Anda di halaman 1dari 5

Nama : Edisti Wulan Syafitri

Kelas : XII APHP 4

Sang Patriot dari Bumi Panorama

Kapten Czi. (Anumerta) Pierre Andries Tendean (21 Februari 1939 – 1


Oktober 1965) adalah seorang perwira militer Indonesia yang menjadi salah
satu korban peristiwa Gerakan 30 September pada tahun 1965.

Pierre Tendean lahir di era kolonialisme yang mulai rapuh. Di era


tersebut banyak terjadi akulturasi budaya antara imigran dan pribumi, hal
tersebut terjadi pada orang tua Pierre yaitu Maria Elizabeth Cornet yang
merupakan wanita asal Leiden, Belanda sekaligus keturunan Prancis.
Wanita yang menjadi ibu Pierre Tendean menikah dengan pribumi yaitu seorang dokter spesialis
jiwa berdarah Minahasa Bernama Aurelius Lammert (A.L) Tendean. Dari pernikahan tersebut,
lahirlah sosok bernama lengkap Andries Pierre Tendean. Sehingga dalam diri Pierre Tendean
mengalir darah campuran beberapa ras, antara lain Kaukasian (Prancis) dan juga Minahasa.
Nama lengkap Pierre Tendean diambil dari nama kakek pihak ibu yang berdarah Prancis, Pierre
Albert, sedangkan nama Andries diambil dari nama kakek pihak bapak yang berdarah Minahasa,
serta nama Tendean merupakan nama marga keluarga.

Pierre merupakan satu-satunya anak lelaki dalam keluarga tersebut. Pada saat itu Pierre
kecil bertempat tinggal di Jalan Cornelius Laan Nomor 4, Weltevreden, suatu daerah yang pada
zaman dahulu merupakan tempat tinggal utama orang-orang Eropa di pinggiran Batavia.
Sekarang wilayah tersebut menjadi Jalan Gunung Sahari II, yang berada di Kecamatan Sawah
Besar, Jakarta Pusat.

Pierre Andries Tendean lahir tanggal 21 Februari 1939 di Batavia (kini Jakarta), Hindia Belanda.
Tepatnya pada pukul 08.10 di sebuah rumah sakit rakyat yang Bernama Centrale Burgerlijke
Ziekeninrichting (CBZ). Rumah sakit tersebut didirikan oleh kolonial Belanda, saat ini rumah
sakit tersebut menjadi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) dr. Cipto Mangunkusumo.

Pierre Tendean adalah anak kedua dari tiga bersaudara, kakak dan adiknya masing-masing
bernama Mitze Farre Tendean dan Rooswidiati Tendean. Tendean menempuh sekolah dasar
di Magelang, lalu melanjutkan SMP dan SMA di Semarang tempat ayahnya bertugas. Sejak
kecil, dia sangat ingin menjadi tentara dan masuk Akademi Militer, tetapi orang tuanya
menginginkan dia menjadi seorang dokter seperti ayahnya atau seorang insinyur. Pierre
kemudian bergabung dengan Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung pada
tahun 1958. Sewaktu menjadi taruna, Pierre pernah ikut tugas praktik lapangan dalam operasi
militer penumpasan pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di
Sumatera.
Setelah lulus dari akademi militer pada tahun 1961 dengan pangkat letnan dua, Pierre
menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan. Saat ia
tidak dinas, ia diajak oleh kawannya bermain ke rumah Chaimin, salah satu tokoh terpandang di
sana. Kunjungan Pierre menjadi berkesan ketika berjumpa dengan putri dari Chaimin yaitu
Rukmini. Pierre dikenal cuek meskipun banyak digandrungi gadis-gadis semasa menjadi taruna.
Namun ia begitu tertarik kepada Rukmini.

Ketertarikan Pierre tak lain adalah sikap Rukmini yang lemah lembut, pemalu, dan tutur
katanya yang sopan. Sebaliknya, Rukmini jatuh hati kepada Pierre bukan semata karena
ketampanannya, tapi sikap humoris dan kecerdasannya. Dari hari ke hari pergaulan mereka
semakin dekat hingga berlanjut ke jenjang yang lebih serius.

