unit dialisis, perawatan neonatal dan ruang
anak.Penularan melalui hubungan seksual juga dapat terjadi melalui cariran semen
ataupun lendir endoserviks. Virus juga dapat ditularkan pada bayi melalui sekresi
vagina pada saat lahir atau pada ia menyusu. Namun infeksi ini biasanya tidak
menimbulkan tanda dan gejala klinis.Resiko infeksi kongenital CMV paling besar
terdapat pada wanita yang sebelumnya tidak pernah terinfeksi dan mereka yang
terinfeksi pertama kali ketika hamil.Meskipun jarang, sitomegalovirus kongenital
tetap dapat terulang pada ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan
sitomegalovirus kongenital pada kehamilan terdahulu.Penularan dapat terjadi pada
setiap saat dalam kehamilan tetapi semakin muda umur kehamilan semakin berat
gejala pada janinnya.Infeksi CMV lebih sering terjadi di negara berkembang dan
di masyarakat denga status sosial ekonomi lebih rendah dan merupakan penyeirus
paling signifikan cacat lahir di negara-negara industri. CMV tampaknya memiliki
dampak besar pada parameter pada kekebalan tubuh di kemudian hari dan dapat
menyebabkan peningkatan morbiditas dan kematian.
4.) Herpes
Virus herpes simpleks tipe I dan II merupakan virus horminis DNA.
Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada media kultur,
antigenic, dan lokasi klinis (tempat predileksi)
C. TANDA DAN GEJALA
1.) Toxoplasma
a. Pada ibu
Terkadang Toxoplasma dapat menimbulkan beberapa gejala seperti
gejala influenza, timbul rasa lelah, malaise, dan demam.Akan tetapi umumnya
tidak menimbulkan masalah yang berarti.Pada umumnya, infeksi Toxoplasma
tarjadi tanpa disertai gejala yang spesifik. Walaupun demikian, ada beberapa
gejala yang mengkin ditemukan pada orang yang terinfeksi toksoplasma,
gejala-gejala tersebut adalah :

1. Pyrexia of unknow origin (PUO)


2. Terlihat lemas dan kelelahan, sakit kepala, rash,myalgia perasaan umum
( tidak nyaman atau gelisah)
3. Pembesaran kelenjar limfe pada serviks posterior
4. Infeksi menyebar ke saraf, otak, korteks dan juga dapat menyerang sel
retina mata.
5. Infeksi Toxoplasma berbahaya bils terjadi saat ibu sedang hamil atau pada
orang dengan system kekebalan tubuh tergantung (misalnya penderita
AIDS, pasien transpalasi organ yang mendapat obat penekan respon
imun).
b. Pada janin
Jika wanita hamil terinfeksi Toxoplasma maka akibat yang dapat terjadi pada
janinnya adalah abortus spontan atau keguguran, lahir mati, atau bayi
menderita Toxoplasmosis bawaan.Pada awal kehamilan infeksi toksoplasma
dapat menyebabkan aborsi dan biasanya terjadi secara berulang.Namun jika
kandungan dapat dipertahankan, maka dapat mengakibatkan kondisi yang
lebih buruk ketika lahir. Diantaranya adalah :
1. Lahir mati (still birth)
2. Icterus, dengan pembesaran hati dan limpa
3. Anemia
4. Perdarahan
5. Radang paru
6. Penglihatan dan pendengaran kurang
7. Dan juga gejala yang dapat muncul kemudian, seperti kelainan mata dan
telinga, retardasi mental, kejang-kejang dan ensefalitis selain itu juga dapat
merusak otak janin. Resiko terbentuk dari terjangkitnya infeksi ini pada
janin adalah saat infeksi maternal akut terjadi di trimester ketiga
2.) Rubella
Rubella menyebabkan sakit yang ringan dan tidak spesifik pada orang dewasa,
ditandai dengan cacar-seperti ruam,demam dan infeksi saluran pernafasan atas.
Sebagian besar Negara saat ini memiliki program vaksin rubella untuk bayi dan
wanita usia subur dan hal ini merupakan bagian dari screening prakonsepsi. Ibu
hamil secara rutin diperiksa untuk antibody rubella dan jika tidak memiliki
kekebalan akan segera diberikan vaksin rubella pada periode postnatal. Fakta-
fakta terkini menganjurkan bahwa kahamilan yang disertai dengan pemberian
vaksin rubella tidak seberbahaya yang dipikirkan.Infeksi terberat terjadi pada
trimester pertama dengan lebih dari 85% bayi ikut terinfeksi.Bayi mengalami
vireamia, yang menghambat pembelahan sel dan menyebabkan kerusakan
perkembangan organ.Janin terinfeksi dalam 8 minggu pertama kehamilan.Oleh
karena itu memiliki resiko yang sangat tinggi untuk mengalami multiple defek
yang mempengaruhi mata, system kardiovaskuler, telinga, dan system
saraf.Arbosi spontan mungkin saja terjadi. Ketulian neurosensory seringkali
dsebabkan oleh infeksi setelah gestasi 14 minggu dan beresiko kerusakan janin
sampai usia 24 minggu. Pada saat lahir, restriksi pertumbuhan intrauterine
biasanya disertai hepatitis, trombositopenia, dan penyakit nerologis seperti
mikrosefali atau hidrosefali.
3.) Cytomegalovirus
Gejala CMV yang muncul pada wanita hamil minimal dan biasanya mereka tidak
akan sadar bahwa mereka telah terinfeksi. Namun jika ini merupakan infeksi
primer, maka janin biasanya juga beresiko terinfeksi.Infeksi tersebut baru dapat di
kenali setelah bayi lahir.Diantara bayi tersebut baru dapat dikenali setelah bayi
lahir. Diantara bayi tersebut hanya ada 30% diketahui terinfeksi di dalam Rahim
dan kurang dari 15% akan menampakan gejala pada saat lahir. Hanya pada
individu dengan penurunan daya tahan dan pada masa pertumbuhan janin
sitomegalovirus menampakan virulensinya pada manusia. Pada wanita normal
sebagian besar adalah asimptomatik atau subkliik, tetapi bila menimbulkan gejala
akan tampak gejala antara lain :Mononucleosis-like syndrome yaitu demam
selama 3 minggu. Secara klinis timbul gejala lethargi, malaise dan kelainan
hematologi yang sulit dibedakan dengan infeksi mononucleosis (tanpa tonsillitis
atau faringitis dan limfadenopati servikal). Kadang-kadang tampak gambaran
seperti hepatitis dan limfositosis atipik. Secara klinis infeksi sitomegalovirus juga
mirip dengan infeksi virus Epstein – bar dan dibedakan dari hasil tes heterrofil
yang negative. Gejala ini biasanya self limitting tetapi komplikasi serius dapat
pula terjadi seperti hepatitis, peneumonitis, ensefalitis, miokarditis, dan lain-lain.
Penting juga dibedakan dengan tokso plasmosis dan hepatitis B yang juga
mempunyai gejala serupa. Sendroma post transfusi. Viremia terjadi 3-8 minggu
setelah transfusi. Tanpak gambaran panas kriptogenik, splenomegali, kelainan
biokimia dan hematologi. Sindroma ini juga dapat terjadi pada tranplantasi ginjal.
Penyakit sistemik luas antara lain neomonits yang mengancam jiwa yang dapat
pasien dengan infeksi kronis dengan thymoma atau pasien dengan kelainan
sekunder dari proses imonologi ( seperti HIV tipe 1 atau 2)
4.) Herpes
Tidak seperti virus rubella, sitomegalovirus dapat menginfeksi hasil konsepsi
setiap saat dalam kehamilan. Bila infeksi terjadi pada masa organogenesis
(trimester I) atau selama periode pertumbuhan dan perkembangan aktif (trimester
II) dapat terjadi kelainan yang serius. Juga didapatkan bukti adanya korelasi
antara lamanya infeksi intrauterine dengan embriopati. Pada trimester I infeksi
kongenital sitomegalovirus dapat menyebabkan premature, mikrosefali, IUGR,
klasifikasi intracranial pada ventrikel lateral dan traktus olfaktoris, sebagian besar
terdapat korioretinitis, juga terdapat retardasi mental, hepatosplenomegali, ikterus,
purpora trombositopeni, DIC. Infeksi pada trimester III berhubungan dengan
kelainan yang bukan disebabkan karena kegagalan pertumbuhan somatic atau
pembentukan psikomotor.

