Anda di halaman 1dari 27

Rabu, 03 Nov 2004 15:18:33 WIB

Etika Rumah Sakit : Tentang identifikasi masalah dan mekanisme untuk pemecahannya
Etika rumah sakit adalah etika terapan (applied ethics) atau etika praktis (practical ethics), yaitu
moralitas atau etika umum yang diterapkan pada isu-isu praktis, seperti perlakuan terhadap etnik-
etnik minoritas, keadilan untuk kaum perempuan, penggunaan hewan untuk bahan makanan atau
penelitian, pelestarian lingkungan hidup, aborsi, etanasia, kewajiban bagi yang mampu untuk
membantu yang tidak mampu, dan sebagainya.

Jadi, etika rumah sakit adalah etika umum yang diterpakan pada (pengoperasian) rumah sakit.
Oleh karena itu, mendahului diskusi tentang etika rumah sakit perlu ada uraian singkat tentang
etika umum. Baru kemudian tentang etika institusional rumah sakit dan potensi masalahnya.
Uraian pendahuluan itu perlu untuk landasan identifikasi dan kemudian upaya pemecahan
masalah-masalah etika rumha sakit.

Etika (Umum)

Etika (umum) ; Istilah dengan aneka ragam arti

Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari
istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas
adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan
perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai
ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat
fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari
Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia
menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.

Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya
tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti
kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta
bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga
terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil,
profesional dan terhormat.

Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab
khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan
profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap
masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk
eksekutif lain di rumah sakit.

Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan
dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan
pelayanan profesi itu.

Hal-hal yang bukan etika

Untuk melengkapi tentang etika, perlu juga ditambahkan tentang apa yang menurut Peter Singer
sebenarnya bukan etika (What ethics is not)
1. Etika bukan seperangkat larangan khusus yang hanya berhubungan dengan perilaku
seksual.
2. Etika bukan sistem yang ideal, luhur dan baik dalam teori, namun tidak ada gunanya
dalam praktek.Agaknya, penilaian demikianlah yang apriori diberikan oleh masyarakat
jika ada kasus kejadian klinis yang tidak dinginkan dibawa ke MKEK.
3. Etika bukan sesuatu yang hanya dapat dimengerti dalam konteks agama. Ini tentulah
pemikiran sekuler. Menurut ajaran agama, sesuatu yang secara moral 'baik' adalah
sesuatu yang sangat disetujui dan disenangi Tuhan. Sedangkan Singer berpendapat
(sama dengan Plato 2000 tahun sebelumnya), suatu perbuatan manusia adalah baik
karena disetujui Tuhan, bukan sebalikny karena disetujui Tuhan perbuatan itu mnejadi
baik. Kontradiksi pendapat tentang ini sudah berlangsung berabad-abad, dan mungkin
akan berlangsung terus.
4. Etika bukan sesuatu yang relatif atau subjektif. Sangkalan Singer terhadap anggapan
keempat ini tidak dijelaskan lebih lnajut disini, karena elaborasinya dari sudut historis
dan falsafah yang panjang dan rumit.

Dapat dilihat, bahwa empat hal yang dianggap bukan etika di atas adalah sanggahan Peter Singer
terhadap apa yang dianggapnya sistem nilai umum dalam masyarakat.

