Anda di halaman 1dari 106

PROMOSI KESEHATAN KEPERAWATAN KOMUNITAS

PADA PENYAKIT TBC, AIDS/SHIFILIS, DBD, DIARE DAN


COVID

MATA KULIAH
KEPERAWATAN KOMUNITAS
Dosen Pengampu : Drs. H. Muh. Nagib, M.Kes

Disusun Oleh :

WARDANI
NIM. 113120055

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN ALIH JENJANG


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HAMZAR
LOMBOK TIMUR
TAHUN 2022

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keperawatan komunitas adalah pelayanan keperawatan professional yang
ditujukan pada masyarakat dengan penekanan kelompok risiko tinggi dalam upaya
pencapaian derajat kesehatan yang optimal melalui peningkatan kesehatan,
pencegahan penyakit, pemeliharaan rehabilitasi dengan menjamin keterjangkauan
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dan melibatkan klien sebagai mitra dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pelayanan keperawatan ( CHN,1977 cit R.
Fallen & R Budi Dwi K, 2010). Di Indonesia dikenal dengan sebutan perawatan
kesehatan masyarakat (PERKESMAS) yang dimulai sejak permulaan konsep
Puskesmas diperkenalkan sebagai institusi pelayanan kesehatan professional
terdepan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat secara
komprehensif.
Keperawatan sebagai bentuk komphrensif melakukan penekanan tujuan
untuk menekan stressor atau meningkatkan kemampuan komunitas mengatasi
stressor melalui pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Peningkatan kesehatan
berupa pencegahan penyakit ini bisa melalui pelayanan keperawatan langsung dan
perhatian langsung terhadap seluruh masyarakat dengan mempertimbangkan
bagaimana masalah kesehatan masyarakat mempengaruhi kesehatan individu,
keluarga dan kelompok. Peningkatan peran serta masyarakat dalam bidang
kesehatan merupakan suatu proses dalam upaya meningkatkan kesehatan.
Asuhan keperawatan komunitas dilakukan dengan pendekatan proses
keperawatan. Penerapan dari proses perawatan bervariasi pada setiap situasi,
tetapi prosesnya memiliki kesamaan. Dalam melaksanakan keperawatan
kesehatan masyarakat, seorang perawat kesehatan komunitas harus mampu
memberi perhatian terhadap elemen-elemen tersebut yang akan tampak pada
rangkaian kegiatan dalam proses keperawatan yang berjalan berkesinambungan
secara dinamis dalam suatu siklus melalui tahap pengkajian, analisa data,

2
diagnose keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. (R. Fallen & R
Budi Dwi K, 2010).
Masyarakat atau komunitas sebagai bagian dari subyek dan obyek
pelayanan kesehatan dan dalam seluruh proses perubahan hendaknya perlu
dilibatkan secara lebih aktif dalam usaha peningkatan status kesehatannya dan
mengikuti seluruh kegiatan keperawatan komunitas. Hal ini dimulai dari
pengenalan masalah keperawatan sampai penanggulangan masalah dengan
melibatkan individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
Pelaksanaan asuhan keperawatan komunitas yang dilakukan menggunakan
empat pendekatan yaitu pendekatan individu, pendekatan keluarga, kelompok dan
masyarakat. Pendekatan yang dilakukan terkait empat pendekatan yaitu
pendekatan individu, keluarga dan kelompok masyarakat dilakukan dengan cara
masing-masing mengelola satu keluarga dengan resiko penyakit tertentu dan
keluarga binaan. Pendekatan masyarakat dilakukan secara bersama-sama melalui
pengkajian data kesehatan masyarakat dan lingkuingan pedukuhan Patuk sampai
kegiatan evaluasi terhadap program yang dilakukan terkait masalah yang muncul.
Pembangunan kesehatan di Indonesia selama beberapa dekade yang lalu
harus diakui relatif berhasil, terutama pembangunan infra struktur pelayanan
kesehatan yang telah menyentuh sebagian besar wilayah kecamatan dan pedesaan.
Namun keberhasilan yang sudah dicapai belum dapat menuntaskan.problem
kesehatan masyarakat secara menyeluruh, bahkan sebaliknya tantangan sektor
kesehatan cenderung semakin meningkat.
Transisi epidemiologis, yang di tandai dengan semakin berkembangnya
penyakit degeneratif dan penyakit tertentu yang belum dapat diatasi sepenuhnya
(seperti TBC, Aids/Shifilis, DHF, diare dan penyakit menular yang baru muncul
saat ini seperti covid), hal ini merupakan sebagian tantangan kesehatan di masa
depan. Tantangan lainnya yang harus ditanggulangi antara lain adalah
meningkatnya masalah kesehatan kerja, kesehatan lingkungan, masalah obat-
obatan; dan perubahan dalam bidang ekonomi, kependudukan, pendidikan, sosial
budaya; dan dampak globalisasi yang akan memberikan pergaruh terhadap
perkembangan keadaan kesehatan masyarakat.

3
Oleh karena itu, demi tercapainya program tersebut perlu adanya upaya
untuk menambahkan pengetahuan pada masyarakat mengenai pemahaman yang
terkait erat dengan penyakit TBC, Aids/Shifilis, DBD, Diare dan Covid,
pengertian tentang, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, pathway,
pemeriksaan penunjang, komplikasi, dan penatalaksanaan (medis, keperawatan,
diet) serta asuhan keperawatan bagi penderita TBC, Aids/Shifilis, DBD, Diare dan
Covid.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan komunitas pada penyakit TBC,
Aids/Shifilis, DBD, Diare dan Covid.
2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui definisi penyakit TBC, Aids/Shifilis, DBD, Diare dan
Covid.
2. Untuk mengetahui Etiologi penyakit TBC, Aids/Shifilis, DBD, Diare dan
Covid.
3. Untuk mengetahui klasifikasi penyakit TBC, Aids/Shifilis, DBD, Diare
dan Covid.
4. Untuk mengetahui Patofisiologi penyakit TBC, Aids/Shifilis, DBD, Diare
dan Covid.
5. Untuk mengetahui tanda dan gejala penyakit TBC, Aids/Shifilis, DBD,
Diare dan Covid.
6. Untuk mengetahui cara penularan penyakit TBC, Aids/Shifilis, DBD,
Diare dan Covid.
7. Untuk mengetahui Penegakan Diagnostik
8. Untuk mengetahui Pengobatan penyakit TBC, Aids/Shifilis, DBD, Diare
dan Covid.
9. Untuk mengetahui Komplikasi penyakit TBC, Aids/Shifilis, DBD, Diare
dan Covid.
10. Untuk mengetahui Pencegahan penyakit TBC, Aids/Shifilis, DBD, Diare
dan Covid.

4
11. Untuk mengetahui Prognosis penyakit TBC, Aids/Shifilis, DBD, Diare
dan Covid.
12. Untuk mengetahui promosi kesehatan pada penyakit TBC, Aids/Shifilis,
DBD, Diare dan Covid.

5
BAB II

PROSES KEPERAWATAN KOMUNITAS

A. Pengkajian
1. Core/ inti komunitas
a. Histori
Histori merupakan suatu gambaran terkait sejarah yang berkaitan dengan
kondisi perkembangan suatu wilayah tertentu yang mencakup semua
komponen yang terdapat dalam wilayah tersebut termasuk di dalamnya
adalah perbatasan wilayah.
b. Demographic
Demografi berasal dari kata demos yang berarti rakyat atau penduduk dan
grafein yang berarti menulia. Jadi, demografi adalah tulisan-tulisan atau
karangan-karangan mengenai penduduk.(Mubarak Wahit dan Nurul
Chayatin 2009).
Menurut A. Guillard (1985), demografi adalah elements de statistique
humaine on demographic compares. Defenisi demografi antara lain.
1) Demografi merupakan studi ilmiah yang menyangkut masalah
kependudukan, terutama dalam kaitannya dengan jumlah, struktur dan
perkembangan suatu penduduk.
2) Demografi merupakan studi statistik dan matematis tentang besar,
komposisi, dan distribusi penduduk, serta peruban-perubahannya
sepanjang masa melalui komponen demografi, yaitu kelahiran,
kematian, perkawinan, dan mobilitas sosial.
3) Demografi merupakan studi tentang jumlah, penyebaran teritorial dan
komponen penduduk, serta perubahan-perubahan dan sebab-sebabnya.
c. Ethnicitic
Etnik adalah seperangkat kondisi spesifik yang dimiliki oleh kelompok
tertentu (kelompok etnik). Sekelompok etnik adalah sekumpulan individu
yang mempunyai budaya dan sosial yang unik serta menurunkannya
kepada generasi berikutnya. Etnik berbeda dengan ras. Ras merupakan
sistim pengklasifikasian manusia berdasarkan karakteristik visik,

6
pegmentasi, bentuk tubuh, bentuk wajah, bulu pada tubuh, dan bentuk
kepala. Sedangkan budaya merupakan keyakinan dan perilaku yang
diturunkan atau yang diajarkan manusia kepada generasi berikutnya.
(Efendi ferry dan Makhfudli ,2009).
d. Values and beliefs
Nilai adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, mengenal
apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Nilai budaya adalah
sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya baik atau
buruk. Sedangkan, norma budaya adalah aturan sosial atau patokan
perilaku yang dianggap pantas. Norma budaya merupakan sesuatu kaidah
yang memiliki sifat penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Nilai
dan norma yang diyakini oleh individu tampak di dalam masyarakat
sebagai gaya hidup sehari-hari. (Efendi ferry dan Makhfudli ,2009).

2. Subsistem
a. Lingkungan Fisik
Perumahan : rumah yang dihuni oleh penduduk, penerangan, sirkulasi, dan
kepadatan.
b. Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan yang tersedia untuk melakukan deteksi dini gangguan
atau merawat atau memantau apabila gangguan sudah terjadi
c. Ekonomi
Tingkat social ekonomi komunitas secara keseluruhan apakah sesuai
dengan upah minimum regional (UMR), dibawah UMR atau diatas UMR
sehingga upaya kesehatan yang diberikan dapat terjangkau, misalnya
anjuaran untuk konsumsi jenis makanan sesuai status ekonomi tersebut.
d. Transportasi dan Keamanan
Keamanan dan keselamatan lingkungan tempat tinggal : apakah tidak
menimbulkan stress.
e. Politik dan pemerintahan

7
Politik dan kebijakan pemerintah terkait dengan kesehatan : apakah cukup
menunjang sehingga memudahkan komunitas mendapat pelayanan
diberbagai bidang termasuk kesehatan.
f. Komunikasi
Sarana komunikasi apa saja yang dimanfaatkan di komuitas tersebut untuk
meningkatkan pengetahuan terkait dengan gangguan nutrisi misalnya
televisi, radio, koran atau leaf let yang diberikan kepada komunitas.
g. Education
Apakah ada sarana pendidikan yang dapat digunakan untuk meingkatkan
pengetahuan?
h. Rekreasi
Apakah tersedia sarananya, kapan saja dibuka dan apakah biayanya
terjangkau oleh komunitas. Rekreasi ini hendaknya dapat digunakan
komunitas untuk megurangi stress. ( R. Fallen & R Budi Dwi K, 2010 ).

B. Diagnosa Keperawatan
Setelah dilakukan pengkajian yang sesuai dengan data-data yang dicari,
maka kemudian dikelompokkan dan dianalisa seberapa besar stressor yang
mengancam masyarakat dan seberapa berat reaksi yang imbul pada masyarakat
tersebut. Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disusun diagnose keperawatan
komunitas dimana terdiri dari : masalah kesehatan, karakteristik populasi, dan
karakteristik lingkungan. ( R. Fallen & R Budi Dwi K, 2010 ).

C. Rencana Keperawatan
Tahap kedua dari proses keperawatan merupakan tindakan menetapkan
apa yang harus dilakukan untuk membantu sasaran dalam upaya promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Langkah pertama dalam tahap perencanaan
adalah menetapkan tujuan dan sasaran kegiatan untuk mengatasi masalah yang
telah ditetapkan sesuai dengan diagnose keperawatan. Dalam menentukan tahap
berikutnya yaitu rencana pelaksanaan kegiatan maka ada 2 faktor yang
mempengaruhi dan dipertimbangkan dalam menyusun rencana tersebut yaitu sifat

8
masalah dan sumber atau potensi masyarakat seperti dana, sarana, tenaga yang
tersedia.
Dalam pelaksanaan pengembangan masyarakat dilakukan melalui tahapan
sebagai berikut :
a. Tahap persiapan
Dengan dilakukan pemilihan daerah yang menjadi prioritas menentukan cara
untuk berhubungan dengan masyarakat, mempelajari dan bekerjasama dengan
masyarakat.
b. Tahap pengorganisasian
Dengan persiapan pembentukan kelompok kerja kesehatan untuk
menumbuhkan kepedulian terhadap kesehatan dalam masyarakat. Kelompok
kerja kesehatan (Pokjakes) adalah suatu wadah kegiatan yang dibentuk oleh
masyarakat secara bergotong royong untuk menolong diri mereka sendiri
dalam mengenal dan memecahkan masalah atau kebutuhan kesehatan dan
kesejahteraan, meningkatkan kemampuan masyarakat berperan serta dalam
pembangunan kesehatan di wilayahya.
c. Tahap pendidikan dan latihan
1) Kegiatan pertemuan teratur dengan kelompok masyarakat
2) Melakukan pengkajian
3) Membuat program berdasarkan masalah atau diagnose keperawatan
4) Melatih kader
5) Keperawatan langsung terhadap individu, keluarga, dan masyarakat
d. Tahap formasi dan kepemimpinan
e. Tahap koordinasi intersektoral
f. Tahap ahkir
Dengan melakukan supervise atau kunjungan bertahap untuk mengevaluasi
serta memberikan umpan balik untuk perbaikan kegiatan kelompok kerja
kesehatan lebih lanjut. Untuk lebih singkatnya perencanaan dapat diperoleh
dengan tahapan sebagai berikut :
1) Pendidikan kesehatan tentang gangguan nutrisi
2) Demonstrasi pengolahan dan pemilihan yang baik

9
3) Melakukan deteksi dini tanda-tanda gangguan kurang gizi melalui
pemeriksaan fisik dan laboratorium
4) Bekerja dengan aparat Pemda setempat untuk mengamankan lingkungan
atau komunitas bila stressor dari lingkungan.
5) Rujukan ke rumah sakit bila diperlukan

D. Implementasi
Pada tahap ini rencana yang telah disusun dilaksanakan dengan melibatkan
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat sepenuhnya dalam mengatasi
masalah kesehatan dan keperawat yang dihadapi. Hal-hal yang yang perlu
dipertimbangkan dalam pelaksaan kegiatan keperawatan kesehatan masyarakat
adalah:
a. Melaksanakan kerja sama lintas program dan linytas sektoral dengan instansi
terkait
b. Mengikut sertakan partisipasi aktif individu, keluarga, masyarakat dan
kelompok dan kelompok masyarakat dalam menghatasi masalah kesehatannya.
c. Memanfaatkan potensi dan sumbar daya yang ada di masyarakat
Level pencagahan dalam pelaksanaan praktek keperawatan komunitas terdiri
atas:
1) Pencegahan primer
Pencegahan yang terjadi sebelum sakit atau ketidak fungsian dan
diaplikasikannya kedalam populasi sehat pada umumnya dan perlindungan
khusus terhadap penyakit
2) Pencegahan sekunder
Pencagahan sekunder menekankan diagnosa diri dan intervensi yang tepat
untuk menghambat proses patologis, sehingga memperpendek waktu sakit
dan tingkatb keparahan.
3) Pencegahan tersier
Pencegahan tersier dimulai pada saat cacat atau terjadi ketidak mampuan
sambil stabil atau menetap, atau tidak dapat diperbaiki sama sekali.
Rehabilitasi sebagai pencegahan primer lebih dari upaya penghambat proses

10
penyakit sendiri, yaitu mengembalikan individu pada tingkat berfungsi yang
optoimal dari ketidak mampuannya.

E. Evaluasi
Evaluasi di dilakukan atas respons komunitas terhadap program kesehatan.
Hal-hal yang dievaluasi adalah masukan (input),pelaksanaan (proses),dan akhir
akhir (output).
Penilaian yang dilakukan berkaitan dengan tujuan yang akan dicapai
sesuai dengan perencanaan yang telah disusun semula .Ada 4 deminsi yang perlu
dipertimbangkan dalam melaksanakan penilaian ,yaitu :Daya guna ,hasil guna ,
kelayakan ,kecukupan
Adapun dalam evaluasi difokuskan dalam :
a. Relevansi atau hubungan antara kenyataan yang ada dengan pelaksanaan
b. Perkembangan atau kemajuan proses
c. Efensiensi biaya
d. Efektifitas kerja
e. Dampak : apakah status kesehatan meningkat/ menurun , dalam rangka waktu
berapa ?
Perubahan ini dapat diamati seperti gambar dibawah ini :

Keterangan:

= peran dari masyarakat

= Peran perawat

11
Pada gambar diatas dapat dijelaskan alih peran untuk mendirikan klien
dalam menanggulangi masalah kesehatan ,pada awalnya peran perawat lebih
beser dari pada klien dan berangsur-angsur peran klien lebih besar dari pada
perawat.

Tujuan akhir perawat komunitas adalah kemandirian keluarga yang terkait


lima tugas kesehatan yaitu :mengenal masalah kesehatan ,mengambil keputusan
tindakan kesehatan ,merawat anggota keluarga ,menciptakan lingkungan yang
dapat mendukung upaya peningkatan kesehatan keluarga serta menfaatkan
fasilitas pelayanaan kesehatan yang tersedia ,sedangkan pendekatan yang
digunakan adalah pemecahan masalah keperawatan yaitu melalui proses
keperawatan .

12
BAB III
TINJAUAN TEORI

1. PERAWATAN KOMUNITAS PADA PENYAKIT TBC


Salah satu penyakit menular yang ada adalah penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Mycrobacterium tuberculosis (TB), sebagian besar
TB umumnya menyerang paru-paru namun juga dapat menyerang organ
lainnya. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam, sehingga
dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA). Penyakit ini dapat menyerang
pada semua orang, baik anak-anak maunpun orang dewasa. Penyakit ini
sangat mudah ditularkan pada orang lain, bakteri Microbacterium
tuberculosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernapasan
kedalam paru, kemudian bakteri tersebut dapat menyebar dari paru-paru ke
bagian tubuh lain melalui peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran
napas (bronkus) atau menyerang langsung ke bagian tubuh lainnya.
TB Paru merupakan bentuk yang paling sering dijumpai yaitu
sekitar 80% dari semua penderita. TB yang menyerang jaringan paru ini
merupakan satu-satunya bentuk dari TB yang dapat menular. TB
merupakan salah satu masalah kesehatan penting di Indonesia. Selain itu,
Indonesia menduduki peringkat ke-3 negara dengan jumlah penderita TB
terbanyak di dunia setelah India dan China. Jumlah pasien TB di Indonesia
adalah sekitar 5,8 % dari total jumlah pasien TB dunia.
Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB
baru dengan kematian sekitar 91.000 orang. Angka prevalensi TB di
Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB
terjadi pada lebih dari 70% usia produktif. Laporan WHO tentang angka
kejadian TBC evaluasi selama 3 tahun dari 2008, 2009, 2010
menunjukkan bahwa kejadian TBC Indonesia mencapai 189 per 100.000
penduduk. Secara global, angka kejadian kasus kejadian TBC 128 per
100.000 penduduk. Data ini menunjukkan bahwa kasus TBC berada di
sekitar kita.

13
Daya penularan dari seorang penderita TB ditentukan oleh
banyaknya kuman yang terdapat dalam paru penderita. Persebaran dari
kuman-kuman tersebut dalam udara serta yang dikeluarkan bersama dahak
berupa droplet dan berada diudara disekitar penderita TB. Untuk
membatasi terjadinya penyakit TB paru pemerintah mengupayakan strategi
untuk menanggulanginya seperti dengan mencanangkan program DOTS
(Directly Observed Treatment Short-course) yang mana fokus utama dari
program ini adalah penemuan dan penyembuhan pasien, dengan prioritas
diberikan kepada pasien TB tipe menular.
Oleh karena itu, demi tercapainya program tersebut perlu adanya
upaya untuk menambahkan pengetahuan pada masyarakat mengenai
pemahaman anatomi sistem respirasi yang terkait erat dengan penyakit TB
paru, pengertian tentang, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi,
pathway, pemeriksaan penunjang, komplikasi, dan penatalaksanaan
(medis, keperawatan, diet) serta asuhan keperawatan bagi penderita TB
paru

A. Definisi Tuberkulosis paru


Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TBC (Depkes RI, 2002). Definisi lain
menyebutkan bahwa Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi
menahun yang menular yang disebabkan oleh mybacterium tuberculosis
(Depkes RI, 1998). Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh
manusia melalui udara (pernapasan) ke dalam paru. Kemudian kuman
tersebut menyebar dari paru ke organ tubuh yang lain melaui peredaran
darah, kelenjar limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke organ
tubuh lain (Depkes RI, 2002).
Tuberculosis adalah penyakit disebabkan mycobacterium
tuberculosa yang hamper seluruh organ tubuh dapat terserang olehnya,
tapi paling banyak adalah paru-paru.

14
B. Etiologi.
1. Tuberculosis merupakan penyakit paru yang disebabkan
mycobacterium tuberculosis ditemukan oleh Robert Koch (1882).
2. Kuman berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut pula
sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan
sinar matahari langsung.
3. Basil tuberculosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu
dalam keadaan kering tetapi dapat mati pada suhu 60 derajad C
dalam 15 – 20 menit.

C. Klasifikasi
Tuberkulosis dibedakan menjadi dua yaitu tuberkulosis primer
dan tuberkulosis post primer. Pada tuberkulosis primer penularan
tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Dalam suasana gelap dan
lembab kuman dapat bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila
partikel ini terhisap oleh orang yang sehat maka akan menempel pada
jalan nafas atau paru. Kebanyakan partikel ini akan mati atau
dibersihkan oleh makrofag yang keluar dari cabang trakheo-bronkhial
beserta gerakan silia dengan sekretnya. Sedangkan Tuberculosis Post
Primer
dari TBC primer akan muncul bertahun-tahun lamanya menjadi TBC
post Primer. Post Primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi
di sebagian apical posterior atau inferior pada paru. (Soeparman, 1990;
Snieltzer, 2000).

D. Patofisiologi
Bakteri juga dapat masuk melalui luka pada kulit atau mukosa
tetapi jarang sekali terjadi. Bila bakteri menetap di jaringan paru, akan
tumbuh dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Bakteri
terbawa masuk ke organ lainnya. Bakteri yang bersarang di jaringan

15
paru akan membentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil dan disebut
sarang primer atau efek efek primer. Sarang primer ini dapat terjadi di
bagian-bagian jaringan paru. Dari sarang primer ini akan timbul
peradangan saluran getah bening hilus (limfangitis lokal), dan diikuti
pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis hilus). Sarang
primer, limfangitis local, limfadenitis regional disebut sebagai
kompleks primer (Soeparman, 1990; Snieltzer, 2000).
Kompleks primer selanjutnya dapat menjadi sembuh dengan
meninggalkan cacat atau sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas
berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus atau kompleks (sarang)
Ghon, ataupun bisa berkomplikasi dan menyebar secara
perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya, secara bronkhogen
pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya. Dapat juga
kuman tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus,
secara limfogen, secara hematogen, ke organ lainnya (Soeparman,
1990; Snieltzer, 2000).

E. Tanda Dan Gejala


Gejala-gejala klinis yang muncul pada klien TBC paru adalah
sebagai berikut.
1. Demam yang terjadi biasanya menyerupai demam pada influenza,
terkadang sampai 40-410 C.
2. Batuk terjadi karena iritasi bronchus, sifat batuk dimulai dari batuk
non produktif kemudian setelah timbul peradangan menjadi batuk
produktif. Keadaan lanjut dapat terjadi hemoptoe karena pecahnya
pembuluh darah. Ini terjadi karena kavitas, tapi dapat juga terjadi
ulkus dinding bronchus.
3. Sesak nafas terjadi pada kondisi lanjut dimana infiltrasinya sudah
setengah bagian paru.
4. Nyeri dada timbul bila sudah terjadi infiltrasi ke pleura sehingga
menimbulkan pleuritis.
5. Malaise dengan gejala yang dapat ditemukan adalah anorexia, berat

16
badan menurun, sakit kepala, nyeri otot, keringat malam hari
(Soeparman, 1990; Heitkemper, 2000).

F. Cara Penularan
1. Penyakit TBC menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri
Mycobacterium tuberculosa yang dilepaskan pada saat penderita
TBC batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal
dari penderita TBC dewasa.
2. Bacteri bia masuk dan terkumpul dalam paru-paru akan berkembang
biak menjadi banyak (terutama daya tahan tubuh yang rendah), dan
dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening.
Oleh sebab itu infeksi TBC menginfeksi hamper seluruh organ
Tubuh sesperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang,
kelenjar getah bening.
3. Factor lain adalah kondisi rumah lembab karena cahaya matahari
dan udara tidak bersirkulasi dengan baik sehingga bakteri
tuberculosis berkembang dengan baik dan membahayakan orang
yang tinggal didalam rumah.

G. Penegakan Diagnistic TB Paru


Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan berdasarkan riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, foto thoraks, uji tuberkulin, laboratorium,
dan pemerikasaan patologi anatomi (PA). Di Indonesia sebagai standar
untuk penegakan diagnosis tuberkulosis paru adalah pemeriksaan
mikroskopis. Pemeriksaan mikroskopis sangat cocok dengan kondisi
Puskesmas dalam menegakkan diagnosis tuberkulosis paru (Depkes
RI, 2002). Oleh karena itu untuk deteksi kuman TBC digunakan
pemeriksaan mikroskopis dalam menetapkan diagnosis dan
pengobatan.

17
H. Pengobatan
a. Penatalaksanaan Medis.
Pengobatan Tuberkulosis Paru mempunyai tujuan :
1. Menyembuhkan klien dengan gangguan seminimal mungkin;
2. Mencegah kematian klien yang sakit sangat berat.
3. Mencegah kerusakan paru lebih luas dan komplikasi yang terkait.
4. Mencegah kambuhnya penyakit.
5. Mencegah kuman TBC menjadi resisten.
6. Melindungi keluarga dan masyarakat terhadap infeksi (Crofton,
Norman & Miller, 2002).
Sistem pengobatan klien tuberkulosis paru dahulu, seorang
klien harus disuntik dalam waktu 1-2 tahun. Akibatnya klien menjadi
tidak sabar dan bosan untuk berobat. Sistem pengobatan sekarang,
seorang klien diwajibkan minum obat selama 6 bulan. Jenis obat yang
harus diminum harus disesuaikan dengan kategori pengobatan yang
diberikan (Depkes RI, 1997).
Terapi obat yang dilakukan sekarang dengan terapi jangka
pendek selama enam bulan dengan jenis obat INH atau Isoniasid (H),
Rifampicin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E), dan Streptomisin
(Soeparman, 1990). Paduan obat anti tuberkulosis tabel 1 adalah
paduan yang digunakan dalam program nasional penanggulangan
tuberkulosis dan dikemas dalam bentuk paket kombipak (Depkes RI,
2002). Paduan pengobatan terbaru dengan menggunakan FDCs (Fix
Dose Combinations) yaitu kombinasi dari obat anti tuberkulosis dalam
satu kemasan (WHO, 2002)

Paduan Obat
Kategor Tahap Tahap Untuk Klien TUberculosis
i Intensif lanjutan
I 2HRZE 4H3R3 TBC Paru baru BTA (+)
TBC Paru BTA (-) Ro
(+) dengan kerusakan

18
jaringan paru yang luas
TBC ekstra paru sakit
II 2HRZES 5H3R3E3 berat
atau 1HRZE TBC paru BTA (+),
kambuh
TBC paru BTA (+),
gagal

III 4H3R3 TBC paru BTA (+),


2HRZ
pengobatan ulang karena
lalai berobat
TBC paru BTA (-) Ro
(+)
TBC ekstra paru

Keterangan :
H : INH; R : Rifampicin; E : Etambutol; Z : Pirasinamid;
S : Streptomisin (Depkes, RI, 2002)
Angka yang berada di depan menunjukkan lamanya minum obat
dalam bulan, sedangkan angka di belakang huruf menunjukkan berapa kali
dalam seminggu obat tersebut diminum. Sebagai contoh 2HRZ artinya
INH, Rifampicin dan Pirasinamid diminum dalam jangka waktu 2 bulan
dan minumnya setiap hari. 4H3R3 artinya INH, Rifampicin diminum
selama 4 bulan dan diminum 3 kali dalam seminggu (Depkes RI, 2002).
Efek samping yang ditimbulkan dari obat-obat tersebut adalah :
INH : Hepatotoksik. Rifampicin dapat terjadi sindrom flu dan
hepatotoksik. Pada Streptomisin dapat mengakibatkan nefrotoksik,
gangguan nervus VIII cranial. Pirazinamid dapat mengakibatkan
hepatotoksik dan hiperurisemia. Etambutol dapat mengakibatkan neurosis
optika, nefrotoksik, skin rash atau dermatitis. Efek samping dari obat anti
tuberkulosis yang tersering terjadi pada klien adalah pusing, mual,
muntah-muntah, gatal-gatal, mata kabur dan nyeri otot atau tulang
(Depkes RI, 2002). Agar pengobatan berhasil, efek samping dapat

19
terdeteksi secara dini dan dapat segera dirujuk ke fasilitas pelayanan
terdekat, maka diperlukan pengawas minum obat karena ketidakteraturan
minum obat dapat menyebabkan resistensi terhadap obat.
Upaya untuk mencegah terjadinya resistensi, terapi tuberkulosis
paru dilakukan dengan memakai paduan obat, sedikitnya 2 macam obat
yang bakterisid. Dengan memakai obat ini, kemungkinan resistensi awal
dapat diabaikan karena jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam obat
atau lebih, dan pola resistensi yang terbanyak ditemukan ialah INH
(Soeparman, 1990; Depkes RI, 2001). Peran perawat komunitas untuk
menghindari terjadinya resistensi obat adalah dengan selalu memantau
pengobatan dengan kunjungan rumah dan memberikan penyuluhan akibat
ketidakteraturan minum obat.
Selain menggunakan OATS ada metode lain yang dapat digunakan
yaitu: Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) Adalah nama
suatu strategi yang dilaksanakan di pelayanan kesehatan dasar di dunia
untuk mendeteksi dan menyembuhkan pasien TB paru. Strategi ini terdiri
dari lima komponen yaitu:
1. Dukungan politik para pemimpin disetiap jenjang sehongga program ini
menjadi salah satu prioritas dan pendanaan oun akan tersedia.
2. Mikroskop sebagai komponene utama untuk mendiagnosa TB paru
melalui pemeriksaan sputum langsung pasien tersangka dengan penemuan
secara pasif.
3. Pengawasan minum obat (PMO) yaitu orang yang dikenal dan dipercaya
baik oleh pasien maupun petugas kesehatan yang akan ikut mengawasi
pasien minum obat seluruh obatnya sehngga dapat dipastikan bahwa
pasien betul minum seluruh obat dan diharapkan keswembuhan pada akhir
masa pengobatannya.
4. Pencatatan dan pelaporan dengan baik dan benar sebagai bagian dari
sistem surveilans penyakit ini sehingga pemantauan pasien dapat berjalan.
5. Panduan obat anti TB paru jangka pendek yang benar, termasuk dosis, dan
jangka waktu yang tepat sangat penting untuk keberhasilan pengobatan.

20
b. Penatalaksaan Keperawatan
Tentukan apakah pasien pernah kontak pada individu dengan TB
atau tidak. Sering kali “sumber” dari infeksi tidak diketahui dan mungkin
tidak pernah ditemukan. Pada saat yang sama, kontak erat pasien harus
diidentifikasi sehingga mereka dapat menjalani “follow-up” untuk
menentukan apakah mereka terinfeksi dan mempunyai penyakit aktif atau
tes tuberculin positif. Keluhan pasien yang paling umum adalah batuk
produktif dan berkeringat malam hari.
Data yang harus dikumpulkan untuk mengkaji pasien dengan TB
mencakup batu produktif, kenaikan suhu tubuh siang hari, reaksi
tuberkulin dengan indurasi 10 mm atau lebih dan rotgen dada yang
menunjukkan infiltrat pulmonal (Niluh dan Christie, 2003). 

c. Penatalaksanaan Diet
Terapi diet bertujuan untuk memberikan makanan secukupnya
guna memperbaiki dan mencegah kerusakan jaringan tubuh lebih lanjut
serta memperbaiki status gizi agar penderita dapat melakukan aktivitas
normal. Terapi diet untuk penderita kasus Tuberculosis paru adalah:
1. Energi diberikan sesuai dengan keadaan penderita untuk
mencapai berat badan normal.
2. Protein yang tinggi untuk mengganti sel-sel yang rusak
meningkatkan kadar albumin serum yang rendah (75-100
gram).
3. Lemak cukup 15-25 % dari kebutuhan energy total.
4. Karbohidrat cukup sisa dari kebutuhan energy total.
5. Vitamin dan mineral cukup sesuai kebutuhan total.
6. Macam diet untuk penyakit TBC:
a. Diet Tinggi Energi Tinggi Protein I (TETP I).
b. Energy: 2600 kkal, protein 100 gram (2/kg BB).
c. Diet Tinggi Energi Tinggi Protein II (TETP II).
d. Energy: 3000 kkal, protein 125 gram (2,5 gr/kg BB)

21
I. Komplikasi
Komplikasi pada penderita tuberkulosis stadium lanjut (Depkes RI,
2005) :
1. Hemoptosis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang
dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau
tersumbatnya jalan nafas.
2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
3. Bronkiektasis ( pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis
(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif)
pada paru.
4. Pneumotorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan :
kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.
5. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, ginjal dan
sebagainya.
6. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency)

J. Pencegahan
1. Vaksinasi BCG
Pembrian BCG meninggikan daya tahan tubuh terhadap
infeksi oleh basil tuberculosis yang virulen. Imunitas timbul enam
sampai delapan minggu setelah pemberian BCG. Imunitas yang
terjadi tidaklah lengkap sehingga masih mungkin terjadi super
infeksi meskipun biasanya tidak progresif dan menimbukan
komplikasi yang berat.
2. Mempertahankan sistem imunitas seluler dalam keadaan optimal
dengan sedapat mungkin menghindarkan faktor-faktor yang dapat
melemahkan seperti kortikosteroid dan kurang gizi.
3. Menghindari kontak dengan penderita aktif TB.
4. Menggunakan obat obatan sebagai langkah pencegahan pada kasus
beresiko tinggi.
5. Menjaga stándar hidup yang baik, kasus baru dan pasien yang
berpotensi tertular interprestasi melalui penggunaan dan

22
interprestasi tes kulit tuberculin yang tepat imunisasi BCG.

K. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis TB paru
a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari,
yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
b. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,
biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang
diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis.
d. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan
aktifitas penyakit.
e. Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek
TB paru.

Diagnosis TB ekstra paru


a. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan
deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan
lainlainnya.
b. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja
dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat
(presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain.
Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan

23
pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji
mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.

2. PERAWATAN KOMUNITAS PADA PENYAKIT AIDS


HIV/AIDS telah menimbulkan kekhawatiran di berbagai belahan
bumi. HIV/AIDS adalah salah satu penyakit yang harus diwaspadai karena
Acquired Immunodeficiency Syndrome ( AIDS) sangat berakibat pada
penderitanya. Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan
sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia setelah sistem
kekebalannya dirusak oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) .
Mengenai penyakit HIV/AIDS, penyakit ini telah menjadi pandemi yang
mengkhawatirkan masyarakat dunia, karena disamping belum ditemukan
obat dan vaksin pencegahan penyakit ini juga memiliki “window periode”
dan fase asimtomatik (tanpa gejala) yang relatif panjang dalam perjalanan
penyakitnya.

Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal


dari Afrika Sub-Sahara Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS
diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia.
Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO memperkirakan
bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak
pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit
ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS
diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa
pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah
anak-anak. Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-
Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan
menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana.

2.1 Definisi HIV/Aids

Human Immunodeficiency Virus (HIV) Merupakan virus yang


merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang tidak dapat hidup di luar
tubuh manusia. Kerusakan sistem kekebalan tubuh ini akan menimbulkan

24
kerentanan terhadap infeksi penyakit. Sedangkan AIDS atau Acquired
Immune Deficiency Sindrome merupakan kumpulan gejala penyakit
akibat menurunnya system kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV.
Dalam bahasa Indonesia dapat dialih katakana sebagai Sindrome Cacat
Kekebalan Tubuh Dapatan.

Acquired : Didapat, Bukan penyakit keturunan

Immune : Sistem kekebalan tubuh

Deficiency : Kekurangan

Syndrome : Kumpulan gejala-gejala penyakit

AIDS adalah sekumpulan gejala yang menunjukkan kelemahan


atau kerusakan daya tahan tubuh yang diakibatkan oleh factor luar ( bukan
dibawa sejak lahir ).AIDS diartikan sebagai bentuk paling erat dari
keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi Human
Immunodefciency Virus (Suzane C. Smetzler dan Brenda G.Bare).

AIDS diartikan sebagai bentuk paling hebat dari infeksi HIV,


mulai dari kelainan ringan dalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang
nyata hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan dengan pelbagi infeksi
yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang
jarang terjadi (Center for Disease Control and Prevention).

Jadi, AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun


seluler pada seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat
menerangkan tejadinya defisiensi, tersebut seperti keganasan, obat-obat
supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya..

2.2 Etiologi

Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut human


immunodeficiency virus yaitu HTL II, LAV, RAV yang berupa agen viral
yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah dan punya
afinitas yang kuat terhadap limfosit T. Virus ini ditransmisikan melalui

25
kontak intim (seksual), darah atau produk darah yang terinfeksi (HIV).
HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan
disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru
yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang pathogen
dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan keduanya disebut
HIV.

Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :

a. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi.


Tidak ada gejala.
b. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala
flu likes illness.
c. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala
tidak ada.
d. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam,
keringat malam hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash,
limfadenopati, lesi mulut.
e. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS
pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan
tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist.

AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria


maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :

a. Lelaki homoseksual atau biseks


b. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.
c. Orang yang ketagian obat intravena
d. Partner seks dari penderita AIDS
e. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
2.3 Patofisiologi

Tubuh mempunyai suatu mekanisme untuk membasmi suatu


infeksi dari benda asing, misalnya : virus, bakteri, bahan kimia, dan
jaringan asing dari binatang maupun manusia lain. Mekanisme ini disebut

26
sebagai tanggap kebal (immune response) yang terdiri dari 2 proses yang
kompleks yaitu : Kekebalan humoral dan kekebalan cell-mediated. Virus
AIDS (HIV) mempunyai cara tersendiri sehingga dapat menghindari
mekanisme pertahanan tubuh. “ber-aksi” bahkan kemudian dilumpuhkan.

Virus AIDS (HIV) masuk ke dalam tubuh seseorang dalam


keadaan bebas atau berada di dalam sel limfosit. Virus ini memasuki tubuh
dan terutama menginfeksi sel yang mempunyai molekul CD4. Sel-sel
CD4-positif (CD4+) mencakup monosit, makrofag dan limfosit T4 helper.
Saat virus memasuki tubuh, benda asing ini segera dikenal oleh sel T
helper (T4), tetapi begitu sel T helper menempel pada benda asing
tersebut, reseptor sel T helper .tidak berdaya; bahkan HIV bisa pindah dari
sel induk ke dalam sel T helper tersebut. Jadi, sebelum sel T helper dapat
mengenal benda asing HIV, ia lebih dahulu sudah dilumpuhkan. HIV
kemudian mengubah fungsi reseptor di permukaan sel T helper sehingga
reseptor ini dapat menempel dan melebur ke sembarang sel lainnya
sekaligus memindahkan HIV. Sesudah terikat dengan membran sel T4
helper, HIV akan menginjeksikan dua utas benang RNA yang identik ke
dalam sel T4 helper.

Dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse


transcriptase, HIV akan melakukan pemrograman ulang materi genetik
dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA (DNA
utas-ganda). DNA ini akan disatukan ke dalam nukleus sel T4 sebagai
sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen.

Fungsi T helper dalam mekanisme pertahanan tubuh sudah


dilumpuhkan, genom dari HIV ¬ proviral DNA ¬ dibentuk dan
diintegrasikan pada DNA sel T helper sehingga menumpang ikut
berkembang biak sesuai dengan perkembangan biakan sel T helper.
Sampai suatu saat ada mekanisme pencetus (mungkin karena infeksi virus
lain) maka HIV akan aktif membentuk RNA, ke luar dari T helper dan
menyerang sel lainnya untuk menimbulkan penyakit AIDS. Karena sel T
helper sudah lumpuh maka tidak ada mekanisme pembentukan sel T killer,

27
sel B dan sel fagosit lainnya. Kelumpuhan mekanisme kekebalan inilah
yang disebut AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) atau
Sindroma Kegagalan Kekebalan.

2.4 Pathway Virus Hiv/ Aids

2.5 Klasifikasi

Sejak 1 januari 1993, orang-orang dengan keadaan yang


merupakan indicator AIDS (kategori C) dan orang yang termasuk didalam
kategori A3 atau B3 dianggap menderita AIDS.

a. Kategori Klinis A

Mencakup satu atau lebih keadaan ini pada dewasa/remaja dengan


infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang sudah dapat
dipastikan tanpa keadaan dalam kategori klinis B dan C.

28
1) Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang
simptomatik.
2) Limpanodenopati generalisata yang persisten (PGI : Persistent
Generalized Limpanodenophaty)
3) Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut
dengan sakit yang menyertai atau riwayat infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) yang akut

b. Kategori Klinis B

Contoh-contoh keadaan dalam kategori klinis B mencakup :


1) Angiomatosis Baksilaris
2) Kandidiasis Orofaring/ Vulvavaginal (peristen,frekuen /
responnya jelek terhadap terapi
3) Displasia Serviks (sedang / berat karsinoma serviks in situ)
4) Gejala konstitusional seperti panas (38,5o C) atau diare lebih
dari 1 bulan.
5) Leukoplakial yang berambut
6) Herpes Zoster yang meliputi 2 kejadian yang bebeda / terjadi
pada lebih dari satu dermaton saraf.
7) Idiopatik Trombositopenik Purpura
8) Penyakit inflamasi pelvis, khusus dengan abses Tubo Varii

c. Kategori Klinis C

Contoh keadaan dalam kategori pada dewasa dan remaja mencakup


:
1) Kandidiasis bronkus,trakea / paru-paru, esophagus
2) Kanker serviks inpasif
3) Koksidiomikosis ekstrapulmoner / diseminata
4) Kriptokokosis ekstrapulmoner
5) Kriptosporidosis internal kronis
6) Cytomegalovirus (bukan hati,lien, atau kelenjar limfe)

29
7) Refinitis Cytomegalovirus (gangguan penglihatan)
8) Enselopathy berhubungan dengan Human Immunodeficiency
Virus (HIV)
9) Herpes simpleks (ulkus kronis,bronchitis,pneumonitis /
esofagitis)
10) Histoplamosis diseminata / ekstrapulmoner )
11) Isoproasis intestinal yang kronis
12) Sarkoma Kaposi
13) Limpoma Burkit , Imunoblastik, dan limfoma primer otak
14) Kompleks mycobacterium avium ( M.kansasi yang diseminata /
ekstrapulmoner
15) M.Tubercolusis pada tiap lokasi (pulmoner / ekstrapulmoner )
16) Mycobacterium, spesies lain,diseminata / ekstrapulmoner
17) Pneumonia Pneumocystic Cranii
18) Pneumonia Rekuren
19) Leukoenselophaty multifokal progresiva
20) Septikemia salmonella yang rekuren
21) Toksoplamosis otak
22) Sindrom pelisutan akibat Human Immunodeficiency Virus
( HIV)

2.6 Siklus Hidup Hiv/Aids

Siklus hidup virus HIV amatlah penting dalam memahami


mengapa sulit untuk mengeradikasi virus HIV dan mengapa sangat sulit
untuk menyembuhkan penderita HIV positif. Obat-obatan antiretroviral
pun bekerja berdasarkan siklus hidup virus HIV. Jika anda belum pernah
mendengar apa itu hiv aids, mungkin ini adalah saat yang tepat untuk
mulai mengenalnya.

HIV adalah suatu virus retrovirus yang memiliki selaput luar. Virus
HIV memiliki 2 rantai RNA yang mengandung enzim reverse
transcriptase. Enzim ini berfungsi untuk merubah RNA menjadi DNA di

30
dalam sel inang. HIV hanya memiliki 9 gen (bakteri memiliki lebih dari
500 gen; manusia memiliki 20.000 hingga 25.000 gen). Tiga gen penting
pada HIV adalah gag, pol dan env. Gen ini berperan penting dalam
pembentukan struktur protein dan partikel lain dalam proses replikasi HIV.
Enam gen lainnya adalah tat, rev, nef, vif, vpr dan vpu. Gen-gen ini
berfungsi dalam mengontrol sifat virus dalam menginfeksi sel inang, dan
pembentukan virus baru.

Proses Masuknya HIV ke dalam Sel

HIV hanya dapat bereplikasi di dalam sel tubuh manusia. Proses


ini diawali saat partikel virus bertemu dengan sel yang memiliki protein
spesifik yang dinamakan CD4.  CD4 merupakan reseptor protein yang
terdapat di permukaan sel T Helper. Selaput luar virus HIV kemudian
menempel pada reseptor CD4 dengan bantuan chemokine coreceptor
(CCR5) lalu kedua membran tersebut (selaput luar virus HIV dan
membrane sel T Helper) mengalami fusi. Bergabungnya kedua membran
ini mengakibatkan partikel inti virus masuk ke dalam sel T Helper. Selaput
virus HIV yang telah kosong tetap berada di luar permukaan sel T Helper.

Reverse Trancription dan Integrasi

Virus memiliki matriks dan kapsid yang meluruh setelah berada di


dalam sel T Helper. Setelah meluruh, tinggalah RNA virus dan beberapa
enzim yang dibutuhkan dalam proses replikasi selanjutnya. RNA ini
kemudian membentuk rantai tunggal DNA dengan bantuan nukleotida sel
T Helper oleh enzim reverse trancriptase.

Rantai tunggal DNA ini kemudian mengalami proses reverse


transcribe menjadi rantai ganda DNA di dalam sel T Helper. Setelah
terbentuk rantai ganda DNA, enzim integrase virus mengikat kedua ujung
rantai ganda DNA dan membawa partikel ini ke dalam inti nukleus sel T
Helper. Di dalam inti sel T helper, enzim integrase kemudian memotong
kromosom sel inang dan memasukkan partikel virus ke dalam rangkaian

31
kromosom sel T Helper. Hal ini lah yang mengakibatkan infeksi HIV
merupakan suatu penyakit kronis karena partikel virus HIV benar-benar
masuk ke dalam rangkaian kromosom sel pada tubuh manusia.

2.7 Perkembangan Virus Hiv/Aids

Sebagian besar orang yang terinfeksi HIV tidak menyadarinya


karena tidak ada gejala yang tampak segera setelah terjadi infeksi awal.
Beberapa orang mengalami gangguan kelenjar yang menimbulkan efek
seperti deman (disertai panas tinggi, gatal-gatal, nyeri sendi, dan
pembengkakan pada limpa), yang dapat terjadi pada saat seroconversion.
Seroconversion adalah pembentukan antibodi akibat HIV yang biasanya
terjadi antara enam minggu dan tiga bulan setelah terjadinya infeksi.

Kendatipun infeksi HIV tidak disertai gejala awal, seseorang yang


terinfeksi HIV sangat mudah menularkan virus tersebut kepada orang lain.
Satu-satunya cara untuk menentukan apakah HIV ada di dalam tubuh
seseorang adalah melalui tes HIV.
Infeksi HIV menyebabkan penurunan dan melemahnya sistem kekebalan
tubuh. Hal ini menyebabkan tubuh rentan terhadap infeksi penyakit dan
dapat menyebabkan berkembangnya AIDS.

Lalu sebenarnya apa AIDS itu?. Istilah AIDS dipergunakan untuk


tahap- tahap infeksi HIV yang paling lanjut. Sebagian besar orang yang
terkena HIV, bila tidak mendapat pengobatan, akan menunjukkan tanda-
tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun. AIDS diidentifikasi berdasarkan
beberapa infeksi tertentu, yang dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (World Health Organization) sebagai berikut:

a) Tahap I penyakit HIV tidak menunjukkan gejala apapun dan tidak


dikategorikan sebagai AIDS.
b) Tahap II (meliputi manifestasi mucocutaneous minor dan infeksi-
infeksi saluran pernafasan bagian atas yang tak sembuh- sembuh)

32
c) Tahap III (meliputi diare kronis yang tidak jelas penyebabnya yang
berlangsung lebih dari satu bulan, infeksi bakteri yang parah, dan
TBC paru-paru)
d) Tahap IV (meliputi Toksoplasmosis pada otak, Kandidiasis pada
saluran tenggorokan (oesophagus), saluran pernafasan (trachea),
batang saluran paru-paru (bronchi), dan Sarkoma Kaposi). Semua
penyakit ini merupakan indikator dari AIDS.

Seberapa cepat HIV bisa berkembang menjadi AIDS?. Lamanya


dapat bervariasi dari satu individu dengan individu yang lain. Dengan gaya
hidup sehat, jarak waktu antara infeksi HIV dan menjadi sakit karena
AIDS dapat berkisar antara 10-15 tahun, kadang-kadang bahkan lebih
lama. Terapi antiretroviral (ARV) dapat memperlambat perkembangan
AIDS dengan menurunkan jumlah virus (viral load) dalam tubuh yang
terinfeksi. Terapi ARV bertujuan untuk menghambat perjalanan penyakit
HIV, hingga dapat memperpanjang usia dan memperbaiki kualitas hidup.
Virus HIV menyerang sel CD4 dalam sistem kekebalan tubuh serta
menggunakan sel ini untuk bereplikasi. Akibatnya, jumlah sel ini dalam
tubuh pun semakin menurun. Obat ini bekerja dengan cara menghambat
proses pembuatan virus dalam sel CD4, hingga jumlah CD4 pun dapat
ditingkatkan.
Sampai dengan 30 Juni 2010 secara kumulatif jumlah kasus AIDS
di Indonesia yang dilaporkan sebanyak 21770 kasus. Berikut merupakan
grafiknya :

33
Grafik Jumlah Kumulatif Kasus AIDS di Indonesia 10 Tahun Terakhir
Berdasarkan Tahun Pelaporan s.d 30 Juni 2010

Berdasarkan provinsi dengan kasus terbanyak di Indonesia dapat


ditampilkan sebagai berikut :

Grafik Jumlah Kasus HIV-AIDS Berdasarkan Provinsi

Berdasarkan kelompok umur, distribusi penderita HIV-AIDS di


Indonesia dapat ditampilkan pada tabel berikut :

34
Grafik Persentase Jumlah Kasus HIV-AIDS Berdasarkan Kelompok
Umur

Sungguh sangat memprihatinkan bahwa penderita HIV-AIDS


terletak pada usia produktif. Dampaknya sangat luas bagi perekonomian
suatu negara untuk jangka panjang. HIV dan AIDS memperlambat
pertumbuhan ekonomi dengan menghancurkan jumlah manusia dengan
kemampuan produksi. Tanpa nutrisi yang baik, fasilitas kesehatan dan
obat yang ada di negara-negara berkembang, orang di negara-negara
tersebut menjadi korban AIDS. Mereka tidak hanya tidak dapat bekerja,
tetapi juga akan membutuhkan fasilitas kesehatan yang memadai. Ramalan
bahwa hal ini akan menyebabkan runtuhnya ekonomi dan hubungan di
daerah. Di daerah yang terinfeksi berat, epidemik telah meninggalkan
banyak anak yatim piatu yang dirawat oleh kakek dan neneknya yang telah
tua.

Semakin tingginya tingkat kematian (mortalitas) di suatu daerah


akan menyebabkan mengecilnya populasi pekerja dan mereka yang
berketerampilan. Para pekerja yang lebih sedikit ini akan didominasi anak
muda, dengan pengetahuan dan pengalaman kerja yang lebih sedikit
sehingga produktivitas akan berkurang. Meningkatnya cuti pekerja untuk

35
melihat anggota keluarga yang sakit atau cuti karena sakit juga akan
mengurangi produktivitas. Mortalitas yang meningkat juga akan
melemahkan mekanisme produksi dan investasi sumberdaya manusia
(human capital) pada masyarakat, yaitu akibat hilangnya pendapatan dan
meninggalnya para orang tua. Karena AIDS menyebabkan meninggalnya
banyak orang dewasa muda, ia melemahkan populasi pembayar pajak,
mengurangi dana publik seperti pendidikan dan fasilitas kesehatan lain
yang tidak berhubungan dengan AIDS. Ini memberikan tekanan pada
keuangan negara dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Efek
melambatnya pertumbuhan jumlah wajib pajak akan semakin terasakan
bila terjadi peningkatan pengeluaran untuk penanganan orang sakit,
pelatihan (untuk menggantikan pekerja yang sakit), penggantian biaya
sakit, serta perawatan yatim piatu korban AIDS. Hal ini terutama mungkin
sekali terjadi jika peningkatan tajam mortalitas orang dewasa
menyebabkan berpindahnya tanggung-jawab dan penyalahan, dari
keluarga kepada pemerintah, untuk menangani para anak yatim piatu
tersebut.

Pada tingkat rumah tangga, AIDS menyebabkan hilangnya


pendapatan dan meningkatkan pengeluaran kesehatan oleh suatu rumah
tangga. Berkurangnya pendapatan menyebabkan berkurangnya
pengeluaran, dan terdapat juga efek pengalihan dari pengeluaran
pendidikan menuju pengeluaran kesehatan dan penguburan.

2.8 Manifestasi Klinis

Pasien AIDS secara khas punya riwayat gejala dan tanda penyakit.
Pada infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut yang
lamanya 1 – 2 minggu pasien akan merasakan sakit seperti flu. Dan disaat
fase supresi imun simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalami demam,
keringat dimalam hari, penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan
ruam kulit, limpanodenopathy, pertambahan kognitif, dan lesi oral.

36
Dan disaat fase infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
menjadi AIDS (bevariasi 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS)
akan terdapat gejala infeksi opurtunistik, yang paling umum adalah
Pneumocystic Carinii (PCC), Pneumonia interstisial yang disebabkan
suatu protozoa, infeksi lain termasuk meningitis, kandidiasis,
cytomegalovirus, mikrobakterial, atipikal :

a. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)


Acut gejala tidak khas dan mirip tanda dan gejala penyakit biasa
seperti demam berkeringat, lesu mengantuk, nyeri sendi, sakit
kepala, diare, sakit leher, radang kelenjar getah bening, dan bercak
merah ditubuh.
b. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) tanpa gejala
Diketahui oleh pemeriksa kadar Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dalam darah akan diperoleh hasil positif.
c. Radang kelenjar getah bening menyeluruh dan menetap, dengan
gejala pembengkakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh
selama lebih dari 3 bulan.

Sedangkan Manifestasi Klinis Gejala dan tanda HIV/AID menurut WHO:

Stadium Klinis I :

a. Asimtomatik (tanpa gejala)


b. Limfadenopati Generalisata (pembesaran kelenjar getah
bening/limfe seluruh tubuh)
c. Skala Penampilan
d. asimtomatik, aktivitas normal.

Stadium Klinis II :

a. Berat badan berkurang <> 10%


b. Diare berkepanjangan > 1 bulan
c. Jamur pada mulut
d. TB Paru

37
e. Infeksi bakterial berat
f. Skala Penampilan 3 : < > 1 bulan)
g. Kanker kulit (Sarcoma Kaposi)
h. Radang Otak (Toksoplasmosis, Ensefalopati HIV)
i. Skala Penampilan 4 : terbaring di tempat tidur > 50% dalam masa
1 bulan terakhir
2.9 Pemeriksaan Penunjang (Pemeriksaan Diagnostik)
Tes Laboratorium

Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih


bersifat penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk
mendiagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau
perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi Human
Immunodeficiency Virus (HIV).

1) Serologis
a) Tes antibody serum
Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA.
Hasil tes positif, tapi bukan merupakan diagnosa
b) Tes blot western
Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus
(HIV)
c) Sel T limfosit
Penurunan jumlah total
d) Sel T4 helper
Indikator system imun (jumlah <200>
e) T8 ( sel supresor sitopatik )
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor
pada sel helper ( T8 ke T4 ) mengindikasikan supresi imun.
f) P24 ( Protein pembungkus Human ImmunodeficiencyVirus
(HIV ) )
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi
progresi infeksi

38
g) Kadar Ig
Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau
mendekati normal
h) Reaksi rantai polimerase
Mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel
perifer monoseluler.
i) Tes PHS
Pembungkus hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV mungkin
positif
2) Tes Sitologi
Histologis, pemeriksaan sitologis urine, darah, feces, cairan
spina, luka, sputum, dan sekresi, untuk mengidentifikasi adanya
infeksi : parasit, protozoa, jamur, bakteri, viral.

3) Neurologis
EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf). Dilakukan
dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-
paru
4) Tes Antibodi
Jika seseorang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV), maka system imun akan bereaksi dengan memproduksi
antibody terhadap virus tersebut. Antibody terbentuk dalam 3 –
12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6 – 12 bulan. Hal ini
menjelaskan mengapa orang yang terinfeksi awalnya tidak
memperlihatkan hasil tes positif. Tapi antibody ternyata tidak
efektif, kemampuan mendeteksi antibody Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah memungkinkan
skrining produk darah dan memudahkan evaluasi diagnostic.

Pada tahun 1985 Food and Drug Administration (FDA) memberi


lisensi tentang uji – kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) bagi
semua pendonor darah atau plasma. Tes tersebut, yaitu :

39
1) Tes Enzym – Linked Immunosorbent Assay ( ELISA)
Mengidentifikasi antibody yang secara spesifik ditujukan
kepada virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). ELISA
tidak menegakan diagnosa AIDS tapi hanya menunjukkan
bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Orang yang dalam darahnya
terdapat antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV)
disebut seropositif.
2) Western Blot Assay
Mengenali antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan
memastikan seropositifitas Human Immunodeficiency Virus
(HIV)
3) Indirect Immunoflouresence
Pengganti pemeriksaan western blot untuk memastikan
seropositifitas.
4) Radio Immuno Precipitation Assay ( RIPA )
Mendeteksi protein dari pada antibody.
5) Pelacakan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Penentuan langsung ada dan aktivitasnya Human
Immunodeficiency Virus (HIV) untuk melacak perjalanan
penyakit dan responnya. Protein tersebut disebut protein virus
p24, pemerikasaan p24 antigen capture assay sangat spesifik
untuk HIV – 1. tapi kadar p24 pada penderita infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) sangat rendah, pasien
dengantiter p24 punya kemungkinan lebih lanjut lebih besar
dari menjadi AIDS
2.10 Penatalaksanaan Medis

Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan


pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah
terpajannya Human Immunodeficiency Virus (HIV), bisa dilakukan
dengan :

40
a. Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan
pasangan yang tidak terinfeksi.
b. Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan
seks terakhir yang tidak terlindungi.
c. Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang
tidak jelas status Human Immunodeficiency Virus (HIV) nya.
d. Tidak bertukar jarum suntik,jarum tato, dan sebagainya.
e. Mencegah infeksi kejanin / bayi baru lahir

Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka


pengendaliannya yaitu :

a. Pengendalian Infeksi Opurtunistik


Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik,nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi
yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi
penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan
perawatan kritis.
b. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang
efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat
enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS
yang jumlah sel T4 nya < >3 . Sekarang, AZT tersedia untuk
pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif
asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3
c. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun
dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai
reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :
1) Didanosine
2) Ribavirin
3) Diedoxycytidine

41
4) Recombinant CD 4 dapat larut
d. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti
interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat
menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian
untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
e. Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-
makanan sehat,hindari stress,gizi yang kurang,alcohol dan obat-
obatan yang mengganggu fungsi imun.
f. Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel
T dan mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus
(HIV).
2.11 Pencegahan
a. A (Abstinent): Puasa, jangan melakukan hubungan seksual yang
tidak sah
b. B (Be Faithful) Setialah pada pasangan, melakukan hubungan
seksual hanya dengan pasangan yang sah
c. C (use Condom) Pergunakan kondom saat melakukan hubungan
seksual bila berisiko menularkan/tertular penyakit
d. D (Don’t use Drugs) Hindari penyalahgunaan narkoba
e. E (Education) Edukasi, sebarkan informasi yang benar tentang
HIV/AIDS dalam setiap kesempatan
2.12 Komplikasi
a. Oral Lesi Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV
oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV),
leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan,
keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai oleh bercak-bercak
putih seperti krim dalam rongga mulut. Jika tidak diobati,
kandidiasis oral akan berlanjut mengeni esophagus dan lambung.
Tanda dan gejala yang menyertai mencakup keluhan menelan yang
sulit dan rasa sakit di balik sternum (nyeri retrosternal).

42
b. Neurologik ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks
dimensia AIDS (ADC; AIDS dementia complex).
1) Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat, sakit kepala,
kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan
psikomotorik, apatis dan ataksia. stadium lanjut mencakup
gangguan kognitif global, kelambatan dalam respon verbal,
gangguan efektif seperti pandangan yang kosong, hiperefleksi
paraparesis spastic, psikosis, halusinasi, tremor, inkontinensia,
dan kematian.
2) Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam,
sakit kepala, malaise, kaku kuduk, mual, muntah, perubahan
status mental dan kejang-kejang. diagnosis ditegakkan dengan
analisis cairan serebospinal
c. Gastrointestinal Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam
definisi kasus yang diperbarui untuk penyakit AIDS. Kriteria
diagnostiknya mencakup penurunan BB > 10% dari BB awal, diare
yang kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan yang kronis,
dan demam yang kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit
lain yang dapat menjelaskan gejala ini.
1) Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora
normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek,
penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan
dehidrasi.
2) Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi,
obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri
abdomen, ikterik,demam atritis.
3) Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan
inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek
inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatal-gatal dan diare.
d. Respirasi Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak
nafas (dispnea), batuk-batuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan
demam akan menyertai pelbagi infeksi oportunis, seperti yang

43
disebabkan oleh Mycobacterium Intracellulare (MAI),
cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan
strongyloides.
e. Dermatologik Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan
zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan
dekobitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder
dan sepsis. Infeksi oportunis seperti herpes zoster dan herpes
simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri dan
merusak integritas kulit. moluskum kontangiosum merupakan
infeksi virus yang ditandai oleh pembentukan plak yang disertai
deformitas. dermatitis sosoreika akan disertai ruam yang difus,
bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta
wajah.penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis
menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan
mengelupas atau dengan dermatitis atopik seperti ekzema dan
psoriasis.
f. Sensorik
1) Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak
mata : retinitis sitomegalovirus berefek kebutaan
2) Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan
pendengaran dengan efek nyeri yang berhubungan dengan
mielopati, meningitis, sitomegalovirus dan reaksi-reaksi obat.

2. 13 Prognosis

Pemaparan terhadap HIV tidak selalu mengakibatkan penularan,


beberapa orang yang terpapar HIV selama bertahun-tahun bisa tidak
terinfeksi. Di sisi lain seseorang yang terinfeksi bisa tidak menampakkan
gejala selama lebih dari 10 tahun.
Tanpa pengobatan, infeksi HIV mempunyai resiko 1-2 % untuk menjdi
AIDS pada beberapa tahun pertama. Resiko ini meningkat 5% pada setiap
tahun berikutnya. Resiko terkena AIDS dalam 10-11 tahun setelah
terinfeksi HIV mencapai 50%.

44
Sebelum diketemukan obat-obat terbaru, pada akhirnya semua kasus akan
menjadi AIDS.

Pengobatan AIDS telah berhasil menurunkan angka infeksi


oportunistik dan meningkatkan angka harapan hidup penderita. Kombinasi
beberapa jenis obat berhasil menurunkan jumlah virus dalam darah sampai
tidak dapat terdeteksi. Tapi belum ada penderita yang terbukti sembuh.
Teknik penghitungan jumlah virus HIV (plasma RNA) dalam darah seperti
polymerase chain reaction (PCR) dan branched deoxyribonucleid acid
(DNA) test membantu dokter untuk memonitor efek pengobatan dan
membantu penilaian prognosis penderita. Kadar virus ini akan bervariasi
mulai kurang dari beberapa ratus sampai lebih dari sejuta virus RNA/mL
plasma. Pada awal penemuan virus HIV, penderita segera mengalami
penurunan kualitas hidupnya setelah dirawat di rumah sakit. Hampir
semua penderita akan meninggal dalam 2 tahun setelah terjangkit AIDS.
Dengan perkembangan obat-obat anti virus terbaru dan metode-metode
pengobatan dan pencegahan infeksi oportunistik yang terus diperbarui,
penderita bisa mempertahankan kemampuan fisik dan mentalnya sampai
bertahun-tahun setelah terkena AIDS. Sehingga pada saat ini bisa
dikatakan bahwa AIDS sudah bisa ditangani walaupun belum bisa
disembuhkan.

3. PERAWATAN KOMUNITAS PADA PENYAKIT SHIFILIS


Penyakit sifilis atau yang dikenal dalam istilah indonesia disebut
raja singa, penyakit ini tidak dapat diabaikan karena merupakan penyakit
yang berat. Hampir semua alat tubuh dapat diserang, termasuk sistem
kardiovaskuler dan saraf. Selain itu wanita hamil yang menderita sifilis
dapat menularkan penyakitnya ke janin sehingga menyebabkan sifilis
konginetal yang dapat menyebabkan kelainan bawaan dan kematian  
Selama beberapa waktu, sifilis telah keluar dari pandangan,
pikiran, dan memori, Tetapi insiden di dunia Barat sekarang telah bangkit
lagi dan bisa sekali lagi menjadi masalah kesehatan utama. Perubahan ini

45
telah mengikuti jumlah meningkat pesat manusia Immunodeficiency Virus
(HIV) positif di seluruh dunia, bersama dengan kedatangan wisatawan
kesehatan, ekonomi migran, pencari suaka, dan ketersediaan mudah murah
perjalanan.
Sama seperti sifilis tetapi menghilang sebagai sebuah entitas dalam
memori kerja besar sebagian dokter anestesi, maka tiba-tiba muncul
kembali sebagai kondisi yang ada pada wanita menyajikan operasi untuk
SC. Gambar 1 menunjukkan perubahan kejadian sifilis di Inggris selama
10 tahun terakhir. Tinjauan ulang ini dimaksudkan menginformasikan
untuk dokter anestesi merawat wanita dengansifilis.

3.1. Definisi Sifilis


Penyakit Sifilis merupakan salah satu penyakit menular seksual
(PMS). Lesi sifilis biasa terlihat jelas ataupun tidak terlihat dengan jelas.
Penampakan lesi bisa dipastikan hampir seluruhnya terjadi karena
hubungan seksual.
Penyakit ini bisa menular jika ia melakukan hubungan seksual
dengan wanita lainnya. Namun tidak hanya sebatas itu, seorang ibu yang
sedang hamil yang telah tertular penyakit ini bisa menularkannya kepada
janinnya. Sifilis juga dapat diartikan sebagai penyakit infeksi yang
disebabkan oleh Treponema pallidum, merupakan peyakit kronis dan
dapat menyerang seluruh organ tubuh dan dapat ditularkan pada bayi di
dalam kandungan melalui plasenta.
Efek sipilis pada kehamilan dan janin tergantung pada lamanya
infeksi tersebut terjadi, dan pada pengobatannya. Jika segera diobati
dengan baik, maka ibu akan melahirkan bayinya dengan keadaan sehat.
Tetapi sebaliknya jika tidak segera diobati akan menyebabkan abortus dan
partus prematurus dengan bayi meninggal di dalam rahim atau
menyebabkan sipilis kongenital. Sifilis Kongenital terjadi pada bulan ke-4
kehamilan.
Apabila sifilis terjadi pada kehamilan tua, maka plasenta memberi
perlindungan terhadap janin sehingga bayi dapat dilahirkan dengan sehat.

46
Dan apabila infeksi sifilis terjadi sebelum pembentukan plasenta maka
harus dilakukan pengobatan dengan segera, sehingga kemungkinan infeksi
pada janin dapat dicegah.
                                                                
3.2 Etiologi
Penyebab infeksi sifilis yaitu Treponema pallidum. Treponema
pallidum merupakan salah satu bakteri spirochaeta. Bakteri ini berbentuk
spiral. Terdapat empat subspecies yang sudah ditemukan, yaitu Treponema
pallidum pallidum, Treponema pallidum pertenue, Treponema pallidum
carateum, dan Treponema pallidum endemicum.
           Treponema pallidum pallidum merupakan spirochaeta yang bersifat
motile yang umumnya menginfeksi melalui kontak seksual langsung,
masuk ke dalam tubuh inang melalui celah di antara sel epitel. Organisme
ini juga dapat menyebabkan sifilis. ditularkan kepada janin melalui jalur
transplasental selama masa-masa akhir kehamilan.
Struktur tubuhnya yang berupa heliks memungkinkan Treponema
pallidum pallidum bergerak dengan pola gerakan yang khas untuk
bergerak di dalam medium kental seperti lender (mucus). Dengan
demikian organisme ini dapat mengakses sampai ke sistem peredaran
darah dan getah bening inang melalui jaringan dan membran mucosa.

3 .3     Patofisiologi        
Perjalanan penyakit ini cenderung kronis dan bersifat sistemik.
Hampir semua alat tubuh dapat diserang, termasuk sistem kardiovaskuler
dan saraf. Selain itu wanita hamil yang menderita sifilis dapat menularkan
penyakitnya ke janin sehingga menyebabkan sifilis kongenital yang dapat
menyababkan kelainan bawaan atau bahkan kematian. Jika cepat terdeteksi
dan diobati, sifilis dapat disembuhkan dengan antibiotika. Tetapi jika tidak
diobati, sifilis dapat berkembang ke fase selanjutnya dan meluas ke bagian
tubuh lain di luar alat kelamin.

47
3. 4 Tanda dan gejala
Gejala biasanya mulai timbul dalam waktu 1-13 minggu setelah
terinfeksi; rata-rata 3-4 minggu. Infeksi bisa menetap selama bertahun-
tahun dan jarang menyebabkan kerusakan jantung, kerusakan otak maupun
kematian. Infeksi oleh Treponema pallidum berkembang melalui 4 tahapan:
1. Fase Primer.
Terbentuk luka atau ulkus yang tidak nyeri (cangker) pada tempat yang
terinfeksi; yang tersering adalah pada penis, vulva atau vagina. Cangker
juga bisa ditemukan di anus, rektum, bibir, lidah, tenggorokan, leher rahim,
jari-jari tangan atau bagian tubuh lainnya. Biasanya penderita hanya
memiliki1 ulkus, tetapi kadang-kadang terbentuk beberapa ulkus. Cangker
berawal sebagai suatu daerah penonjolan kecil yang dengan segera akan
berubah menjadi suatu ulkus (luka terbuka), tanpa disertai nyeri. Luka
tersebut tidak mengeluarkan darah, tetapi jika digaruk akan mengeluarkan
cairan jernih yang sangat menular. Kelenjar getah bening terdekat biasanya
akan membesar, juga tanpa disertai nyeri.
Luka tersebut hanya menyebabkan sedikit gejala sehingga seringkali tidak
dihiraukan. Luka biasanya membaik dalam waktu 3-12 minggu dan
sesudahnya penderita tampak sehat secara keseluruhan.
2. Fase Sekunder.
Fase sekunder biasanya dimulai dengan suatu ruam kulit, yang muncul
dalam waktu 6-12 minggu setelah terinfeksi. Ruam ini bisa berlangsung
hanya sebentar atau selama beberapa bulan. Meskipun tidak diobati, ruam
ini akan menghilang. Tetapi beberapa minggu atau bulan kemudian akan
muncul ruam yang baru.
Pada fase sekunder sering ditemukan luka di mulut. Sekitar 50% penderita
memiliki pembesaran kelenjar getah bening di seluruh tubuhnya dan sekitar
10% menderita peradangan mata. Peradangan mata biasanya tidak
menimbulkan gejala, tetapi kadang terjadi pembengkakan saraf mata
sehingga penglihatan menjadi kabur.
Sekitar 10% penderita mengalami peradangan pada tulang dan sendi yang

48
disertai nyeri. Peradangan ginjal bisa menyebabkan bocornya protein ke
dalam air kemih. Peradangan hati bisa menyebabkan sakit kuning
(jaundice). Sejumlah kecil penderita mengalami peradangan pada selaput
otak (meningitis sifilitik akut), yang menyebabkan sakit kepala, kaku
kuduk dan ketulian.
Di daerah perbatasan kulit dan selaput lendir serta di daerah kulit yang
lembab, bisa terbentuk daerah yang menonjol (kondiloma lata). Daerah ini
sangat infeksius (menular) dan bisa kembali mendatar serta berubah
menjadi pink kusam atau abu-abu. Rambut mengalami kerontokan dengan
pola tertentu, sehingga pada kulit kepala tampak gambaran seperti digigit
ngengat. Gejala lainnya adalah merasa tidak enak badan (malaise),
kehilangan nafsu makan, mual, lelah, demam dan anemia.
3. Fase Laten.
Setelah penderita sembuh dari fase sekunder, penyakit akan memasuki fase
laten dimana tidak nampak gejala sama sekali. Fase ini bisa berlangsung
bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun atau bahkan sepanjang hidup
penderita. Pada awal fase laten kadang luka yang infeksi kembali muncul .
4. Fase Tersier.
Pada fase tersier penderita tidak lagi menularkan penyakitnya. Gejala
bervariasi mulai ringan sampai sangat parah. Gejala ini terbagi menjadi 3
kelompok utama :
1) Sifilis tersier jinak.
Pada saat ini jarang ditemukan. Benjolan yang disebut gumma muncul
di berbagai organ; tumbuhnya perlahan, menyembuh secara bertahap
dan meninggalkan jaringan parut. Benjolan ini bisa ditemukan di
hampir semua bagian tubuh, tetapi yang paling sering adalah pada kaki
dibawah lutut, batang tubuh bagian atas, wajah dan kulit kepala. Tulang
juga bisa terkena, menyebabkan nyeri menusuk yang sangat dalam yang
biasanya semakin memburuk di malam hari.
2) Sifilis kardiovaskuler.

49
Biasanya muncul 10-25 tahun setelah infeksi awal. Bisa terjadi
aneurisma aorta atau kebocoran katup aorta. Hal ini bisa menyebabkan
nyeri dada, gagal jantung atau kematian.
3) Neurosifilis.
Sifilis pada sistem saraf terjadi pada sekitar 5% penderita yang tidak
diobati. 3 jenis utama dari neurosifilis adalah neurosifilis
meningovaskuler, neurosifilis paretik dan neurosifilis tabetik.
a. Neurosifilis meningovaskuler.
Merupakan suatu bentuk meningitis kronis. Gejala yang terjadi
tergantung kepada bagian yang terkena, apakah otak saja atau otak
dengan medulla spinalis:
- Jika hanya otak yang terkena akan timbul sakit kepala, pusing,
konsentrasi yang buruk, kelelahan dan kurang tenaga, sulit tidur,
kaku kuduk, pandangan kabur, kelainan mental, kejang,
pembengkakan saraf mata (papiledema), kelainan pupil,
gangguan berbicara (afasia) dan kelumpuhan anggota gerak
pada separuh badan.
- Jika menyerang otak dan medulla spinalis gejala berupa
kesulitan dalam mengunyah, menelan dan berbicara; kelemahan
dan penciutan otot bahu dan lengan; kelumpuhan disertai kejang
otot (paralisa spastis); ketidakmampuan untuk mengosongkan
kandung kemih dan peradangan sebagian dari medulla spinalis
yang menyebabkan hilangnya pengendalian terhadap kandung
kemih serta kelumpuhan mendadak yang terjadi ketika otot
dalam keadaan kendur (paralisa flasid).
b. Neurosifilis paretik.
Juga disebut kelumpuhan menyeluruh pada orang gila. Berawal
secara bertahap sebagai perubahan perilaku pada usia 40-50 tahun.
Secara perlahan mereka mulai mengalami demensia. Gejalanya
berupa kejang, kesulitan dalam berbicara, kelumpuhan separuh
badan yang bersifat sementara, mudah tersinggung, kesulitan dalam
berkonsentrasi, kehilangan ingatan, sakit kepala, sulit tidur, lelah,

50
letargi, kemunduran dalam kebersihan diri dan kebiasaan
berpakaian, perubahan suasana hati, lemah dan kurang tenaga,
depresi, khayalan akan kebesaran dan penurunan persepsi.
c. Neurosifilis tabetik.
Disebut juga tabes dorsalis. Merupakan suatu penyakit medulla
spinalis yang progresif, yang timbul secara bertahap. Gejala
awalnya berupa nyeri menusuk yang sangat hebat pada tungkai
yang hilang-timbul secara tidak teratur. Penderita berjalan dengan
goyah, terutama dalam keadaan gelap dan berjalan dengan kedua
tungkai yang terpisah jauh, kadang sambil mengentakkan kakinya.
Penderita tidak dapat merasa ketika kandung kemihnya penuh
sehingga pengendalian terhadap kandung kemih hilang dan sering
mengalami infeksi saluran kemih.
Bisa terjadi impotensi. Bibir, lidah, tangan dan seluruh tubuh
penderita gemetaran. Tulisan tangannya miring dan tidak terbaca.
Sebagian besar penderita berperawakan kurus dengan wajah yang
memelas. Mereka mengalami kejang disertai nyeri di berbagai
bagian tubuh, terutama lambung. Kejang lambung bisa
menyebabkan muntah. Kejang yang sama juga terjadi pada rektum,
kandung kemih dan pita suara. Rasa di kaki penderita berkurang,
sehingga bisa terbentuk luka di telapak kakinya. Luka ini bisa
menembus sangat dalam dan pada akhirnya sampai ke tulang di
bawahnya. Karena rasa nyeri sudah hilang, maka sendi penderita
bisa mengalami cedera.
3.5 Gejala sifilis kongenital (kelainan kongenital dini)
a. Kelainan kongenital dini
• Makulopapular pada kulit
• Retinitis
• Terdapat tonjolan kecil pada mukosa
• Hepatosplenomegali
• Ikterus
• Limfadenopati

51
• Osteokondrosis
• Kordioretinitis
• Kelainan pada iris mata
b. Kelainan kongenital terlambat (lanjut)
• Gigi hutchinnson
• Gambaran mulberry pada gigi molar
• Keratitis intertinal
• Retaldasi mental
• Hidrosefalus

3. 6 Klasifikasi
Penyakit sifilis memiliki empat stadium yaitu primer, sekunder, laten dan
tersier. Tiap stadium perkembangan memiliki gejala penyakit yang berbeda-
beda dan menyerang organ tubuh yang berbeda-beda pula.
a. Stadium Dini atau I (Primer)
 Tiga minggu setelah infeksi, timbul lesi pada tempat masuknya Treponema
pallidum. Lesi pada umumnya hanya satu. Terjadi afek primer berupa
penonjolan-penonjolan kecil yang erosif, berkuran 1-2 cm, berbentuk bulat,
dasarnya bersih, merah, kulit disekitarnya tampak meradang, dan bila
diraba ada pengerasan. Kelainan ini tidak nyeri. Dalam beberapa hari, erosi
dapat berubah menjadi ulkus berdinding tegak lurus, sedangkan sifat
lainnya seperti pada afek primer. Keadaan ini dikenal sebagai ulkus durum.
Sekitar tiga minggu kemudian terjadi penjalaran ke kelenjar getah bening di
daerah lipat paha. Kelenjar tersebut membesar, padat, kenyal pada
perabaan, tidak nyeri, tunggal dan dapat digerakkan bebas dari sekitarnya.
Keadaan ini disebut sebagai sifilis stadium 1 kompleks primer. Lesi
umumnya terdapat pada alat kelamin, dapat pula di bibir, lidah, tonsil,
putting susu, jari dan anus. Tanpa pengobatan, lesi dapat hilang spontan
dalam 4-6 minggu, cepat atau lambatnya bergantung pada besar kecilnya
lesi.

52
b. Stadium II (Sekunder)
Pada umumnya bila gejala sifilis stadium II muncul, sifilis stadium I sudah
sembuh. Waktu antara sifilis I dan II umumnya antara 6-8 minggu.
Kadang-kadang terjadi masa transisi, yakni sifilis I masih ada saat timbul
gejala stadium II.
Sifat yang khas pada sifilis adalah jarang ada rasa gatal. Gejala konstitusi
seperti nyeri kepala, demam, anoreksia, nyeri pada tulang, dan leher
biasanya mendahului, kadang-kadang bersamaan dengan kelainan pada
kulit. Kelainan kulit yang timbul berupa bercak-bercak atau tonjolan-
tonjolan kecil. Tidak terdapat gelembung bernanah. Sifilis stadium II
seringkali disebut sebagai The Greatest Immitator of All Skin Diseases
karena bentuk klinisnya menyerupai banyak sekali kelainan kulit lain.
Selain pada kulit, stadium ini juga dapat mengenai selaput lendir dan
kelenjar getah bening di seluruh tubuh.
c. Sifilis Stadium III
Lesi yang khas adalah guma yang dapat terjadi 3-7 tahun setelah infeksi.
Guma umumnya satu, dapat multipel, ukuran milier sampai berdiameter
beberapa sentimeter. Guma dapat timbul pada semua jaringan dan organ,
termasuk tulang rawan pada hidung dan dasar mulut. Guma juga dapat
ditemukan pada organ dalam seperti lambung, hati, limpa, paru-paru, testis
dll. Kelainan lain berupa nodus di bawah kulit, kemerahan dan nyeri.
d. Sifilis Tersier
Termasuk dalam kelompok penyakit ini adalah sifilis kardiovaskuler dan
neurosifilis (pada jaringan saraf). Umumnya timbul 10-20 tahun setelah
infeksi primer. Sejumlah 10% penderita sifilis akan mengalami stadium ini.
Pria dan orang kulit berwarna lebih banyak terkena. Kematian karena sifilis
terutama disebabkan oleh stadium ini. Diagnosis pasti sifilis ditegakkan
apabila dapat ditemukan Treponema pallidum. Pemeriksaan dilakukan
dengan mikroskop lapangan gelap sampai 3 kali (selama 3 hari berturut-
turut).
Tes serologik untuk sifilis yang klasik umumnya masih negatif pada lesi
primer, dan menjadi positif setelah 1-4 minggu. TSS (tes serologik sifilis)

53
dibagi dua, yaitu treponemal dan non treponemal. Sebagai antigen pada
TSS non spesifik digunakan ekstrak jaringan, misalnya VDRL, RPR, dan
ikatan komplemen Wasserman/Kolmer. TSS nonspesifik akan menjadi
negatif dalam 3-8 bulan setelah pengobatan berhasil sehingga dapat
digunakan untuk menilai keberhasilan pengobatan. Pada TSS spesifik,
sebagai antigen digunakan treponema atau ekstraknya, misalnya
Treponema pallidum hemagglutination assay (TPHA) dan TPI. Walaupun
pengobatan diberikan pada stadium dini, TSS spesifik akan tetap positif,
bahkan dapat seumur hidup sehingga lebih bermakna dalam membantu
diagnosis.

3.7 Komplikasi
1. Komplikasi Pada Janin Dan Bayi
         Dapat menyebabkan kematian janin, partus immaturus dan partus
premature. Bayi dengan sifilis kongenital memiliki kelainan pada tulang, gigi,
penglihatan, pendengaran, gangguan mental dan tumbuh kembang anak. Oleh
karena itu, setiap wanita hamil sangat dianjurkan untuk memeriksakan
kesehatan janin yang dikandungnya. Karena pengobatan yang cepat dan tepat
dapat menghindari terjadinya penularan penyakit dari ibu ke janin.
2.  Komplikasi Terhadap Ibu
a. Menyebabkan kerusakan berat pada otak dan jantung
b. Kehamilan dapat menimbulkan kelainan dan plasenta lebih besar,
pucat, keabu-abuan dan licin
c. Kehamilan <16 minggu dapat menyebabkan kematian janin
d. Kehamilan lanjut dapat menyebabkan kelahiran prematur dan
menimbulkan cacat.

3 .8 Penularan                                                           
Sifilis bisa ditularkan atau diturunkan dari seorang ibu kepada anak dalam
kandungannya. Sipilis kongenital, melalui infeksi transplasental terjadi
pada saat janin berada di dalam kandungan ibu yang menderita sifilis.

54
Penularan karena mencium atau pada saat menimang bayi dengan sifilis
kongenital jarang sekali terjadi.
Cara penularan sifilis lainnya antara lain melalui transmisi darah.
Hal ini bisa terjadi jika pendonor darah menderita sifilis pada stadium
awal. Ada lagi kemungkinan penularan cara lain, yaitu penularan melalui
barang-barang yang tercemar bakteri penyebab sifilis, Treponema
pallidum, walaupun itu baru secara teoritis saja, karena kenyataannya
boleh dikatakan tidak pernah terjadi.
Jadi dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa resiko
penularan penyakit syphilis dapat terjadi jika:
1. Melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang mengidap penyakit
sifilis, jika tidak (pernah) melakukan hubungan seksual aktif dengan
penderita sifilis maka dia tidak akan punya resiko terkena penyakit ini.
2. Ibu menderita sifilis saat sedang mengandung kepada janinnya lewat
transplasental
3. Lewat transfusi darah dari darah penderita sifilis.

Pengaruh Terhadap Kehamilan


        Sifilis yang terjadi pada ibu yang hamil dapat mempengaruhi proses
kehamilannya dan janin. Berikut ini adalah pengaruh sifilis terhadap kehamilan
yaitu:
1. Infeksi pada janin terjadi setelah minggu ke 16 kehamilan dan pada
kehamilan dini, dimana Treponema telah dapat menembus barier plasenta.
2. Akibatnya kelahiran mati dan partus prematurus.
3. Bayi lahir dengan lues konginetal : pemfigus sifilitus, diskuamasi telapak
tangan-kaki, serta kelainan mulut dan gigi.
4. Bila ibu menderita baru 2 bulan terakhir tidak akan terjadi lues konginetal.

3. 9 Diagnosis
         Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Diagnosis pasti
ditegakkan berdasarkan hasil pemeriskaan laboratorium dan pemeriksaan fisik.

55
Infeksi pada janin terjadi minggu 16 kehamilan dapat terjadi; partus
prematurus, kelahiran mati, cacat bawaan pada janin.
          Diagnosis pada ibu hamil agak sulit di tegakkan karena pada ibu hamil
terjadi perubahan hormon. Diagnosis dapat ditegakkan
a. Pemeriksaan serologik: VDRL (veneral diesses research laboratory).
b. Dengan mempergunakan lapangan gelap, untuk membuktikan langsung
terdapat spirokaeta treponea palidum.
c. Fungsi lumbal untuk membuktikan neurosifilis.

2.10 Penatalaksanaan dan Terapi


         Wanita hamil dengan sifilis harus diobati sedini mungkin, sebaiknya
sebelum hamil atau pada triwulan I untuk mencegah penularan terhadap janin.
Suami harus diperiksa dengan menggunakan tes reaksi wasserman dan VDRL,
bila perlu diobati dangan terapi penisilin G injeksi. Penting untuk diketahui
dalam pemilihan obat-obatan untuk ibu hamil perlu memperhatikan pengaruh
buruk yang akan terjadi pada janinya. Sedangkan jenis pinisilin dan eritrosin
merupakan obat untuk ibu hamil yang tidak memberikan efek atau pengaruh
buruk terhadap janinnya. Berikut ini adalah table terapi atau pengobatan Sifilis
pada ibu yang sedang hamil.
Terapi Infeksi Sifilis Pada Kehamilan
Tingkat Penyakit Alternatif Terapi Dasar Terapi
 Infeksi Primer-
 Infeksi Sekunder-
 Fase Laten kurang dari 1 tahun
• Penisilin G Benzathine 2,4 juta unit IM • Eritromisin PO 500 mg/ 4
kali/ selama 15 hari-
• Cefriaxone IM 250 mg/ 4 kali selama 15 hari
Sifilis laten lebih dari 1 tahun
• Penisilin G Benzathin 2,4 juta IM/ 3 kali dalm seminggu Eritromisin
500 mg/ 4 kali/ hari selama 30 hari
Kardiovasculer atau neuro sifilis

56
• Pinisilin cristal G 2,4 juta unit setiap 4 hari selama 10 sampai 14 hari
diikuti pinisilin G Benzathin secara IM 2,4 juta unit
• Penisilin procain G secara IM setiap hari 2,4 juta unit ditambah
probenecid 500 mg sebanyak 4 kali/ hari selama 10-14 hari kemudian
diikuti penisilin G Benzatin sebanyak 2,4 juta unit secara IM
Sebenarnya penisilin merupakan obat pilihan
         Anjuran pengobatan sifilis yang harus dilakukan pada ibu hamil stadium
primer, sekunder, atau laten durasi kurang dari 1 tahun dapat diberikan
pengobatan utama yaitu penisilin G Benzathin 2,4 juta unit secara IM. Tetapi
jika ibu mengalami alergi dapat diganti dengan Eritomisin 500 ng PO selama
15 hari serta setriakson 250 mg secara IM selama 10 hari. Sedangkan pada
Sifilis laten durasi lebih dari 1 tahun atau sifilis kardiovasculer diberikan obat
utama penisilin G Benzathin 2,4 juta unit secara IM setiap minggu 3x, tetapi
jika ibu mengalami alergi penisilin dapat diganti dengan Eritromicin 500 ng
PO selama 30 hari.
Sedangkan pada Neurosifilis diberikan pengobatan utama pinisilin G
akueous kristalin 2,4 juta unit 4x selama 10-14 hari diikuti dengan penisilin G
Benzethin 2,4 juta unit secara IM. Atau dapat diberi pinisilin G akueous
prokain 2,4 juta unit IM setiap hari dengan probenesid 500 mg PO selama 10-
14 hari, kemudian diikuti dengan penisilin G Benzethin 2,4 juta secara IM.

3.11 Asuhan Setelah Persalinan Pada Penderita Sifilis 


1. Bila keadekuatan pengobatan pada ibu tidak diketahui atau jika ibu tidak
mendapatkan pinisilin ibu harus mendapatkan terapi
2. Diantara bayi yang selamat, banyak yang menderita sifilis congenital yang
dapat menyebabkan kecacatan fisik dan retardasi mental.

4. PERAWATAN KOMUNITAS PADA PENYAKIT DBD


Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi
virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia
dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh World Health

57
Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan
rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak. Berdasarkan
data Departemen Kesehatan RI (2007) menunjukkan jika dibandingkan antara
tahun 2006 dan tahun 2005 terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi
dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar
1,01%. (Chen, 2009).
Menurut Achmadi (2010) demam berdarah dengue banyak ditemukan
di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia
menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya.
Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health
Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus
DBD tertinggi di Asia Tenggara. Di Indonesia DBD telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi
peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis
DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%)
kabupaten/kota pada tahun 2009. Menurut Wiradharma (2009) Hal-hal yang
menyebabkan masalah dalam kasus DBD adalah angka kematian yang tinggi,
penyebaran penyakit yang mudah meluas dan terutama menyerang anak-anak.
Pada DBD yang terlambat ditegakkan diagnosisnya sering berakibat fatal.
Masa kritis dari penyakit ini terjadi pada akhir fase demam yaitu pada
Dengue Syok Syndrome (DSS), karena pada saat itu terjadi penurunan suhu
tubuh yang tiba-tiba dan sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang
bervariasi dalam berat-ringanya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan
perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita
dapat mengalami syok. Syok pada demam berdarah (DSS) merupakan tanda
kegawatan yang harus mendapat perhatian serius. Syok dapat terjadi dalam
waktu yang sangat singkat, pasien dapat meninggal dalam waktu 12 – 24 jam
atau sembuh cepat setelah mendapat penggantian cairan yang memadai.
Apabila syok tidak dapat segera diatasi dengan baik, akan terjadi komplikasi
yaitu asidosis metabolik, perdarahan saluran cerna hebat atau perdarahan lain,
hal ini pertanda prognosis yang buruk (DepKes RI, 2004). Menurut
Wiradharma (2009) angka kematian kasus DBD pada penderita yang tidak

58
dirawat dan diobati segera mencapai 50%, tetapi angka tersebut menurun
sampai 5 % dengan tindakan yang cepat dan tepat, baik dalam diagnosis
maupun dalam penatalaksanaannya.
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat, di Indonesia jumlah kasus DBD menunjukkan
kecenderungan meningkat baik dalam jumlah, maupun luas wilayah yang
terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) setiap
tahun. Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang
terjangkit DBD, disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi
penduduk, adanya pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap
pembersihan sarang nyamuk (PSN), terdapatnya vektor nyamuk hampir di
seluruh pelosok tanah air serta adanya empat serotype virus yang bersirkulasi
sepanjang tahun (Mujida, 2009). Sedangkan menurut Khie Chen (2009)
berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran
kasus DBD, antara lain: Pertumbuhan penduduk yang tinggi, Urbanisasi yang
tidak terencana dan tidak terkendali, Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk
yang efektif di daerah endemis, dan peningkatan sarana transportasi.
Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama
kontrol vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi
yang optimal pada penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus
dan kematian akibat penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada terapi yang
spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif,
yakni pemberian cairan pengganti. Dengan memahami patogenesis, perjalanan
penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan
penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien (Chen, 2009).
Berdasarkan fenomena dan latar belakang diatas, maka kelompok kami
tertarik untuk membahas mengenai asuhan keperawatan kegawatan pada
pasien demam berdarah.
1. Pengertian DBD
Penyakit Dangue adalah infeksi akut yang disebabkan oleh arbovirus
(arthropadborn virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes (Aedes
albopictuse dan Aedes aegypti). Sampai sekarang dikenal ada 4 jenis virus

59
dangue yang dapat menimbulkan penyakit, baik demam dangue maupun
demam berdarah. Demam Berdarah Dangue adalah penyakit yang disebabkan
oleh virus dangue I, II, II, dan IV yang ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti
dan Aedes Albocpitus. (Soegijanto, 2004).

2. Penyebab
Penyebab penyakit demam berdarah dangue pada seseorang adalah virus
dangue termasuk family flaviviridae genus Flavivirus yang terdiri dari 4
serotipe, yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Ke empat serotip ini ada
di Indonesia, dan dilaporkan bahwa serotip virus DEN-3 sering menimbulkan
wabah (Syahruman, 1988). Virus DEN termasuk dalam kelompok virus yang
relative labil terhadap suhu dan faKtor kimiawai lain serta masa viremia yang
pendek. Virus DEN virionnya tersusun oleh genom RNA dikelilingi oleh
nukleokapsid, ditutupi oleh suatu selubung dari lipid yang mengandung 2
protein yaitu selubung protein E dan protein membrane M.

3. Patofisiologi
Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas
vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler,
sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah.
Volume plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat. (Gubler,
1998). Jika penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi
diabsorbsi dengan cepat, menimbulkan penurunan hematokrit. Perubahan
hemostasis pada DBD dan DSS melibatkan 3 faktor, yaitu perunahan vaskuler,
trombositopeni, dan kelainan koagulasi (Soegijanto, 2004).

4. Patogenesis
Virus dangue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk
Aedes aegypty atau Aedes albopictus dengan organ sasaran adalah organ
hepar, nodus limfaticus, sumsum tulang belakang, dan paru. Dalam peredaran
darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer. Virus DEN
mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi dalam sel tersebut.

60
Infeksivirus dangue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke
dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk
komponen-komponenya. Setelah terbentuk, virus dilepaskan dari sel. Proses
perkembangbiakan sel virus DEN terjadi di sitoplasma sel. Infeksi oleh satu
serotip virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotype tersebut
tetapi tidak ada cross protectif terhadap serotip virus yang lain (Kurane &
Francis, 1992).
Beberapa teori mengenai terjadinya DBD dan DSS antara lain adalah:
a. Teori Antigen Antibodi
Virus dangue dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan
antibody, membentuk virus antibody kompleks (komplek imun) yang akan
mengaktifasi komplemen. Aktifasi ini akan menghasilkan anafilaktosin
C3A dan C5A yang akan merupakan mediator yang mempunyai efek
farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini bersifat fasoaktif dan
prokoagulant sehingga menimbulkan kebococran plasma (hipovolemik
syok dan perdarahan. (Soewandoyo, 1998).
b. Teori Infection Enhancing Antibody
Teori ini berdasarkan pada peran sel fagosit mononuclear merangsang
terbentuknya antibody nonnetralisasi. Antigen dangue lebih banyak
didapat pada sel makrofag yang tinggal menetap di jaringan. Pada kejadian
ini antibody nonnetralisasi berupaya melekat pada sekeliling permukaan
sel makrofag yang beredar dan tidak melekat pada sel makrofag yang
menetapdi jaringan. Makrofag yang dilekati antibody nonnetralisasi akan
memiliki sifat opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel mudah terinfeksi.
Makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif dan akan melepaskan
sitokin yang memiliki sifat vasoaktif atau prokoagulasi. Bahan-bahan
mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh
darah dan system hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma
dan perdarahan. (Wang, 1995).
c. Teori mediator
Teori mediator didasarkan pada beberapa hal:

61
1) Kelanjutan dari teori antibody enhancing, bahwa makrofag yang
terinfeksi virus mengeluarkan mediator atau sitokin. Fungsi dan
mekanismme sitokin kerja adalah sebagai mediator pada imunitas
alami yang disebabkan oleh rangsangan zat yang infeksius, sebagai
regulator yang mengatur aktivasi, proliferasi dan diferensiasi limfosit,
sebagai activator sel inflamasi nonspesifik, dan sebagai stimulator
pertumbuhan dan deferensiasi lekosit matur (Khana, 1990).
2) Kejadian masa krisis pada DBD selama 48-72 jam, berlangsung sangat
pendek. Kemudian disusul masa penyembuhan yang cepat, dan praktis
tidak ada gejala sisa.
3) Dari kalangan ahli syok bacterial, mengambil perbandingan bahwa
pada syok septic banyak berhubungan dengan mediator.

Menurut Suvatte (1977) patogenesis DBD dan DSS adalah masih


merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut
pada DBD dan DSS adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini
menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi
yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain
yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen
antibodi yang kemudian berikatan dengan reseptor dari membran sel
leokosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus
tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi
dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent
enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan
replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai respon terhadap
infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (Suvatte, 1977).

62
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan
pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam
waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu,
replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi
dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan
mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus
antibody compleks) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem
komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular
(Suvatte, 1977).
Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang
sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan
plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit,
penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa
(efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan
menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal. Oleh karena
itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian (Suvatte,
1977).
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus
binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu.
Virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh
nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus
dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan
virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu
beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah
yang besar (Suvatte, 1977).
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-
antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan
agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan
sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan

63
perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga
trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit
dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran
platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID =
koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan factor
pembbekuan. Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi
trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak,
tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan
aktivasi factor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga
memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat
terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan
fungsi trombosit, dankerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya
perdarahan akan mempercepat syok yang terjadi (Suvatte, 1977).

5. Klasifikasi
WHO (1997) membagi DBD menjadi 4 (Vasanwala dkk, 2011):
a. Derajat 1
Demam tinggi mendadak (terus menerus 2-7 hari) disertai tanda dan gejala
klinis (nyeri ulu hati, mual, muntah, hepatomegali), tanpa perdarahan
spontan, trombositopenia dan hemokonsentrasi, uji tourniquet positif.
b. Derajat 2
Derajat 1 dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain seperti
mimisan, muntah darah dan berak darah.
c. Derajat 3
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah
rendah (hipotensi), kulit dingin, lembab dan gelisah, sianosis disekitar
mulut, hidung dan jari (tanda-tand adini renjatan).

64
d. Renjatan berat (DSS) / Derajat 4
Syok berat dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.

6. Manifestasi Klinis
a. Demam
Demam berdarah dengue biasanya ditandai dengan demam yang
mendadak tanpa sebab yang jelas, continue, bifasik. Biasanya berlangsung
2-7 hari (Bagian Patologi Klinik, 2009). Naik turun dan tidak berhasil
dengan pengobatan antipiretik. Demam biasanya menurun pada hari ke-3
dan ke-7 dengan tanda-tanda anak menjadi lemah, ujung jari, telinga dan
hidung teraba dingin dan lembab. Masa kritis pda hari ke 3-5. Demam akut
(38°-40° C) dengan gejala yang tidak spesifik atau terdapat gejala penyerta
seperti , anoreksi, lemah, nyeri punggung, nyeri tulang sendi dan kepala.

Gambar: Kurva suhu pada DHF


b. Perdarahan
Manifestasi perdarahan pada umumnya muncul pada hari ke 2-3 demam.
Bentuk perdarahan dapat berupa: uji tourniquet positif yang menandakan
fraglita kapiler meingkat (Bagian Patologi Klinik, 2009). Kondisi seperti
ini juga dapat dijumpai pada campak, demam chikungunya, tifoid, dll.
Perdarahan tanda lainnya ptekie, purpura, ekomosis, epitaksis dan
perdarahan gusi, hematemesisi melena. Uji tourniquet positif jika terdapat

65
lebih dari 20 ptekie dalam diameter 2,8 cm di lengan bawah bagian volar
termasuk fossa cubiti.
c. Hepatomegali
Ditemukan pada permulaan demam, sifatnya nyeri tekan dan tanpa disertai
ikterus. Umumnya bervariasi, dimulai dengan hanya dapat diraba hingga
2-4 cm di bawah lengkungan iga kanan (Bagian Patologi Klinik, 2009).
Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit namun
nyeri tekan pada daerah tepi hati berhubungan dengan adanya perdarahan.
d. Renjatan (Syok)
Syok biasanya terjadi pada saat demam mulai menurun pada hari ke-3 dan
ke-7 sakit. Syok yang terjadi lebih awal atau periode demam biasanya
mempunyai prognosa buruk (Bagian Patologi Klinik, 2009). Kegagalan
sirkulasi ini ditandai dengan denyut nadi terasa cepat dan lemah disertai
penurunan tekanan nadi kurang dari 20 mmHg. Terjadi hipotensi dengan
tekanan darah kurang dari 80 mmHg, akral dingin, kulit lembab, dan
pasien terlihat gelisah.

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah
1) Kadar trombosit darah menurun (trombositopenia) (≤ 100000/µI)
2) Hematokrit meningkat ≥ 20%, merupakan indikator akan timbulnya
renjatan. Kadar trombosit dan hematokrit dapat menjadi diagnosis
pasti pada DBD dengan dua kriteria tersebut ditambah terjadinya
trombositopenia, hemokonsentrasi serta dikonfirmasi secara uji
serologi hemaglutnasi (Brasier, Ju, Garcia, Spratt, Forshey, Helsey,
2012).

66
Gambar: Perubahan Ht, Trombosit, dan LPB dalam perjalanan DHF

3) Hemoglobin meningkat lebih dari 20%.


4) Lekosit menurun (lekopenia) pada hari kedua atau ketiga
5) Masa perdarahan memanjang
6) Protein rendah (hipoproteinemia)
7) Natrium rendah (hiponatremia)
8) SGOT/SGPT beisa meningkat
9) Asidosis metabolic
10) Eritrosit dalam tinja hampir sering ditemukan
b. Urine
Kadar albumine urine positif (albuminuria) (Vasanwala, Puvanendran,
Chong, Ng, Suhail, Lee, 2011).
c. Foto thorax
Pada pemeriksaan foto thorax dapat ditemukan efusi pleura. Umumnya
posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur di sisi kanan) lebih baik dalam
mendeteksi cairan dibandingkan dengan posisi berdiri apalagi berbaring.

67
d. USG
Pemeriksaan USG biasanya lebih disukai pada anak dan dijadikan sebagai
pertimbangan karena tidak menggunakan system pengion (Sinar X) dan
dapat diperiksa sekaligus berbagai organ pada abdomen. Adanya acites
dan cairan pleura pada pemeriksaan USG dapat digunakan sebagai alat
menentukan diagnose penyakit yang mungkin muncul lebh berat misalnya
dengan melihat ketebalan dinding kandung empedu dan penebalan
pancreas.
e. Diagnosis Serologis
1) Uji hemaglutinasi inhibisi (Uji HI)
Tes ini adalah gold standard pada pemeriksaan serologis, sifatnya
sensitive namun tidak spesifik artinya tidak dapat menunjukkan tipe
virus yang menginfeksi. Antibody HI bertahan dalam tubuh lama
sekali (>48 tahun) sehingga uji ini baik digunakan pada studi serologi-
epidemioligi. Untuk diagnosis pasien, Kenaikan titer konvalesen 4x
lipat dari titer serum akut atau titer tinggi (> 1280) baik pada serum
akut atau konvalesen daianggap sebagai presumtif (+) atau di dugan
keras positif infeksu dengue yang baru terjadi (Vasanwala dkk, 2011).
2) Uji komplemen fiksasi (uji CF)
Jarang digunakan secara rutin karena prosedur pemeriksaannya rumit
dan butuh tenaga berpengalaman. Antibodi komplemen fiksasi
bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun).
3) Uji neutralisasi
Uji ini paling sensitif dan spesifik untuk virus dengue. Biasanya
memamkai cara Plaque Reduction Neutralization Test (PNRT) yaitu
berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Anti body
neutralisasi dapat dideteksi dalam serum bersamaan dengan antibody
HI tetapi lebih cepat dari antibody komplemen fiksasi dan bertahan
lama (>4-8 tahun). Prosedur uji ini rumit dan butuh waktu lama
sehingga tidak rutin digunakan (Vasanwala dkk, 2011).

68
4) IgM Elisa (Mac Elisa, IgM captured ELISA)
Banyak sekali dipakai. Uji ini dilakukan pada hari ke-4-5 infeksi virus
dengue karena IgM sudah timbul kamudian akan diikuti IgG. Bila IgM
negative uji ini perlu diulang. Apabila hari sakit ke-6 IgM msih
negative maka dilaporkan sebagai negative. IgM dapat bertahan dalam
darah samapi 2-3 bulan setelah adanya infeksi. Sensitivitas uji Mac
Elisa sedikit di bawah uji HI dengan kelebihan uji Mac Elisa hanya
memerlukan satu serum akut saja dengan spesifitas yang sama dengan
uji HI (Vasanwala dkk, 2011).
5) Identifikasi Virus
Cara diagnostic baru dengan reverse transcriptase polymerase chain
reaction (RTPCR) sifatnya sangat sensitive dan spesifik terhadap
serotype tertentu, hasil cepat didapat dan dapat diulang dengan mudah.
Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari specimen yang berasal dari
darah, jaringan tubuh manusia, dan nyamuk. Sensitifitas PCR sama
dengan isolasi virus namun PCR tidak begitu dipengaruhi oleh
penanganan specimen yang kurang baik bahkan adanya antibody
dalam darah juga tidak mempengaruhi hasil dari PCR (Vasanwala dkk,
2011).

8. Penatalaksanaan
a. Pre Hospital
Penatalaksanaanprehospital DBD bisa dilakukan melalui 2 cara
yaitu pencegahan dan penanganan pertama pada penderita demam
berdarah. DinasKesehatan Kota Denpasar menjelaskan pencegahan
yang dilakukan meliputi kegiatan pemberantasan sarang nyamuk
(PSN), yaitu kegiatan memberantas jentik ditempat perkembangbiakan
dengan cara 3M Plus:
1) Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti
bak mandi / WC, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1).
2) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong
air/tempayan, dan lain-lain (M2).

69
3) Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menampung air hujan (M3).
Plusnya adalah tindakan memberantas jentik dan menghindari
gigitan nyamuk dengan cara: 
1) Membunuh jentik nyamuk Demam Berdarah di tempat air yang
sulit dikuras atau sulit air dengan menaburkan bubuk Temephos
(abate) atau Altosid. Temephos atau Altosid ditaburkan 2-3 bulan
sekali dengan takaran 10 gram Abate ( ± 1 sendok makan peres) 
untuk 100 liter air atau dengan takaran 2,5 gram Altosid ( ± 1/4
sendok makan peres) untuk 100 liter air. Abate dan Altosid dapat
diperoleh di puskesmas atau di apotik.
2) Memelihara ikan pemakan jentik nyamuk.
3) Mengusir nyamuk dengan menggunakan obat nyamuk 
4) Mencegah gigitan nyamuk dengan memakai obat nyamuk gosok
5) Memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi 
6) Tidak membiasakan menggantung pakaian di dalam kamar
7) Melakukan fogging atau pengasapan bila dilokasi ditemukan 3
kasus positif DBD dengan radius 100 m (20 rumah) dan bila di
daerah tersebut ditemukan banyak jentik nyamuk.
Pada orang yang menderita demam berdarah pada awalnya
mengalami demam tinggi. Kondisi demam dapat mengakibatkan tubuh
kekurangan cairan karena penguapan, apalagi bila gejala yang
menyertai adalah muntah atau intake tidak adekuat (tidak mau minum),
akhirnya jatuh dalam kondisi dehidarasi. Pertolongan pertama yang
dapat diberikan adalah mengembalikan cairan tubuh yaitu meberikan
minum 2 liter/hari (kira – kira 8 gelas) atau 3 sendok makan tiap 15
menit. Minuman yang diberikan sesuai selera misalnya air putih, air
teh manis, sirup, sari buah, susu, oralit, shoft drink, dapat juga
diberikan nutricious diet yang banyak beredar saat ini. Untuk
mengetahui pemberian cairan cukup atau masih kurang, perhatikan
jumlah atau frakuensi kencing. Frekuansi buang air kecil minimal 6
kali sehari menunjukkan pemberian cairan mencukupi (IDAI, 2009).

70
Ada cara yang bisa ditempuh tanpa harus diopname di rumah sakit,
tapi butuh kemauan yang kuat untuk melakukannya. Cara itu adalah
sebagai berikut (WHO, 1999):
1) Minumlah air putih minimal 20 gelas berukuran sedang setiap hari
(lebih banyak lebih baik)
2) Cobalah menurunkan panas dengan minum obat penurun panas.
Parasetamol sebagai pilihan, dengan dosis 10 mg/BB/kali tidak
lebih dari 4 kali sehari. Jangan
memberikan aspirin dan brufen/ibuprofen, sebab dapat
menimbulkan gastritis dan atau perdarahan.
3) Beberapa dokter menyarankan untuk minum minuman ion
tambahan ( pocari sweet )
4) Minuman lain yang disarankan: Jus jambu merah untuk
meningkatkan trombosit
5) Makanlah makanan yang bergizi dan usahakan makan dalam
kuantitas yang banyak
6) Cara penghitung kebutuhan cairan dapat berdasarkan rumus
berikut ini :
a) Dewasa: 50 cc/kg BB/hari
b) Anak: Untuk 10 kg BB pertama: 100cc/kg BB/ hari
- Untuk 10 kg BB kedua: 50 cc/kg BB/ hari
- Untuk 10 kg BB ketiga dan seterusnya: 20 cc/kg BB/hari
Jenis minuman yang di rekomendasikan bagi penderita DBD
merupakan sebagian dari obat demam berdarah yang dimaksudkan
untuk menghindari pasien dari kekurangan cairan, antara lain :
a) Jus Buah
Untuk mengatasi kekurangan cairan karena demam
berdarah dapat memberikan banyak cairan berupa air jus. Tidak
selalu harus jus jambu biji, bisa memberikan jus buah lain
seperti jus pepaya, jeruk, atau jus mangga. Dengan kadar air
dalam buah berhitung tinggi antara 65 sampai 92 persen,

71
sehingga bisa mensuplai atau menutupi kekurangan cairan
akibat merembesnya plasma darah keluar dari pembuluh.
b) Air Kelapa Muda
Air kelapa muda banyak megandung mineral kalium,
sodium, klorida, dan magnesium. Zat-zat ini adalah elektrolit
yang dibutuhkan tubuh untuk membantu mengatasi ancaman
syok pada kondisi kekurangan cairan. Selain kalium, juga
mengandung gula, vitamin B dan C dan protein. Komposisi
gula dan mineral yang terdapat dalam air ini begitu sempurna,
sehingga memiliki keseimbangan yang mirip dengan cairan
tubuh manusia.
c) Air Heksagonal
Air heksagonal merupakan air yang banyak mengandung
oksigen, air telah banyak dikembangkan untuk membantu
metabolisme tubuh sehingga bisa menjaga stamina dan
vitalitas, termasuk bagi yang menderita demam berdarah.
d) Alang-Alang
Dalam kandungan Alang-alang terdapat manitol, glukosa,
sakharosa, malic acid, citric acid, coixol, arundoin, cylindrin,
fernenol, simiarenol, anemonin, asam kersik, damar, dan logam
alkali. Dilihat dari kandungan-kandungan tersebut, alang-alang
bersifat antipiretik (menurunkan panas), diuretik (meluruhkan
kemih), hemostatik (menghentikan perdarahan), dan
menghilangkan haus.
Pada pasien anak yang rentan mempunyai riwayat kejang demam
maka perlu diwaspadai gejala kejang demam. Seiring dengan
kehilangan cairan akibat demam tinggi, kondisi demam tinggi juga
dapat mencetuskan kejang pada anak sehingga harus diberikan obat
penurun panas. Untuk menurunkan demam, berilah obat penurun
panas. Untuk jenis obat penurun panas ini harus dipilih obat yang
berasal dari golongan parasetamol atau asetaminophen, jangan
diberikan jenis asetosal atau aspirin oleh karena dapat merangsang

72
lambung sehingga akan memperberat bila terdapat perdarahan
lambung. Kompres dapat membantu bila anak menderita demam
terlalu tinggi sebaiknya diberikan kompres hangat dan bukan kompres
dingin, oleh karena kompres dingin dapat menyebabkan anak
menggigil. Sebagai tambahan untuk anak yang mempunyai riwayat
kejang demam disamping obat penurun panas dapat diberikan obat anti
kejang (IDAI, 2009).
IDAI (2009) menjelaskan tanda-tanda syok harus dikenali dengan
baik karena sangat berbahaya. Apabila syok tidak tertangani dengan
baik maka akan menyusul gejala berikutnya yaitu perdarahan. Pada
saat terjadi perdarahan hebat penderita akan tampak sangat kesakitan,
tapi bila syok terjadi dalam waktu yang lama, penderita sudah tidak
sadar lagi. Dampak syok dapat menyebabkan semua organ tubuh akan
kekurangan oksigen dan akhirnya menyebabkan kematian dalam
waktu singkat. Oleh karena itu penderita harus segera dibawa kerumah
sakit bila terdapat tanda gejala dibawah ini:
1) Demam tinggi (lebih 39oc ataulebih)
2) Muntah terus menerus
3) Tidak dapat atau tidak mauminum sesuai anjuran
4) Kejang
5) Perdarahan hebat, muntah atau berak darah
6) Nyeri perut hebat
7) Timbul gejala syok, gelisah atau tidak sadarkan diri, nafas cepat,
seluruh badan teraba lembab, bibir dan kuku kebiruan, merasa
haus, kencing berkurang atau tidak ada sama sekali
8) Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan kekentalan darah
atau penurunan jumlah trombosit
Peran serta keluarga dan masyarakat sangat penting untuk
membantu dalam menangani penyakit demam berdarah. Dinas
Kesehatan Kota Denpasar mengarahkan apabila ada penderita yang
terkena demam berdarah maka harus segera melaporkan

73
Kadus/Kaling/Kades/Lurah atau sarana pelayanan kesehatan terdekat
bila ada anggota masyarakat yang terkena DBD.
Penelitian oleh Kandou, Grace D (2006) pelatihan uji tourniquet
bagi kader kesehatan sebagai salah satu cara deteksi dini demam
berdarah dengue memberikan gambaran bahwa setelah diberikan
penyuluhan dan simulasi pemeriksaan uji tourniquet terjadi perubahan
yang bermakna dimana para kader menjadi tahu dan paham tentang
penyakit demam berdarah Dengue serta cara deteksi dini sederhana
yang dapat dilakukan sebelum merujuk penderita ketempat pelayanan
kesehatan.
b.Intra Hospital di Unit Gawat Darurat
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas
kapiler dansebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan
sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada
kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif.
Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit
lain adalah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang
menyebabkan perembesan plasma dangangguan hemostasis. Gambaran
klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis
hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan
tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase
kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang
merupakan ease awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan
melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma
dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan
awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari
peningkatan kadar hematokrit (DepKes RI, 2005).
Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit.
Penurunanjumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2
trombosit/ Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum
peningkatan hematokrit dansebelum terjadi penurunan suhu.

74
Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan
plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian caiaran. Larutan
garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti volume
plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian
khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus
dan penurunan jumlah trombosit < 50.000/41. Secara umum pasien
DBD derajat I danII dapat dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D,
C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B danA (DepKes
RI, 2005).
1) Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan
tatalaksana DD, bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian
cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak
dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri
perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu
diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu
diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama
demam pada DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk
pemberian atau dapat di sederhanakan seperti tertera pada Tabel 1.
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat
demam tinggi, anoreksia danmuntah. Jenis minuman yang
dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta larutan
oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam
pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan
cairan rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi
yang masih minum asi, tetap harus diberikan disamping larutan
oiarit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan
antikonvulsif selama demam (DepKes RI, 2005).

75
Tabel 1
Dosisi Parasetamol Menurut umur
Umur (Tahun) Parasetaol (tiap kali pemberian)
Dosis (mg) Tablet (1 tab = 500
mg)
<1 60 1/8
1-3 60-125 1/8-1/4
4-6 125-250 1/4-1/2
7-12 250-500 1/2-1

Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang


mungkin terjadi. Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat
suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan
kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium
yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu
menggambarkan derajat kebocoran plasma danpedoman kebutuhan
cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum
dijumpai perubahan tekanan darah dantekanan nadi. Hematokrit
harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai
suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak
tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai
alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang
tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan dengan
menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb
(DepKes RI, 2005).
a) Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang
terjadi pada fase penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase
syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume
plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan
harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan
cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada

76
kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan
dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan
tanda vital, kadar hematokrit, danjumlah volume urin (DepKes
RI, 2005).
Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal
mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume
yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.
Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus menerus
smuntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak
rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya
dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai
hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.
Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi
dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di
dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan
natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus
perlahan-lahan (DepKes RI, 2005).
Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka
komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan
plasma. Volume dankomposisi cairan yang diperlukan sesuai
cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu
cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada
tabel 2 dibawah ini (DepKes RI, 2005).
Tabel 2
Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang
(defisit cairan 5 – 8 %)
Berat Badan waktu masuk Jumlah cairan Ml/kg berat
RS ( kg ) badan per hari
<7 220
7-11 165
12-18 132
>18 88

77
Pemilihan jenis danvolume cairan yang diperlukan
tergantung dari umur dan berat badan pasien serta derajat
kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat
hemokonsentrasi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan
disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur
yang sama (DepKes RI, 2005).
2) Sindrom Syok Dengue
Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah
pengobatan yang utama yang berguna untuk memperbaiki
kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat mengalami
syek dansembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pada
penderita SSD dengan tensi tak terukur dantekanan nadi <20 mm
Hg segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB/jam
seiama 30 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg BB
(DepKes RI, 2005).
a) Penggantian Volume Plasma Segera
Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat > 20
ml/kg BB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30
menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai
berat BB ideal danumur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak ada
perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid.
Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan
kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada
perbaikan stop pemberian kristaloid danberi cairan koloid
(dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya
pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal
pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada
saat perdarahan. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid
dankoloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit
turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan
pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit

78
tetap > tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10
ml/kg BB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/ 24 jam.
Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infuse dikurangi
bertahap sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit (DepKes
RI, 2005).
b) Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian
Volume Plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda
vital telah membaik dankadar hematokrit turun. Tetesan cairan
segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dankemudian
disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi
selama 24-48 jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala
pada pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan lagi. Cairan
intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun,
dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam
atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi
membaik (DepKes RI, 2005).
Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48
jam syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah
yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari
ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit
setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan
hipervolemia dengan akibat edema paru dangagal jantung.
Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan
dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh
hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, dieresis
cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase
reabsorbsi (DepKes RI, 2005).
c) Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia danasidosis metabolik sering menyertai
pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah dankadar elektrolit
harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak

79
dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana
pasien menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila
penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan
koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan
sebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak
diperlukan (DepKes RI, 2005).
d) Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada
semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan
mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak
seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker
oksigen (DepKes RI, 2005).
e) Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus
dilakukan pada setiap pasien syok, terutama pada syok yang
berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah
diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata.
Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal
haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan
hematokrit(misalnya dari 50% me.njadi 40%) tanpa perbaikan
klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi,
merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar
dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup
mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar
trombosit (DepKes RI, 2005).
Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk
pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi
pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga
dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti
waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan fibrinogen
degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk
mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan

80
hematologis tersebut juga menentukan prognosis (DepKes RI,
2005).
f) Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan
dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-
hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah:
- Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat
setiap 15-30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat
teratasi.
- Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali
sampai keadaan klinis pasien stabil.
- Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan,
mengenai jenis cairan, jumlah, dan tetesan, untuk
menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi.
- Jumlah dan frekuensi dieresis
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa
penggantian volume intravaskuler telah benar-benar terpenuhi
dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kg/BB, sedang
jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan
tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka
selanjutnya furasemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan
jumlah diuresis, kadar ureum dankreatinin tetap harus
dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi,
pada umumnya syok belum dapat terkoreksi dengan baik, maka
pemberian dopamia perlu dipertimbangkan (DepKes RI, 2005).

81
Alur Tersangka DBD

Tersangka DBD

Gejala Klinis
Demam 2-7 hari
Uji Tourniquet (+) atau perdarahan spontan
Laboratorium: Ht tidak meningkat,
Trombositopenia ringan

Pasien tidak dapat minum


Pasien
5. masih dapat minum
Beri
6. Minum banyak 1-2 liter/ hari
atau
7. 1 swndok makan tiap 5 menit
Jenis minum: air putih, teh manis,
8. Pasang Infus NaCl 0,9%: dektrose
jus buah, susu, oralit
Bila suhu > 380 C beri Paracetamol 5%(1:3)
Jika kejang beri anti convulsi Tetesan rumatan sesuai Berat badan
Periksa Ht, Hb, tiap 6 jam,
trombosit tiap 6-12 jam

Monitor gejala klinis dan


laboratorium
Perhatikan tanda syok
Palpasi nadi perifer HT naik dan / atau trombosit turun
Ujur diuresis
Awasi perdarahan
Periksa Hb,Ht dan trombosit tiap 6-
12 jam
Infus ganti RL (tetesan disesuaikan)

Perbaikan klinis dan laboratorium:

Pulang (Kriteria memulangkan pasien)


Tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik
Nafsu makan membaik, secara klinis
tampak perbaikan
Hematokrit stabil, jumlah > 50.000/uL
3 hari setelah syock teratasi, tidak
dijumpai distress nafas

Gambar: Alur Tersangaka DBD (Sumber: DepKes RI, 2005)

82
Penatalaksanaan DBD Derajat I dan II
Cairan Awal

RL/NaCl 0,9% atau RLD5/NaCl +


D5 6-7 ml/kgBB/jam

Monitor Tanda Vital / nilai Ht dan


Trombosit tiap 6 jam

Perbaikan Tidak ada perbaikan


Tidak gelisah Gelisah
Nadi9.kuat Distress pernapasan
Tekadan
10. Darah stabil Frekuensi nadi meningkat
Diuresis Cukup HT tetap tinggi / naik
HT turun (2x pemeriksaan) Tekanan nadi < 20 mmHg
Diuresis kurang/tidak ada

Tetesan dikurangi 5 Tanda vital memburuk


ml/kgBB/jam Ht meningkat
Tetesan dinaikkan
10-15 ml/kg BB/jam
Perbaikan

Evaluasi 12-24 jam


Perbaikan
Sesuaikan tetesan
3 ml/kg BB/jam
Tanda vital tidak stabil

Distress nafas
IVFD stop setelah 24-48 jam Ht naik HT turun
Apabila tanda vital dan Hb Tekanan nadi < 20 mmHg
stabil, diuresis cukup

Koloid 20-30 ml/kgBB/


Tranfusi darah segar 10
ml/kgBB
Indikasi tranfusi:
Syok belum teratasi
Perdarahan masif

Perbaikan

Gambar: Penatalaksanaan DBD derajat I dan II (Sumber: DepKes RI, 2005)

83
Penatalaksanaan DBD Derajat II dan III

DBD Derajat III dan IV

Oksigenasi (O2 2-4 lt/mnt)


Penggantian volume plasma segera (cairan
kristaloid isotonis): RL/NaCl 0,9% 20 ml/kgBB
secepatnya (bolus dalam 30 menit)

Evaluasi 30 menit apakah syock teratasi?


Syock teratasi:
Syock teratasi: Kesaaran menurun
Kesadaran membaik Tekanan nadi < 20 mmHg
Tekanan nadi > 20 mmHg Distress nafas/sianosis
Tidak sesak nafas/tidak Dingin
sianosis Periksa kadar gula
Ekstremitas hangat
Diuresis cukup 1
ml/kgBB/jam
Lanjutkan cairan 15-20
ml/kgBB/jam
Tambahkan
koloid/plasma
Cairan & tetesan disesuaikan dekstran /FFP 10-20
10 ml/kgBB/jam (max 30 ml/kgBB)
Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam

Evaluasi ketat
Tanda vital
Tanda Perdarahan
Diuresis Syock belum teratasi
Syok teratasi
Pantau Hb, Ht, trombosit

Stabil dalam 24 jam


Tetesan 5 ml/kgBB/jam
Hb stabil alam 2 x periksa Ht tetap tinggi/ meningkat
Ht menurun
Koloid 20 ml/kgBB

Tetesan 3 ml/kgBB/jam

Infus stop tidak lebih 48 jam


Setelah syok teratasi

Gambar: Penatalaksanaan DBD derajat II dan III (Sumber: DepKes RI, 2005)

84
5. PERAWATAN KOMUNITAS PADA PENYAKIT DIARE
Diare seringkali dianggap penyakit yang biasa dan sering dianggap
sepele penanganannya. Pada kenyataanya diare dapat menyebabkan
gangguan sistem ataupun komplikasi yang sangat membahayakan bagi
penderita. Beberapa di antaranya adalah gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit, shock hipovolemia, gangguan berbagai organ tubuh, dan bila
tidak tertangani dengan baik dapat menyebabkan kematian. Dengan
demikian menjadi penting bagi perawat untuk mengetahui lebih lanjut
tentang diare, dampak negative yang ditibulkan, serta upaya penanganan
dan pencegahan komplikasinya.

           Pada kasus pemenuhan gangguan keseimbangan cairan dan


elektrolit, sebenarnya masih ada diagnosa keperawatan yang mungkin
muncul. Tetapi pada kasus ini difokuskan pada kasus diare, sehingga
tindakan keperawatan lebih banyak diarahkan pada rehidrasi pasien, dan
ternyata  banyak sekali yang harus dipertimbangkan dan diperhatikan.
A.    Pengertian Diare
Diare didefenisikan sebagai suatu kondisi di mana terjadi
perubahan dalam kepadatan dan karakter tinja dan tinja air di keluarkan
tiga  kali atau lebih per hari (Ramaiah, 2007:13).
Diare tejadi akibat pencernaan bakteri E.COLI terhadap makanan.
Bakteri ini sangat senang berada dalam tinja manusia, air kotor, dan
makanan basi. Untuk mencegah terjadinya diare, makanan yang diberikan
kepada anak harus hygenis. Jangan lupa juga untuk selalu mencuci tangan
dengan bersih (Widjaja. 2005:26).
Sedangkan menurut Suriadi (2006:80) menyatakan bahwa diare
adalah kehilanangn cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi
karena frekuiensi satu kali atau lebih buang air bentuk tinja encer atau cair.
Menurut Suradi, dan Rita (2001), diare diartikan sebagai suatu
keadaan dimana terjadinya kehilangan cairan dan elektrolit secara
berlebihan yang terjadi karena frekuensi buang air besar satu kali atau
lebih dengan bentuk encer atau cair.

85
Enteritis adalah infeksi yang disebabkan virus maupun bakteri pada
traktus intestinal (misalnya kholera, disentri amuba). Diare psikogenik
adalah diare yang menyertai masa ketegangan saraf / stress.
Jika ditilik definisinya, diare adalah gejala buang air besar dengan
konsistensi feses (tinja) lembek, atau cair, bahkan dapat berupa air saja.
Frekuensinya bisa terjadi lebih dari dua kali sehari dan berlangsung dalam
jangka waktu lama tapi kurang dari 14 hari. Seperti diketahui, pada
kondisi normal, orang biasanya buang besar sekali atau dua kali dalam
sehari dengan konsistensi feses padat atau keras.
Jadi diare dapat diartikan suatu kondisi, buang air besar yang tidak
normal yaitu lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja yang encer
dapat disertai atau tanpa disertai darah atau lendir sebagai akibat dari
terjadinya proses inflamasi pada lambung atau usus.

B.     Etiologi Diare
Menurut Dr. Haikin Rachmat, MSc., penyebab diare dapat diklasifikasikan
menjadi enam golongan:
1. Infeksi yang disebabkan bakteri, virus atau parasit.

2. Adanya gangguan penyerapan makanan atau disebut malabsorbsi.

3. Alergi.

4. Keracunan bahan kimia atau racun yang terkandung dalam

makanan.

5. Imunodefisiensi yaitu kekebalan tubuh yang menurun.

6. Penyebab lain.

Direktur Pemberantasan Penyakit Menular Langsung (PPML),


Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
(P2MPL) Depkes yang sering ditemukan di lapangan adalah diare yang
disebabkan infeksi dan keracunan. Setelah melalui pemeriksaan
laboratorium, sumber penularannya berasal dari makanan atau minuman
yang tercemar virus. Konkretnya, kasus diare berkaitan dengan masalah

86
lingkungan dan perilaku. Perubahan dari musim kemarau ke musim
penghujan yang menimbulkan banjir, kurangnya sarana air bersih, dan
kondisi lingkungan yang kurang bersih menyebabkan meningkatnya kasus
diare. Fakta yang ada menunjukkan sebagian besar pasien ternyata tinggal
di kawasan kurang bersih dan tidak sehat.
Saat persediaan air bersih sangat terbatas, orang lantas
menggunakan air sungai yang jelas-jelas kotor oleh limbah. Bahkan
menjadi tempat buang air besar. Jelas airnya tak bisa digunakan. Jangan
heran kalau kemudian penderita diare sangat banyak karena menggunakan
air yang sudah tercemar oleh kuman maupun zat kimia yang meracuni
tubuh. Masalah perilaku juga bisa menyebabkan seseorang mengalami
diare. Misalnya, mengkonsumsi makanan atau minuman yang tidak bersih,
sudah tercemar, dan mengandung bibit penyakit. Jika daya tahan tubuh
ternyata lemah, alhasil terjadilah diare.
Diare dapat disebabkan dari faktor lingkungan atau dari menu
makanan. Faktor lingkungan dapat menyebabkan anak terinfeksi bakteri
atau virus penyebab diare. Makanan yang tidak cocok atau belum dapat
dicerna dan diterima dengan baik oleh anak dan keracunan makanan juga
dapat menyebabkan diare.
Kadang kala sulit untuk mengetahui penyebab diare. Diare dapat
disebabkan oleh infeksi pada perut atau usus. Peradangan atau infeksi 
usus oleh agen penyebab :
1. Faktor infeksi : Bakteri, virus, parasit, kandida
2. Faktor parenteral : infeksi di bagian tubuh alin (OMA sering terjadi
pada anak-anak)
3. Faktor malbabsorpsi : karbohidrat, lemak, protein
4. Faktor makanan : makanan basi, beracun, terlampau banyak lemak,
sayuran yang dimasak kurang matang, kebiasaan cuci tangan
5. Faktor psikologis : rasa takut, cemas

87
 C.    Patofisiologi
Penyakit ini dapat terjadi karena kontak dengan tinja yang
terinfeksi secara langsung, seperti:
1.      Makan dan minuman yang sudah terkontaminasi, baik yang sudah
dicemari oleh serangga atau terkontaminasi oleh tangan kotor.
2.      Bermain dengan mainan terkontaminasi apalagi pada bayi sering
memasukkan tangan/mainan/apapun kedalam mulut. Karena virus ini
dapat bertahan dipermukaan udara sampai beberapa hari.
3.      Penggunaan sumber air yang sudah tercemar dan tidak memasak air
dengan air yang benar.
4.      Tidak mencuci tangan dengan bersih setelah selesai buang air besar.
Penyebab gastroenteritis akut adalah masuknya virus (Rotravirus,
Adenovirus enteris, VirusNorwalk), Bakteri atau toksin (Compylobacter,
Salmonella, Escherihia Coli, Yersinia dan lainnya), parasit (Biardia
Lambia, Cryptosporidium). Beberapa mikroorganisme patogen ini
menyebabkan infeksi pada sel-sel, memproduksi enterotoksin atau
Cytotoksin dimana merusak sel-sel, atau melekat pada dinding usus pada
gastroenteritis akut.
Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah adanya
peningkatan bising usus dan sekresi isi usus sebagai upaya tubuh untuk
mengeluarkan agen iritasi atau agen infeksi. Selain itu menimbulkan
gangguan sekresi akibat toksin di dinding usus, sehingga sekresi air dan
elektrolit meningkat kemudian terjadi diare dan absorpsi air serta elektrolit
terganggu. Sebagai homeostasis tubuh, sebagai akibat dari masuknya agen
pengiritasi pada kolon, maka ada upaya untuk segera mengeluarkan agen
tersebut. Sehingga kolon memproduksi mukus dan HCO3 yang berlebihan
yang berefek pada gangguan mutilitas usus yang mengakibatkan
hiperperistaltik dan hipoperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri adalah
kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan
asam basa, gangguan gizi, dan gangguan sirkulasi darah.
Proses terjadinya Gastroenteritis dapat disebabkan oleh
berbagaikemungkinan faktor diantaranya:

88
1.   Faktor infeksi, proses ini dapat diawali adanya mikroorganime
(kuman)yang masuk ke dalam saluran pencernaan yang kemudian
berkembang dalam usus dan merusak sel mukosa usus yang dapat
menurunkan daerahpermukaan usus. Selanjutnya terjadi perubahan
kapasitas usus yangakhirnya mengakibatkan gangguan fungsi usus dalam
absorbsi cairan danelektrolit. Atau juga dikatakan adanya toksin bakteri
akan menyebabkansystem transport aktif dalam usus halus, sel di dalam
mukosa intestinalmengalami iritasi dan meningkatnya cairan dan
elekrtolit.Mikroorganisme yang masuk akan merusak sel mukosa
intestinalsehingga menurunkan area permukaan intestinal, perubahan
kapasitasintestinal dan terjadi gangguan absorbsi cairan dan elektrolit.
2.  Faktor malabsorbsi merupakan kegagalan dalam melakukan
absorbsiyang mengakibatkan tekanan osmotic meningkat sehingga
terjadipergeseran air dan eletrolit ke ronga usus yang dapat meningkatkan
isirongga usus sehingga terjadilah Gastroenteritis.
3.    Faktor makanan ini dapat terjadi apabila toksin yang ada tidak
mampudiserap dengan baik. Sehingga terjadi peningkatan peristaltic usus
yangmengakibatkan penurunan kesempatan untuk menyerap makanan
yangkemudian menyebabkan Gastroenteritis.
4.    Faktor psikologi dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan
peristalticusus yang akhirnya mempengaruhi proses penyerapan makanan
yangdapat mnyebabkan Gastroenteritis (Hidayat Azis, 2006).

  D.    Manifestasi Klinik
1.      Bising usus meningkat, sakit perut atau mules
2.      Diare, vomitus, tanda dehidrasi (+)
3.      Asidosis, hipokalemia, hipotensi, oliguri, syok, koma
4.      Pemeriksaan mikro organisme (+) ( misalnya amoeba)
5.      Bisa ada darah dan mukus (lendir) dalam feses (misalnya pada
disentri amuba)
6.      Sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer.
7.      Terdapat tanda dan gejala dehidrasi; turgor kulit jelek (elastisitas

89
kulit menurun), ubun-ubun dan mata cekung, membran mukosa kering
8.      Kram abdominal
9.      Demam
10.  Mual dan muntah
11.  Anoreksia
12.  Lemah
13.  Pucat
14.  Perubahan tanda-tanda vital; nadi dan pernapasan cepat
15.  Menurun atau tidak ada pengeluaran urine
Diare akut karena infeksi dapat disertai muntah-muntah, demam,
tenesmus, hematoschezia, nyeri perut dan atau kejang perut. Akibat paling
fatal dari diare yang berlangsung lama tanpa rehidrasi yang adekuat adalah
kematian akibat dehidrasi yang menimbulkan renjatan hipovolemik atau
gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang berlanjut. Seseoran
yang kekurangan cairan akan merasa haus, berat badan berkurang, mata
cekung, lidah kering, tulang pipi tampak lebih menonjol, turgor kulit
menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan
oleh deplesi air yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonat (HCO3) maka perbandingannya
dengan asam karbonat berkurang mengakibatkan penurunan pH darah
yang merangsang pusat pernapasan sehingga frekuensi pernapasan
meningkat dan lebih dalam (pernapasan Kussmaul)
Gangguan kardiovaskuler pada tahap hipovolemik yang berat dapat
berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi cepat (> 120 x/menit),
tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka
pucat, akral dingin dan kadang-kadang sianosis. Karena kekurangan
kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal
menurun sampai timbul oliguria/anuria. Bila keadaan ini tidak segera
diatsi akan timbul penyulit nekrosis tubulus ginjal akut yang berarti suatu
keadaan gagal ginjal akut.

90
E.     Pemeriksaan Diagnostik
1.      Riwayat alergi pada obat-obatan atau makanan
2.      Kultur tinja
3.      Pemeriksaan elektrolit, BUN, creatinin, dan glukosa
4.      Pemeriksaan tinja; pH, lekosit, glukosa, dan adanya darah

F.     Pencegahan
Penyakit diare dapat dicegah melalui ( Widoyono, 2005: 151 )
1.      Menggunakan air bersih
Tanda-tanda air bersih :
Ø      Tidak berwarna
Ø      Tidak berbau
Ø      Tidak berasa
2.      Memasak air sampai mendidih sebolum diminum untuk mematikan
sebagian besar kuman penyakit.
3.      Membuang tinja bayi dan anak-anak dengan benar.
Pencegahan muntaber bisa dilakukan dengan mengusahakan lingkungan
yang bersih dan sehat.
1.      Usahakan untuk selalu mencuci tangan sebelum menyentuh
makanan.
2.      Usahakan pula menjaga kebersihan alat-alat makan.
3.      Sebaiknya air yang diminum memenuhi kebutuhan sanitasi standar
di
lingkungan tempst tinggal. Air dimasak benar-benar mendidih,
bersih, tidak berbau, tidak berwarna dan tidak berasa.
4.      Tutup makanan dan minuman yang disediakan di meja.
5.      Setiap kali habis pergi usahakan selalu mencuci tangan, kaki, dan
muka.
6.      Biasakan anak untuk makan di rumah dan tidak jajan di sembarangan
tempat. Kalau bisa membawa makanan sendiri saat ke sekolah
7.      Buatlah sarana sanitasi dasar yang sehat di lingkungan tempat
tinggal, seperti air bersih dan jamban/WC yang memadai.

91
8.      Pembuatan jamban harus sesuai persyaratan sanitasi standar.
Misalnya, jarak antara jamban (juga jamban tetangga) dengan
sumur atau sumber air sedikitnya 10 meter agar air tidak terkontaminasi.
Dengan demikian, warga bisa menggunakan air bersih untuk keperluan
sehari-hari, untuk memasak, mandi, dan sebagainya.

G.    Penatalaksanaan
Penanggulangan kekurangan cairan merupakan tindakan pertama
dalam mengatasi pasien diare. Hal sederhana seperti meminumkan banyak
air putih atau oral rehidration solution (ORS) seperti oralit harus cepat
dilakukan. Pemberian ini segera apabila gejala diare sudah mulai timbul
dan kita dapat melakukannya sendiri di rumah. Kesalahan yang sering
terjadi adalah pemberian ORS baru dilakukan setelah gejala dehidrasi
nampak.
Pada penderita diare yang disertai muntah, pemberian larutan
elektrolit secara intravena merupakan pilihan utama untuk mengganti
cairan tubuh, atau dengan kata lain perlu diinfus. Masalah dapat timbul
karena ada sebagian masyarakat yang enggan untuk merawat-inapkan
penderita, dengan berbagai alasan, mulai dari biaya, kesulitam dalam
menjaga, takut bertambah parah setelah masuk rumah sakit, dan lain-lain.
Pertimbangan yang banyak ini menyebabkan respon time untuk mengatasi
masalah diare semakin lama, dan semakin cepat penurunan kondisi pasien
kearah yang fatal.
Diare karena virus biasanya tidak memerlukan pengobatan lain
selain ORS. Apabila kondisi stabil, maka pasien dapat sembuh sebab
infeksi virus penyebab diare dapat diatasi sendiri oleh tubuh (self-limited
disease).
Diare karena infeksi bakteri dan parasit seperti Salmonella sp,
Giardia lamblia, Entamoeba coli perlu mendapatkan terapi antibiotik yang
rasional, artinya antibiotik yang diberikan dapat membasmi kuman.
Oleh karena penyebab diare terbanyak adalah virus yang tidak
memerlukan antibiotik, maka pengenalan gejala dan pemeriksaan

92
laboratorius perlu dilakukan untuk menentukan penyebab pasti. Pada
kasus diare akut dan parah, pengobatan suportif didahulukan dan
terkadang tidak membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut kalau kondisi
sudah membaik.
Adapun  penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Banyak minum
2. Rehidrasi perinfus
3. Antibiotika yang sesuai
4. Diit tinggi protein dan rendah residu
5. Obat anti kolinergik untuk menghilangkan kejang  abdomen
6. Tintura opium dan paregorik  untuk mengatasi diare (atau obat lain)
7. Transfusi bila terjadi perdarahan
8. Pembedahan bila terjadi perforasi
9. Observasi keseimbangan cairan
10. Cegah komplikasi

6. PERAWATAN KOMUNITAS PADA PENYAKIT COVID


Virus adalah parasit berukuran mikroskopik yang menginfeksi sel

organisme biologis.Virus hanya dapat bereproduksi di dalam material

hidup dengan menginvasi dan memanfaatkan sel makhluk hidup karena

virus tidak memiliki perlengkapan selular untuk bereproduksi

sendiri.Dalam sel inang, virus merupakan parasit obligat dan di luar

inangnya menjadi tak berdaya.Biasanya virus mengandung sejumlah kecil

asam nukleat (DNA atau RNA, tetapi tidak kombinasi keduanya) yang

diselubungi semacam bahan pelindung yang terdiri atas protein, lipid,

glikoprotein, atau kombinasi ketiganya. Genom virus menyandi baik

protein yang digunakan untuk memuat bahan genetik maupun protein yang

dibutuhkan dalam  daur hidupnya.

93
Istilah virus biasanya merujuk pada partikel-partikel yang

menginfeksi sel-sel eukariota (organisme multisel dan banyak jenis

organisme sel tunggal), sementara istilah bakteriofag atau fag digunakan

untuk jenis yang menyerang jenis-jenis sel prokariota (bakteri dan

organisme lain yang tidak berinti sel).

A. Definisi Virus Covid-19

Coronavirus disease 2019 (disingkat “COVID-19”) adalah penyakit

infeksi saluran pernapasan yang menyebabkan gangguan pernapasan serius

seperti pneumonia dan gagal paru. Penyakit ini pertama kali terdeteksi

pada Desember 2019 di Kota Wuhan, ibukota Hubei, Cina. COVID-19

disebabkan oleh virus corona jenis baru (novel coronavirus) yang dikenal

sebagai Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-

2), yang kemungkinan besar berasal dari virus corona yang ditularkan dari

hewan ke manusia, seperti SARS- CoV yang muncul pada tahun 2002

(Ahn, et al., 2020).

Covid-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh tipe baru

coronavirus dengan gejala umum demam, kelemahan, batuk, kejang dan

diare (WHO, 2020; Repici et al., 2020). Pada bulan Desember 2019,

sejumlah pasien dengan pneumonia misterius dilaporkan untuk pertama

kalinya di Wuhan, Cina (Phelan, Katz, & Gostin, 2020). Virus ini telah

dinamai sindrom pernapasan akut parah coronavirus 2 (SARS-CoV-2) dan

dapat bergerak cepat dari manusia ke manusia melalui kontak langsung (Li

et al., 2020; Rothe et al., 2020).

94
Virus COVID-19 merupakan indikasi dari transmisi virus SARS &

MERS. Virus ini membuat penderita nya terinfeksi beberapa penyakitt

sebagai gejalanya. Virus ini dapat dengan mudah menular kedalam sebuah

populasi dan jumlah yang terinfeksi cenderung meningkat (Ying, et.al,

2020).

B. Etiologi Virus Covid-19

Penyebab COVID-19 adalah virus yang tergolong dalam family

coronavirus. Corovirus merupakan virus RNA strain tunggal positif,

berkapsul dan tidak bersegmen. Terdapat 4 struktur protein utama pada

coronavirus yaitu : protein N (nukleokapsid), glikoprotein M (membrane),

glikoprotein spike S (spike),proteinE(selubung). Corona virus tergolong

ordo Nidovirales, keluarga coronaviridae. Coronavirus ini dapat menyebab

kan penyakit pada hewan atau manusia. 

Corona virus yang menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam

genus betacoronavirus, umumnya berbentuk bundar dengan beberapa

pleomorfik, dan berdiameter 60-140 nm. Hasil analisis filogenetik

menunjukkan bahwa virus ini masuk dalam subgenus yang sama dengan

coronavirus yang menyebabkan wabah SARS pada 2002-2004 silam, yaitu

Sarbecoronavirus. Atas dasar ini, international Committee on Taxonomy

of Viruses (ICTV) memberikan nama penyebab COVID-19 sebagai

SARS-CoV-2.

Belum dipastikan berapa lama virus penyebab COVID-19

bertahan di atas permukaan, tetapi perilaku virus ini menyerupai jenis-

95
jenis coronavirus lainnya. Lamanya coronavirus bertahan mungkin

dipengaruhi kondisi-kondisi yang berbeda (seperti jenis permukaan, suhu

atau kelembapan lingkungan). Penelitian (Doremalen et al, 2020)

menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat bertahan selama 72 jam pada

permukaan plastik dan stainless steel, kurang dari 4 jam pada tembaga dan

kurang dari 24 jam pada kardus. Seperti virus corona lain, SARS-COV-2

sensitif terhadap sinar ultraviolet dan panas. Efektif dapat dinonaktifkan

dengan pelarut lemak (lipid solvents) seperti eter, etanol 75%, ethanol,

disinfektan yang mengandung klorin, asam peroksiasetat, dan khloroform

(kecuali khlorheksidin).

C. Gejala Virus Covid-19

Dikutip dari situs Centers for Disease Control and Prevention

(CDC), kasus infeksi virus Corona yang dilaporkan ada yang menunjukkan

gejala dan tidak. Untuk kasus Coronavirus yang dilaporkan gejalanya

adalah:

a. Demam

b. Batuk

c. Napas pendek

Menurut CDC, gejala virus Corona mungkin sudah terlihat mulai

2-14 hari. Perkiraan ini dibuat berdasarkan masa inkubasi virus Corona

dalam kasus MERS. Namun berbeda dalam kasus MERS, infeksi 2019-

nCoV bisa menyebar dari pasien yang tidak menunjukkan gejala namun

sempat berkomunikasi dekat dengan orang lain.

96
D. Karakteristik Virus Covid-19

Coronavirus memiliki kapsul, partikel berbentuk bulat atau elips,

sering pleimorfik dengan diameter sekitar 50-200m.5 Semua virus ordo

Nidovirales memiliki kapsul, tidak bersegmen, dan virus positif RNA serta

memiliki genom RNA sangat panjang.12 Struktur coronavirus membentuk

struktur seperti kubus dengan protein S berlokasi di permukaan virus.

Protein S atau spike protein merupakan salah satu protein antigen utama

virus dan merupakan struktur utama untuk penulisan gen. Protein S ini

berperan dalam penempelan dan masuknya virus kedalam sel host

(interaksi protein S dengan reseptornya di sel inang).

E. Penyerangan Virus Covid-19

Hingga saat ini riset masih terus dilakukan terkait virus Corona

2019-nCoV dan penanganan terbaik untuk korban. yang diketahui hingga

saat ini, Coronavirus adalah keluarga besar virus yang banyak ditemukan

di beberapa binatang misal unta, kucing, dan hewan ternak. Dalam

beberapa kasus, virus Corona menginfeksi manusia dan menyebar seperti

pada kasus MERS, SARS, dan 2019-nCoV.

Virus Corona menyerang siapa? Dikutip dari The Guardian,

korban yang meninggal karena Coronavirus umumnya sudah tua dan

sudah memiliki masalah kesehatan sebelumnya. Mereka memiliki daya

tahan tubuh yang lemah sehingga mudah terinfeksi virus Corona 2019-

nCoV. Namun pemerintah China punya lima kasus kematian akibat virus

Corona yang usianya kurang dari 60 tahun, yaitu 36, 50, 53, 55, dan 58

tahun.

97
Karena itu, sangat penting melakukan usaha preventif untuk

melindungi diri dan infeksi virus. Usaha preventif harus dilakukan dari

berbagai lapisan usia, meski punya daya tahan tubuh yang baik.

F. Pencegahan Virus Covid-19

Usaha pencegahan virus Corona makin penting karena hingga kini

belum ditemukan vaksinnya. Pencegahan menghadapi virus Corona harus

dilakukan setiap hari dari segala lapisan usia. Berikut ini usaha

pencegahan virus Corona dikutip dari CDC:

a. Cuci tangan dengan air dan sabun minimal 20 detik, atau pencuci

tangan yang minimal mengandung 60 persen alkohol

b. Hindari menyentuh mata, hidung, dan mulut dengan tangan yang tidak

dicuci

c. Hindari kontak dekat dengan orang yang sakit

d. Tinggal di rumah jika sedang sakit

e. Gunakan masker dan bersihkan permukaan yang sempat disentuh.

Terkait masker, sebaiknya menggunakan pelindung daerah

hidung dan mulut dengan ukuran pori yang kecil. Dikutip dari situs

LIPI, virus Corona yang menyebabkan SARS berbentuk bulat dengan

diameter 100-120 nm (nanometer). Karena itu, pencegahan infeksi virus

Corona lebih efektif bila menggunakan masker yang berpori-pori lebih

kecil dari 100 nm.

98
G. Fakta Virus Corona

Selain fakta-fakta di atas, berikut sederet hal lainnya yang perlu diketahui

tentang virus bernama Novel 201 Coronavirus (2019-nCoV) itu,

sebagaimana dilaporkan Reuters.

1. Masa inkubasi virus yang dapat dengan mudah menyebar sebelum

memunculkan gejala ini, disebut dapat berkisar dari satu hingga 14

hari.

2. Berbeda dari SARS, yang juga berasal dari China, virus corona dapat

menyebar selama masa inkubasi. Hal ini disampaikan Menteri Komisi

Kesehatan Nasional China Ma Xiaowei pada hari Minggu.

3. Virus corona telah berevolusi, di mana penyebarannya menjadi relatif

lebih cepat dan telah memasuki periode yang lebih parah dan rumit,

kata Xiaowei. Parahnya, pihak berwenang hanya memiliki

pengetahuan yang terbatas tentang virus yang diduga berasal dari

hewan liar itu. Hal ini membuat mereka sulit mengetahui risiko yang

ditimbulkan oleh mutasinya.

Foto: Penampakan virus corona yang diisolasi (Foto: NMDC)

99
4. Meski berbahaya dan telah menyebar ke banyak negara, Organisasi

Kesehatan Dunia (WHO) hanya melabeli wabah virus corona sebagai

keadaan darurat bagi China. Bukan darurat global. Lembaga ini diberitahu

tentang beberapa kasus pneumonia di Kota Wuhan pada 31 Desember dan

7 Januari.

5. Infeksi coronavirus memiliki berbagai gejala, termasuk flu, demam, batuk,

sesak napas dan kesulitan bernafas. Kasus yang parah dapat menyebabkan

pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, hingga kematian.

6. Sebagian besar korban yang meninggal akibat virus corona adalah orang

tua (usia lanjut) dan mereka yang memiliki riwayat penyakit/kondisi medis

tertentu, kata pihak berwenang China.

7. Seperti virus yang menyebabkan SARS dan Sindrom Pernafasan Timur

Tengah (MERS), corona adalah virus RNA (ribonucleic acid). Ini berarti

virus ini menjadikan RNA sebagai materi genetiknya, bukan DNA. Ini

juga berarti virus corona menyatu dengan DNA inangnya, dan dapat

bermutasi dengan cepat.

8. Jumlah total kasus yang dikonfirmasi di China naik sekitar 30% menjadi

2.744 pada Senin. Jumlah itu sekitar setengahnya berada di provinsi pusat

Hubei, di mana Wuhan adalah ibu kotanya.

9. Kasus coronavirus dilaporkan sudah sampai ke Hong Kong, Makau,

Taiwan, Thailand, Amerika Serikat, Australia, Kanada, Prancis, Jepang,

Malaysia, Nepal, Singapura, Korea Selatan, dan Vietnam. Namun, tidak

ada kematian yang dilaporkan terjadi di luar China.

100
10. Virus ini diyakini muncul akhir tahun lalu di sebuah pasar makanan di

Wuhan yang secara ilegal menjual satwa liar.

101
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan menyimak pada permasalahan yang terjadi pada penyakit, tTBC,
Diare, Aids/sifilis, DBD dan Covid masih memerlukan perhatian yang serius dari
pemerintah baik oleh pemerintah daerah maupun oleh pemerintah provinsi
terutama di bidang pendidikan dan bidang kesehatan yang perlu di berikan
perhatian lebih begitupun dengan bidang-bidang lainnya yang memerlukan
tindakan nyata dan perhatian juga dari semua pihak.

B. Saran
1. Untuk puskesmas
a. Lebih memaksimalkan program pelayanan kesehatan
b. Adanya pembinaan pola hidup bersih dan sehat

2. Untuk masyarakat
a. Masyarakat hendaknya lebih menyadari akan pentingnya kesehatan dan
pendidikan bagi kelangsungan hidup di masa depan.
b. Masyarakat lebih meningkatkan partisipasinya dalam kegiatan-kegiatan
yang dilakukan oleh pemerintah desa, termasuk program yang
berhubungan dengan kesehatan dan pendidikan.

102
DAFTAR PUSTAKA

Efendi Ferry, Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas. Salemba


Medika : Jakarta

Fallen R., Dwi Budi R. (2010). Keperawatan Kommunitas. Nuha Medika :


Yogyakarta

Mubarak Faisalado Candra widyanto (2014) Keperawatan komunitas dengan


pendekatan praktis Nuha medika : Yogyakarta

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3.
Jakarta: EGC
Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I
Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta

Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr.


Soetomo Surabaya

Nursalam, M.Nurs (Hons) dan Nunik Dian Kurniawati, S.Kep.Ns . 2007. Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi . Jakarta : Salemba
Medika.SUMBER : http://pphipkabi.org

Muchtar, Rustam. 1989. Sinopsis Obstetri. Jakarta : EGC

Manuaba, Ida Bagus. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC

Varney, Helen, dkk. 2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4. Jakarta : EGC

Pawiroharjo, Sarwono.1998. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka


Syaifudin, A.B. 2002. Buku Acuan Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal.
Jakarata : Yayasan Bina Pustaka

Ratna, Eni, dkk. 2009. Asuhan Kebidanan Komuitas. Yogyakarta : Nuha Medika
Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka

Rabe, Thomas. 2002. Buku Saku Ilmu Kandungan. Jakarta : Hipokrates


Ramaiah, safitri, 2007. All You Wanted To Know About Diare. Jakarta: Bhuana
Ilmu Popular.

Suryadi, dkk. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta:percetakan penebar


swadaya.

103
Widjaja. 2007. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan Dan
Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.

Widoyono,  2005.  Penyakit  Tropis,  Epidemiologi,  Penularan,  Pencegahan,  da
n Pemberantasan. Jakarta: Erlangga.

Ummu, Latifah. 2010. Makalah Diare. Diakses tanggal 30 September 2012


di http://belajarsukes.blogspot.com

Eoman. 2011. Makalah Diare Keperawatan. Diakses tanggal 30 September 2012


di http://eonman95.blogspot.com

Midwery. 2009. Diare. Diakses tanggal 30 September 2012 di http://midwifery-


materials.blogspot.com

Rizky, Kurniadi. 2009. Makalah Asuhan Keperawatan Anak dengan Diare.


Diakses tanggal 30 September 2012
di http://asuhankeperawatanonline.blogspot.com

Bernardo, Simatupang. 2011. Makalah Diare. Diakses tanggal 30 September 2012


di http://bernardosimatupang.wordpress.com
Achmadi, F.U. 2010. Manajemen demam berdarah berbasis wilayah. Buletin
jendela epidemiologi. 2 (1): 1 – 3

Bagian Patologi Klinik. (2009). Peran pemeriksaan laboratorium dalam diagnose


Demam Berdarah Dengue. RSUP Dr. Kariadi Semarang.

Barakah, V. F. 2012. Demam Berdarah tidak ada obatnya, Hanya andalkan cairan.
Detik Health. Retrieved from:
http://health.detik.com/read/2012/06/15/143241/1942274/763/ 18 April 2013

Brasier. A. R., Ju. H., Garcia. J., Spratt. H. M., Forshey. B. M., Helsey. E. S.
(2012). A three-component biomarker panel for prediction of dengue hemorraghic
fever. Am. J. Trop. Med. Hyg. 86(2): 341-348.

CDC (Centers for Disease and Prevention). (2010). Dengue Branch.Cañada


SanJuan,PuertoRico.From:
http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html
diakses 20 April 2013

Danny, Wiradharma. 2009. Diagnosis cepat demam berdarah dengue. Jurnal


Kedokteran Trisakti., 18 (2): 78 – 79

DepKes, RI.,(2005). Pedoman Pencegahan dan Pemberantasan Demam


Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan

104
Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Waspadalah penyakit demam berdarah dengue.
Retrieved from www.denpasarkota.go.id. 18 april 2013.

Gubler D.J., 1998. The Global Pandemic of Dengue/Dengue Haemorrhagic Fever


Current Status and Prospect for the Future. Dengue in Singapore. Technical
Monograph Series No. 2 WHO.

IDAI, 2009. Apa itu demam berdarah dengue.


http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel. 18 April 2013

Khana M., Chaturvedi UC, Sharma MC, Panday VC, Mathur A., 1990. Increased
Capillary Permeability Mediated by A Dangue Virus Induced Limphokine.
Immunology Mart, 69;33:449-53

Khie Chen., Herdiman, T., Pohan., Robert., 2009. Diagnosis dan terapi cairan
pada demam berdarah dengue. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. RS
Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. 22. (1): 5 – 6

Kurane I, Ennis E Francis, 1992. Immunity and Immunopathologi in Dangue


Virus Infection. Seminar Imunology vol 4; 121-127.

Mujida, A.M., Ridwan, A. 2009. Pemetaan dan analisis kejadian demam


berdarah dengue di kaupaten bantaeng.
Phanmeesuk, Y., and Suksin, W. (2009). Nursing Care of Dengue Shock
Syndrome (Case study). Medical Journal of Srisake Surinam Buriram Hospital
Vol 24 No.2.

Soegijanto Soegeng, 2004. Demam Berdarah Dangue. Tinjauan dan Temuan


Baru di Era 2003. Airlangga University Press. Surabaya.

Soewandoyo, E. 1997. Demam Berdarah Dangue pada Orang Dewasa. Gejala


Klinik dan Penatalaksanaannya. Folia Medika Indonesia XXXIII. Juli-September.

Suvatte V. Immunological Aspect of Dangue Haemorrhagic Fever Studies in


Thailand. South East asian J. Trop Med. Pub Haealth, 1987; 1:312-5.

Syahruman A., 1998. Beberapa Lahan Penelitian untuk Penanggulangan Demam


Berdarah Dangue. Mikrobiologi Klinik Indonesia. Vol:3:3:87-89.

Vasanwala. F. F., Puvanendran. R., Chong. S. F., Ng. J. M., Suhail. S. M., Lee. K.
H. (2011). Could peak proteinuria determine whether patient with dengue fever
develop dengue hemorraghic/dengue shock syndrome/- A prospective cohort
study. BMC Infectious Diseases.

Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan intrevensi


NIC dan kriteria hasil NOC. EGC. Jakarta.

World Health Organization (WHO). (1999). Guidelines for treatment of dengue

105
fever/dengue hemorrhagic fever in small hospitals. New Delhi.

Alwani, SS et all (2020) Evaluation of Knowledge, Practices, Attitude and


Anxiety of Pakistan’s Nurses towards COVID-19 during the Current
Outbreak in Pakistan. https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2020.06.05.2012
3703v2.full.pdf.

Ahn, D.G. et al. (2020) ‘Current Status of Epidemiology, Diagnosis, Therapeutics,
and Vaccines for Novel Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)., Journal
of microbiology and biotechnology, 30(3), pp. 313 324. doi: 10.4014/
jmb.2003.03011.

https://news.detik.com/berita/d-4882656/virus-corona-pengertian-gejala-dan-
seputar-wuhan

https://www.cnbcindonesia.com/news/20200127171508-4-133127/ini-sederet-
fakta-tentang-virus-mematikan-corona

https://tirto.id/virus-corona-adalah-wabah-baru-setelah-sars-mers-dan-ebola-evr8

106

Anda mungkin juga menyukai