D. KLASIFIKASI
Penularan dapat disebut penularan dari ibu ke anak (mother-to-child
transmission). Infeksi yang dapat ditularkan vertical dapat disebut infeksi perinatal
(perinatal infaction) jika ditularkan pada periode perinatal, yaitu periode yang dimulai
pada masa gestasional 22 minggu sampai 28 ( dengan variasi regional untuk definisi)
dan berakhir tujuh hari penuh setelah kelahiran. Istilah infeksi kongenital (congenital
infection) dapat digunakan jika infeksi uang ditularkan vertical itu masih terus dialami
setelah melahirkan. Contoh : Beberapa infeksi yang ditularkan vertikel dimasukkan ke
dalam kompleks TORCH, yang merupakan singkatan dari:
T- Toxoplasmosis / toxoplasma gondii
O- Other infections (see below)
R- Rubella
C- Cytomegalovirus
H- Herpes simplex virus-2 atau neonatal herpes simplex

Huruf O nerujuk pada other agentsatau penyebab lain termasuk :


Coxsackievirus
Chickenpox atau cacar air disebabkan oleh varicella zoster virus
Parvovirus
Chlamydia
HIV
Human T-lymphotropic virus
Syphilis
Hepatitis B juga dapat digolongkan sebagai infeksi yang ditularkan vertikal,
tetapi virus hepatitis B berukuran besar dan tidak dapat menembus ke plasenta,
sehingga tidak dapat menginfeksi janin kecuali ada kebocoran pada barier ibu-
bayi, misalnya pada pendarahan pada waktu melahirkan atau amniocentesis

E. PATOFISIOLOGI
1.) Toxoplasma
Toxoplasma gondii mempunyai 3 fase dalam hidupnya. Tiga fase ini terbagi
lagi menjadi 5 tingkat siklus : fase proliferatif, stadium kista, fase schizogoni,
gematogoni, dan fase ookista. Siklus aseksual terdiri dari fase proliferasi dan
stadium kista.Fase ini dapat terjadi dalam bermacam-macam inang, sedangkan
siklus seksual secara spesifik hanya terdapat pada kucing. Kucing menjadi
terinfeksi setelah ia memakan mamalia, seperti tikus yang terinfeksi. Kista dalam
tubuh kucing dapat terbentuk setelah infeksi kronis yang berhubungan dengan
imunutas tubuh.Kiista terbentuk intraseldan kemudian terdapat secara bebas di
dalam jaringan sebagai stadium tidak aktif dan dapat menetap dalam jaringan
tanpa menimbulkan reaksi inflamasi.Kista pada binatang yang terinfeksi menjadi
infeksius, jika termakan oleh kornivora dan toksoplasma tersebut masuk melalui
usus.Infeksi pada manusia dapat terjadi saat makan daging yang kurang matang,
sayur-sayuran yang tidak di masak, makanan yang terkontaminasi kotoran kucing
melalui lalat atau serangga.Juga ada kemungkinan terinfeksi saat menghirup udara
yang terdapat ookista yang beterbangan. Cara penularang lain yang sangat penting
adalah pada jalur maternofetal. Ibu yang mendapat infeksi akut saat kehamilannya
dapat menularkannya pada janin melalui plasenta.Imunitas maternal tampaknya
memberikan perlindungan terhadap penularan transplasental parasite
tersebut.Dengan demikian, toxoplasmosis kongenital dapat terjadi jika ibu
mendapatkan infeksi tersebut selama kehamilannya.
2.) Rubella
Virus sesudah masuk melalui saluran pernafasan akan menyebabkan
peradangan pada mukosa saluran pernafasan untuk kemudian menyebar keseluruh
tubuh. dari saluran pernafasan inilah virus akan menyerang ke sekelilingnya. Pada
infeksi rubella yang diperoleh post natal virus rubella akan dieksresikan dari
faring. pada rubella yang kongenal saluran pernafasan dan urin akan tetap
mengeksresikan virus sampai usia 2 tahun. hal ini perlu diperhatikan dalam
perawatan bayi di rumah sakit dan di rumah untuk mencegah terjadinya penularan.
Sesudah sembuh tubuh akan membentuk kekebalan baik berupa antibodi maupun
kekebalan seluler yang akan mencegah terjadinya infeksi ulangan.
3.) Cytomegalovirus
Masa inkubasi CMV:
a. Setelah lahir 3-12 minggu
b. Setelah tranfusi 3-12 minggu
c. Setelah transplatasi 4 minggu – 4 bulan
d. Urin sering mengandung CMV dari beberapa bulan sampai beberapa tahun
setelah infeksi.Virus tersebut dapat tetap tidak aktif dalam tubuh seseorang
tetapi masih dapat diaktifkan kembali. Hingga kini beluum ada imunisasi
untuk mencegah penyakit ini
4.) Herpes
HSV-1 menyebabkan munculnya gelembung berisi cairan yang terasa nyeri
pada mukosa mulut, wajah, dan sekitar mata.HSV-2 atau herpes genital ditularkan
melalui hubungan seksual dan menyebabkan vegina terlihat seperti bercak dengan
luka mungkin muncul iritasi, penurunan kesadaran yang disertai pusing, dan
kekuningan pada kulit (jaundice) dan kesulitan bernafas atau kejang.Biasanya
hilang dalam 2 minggu infeksi, infeksi pertama HSV adalah yang paling berat dan
dimulai setelah masa inkubasi 4-6 hari.Gejala yang timbul meliputi nyeri,
inflamasi dan kemerahan pada kulit (eritema), dan diikuti dengan pembentukan
gelembung-gelembung yang berisi cairan bening yang selanjutnya dapat
berkembang menjadi nanah diikuti dengan pembentukan keropeng atau kerang
(scab).Setelah infeksi pertama, HSV memiliki kemampuan unik untuk bermigrasi
sampai pada syaraf sensorik tepi menuju spinal ganglia dan berdormansi sampai
diaktifasi kembali. Pengaktifan virus yang berdormansi tersebut dapat disebabkan
penurunan daya tahan tubuh, stress, depresi, alergi pada makanan, demam, trauma
pada mukosa genital, menstruasi, kurang tidur, dan sinar ultraviolet.