Jenjang perkembangan dari ajaran moral sampai kode etik

1. Ajaran moral : Ajaran tentang bagaimana manusia harus hidup dan berbuat agar menjadi
manusia yang baik
2. Moral : Sistem nilai atau konsensus sosial tentang motivasi, perilaku dan perbuatan
tertentu dinilai baik atau buruk.
3. Falsafah moral : Falsafah atau penalaran moral yang menjelaskan mengapa perbuatan
tertentu dinilai baik, sedangkan perbuatan lain buruk.
4. Falsafah moral menghasilkan teori-teori etika.
5. Teori-teori etika : Kerangka untuk berpikir tentang apakah suatu perbuatan dapat
diterima dinilai dari pendekatan moral. Dua teori etika klasik yang paling terkenal
adalah Utilitiarisme dan Deontologi. Teori utilitiarisme menilai baik-buruknya suatu
tindakan dari hasil atau dampak tindakan itu. Jika hasilnya baik (the greatest good for
the greates number), secara moral tindakan itu adalah baik. Teori Deontologi berkata
lain ; lakukan kewajiban (Deon = Kewajiban), jangan lihat hasil atau dampaknya.
6. Asas-asas etika : Penerapan teori-teori etika dalam praktek. Dua asas etika klasik adalah
beneficence (kewajiban untuk berbuat baik) dan normaleficence (kewajiban untuk tidak
melakukan hal-hal yang merugikan oranglain). Dua asas etika kontemporer adalah
menghormati manusia (respect for reason) dan keadilan (justice).
7. Aturan-aturan etika : Seperangkat standar atau norma yang diturunkan dari asas-asas
etika dan bertujuan mengatur perilaku perbuatan manusia.
8. Kode etik profesi : Seperangkat aturan etika khusus sebagai consensus semua anggota
asosiasi profesi, yang memuat amar dan larangan yang wajib ditaati dan dilaksanakan
oleh semua anggota asosiasi dalam menjalankan fungsi dan kegiatan profesionalnya.
Perlu pemahaman tentang jenjang dan hubungan antara konsep-konsep seperti yang
ditayangkan pada bagian di atas, terutama tentang beberapa teori etika yang utama,
tentang asas-asas etika, dan kode etik.

Oleh karena -seperti akan di elaborasi lebih lanjut di belakang nanti- terutama asas-asas etika dan
kode etik profesi adalah alat pengukur untuk menilai apakah dalam kasus tertentu di Rumah Sakit
terjadi pelanggaran etika atau tidak.

Kelahiran Etika Rumah Sakit

Etika Rumah Sakit yaitu etika praktis yang dikembangkan untuk Rumah Sakit sebagai suatu
institusi lahir pada waktu yang hampir bersamaan dengan kehadiran etika biomedis. Atau dapat
juga dikatakan etika institusional rumah sakit adalah pengembangan dari etika biomedika
(bioetika). Karena masalah-masalah atau dilema etika yang baru sama sekali sebagai dampak
atau akibat dari penerapan kemajuan pesat ilmu dan teknologi biomedis, justru terjadi di rumah
sakit. Sebagai contoh, dapat disebut kegiatan reproduksi dibantu transplantasi organ.
Penggunaan alat-alat medis teknologi tinggi untuk menunjang hidup, operasi ganti kelamin,
penelitian serta uji-coba klinis, dan beberapa terobosan baru lain dari revolusi biomedis sejak
tahun 1960-an yang semuanya dilaksanakan di Rumah Sakit.

Komponen-komponen etika Rumah Sakit


Etika rumah sakit terdiri atas dua komponen :
 Etika administratif
 Etika biomedis

Klasifikasi ini sesuai dengan dua bidang governance di rumah sakit :corporate governance dan
clinical governance dengan wilayah tumpang tindih di antara keduanya. Dapat dikatakan pada
banyak masalah etika biomedis ada aspek etika administratifnya dan pada semua kegiatan klinis
ada potensi isu etisnya.

Isu-isu atau potensi masalah etika yang terkait dengan masing-masing komponen etika rumah
sakit itu didiskusikan berikut ini :

Isu-isu etika administratif

 Potensi isu etika administratif yang pertama terkait dengan kepemimpinan dan
manajemen di rumah sakit. Fungsi manajemen mencakup antara lain kegiatan
menentukan obyektif, menentikna arah dan memberi pedoman pada organisasi.
kegiatan-kegiatan kepemimpinan dan manajemen ini paling sensitif secara etis. Artinya
dalam pelaksanaannya seorang pemimpin yang manajer puncak sangat mudah-disadari
atau tidak melanggar asas-asas etika beneficence, nonmaleficence, menghormati
manusia dan berlaku adil.

Apalagi jika Direktur Rumah Sakit berprilaku diskrimatif dan menerapkan standar
ganda; ia menuntut orang lain mematuhi standar-standar yang ditetapkan. Sedangkan ia
sendiri tidak mau memberi teladan sesuai dengan standar-standar itu

 Potensi isu etika administratif berikutnya adalah tentang privasi. Privasi menyangkut
hal-hal konfidensial tentang pasien, seperti rahasia pribadi, kelainan atau penyakit yang
diderita, keadaan keuangan, dan terjaminnya pasien dari gangguan terhadap
ketersendirian yang menjadi haknya. Adalah kewajiban etis rumah sakit untuk menjaga
dan melindungi privasi dan kerahasiaan pasiennya. Harus diakui, hal itu tidak selalu
mudah.

Misalnya kerahasiaan rekam medis pasien sukar dijaga, karena rumah sakit modern data
dan informasi yang terdapat di dalamnya terbuka bagi begitu banyak petugas yang
karena kewajibannya memang berhak punya akses terhadap dokumen tersebut. Dapat
juga terjadi dilema etika administratif, jika terjadi keterpaksaan membuka kerahasiaan
karena suatu sebab di satu pihak lain kewajiban moral untuk menjaganya
 Persetujuan tindakan medis (Informed consent). Masalah etika administratif dapat
terjadi, jika informed consent tidak dilaksanakan sebagaimana seharusnya, yaitu
persetujuan yang diberikan secara sukarela oleh pasien yang kompeten kepada dokter
untuk melakukan tindakan medis tertentu pada dirinya, setelah ia diberi informasi yang
lengkap dan dimengerti olehnya tentang semua dampak dan resiko yang mungkin terjadi
sebagai akibat tindakan itu atau sebagai akibat sebagai tidak dilakukan tindakan itu.
Dalam banyak hal, memang tidak terjadi banyak masalah etika, jika intervensi medis
berjalan aman dan outcome klinis sesuai dengan apa yang diharapkan semua pihak.

Tetapi, dapat saja terjadi suatu tindakan invansif ringan yang rutin dikerjakan sehari-
hari- misalnya-apendektomi- berakibat fatal. Kasus demikian dapat menjadi penyesalan
berkepanjangan.Dapat juga terjadi dilema etik pada dokter dirumah sakit, yang tega
mengungkapkan informasi yang selengkapnya kepada pasien, karena ia tahu jika itu
dilakukan pasien akan jadi bingung, fanik, dan takut sehingga ia minta dipulangkan saja
untuk mencari pengobatan alternatif. padahal dokter percaya bahwa tindakan medik
yang direncanakan masih besar kemungkinannya untuk menyelamatkan pasien.

Dilema etika administratif berikutnya di rumah sakit dapat terjadi berhubung dengan
faktor-faktor situasi keuangan. Contoh-contoh berikut ini terjadi sehari-hari.
1. Apakah kemampuan pasien membayar uang muka adalah faktor yang mutlak
bagi rumah sakit untuk memberikan pertolongan kepadanya. karena
pertimbangan tertentu, pemilik atau manajeman rumah sakit mengalokasikan
dana yang terbatas untuk proyek tertentu,dan dengan demikian mengakibatkan
kebutuhan lain yang mungkin lebih mendesak, lebih besar manfaatnya, dan
lebih efektif biaya.
2. Bagaimana sikap rumah sakit terhadap dokter tertentu sangat tinggi tarif
jasanya. Jika ditegur ia pasti akan marah, dan mungkin akan hengkang
kerumah sakit lain. padahal ia patient getter yang merupakan 'telur emas'bagi
rumah sakit.
3. Bagaimana sikap terhadap pasien yang kurang tepat waktu melunasi piutang
periodiknya, padahal ia sangat memerlukan tindakan khusus lanjutan.
4. Untuk rumah sakit milik pemodal, bagaimana sikap manajemen jika ada
konflik kepentingan antara kebutuhan pasien dengan keingginan pemegang
saham yang melihat sesuatu hanya dari perhitungan bisnis.
5. Bagaimana jika ada konflik kepentingan antara pemilik, manajemen dan para
klinis yang akar masalahnya adalah soal keuangan dan pendapatan. Bagaimana
sikap manajemen terhadap dokter tertentu yang dapat diduga melakukan moral
hazard dengan berkolusi dengan PBF.
6. Bagaimana sikap rumah sakit terhadap teknologi mahal;disatu pihak diperlukan
untuk meningkatkan posisi dan citra rumah sakit, di pihak lain potensi moral
hazard juga tinggi demi untuk membayar cicilan kredit atau/easing.

Isu-isu Etika Biomeidis

isu etika biomedis di rumah sakit menyangkut persepsi dan perilaku profesional dan instutisional
terhadap hidup dan kesehatan manusia dari sejak sebelum kelahiran, pada saat-saaat sejak lahir,
selama pertumbuhan, jika terjadi penyakit atau cidera, menjadi tua,sampai saat-saat menjelang
akhir hidup,kematian,dan malah beberapa waktu setelah itu.

Sebenarnya pengertian etika biomedis dalam hal ini masih perlu dipilah lagi dalam:
Isu-isu etika biomedis atau bioetika yang lahitr sebagai dampak revolusi biomedis sejak
tahun 1960-an, yang antara lain berakibat masalah dan dilema baru sama sekali bagi
para dokter dalam menjalankan propesinya.
Etika biomedis dalam arti ini didefinisikan oleh International association of bioethics
sebagai berikut; Bioetika adalah studi tentang isu-isu etis,sosial,hukum,dan isu-isu
lainyang timbul dalam pelayanan kesehatan dan ilmu-ilmu biolagi(terjemahan oleh
penulis).

 Isu-isu etika medis'tradisional' yang sudah dikenal sejak ribuan tahun, dan lebih banyak
menyangkuthubungan individual dalam interaksi terapeutik antara dokter dan pasien.
Kemungkinan adanya masalah etika medis demikianlah yang dalam pelayanan di rumah
sakit sekarang cepat oleh masyarakat (dan media masa) ditunding sebagai malpraktek.

Isu-Isu Bioetika

Beberapa contoh yang dapat dikemukakan tentang isu etika biomedis dalam arti pertama
(bioetika) adalah antara lain terkait dengan: kegiatan rekayasa genetik,teknologi
reproduksi,eksperimen medis, donasi dan transpalasi organ, penggantian kelamin, eutanasia, isu-
isu pada akhir hidup, kloning terapeutik dan kloning repraduktif. Sesuai dengan definisi di atas
tentang bioetika oleh International Association of Bioethics ,kegiatan-kegiatan di atas dalam
pelayanan kesehatan dan ilmu-ilmu biologi tidak hanya menimbulkan isu-isu etika,tapi juga isu-
isu sosial, hukum, agama, politik, pemerintahan, ekonomi,kependudukan,lingkungan hidup,dan
mungikin juga isu-isu di bidang lain.

Dengan demikian,identifikasi dan pemecaha masalah etika biomedis dalam arti tidak hanya
terbatas pada kepedulian internal rumah sakit saja-misalnya Komite Etika Rumah Sakit dan para
dokter saja seperti halnya pada penanganan masalah etika medis 'tradisional'- melainkan
kepedulian dan bidang kajian banyak ahlimulti- dan inter-displiner tentang masalah-masalah
yang timbul karena perkembangan bidang biomedis pada skala mikro dan makro,dan tentang
dampaknya atas masyarakat luas dan sistemnilainya,kini dan dimasa mendatang
(F.Abel,terjemahan K.Bertens).

Studi formal inter-disipliner dilakukan pada pusat-pusat kajian bioetika yang sekarang sudah
banyak jumlahnya terbesar di seluruh dunia.Dengan demikian,identifikasi dan pemecahan
masalah etika biomedis dalam arti pertama tidak dibicarakan lebih lanjut pada presentasi ini.
yang perlu diketahui dan diikuti perkembangannya oleh pimpinan rumah sakit adalah tentang
'fatwa' pusat-pusat kajian nasional dan internasional,deklarasi badan-badan internasional seperti
PBB, WHO, Amnesty International, atau'fatwa' Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional
(diIndonesia;AIPI) tentang isu-isu bioetika tertentu, agar rumah sakit sebagai institusi tidak
melanggar kaidah-kaidah yang sudah dikonsesuskan oleh lembaga-lembaga nasional atau
supranasional yang terhormat itu. Dan jika terjadi masalah bioetika dirumah sakit yang belum
diketahui solusinya,pendapat lembaga-lembaga demikian tentu dapat diminta.

Isu-Isu Etika Medis

Seperti sudah disinggung diatas, masalah etika medis tradisional dalam pelayanan medis dirumah
sakit kita lebih banyak dikaitkan dengan kemungkinan terjadinya malpraktek, terutama oleh
dokter. Padahal, etika disini terutama diartikan kewajiban dan tanggung jawab institusional
rumah sakit. Kewajiban dan tanggung jawab itu dapat berdasar pada ketentuan hukum (Perdata,
Pidana, atau Tata Usaha Negara) atau pada norma-norma etika.

Malpraktek (medis) sebenarnya adalah istilah hukum yang berarti kesalahan dalam menjalankan
profesi. Berkhouwer dan Borstman (dikutip oleh Veronica Komalawati) mengatakan,seorang
dokter melakukan kesalahan profesi, apabila ia tidak memeriksa, tidak membuat penilaian, tidak
melakukan tindakan atau tidak menghindari tindakan (tertentu), sedangkan dokter-dokter yang
baik pada umumnya pada situasi yang sama akan melakukan pemeriksaan, membuat penilaian,
melakukan tindakan atau menghindari tindakan (tertentu).

Kita dapat melihat:


Pertama, bahwa definisi ini bersifat relatif.baik buruknya seorang dokter menjalankan profesinya
dibandingkan dengan rata-rata dokter lain. Tentu ini ada kelemahan-kelemahannya ; dapat saja
seorang dokter yang inovatif di tuduh melakukan malpraktek karena ia melakukan hal-hal yang
tidak biasa dilakukan kebanyakan dokter lain, padahal yang ia lakukan adalah baik dan
bermanfaat bagi pasien. Soal standar profesi tidak disinggung dalam devinisi itu,mungkin karena
belum ada,karena buku dua ahli hukum Belanda itu diterbitkan lebih daripada setengah abad
yang lalu dalam tahun 1950.

Kedua. Walaupun tidak secara eksplisit dinyatakan, dalam definisi ini dengan kesalahan
profesional ditonjolkan tentang kelainan; dokter tentu tidak melakukan pemeriksaan. tidak
membuat penilaian, tidak melakukan tindakan, dan tidak menghindari tindakan tertentu. Ini
sesuai dengan pemahaman, bahwa malpraktek adalah sama dengan negligence.

Sesuai dengan konteks makalah ini, tentang malpraktek dengan latar belakang pelanggaran
hukum tidak dibicarakan lebih jauh. Fokus utama adalah pada masalah etika medis di rumah
sakit. Terkait dengan itu, untuk kejelasan wacana uraian rekapulatiif berikut ini kiranya
diperlukan:
1. Etika dalam hal ini diartikan sebagai kewajiban dan tanggung jawab.
2. Etika rumah sakit adalah etika institusi, jadi kewajiban dan tanggng jawab itu adalah
institusional,bukan individual.
3. Namun, eksekutif puncak rumah sakit- sebagai yang oleh pemilik melalui Governing
Body (Badan Pengampu, Majelis Wali Amanah, Dewan Pembina, atau nama jenis yang
lain) diberi kekuasaan mengelola dan tanggung jawab rumah sakit, dengan sendirinya
juga adalah penanggung jawab moral dan etika institusional.
4. Etika medis berhubungan dengan hidup dan kesehatan. Objek kewajiban dan tanggung
jawab pada etika medis adalah hidup dan kesehatan manusia dan kelompok manusia
dilingkungan luar rumah sakit. itu berarti pasien staf serta karyawan rumah sakit,dan
masyarakat.
5. Masalah etika rumah sakit timbul apabila terjadi pelanggaran terhadap asas-asas etika
(umum)dan Kode Etik Rumah Sakit, yang adalah uraian lebih operasional dari asas-asas
etika.
6. Asas-asas etika yang diterapkan pada etika rumah sakit sebagai etika praktis adalah:
o Rumah sakit berbuat kebaikan (benifecence)dan tidak menimbulkan mudharat
atau cidera (nonmalifecence)pada pasien,staf dan karyawan,masyarakat
umum,serta lingkungan hidup.

Dua asas etika klasik ini sudah ada dalam lafal Sumpah Hipprokrates sejak
lebih 23 abad yang lalu. Dua asas ini adalah juga ajaran semua agama. Ajaran
islam hampir selalu menyebut dua asas itu dalam satu kalimat (Amar ma
'arupnahi mungkar).dalam ajaran agama hindu, nonmaleficence adalah Ahimsa.
o Asas menghormati manusia (respect for persons) berarti menghormati
pasien,staf dan karyawan,serta masyarakat dalam hal hidup dan kesehatan
mereka. itu berarti menghormati otonomi (hak untuk mengambil keputusan
tentang diri sendiri),hak-hak asasi sebagai warga negara, hak atas informasi,hak
atas privasi,hak atas kerahasiaan,seta harkat dan mertabat mereka sebagai
manusia dan lain-lain.
o Asas keadilan (justice): keadilan sosial, keadilan ekonomi, dan perlakuan yang
'fair'terhadap pasien, staf dan karyawan, serta masyarakat umum.

Identifikasi Masalah Etika Di Rumah Sakit

Kurt Darr mengatakan, bahwa seorang eksekutuf rumah sakit tidak perlu sampai mengikuti
kursus tentang pilosofi atau etika untuk dapat mengidentifikasikan masalah etika, walaupun
kursus-kursus demikian akan banyak menolong. yang penting,harus ada kepekaan, kebiasaan
melakukan refleksi (an inquiring mind), dan etika pribadi (personal etics)yang cukup baik. tiga
pertanyaan berikut ini dianjurkan diajukan pada diri sendiri untuk mengidentifikasikan
kemungkinan adanya etika pada kasus tertentu.
 Apakah pasien, staf dan karyawan, atau masyarakat umum dalam kasus tertentu itu
diperlakukan seperti saya ingin diperlakukan dalam kasus seperti itu? ini dinamakan The
Golden Rule.
 Apakah pasien, staf dan karyawan, serta masyarakat umum cukup dilindungi terhadap
kemungkinan cidera dalam keberadaan dan pelayanan di rumah sakit?
 Apakah penjelasan tentang informed conset kepada pasien cukup memberi informasi
baginya tentang apa yang akan dilakukan pada dirinya?

Jika salah satu atau lebih dari tiga pertanyaan itu terjawab dengan "tidak",ada indikasi masalah
etika pada kasus yang dihadapi. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya adalah:
 Adakah pasal-pasal dalam Kode Etik Rumah Sakit yang dilanggar?
 Adakah asas-asas etika umum yang dilanggar?
 Jika masih perlu untuk lebih memastikan: Teori etika mana yang dapat dipakai untuk
pembenaran keputusan atau tindakan rumah sakit yang menimbulkan masalah etika
administratif atau etika biomedis.

