DI NUSANTARA
KELOMPOK :
KELAS : X IPS 2
Segala puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi wasa yang telah melimpahkan
karunia dan nikmat bagi umat-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada
waktunya.
Karena terbatasnya ilmu yang dimiliki oleh penulis maka makalah ini jauh dari
sempurna untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.
Tidak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada semua
pihak yang telah turut membantu dalam penyusunan Makalah ini. Semoga bantuan dan
bimbingan yang telh diberikan kepada kami mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan
Yang Maha Esa.
Akhirnya penulis berharap semoga Makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis
dan umumnya bagi pembaca.
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
1.3 Tujuan............................................................................................................ 2
1.4 Manfaat.......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kerajaan Kutai............................................................................................... 3
2.2 Kerajaan Tarumanegara................................................................................. 4
2.3 Kerajaan Kalingga atau Holing...................................................................... 6
2.4 Kerajaan Sriwijaya......................................................................................... 8
2.5 Kerajaan Mataram Kuno................................................................................ 10
2.6 Kerajaan Kediri.............................................................................................. 11
2.7 Kerajaan Singasari......................................................................................... 12
2.8 Kerajaan Majapahit........................................................................................ 13
2.9 Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali...................... 15
2.10 Kerajaan Tulang Bawang............................................................................. 16
2.11 Kerajaan Kota Kapur................................................................................... 17
BAB III PENUTU
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 19
3.2 Saran.............................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu- Buddha, yaitu
kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Pada
masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa abad ke-
7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah
Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak
kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Tengah dan Kamboja. Abad ke-14
juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih
Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada, berhasil memperoleh kekuasaan atas
wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung
Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan pembentukan
kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.
Masuknya ajaran Islam pada sekitar abad ke-12, melahirkan kerajaan- kerajaan
bercorak Islam yang ekspansionis, seperti Samudera Pasai di Sumatera dan Demak di Jawa.
Munculnya kerajaan-kerajaan tersebut, secara perlahan-lahan mengakhiri kejayaan Sriwijaya
dan Majapahit, sekaligus menandai akhir dari era ini.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini adalah untuk mengetahui proses masuknya kerajaan-
kerajaan Hindu-Budha di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
Kerajaan Kutai Martapura adalah kerajaan Hindu tertua di Indonesia yang didirikan
sekitar abad ke-4. Letak kerajaan ini berada di daerah Muara Kaman di tepi Sungai
Mahakam, Kalimantan Timur. Keberadaan Kutai diketahui berdasarkan sumber sejarah yang
ditemukan, yaitu berupa tujuh Prasasti Yupa yang ditulis dengan huruf Pallawa dengan
Bahasa Sanskerta. Dalam Prasasti Yupa, disebut nama Raja Kudungga yang pertama
menduduki takhta Kerajaan Kutai. Disebut pula bahwa Kudungga memiliki seorang putra
bernama Asmawarman yang menjadi raja kedua Kutai. Asmawarman memiliki tiga orang
putra, salah satunya bernama Mulawarman, yang akhirnya menjadi raja dan berhasil
membawa Kerajaan Kutai menuju masa kejayaan.
Dari Prasasti Yupa, dapat diketahui bahwa masa kejayaan Kerajaan Kutai
berlangsung ketika diperintah oleh Raja Mulawarman. Mulawarman disebut-sebut sebagai
raja yang memiliki budi pekerti baik, kuat, dan pernah mengadakan upacara persembahan
20.000 ekor lembu untuk kaum Brahmana yang bertempat di Waprakecvara. Waprakecvara
adalah tempat suci (keramat) yang merupakan sinkretisme antara kebudayaan Hindu dengan
kebudayaan Indonesia. Sebagai keturunan Aswawarman,
Maharesi Jayasingawarman yang berasal dari Salankayana, India, hijrah ke Nusantara. Lantas
ia bertandang ke Kerajaan Salakanagara dan mendapatkan sambutan dari Raja Dewawarman
VIII. Kemudian, ia dinikahkan dengan salah satu putri raja. Jayasingawarman kemudian
membuka wilayah yang diperkirakan terletak di sekitar Bekasi. Ia mendirikan Kerajaan
bernama Taruma pada 358 masehi dan kini dikenal sebagai Tarumanagara atau
Tarumanegara. Raja Jayasingawarman bertahta selama 24 tahun (358-382M).
