Anda di halaman 1dari 8

BIOGRAFI PIERRE ANDRIES TENDEAN

Tugas ini di tujukan untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia

Disusun Oleh :
Bunga Febrianti

Keysha Kavela Illaika

Keysya Nasyima Ramadhani

Risma Nanda Cerry Anggraeni

Saskia Muthia Hafidz

ASISTEN KEPERAWATAN

SMK KESEHATAN PRIMA INDONESIA

2023
BIOGRAFI PIERRE ANDRIES TENDEAN
Perwira Militer Indonesia

Nama : Pierre Andries Tendean


Tempat/Tanggal Lahir : Batavia, Jakarta/ Selasa, 21 Februari
1939
Wafat : Jakarta, Indonesia 1 Oktober 1965 (26
Tahun)
Nama Ibu : Maria Elizabeth Cor net
Nama Ayah : Dr. Aurelius Lammert Tendean
Nama Saudara/I : Mitze Farre Tendean (Kakak)
Rooswidiati Tendean (Adik)

Pierre Andries Tendean (21 Februari 1939 – 1 Oktober 1965) adalah seorang perwira
militer Indonesia yang menjadi salah satu korban peristiwa Gerakan 30 September pada tahun
1965. Pierre lahir dari pasangan Maria Elizabeth Cornet dan Aurelius Lammert Tendean. Pada
saat itu, Pierre lahir pada pukul 08.10 di sebuah rumah sakit rakyat yang Bernama Centrale
Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ). Rumah sakit tersebut didirikan oleh colonial Belanda, saat
ini rumah sakit tersebut menjadi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) dr. Cipto
Mangunkusumo Mengawali karier militer dengan menjadi intelijen dan kemudian ditunjuk
sebagai Ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution menggantikan Kapten Kav Adolf
Gustaf Manullang ajudan Pak Nas, yang gugur dalam misi perdamaian di Republik
Demokratik Kongo Afrika tahun 1963 dengan pangkat Letnan Satu Czi, dia dipromosika n
menjadi Kapten Anumerta setelah kematiannya. Tendean dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata dan bersama enam perwira korban Gerakan 30 September lainnya, dia
ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965.

Masa Kecil

Pada saat itu, Pierre Tendean lahir di era kolonialisme yang mulai rapuh. Di era tersebut
banyak terjadi akulturasi budaya antara imigran dan pribumi, hal tersebut terjadi pada orang
tua Pierre yaitu Maria Elizabeth Cornet yang merupakan wanita asal Leiden, Belanda sekaligus
keturunan Prancis. Wanita yang menjadi ibu Pierre Tendean menikah dengan pribumi yaitu
seorang dokter spesialis jiwa berdarah Minahasa Bernama Aurelius Lammert (A.L) Tendean.
Hasil pernikahan tersebut, melahirkan sosok bernama lengkap Andries Pierre Tendean.
Sehingga dalam diri Pierre Tendean mengalir deras darah campuran beberapa ras, anatara lain
Kaukasian (Prancis) dan juga Minahasa.

Pierre Tendean merupakan anak kedua setelah kakanya yaitu Mitzi Farre, dan Pierre
memiliki adik bernama Rooswidiati. Nama lengkap Pierre Tendean diambil dari nama kakek
pihak ibu yang berdarah Prancis, Pierre Albert, sedangkan nama Andries diambil dari nama
kakek pihak ayah yang berdarah Minahasa, serta nama Tendean merupakan nama marga
keluarga.

Pierre merupakan satu-satunya anak lelaki dalam keluarga ideal pada masa kolonial.
Pada saat itu Pierre kecil bertempat tinggal di Jalan Cornelius Laan Nomor 4, Weltevreden,
suatu daerah yang pada zaman dahulu merupakan tempat tinggal utama orang-orang Eropa di
pinggrian Batavia. Sekarang wilayah tersebut menjadi Jalan Gunung Sahari II, yang berada di
Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Pierre Andries Tendean terlahir dari pasangan Dr. Aurelius Lammert Tendean,
seorang dokter yang berdarah Minahasa, dan Maria Elizabeth Cornet, seorang
wanita Belanda yang berdarah Prancis, pada tanggal 21 Februari 1939 di Batavia (kini
Jakarta), Hindia Belanda. Pierre Tendean adalah anak kedua dari tiga bersaudara; kakak dan
adiknya masing-masing bernama Mitze Farre Tendean dan Rooswidiati Tendean. Tendean
mengenyam sekolah dasar di Magelang, lalu melanjutkan SMP dan SMA di Semarang tempat
ayahnya bertugas. Sejak kecil, dia sangat ingin menjadi tentara dan masuk Akademi Militer,
namun orang tuanya ingin dia menjadi seorang dokter seperti ayahnya atau seorang insinyur.
Tendean bergabung dengan Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung pada
tahun 1958. Sewaktu menjadi taruna, Tendean pernah ikut tugas praktik lapangan dalam
operasi militer penumpasan pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI) di Sumatera.