F. PEMERIKSA DIAGNOSTIC
1.) Urinalisis,kulkur, dan sensitivitas : Bakteriuria asimtomatik mungkin muncul ;
ISK dapat disebabkan oleh GBS, gonore, atau IMS lain.
2.) Toksoplasmosis : serum untuk titer antibody dengan riwayat pemajaan;
identifikasi mikroskopik protozoa.
3.) Rubella : serum untuk titer antibody.
4.) CMV : serologi: titer virus positif; adanya CMV didalam urin
5.) HSV : pengkajian riwayat secara seksama tentang gejala atau lesi dimasalalu;
pemeriksaan fisik utuk limfadenopati dan lesi; diagnose ditegakkan oleh kultur
virus dari lesi aktif.
6.) Hepatitis A : serologi untuk mendekteksi antibodi imonogloblin M (IgM)
dilakukan guna memastikan infeksi yang dicurigai.
7.) Hepatitis B : serologi: semua ibu harus diskrining pada kunjungan prenatal
pertama,yang diulang kemudia pada kehamilan jika mereka mempunyai
perilaku resiko-tinggi atau berasal dari kelompok resiko-tinggi (misal, Orang
Asia, Amerika Tengah, Penduduk Asli Kepulauan Karibia).
8.) HIV : skrining serologi untuk semua ibu yang memiliki perilaku resiko-tinggi
(rujuk kerencana asuhan HIV/AIDS)
9.) GBS : semua ibu yang memiliki usia gestasi 36-37 minggu harus dikultur area
anorektal dan vaginanya.
10.) Klamidia : jika memungkinkan, kultur serviks, dan faringeal pada kunjungan
prenatal pertama ; ulangi pada trimester ketiga untuk klien resiko-tinggi.
11.) Sifilis : skrining ketika kunjungan prenatal pertama dan ulangi pada akhir
trimester ketiga ; VDRL atau RPR digunakn sebagai uji skrining, namun dapat
memberikan hasil positif-palsu; untuk memastikan hal yang positif: mikroskopi
medan gelap positif untuk Treponema pallidum dari eksudat syanker atau lesi
sekunder; absorbs antibody treponemal fluoresen (fluorescent treponemal
antibody absorbed, FTA-ABS) positif ; dan uji mikrohemaglutinasi untuk
antiodi T. pallidum (MHA-TP).
12.) Human papilloma virus (HPV): inpeksi fisik vulva, perineum, anus, vagina dan
serviks bila lesi HPV dicurigai atau tampak pada suatu tempat; ibu dengan HPV
pada vulva atau pasangan dengan HPV harus menjalani Pap smear.

G. PELAKSANAAN MEDIS DAN PRINSIP PERAWATAN


Adanya infeksi-infeksi ini dapat dideteksi dari pemeriksaan darah. Biasanya
ada 2 petanda yang diperiksa untuk tiap infeksi yaitu Imunoglobulin G (IgG) dan
Imunoglobulin M (IgM). Normalnya keduanya negatif.
Jika IgG positif dan IgMnya negatif,artinya infeksi terjadi dimasa lampau dan
tubuh sudah membentuk antibodi. Pada keadaan ini tidak perlu diobati. Namun, jika
IgG negatif dan Ig M positif, artinya infeksi baru terjadi dan harus diobati. Selama
pengobatan tidak dianjurkan untuk hamil karena ada kemungkinan infeksi ditularkan
ke janin. Kehamilan ditunda sampai 1 bulan setelah pengobatan selesai (umumnya
pengobatan memerlukan waktu 1 bulan). Jika IgG positif dan IgM juga positif,maka
perlu pemeriksaan lanjutan yaitu IgG Aviditas. Jika hasilnya tinggi,maka tidak perlu
pengobatan, namun jika hasilnya rendah maka perlu pengobatan seperti di atas dan
tunda kehamilan. Pada infeksi Toksoplasma,jika dalam pengobatan terjadi kehamilan,
teruskan kehamilan dan lanjutkan terapi sampai melahirkan.Untuk Rubella dan CMV,
jika terjadi kehamilan saat terapi, pertimbangkan untuk menghentikan kehamilan
dengan konsultasi kondisi kehamilan bersama dokter kandungan anda.
Pengobatan TORCH secara medis diyakini bisa dengan menggunakan obat-
obatan seperti isoprinocin, repomicine, valtrex, spiromicine, spiradan, acyclovir,
azithromisin, klindamisin, alancicovir, dan lainnya. Namun tentu pengobatannya
membutuhkan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama. Selain itu,
terdapat pula cara pengobatan alternatif yang mampu menyembuhkan penyakit
TORCH ini, dengan tingkat kesembuhan mencapai 90 %.
Pengobatan TORCH secara medis pada wanita hamil dengan obat spiramisin
(spiromicine), azithromisin dan klindamisin misalnya bertujuan untuk menurunkan
dampak (resiko) infeksi yang timbul pada janin. Namun sayangnya obat-obatan
tersebut seringkali menimbulkan efek mual, muntah dan nyeri perut. Sehingga perlu
disiasati dengan meminum obat-obatan tersebut sesudah atau pada waktu makan.
Berkaitan dengan pengobatan TORCH ini (terutama pengobatan TORCH
untuk menunjang kehamilan), menurut medis apabila IgG nya saja yang positif
sementara IgM negative, maka tidak perlu diobati. Sebaliknya apabila IgM nya positif
(IgG bisa positif atau negative), maka pasien baru perlu mendapatkan pengobatan.
HIV(AIDS)
A. Definisi.
AIDS atau Acquired Immune Deficiency Sindrome merupakan kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV.
AIDS diartikan sebagai bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang
berkaitan dengan infeksi Human Immunodefciency Virus (HIV). (Suzane C. Smetzler
dan Brenda G.Bare). Sedangkan di dalam kamus kedokteran Dorlan (2002),
menyebutkan bahwa AIDS adalah suatu penyakit retrovirus epidemik menular, yang
disebabkan oleh infeksi HIV, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai depresi berat
imunitas seluler, dan mengenai kelompok risiko tertentu, termasuk pria homoseksual
atau biseksual, penyalahgunaan obat intravena, penderita hemofilia, dan penerima
transfusi darah lainnya, hubungan seksual dari individu yang terinfeksi virus tersebut.

B. Etiologi.
Penularan virus HIV/AIDS terjadi karena beberapa hal, di antaranya ;
1. Penularan melalui darah, penularan melalui hubungan seks (pelecehan seksual). (WHO,
2003).
2. Hubungan seksual yang berganti-ganti pasangan.
3. Perempuan yang menggunakan obat bius injeksi dan bergantian memakai alat suntik.
4. Individu yang terpajan ke semen atau cairan vagina sewaktu berhubungan kelamin
dengan orang yang terinfeksi HIV..
5. Orang yang melakukuan transfusi darah dengan orang yang terinfeksi HIV, berarti setiap
orang yang terpajan darah yang tercemar melalui transfusi atau jarum suntik yang
terkontaminasi.
C. Cara penularan dari Ibu pada anak.
Penularan HIV dari ibu ke anak terjadi karena wanita yang menderita HIV/AIDS
sebagian besar masih berusia subur, sehingga terdapat resiko penularan infeksi yang
terjadi pada saat kehamilan (Richard, et al., 1997). Selain itu juga karena terinfeksi dari
suami atau pasangan yang sudah terinfeksi HIV/AIDS karena sering berganti-ganti
pasangan dan gaya hidup. Berdasarkan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu
ke bayi adalah 0,01% sampai 0,7%. Apabila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada
gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan jika
gejala AIDS sudah tampak jelas maka kemungkinannya akan meningkat mencapai 50%
(PELKESI, 1995).
Penularan ini dapat terjadi dalam 3 periode:
1. Periode kehamilan.
Selama kehamilan, kemungkinan bayi tertular HIV sangat kecil. Hal ini
disebabkan karena terdapatnya plasenta yang tidak dapat ditembus oleh virus itu sendiri.
Oksigen, makanan, antibodi dan obat-obatan memang dapat menembus plasenta, tetapi
tidak oleh HIV.
Plasenta justru melindungi janin dari infeksi HIV. Perlindungan menjadi tidak
efektif apabila ibu:
a. Mengalami infeksi viral, bakterial, dan parasit (terutama malaria) pada plasenta
selama kehamilan.
b. Terinfeksi HIV selama kehamilan, membuat meningkatnya muatan virus pada saat
itu.
c. Mempunyai daya tahan tubuh yang menurun.
d. Mengalami malnutrisi selama kehamilan yang secara tidak langsung berkontribusi
untuk terjadinya penularan dari ibu ke anak.
2. Periode persalinan.
Pada periode ini, resiko terjadinya penularan HIV lebih besar jika dibandingkan
periode kehamilan. Penularan terjadi melalui transfusi fetomaternal atau kontak antara
kulit atau membrane mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan.
Semakin lama proses persalinan, maka semakin besar pula resiko penularan terjadi. Oleh
karena itu, lamanya persalinan dapat dipersingkat dengan section caesaria.
Faktor yang mempengaruhi tingginya risiko penularan dari ibu ke anak selama
proses persalinan adalah:

a. Lama robeknya membran.