Sepeninggalannya, tahta dilanjutkan oleh keturunannya.
Selama berdiri, kerajaan Tarumanegara tercatat pernah dipimpin oleh 12 orang raja, yakni:
Jayasingawarman (358-382 M)
Dharmayawarman (382-395 M)
Purnawarman (395-434 M)
Wisnuwarman (434-455 M)
Indrawarman (455-515 M)
Candrawarman (515-535 M)
Suryawarman (535-561 M)
Kertawarman (561-628 M)
Sudhawarman (628-639 M)
Hariwangsawarman (639-640 M)
Nagajayawarman (640-666 M)
Linggawarman (666-669 M)
Salah satu raja yang disegani adalah Raja Purnawarman yang berhasil mengantarkan
Tarumanegara pada masa kejayaannya. Dia digambarkan sebagai sosok yang jujur, gagah,
dan bijaksana.
Setelah berkuasa kurang lebih tiga abad, kerajaan Tarumanegara goyah dan
mengalami keruntuhan sekitar abad ke 7 Masehi. Dalam buku Sejarah untuk Kelas 2 SMA
oleh Habib Mustopo, sebuah Kronik Dinasti Tang menerangkan bahwa Kerajaan
Tarumanegara mengirimkan utusan ke negeri China pada tahun 528, 535, 630, dan 669 M.
Pada 669 Masehi, utusan Kerajaan Tarumanegara tidak mengirimkan utusan lagi.
Pada saat itu Kerajaan Tarumanegara diprediksi telah mengalami keruntuhan akibat serangan
dari Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Tarumanegara mendapatkan pengaruh dari kebudayaan
Hindu India. Hal tersebut tampak dari kebudayaan serta bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa
dalam prasasti. Berikut sejumlah prasasti dan peninggalan kerajaan Tarumanegara.
Prasasti Ciareteun
Prasasti Ciareteun yang ditemukan di Ciampea, Bogor memiliki ukiran laba-laba dan
tapak kaki serta puisi yang ditulis dengan huruf Palawa dan bahasa Sanskerta. Prasasti
tersebut berisi puisi tentang Purnawarman.
Prasasti Pasir Koleangkak atau Prasasti Jambu yang ditemukan di sebelah barat kota
Bogor. Prasasti Jambu berisikan pujian atas kebesaran, kegagahan, dan keberanian
Raja Purnawarman.
Prasasti Kebon Kopi
Ditemukan di kampung Muara Hilir, Cibungbulang yang berisi dua kaki gajah yang
disamakan dengan tapak kaki gajah Airawati, yakni gajah kendaraan Dewa Wisnu.
Demikian sejarah Kerajaan Tarumanegara dan prasasti peninggalannya yang dapat kita
jumpai sekarang sebagai wujud masa kejayaannya.
Kerajaan Kalingga mencakup sepanjang pesisir pantai utara di Jawa Tengah hingga
wilayah pedalaman di bagian selatan. Adapun pusat pemerintahannya diperkirakan pernah
berada di Pekalongan, Jepara, atau di pegunungan Dieng. Kerajaan Kalingga, yang juga
disebut dengan nama Holing, Keling, atau Heling, meninggalkan beberapa peninggalan
berupa prasasti dan candi-candi yang masih dapat ditemukan hingga kini. Kerajaan ini juga
merupakan pendahulu dari kerajaan-kerajaan besar yang nantinya berkuasa di tanah Jawa.
Di bawah kepemimpinan raja wanita ini, Kerajaan Kalingga mencapai puncak masa
keemasan. Baca juga: Sejarah Kepemimpinan Ratu Shima di Kerajaan Kalingga (674-695 M)
Sejarah Kerajaan Aceh: Sebab Runtuhnya Kesultanan & Silsilah Raja Sungai Citarum dan
Banjir Jakarta dalam Sejarah Kerajaan Sunda Letak dan Sumber Sejarah Kalingga Menurut
Amurwani Dwi dan kawan-kawan dalam buku Sejarah Indonesia (2014), nama Kalingga
diduga terinspirasi dari Kalinga, sebuah kerajaan yang terletak di India bagian selatan.