Karir Militer

Setelah lulus dari akademi militer pada tahun 1961 dengan pangkat letnan dua, Tendean
menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan.
Setahun kemudian, ia mengikuti pendidikan di sekolah intelijen di Bogor. Setamat dari sana,
ia ditugaskan di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) untuk menjadi mata-mata
ke Malaysia sehubungan dengan konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia; ia bertugas
memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah untuk menyusup ke Malaysia. Pada tanggal
15 April 1965, Tendean dipromosikan menjadi letnan satu, dan ditugaskan sebagai
ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution.

Saat Menjadi Ajudan

Prestasi yang gemilang saat ambil bagian dalam Operasi Dwikora di


perbatasan Indonesia-Malaysia membuat nama Pierre Tendean kerap diperbincangkan oleh
banyak perwira tinggi Angkatan darat di lbu Kota. Atasan-atasan Pierre di Korps Zeni pun
bukannya tak tahu hal ini. Sebuah kebanggaan apabila menyebut nama Pierre saat itu. Petinggi-
petinggi Korps Zeni, seperti Jenderal G.P.H. Djatikusumo dan Mayor Jenderal Dandi
Kadarsan, juga mengenal sosok Pierre dengan baik, padahal Pierre hanya berpangkat perwira
pertama. Kedekatan Pierre terlihat dengan seringnya Pierre mengunjungi keduanya, baik dalam
kesempatan dinas maupun kesempatan pribadi.

Jenderal Djatikusumo mempunyai kesan yang sangat positif terhadap sosok Pierre.
Disampaikan kembali oleh Rooswidiati Tendean kepada penulis (2018) bahwa Djatikusumo
pernah berucap, "Saya senang sekali pada Pierre. Saya bangga mernpunyai anak buah seperti
dia."

Reputasi Pierre sebagai perwira muda begitu cemerlang sehingga tidak heran jika Pierre
diminati oleh beberapa perwira tinggi Angkatan Darat untuk dijadikan ajudan. Dalam
terminologi angkatan bersenjata, ajudan berarti perwira militer yang diperbantukan kepada
perwira tinggi. Dia bertugas membantu perwira tinggi dalam menyelesaikan pekerjaannya di
bidang administrasi.

Korps Ajudan Jenderal merupakan kecabangan dari Satuan Bantuan Adillinistrasi


(Satbanmin) yang ada pada organisasi Angkatan Darat. Kesatuan ini memiliki fungsi utama
untuk mengurusi administrasi militer dan umum (PNS) serta urusan dalalll lainnya. Ajudan
Jenderal (Ajen) berada di bawah komando Direktorat Ajudan Jenderal Angkatan Darat
(Ditajenad) yang komandannya berpangkat brigadir jenderal.

Keinginan untuk menarik Pierre kembali ke Jakarta sebenarnya juga merupakan


keinginan keluarganya, terutama ibundanya, Maria Elizabeth Tendean. Bertugas sebagai
intelijen negara tentunya membuat Pierre semakin sering tinggal berjauhan dari keluarganya di
Semarang dan acap kali tidak terdengar berita tentang keberadaannya. Selama Pierre
ditugaskan berkali-kali menyusup ke Semenanjung Malaya dalam rangka mendukung Operasi
Dwikora misalnya, tidak ada anggota keluarga yang tahu sedikit pun aktivitas Pierre dalam
misi-misi rahasianya.
Sepengetahuan semua anggota keluarga, Pierre masih ditempatkan di Medan, sebagai
bagian dari Yonzipur I Dam II/BB. Bahkan, seperti penuturan Rooswidiati kepada penulis
(2018), keluarga baru mengetahui prestasi dan penugasan Pierre di perbatasan justru pada saat
riwayat hidup dan karier Pierre dibacakan saat upacara pemakamannya di Kalibata, Jakarta
Selatan, Pada 5 Oktober 1965. Dari informasi yang terkuak itulah Roos akhirnya paham bahwa
hadiah berupa pakaian impor, jam tangan, raket, dan kamera yang dibawa pulang dan dikirim
Pierre ke Semarang selama tahun 1964 sampai awal tahun 1965 itu tidaklah diperolehnya dari
jalur lintas perdagangan internasional, tetapi memang didapatnya langsung dari negeri
seberang saat tengah bertugas dalam Operasi Dwikora.