b. Chorioamnionitis akut (disebabkan tidak diterapinya IMS atau infeksi lainnya).
c. Teknik invasif saat melahirkan yang meningkatkan kontak bayi dengan darah
ibu misalnya, episiotomi.
d. Anak pertama dalam kelahiran kembar.
3. Periode Post Partum.
Cara penularan yang dimaksud disini yaitu penularan melalui ASI. Berdasarkan
data penelitian De Cock, dkk (2000), diketahui bahwa ibu yang menyusui bayinya
mempunyai resiko menularkan HIV sebesar 10- 15% dibandingkan ibu yang tidak
menyusui bayinya. Risiko penularan melalui ASI tergantung dari:
a. Pola pemberian ASI, bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif akan kurang
berisiko dibanding dengan pemberian campuran.
b. Patologi payudara: mastitis, robekan puting susu, perdarahan putting susu dan
infeksi payudara lainnya.
c. Lamanya pemberian ASI, makin lama makin besar kemungkinan infeksi.
d. Status gizi ibu yang buruk.

D. Manifestasi Klinis.
Manifestasi klinis yang tampak dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Manifestasi Klinis Mayor
a. Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan.
b. Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus-menerus.
c. Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 3 tiga bulan.
d. TBC.
2. Manifestasi Klinis Minor.
a. Batuk kronis selama lebih dari satu bulan.
b. Infeksi pada mulut dan jamur disebabkan karena jamur Candida Albicans.
c. Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh tubuh.
d. Munculnya Herpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal di seluruh tubuh.
E. Diagnosis.
1. VCT (Voluntary Counseling Testing)
VCT adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak terputus
antara konselor dan kliennya untuk mencegah penularan HIV, memberikan dukungan
moral, informasi, serta dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga , dan
lingkungannya. Tujuan VCT.
a. Upaya pencegahan HIV/AIDS.
b. Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi/pengetahuan
mereka tentang faktor-faktor resiko penyebab seseorang terinfeksi HIV
c. Upaya pengembangan perubahan perilaku, sehingga secara dini mengarahkan
mereka menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk akses terapi
antiretroviral, serta membantu mengurangi stigma dalam masyarakat
2. Pemerikasaan Laboratorium.
a. Tes serologis: tes antibodi serum terdiri dari skrining HIV dan ELISA;
tes blot western untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap beberapa protein
spesifik HIV ; penurunan sel T limfosit; jumlah sel T4 helper; jumlah sel T8
dengan perbandingan 2:1 dengan sel T4; peningkatan nilai kuantitatif P24
(protein pembungkus HIV); peningkatan kadar IgG, Ig M dan Ig A; reaksi rantai
polymerase untuk mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel
perifer monoseluler; serta tes PHS (pembungkus hepatitis B dan antibodi,sifilis,
CMV mungkin positif).
b. Pemeriksaan histologis, sitologis urin ,darah, feces, cairan spina, luka, sputum,
dan sekresi.
c. Tes neurologis: EEG, MRI, CT Scan otak, EMG.
d. Tes lainnya: sinar X dada menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari
PCV tahap lanjut atau adanya komplikasi lain; tes fungsi pulmonal untuk
deteksi awal pneumonia interstisial; Scan gallium; biopsy; branskokopi.
3. Tes Antibodi.
a. Tes ELISA, untuk menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah
terinfeksi HIV.
b. Western blot asay/ Indirect Fluorescent Antibody (IFA), untuk mengenali
antibodi HIV dan memastikan seropositifitas HIV.
c. Indirect immunoflouresence, sebagai pengganti pemerikasaan western blot
untuk memastikan seropositifitas.
d. Radio immuno precipitation assay, mendeteksi protein pada antibodi.
e.
4. Pendeteksian HIV.
Dilakukan dengan pemeriksaan P24 antigen capture assay dengan kadar yang sangat
rendah. Bisa juga dengan pemerikasaan kultur HIV atau kultur plasma kuantitatif
untuk mengevaluasi efek anti virus, dan pemeriksaan viremia plasma untuk mengukur
beban virus (viral burden).
F. Penatalaksanaan.
HIV menyebabkan terjadinya penurunan kekebalan tubuh sehingga pasien rentan
terhadap serangan infeksi oportunistik. ARV bisa diberikan pada pasien untuk
menghentikan aktivitas virus, memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya
infeksi oportunistik, memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang usia harapan hidup
penderita HIV/AIDS. Obat ARV terdiri atas beberapa golongan seperti nucleoside
reversetranscriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitor, dan inhibitor protease.
G. Pencegahan.
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui tiga cara, dan
bisa dilakukan mulai saat masa kehamilan, saat persalinan, dan setelah persalinan. Cara
tersebut yaitu:
1. Penggunaan obat Antiretroviral selama kehamilan, saat persalinan dan untuk bayi yang
baru dilahirkan. Pemberian antiretroviral bertujuan agar viral load menjadi lebih rendah
sehingga jumlah virus yang ada dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk
menularkan HIV. Resiko penularan akan sangat rendah (1-2%) apabila terapi ARV ini
dipakai. Namun jika ibu tidak memakai ARV sebelum dia mulai sakit melahirkan, ada
dua cara yang dapat mengurangi separuh penularan ini. AZT dan 3TC dipakai selama
waktu persalinan, dan untuk ibu dan bayi selama satu minggu setelah lahir. Satu tablet
nevirapine pada waktu mulai sakit melahirkan, kemudian satu tablet lagi diberi pada bayi
2–3 hari setelah lahir. Menggabungkan nevirapine dan AZT selama persalinan
mengurangi penularan menjadi hanya 2 persen. Namun, resistansi terhadap nevirapine
dapat muncul pada hingga 20 persen perempuan yang memakai satu tablet waktu hamil.
Hal ini mengurangi keberhasilan ART yang dipakai kemudian oleh ibu. Resistansi ini
juga dapat disebarkan pada bayi waktu menyusui. Walaupun begitu, terapi jangka
pendek ini lebih terjangkau di negara berkembang.
2. Penanganan obstetrik selama persalinan. Persalinan sebaiknya dipilih dengan
menggunakan metode Sectio caesaria karena metode ini terbukti mengurangi resiko
penularan HIV dari ibu ke bayi sampai 80%. Apabila pembedahan ini disertai dengan
penggunaan terapi antiretroviral, maka resiko dapat diturunkan sampai 87%. Walaupun
demikian, pembedahan ini juga mempunyai resiko karena kondisi imunitas ibu yang
rendah yang bisa memperlambat penyembuhan luka. Oleh karena itu, persalinan per
vagina atau sectio caesaria harus dipertimbangkan sesuai kondisi gizi, keuangan, dan
faktor lain.
3. Penatalaksanaan selama menyusui. Pemberian susu formula sebagai pengganti ASI
sangat dianjurkan untuk bayi dengan ibu yang positif HIV. Karena sesuai dengan hasil
penelitian, didapatkan bahwa ± 14 % bayi terinfeksi HIV melalui ASI yang terinfeksi.
INFEKSI SALURAN KEMIH(ISK)

