Anda di halaman 1dari 23

KERAJAAN-KERAJAAN HINDU BUDHA

DI NUSANTARA

KELOMPOK :

 Ni Kadek Ayu Puspita Dewi (26)


 Ni Kadek Yuni Asih (28)
 Ni Komang Kabu Tri Maharani (31)
 Ni Nengah Evy Purwita Dewi (33)

KELAS : X IPS 2

SMA NEGERI 3 AMLAPURA


2021/2022
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi wasa yang telah melimpahkan
karunia dan nikmat bagi umat-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada
waktunya.
Karena terbatasnya ilmu yang dimiliki oleh penulis maka makalah ini jauh dari
sempurna untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.
Tidak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada semua
pihak yang telah turut membantu dalam penyusunan Makalah ini. Semoga bantuan dan
bimbingan yang telh diberikan kepada kami mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan
Yang Maha Esa.
Akhirnya penulis berharap semoga Makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis
dan umumnya bagi pembaca.

Amlapura, 23 Januari 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Judul
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
1.3 Tujuan............................................................................................................ 2
1.4 Manfaat.......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kerajaan Kutai............................................................................................... 3
2.2 Kerajaan Tarumanegara................................................................................. 4
2.3 Kerajaan Kalingga atau Holing...................................................................... 6
2.4 Kerajaan Sriwijaya......................................................................................... 8
2.5 Kerajaan Mataram Kuno................................................................................ 10
2.6 Kerajaan Kediri.............................................................................................. 11
2.7 Kerajaan Singasari......................................................................................... 12
2.8 Kerajaan Majapahit........................................................................................ 13
2.9 Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali...................... 15
2.10 Kerajaan Tulang Bawang............................................................................. 16
2.11 Kerajaan Kota Kapur................................................................................... 17
BAB III PENUTU
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 19
3.2 Saran.............................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 20
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat hubungan


dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan
wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal tarikh
Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa
terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok
yakni musafir Budha Pahyien.

Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu- Buddha, yaitu
kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Pada
masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa abad ke-
7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah
Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak
kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Tengah dan Kamboja. Abad ke-14
juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih
Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada, berhasil memperoleh kekuasaan atas
wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung
Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan pembentukan
kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.

Masuknya ajaran Islam pada sekitar abad ke-12, melahirkan kerajaan- kerajaan
bercorak Islam yang ekspansionis, seperti Samudera Pasai di Sumatera dan Demak di Jawa.
Munculnya kerajaan-kerajaan tersebut, secara perlahan-lahan mengakhiri kejayaan Sriwijaya
dan Majapahit, sekaligus menandai akhir dari era ini.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun Rumusan Masalah dari makalah ini adalah:

1. Bagaimana proses masuknya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Indonesia ?


2. Bagaimana Sejarah dari Kerajaan-kerajaan Hindu Budha di Indonesia ?
3. Siapa saja Raja-raja yang pernah memeritah pada masa Kerajaan itu berdiri ?
1.3 Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui proses masuknya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Indonesia


2. Untuk Mempelajari sejarah dari Kerajaan-kerajaan Hindu Budha di Indonesia
3. Untuk mengetahui Raja-raja yang pernah memeritah di setiap Kerajaan Hindu Budha
tersebut

1.4 Manfaat

Adapun manfaat dari makalah ini adalah untuk mengetahui proses masuknya kerajaan-
kerajaan Hindu-Budha di Indonesia
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kerajaan Kutai

Kerajaan Kutai Martapura adalah kerajaan Hindu tertua di Indonesia yang didirikan
sekitar abad ke-4. Letak kerajaan ini berada di daerah Muara Kaman di tepi Sungai
Mahakam, Kalimantan Timur. Keberadaan Kutai diketahui berdasarkan sumber sejarah yang
ditemukan, yaitu berupa tujuh Prasasti Yupa yang ditulis dengan huruf Pallawa dengan
Bahasa Sanskerta. Dalam Prasasti Yupa, disebut nama Raja Kudungga yang pertama
menduduki takhta Kerajaan Kutai. Disebut pula bahwa Kudungga memiliki seorang putra
bernama Asmawarman yang menjadi raja kedua Kutai. Asmawarman memiliki tiga orang
putra, salah satunya bernama Mulawarman, yang akhirnya menjadi raja dan berhasil
membawa Kerajaan Kutai menuju masa kejayaan.

Dari Prasasti Yupa, dapat diketahui bahwa masa kejayaan Kerajaan Kutai
berlangsung ketika diperintah oleh Raja Mulawarman. Mulawarman disebut-sebut sebagai
raja yang memiliki budi pekerti baik, kuat, dan pernah mengadakan upacara persembahan
20.000 ekor lembu untuk kaum Brahmana yang bertempat di Waprakecvara. Waprakecvara
adalah tempat suci (keramat) yang merupakan sinkretisme antara kebudayaan Hindu dengan
kebudayaan Indonesia. Sebagai keturunan Aswawarman,

Mulawarman juga melakukan upacara Vratyastoma, yaitu upacara penyucian diri


untuk masuk pada kasta Ksatria. Pada masa pemerintahan Mulawarman, upacara
penghinduan ini dipimpin oleh pendeta/kaum Brahmana dari orang Indonesia asli. Hal ini
membuktikan bahwa kemampuan intelektualnya tinggi, karena Bahasa Sanskerta bukanlah
bahasa rakyat sehari-hari. Selain itu, di bawah kekuasaan Raja Mulawarman kehidupan
ekonomi kerajaan mengalami perkembangan pesat dari sektor pertanian dan perdagangan
karena letaknya sangat strategis.