Firasat ini sebenarnya dirasakan oleh Maria Elizabeth Ter Insting seorang ibu berulang
kali rnengusiknya, lelaki satu-satunya tengah menyabung nyawa di negeri orang. Perasaan ini
menimbulkan kecemasan terus-menerus. Maria Elizabeth Tendean adalah ibu yang sangat
mencintai anaknya, dan selalu memikirkan anaknya bertugas di mana bagaimana kondisinya,
apalagi Pierre tidak rutin berkomunikasi dengan keluarga jika sedang bertugas.

Suatu ketika, ibunda Pierre yang masih memiliki hubungan keluarga/kerabat dengan
istri Jenderal Nasution, yaitu Johanna Sunarti Nasution (Ibu Nas), mengutarakan akan nasib
sang putra kepada Ibu Nas. Di mata Jenderal Nasution, yang kala itu sudah menjabat sebagai
Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko
Ilankam/ Kasab), Pierre bukanlah sosok asing. Dia sudah dianggap seperti adik kandung,
sebagai bagian dari keluarga mereka.

Pucuk dicinta ulam tiba. Posisi ajudan Menko Hankam/Kasab saat itu memang tengah
kosong setelah Kapten Gustav Adolf Manullang gugur dalam sebuah operasi di Kongo.
Jenderal Nasution kekurangan staf adnlinistrasi yang dapat membantu urusan dinas sehari-hari,
tetapi juga sekaligus dapat dipercayainya di era panasnya politik Tanah Air ketika itu, Menurut
Roos, pada masa itu sudah sangat sulit membedakan siapa kawan dan siapa lawan bagi Jenderal
Nasution. Memasuki tahun 1965, suhu politik nasional memang sedang mengalami ekskalasi
yang masuk dalam kategori membahayakan bagi diri Nasution.

Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu sedang berada di atas angin dengan mendapat
dukungan penuh dari Presiden Soekarno, terlebih setelah kabinet Nasakom (Nasionalisme,
Agama, dan Komunis) terwujud, ditandai dengan masuknya beberapa anggota berpaham kiri
dalam kabinet, seperti Soebandrio dan Njoto, Nasution sudah sejak lama dianggap sebagai
lawan utama PKI dalam memuluskan program-programnya. Bahkan, dalam peristiwa
Pembakaran Kedubes Inggris pada 18 September 1963, rumah Pak Nas Yang hanya berjarak
lima kilometer dari Kedubes Inggris juga ikut dikepung oleh pengunjuk rasa.

Dalam tubuh TNI AD Saat itu juga tidak terlepas dari pertarungan ideologi, dan
terdapat perbedaan-perbedaan pandangan di antara para petwira tinggi. Isu yang sering
diangkat adalah menyingkapi kebijakan-kebijakan pemerintah dan terutama gaya hidup seputar
lingkungan istana. Belum lagi telah terjadi pembinaan secara ideologis oleh PKI kepada para
perwira militer dan prajurit TNI.

Pierre dirasakan Nasution tidak akan pernah mengkhianatinya mengingat eratnya


hubungan kekeluargaan di antara mereka selama ini. Hal itu ditambah pula dengan reputasinya
yang sangat baik selama menyelesaikan pendidikan keperwiraan dan mengemban setiap tugas
yang dipikulkan kepadanya. Jenderal Nasution sangat terkesan dan respek pada prestasi Pierre
di Malaysia, demikian diungkapkan Hendrianti Sahara Nasution atau Yanti Nasution, putri
pertamanya, kepada penulis (2018).

Tidak hanya Jenderal Nasution yang menunjukkan ketertarikan untuk menarik Pierre
sebagai ajudan, Mayjen Dandi Kadarsan, Direktur Zeni di tahun itu, dan Mayjen Hartawan,
mantan Direktur Zeni sebelumnya, juga terang-terangan menginginkan Pierre. Pinangan dari
tiga perwira tinggi ini tentu sesuai dengan keinginan Ibu Tendean yang mengharapkan Pierre
bekerja pada unit yang penempatannya jelas di mana dan bisa dihubungi kapan saja, dalam arti
tidak tergabung pada misi-misi yang berbahaya.