A. Definisi

Pielonefritis adalah penyakit yang sebenarnya merupakan bagian dari Infeksi Saluran
Kemi, namun lebih dikenal dengan Infeksi Saluran Kemih (ISK), ISK merupakan infeksi
bakteri pada piala ginjal, tunulus, dan jaringan interstinal dari salah satu atau kedua gunjal
(Brunner & Suddarth, 2002)

Infeksi Saluran Kemih adalah keadaan ditemukannya mikrorganisme di dalam urin


dalam jumlah tertentu. Dalam keadaan normal, urin juga mengandung mikroorganisme,
umumnya sekitar 102 bakteri/ml urin. Pasien didiagnosis infeksi saluran kemih bila urinnya
mengandung lebih dari 105 bakteri/ml (Coyle dan Prince., 2005)

- Klasifikasi Infeksi Saluran Kemih

Dari segi anatomi infeksi saluran kemih dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam yaitu

(Coyle dan Prince, 2005)

1. infeksi saluran kemih bagian atas


Infeksi saluran kemih bagian atas terdiri dari pielonefritis yaitu infeksi yang
melibatkan ginjal. Pada infeksi saluran kemih bagian atas ini diklasifikasikan lagi
berdasarkan waktu terserangnya, yaitu :
a. Pyelonefritis akut
Pyelonefritis akut biasanya singkat dan sering terjadi infeksi berulang
karena terapi tidak sempurna atau infeksi baru. 20% dari infeksi yang
berulang terjadi setelah dua minggu setelah terapi selesai.Infeksi bakteri
dari saluran kemih bagian bawah ke arah ginjal, hal ini akan mempengaruhi
fungsi ginjal.
Ginjal biasanya membesar disertai infiltrasi interstisial sel-sel
inflamasi. Abses dapat dijumpai pada kapsul ginjal dan pada taut
kortikomedularis. Pada akhirnya, atrofi dan kerusakan tubulus serta
glomerulus terjadi.Kronis. Pielonefritis kronis juga berasal dari adanya
bakteri, tetapi dapat juga karena faktor lain seperti obstruksi saluran kemih
dan refluk urin.
b. Pyelonefritis kronis
Pyelonefritis kronis dapat merusak jaringan ginjal secara permanen
akibat inflamasi yang berulangkali dan timbulnya parut dan dapat
menyebabkan terjadinya renal failure (gagal ginjal) yang kronis. Ginjal pun
membentuk jaringan parut progresif, berkontraksi dan tidak berfungsi.
Proses perkembangan kegagalan ginjal kronis dari infeksi ginjal yang
berulang-ulang berlangsung beberapa tahun atau setelah infeksi yang
gawat.Pembagian PielonefritisPielonefritis akutSering ditemukan pada
wanita hamil, biasanya diawali dengan hidro ureter dan hidronefrosis akibat
obstruksi ureter karena uterus yang membesar

2. infeksi saluran kemih bagian bawah


Infeksi saluran kemih bagian bawah terdiri dari sistitis (kandung kemih),
uretritis (uretra), serta prostatitis (kelenjar prostat). Presentasi klinis ISK bawah
tergantung dari gender. Pada perempuan, terdapat dua jenis ISK bawah pada
perempuan yaitu sistitis dan sindrom uretra akut. Sistitis adalah presentasi klinis
infeksi kandung kemih disertai bakteriuria bermakna. Sindrom Uretra Akut
(SUA) adalah presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan mikroorganisme (steril),
sering dinamakan sistitis bakterialis. Penelitian terkini SUA disebabkan
mikroorganisme anaerob. Pada pria, presentasi klinis ISK bawah mungkin sistitis,
prostatitis, epidimidis, dan uretritis

Dari segi iklinik infeksi saluran kemih dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam yaitu :

1. Infeksi saluran kemih tanpa komplikasi (simple/ uncomplicated urinary tract


infection), yaitu bila infeksi saluran kemih tanpa faktor penyulit dan tidak
didapatkan gangguan struktur maupun fungsi saluran kemih.
2. Infeksi saluran kemih terkomplikasi (complicated urinary tract infection), yaitu
bila terdapat hal – hal tertentu sebagai infeksi saluran kemih dan kelainan struktur
maupun fungsional yang merubah aliran urin seperti obstruksi aliran urin ; batu
saluran kemih, kista ginjal, tumor ginjal, abses ginjal, residu urin dalam
kandungan kemih
(Suwitra dan Mangatas, 2004).
B. Epidemiologi

Infeksi saluran kemih pada masa neonatus bermanifestasi setelah 72 jam kehidupan.
Insidensinya berkisar antara 0,1 sampai 1% pada semua neonatus. Lebih sering pada anak
lelaki dan neonatus preterm dan dapat meningkat menjadi 10% pada bayi berat badan lahir
rendah. Pada usia 1 sampai 5 tahun prevalensinya meningkat antara pria dan wanita masing-
masing sekitar 4,5% dan 0,5% dan sekitar 8% wanita pernah mendapat infeksi saluran kemih
pada masa kanak-kanaknya. Pada masa remaja, prevalensi infeksi saluran kemih meningkat
secara dramatis dari 1% sebelum puber hingga menjadi 4% pada masa setelah puber.
Kenaikan ini pada umumnya dihubungkan dengan perilaku seksual, dimana pada usia
pertumbuhan sebagian remaja sudah mulai melakukan aktivitas seksual.

Selama periode usia beberapa bulan dan lebih dari 65 tahun, perempuan cenderung
menderita ISK disbanding laki-laki. ISK berulang pada laki-laki jarang dilaporkan, kecuali
disertai faktor predisposisi (pencetus). Prevalensi bakteriuri asimtomatik lebih sering
ditemukan pada perempuan. Prevalensi selama periode sekolah 1% meningkat menjadi 5%
selama periode aktif secara seksual. Prevalensi infeksi asimtomatik meningkat mencapai
30%, baik laki-laki maupun perempuan bila disertai faktor pencetus

C. Etiologi

a. Escherichia coli menyebabkan 75% ISK tanpa komplikasi dan bakteri ini juga sering
ditemukan pada ISK dengan komplikasi.
b. Proteus yaitu suatu batang Gram negatif yang menyebabkan urin basa dan
memudahkan pembentukan batu struvit.
c. Klebsiella sering menyebabkan ISK tanpa komplikasi yang didapatkan dari
komunitas.
d. Enterococcus penyebab terbanyak ISK akibat bakteri Gram positif, sering
disebabkan oleh terapi dengan antibiotika sebelumnya, pemasangan instrumen
urologis, atau uropati obstruktif.
e. Pseudomonas sering disebabkan oleh uropati obstruktif.
f. Staphylococcus (pada pasien yang menderita diabetes) mungkin mengindikasikan
adanya abses intrarenal atau “tumpahan” dari bakteremia alih-alih ISK yang
sebenarnya

(Saputra., 2010)
D. Patofisiologi
Etiologi Pielonefritis multifaktorial dan secara jelas menunjukkan tidak seimbangnya
antara pejamu dan patogen. Penyebaran bakteri secara hematogen pada saluran kemih
mungkin dapat muncul meskipun sangat jarang. Kebanyakan pielonefritis berasal dari
kandung kencing kemudian asenden sehingga menyebabkan pielonefritis.
Ketika bakteri masuk kedalam parenkim ginjal dengan tekanan yang sangat tinggi,
daerah fokal infeksi dan inflamasi semakin berkembang dan beberapa tahap kompleks
inflamasi bertingkat terbentuk. Bila proses ini tidak dicegah dengan pengobatan, hal ini dapat
menyebabkan kerusakan ginjal berat atau jaringan parut. Lebih lanjut, bila infeksi berulang
terus menerus tanpa terapi yang adekuat, hasil jangka panjang adanya jaringan parut ginjal
yang signifikan, yang lebih ekstrim lagi menyebabkan refluk nephropahy, yang menyebabkan
end stage renal disease.
Pada saluran kemih yang sehat, naiknya infeksi ini biasanya bisa dicegah oleh aliran
air kemih yang akan membersihkan organisme dan oleh penutupan ureter di tempat
masuknya ke kandung kemih. Berbagai penyumbatan fisik pada aliran air kemih (misalnya
batu ginjal atau pembesaran prostat) atau arus balik air kemih dari kandung kemih ke dalam
ureter, akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi ginjal. Infeksi juga bisa dibawa ke
ginjal dari bagian tubuh lainnya melalui aliran darah
Pada infeksi saluran kemih, bakteri telah mencapai kandung kencing dan atau ginjal
yang menyebabkan respon lokal pejamu. Diperkirakan infeksi bakteri meningkatkan respon
sitokin Interleukin-6 lainnya yang diperantarai mediator pejamu. Berdasarkan penelitian di
Denver tahun 2010, IL -6 urin meningkat dalam 6 jam pertama setelah terjadinya proses
infeksi dengan tingkat sensitifitas 88%, 22 sedangkan dari hasil penelitian di swedia tahun
1997, menyatakan adanya peningkatan IL-6 di urin pada 24 jam pertama proses infeksi dan
tetap meningkat setelah 6 jam dimulainya terapi serta IL-6 serum meningkat lebih lama pada
pasien bakterinemia.
Secara ringkas dapat dilihat pada gambar 3 yang menerangkan patofisiologi
pielonefritis yang disebabkan oleh Escherichia coli sebagai berikut ini
E.Tanda dan gejala
Gejala klinis infeksi saluran kemih tidak khas dan bahkan pada sebagian pasien tanpa
gejala. Gejala klinis infeksi saluran kemih sesuai dengan bagian saluran kemih yang
terinfeksi sebagai berikut: (Tessy dkk, 2004).
1. Pasien infeksi saluran kemih bagian bawah, keluhan pasien biasanya berupa rasa sakit
atau rasa panas di uretra sewaktu kencing dengan air kemih sedikitsedikit serta rasa tidak
enak di daerah suprapubik.
2. Pasien infeksi saluran kemih bagian atas dapat ditemukan gejala sakit kepala, malaise,
mual, muntah, demam, menggigil, rasa tidak enak, atau nyeri di pinggang.

Selain itu, secara umum gejala dan tanda sebagai berikut :


a. Gejala biasanya timbul secara tiba-tiba berupa demam, menggigil, nyeri di
punggung bagian bawah, mual dan muntah.
b. Beberapa penderita menunjukkan gejala infeksi saluran kemih bagian bawah,
yaitu sering berkemih dan nyeri ketika berkemih.
c. Bisa terjadi pembesaran salah satu atau kedua ginjal. Kadang otot perut
berkontraksi kuat.
d. Bisa terjadi kolik renalis, dimana penderita merasakan nyeri hebat yang
disebabkan oleh kejang ureter. Kejang bisa terjadi karena adanya iritasi akibat
infeksi atau karena lewatnya batu ginjal.
e. Pada anak-anak, gejala infeksi ginjal seringkali sangat ringan dan lebih sulit untuk
dikenali.
f. Pada infeksi menahun (pielonefritis kronis), nyerinya bersifat samar dan demam
hilang-timbul atau tidak ditemukan demam sama sekali.

F. Diagnosa

Diagnosis pada infeksi saluran kemih dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Urinalisis
a. Leukosuria atau piuria: merupakan salah satu petunjuk penting adanya ISK.
Leukosuria positif bila terdapat lebih dari 5 leukosit/lapang pandang besar
(LPB) sediment air kemih
b. Hematuria: hematuria positif bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment air
kemih. Hematuria disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa
kerusakan glomerulus ataupun urolitiasis.

2. Bakteriologis
a. Mikroskopis : satu bakteri lapangan pandang minyak emersi. 102 -103
organisme koliform / mL urin plus piuria
b. Biakan bakteri
c. Tes kimiawi : tes reduksi griess nitrate berupa perubahan warna pada uji carik

3. Kultur urine untuk mengidentifikasi adanya organisme spesifik

4. Hitung koloni: hitung koloni sekitar 100.000 koloni per milliliter urin dari urin
tampung aliran tengah atau dari specimen dalam kateter dianggap sebagai criteria
utama adanya infeksi.
5. Metode tes
a. Tes dipstick multistrip untuk WBC (tes esterase lekosit) dan nitrit (tes Griess
untuk pengurangan nitrat).
b. Tes esterase lekosit positif: maka pasien mengalami piuria.
c. Tes pengurangan nitrat, Griess positif jika terdapat bakteri yang mengurangi
nitrat urin normal menjadi nitrit. Praktis semua gram negatif dapat mereduksi
nitrat menjadi nitrit, yang tampil sebagai perubahan warna tertentu pada strip.
Kuman-kuman grampositif tidak terdeteksi.
d. Penyakit Menular Seksual (PMS):Uretritia akut akibat organisme menular secara
seksual (misal, klamidia trakomatis, neisseria gonorrhoeae, herpes simplek).

6. Tes- tes tambahan :


a. Urogram intravena (IVU).
b. Pielografi (IVP), msistografi, dan ultrasonografi juga dapat dilakukan untuk
menentukan apakah infeksi akibat dari abnormalitas traktus urinarius, adanya
batu, massa renal atau abses, hodronerosis atau hiperplasie prostate.
c. Urogram IV atau evaluasi ultrasonic, sistoskopi dan prosedur urodinamik dapat
dilakukan untuk
d. Mengidentifikasi penyebab kambuhnya infeksi yang resisten.

7. Tes ABC (Antibody Coated Bacteria) adalah cara imunologi guna menentukan infeksi
saluran kemih yang letaknya lebih tinggi. Dalam hal ini tubuli secara lokal
membentuk antibodies terhadap kuman, yang bereaksi dengan antigen yang berada di
dinding kuman. Kompleks yang terbentuk dapat diperlihatkan dengan cara
imunofluoresensi
(Tjay dan Rahardja, 2007).

G. Penatalaksanaan

Tujuan dan pengobatan infeksi saluran kemih adalah untuk menurunkan morbiditas
berupa simptom, pengangkatan bakteri penyebab, mencegah agar tidak terjadi rekurensi
dan kerusakan struktur orga n saluran kemih (Junizaf, et al., 1994)