Sumber sejarah mengenai keberadaan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah diketahui dari
berita-berita Cina. Salah satunya adalah catatan dari zaman Dinasti Tang (618-906 M) yang
memberikan keterangan mengenai letak Kalingga. Disebutkan, Kalingga terletak di sebelah
barat Po-li (Bali), di sebelah timur To-po-Teng (diidentifikasi sebagai Sumatera), di bagian
utaranya terdapat Chen-la (Kamboja), dan dibatasi oleh lautan.
Selain itu, ada pula catatan dari seorang pengelana asal Cina bernama I-Tsing. Pada
abad ke-7, tulisnya, Kalingga pernah menjadi pusat pengajaran agama Buddha Hinayana
dengan pendetanya yang bernama Hwining. Terkait lokasi kota Pekalongan sebagai salah
satu bagian dari wilayah Kerajaan Kalingga termuat dari catatan Cheng-Ho, seorang
panglima asal Dinasti Ming. Armada yang dipimpin Cheng-Ho pernah singgah di suatu
wilayah bernama Poe-Chua-lung atau yang kemudian diidentifikasi sebagai Pekalongan,
salah satu kota di pesisir utara Jawa Tengah. Baca juga: Sejarah Runtuhnya Tarumanegara:
Sebab, Peninggalan, Raja Sejarah Asal-Usul Terbentuknya Kepulauan Nusantara atau
Indonesia Contoh Perkembangan Akulturasi Budaya Islam di Indonesia Kejayaan dan
Keruntuhan Kalingga Masa kejayaan Kerajaan Kalingga terjadi pada era kepemimpinan Ratu
Shima yang mulai bertakhta pada 674 M. Kala itu, Kerajaan Kalingga mencapai kemajuan di
berbagai bidang, termasuk ekonomi, militer, agama, perdagangan, pertanian, dan lainnya.
Bahkan, Kerajaan Kalingga kala itu sudah sudah menjalin relasi perdagangan dengan Cina.
Kemajuan Kalingga di sektor perniagaan ditopang dengan keberadaan pelabuhan terbesarnya
yang berada di Pekalongan. Menurut Ismawati dan kawan-kawan dalam Continuity And
Change: Tradisi Pemikiran Islam di Jawa (2006:36), pelabuhan Pekalongan sangat penting
bagi Kerajaan Kalingga untuk menggeser hegemoni Kerajaan Tarumanegara yang kala itu
sedang di ambang keruntuhan.
Ratu Shima, dikenal sebagai sosok pemimpin yang tegas dan tidak pandang bulu.
Dalam suatu cerita dikisahkan, sang ratu bahkan pernah menghukum putranya sendiri, yakni
Pangeran Narayana, karena dianggap telah melakukan pelanggaran berat. Ratu Shima
memerintah Kerajaan Kalingga selama 21 tahun. Semasa periode itu, Kalingga menjadi satu-
satunya kerajaan besar di Jawa bagian tengah, sekaligus penguasa pesisir pantai utara.
Kendati tegas, namun Ratu Shima juga dikenal sebagai sosok yang menghormati perbedaan.
Kerajaan Kalingga mengayomi pemeluk agama lain, termasuk Buddha, dan orang-orang
Islam dari Timur Tengah yang datang untuk berdagang. Baca juga: Sejarah Candi Sambisari:
Pernah Terkubur Letusan Gunung Merapi Sejarah Candi Prambanan Peninggalan Mataram
Kuno, Warisan Dunia Sejarah Candi Borobudur: Pembangunan Warisan Dunia Sepeninggal
Ratu Shima yang wafat pada 695 Masehi, Kerajaan Kalingga mulai melemah dan akhirnya
runtuh pada 752 M.
Kerajaan Sriwijaya lahir pada abad ke-7 Masehi dengan pendirinya yang bernama
Dapuntahyang Sri Jayanasa. Keterangan ini tertulis pada salah satu prasasti yang ditemukan
di Kota Kapur, Mendo Barat, Bangka. Namun, kisah pendirian kerajaan ini merupakan salah
satu bagian yang sulit dipecahkan oleh peneliti. Sebab dalam sumber-sumber yang ditemukan
tidak ada struktur genealogis yang tersusun rapi antar raja Sriwijaya.
Prasasti Kedukan Bukit (682 Masehi) menyebutkan nama Dapunta Hyang, dan
prasasti Talang Tuo (684 Masehi) memperjelasnya menjadi Dapunta Hyang Sri Jayanasa.
Kedua prasasti ini adalah penjelasan tertua mengenai seseorang yang dianggap sebagai raja
atau pemimpin Sriwijaya.
Peristiwa ini terjadi pada waktu yang kurang lebih bersamaan dengan runtuhnya
kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat dan Kerajaan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang
bisa saja terjadi karena serangan yang dilancarkan oleh Sriwijaya.
Berikut ini adalah nama-nama raja Kerajaan Sriwijaya yang sedikit banyak disepakati oleh
para ahli setelah masa kekuasaan Dapunta Hyang Sri Jayanasa.
- Sri Indrawarman
- Raja Dharanindra
- Raja Samaratungga
- Rakai Pikatan
- Balaputradewa
- Sri Udayadityawarman
- Sri Culamaniwarman atau Cudamaniwarmadewa
- Sri Marawijayatunggawarman
- Sri Sanggramawijayatunggawarman
Kerajaan Mataram diketahui dari Prasasti Canggal yang berangka tahun 732 Masehi
yang ditulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Dalam prasasti itu disebutkan
bahwa pada mulanya Jawa (Yawadwipa) diperintah oleh Raja Sanna. Setelah ia wafat
Sanjaya naik tahta sebagai penggantinya. Sanjaya adalah putra Sannaha (saudara perempuan
Sanna).
Prasasti Mantyasih (Prasasti Kedu) yang di dikeluarkan oleh Raja Balitung pada tahun
907 memuat daftar raja-raja keturunan Sanjaya, sebagai berikut : 1. Rakai Mataram Sang
Ratu Sanjaya 2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran 3. Sri Maharaja Rakai Panunggalan 4. Sri
Maharaja Rakai Warak 5. Sri Maharaja Rakai Garung 6. Sri Maharaja Rakai Pikatan 7. Sri
Maharaja Rakai Kayuwangi 8. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang 9. Sri Maharaja Watukura
Dyah Balitung .
Berdasarkan berita Cina diperoleh keterangan bahwa Raja Dharmawangsa pada tahun
990 – 992 M melakukan serangan terhadap Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 1016, Airlangga
datang ke Pulau Jawa untuk meminang putri Dharmawangsa. Namun pada saat upacara
pernikahan berlangsung kerajaan mendapat serangan dari Wurawuri dari Lwaram yang
bekerjasama dengan Kerajaan Sriwijaya. Peristiwa ini disebut peristiwa Pralaya. Selama
dalam pengassingan ia menyusun kekuatan. Setelah berhasil menaklukkan raja Wurawari
pada tahun 1032 dan mengalahkan Raja Wijaya dari Wengker Pada tahun 1035 ia berhasil
mengembalikan kekuasaan. Airlangga wafat pada tahun 1049 dan disemayamkan di
Parthirtan Belahan, di lereng gunung Penanggungan.
Untuk menghindari perselisihan di antara keduanya maka kerajaan di bagi dua atas
bantuan Mpu Barada yaitu Jenggala dengan ibukotanya Kahuripan dan Panjalu dengan
ibukotanya Daha (Kadiri). Kisah tentang kerajaan ini termuat dalam Prasasti Banjaran (1052
M) yang menjelaskan kemenangan Panjalu atas Jenggala dan prasasti Hantang (1052 M)
yang menjelaskan Panjalu pada masa Jayabaya. Selain itu, ada kakawin Bharatayuda karya
Mpu Sedah dan Panuluh tahun 1156 M yang menceritakan kemenangan Kediri/Panjalu atas
Janggala.
Berita Cina yang berjudul Ling-mai- tai-ta yang ditulis oleh Cho-ku-fei tahun 1178 M
dan kitab Chu-fan-chi yang ditulis oleh Chau-Ju-Kua tahun 1225 M.
Raja pertama yang muncul dalam pentas sejarah adalah Sri Jayawarsa dengan
prasastinya yang berangka tahun 1104 M. Selanjutnya berturut-turut raja- raja yang berkuasa
di Kadiri adalah sebagai berikut : Kameswara (±1115 – 1130), Jayabaya (±1130 – 1160),
1135), Sarweswara (±1160 – 1170), Aryyeswara (±1170 – 1180), Gandra (1181), Srengga
(1190-1200) dan Kertajaya (1200 – 1222). Pada tahun 1222 terjadilah Perang Ganter antara
Ken arok dengan Kertajaya. Ken Arok dengan bantuan para Brahmana (pendeta) berhasil
mengalahkan Kertajaya di Ganter (Pujon, Malang).
Kerajaan Singasari didirikan oleh Ken Arok. Dalam kitab Pararaton Ken Arok
digambarkan sebagai seorang pencuri dan perampok yang sakti, sehingga menjadi buronan
tentara Tumapel.
Setelah mendapatkan bantuan dari seorang Brahmana, Ken Arok dapat mengabdi
kepada Akuwu (bupati) di Tumapel bernama Tunggul Ametung. Setelah berhasil membunuh
Tunggul Ametung tahun, Ken Arok menggantikannya sebagai penguasa Tumapel. Ia juga
menjadikan Ken Dedes, istri Tunggul Ametung, sebagai permaisurinya. Pada waktu itu
Tumapel masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Kadiri. Setelah merasa memiliki
kekuatan yang cukup, Ken Arok berusaha untuk melepaskan diri dari Kediri.
Pada tahun 1222 M terjadilah perang Ganter antara Ken Arok dengan Kertajaya.
Akhirnya Ken Arok berhasil mengalahkan Kertajaya, raja Kadiri terakhir di ganter (pujon,
Malang). Ia kemudian naik tahta sebagai raja Singasari dan mendirikan dinasti baru yaitu
Dinasti Girinda. Tidak lama kemudian, Ken Dedes melahirkan seorang putra bernama
Anusapati hasil pernikahannya dengan Tunggul Ametung. Sedangkan dari istri yang lain,
yaitu Ken Umang, Ken Arok mempunyai seorang putra bernama Tohjaya. Pada tahun 1227,
Ken Arok dibunuh oleh Anusapati. Hal ini dilakukan sebagai balas dendam atas kematian
ayahnya, Tunggul Ametung. Anusapati mengantikan berkuasa di Singasari. Ia memerintah
selama 21 tahun. Sampai akhirnya ia dibunuh oleh Tohjaya, juga sebagai balas dendam atas
kematian ayahnya.
Tohjaya naik tahta. Ia memerintah dalam waktu sangat singkat. Ia kemudian terbunuh
oleh Ranggawuni (putra Anusapati). Pada tahun 1248 Ranggawuni naik tahta dengan gelar
Srijaya Wisnuwardhana. Pada tahun 1254 Wisnuwardhana mengangkat putranya Kertanegara
sebagai Yuwaraja atau Raja Muda. Wisnuwardana wafat pada tahun 1268 di Mandragiri.
Pada tahun 1268 Kertanegara naik tahta. la merupakan raja terbesar kerajaan
Singasari. Kertanegara merupakan raja pertama yang bercita-cita menyatukan Nusantara.
Pada tahun 1275, Kertanegara mengirimkan Ekspedisi Pamalayu ke Sumatera (Jambi)
dipimpin oleh Kebo Anabrang. Ekspedisi ini bertujuan menuntut pengakuan Sriwijaya dan
Malayu atas kekuasaan Singasari. Ekspedisi ini juga untuk mengurangi pengaruh Kubilai
Khan dari Cina di Nusantara. Ekspedisi ini menimbulkan rasa khawatir raja Mongol tersebut.