Keseriusan Pierre untuk menikahi Rukmini tidak main-main. Untuk menambah biaya
pernikahan, ia rela setiap malam mengambil kerja sampingan sebagai sopir traktor meratakan
tanah pembangunan proyek Monumen Nasional (Monas). Lebih dari itu, ia juga aktif mencari
informasi rumah kontrakan di sekitar kawasan Menteng, Jakarta, untuk nantinya ia tempati
bersama Rukmini, jika sudah menikah kelak.

Kisah cinta Pierre dan Rukmini sempat terhalang restu orangtua masing-masing karena
perbedaan agama. Bahkan kebersamaan sepasang kekasih itu juga harus terpisah lantaran Pierre
mendapat panggilan sekolah intelijen, untuk ditugaskan ke operasi Dwikora.

(Rukmini Chaimin Pierre Tendean)

Setelahnya, Pierre mengikuti pendidikan di sekolah intelijen di Bogor. Setelah tamat dari
sana, ia ditugaskan di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) untuk menjadi mata-mata
ke Malaysia sehubungan dengan konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia, ia bertugas
memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah untuk menyusup ke Malaysia.

Keinginan untuk menarik Pierre kembali ke Jakarta sebenarnya juga merupakan


keinginan keluarganya, terutama ibundanya, Maria Elizabeth Tendean. Bertugas sebagai intelijen
negara tentunya membuat Pierre semakin sering tinggal berjauhan dari keluarganya di Semarang
dan sering kali tidak terdengar berita tentang keberadaannya. Selama Pierre ditugaskan berkali-
kali menyusup ke Semenanjung Malaya dalam rangka mendukung Operasi Dwikora misalnya,
tidak ada anggota keluarga yang tahu sedikit pun aktivitas Pierre dalam misi-misi rahasianya.

Insting seorang ibu berulang kali rnengusiknya, anak lelaki satu-satunya tengah
mempertaruhkan nyawanya di negeri orang. Perasaan ini menimbulkan kecemasan terus-
menerus. Maria Elizabeth Tendean adalah ibu yang sangat mencintai anak-anaknya, dan selalu
memikirkan anaknya bertugas di mana bagaimana kondisinya, apalagi Pierre tidak rutin
berkomunikasi dengan keluarga jika sedang bertugas.

Suatu ketika, ibunda Pierre yang masih memiliki hubungan keluarga/kerabat dengan istri
Jenderal Nasution, yaitu Johanna Sunarti Nasution (Ibu Nas), mengutarakan akan nasib sang
putra kepada Ibu Nas. Di mata Jenderal Nasution, yang kala itu sudah menjabat sebagai Menteri
Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/
Kasab), Pierre bukanlah sosok asing. Dia sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka.

Pucuk dicinta ulam tiba. Posisi ajudan Menko Hankam/Kasab saat itu memang tengah
kosong setelah Kapten Gustav Adolf Manullang gugur dalam sebuah operasi di Kongo. Jenderal
Nasution kekurangan staf adnlinistrasi yang dapat membantu urusan dinas sehari-hari, tetapi juga
sekaligus dapat dipercayainya di era panasnya politik Tanah Air ketika itu. Pada masa itu sudah
sangat sulit membedakan siapa kawan dan siapa lawan bagi Jenderal Nasution. Memasuki tahun
1965, suhu politik nasional memang sedang mengalami ekskalasi yang masuk dalam kategori
membahayakan bagi diri Nasution.

Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat itu sedang berada di atas angin karena
mendapat dukungan penuh dari Presiden Soekarno, terlebih setelah kabinet Nasakom
(Nasionalisme, Agama, dan Komunis) terwujud, yang ditandai dengan masuknya beberapa
anggota berpaham kiri dalam kabinet, seperti Soebandrio dan Njoto, sehingga membuat Nasution
dianggap sebagai lawan utama PKI dalam menjalankan program-programnya. Bahkan, dalam
peristiwa Pembakaran Kedubes Inggris pada 18 September 1963, rumah Pak Nas yang hanya
berjarak lima kilometer dari Kedubes Inggris juga ikut dikepung oleh pengunjuk rasa.

Dalam tubuh TNI AD saat itu juga tidak terlepas dari pertarungan ideologi, dan terdapat
perbedaan-perbedaan pandangan di antara para perwira tinggi. Isu yang sering diangkat adalah
menyingkapi kebijakan-kebijakan pemerintah dan terutama pada gaya hidup seputar lingkungan
istana. Belum lagi telah terjadi pembinaan secara ideologis oleh PKI kepada para perwira militer
dan prajurit TNI.

Pierre dirasa Nasution tidak akan pernah mengkhianatinya sebab mengingat eratnya
hubungan kekeluargaan di antara mereka selama ini. Hal itu ditambah pula dengan reputasinya
yang sangat baik selama menyelesaikan pendidikan keperwiraan dan mengemban setiap tugas
yang dipikulkan kepadanya. Jenderal Nasution sangat terkesan dan respek pada prestasi Pierre di
Malaysia.

Tidak hanya Jenderal Nasution yang menunjukkan ketertarikan untuk menarik Pierre
sebagai ajudan, Mayjen Dandi Kadarsan, Direktur Zeni di tahun itu, dan Mayjen Hartawan,
mantan Direktur Zeni sebelumnya, juga terang-terangan menginginkan Pierre. Pinangan dari tiga
perwira tinggi ini tentu sesuai dengan keinginan Ibu Tendean yang mengharapkan Pierre bekerja
pada unit yang penempatannya jelas di mana dan bisa dihubungi kapan saja, dalam arti tidak
tergabung pada misi-misi yang berbahaya.
Melalui Ibu Nas, keinginan Jenderal Nasution untuk menjadikan Pierre sebagai
ajudannya kemudian disampaikan kepada kedua orang tua Pierre. Penyampaian keinginan ini
bukan tanpa alasan karena awalnya Pierre menolak ditarik ke Jakarta untuk menjadi ajudan,
meski sebenarnya sebagai seorang prajurit, Pierre tahu dia tidak akan bisa menolak perintah.

Bujukan Maria Elizabeth Tendean awalnya belum berhasil melunakkan hati sang perwira
muda. Namun, karena Mitzi ikut membujuk, akhirnya Pierre setuju. Tetapi Pierre mengajukan
satu syarat, dia hanya akan menjadi ajudan selama satu tahun dan sesudah itu akan kembali
terjun ke tugas lapangan. Pierre adalah tipe tentara lapangan yang menikmati tugas-tugas beraksi
dengan senjata di tangan, surat perjanjian pembatasan masa tugas ajudan pun ditandatangani.
Akhirnya, di antara ketiga jenderal yang tertarik untuk menjadikan Pierre sebagai ajudan,
Jenderal Nasutionlah yang berhasil mendapatkan sosok perwira cakap, disiplin, dan bertanggung
jawab ini.

Terhitung mulai tanggal 15 April 1965 Pierre resmi menjadi ajudan Menko
Hankam/Kasab. Sebetulnya pangkat Pierre saat itu belum memenuhi kriteria untuk menempati
posisi ajudan. Waktu itu Pierre masih letnan dua sehingga begitu ditetapkan menjadi ajudan, dia
sekaligus mendapatkan promosi kenaikan pangkat menjadi letnan satu TNI. Pierre menjadi
ajudan termuda dan satu-satunya yang berpangkat letnan satu, di antara ketiga ajudan Menko
Hankam/Kasab lain yang sudah berpangkat kapten, yaitu Kapten TNI AD Sumargono, Kapten
Marinir Misbach, dan Komisaris Polisi Hamdan Mansjur.