Berikut adalah beberapa agen antimikroba yang biasa digunakan untuk pengobatan
infeksi saluran kemih :
1) Kotrimoksazol (Trimetropim-Sulfametoksazol)
Trimetropim dan sulfametoksazol menghambat reaksi enzimatik obligat pada
dua tahap yang berurutan pada mikroba sehingga kombinasi kedua obat memberikan
efek sinergi. Kombinasi ini lebih dikenal dengan nama kotrimoxazol yang sangat
berguna untuk pengobatan infeksi saluran kemih. Trimetoprim pada umumnya 20-
100 kali lebih poten daripada sulfametoksazol sehingga sediaan kombinasi
diformulasikan untuk mendapatkan sulfametoksazol in vivo 20 kali lebih besar
daripada trimetoprim (Departemen Farmakologi dan Terapeutik., 2007).
2) Fluoroquinolon
Fluoroquinolon efektif untuk infeksi saluran kemih dengan atau tanpa
penyulit termasuk yang disebabkan oleh kuman-kuman yang multiresisten dan P.
aeruginosa (Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2007). Fluoroquinolon
merupakan agen yang efektif untuk infeksi saluran kemih walaupun infeksiinfeksi
itu disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap banyak obat seperti pseudomonas
(Katzung., 2004).
Ciprofloxacin, levofloxacin, norfloxacin dan ofloxacin merupakan kelompok
fluoroquinolon lama yang mempunyai daya antibakteri jauh lebih kuat dibandingkan
kelompok quinolon lama. Kelompok fluoroquinolon lama ini mempunyai daya
antibakteri yang sangat kuat terhadap E. coli, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, H.
influenzae. Providencia, Serratia, Salmonella, N. meningitidis, N. gonorrhoeae, B.
catarrhalis dan Yersinia enterocolitica (Departemen Farmakologi dan Terapeutik.,
2007).
3) Ciprofloxacin
Ciprofloxacin aktif terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif.
Ciprofloxacin terutama aktif terhadap kuman Gram negatif termasuk Salmonella,
Shigella, Campilobakter, Neisseria, dan Pseudomonas. Penggunaan ciprofloxacin
termasuk untuk infeksi saluran napas, saluran kemih, sistem pencernaan, dan gonore
serta septikemia oleh organisme yang sensitif (BPOM., 2008).

4) Ofloxacin
Ofloxacin digunakan untuk infeksi saluran kemih, saluran nafas bagian bawah,
gonoroe, uretritis, dan serfisitis non gonokokkus (BPOM., 2008).
5) Levofloxacin
Levofloxacin aktif terhadap organisme Gram positif dan Gram negatif.
Memiliki aktifitas yang lebih besar terhadap Pneumokokkus dibandingkan
ciprofloxacin (BPOM., 2008).
6) Norfloxacin
Nofloxacin adalah kelompok fluoroquinolon yang paling tidak efektif terhadap
organisme Gram negatif maupun Gram positif dengan MIC yang empat kali sampai
delapan kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang dimiliki oleh ciprofloxacin yang
merupakan prototipe obat tersebut (Katzung., 2004).
7) Sefalosporin
Spektrum kerja sefalosporin luas dan meliputi banyak kuman Gram positif dan
Gram negatif termasuk E. coli, Klebsiella, dan Proteus. Berkhasiat bakterisid dalam
fase pertumbuhan kuman berdasarkan penghambat sintesa peptidoglikan yang
diperlukan kuman untuk ketangguhan dindingnya. Kepekaannya terhadap beta-
laktamase lebih rendah daripada penisilin (Tjay dan Rahardja.,2007).
Sefalosporin dibagi menjadi 4 generasi berdasarkan aktifitas antimikrobanya.
Sefalosporin aktif terhadap kuman Gram positif maupun Gram negatif tetapi
spektrum antimikroba masing-masing derivat bervariasi. Sefalosporin generasi
ketiga dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan aminoglikosida merupakan obat
pilihan utama untuk infeksi berat oleh Klebsiella, Enterobacter, Proteus,
Provedencia, Serratia dan Haemophillus spesies (Departemen Farmakologi dan
Terapeutik., 2007).
8) Aminoglikosida
Aminoglikosida merupakan antibiotik dengan spektrum luas tetapi tidak boleh
digunakan pada setiap jenis infeksi oleh kuman yang sensitif karena resistensi
terhadap aminoglikosida relatif cepat berkembang, toksisitasnya relatif tinggi, dan
tersedianya berbagai antibiotik lain yang cukup efektif dan toksisitasnya lebih
rendah. Gentamisin yang sudah cukup luas digunakan dibeberapa tempat sudah
menunjukkan resistensi yang cukup tinggi (Departemen Farmakologi dan
Terapeutik., 2007).

Penggunaan antibiotik untuk pengobatan infeksi saluran kemih pada pasien dewasa
menurut Guidelines on Urological Infections tahun 2010 dan Obstetrics, Gynaecology,
Paediatrics and Dental Drug Guidelines tahun 2007 dapat dilihat pada table.
COVID 19

A.Definisi
Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak
bersegmen. Coronavirus tergolong ordo Nidovirales, keluarga Coronaviridae.
Coronaviridae dibagi dua subkeluarga dibedakan berdasarkan serotipe dan karakteristik
genom. Terdapat empat genus yaitu alpha coronavirus, betacoronavirus, deltacoronavirus
dan gamma coronavirus (Burhan, et.al, 2020).
Virus COVID-19 merupakan indikasi dari transmisi virus SARS & MERS. Virus ini
membuat penderita nya terinfeksi beberapa penyakitt sebagai gejalanya. Virus ini dapat
dengan mudah menular kedalam sebuah populasi dan jumlah yang terinfeksi cenderung
meningkat (Ying, et.al, 2020).
1.1 Karakteristik
Coronavirus memiliki kapsul, partikel berbentuk bulat atau elips, sering
pleimorfik dengan diameter sekitar 50-200m.5 Semua virus ordo Nidovirales
memiliki kapsul, tidak bersegmen, dan virus positif RNA serta memiliki genom RNA
sangat panjang.12 Struktur coronavirus membentuk struktur seperti kubus dengan
protein S berlokasi di permukaan virus. Protein S atau spike protein merupakan salah
satu protein antigen utama virus dan merupakan struktur utama untuk penulisan gen.
Protein S ini berperan dalam penempelan dan masuknya virus kedalam sel host
(interaksi protein S dengan reseptornya di sel inang).

B. Penularan COVID-19
Coronavirus terutama menginfeksi dewasa atau anak usia lebih tua, dengan gejala
klinis ringan seperti common cold dan faringitis sampai berat seperti SARS atau MERS
serta beberapa strain menyebabkan diare pada dewasa. Infeksi Coronavirus biasanya
sering terjadi pada musim dingin dan semi. Hal tersebut terkait dengan faktor iklim dan
pergerakan atau perpindahan populasi yang cenderung banyak perjalanan atau
perpindahan. Selain itu, terkait dengan karakteristik Coronavirus yang lebih menyukai
suhu dingin dan kelembaban tidak terlalu tinggi.
Di Indonesia, khususnya di Provinsi Riau pasien yang terinfeksi COVID-19
berjumlah 12 orang. Jumlah tersebut terbilang banyak jika kita perhitungkan awal mula
COVID-19 menginfeksi pasien pertama di Provinsi Riau.
Tabel 1. Data sebaran COVID-19 di Provinsi Riau, 8 April 2020 (Corona Riau.go.id) :
No Kabupaten ODP PDP Positif
1 Pekanbaru 1.691 43 5
2 Dumai 490 14 1
3 Bengkalis 2.246 7 1
4 Siak 1.214 4 0
5 Meranti 2.629 0 0
6 Pelalawan 600 10 2
7 Indragiri Hilir 3.119 2 0
8 Indragiri Hulu 101 0 0
9 Kuantan Singingi 1.347 1 0
10 Kampar 2.338 10 2
11 Rokan Hulu 1.834 5 1
12 Rokan Hilir 1.487 2 0
Total 19.096 98 12
Keterangan :
PDP = Pasien dalam pantauan
ODP = Orang dalam pantauan
Berdasarkan data sebaran COVID-19 di Riau dapat dilihat bahwa sebaran
pasien yang terinfeksi COVID-19 semakin melonjak jumlah nya dari hari ke hari.
Sebaran pasian COVID-19 pun beragam mulai dari anak-anak, remaja hingga orang
dewasa. Namun, yang lebih mendominasi adalah pasien golongan orang tua yang
memiliki riwayat penyakit khusus yang lebih rentan terinfeksi COVID-19.
Kenaikan jumlah pasien COVID-19 pun semakin melonjak semenjak WNI
asal Negara Malaysia dipulang kan usai negara tersebut menerapkan kebijakan
lockdown. WNI asal Malaysia di pulang kan melalui Kabupaten Bengkalis dan
Meranti. WNI yang baru pulang dari negara jiran pun diharuskan mengisolasi diri
secara mandiri selama 14 hari untuk memantau penularan COVID-19.

