Anda di halaman 1dari 5

Nama : Cut Nyak Dien (Tjoet Njak Dhien)

Tanggal Lahir : 1848


Tempat Lahir : Lampadang, Kerajaan Aceh,
Meninggal : 6 November 1908 Sumedang, Hindia Belanda
Orang Tua :  Teuku Nanta Seutia
Sosok Cut Nyak Dien yang lahir pada tahun 1848 kemudian tumbuh di tengah lingkungan bangsawan Aceh dan pendidikan agama yang
kuat. Suami pertama Cut Nyak Dien bernama Teuku Ibrahim, anak Teuku Abas Ujung Aron dari daerah Lamnga. Suaminya pertamanya
wafat dalam pertempuran melawan Belanda pada 29 Juni 1878. Dari pernikahan pertamanya, mereka dikaruniai putri bernama Cut
Gambang. Cut Gambang kemudian menikah dengan Teuku Mayet Ditiro, dan keduanya meninggal bersama setelah ditembak oleh Belanda.
Selepas itu, Cut Nyak Dien menikah dengan seorang panglima perang bernama Teuku Umar Johan Pahlawan yang juga meninggal
ditembak Belanda pada 11 Februari 1899 di Ujung Kalak, Meulaboh. Cut Nyak Dien menghabiskan masa tuanya di Sumedang, Jawa barat
setelah dibuang dan diasingkan oleh Belanda.

Riwayat Hidup baca: https://medan.kompas.com/read/2022/01/09/223602878/biografi-singkat-cut-nyak-dien-dan-perjuangannya-melawan-belanda?

Kematian sang suami Teuku Ibrahim menjadi pemantik semangat perjuangannya melawan para penjajah. Sejak kematian suaminya tersebut, Cut Nyak Dien
kemudian bersumpah untuk menghancurkan para penjajah. Pernikahannya dengan Teuku Umar membuat semangatnya untuk berperang semakin menggebu-gebu.
Perang melawan belanda dilakukan secara gerilya dengan rakyat yang terbakar semangatnya melihat kegigihan Cut Nyak Dien. Sebuah siasat sempat dijalankan Cut
Nyak Dien dan Teuku Umar untuk mengetahui kelemahan Belanda. Teuku Umar menyerahkan diri ke Belanda untuk mengetahui kelemahan mereka dari dalam.
Sempat dianggap berkhianat, mereka berhasil mencuri senjata dan menyerang balik pasukan Belanda. Sayangnya perjuangan Teuku Umar harus terhenti setelah ia
mati tertembak dalam sebuah serangan. Setelahnya Cut Nyak Dien masih terus melakukan gerilya di pedalaman Meulaboh. Namun seiring bertambahnya usia
dengan matanya rabun dan penyakit encoknya membuat anak buahnya merasa kasihan dan melaporkan hal itu kepada tentara Belanda. Tanggal 6 November 1905
Cut Nyak Dien berhasil ditangkap oleh tentara Belanda, dengan syarat tidak boleh dianiaya atau diasingkan. Namun setahun setelahnya saat kondisi Cut Nyak Dien
membaik, Belanda mengirimnya ke daerah Sumedang, Jawa Barat. Hal ini karena Belanda masih takut apabila Cut Nyak Dien kembali memantik perlawanan di
daerah Aceh. Di Sumedang Cut Nyak Dien menghabiskan sisa hidupnya hingga meninggal dan dimakamkan oleh warga setempat.
Apresiasi

Sebuah kapal perang TNI-AL diberi nama KRI Cut Nyak Dhien, Mata uang rupiah yang bernilai sebesar Rp10.000,00 yang dikeluarkan tahun 1998 memuat gambar
Cut Nyak Dhien dengan deskripsi Tjoet Njak Dhien, Namanya diabadikan di berbagai kota Indonesia sebagai nama jalan, Masjid Aceh kecil didirikan di dekat
makamnya untuk mengenangnya, Masjid Cut Nyak Dien, Jakarta, Museum Rumah Cut Nyak Dhien, Banda Aceh.
Nama : Marsekal Pertama TNI (HOR) (Purn.) Anakletus Tjilik Riwut
Tanggal Lahir : 2 Februari 1918
Tempat Lahir : Kasongan, Borneo, Hindia Belanda
Meninggal : 17 Agustus 1987 (umur 69), Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan
Istri : Ny. Clementine Suparti
Anak : Emilia Enon Herjani, A.R. Hawun Meiarti, Theresia Nila A.T., Kameloh Ida Lestari, Anakletus Tarung
TjandrautamaTjilik Riwut

Riwayat Hidup
Tjilik Riwut adalah seorang pahlawan nasional Indonesia asal Kalimantan. Tak hanya aktif dalam bidang kemiliteran sebagai seorang tentara, putra Dayak ini juga
ikut berperan dalam pemerintahan dengan  diangkatnya ia sebagai Gubernur Kalimantan Tengah di tahun 1958. Selain itu, ia juga berkontribusi di bidang
kepenulisan. Ia pernah bekerja di Harian Pemandangan, pimpinan M. Tambran serta Harian Pembangunan, pimpinan Sanusi Pane. Ia pun menulis beberapa buku
mengenai Kalimantan seperti Makanan Dayak, Sejarah Kalimantan, Maneser Panatau Tatu Hiang, dan Kalimantan Membangun.
Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 17 Desember 1946, Tjilik Riwut dan beberapa tokoh perwakilan suku-suku Dayak di pedalaman Kalimantan yang
berjumlah 142 suku berkumpul bersama untuk melaksanakan Sumpah Setia kepada pemerintah Republik Indonesia dengan upacara adat leluhur suku Dayak. Lalu
pada tanggal 17 oktober 1947, ketika ia berada di Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota negara Indonesia, ia mendapat perintah dari S. Suryadarma, kepala TNI
AU waktu itu, untuk memimpin Operasi Penerjunan Pasukan Payung kali pertama oleh pasukan MN 1001 di desa Sambi, Kotawaringin, Kalimantan Tengah.
Dalam operasi tersebut, Tjilik Riwut bertanggung jawab menjadi penunjuk jalan bagi tim yang berjumlah 13 orang (11 orang asal Kalimantan dan 2 orang Jawa) itu.
Untuk mengenang peristiwa penting dalam sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ini, tanggal 17 Oktober pun resmi ditetapkan sebagai Hari Pasukan
Khas TNI-AU.
Prestasi
Atas berbagai jasanya, Tjilik Riwut dianugerahi gelar Pahlawan Nasional di tahun 1998, di masa pemerintahan B.J. Habibie. Namanya pun diabadikan sebagai salah
satu bandar udara di Palangka Raya. Selain itu, keluarganya juga berencana mendirikan museum Tjilik Riwut yang nantinya akan dipadu dengan restoran di
bangunan bekas tempat tinggal Tjilik Riwut di Palangka Raya. Menurut Kletus, putra Tjilik Riwut, perpaduan museum dan restoran Tjilik Riwut itu direncanakan
selesai dibangun pada bulan Agustus 2012.
Nama : Bagindo Aziz Chan
Tanggal Lahir : 30 September 1910
Tempat Lahir : Padang, Pantai Barat Sumatra, Hindia Belanda
Meninggal : 19 Juli 1947 (umur 36), Padang, Sumatra Barat
Orang Tua :  Bagindo Montok dan Djamilah
Pendidikan : Lahir pada 30 September 1910, Bagindo Aziz Chan mengenyam pendidikan HIS di Padang, MULO di Surabaya,
dan AMS di Batavia. Ia sempat dua tahun duduk di Rechtshoogeschool te Batavia (RHS) danmembuka praktik pengacara. Ia juga aktif di
beberapa organisasi, di antaranya sebagai anggota pengurus Jong Islamieten Bond di bawah pimpinan Agus Salim.

Riwayat Hidup
Setelah proklamasi kemerdekaan, ia ditunjuk sebagai Wakil Wali Kota Padang pada 24 Januari 1946 dan pada 15 Agustus 1946 dilantik sebagai wali kota
menggantikan Mr. Abubakar Jaar, yang pindah tugas menjadi residen di Sumatra Utara.
Di tengah situasi pasca-kedatangan Sekutu di Padang pada 10 Oktober 1945, ia menolak tunduk terhadap kekuatan militer Belanda yang berada di belakang tentara
Sekutu. Ia terus melakukan perlawanan dengan menulis di surat kabar perjuangan Tjahaja Padang, bahkan turun langsung memimpin perlawanan terhadap Belanda
sampai akhirnya meninggal pada tanggal 19 Juli 1947. Ia juga berpidato di depan umum, "Langkahilah dulu mayatku, baru Kota Padang saya serahkan".
Apresiasi
Untuk menghormati jasa-jasa dan pengorbanannya, nama Bagindo Aziz Chan diabadikan menjadi nama jalan di beberapa kota, seperti Padang dan Bukittinggi. Di
Padang, sebuah monumen berbentuk kepalan tinju didirikan di persimpangan Jalan Gajah Mada dan Jalan Jhoni Anwar, Kampung Olo, Nanggalo. Meskipun
diresmikan sebagai Monumen Bagindo Aziz Chan oleh Wali Kota Padang Syahrul Ujud pada 19 Juli 1983, monumen ini berikut persimpangan lebih dikenal
sebagai tugu Simpang Tinju. Monumen lainnya, terletak di Taman Melati dalam kompleks Museum Adityawarman, hasil karya pelukis Wisran Hadi dan
pemahat Arby Samah.
Nama : Prof. Dr.-Ing. Ir. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, FREng. (B. J. Habibie)
Tanggal Lahir : 25 Juni 1936
Tempat Lahir : Pare-Pare, Sulawesi Selatan
Meninggal : 11 September 2019 (umur 83) Jakarta, Indonesia
Orang Tua :   Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo
Pendidikan : Habibie belajar tentang keilmuan teknik mesin di Fakultas Teknik Universitas Indonesia Bandung (sekarang Institut
Teknologi Bandung) pada tahun 1954. Pada 1955–1965, Habibie melanjutkan studi teknik penerbangan, spesialisasi konstruksi pesawat
terbang, di RWTH Aachen, Jerman Barat. Menerima gelar diploma insinyur pada 1960 dan gelar doktor insinyur pada 1965 dengan
predikat summa cum laude.

Riwayat Hidup
Dalam pemerintahan Indonesia, karier BJ Habibie dimulai saat pemerintahan presiden Soeharto. Ia diminta kembali dari Jerman lalu menjabat sebagai Menteri
Negara Riset dan Teknologi sejak tahun 1978 sampai Maret 1998. Saat krisis 1998, Soeharto mundur dan menetapkan BJ Habibie sebagai Presiden ke-3 Indonesia
dari 1 Mei 1998 - 20 Oktober 1999. Habibie menjabat sebagai Wakil Presiden ke-7 sejak 14 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998 dalam Kabinet Pembangunan VII di
bawah Soeharto. Sebelum pulang ke Indonesia, Habibie telah lebih dulu berkarier di Jerman. Diketahui sang mantan presiden tersebut sempat bekerja di berbagai
perusahaan penerbangan dan konstruksi pesawat di Jerman setelah menikah dengan sang istri, Hasri Ainun Besari. BJ Habibie sempat merancang proyek pesawat
CN-235 bersama para insinyur dari perusahaan Spanyol, CASA, yang prototipenya berhasil mengudara pada akhir 1983. Dengan kecerdasan dan pengalamannya,
sosok BJ Habibie akhirnya berhasil membuat pesawat pertama Indonesia, yakni N250 Gatotkaca, pada 1995. Bersama timnya dari Industri Pesawat Terbang
Nusantara (IPTN), BJ Habibie merancang pesawat baling-baling dengan daya angkut sekitar 50 penumpang dan bisa diperbesar hingga 70 penumpang bernama N-
250 Gatot Kaca.
Prestasi

 Menteri Negara Riset dan Teknologi Kabinet Pembangunan III (1978–1983);


 Menteri Negara Riset dan Teknologi Kabinet Pembangunan IV (1983–1988);
 Menteri Negara Riset dan Teknologi Kabinet Pembangunan V (1988–1993);
 Menteri Negara Riset dan Teknologi Kabinet Pembangunan VI (1993–1998);
 Ketua Tim Keputusan Presiden (Keppres) 35;
 Wakil Presiden RI (1998);
 Presiden RI (1998–1999).

Anda mungkin juga menyukai