Maria Elizabeth Tendean sangat bahagia dengan penugasan baru anaknya sebagai
seorang ajudan, apalagi ajudan dari Jenderal Nasution, orang yang sudah dikenal keluarga
selama bertahun-tahun. Mulai tanggal 15 April 1965 Pierre tinggal di rumah Pak Nas, di Jalan
Teuku Umar Nomor 40 Menteng, Jakarta Pusat. Kehadiran Pierre di rumah itu tak pernah
dianggap orang asing karena sebelumnya juga Pierre sering menginap jika harus menyelesaikan
urusan di Jakarta. Keluarga Nasution juga sangat berbahagia menerima kehadiran Pierre sebagai
ajudan karena Pierre dianggap sebagai anggota keluarga.

Pada tahun 1965 itu juga, Pierre dan Rukmini mantap melanjutkan hubungan mereka ke
jenjang pernikahan. Pierre menulis surat ke keluarganya, minta doa restu untuk menikahi
Rukmini.

Saat mendampingi Jenderal Nasution bertugas ke Medan, pada 31 Juli 1965, Pierre
menyempatkan diri menemui keluarga Rukmini untuk melamar. Dan hari pernikahan mereka
telah disepakati pada bulan November tahun 1965.

Namun pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, pasukan Gerakan 30 September (G30S)


mendatangi rumah dinas Nasution dengan tujuan untuk menculiknya. Pierre yang sedang tidur di
pavilium yang berada di samping rumah dinas Jenderal Nasution dibangunkan oleh putri sulung
sang Jenderal (Yanti Nasution) setelah Yanti mendengar suara tembakan dan keributan yang luar
biasa. Pierre pun segera berlari ke bagian depan rumah. Dia ditangkap oleh gerombolan G30S
dipimpin oleh Pembantu Letnan Dua (Pelda) Djaharup. Gerombolan itu mengira dirinya sebagai
Nasution karena kondisi rumah yang gelap. Nasution sendiri berhasil melarikan diri dengan
melompati pagar. Pierre lalu dibawa ke sebuah rumah di daerah Lubang Buaya bersama enam
perwira tinggi lainnya: Soeprapto, Soetojo, dan Parman yang saat itu masih hidup, serta Ahmad
Yani, D.I. Pandjaitan, dan M.T. Harjono yang sudah terbunuh. Dia ditembak mati dan mayatnya
dibuang ke sebuah sumur tua bersama enam jasad perwira lainnya.

Rukmini pun harus mengubur dalam-dalam rencana pernikahannya dengan Pierre, yang
akan dilangsungkan dua bulan lagi. Sebab sang kekasih tewas pada malam 30 September 1965.
Pada tanggal 31 Juli 1965 ketika lamaran, menjadi pertemuan terakhir Rukmini dengan Pierre.
Karena Rukmini berada di Medan, tengah menunggu kedatangan Pierre untuk penikahan pada
November 1965.

Hasil Visum et Repertum Kapten Anumerta Pierre Tendean membuktikan bahwa terdapat
beberapa luka tembak di tubuh. Diantaranya 2 di dada kanan, 2 di punggung kanan, 1 di leher
belakang sebelah kiri, dan 1 di pinggul kanan. Ada luka lain juga akibat pukulan, yaitu satu di
kepala kanan, satu di tulang ubun-ubun kiri, dan satu di puncak kepala.

Pierre bersama keenam perwira lainnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan


Kalibata, Jakarta. Untuk menghargai jasa-jasanya, Pierre dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi
Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.
111/KOTI/Tahun 1965. Pasca kematiannya, dia secara anumerta dipromosikan menjadi
kapten. Selain itu, sejumlah jalan juga dinamai sesuai namanya, termasuk
di Manado, Balikpapan, dan di Jakarta.

Pujaan hati Kapten Pierre Tendean, Rukmini Chaimin wafat belum lama ini. Yaitu pada
27 Juli 2019 dalam usianya ke-72 tahun, di Klaten, Jawa Tengah.

Anda mungkin juga menyukai