Keadaan Kerajaan Kutai setelah Mulawarman tidak menunjukkan tanda-tanda yang


jelas. Kerajaan Kutai Martapura kemudian runtuh setelah ditaklukkan oleh Kesultanan Kutai
yang memeluk Islam. Pada 1635, raja terakhir Kerajaan Kutai Maharaja Dharma Setia gugur
di tangan Pangeran Sinum Panji Mendapa dari Kesultanan Kutai. Sejak itu, wilayah Kerajaan
Kutai Martapura berada di bawah kekuasaan Kesultanan Kutai Kartanegara.
Adapun Raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Kutai yaitu : Maharaja
Kudungga Maharaja Asmawarman, Maharaja Mulawarman Maharaja Sri Aswawarman,
Maharaja Marawijaya Warman , Maharaja Gajayana Warman, Maharaja Tungga Warman,
Maharaja Jayanaga Warman, Maharaja Nalasinga Warman, Maharaja Nala Parana Tungga,
Maharaja Gadingga Warman Dewa, Maharaja Indra Warman Dewa, Maharaja Sangga
Warman Dewa, Maharaja Singa Wargala Warman Dewa, Maharaja Candrawarman,
Maharaja Prabu Mula Tungga Dewa, Maharaja Nala Indra Dewa, Maharaja Indra Mulya
Warman Dewa, Maharaja Sri Langka Dewa, Maharaja Guna Parana Dewa, Maharaja Wijaya
Warman, Maharaja Indra Mulya, Maharaja Sri Aji Dewa, Maharaja Mulia Putera, Maharaja
Nala Pandita, Maharaja Indra Paruta Dewa, Maharaja Dharma Setia.

2.2 Kerajaan Tarumanegara

Kerajaan Tarumanegara termasuk kerajaan tertua yang pernah berjaya di Indonesia.


Kerajaan tersebut berdiri sekitar abad ke-4 atau tepatnya 358 M. Eksistensinya terjaga hingga
abad ke-7 masehi. Kerajaan Tarumanegara terletak di Jawa Barat tepatnya di dekat Sungai
Citarum. Pendiri Kerajaan Tarumanegara adalah Maharesi Jayasingawarman yang berasal
dari India. Kala itu dia datang ke nusantara karena kekacauan dan penjajahan oleh pasukan
Raja Samudragupta dari Kerajaan Magada. 

Maharesi Jayasingawarman yang berasal dari Salankayana, India, hijrah ke Nusantara. Lantas
ia bertandang ke Kerajaan Salakanagara dan mendapatkan sambutan dari Raja Dewawarman
VIII. Kemudian, ia dinikahkan dengan salah satu putri raja. Jayasingawarman kemudian
membuka wilayah yang diperkirakan terletak di sekitar Bekasi. Ia mendirikan Kerajaan
bernama Taruma pada 358 masehi dan kini dikenal sebagai Tarumanagara atau
Tarumanegara. Raja Jayasingawarman bertahta selama 24 tahun (358-382M).
Sepeninggalannya, tahta dilanjutkan oleh keturunannya. 

Selama berdiri, kerajaan Tarumanegara tercatat pernah dipimpin oleh 12 orang raja, yakni: 

 Jayasingawarman (358-382 M)
 Dharmayawarman (382-395 M)
 Purnawarman (395-434 M)
 Wisnuwarman (434-455 M)
 Indrawarman (455-515 M)
 Candrawarman (515-535 M)
 Suryawarman (535-561 M)
 Kertawarman (561-628 M)
 Sudhawarman (628-639 M)
 Hariwangsawarman (639-640 M)
 Nagajayawarman (640-666 M)
 Linggawarman (666-669 M)

Salah satu raja yang disegani adalah Raja Purnawarman yang berhasil mengantarkan
Tarumanegara pada masa kejayaannya. Dia digambarkan sebagai sosok yang jujur, gagah,
dan bijaksana. 

Setelah berkuasa kurang lebih tiga abad, kerajaan Tarumanegara goyah dan
mengalami keruntuhan sekitar abad ke 7 Masehi. Dalam buku Sejarah untuk Kelas 2 SMA
oleh Habib Mustopo, sebuah Kronik Dinasti Tang menerangkan bahwa Kerajaan
Tarumanegara mengirimkan utusan ke negeri China pada tahun 528, 535, 630, dan 669 M.

Pada 669 Masehi, utusan Kerajaan Tarumanegara tidak mengirimkan utusan lagi.
Pada saat itu Kerajaan Tarumanegara diprediksi telah mengalami keruntuhan akibat serangan
dari Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Tarumanegara mendapatkan pengaruh dari kebudayaan
Hindu India. Hal tersebut tampak dari kebudayaan serta bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa
dalam prasasti. Berikut sejumlah prasasti dan peninggalan kerajaan Tarumanegara. 

 Prasasti Ciareteun

Prasasti Ciareteun yang ditemukan di Ciampea, Bogor memiliki ukiran laba-laba dan
tapak kaki serta puisi yang ditulis dengan huruf Palawa dan bahasa Sanskerta. Prasasti
tersebut berisi puisi tentang Purnawarman. 

 Prasasti Pasir Koleangkak

Prasasti Pasir Koleangkak atau Prasasti Jambu yang ditemukan di sebelah barat kota
Bogor. Prasasti Jambu berisikan pujian atas kebesaran, kegagahan, dan keberanian
Raja Purnawarman. 
 Prasasti Kebon Kopi

Ditemukan di kampung Muara Hilir, Cibungbulang yang berisi dua kaki gajah yang
disamakan dengan tapak kaki gajah Airawati, yakni gajah kendaraan Dewa Wisnu.

 Prasasti Tugu, ditemukan di daerah Tugu, Jakarta.


 Prasasti Pasir Awi, ditemukan di daerah Pasir Awi, Bogor.
 Prasasti Muara Cianten, ditemukan di daerah Bogor.
 Prasasti Cidanghiang atau Lebak

Demikian  sejarah Kerajaan Tarumanegara dan prasasti peninggalannya yang dapat kita
jumpai sekarang sebagai wujud masa kejayaannya.

2.3 Kerajaan Kalingga atau Holing

Kerajaan Kalingga pernah hadir dalam sejarah kerajaan bercorak Hindu-Buddha di


Nusantara pada abad ke-6 Masehi. Kerajaan ini mencapai masa kejayaan ketika dipimpin
oleh seorang raja perempuan bernama Ratu Shima (674-695 M). Wilayah kekuasaan

Kerajaan Kalingga mencakup sepanjang pesisir pantai utara di Jawa Tengah hingga
wilayah pedalaman di bagian selatan. Adapun pusat pemerintahannya diperkirakan pernah
berada di Pekalongan, Jepara, atau di pegunungan Dieng. Kerajaan Kalingga, yang juga
disebut dengan nama Holing, Keling, atau Heling, meninggalkan beberapa peninggalan
berupa prasasti dan candi-candi yang masih dapat ditemukan hingga kini. Kerajaan ini juga
merupakan pendahulu dari kerajaan-kerajaan besar yang nantinya berkuasa di tanah Jawa.

Pendiri dan Raja-raja Kalingga Berdasarkan catatan dalam Prasasti Sojomerto,


terungkap bahwa pendiri Kerajaan Kalingga adalah Dapunta Syailendra. Para keturunan
Syailendra ini nantinya menjadi cikal bakal lahirnya Kerajaan Mataram Kuno yang mulai
berdiri sekitar abad ke-8 Masehi. Raja pertama Kalingga bernama Prabhu Wasumurti yang
memimpin dari tahun 594-605 M. Ia digantikan oleh Prabhu Wasugeni (605-632 M). Raja
kedua ini adalah ayah dari Ratu Shima atau Dewi Wasuwari yang nantinya membawa
Kerajaan Kalingga ke puncak kejayaan.
Sebelum Ratu Shima menjadi pemimpin Kalingga sejak tahun 674 M, tercatat ada
beberapa raja lainnya, antara lain Prabhu Wasudewa, Prabhu Wasukawi, hingga Prabhu
Kirathasingha. Dikutip dari buku bertajuk Catatan-catatan Tercecer Mengenai Kerajaan
Kalingga dan Raja-raja Pra Islam di Jawa Barat (1993:16), pada 674 M Ratu Shima resmi
naik takhta di singgasana Kerajaan Kalingga. Ratu Shima menggantikan suaminya, Prabhu
Kirathasingha, yang meninggal dunia.

Di bawah kepemimpinan raja wanita ini, Kerajaan Kalingga mencapai puncak masa
keemasan. Baca juga: Sejarah Kepemimpinan Ratu Shima di Kerajaan Kalingga (674-695 M)
Sejarah Kerajaan Aceh: Sebab Runtuhnya Kesultanan & Silsilah Raja Sungai Citarum dan
Banjir Jakarta dalam Sejarah Kerajaan Sunda Letak dan Sumber Sejarah Kalingga Menurut
Amurwani Dwi dan kawan-kawan dalam buku Sejarah Indonesia (2014), nama Kalingga
diduga terinspirasi dari Kalinga, sebuah kerajaan yang terletak di India bagian selatan.
Sumber sejarah mengenai keberadaan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah diketahui dari
berita-berita Cina. Salah satunya adalah catatan dari zaman Dinasti Tang (618-906 M) yang
memberikan keterangan mengenai letak Kalingga. Disebutkan, Kalingga terletak di sebelah
barat Po-li (Bali), di sebelah timur To-po-Teng (diidentifikasi sebagai Sumatera), di bagian
utaranya terdapat Chen-la (Kamboja), dan dibatasi oleh lautan.

Selain itu, ada pula catatan dari seorang pengelana asal Cina bernama I-Tsing. Pada
abad ke-7, tulisnya, Kalingga pernah menjadi pusat pengajaran agama Buddha Hinayana
dengan pendetanya yang bernama Hwining. Terkait lokasi kota Pekalongan sebagai salah
satu bagian dari wilayah Kerajaan Kalingga termuat dari catatan Cheng-Ho, seorang
panglima asal Dinasti Ming. Armada yang dipimpin Cheng-Ho pernah singgah di suatu
wilayah bernama Poe-Chua-lung atau yang kemudian diidentifikasi sebagai Pekalongan,
salah satu kota di pesisir utara Jawa Tengah. Baca juga: Sejarah Runtuhnya Tarumanegara:
Sebab, Peninggalan, Raja Sejarah Asal-Usul Terbentuknya Kepulauan Nusantara atau
Indonesia Contoh Perkembangan Akulturasi Budaya Islam di Indonesia Kejayaan dan
Keruntuhan Kalingga Masa kejayaan Kerajaan Kalingga terjadi pada era kepemimpinan Ratu
Shima yang mulai bertakhta pada 674 M. Kala itu, Kerajaan Kalingga mencapai kemajuan di
berbagai bidang, termasuk ekonomi, militer, agama, perdagangan, pertanian, dan lainnya.
Bahkan, Kerajaan Kalingga kala itu sudah sudah menjalin relasi perdagangan dengan Cina.
Kemajuan Kalingga di sektor perniagaan ditopang dengan keberadaan pelabuhan terbesarnya
yang berada di Pekalongan. Menurut Ismawati dan kawan-kawan dalam Continuity And
Change: Tradisi Pemikiran Islam di Jawa (2006:36), pelabuhan Pekalongan sangat penting
bagi Kerajaan Kalingga untuk menggeser hegemoni Kerajaan Tarumanegara yang kala itu
sedang di ambang keruntuhan.

Ratu Shima, dikenal sebagai sosok pemimpin yang tegas dan tidak pandang bulu.
Dalam suatu cerita dikisahkan, sang ratu bahkan pernah menghukum putranya sendiri, yakni
Pangeran Narayana, karena dianggap telah melakukan pelanggaran berat. Ratu Shima
memerintah Kerajaan Kalingga selama 21 tahun. Semasa periode itu, Kalingga menjadi satu-
satunya kerajaan besar di Jawa bagian tengah, sekaligus penguasa pesisir pantai utara.
Kendati tegas, namun Ratu Shima juga dikenal sebagai sosok yang menghormati perbedaan.
Kerajaan Kalingga mengayomi pemeluk agama lain, termasuk Buddha, dan orang-orang
Islam dari Timur Tengah yang datang untuk berdagang. Baca juga: Sejarah Candi Sambisari:
Pernah Terkubur Letusan Gunung Merapi Sejarah Candi Prambanan Peninggalan Mataram
Kuno, Warisan Dunia Sejarah Candi Borobudur: Pembangunan Warisan Dunia Sepeninggal
Ratu Shima yang wafat pada 695 Masehi, Kerajaan Kalingga mulai melemah dan akhirnya
runtuh pada 752 M.

2.4 Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya lahir pada abad ke-7 Masehi dengan pendirinya yang bernama
Dapuntahyang Sri Jayanasa. Keterangan ini tertulis pada salah satu prasasti yang ditemukan
di Kota Kapur, Mendo Barat, Bangka. Namun, kisah pendirian kerajaan ini merupakan salah
satu bagian yang sulit dipecahkan oleh peneliti. Sebab dalam sumber-sumber yang ditemukan
tidak ada struktur genealogis yang tersusun rapi antar raja Sriwijaya.