C. Upaya Pencegahan Penyebaran COVID-19


Cara penyebaran beberapa virus atau patogen dapat melalui kontak dekat, lingkungan
atau benda yang terkontaminasi virus, droplet saluran napas, dan partikel airborne. Droplet
merupakan partikel berisi air dengan diameter >5um. Droplet dapat melewati sampai jarak
tertentu (biasanya 1 meter) ke permukaan mukosa yang rentan. Partikel droplet cukup besar
sehingga tidak akan bertahan atau mengendap di udara dalam waktu yang lama. Produksi
droplet dari saluran napas diantaranya batuk, bersin atau berbicara serta tindakan invasif
prosedur respirasi seperti aspirasi sputum atau bronkoskopi, insersi tuba trakea. Partikel
airborne merupakan partikel dengan diameter yang kurang dari 5um yang dapat menyebar
dalam jarak jauh dan masih infeksius. Patogen airborne dapat menyebar melalui kontak.
Kontak langsung merupakan transmisi pathogen secara langsung dengan kulit atau membran
mukosa, darah atau cairan darah yang masuk ke tubuh melalui membrane mukosa atau kulit
yang rusak. Oleh karena itu, kita dapat melakukan pencegahan transmisi virus.
Saat ini masih belum ada vaksin untuk mencegah infeksi COVID19.26 Cara terbaik
untuk mencegah infeksi adalah dengan menghidari terpapar virus penyebab. Lakukan
tindakan-tindakan pencegahan penularan dalam praktik kehidupan sehari-hari. Beberapa
upaya pencegahan yang dapat dilakukan pada masyarakat :
 Cuci tangan anda dengan sabun dan air sedikitnya selama 20 detik. Gunakan hand
sanitizer berbasis alkohol yang setidaknya mengandung alcohol 60 %, jika air dan sabun
tidak tersedia.
 Hindari menyentuh mata, hidung dan mulut dengan tangan yang belum dicuci.
 Sebisa mungkin hidari kontak dengan orang yang sedang sakit.
 Saat anda sakit gunakan masker medis. Tetap tinggal di rumah saat anda sakit atau
segera ke fasilitas kesehatan yang sesuai, jangan banyak beraktifitas di luar.
 Tutupi mulut dan hidung anda saat batuk atau bersin dengan tissue. Buang tissue pada
tempat yang telah ditentukan.
 Bersihkan dan lakukan disinfeksi secara rutin permukaan dan benda yang sering
disentuh. (Burhan, et.al, 2020)
D. Gejala yang Ditimbulkan COVID-19
Infeksi COVID-19 dapat menimbulkan gejala ringan, sedang atau berat. Gejala klinis
utama yang muncul yaitu demam (suhu >380C), batuk dan kesulitan bernapas. Selain itu
dapat disertai dengan sesak memberat, fatigue, mialgia, gejala gastrointestinal seperti diare
dan gejala saluran napas lain. Setengah dari pasien timbul sesak dalam satu minggu. Pada
kasus berat perburukan secara cepat dan progresif, seperti ARDS, syok septik, asidosis
metabolik yang sulit dikoreksi dan perdarahan atau disfungsi sistem koagulasi dalam
beberapa hari. Pada beberapa pasien, gejala yang muncul ringan, bahkan tidak disertai
dengan demam. Kebanyakan pasien memiliki prognosis baik, dengan sebagian kecil dalam
kondisi kritis bahkan meninggal. Berikut sindrom klinis yang dapat muncul jika terinfeksi
(Burhan,et.al, 2020).
Sama hal nya dengan yang terjadi di Wuha, China pasien yang dinyatakan positif
COVID-19 mengalami demam dan sakit tenggorokan. Namun, gejala-gejalanya membaik
selama beberapa hari berikutnya dan memburuk kembali beberapa hari kemudian (Ying,
et.al, 2020). Kebanyakan pasien COVID-19 mengalami kerusakan pada organ target yang dapat
dilihat pada penelitian (Chih-Cheng et.al, 2020).
DAFTAR PUSTAKA

Reeder, S.J., Leonide, LM., Deborah, K.G. 2011. Keperawatan Maternitas Kesehatan
Wanita,Bayi & Keluarga Volume 2. Edisi 18.Jakarta. EGC
Bobak, I.M., Deitra, L.L., Margaret,D.J., Snannon, E.P.2004. Buku Ajar Keperawatan
Maternitas. Edisi 4. Jakarta. EGC
Fakultas Kedokteran Universitas Pedjajaran Bandung. 1984. Obstetri Patologi. Bandung :
Elstar Offset.
Mochtar, Rustam. Prof. DR. 1989. Sypnosis Obstetrik : Obstetrik Patologi. Edisi I. Jakarta :
EGC
Prawiroharjo, Sarwono. 1976. Ilmu Kebidanan. Jakarta : yayasan Bina Pustaka.

BPOM.2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Brunner and Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8 volume 2.
Jakarta : EGC
Coyle, E. A. & Prince, R. A.. 2005. Urinary Tract Infection and Prostatitis, in 7th Edition.
The McGraw Hill Comparies, Inc., USA
Departemen Farmakologi dan Terapeutik. 2007. Farmakologi Dan Terapi, Edisi Kelima.
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI, Jakarta

Hadi, U. 2006.Resistensi Antibiotik, In: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata K,
M. & Setiati, S. (Eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.

Katzung, B.G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerjemah: Agoes, H.A. Edisi ke VI.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Tessy A, Ardayo, Suwanto. 2004. Infeksi saluran kemih. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid 3. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Tjay, T. H., dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek
Sampingnya. Edisi ke VI. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Saputra, L. 2010. Intisari Ilmu Penyakit Dalam. Binarupa Aksara.Tangerang.

Willianti, N.P.2009.Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Infeksi Saluran Kemih


Pada Bangsal Penyakit Dalam di RSUP Dr.Kariadi Semarang Tahun 2008, Laporan
Penelitian. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro Semarang.

Chih-Cheng Lai, Tzu-Ping Shih, Wen-Chien Ko, Hung-Jen Tang & Po-Ren Hsue. 2020.
Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) and coronavirus
disease-2019 (COVID-19): The epidemic and the challenges. International Journal of
Antimicrobial. 5; 1-9.

Erlina Burhan, Fathiyah Isbaniah, dkk. 2020. Pneumonia COVID-19. Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia : Jakarta.

Corona Riau : 8 April 2020. Data Pantauan COVID-19 di Riau. Diakses pada : Rabu, 8 April
2020 : 19.21 WIB.

Tribun News : 22 Maret 2020. Begini awal mula corona masuk Indonesia. Diakses pada :
Rabu, 8 April 2020 : 13.53 WIB.

Presumed Asymptomatic Carrier Transmission of COVID-19. 2020. American Medical


Association. All rights reserved.

World Health Organization. (2020). Coronavirus disease 2019 (COVID-19): situation report,
67.

Ying Liu, Albert A. Gayle, Annelies Wilder-Smith, and Joacim Rocklöv. 2020. The
reproductive number of COVID-19 is higher compared to SARS coronavirus. Journal
of Travel Medicine. 1-4.

Anda mungkin juga menyukai