Melalui Ibu Nas, maksud hati Jenderal Nasution disampaikan kepada kedua orang tua
Pierre. Penyampaian keinginan ini bukan tanpa alasan karena awalnya Pierre menolak ditarik
ke Jakarta untuk menjadi ajudan, meski sebenarnya sebagai seorang prajurit, Pierre tahu dia
tidak akan bisa menolak perintah.

Bujukan Maria Elizabeth Tendean awalnya belum berhasil melunakkan hati sang
perwira muda. Namun, karena Mitzi ikut membujuk, akhirnya Pierre setuju. Tetapi Pierre
mengajukan satu syarat, dia hanya akan menjadi ajudan selama satu tahun dan Sesudah itu akan
kembali terjun ke tugas lapangan. Pierre adalah tipe tentara lapangan yang menikmati tugas-
tugas beraksi dengan senjata di tangan, Surat perjanjian pembatasan masa tugas ajudan pun
ditandatangani. Akhirnya, di antara ketiga jenderal yang tertarik untuk menjadikan Pierre
sebagai ajudan, Jenderal Nasution_ Iah yang berhasil mendapatkan sosok perwira cakap,
disiplin, dan bertanggung jawab ini.
Terhitung mulai tanggal 15 April 1965 Pierre resmi menjadi ajudan Menko
Hankam/KasabE Sebetulnya pangkat Pierre saat itu belum memenuhi kriteria untuk menempati
posisi ajudan. Waktu itu Pierre masih letnan dua sehingga begitu ditasbihkan menjadi ajudan,
dia sekaligus mendapatkan promosi kenaikan pangkat menjadi letnan satu TNI. Pierre menjadi
ajudan termuda dan satusatunya yang berpangkat letnan satu, di antara ketiga ajudan Menko
Hankam/Kasab lain yang sudah berpangkat kapten, yaitu Kapten TNI AD Sumargono, Kapten
Marinir Misbach, dan Komisaris Polisi Hamdan Mansjur.

Maria Elizabeth Tendean sangat bahagia dengan penugasan baru anaknya sebagai
seorang ajudan, apalagi ajudan dari Jenderal Nasution, orang yang sudah dikenal keluarga
selama bertahuntahun. Mulai tanggal 15 April 1965 Pierre tinggal di rumah Pak Nas, di Jalan
Teuku Umar Nomor 40 Menteng, Jakarta Pusat. Kehadiran Pierre di rumah itu tak pernah
dianggap orang asing karena sebelumnya juga Pierre sering menginap jika harus
menyelesaikan urusan di Jakarta. Keluarga Nasution juga sangat berbahagia menerima
kehadiran Pierre sebagai ajudan karena Pierre dianggap sebagai anggota keluarga, demikian
tulis Jenderal Nasution dalam memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6.

G30S

Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, pasukan Gerakan 30 September (G30S)
mendatangi rumah dinas Nasution dengan tujuan untuk menculiknya. Tendean yang sedang
tidur di paviliun yang berada di samping rumah dinas Jenderal Nasution dibangunkan oleh putri
sulung sang Jenderal (Yanti Nasution) setelah Yanti mendengar suara tembakan dan keributan
yang luar biasa. Tendean pun segera berlari ke bagian depan rumah. Dia ditangkap oleh
gerombolan G30S dipimpin oleh Pembantu Letnan Dua (Pelda) Djaharup. Gerombolan itu
mengira dirinya sebagai Nasution karena kondisi rumah yang gelap. Nasution sendiri berhasil
melarikan diri dengan melompati pagar. Tendean lalu dibawa ke sebuah rumah di
daerah Lubang Buaya bersama enam perwira tinggi lainnya: Soeprapto, Soetojo,
dan Parman yang saat itu masih hidup, serta Ahmad Yani, D.I. Pandjaitan, dan M.T.
Harjono yang sudah terbunuh. Dia ditembak mati dan mayatnya dibuang ke sebuah sumur tua
bersama enam jasad perwira lainnya.

Penghargaan

Tendean bersama keenam perwira lainnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan


Kalibata, Jakarta. Untuk menghargai jasa-jasanya, Tendean dianugerahi gelar Pahlawan
Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.
111/KOTI/Tahun 1965. Pasca kematiannya, dia secara anumerta dipromosikan menjadi
kapten. Sejumlah jalan juga dinamai sesuai namanya, termasuk di Manado, Balikpapan, dan di
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai