Anda di halaman 1dari 12

“UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA”

Dosen Pembimbing:
Dr. Fatmah Afrianty Gobel, SKM.,M.Epid.
Oleh:
Nur Fadillah Faizal 14120200008
Putri Khairunisyah 14120200013

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah Swt atas berkat dan rahmat-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas ini tepat waktu. Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih
kepada Dosen Pengampuh Mata Kuliah Epidemiologi Napza dan HIV/AIDS yang telah
memberikan tugas kepada kami.

Makalah tentang “Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia” ini telah kami
usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan beberapa pihak, sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan banyak
terima kasih. Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari bahwa ada kekurangan dari
segi penyusun bahasa maupun lainnya.

Oleh karena itu, kami selaku penulis dapat menerima ktirik dan saran dari pembaca untuk
memperbaiki makalah ini. kami berharap semoga dari makalah ini dapat mengambil hikmah
dan manfaatnya sehingga dapat memberikan insiprasi kepada pembaca.

Makassar, 24 September 2022

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
HIV/AIDS merupakan penyakit menular yang terjadi di kalangan masyarakat
yang belum ditemukan vaksin atau obat yang efektif untuk pencegahan HIV/AIDS
hingga saat ini. Secara global terdapat 36 juta orang dengan HIV di seluruh dunia, di
Asia Selatan dan Tenggara terdapat kurang lebih 5 juta orang dengan HIV. Indonesia
merupakan salah satu negara dengan penambahan kasus HIV/AIDS tercepat di Asia
Tenggara, dengan estimasi peningkatan angka kejadian infeksi HIV lebih dari 36%.
Epidemi HIV/AIDS di Indonesia bertumbuh paling cepat di antara negara-negara di
Asia (UNAIDS, 2014).
Faktor resiko penularan HIV/AIDS sampai tahun 2015 terjadi pada heteroseksual
(84,7%), IDU (5,7%), homoseksual (4,7%), perinatal (4,6%) dan transfusi
(0,1%).Berdasarkan kelompok umur, persentase kasus HIV/AIDS didapatkan
tertinggi pada usia 20-29 tahun (32,0%), 30-39 tahun (29,4%), 40-49 tahun (11,8%),
50-59 tahun (3,9%) kemudian 15-19 tahun (3%). Saat ini HIV/AIDS menginfeksi
secara besar berjenis kelamin perempuan, secara kumulatif sampai tahun 2015
terdapat 61,5% dan laki-laki 38,50% (Kemenkes RI, 2011).
2. Rumusan Masalah
 Menjelaskan upaya pencegahan HIV/AIDS
 Mengetahui sasaran dan ruang lingkup penanggulangan HIV/AIDS
 Memahami populasi kunci dan kelompok resiko tinggi target pencegahan
HIV/AIDS
 Mengetahui peran budies dalam pendampingan ODHA
BAB II
PEMBAHASAN
1. Upaya Pencegahan HIV/AIDS
Upaya pencegahan HIV-AIDS meliputi: pencegahan primer dilakukan dengan
memberikan edukasi pada kelompok risiko tinggi maupun rendah; pencegahan
sekunder dan pencegahan tersier yang ditujukan kepada para penderita untuk
mengurangi akibat-akibat yang lebih serius (Wirahayu & Satyabakti, 2014).
Dijabarkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang
Penanggulangan HIV dan AIDS terdiri dari:
1) promosi kesehatan,
2) pencegahan penularan HIV,
3) pemeriksaan diagnosis HIV,
4) pengobatan, perawatan dan dukungan; dan 5) rehabilitasi (Wicaksono, 2015).
Upaya pencegahan juga dilakukan dengan meningkatkan keterampilan (skill)
dan pengetahuan (knowledge) dengan cara atau metode yang sesuai dengan
kepercayaan dan budaya masyarakat setempat. Pencegahan dilakukan kepada
kelompok-kelompok masyarakat sesuai dengan perilaku kelompok dan potensi
ancaman yang dihadapi. Kegiatan-kegiatan dari pencegahan dalam bentuk
penyuluhan, promosi hidup sehat, pendidikan sampai kepada cara menggunakan alat
pencegahan yang dikemas sesuai dengan sasaran upaya pencegahan. pencegahan
dibedakan berdasarkan kelompok-kelompok sasaran sebagai berikut:
 Kelompok tertular (infected people)
Kelompok tertular adalah mereka yang sudah terinfeksi HIV. Pencegahan
ditujukan untuk menghambat lajunya perkembangan HIV, memelihara
produktifitas individu dan meningkatkan kualitas hidup.
 Kelompok berisiko tertular atau rawan tertular (high-risk people)
Kelompok berisiko tertular adalah mereka yang berperilaku sedemikian
rupa sehingga sangat berisiko untuk tertular HIV. Dalam kelompok ini
termasuk penjaja seks baik perempuan maupun laki-laki, pelanggan penjaja
seks, penyalahguna napza suntik dan pasangannya, waria penjaja seks dan
pelanggannya serta lelaki suka lelaki. Karena kekhususannya, narapidana
termasuk dalam kelompok ini. Pencegahan untuk kelompok ini ditujukan
untuk mengubah perilaku berisiko menjadi perilaku aman.
 Kelompok rentan (vulnerable people)
Kelompok rentan adalah kelompok masyarakat yang karena lingkup
pekerjaan, lingkungan, ketahanan dan atau kesejahteraan keluarga yang
rendah dan status kesehatan yang labil, sehingga rentan terhadap penularan
HIV. Termasuk dalam kelompok rentan adalah orang dengan mobilitas tinggi
baik sipil maupun militer, perempuan, remaja, anak jalanan, pengungsi, ibu
hamil, penerima transfusi darah dan petugas pelayanan kesehatan.
Pencegahan untuk kelompok ini ditujukan agar tidak melakukan kegiatan-
kegiatan yang berisiko tertular HIV. (Menghambat menuju kelompok
berisiko).
 Masyarakat Umum (general population)
Masyarakat umum adalah mereka yang tidak termasuk dalam ketiga
kelompok terdahulu. Pencegahan ditujukan untuk peningkatkan kewaspadaan,
kepedulian dan keterlibatan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
HIV dan AIDS di lingkungannya (KPAN, 2007).

2. Sasaran dan Ruang Lingkup Penanggulangan HIV/AIDS


Ruang lingkup pengaturan penanggulangan HIV dan AIDS dalam Peraturan
Daerah ini, meliputi:
a. Promosi
Upaya promosi dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan yang
benar dan komprehensif mengenai pencegahan penularan HIV serta
menghilangkan stigma dan diskriminasi. Upaya promosi diberikan dalam
bentuk advokasi, bina suasana, pemberdayaan, kemitraan, dan peran serta
masyarakat sesuai dengan kondisi sosial budaya serta didukung kebijakan
publik. Upaya promosi dilakukan secara komprehensif, integratif,
partisipatif, dan berkesinambungan.

b. Pencegahan

Upaya pencegahan dilakukan untuk mengurangi penularan HIV dan


AIDS. Upaya pencegahan dapat dicapai secara efektif dengan cara
menerapkan pola hidup aman dan tidak berisiko. Upaya pencegahan
meliputi upaya:
a) pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual, seperti:
 tidak melakukan hubungan seksual (Abstinensia).
 setia dengan pasangan (Be Faithful)
 menggunakan kondom secara konsisten (Condom use)
 menghindari penyalahgunaan obat/zat adiktif (No Drug)
 meningkatkan kemampuan pencegahan melalui edukasi termasuk
mengobati IMS sedini mungkin (Education)
 melakukan pencegahan lain, antara lain melalui sirkumsisi.
b) pencegahan penularan HIV melalui hubungan non seksual, seperti:
 pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi (15-49
tahun).
 pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV
positif.
 pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang
dikandungnya.
 dukungan psikologis, sosial dan perawatan kesehatan selanjutnya
kepada ibu yang terinfeksi HIV dan bayi serta keluarganya.
c. Pengobatan
Pengobatan HIV dan AIDS bertujuan untuk menurunkan sampai tidak
terdeteksi jumlah virus (viral load) HIV dalam darah dengan menggunakan
kombinasi obat anti retroviral sehingga mengurangi risiko penularan,
menghambat perburukan infeksi oportunistik dan meningkatkan kualitas
hidup. Pengobatan HIV harus dilakukan bersamaan dengan penapisan dan
terapi infeksi oportunistik, pencegahan, dan konseling.
Pengobatan HIV dan AIDS dilakukan dengan cara pengobatan:
a. terapeutik, meliputi pemberian obat anti retroviral, pengobatan IMS, dan
pengobatan infeksi oportunitis.
b. profilaksis, meliputi: pemberian obat anti retroviral pasca pajanan dan
antibiotika untuk terapi dan profilaksis.
c. penunjang meliputi pengobatan suportif dan adjuvant serta perbaikan
gizi.

d. Rehabilitasi
Rehabilitasi pada penanggulangan HIV dan AIDS dilakukan terhadap
setiap pola transmisi penularan HIV pada populasi rawan risiko.
Rehabilitasi pada penanggulangan HIV dan AIDS ditujukan untuk
mengembalikan kualitas hidup sehingga menjadi produktif secara ekonomis
dan sosial. Serta pemerintah Provinsi dapat membuat rumah singgah bagi
penderita HIV dan AIDS dalam upaya rehabilitasi.

e. Perawatan dan dukungan

Perawatan dan dukungan HIV dan AIDS harus dilaksanakan dengan


pilihan pendekatan sesuai dengan kebutuhan:
a. perawatan berbasis fasilitas pelayanan Kesehatan.
b. perawatan rumah berbasis masyarakat (Community Home Based
Care). Perawatan dan dukungan HIV dan AIDS harus dilakukan secara
holistik dan komprehensif dengan pendekatan biopsikososiospiritual yang
meliputi :
a. tata laksana gejala
b. tata laksana perawatan akut
c. tata laksana penyakit kronis
d. pendidikan Kesehatan
e. pencegahan komplikasi dan infeksi oportunistik
f. perawatan paliatif
g. dukungan psikologis kesehatan mental, dukungan sosial ekonomi,
dan pemberdayaan masyarakat untuk membina kelompok-kelompok
dukungan
h. evaluasi dan pelaporan hasil.
Perawatan berbasis fasilitas pelayanan kesehatan merupakan perawatan
yang ditujukan kepada orang terinfeksi HIV dengan infeksi oportunistik
sehingga memerlukan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan sesuai
dengan sistem rujukan. Perawatan rumah berbasis masyarakat (Community
Home Based Care) merupakan bentuk perawatan yang diberikan kepada
orang terinfeksi HIV tanpa infeksi oportunistik, yang memilih perawatan di
rumah. Dan perawatan dirumah bertujuan untuk mencegah infeksi,
mengurangi komplikasi, mengurangi rasa sakit/tidak nyaman,
meningkatkan penerimaan diri menghadapi situasi dan memahami
diagnosis, prognosis dan pengobatan, serta meningkatkan kemandirian
untuk mencapai hidup yang berkualitas.
3. Populasi Kunci Dan Kelompok Resiko Tinggi Target Pencegahan HIV/AIDS
Berdasarkan Bappenas (2008), faktor risiko yang dapat mempercepat
penyebaran HIV/AIDS di Indonesia adalah tingginya kejadian penyakit
seksual menular pada anak jalanan, keengganan pelanggan seks pria untuk
menggunakan kondom, meningkatnya penggunaan napza suntik, perilaku
berisiko seperti penggunaan jarum suntik bersama, tingginya angka migrasi
dan perpindahan penduduk, serta kurangnya pengetahuan dan informasi
pencegahan HIV/AIDS. Sementara itu, menurut hasil kajian penelitian HIV
dan AIDS Universitas Katolik Indonesia Atmajaya tahun 2016, risiko
penularan HIV pada pasangan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
perilaku, relasi gender, psikologis, dan sosial. Peningkatan kejadian HIV
dengan berbagai faktor risiko yang semakin banyak ditemukan, maka dari itu
berdasarkan uraian tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
faktor risiko apa saja yang mempengaruhi kejadian HIV pada kelompok usia
produktif di Indonesia.
Pengguna napza suntik, pekerja seks dan pelanggan mereka, lelaki yang
berhubungan seks dengan lelaki, narapidana, pelaut dan pekerja di sektor
transportasi lebih berisiko terkena infeksi HIV. Mobilitasi dan migrasi pun
berperan dalam meningkatnya penularan HIV. Banyak kelompok risiko tinggi
tidak dapat mengakses pelayanan utama HIV/AIDS, karenanya program
penjangkauan dan jaringan kelompok sebaya (peer network) harus dapat
membawa kelompok ini ke tempat-tempat pelayanan tersebut. Pemerintah dan
KPA (Komisi Penanggulangan AIDS), dengan dukungan donor internasional,
saat ini aktif mengembangkan kebijakan HIV/AIDS dan program-program
lokal. Sumbangan berupa pelatihan manajemen organisasi, termasuk
perencanaan strategis dan pendanaan program, dapat membantu KPAD
(Komisi Penanggulangan AIDS Daerah) di tingkat provinsi dan daerah, serta
berbagai LSM terkait dalam melaksanakan tugas mereka.

4. Peran Budies dalam Pendampingan ODHA


Menurut Jumali (dalam Wahyudiana:2001) pendampingan adalah suatu
proses fasilitasi yang dilakukan oleh para pendamping yang berperan untuk
membantu, mengarahkan dan mencari jalan terhadap berbagai permasalahan.
Mengacu pada hal tersebut, maka pendamping adalah orang yang berperan
membantu dan mencari jalan terhadap berbagai permasalahan dengan cara
memfasilitasinya. Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada
seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal
maupun secara informal.
Peran didasarkan pada preskripsi (ketentuan) dan harapan peran yang
menerangkan apa yang individu-individu harus lakukan dalam suatu situasi
tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka sendiri atau harapan
orang lain menyangkut peran-peran tersebut. (Friedman dalam Zaidin:2010).
Peran pendamping adalah serangkaian perilaku yang diharapkan membantu
dan mencari jalan terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi klien dengan
cara mendampinginya. Mengacu pada Parson (dalam Suharto:2010), terdapat
beberapa peran yang dapat dilakukan pekerja sosial dalam melakukan
pendampingan terhadap ODHA.
Pendamping dapat berfungsi sebagai fasilitor. Istilah fasilitator berasal
dari kata fasilitas yang berarti sarana. Maka menfasilitasi berarti memberikan
sarana agar tercapai tujuan. Sarana tersebut biasanya untuk memperlancar
proses kegiatan. Strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan tersebut
meliputi pemberian harapan, pengurangan penolakan dan ambivalensi,
pengakuan dan pengaturan perasaan-perasaan, pengidentifikasian dan
pendorongan kekuatan-kekuatan personal dan aset-aset sosial, pemilahan
masalah menjadi beberapa bagian sehingga lebih mudah dipecahkan, dan
pemeliharaan sebuah fokus pada tujuan dan cara-cara pencapaiannya.
Pendamping berperan sebagai fasilitor dengan cara memfasilitasi ODHA
agar mampu menangani tekanan psikis dan sosial yang dialami. Tidak mudah
bagi ODHA untuk menerima kenyataan bahwa dirinya menderita penyakit
yang ditakuti banyak masyarakat. ODHA cenderung bersikap menyalahkan
keadaan, tidak bisa menerima keadaan. Banyak ODHA merasa cemas tidak
akan lagi diterima di keluarga, lingkungan dan masyarakatnya serta ketakutan
untuk menyongsong masa depan sehingga ODHA tidak lagi mau bergaul,
tidak mau melanjutkan pendidikan atau bahkan melakukan bunuh diri.
Pendamping berperan sebagai pembela dengan cara membela hak ODHA
dalam memenuhi kebutuhannya seperti dari diskriminasi. ODHA memiliki
hak yang sama terutama pada pendidikan, kesehatan dan pekerjaan.
Pendamping perlu membela ODHA dari diskriminasi di lingkungan institusi
baik di institusi pendidikan, institusi, pekerjaan serta institusi kesehatan. Di
institusi pendidikan, banyak ODHA anak dan anak dari ODHA yang tidak
mau lagi melanjutkan pendidikan karena mendapat perlakuan yang berbeda
dari guru maupun rekan sesama siswa. Lebih buruk lagi, masih banyak
institusi sekolah yang tidak mau menerima ODHA anak atau anak ODHA
untuk bersekolah di institusinya.
Di Institusi pekerjaan, saat ini banyak perusahaan yang mengharuskan
pelamarnya melakukan tes diagnostik HIV. Bila hasilnya positif, maka
pelamar tentu saja tidak diterima bekerja. Tindakan lainnya adalah mencutikan
pegawai ODHA dalam waktu yang tidak terbatas, pemecatan secara sepihak,
tidak mendapatkan jaminan kesehatan tenaga kerja dan sebagainya. Di
Institusi kesehatan pun masih banyak terjadi tindakan diskriminatif walaupun
kebanyakan tenaga kesehatan telah memiliki pengetahuan yang cukup
memadai mengenai HIV dan AIDS. Tindakan diskriminatif ini antara lain
adalah tenaga kesehatan yang tidak mau melakukan kontak fisik seperti jabat
tangan dan pemeriksaan fisik dasar dengan ODHA, tenaga kesehatan tidak
mau mengambil sampel darah ODHA dan sebagainya karena takut terular.
Pendamping perlu melindungi ODHA dari diskriminasi di lingkungan
kebijakan seperti kebijakan yang menyatakan bahwa perusahaan tidak boleh
memecat karyawan ODHA. Pada kenyataannya, sampai saat ini masih banyak
ditemui kasus karyawan dipecat karena terdiagnosis HIV. Kebijakan lainnya
ialah pelarangan pemeriksaan HIV pada pelamar kerja. Kenyataannya, masih
banyak perusahaan yang meminta pelamar kerja untuk melakukan tes HIV
terlebih dahulu sebelum diterima kerja.
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Djumadiyon, N. (2020). Filosopi Kebijakan Pencegahan & Penanggulangan HIV AIDS.
Marlinda, Y., & Azinar, M. (2017). Jurnal of Health Education Perilaku Pencegahan
Penularan HIV/AIDS. 2(2), 192–200.
NGANJUK, B. (2016). Peraturan Daerah Kabupaten Nganjuk Nomor 5 Tahun 2016.
Peraturan Daerah Kabupaten Nganjuk Nomor 5 Tahun 2016.
Permenhub. (2013). Berita Negara. Menteri Kesehatan Republik Indonesia Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 69(1496), 1–13.
Purnamawati, D. (2016). Pendidikan Kesehatan HIV dan AIDS Bagi Tenaga Kesehatan. In
STIKes Kharisma Karawang.
Rochmawati, L., Prabawati, S., Melina, F., Kuswanti, I., & Priyantari, W. (2022). Edukasi
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) dan pemeriksaan kesehatan. Hayina,
1(2), 62–67. https://doi.org/10.31101/hayina.2388
Rohmatullailah, D., Fikriyah, D., Masyarakat, F. K., & Indonesia, U. (2021). Faktor Risiko
Kejadian HIV Pada Kelompok Usia Produktif di Indonesia Risk Factors of HIV Event in
Productive Age Groups in Indonesia. Bikfokes, 2, 45–59.
UNAIDS. (1997). Kelompok berisiko Wujudkanlah ... Mendidik pekerja seks dan pelanggan
mereka Program HIV / AIDS di tempat kerja. 1997.
Ying, Y., & Park, D. (2018). No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者における 健康関
連指標に関する共分散構造分析 Title. 1950, 6–7.

Anda mungkin juga menyukai