Oleh karena itu pada tahun 1289 Kubilai Khan mengirimkan utusan bernama Meng-chi
menuntut Singasari mengakui kekuasaan Kekaisaran Mongol atas Singasari. Kertanegara
menolak tegas, bahkan utusan Cina itu dilukai mukanya. Perlakukan tersebut dianggap
sebagai penghinaan dan tantangan perang. Untuk menghadapi kemungkinan serangan dari
tentara Mongol pasukan Singasari disiagakan dan dikirim ke berbagai daerah di Laut Jawa
dan di Laut Cina Selatan. Sehingga pertahanan di ibukota lemah. Hal ini dimanfaatkan oleh
pihak-pihak yang tidak senang terhadap Kertanegara, diantaranya Jayakatwang penguasa
Kadiri dan Arya Wiraraja (bupati Madura).
Sejarah Kerajaan Buleleng dimulai sejak pertengahan abad ke-17 Masehi. Kerajaan
bercorak Hindu ini terletak di Bali bagian utara, tepatnya di Singaraja. Pendiri Kerajaan
Buleleng bernama I Gusti Anglurah Panji Sakti dari Wangsa Kepakisan. Kerajan Buleleng
berdiri ketika eksistensi Kerajaan Majapahit kian memudar. Selama berabad-abad Majapahit
yang berpusat di Jawa bagian timur dikenal sebagai kemaharajaan besar, sebelum runtuh
seiring munculnya Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Di seberang
timur Jawa, berdirilah Buleleng bersama sejumlah kerajaan Hindu lainnya di Pulau Dewata.
Amurwani Dwi dan kawan-kawan dalam Sejarah Indonesia (2014:141), mencatat, di Bali
saat itu muncul beberapa kerajaan, termasuk Gelgel, Klungkung, Buleleng, dan lainnya.
Pendiri Kerajaan Buleleng I Gusti Anglurah Panji Sakti atau yang bernama kecil I
Gusti Gede Pasekan adalah seorang pangeran. Ia putra dari I Gusti Ngurah Jelantik, penguasa
Kerajaan Gelgel yang bertakhta sejak tahun 1580 Masehi. Meskipun bertitel pangeran, Panji
Sakti bukanlah putra mahkota karena ia bukan anak dari permaisuri. Ibunda Panji Sakti
bernama Si Luh Pasek Gobleg, istri selir I Gusti Ngurah Jelantik. Dikisahkan oleh Deni
Prasetyo dalam buku Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara (2009), Panji Sakti berbeda
dengan anak-anak lainnya. Ia punya keistimewaan, termasuk disebut-sebut memiliki
kekuatan supranatural.
Kelebihan Panji Sakti membuat ayahnya khawatir. I Gusti Ngurah Jelantik cemas jika
suatu saat anaknya dari istri selir itu akan menggeser posisi pewaris takhta yang telah
ditunjuknya, yakni putra mahkota dari permaisuri. Maka, ketika berusia 12 tahun, Panji Sakti
diasingkan ke kampung halaman ibunya, yakni di Desa Panji, wilayah Den Bukit, Bali bagian
utara. Di Den Bukit, Panji Sakti tumbuh sebagai sosok pemimpin muda yang cemerlang. Ia
berhasil menyatukan wilayah-wilayah sekitar Den Bukit bahkan kemudian dinobatkan
menjadi raja. I Gusti Anglurah Panji Sakti mendirikan kerajaan pada 1660 yang kemudian
dikenal dengan nama Kerajaan Buleleng.
Kekuatan Kerajaan Buleleng perlahan melemah setelah I Gusti Ngurah Panji Sakti
meninggal dunia pada 1704. Tahun 1732, Buleleng takluk kepada Kerajaan Mengwi. Dua
dekade kemudian, tahun 1752, Buleleng kembali menjadi negeri yang merdeka. Namun, lagi-
lagi Buleleng kalah perang tahun 1780 pada era kepemimpinan I Gusti Ngurah Jelantik
(1757-1780). Pemimpin Wangsa Karangasem, I Gusti Pahang Canang, berhasil merebut
wilayah Buleleng.
Dari sumber-sumber sejarah Cina, kerajaan awal yang terletak di daerah Lampung
adalah kerajaan yang disebut Bawang atau Tulang Bawang. Raja-raja yang pernah
memerintah Kerajaan Tulang Bawang diantaranya : Raja Mulonou, Raja Rio Mangku Bumi
Kamantaka Bumiloka, Raja Minak Pati Pejurit, dan Raja Minak Tabu Gayalu.
Kerajaan Kota Kapur diperkirakan sudah berdiri sejak sekitar abad ke 5 – 6 Masehi.
Hal tersebut didukung dengan adanya penemuan berupa Arca Wisnu yang berjumlah 4 buah,
yang mana memiliki gaya arsitektur pre Angkor. Bukti pendukung lain yang menunjukkan
awal mula berdirinya kerajaan ini adalah hasil analisa dari carbon dating benteng yang
menunjukkan tahun 532 M.
Kerajaan Kota Kapur berlokasi di kawasan Kota Kapur yang ada di Provinsi Bangka
Belitung, yang mana termasuk dalam daerah Kecamatan Mendo Barat. Secara geografis,
kawasan tersebut termasuk dalam daerah dataran tinggi, sedang, perbukitan, serta pesisir di
mana semua itu berhadapan dengan Selat Bangka.
Kontur tanah di pusat Kerajaan Kota Kapur termasuk dalam kategori bergelombang, namun
dalam keadaan yang lemah. Keberadaan kota tersebut terbilang cukup strategis, sebab
letaknya ada di antara Laut Cina Selatan dan Selat Malaka di sisi utara dengan Laut Jawa di
sisi selatan. Apabila diperhatikan, wilayah tersebut berada di bagian barat dari Pulau Bangka.
Luas daerah tersebut berkisar 88 Ha di mana memiliki ketinggian wilayah sekitar 16 mdpl.
Sedangkan khusus di daerah dataran tinggi, ketinggiannya bisa mencapai 125 mdpl. Pada sisi
utara wilayah tersebut, ada sebuah rawa yang menjadi penghubung Sungai Mendo dan Selat
Bangka. Perlu Anda pahami, Sungai Mendo merupakan sungai utama di daerah ini.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Kerajaan Kota Kapur telah ada sebelum adanya Kerjaan
Sriwijaya yang baru ada di tahun 650 M. Nama daerah letak berdirinya kerajaan ini
terinspirasi dari potensi kekayaan yang dimiliki oleh kawasan tersebut. Peradaban di wilayah
Kota Kapur diawali dengan adanya dijadikannya kawasan tersebut menjadi jalur perdagangan
dunia.
Pusat Pemerintahan Kerajaan Kota Kapur terpusat di wilayah aliran Sungai Mendo, yang
dulu disebut dengan nama Sungai Menduk. Ketika memasuki abad ke- 7 Masehi, daerah yang
menjadi pintu gerbang hilir mudiknya pedagang pedagang, terutama mereka yang berasal dari
India dan Tiongkok. Pada zaman ini, pergerakan angin sangat penting, sebab menjadi
penggerak kapal yang berlayar di lautan.
Apabila diamati dari rekonstruksi sejarah yang dilakukan pada benda peninggalan Kerajaan
Kota Kapur, dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat di wilayah tersebut dulu banyak
menganut ajaran agama Hindu. Sedangkan aliran yang diikuti yaitu Waisnawa.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Kebudayaan yang berkembang di Indoneisa pada tahap awal diyakini berasal dari
India. Pengaruh itu diduga mulai masuk pada awal abad masehi. Apabila kita
membandingkan peninggalan sejarah yang ada di Indonesia akan ditemukan kemiripan itu.
Sebelum kenal dengan kebudayaan India, bangunan yang kita miliki masih sangat
sederhana. Saat itu belum dikenal arsitektur bangunan seperti candi atau keraton. Tata kota di
pusat kerajaan juga dipengaruhi kebudayaan hindu. Demikian pula dalam hal kebudayaan
yang lain seperti peribadatan dan kesastraan.Kita harus menjaga kelestarian dan budaya-
budaya yang ditinggalkan agama Hindu-Budha.
DAFTAR PUSTAKA
Nasrudin Muh, Warsito S.W, Nursa’ban Muh, Mari Belajar IPS VII, Jakarta : Pusat
Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2008
Iwan Setiawan dkk, Wawasan Sosial, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional Indonesia, 2008
Rickflefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern. Yogyaarta : Gajah Mada university Press, 1998