Prasasti Kedukan Bukit (682 Masehi) menyebutkan nama Dapunta Hyang, dan
prasasti Talang Tuo (684 Masehi) memperjelasnya menjadi Dapunta Hyang Sri Jayanasa.
Kedua prasasti ini adalah penjelasan tertua mengenai seseorang yang dianggap sebagai raja
atau pemimpin Sriwijaya.

Dalam Prasasti Kedukan Bukit juga menceritakan bahwa Dapunta Hyang


mengadakan perjalanan dengan memimpin 20 ribu tentara dari Minanga Tamwan ke
Palembang, Jambi, dan Bengkulu. Dalam perjalanan tersebut, ia berhasil menaklukkan
daerah-daerah yang strategis untuk perdagangan sehingga Kerajaan Sriwijaya menjadi
makmur.
Berdasarkan prasasti Kota (686 M) di Pulau Bangka, Sriwijaya diperkirakan telah
berhasil menguasai Sumatera bagian selatan, Bangka dan Belitung, bahkan sampai ke
Lampung. Bukti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa bahkan mencoba untuk
melancarkan ekspedisi militer menyerang Jawa yang dianggap tidak mau berbakti kepada
maharaja Sriwijaya.

Peristiwa ini terjadi pada waktu yang kurang lebih bersamaan dengan runtuhnya
kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat dan Kerajaan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang
bisa saja terjadi karena serangan yang dilancarkan oleh Sriwijaya.

Berikut ini adalah nama-nama raja Kerajaan Sriwijaya yang sedikit banyak disepakati oleh
para ahli setelah masa kekuasaan Dapunta Hyang Sri Jayanasa.

- Sri Indrawarman
- Raja Dharanindra
- Raja Samaratungga
- Rakai Pikatan
- Balaputradewa
- Sri Udayadityawarman
- Sri Culamaniwarman atau Cudamaniwarmadewa
- Sri Marawijayatunggawarman
- Sri Sanggramawijayatunggawarman

Raja Balaputradewa dianggap sebagai raja yang membawa Sriwijaya ke puncak


kegemilangannya pada abad ke-8 dan 9. Namun pada dasarnya, kerajaan ini mengalami masa
kekuasaan yang gemilang sampai ke generasi Sri Marawijaya. Hal ini disebabkan raja-raja
setelah Sri Marawijaya sudah disibukkan dengan peperangan melawan Jawa pada 922 M dan
1016 M. Dilanjutkan dengan melawan Kerajaan Cola (India) pada tahun 1017 hingga 1025
Raja Sri Sanggramawijaya berhasil ditawan.

Pada masa kekuasaan Balaputradewa sampai dengan Sri Marawijaya, Kerajaan


Sriwijaya menguasai Selat Malaka yang merupakan jalur utama perdagangan antara India dan
Cina. Selain itu, seperti yang dilansir dari buku Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara
karya Deni Prasetyo, mereka berhasil memperluas kekuasaannya hingga Jawa Barat,
Kalimantan Barat, Bangka, Belitung, Malaysia, Singapura, Thailand Selatan.
Untuk menjaga keamanan itu, Sriwijaya membangun armada laut yang kuat. Sehingga kapal-
kapal asing yang ingin berdagang di Sriwijaya merasa aman dari gangguan perompak.
Hingga lambat laun, Sriwijaya berkembang menjadi negara maritim yang kuat.

2.5 Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram diketahui dari Prasasti Canggal yang berangka tahun 732 Masehi
yang ditulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Dalam prasasti itu disebutkan
bahwa pada mulanya Jawa (Yawadwipa) diperintah oleh Raja Sanna. Setelah ia wafat
Sanjaya naik tahta sebagai penggantinya. Sanjaya adalah putra Sannaha (saudara perempuan
Sanna).

Prasasti Mantyasih (Prasasti Kedu) yang di dikeluarkan oleh Raja Balitung pada tahun
907 memuat daftar raja-raja keturunan Sanjaya, sebagai berikut : 1. Rakai Mataram Sang
Ratu Sanjaya 2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran 3. Sri Maharaja Rakai Panunggalan 4. Sri
Maharaja Rakai Warak 5. Sri Maharaja Rakai Garung 6. Sri Maharaja Rakai Pikatan 7. Sri
Maharaja Rakai Kayuwangi 8. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang 9. Sri Maharaja Watukura
Dyah Balitung .

Prasasti Kelurak, 782 M di desa Kelurak disebutkan bahwa Raja Dharanindra


membangun arca Majusri ( candi sewu). Pengganti raja Dharanindra, adalah Samaratungga.
Samaratungga digantikan oleh putrinya bernama Pramodawardhani. Dalam Prasasti Sri
Kahulunan ( gelar Pramodawardhani) berangka tahun 842 M di daerah Kedu, dinyatakan
bahwa Sri Kahulunan meresmikan pemberian tanah untuk pemeliharaan candi Borobudur
yang sudah dibangun sejak masa pemerintahan Samaratungga. Pramodhawardhani menikah
dengan Rakai Pikatan yang beragama Hindu. Adik Pramodhawardhani, Balaputradewa
menentang pernikahan itu. Pada tahun 856 Balaputradewa berusaha merebut kekuasaan dari
Rakai Pikatan, namun usahanya itu gagal. Setelah pemerintahan Rakai Pikatan, Mataram
menunjukkan kemunduran.

Sejak pemerintahan Raja Balitung banyak mengalihkan perhatian ke wilayah Jawa


Timur. Raja-raja setelah Balitung adalah : 1. Daksa (910 – 919). Ia telah menjadi rakryan
mahamantri I hino (jabatan terttinggi sesudah raja) pada masa pemerintahan Balitung. 2.
Rakai Layang Dyah Tulodong (919 – 924) 3. Wawa yang bergelar Sri
Wijayalokanamottungga (924 – 929) Wawa merupakan raja terakhir kerajaan Mataram.
Pusat kerajaan kemudian dipindahkan oleh seorang mahapatihnya (Mahamantri I
hino) bernama Mpu Sindok ke Jawa Timur. F. Kerajaan Medang Kamulan (Kahuripan) Mpu
Sindok yang menjabat sebagai mahamantri i hino pada masa pemerintahan Raja Wawa
memindahkan pusat pemerintahan ke Jawa Timur tersebut. Pada tahun 929 M, Mpu Sindok
naik tahta dengan gelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmattunggadewa. la
mendirikan dinasti baru, yaitu Dinasti Isana. Pu Sindok memerintah sampai dengan tahun
947. Pengganti- penggantinya dapat diketahui dari prasasti yang dikeluarkan oleh Airlangga,
yaitu Prasasti Calcuta.

Berdasarkan berita Cina diperoleh keterangan bahwa Raja Dharmawangsa pada tahun
990 – 992 M melakukan serangan terhadap Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 1016, Airlangga
datang ke Pulau Jawa untuk meminang putri Dharmawangsa. Namun pada saat upacara
pernikahan berlangsung kerajaan mendapat serangan dari Wurawuri dari Lwaram yang
bekerjasama dengan Kerajaan Sriwijaya. Peristiwa ini disebut peristiwa Pralaya. Selama
dalam pengassingan ia menyusun kekuatan. Setelah berhasil menaklukkan raja Wurawari
pada tahun 1032 dan mengalahkan Raja Wijaya dari Wengker Pada tahun 1035 ia berhasil
mengembalikan kekuasaan. Airlangga wafat pada tahun 1049 dan disemayamkan di
Parthirtan Belahan, di lereng gunung Penanggungan.

2.6 Kerajaan Kediri

Pada akhir pemerintahannya Airlangga kesulitan dalam menunjuk penggantinya,


sebab Putri Mahkotanya bernama Sanggramawijaya menolak menggantikan menjadi raja. la
memilih menjadi seorang pertapa. Maka tahta diserahkan kepada kedua orang anak laki-
lakinya, yaitu Jayengrana dan Jayawarsa.

Untuk menghindari perselisihan di antara keduanya maka kerajaan di bagi dua atas
bantuan Mpu Barada yaitu Jenggala dengan ibukotanya Kahuripan dan Panjalu dengan
ibukotanya Daha (Kadiri). Kisah tentang kerajaan ini termuat dalam Prasasti Banjaran (1052
M) yang menjelaskan kemenangan Panjalu atas Jenggala dan prasasti Hantang (1052 M)
yang menjelaskan Panjalu pada masa Jayabaya. Selain itu, ada kakawin Bharatayuda karya
Mpu Sedah dan Panuluh tahun 1156 M yang menceritakan kemenangan Kediri/Panjalu atas
Janggala.

Berita Cina yang berjudul Ling-mai- tai-ta yang ditulis oleh Cho-ku-fei tahun 1178 M
dan kitab Chu-fan-chi yang ditulis oleh Chau-Ju-Kua tahun 1225 M.
Raja pertama yang muncul dalam pentas sejarah adalah Sri Jayawarsa dengan
prasastinya yang berangka tahun 1104 M. Selanjutnya berturut-turut raja- raja yang berkuasa
di Kadiri adalah sebagai berikut : Kameswara (±1115 – 1130), Jayabaya (±1130 – 1160),
1135), Sarweswara (±1160 – 1170), Aryyeswara (±1170 – 1180), Gandra (1181), Srengga
(1190-1200) dan Kertajaya (1200 – 1222). Pada tahun 1222 terjadilah Perang Ganter antara
Ken arok dengan Kertajaya. Ken Arok dengan bantuan para Brahmana (pendeta) berhasil
mengalahkan Kertajaya di Ganter (Pujon, Malang).

2.7 Kerajaan Singasari

Kerajaan Singasari didirikan oleh Ken Arok. Dalam kitab Pararaton Ken Arok
digambarkan sebagai seorang pencuri dan perampok yang sakti, sehingga menjadi buronan
tentara Tumapel.

Setelah mendapatkan bantuan dari seorang Brahmana, Ken Arok dapat mengabdi
kepada Akuwu (bupati) di Tumapel bernama Tunggul Ametung. Setelah berhasil membunuh
Tunggul Ametung tahun, Ken Arok menggantikannya sebagai penguasa Tumapel. Ia juga
menjadikan Ken Dedes, istri Tunggul Ametung, sebagai permaisurinya. Pada waktu itu
Tumapel masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Kadiri. Setelah merasa memiliki
kekuatan yang cukup, Ken Arok berusaha untuk melepaskan diri dari Kediri.

Pada tahun 1222 M terjadilah perang Ganter antara Ken Arok dengan Kertajaya.
Akhirnya Ken Arok berhasil mengalahkan Kertajaya, raja Kadiri terakhir di ganter (pujon,
Malang). Ia kemudian naik tahta sebagai raja Singasari dan mendirikan dinasti baru yaitu
Dinasti Girinda. Tidak lama kemudian, Ken Dedes melahirkan seorang putra bernama
Anusapati hasil pernikahannya dengan Tunggul Ametung. Sedangkan dari istri yang lain,
yaitu Ken Umang, Ken Arok mempunyai seorang putra bernama Tohjaya. Pada tahun 1227,
Ken Arok dibunuh oleh Anusapati. Hal ini dilakukan sebagai balas dendam atas kematian
ayahnya, Tunggul Ametung. Anusapati mengantikan berkuasa di Singasari. Ia memerintah
selama 21 tahun. Sampai akhirnya ia dibunuh oleh Tohjaya, juga sebagai balas dendam atas
kematian ayahnya.

Tohjaya naik tahta. Ia memerintah dalam waktu sangat singkat. Ia kemudian terbunuh
oleh Ranggawuni (putra Anusapati). Pada tahun 1248 Ranggawuni naik tahta dengan gelar
Srijaya Wisnuwardhana. Pada tahun 1254 Wisnuwardhana mengangkat putranya Kertanegara
sebagai Yuwaraja atau Raja Muda. Wisnuwardana wafat pada tahun 1268 di Mandragiri.
Pada tahun 1268 Kertanegara naik tahta. la merupakan raja terbesar kerajaan
Singasari. Kertanegara merupakan raja pertama yang bercita-cita menyatukan Nusantara.
Pada tahun 1275, Kertanegara mengirimkan Ekspedisi Pamalayu ke Sumatera (Jambi)
dipimpin oleh Kebo Anabrang. Ekspedisi ini bertujuan menuntut pengakuan Sriwijaya dan
Malayu atas kekuasaan Singasari. Ekspedisi ini juga untuk mengurangi pengaruh Kubilai
Khan dari Cina di Nusantara. Ekspedisi ini menimbulkan rasa khawatir raja Mongol tersebut.
Oleh karena itu pada tahun 1289 Kubilai Khan mengirimkan utusan bernama Meng-chi
menuntut Singasari mengakui kekuasaan Kekaisaran Mongol atas Singasari. Kertanegara
menolak tegas, bahkan utusan Cina itu dilukai mukanya. Perlakukan tersebut dianggap
sebagai penghinaan dan tantangan perang. Untuk menghadapi kemungkinan serangan dari
tentara Mongol pasukan Singasari disiagakan dan dikirim ke berbagai daerah di Laut Jawa
dan di Laut Cina Selatan. Sehingga pertahanan di ibukota lemah. Hal ini dimanfaatkan oleh
pihak-pihak yang tidak senang terhadap Kertanegara, diantaranya Jayakatwang penguasa
Kadiri dan Arya Wiraraja (bupati Madura).

Pasukan Kediri berhasil menduduki istana dan membunuh Kertanegara. I. Kerajaan


Majapahit Setelah Kertanegara terbunuh oleh Jayakatwang, 1292. Raden Wijaya menantu
Kertanegara berhasil melarikan diri ke Madura untuk minta bantuan Arya Wiraraja, bupati
Sumenep. Atas nasihat Arya Wiraraja, Raden Wijaya menyerahkan diri kepada Jayakatwang.
Atas jaminan dari Arya Wiraraja, Raden Wijaya diterima dan diperbolehkan membuka hutan
Tarik yang terletak di dekat Sungai Brantas. Dengan bantuan orang-orang Madura,
pembukaan hutan Tarik dibuka dan diberi nama Majapahit. Kemudian datanglah pasukan
Tartar yang dikirim Kaisar Kubilai Khan untuk menghukum raja Jawa. Walaupun sudah
mengetahui Kertanegara sudah meninggal, tentara Tartar bersikeras mau menghukum raja
Jawa. Hal ini dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk membalas dendam kepada
Jayakatwang. Jayakatwang berhasil dihancurkan. Pada waktu tentara Tartar hendak kembali
kepelabuhan, Raden Wijaya menghancurkan tentara Tartar, Setelah berhasil mengusir tentara
Tartar, Raden Wijaya dinobatkan sebagai Raja Majapahit dengan gelar Sri Kertarajasa
Jayawardhana pada tahun 1293.

2.8 Kerajaan Majapahit

Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir di nusantara yang berdiri


antara abad ke-13 hingga abad ke-16. Dalam sejarahnya, Majapahit dianggap sebagai salah
satu kerajaan terbesar dengan wilayah kekuasaan hampir mencakup seluruh nusantara.
Kerajaan Majapahit didirikan pada 1293 M oleh Raden Wijaya, menantu Kertanegara,
raja terakhir Kerajaan Singasari. Puncak kejayaan kerajaan ini berlangsung pada masa
pemerintahan Hayam Wuruk, yang berkuasa antara 1350-1389 M. Di bawah kekuasaan
Hayam Wuruk, Majapahit berhasil menaklukkan Sumatera, Semenanjung Malaya,
Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura), dan
sebagian Kepulauan Filipina. Selain itu, kerajaan ini juga menjalin relasi dengan Campa,
Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, Vietnam, dan China. Sumber sejarah Kerajaan
Majapahit dapat diketahui dari Kitab Negarakertagama, Pararaton, buku-buku kidung,
prasasti-prasasti, dan berita-berita China.

Meski kerap diwarnai pemberontakan pada awal berdirinya, Kerajaan Majapahit


berhasil berkembang menjadi kerajaan terbesar di nusantara. Masa keemasan kerajaan ini
berlangsung pada saat diperintah oleh Hayam Wuruk (1350-1389 M). Kejayaan Majapahit
tidak luput dari peran Gajah Mada, mahapatih yang berhasil menumpas semua
pemberontakan dan bersumpah akan menyatukan wilayah nusantara. Selama 39 tahun
berkuasa, Hayam Wuruk dan Gajah Mada berhasil membuat seluruh kepulauan Indonesia
bahkan Jazirah Malaka mengibarkan panji-panji Majapahit. Sumpah Palapa yang dilontarkan
Gajah Mada pun terlaksana, dengan daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera,
Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua,
ditambah Tumasik (Singapura) dan sebagian Kepulauan Filipina. Selain itu, kerajaan ini juga
menjalin relasi dengan Campa (Thailand), Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, Vietnam,
dan China. Majapahit juga mempunyai armada angkatan laut yang tangguh di bawah
pimpinan Mpu Nala. Dengan kekuatan militer dan strateginya, Majapahit mampu
menciptakan stabilitas di wilayahnya. Sementara dalam bidang ekonomi, Majapahit menjadi
pusat perniagaan di Asia Tenggara dengan komoditas ekspor terdiri dari lada, garam, dan
kain.

Raja-raja Kerajaan Majapahit Raden Wijaya (1293-1309 M) Sri Jayanagara (1309-


1328 M) Tribhuwana Tunggadewi (1328-1350 M) Hayam Wuruk (1350-1389 M)
Wikramawardhana (1389-1429 M) Dyah Ayu Kencana Wungu (1429-1447 M) Prabu
Brawijaya I (1447-1451 M) Prabu Brawijaya II (1451-1453 M) Prabu Brawijaya III (1456-
1466 M) Prabu Brawijaya IV (1466-1468 M) Prabu Brawijaya V (1468 -1478 M) Prabu
Brawijaya VI (1478-1489 M) Prabu Brawijaya VII (1489-1527 M)
Keruntuhan Kerajaan Majapahit Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran
setelah wafatnya Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Sejak saat itu, para penerusnya tidak ada
yang cakap dalam mengelola luasnya kekuasaan Majapahit. Selain itu, terdapat beberapa
faktor yang mendorong runtuhnya Kerajaan Majapahit, di antaranya: Banyak wilayah
taklukkan yang melepaskan diri Terdapat konflik perebutan takhta Meletusnya Perang
Paregreg Semakin berkembangnya pengaruh Islam di Jawa Kekuasaan Kerajaan Majapahit
benar-benar berakhir pada 1527, setelah ditaklukkan oleh pasukan Sultan Trenggana dari
Kesultanan Demak. Sejak saat itu, wilayahnya yang tersisa diambil alih oleh Kesultanan
Demak.

2.9 Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali

Sejarah Kerajaan Buleleng dimulai sejak pertengahan abad ke-17 Masehi. Kerajaan
bercorak Hindu ini terletak di Bali bagian utara, tepatnya di Singaraja. Pendiri Kerajaan
Buleleng bernama I Gusti Anglurah Panji Sakti dari Wangsa Kepakisan. Kerajan Buleleng
berdiri ketika eksistensi Kerajaan Majapahit kian memudar. Selama berabad-abad Majapahit
yang berpusat di Jawa bagian timur dikenal sebagai kemaharajaan besar, sebelum runtuh
seiring munculnya Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Di seberang
timur Jawa, berdirilah Buleleng bersama sejumlah kerajaan Hindu lainnya di Pulau Dewata.
Amurwani Dwi dan kawan-kawan dalam Sejarah Indonesia (2014:141), mencatat, di Bali
saat itu muncul beberapa kerajaan, termasuk Gelgel, Klungkung, Buleleng, dan lainnya.

Pendiri Kerajaan Buleleng I Gusti Anglurah Panji Sakti atau yang bernama kecil I
Gusti Gede Pasekan adalah seorang pangeran. Ia putra dari I Gusti Ngurah Jelantik, penguasa
Kerajaan Gelgel yang bertakhta sejak tahun 1580 Masehi. Meskipun bertitel pangeran, Panji
Sakti bukanlah putra mahkota karena ia bukan anak dari permaisuri. Ibunda Panji Sakti
bernama Si Luh Pasek Gobleg, istri selir I Gusti Ngurah Jelantik. Dikisahkan oleh Deni
Prasetyo dalam buku Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara (2009), Panji Sakti berbeda
dengan anak-anak lainnya. Ia punya keistimewaan, termasuk disebut-sebut memiliki
kekuatan supranatural.

Kelebihan Panji Sakti membuat ayahnya khawatir. I Gusti Ngurah Jelantik cemas jika
suatu saat anaknya dari istri selir itu akan menggeser posisi pewaris takhta yang telah
ditunjuknya, yakni putra mahkota dari permaisuri. Maka, ketika berusia 12 tahun, Panji Sakti
diasingkan ke kampung halaman ibunya, yakni di Desa Panji, wilayah Den Bukit, Bali bagian
utara. Di Den Bukit, Panji Sakti tumbuh sebagai sosok pemimpin muda yang cemerlang. Ia
berhasil menyatukan wilayah-wilayah sekitar Den Bukit bahkan kemudian dinobatkan
menjadi raja. I Gusti Anglurah Panji Sakti mendirikan kerajaan pada 1660 yang kemudian
dikenal dengan nama Kerajaan Buleleng.

Kerajaan Buleleng berkembang pesat dan langsung mencapai kejayaan di masa-masa


awalnya. Kerajaan ini punya bandar dagang yang ramai karena letaknya dekat dengan pantai.
Buleleng berperan sebagai penyalur pasokan hasil bumi dari para saudagar Bali ke daerah-
daerah lain. Dikutip dari buku I Gusti Anglurah Panji Sakti Raja Buleleng (1994) karya
Soegianto Sastrodiwiryo, wilayah Kerajaan Buleleng bertambah luas setelah menaklukkan
Blambangan (Banyuwangi) dan Pasuruan di Jawa bagian timur.

Kekuatan Kerajaan Buleleng perlahan melemah setelah I Gusti Ngurah Panji Sakti
meninggal dunia pada 1704. Tahun 1732, Buleleng takluk kepada Kerajaan Mengwi. Dua
dekade kemudian, tahun 1752, Buleleng kembali menjadi negeri yang merdeka. Namun, lagi-
lagi Buleleng kalah perang tahun 1780 pada era kepemimpinan I Gusti Ngurah Jelantik
(1757-1780). Pemimpin Wangsa Karangasem, I Gusti Pahang Canang, berhasil merebut
wilayah Buleleng.

Selama berada di bawah kekuasaan Wangsa Karangasem, keluarga istana Buleleng


ternyata diberi posisi penting. Salah satunya adalah I Gusti Ketut Jelantik, pangeran Buleleng
putra I Gusti Ngurah Jelantik. Ketika Wangsa Karangasem dipimpin oleh I Gusti Made
Karangasem (1825-1849), I Gusti Ketut Jelantik ditunjuk sebagai patih atau panglima perang.
Pada 1846, 1848, dan 1849, wilayah Buleleng mendapat serangan dari Belanda. Menurut
catatan Robert Pringle dalam A Short History of Bali (2004), I Gusti Ketut Jelantik
memimpin perlawanan rakyat Buleleng terhadap kaum penjajah. I Gusti Ketut Jelantik gugur
dalam rangkaian peperangan yang berakhir dengan puputan atau perang habis-habisan itu
pada 1849. Sejak saat itu, wilayah Bali bagian utara, termasuk Karangasem dan Buleleng,
dikuasai oleh Belanda.

2.10 Kerajaan Tulang Bawang

Sebelum Sriwijaya berkembang menjadi kerajaan besar, diduga di wilayah ujung


Pulau Sumatra bagian selatan (Provinsi Lampung)telah berdiri kerajaan yang bercorak hindu.
Berita tentang kerajaan Tulang Bawang berasal dari abad ke-5, yaitu dari kitab Liu-sung-Shu,
sebuah kitab sejarah pada masa pemerintahan Kaisar Liu Sung (420 – 479).
Kitab ini menceritakan bahwa pada tahun 499 M sebuah kerajaan yang terletak di
wilayah Nusantara bagian barat yang bernama P’o-hung atau P’u-huang mengirimkan utusan
dan upeti ke negeri Cina. Dalam sumber sejarah Cina yang lain, yaitu kitab T’ai-p’ing-huang-
yu-chi yang ditulis pada tahun 976 M – 983 M, disebutkan bahwa kerajaan yang bernama
T’o-lang- p’p-huang yang oleh G. Ferrand disarankan untuk diidentifikasikan dengan Tulang
Bawang yang terletak di daerah pantai tenggara Pulau Sumatra, di selatan sungai Musi. K.
Kerajaan Kota Kapur Dari hasil penelitian arkeologi yang dilakukan di Kota Kapur, Pulau
Bangka, pada tahun 1994, diperoleh suatu petunjuk tentang adanya kemungkinan berdiri
sebuah pusat pemerintahan sebelum kerajaan Sriwijaya berdiri. Pusat pemerintahan ini
menemukan temuan – temuan arkeologi berupa sisa – sisa sebuah candi hindu (waisnawa)
terbuat dari batu bersama arca – arca dari batu diantaranya 2 buah arca batu wisnu yang di
buat sekitar abad 5 - 7 M. Dari peninggalan arkeologi tersebut dapat disimpulkan bahwa
kerajaan Kota Kapur bercorak Hindu Waisnawa.

Dari sumber-sumber sejarah Cina, kerajaan awal yang terletak di daerah Lampung
adalah kerajaan yang disebut Bawang atau Tulang Bawang. Raja-raja yang pernah
memerintah Kerajaan Tulang Bawang diantaranya : Raja Mulonou, Raja Rio Mangku Bumi
Kamantaka Bumiloka, Raja Minak Pati Pejurit, dan Raja Minak Tabu Gayalu.

2.11 Kerajaan Kota Kapur

Kerajaan Kota Kapur diperkirakan sudah berdiri sejak sekitar abad ke 5 – 6 Masehi.
Hal tersebut didukung dengan adanya penemuan berupa Arca Wisnu yang berjumlah 4 buah,
yang mana memiliki gaya arsitektur pre Angkor. Bukti pendukung lain yang menunjukkan
awal mula berdirinya kerajaan ini adalah hasil analisa dari carbon dating benteng yang
menunjukkan tahun 532 M.

Kerajaan Kota Kapur berlokasi di kawasan Kota Kapur yang ada di Provinsi Bangka
Belitung, yang mana termasuk dalam daerah Kecamatan Mendo Barat. Secara geografis,
kawasan tersebut termasuk dalam daerah dataran tinggi, sedang, perbukitan, serta pesisir di
mana semua itu berhadapan dengan Selat Bangka.

Kontur tanah di pusat Kerajaan Kota Kapur termasuk dalam kategori bergelombang, namun
dalam keadaan yang lemah. Keberadaan kota tersebut terbilang cukup strategis, sebab
letaknya ada di antara Laut Cina Selatan dan Selat Malaka di sisi utara dengan Laut Jawa di
sisi selatan. Apabila diperhatikan, wilayah tersebut berada di bagian barat dari Pulau Bangka.

Luas daerah tersebut berkisar 88 Ha di mana memiliki ketinggian wilayah sekitar 16 mdpl.
Sedangkan khusus di daerah dataran tinggi, ketinggiannya bisa mencapai 125 mdpl. Pada sisi
utara wilayah tersebut, ada sebuah rawa yang menjadi penghubung Sungai Mendo dan Selat
Bangka. Perlu Anda pahami, Sungai Mendo merupakan sungai utama di daerah ini.

Hal tersebut menunjukkan bahwa Kerajaan Kota Kapur telah ada sebelum adanya Kerjaan
Sriwijaya yang baru ada di tahun 650 M. Nama daerah letak berdirinya kerajaan ini
terinspirasi dari potensi kekayaan yang dimiliki oleh kawasan tersebut. Peradaban di wilayah
Kota Kapur diawali dengan adanya dijadikannya kawasan tersebut menjadi jalur perdagangan
dunia.

Pusat Pemerintahan Kerajaan Kota Kapur terpusat di wilayah aliran Sungai Mendo, yang
dulu disebut dengan nama Sungai Menduk. Ketika memasuki abad ke- 7 Masehi, daerah yang
menjadi pintu gerbang hilir mudiknya pedagang pedagang, terutama mereka yang berasal dari
India dan Tiongkok. Pada zaman ini, pergerakan angin sangat penting, sebab menjadi
penggerak kapal yang berlayar di lautan.

Adanya pusat perdagangan di sekitar pesisir, menyebabkan banyak masyarakat membangun


pemukiman di kawasan tersebut. Pada saat itu, wilayah  Kota Kapur berada dalam keadaan
ekonomi yang cukup baik, yang mana disebabkan karena perdagangan yang kuat. Dengan
demikian, akses yang dimiliki wilayah ini juga menjadi luas, bahkan hingga ke Pulau Jawa.

Apabila diamati dari rekonstruksi sejarah yang dilakukan pada benda peninggalan Kerajaan
Kota Kapur, dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat di wilayah tersebut dulu banyak
menganut ajaran agama Hindu. Sedangkan aliran yang diikuti yaitu Waisnawa.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pendapat mengenai proses masuk dan berkembangnya kebudayaan Hindu- Budha di


Indonesia, yaitu hipotesis Waisya, Hipotesis Ksatria, Hipotesis Brahmana dan teori Arus
Balik. Masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu-Budha membawa pengaruh
besar di berbagai bidang.

Kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha merupakan salah satu bukti adanya


pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Setiap kerajaan dipimpin oleh seorang raja
yang memiliki kekuasaan mutlak dan turun-temurun. Kerajaan-kerajaan itu antara lain :
Kerajaan Kutai, Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Sriwijaya, Mataram Kuno, Kerajaan
Singhasari, Kerajaan Majapahit.

Masuknya kebudayaan India ke Indonesia telah membawa pengaruh terhadap


perkembangan kebudayaaan di Indonesia. Namun kebudayaan asli Indonesia tidak begitu
luntur. Kebudayaan yang datang dari India mengalami proses penyesuaian dengan
kebudayaan, maka terjadilah proses akulturasi kebudayaan.

3.2 Saran

Kebudayaan yang berkembang di Indoneisa pada tahap awal diyakini berasal dari
India. Pengaruh itu diduga mulai masuk pada awal abad masehi. Apabila kita
membandingkan peninggalan sejarah yang ada di Indonesia akan ditemukan kemiripan itu.

Sebelum kenal dengan kebudayaan India, bangunan yang kita miliki masih sangat
sederhana. Saat itu belum dikenal arsitektur bangunan seperti candi atau keraton. Tata kota di
pusat kerajaan juga dipengaruhi kebudayaan hindu. Demikian pula dalam hal kebudayaan
yang lain seperti peribadatan dan kesastraan.Kita harus menjaga kelestarian dan budaya-
budaya yang ditinggalkan agama Hindu-Budha.
DAFTAR PUSTAKA

Nasrudin Muh, Warsito S.W, Nursa’ban Muh, Mari Belajar IPS VII, Jakarta : Pusat
Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2008

Iwan Setiawan dkk, Wawasan Sosial, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional Indonesia, 2008

Rickflefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern. Yogyaarta : Gajah Mada university Press, 1998

Armia, “Makalah Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia”,


http://armia11ips104.blogspot.com/2012/10/makalah-kerajaan- hindu-budha-di.html, 17-04-
2018

Anda mungkin juga menyukai