Sama halnya dengan proses pemecahan masalah secara umum, mengajukan pertanyaan-
pertanyaan yang tepat adalah bagian penting proses itu.

Pemecahan Masalah Etika Di Rumah Sakit

Setelah berhasil mengidentifikasikan adanya masalah etika administratif, masalah bioetika,


masalah medis tradisional, atau gabungan berbagai masalah etika itu dirumah sakit, langkah
berikutnya adalah mencari solusi untuk masalah-masalah itu. Perlu segera ditambahkan, bahwa
pemecahan masalah etika secara umum tidak mudah. Pada dasarnya ada dua model untuk
pemecahan masalah secara umum; model terprogram (rasional) dan model tak terprogram.

Model rasional terprogram mungkin dapat diterapkan pada pemecahan banyak masalah
manajemen umum, tetapi rasio saja tidak selalu berhasil diterapkan pada pemecahan masalah
etika. Masalah etika administratif tertentu di rumah sakit yang menyangkut proses atau prosedur
mungkin dapat lebih mudah dipecahkan secara rasional. Tetapi, masalah etika biomedis yang
menyangkut substansi atau prinsif sering kali sangat sensitif, karena itu rasio saja tidak selalu
efektif. Diperlukan kebijaksanaan yang umumnya tidak dapt diprogramkan.

Dianjurkan langkah langkah umum sebagai berikut untuk pemecahan masalah etika rumah sakit:
1. Memecahkan struktur masalah yang sudah teridentifikasi kedalam komponen-
komponennya, menganalisis komponen-komponen itu sehingga ditemukan akar
masalah.Akar masalah adalah penyebab paling dasar dari masalah etika yang terjadi. Ia
dapat berupa kelemahan pada manusia, kepemimpinan,manajemen, budaya organisasi,
sarana, alat, sistem, prosedur, atau faktor-faktor lain.
2. Melakukan analisis lebih dalam tentang akar masalah yang sudah ditemukan (root cause
analysis),untuk menetapkan arah pemecahannya.
3. Menetapkan beberapa alternatif untuk pemecahan akar masalah.
4. Memilih alternatif yang situasional terbaik untuk pemecahan masalah itu.
5. Memantau dan mengevaluasi penerapan upaya pemecahan yang sudah dilaksanakan.
6. Melakukan tindakan koreksi jika masalah etika belum terpecahkan atau terulang lagi
terjadi. Tindakan koreksi yang dapat menimbulkan masalah etika baru adalah jika
manusia sebagai penyebab akar masalah yang berulang-ulang dikeluarkan dari rumah
sakit.

Kesimpulan

Telah disampaikan tentang etika umum dan etika rumah sakit sebagai etika terapan atau etuka
praktis. Juga uraian tentang jenis atau kelompok etika di rumah sakit, mekanisme untuk
mengidentifikasi masalah-masalah etika, serta langkah-langkah umum untuk pemecahanya.
Pemecahan masalah etika lebih rumit dan sulit daripada pemecahan masalah manajemen umum.

Oleh : Dr. Samsi Jacobalis (Ketua Makersi Pusat)

Deklarasi Konferensi Perempuan di Beijing 1995 Mengenai Aborsi

Diskriminasi terhadap perempuan, terkadang muncul karena menginginkan anak lelaki, dalam akses
pelayanan kesehatan dan gizi dapat membahayakan kesehatan dan kelangsungan hidup mereka saat ini
dan masa mendatang. Konseling dan akses informasi serta pelayanan kesehatan reproduksi remaja masih
sangat kurang atau tidak lengkap. Pengalaman seks dini, dikombinasikan dengan kurangnya informasi
dan pelayanan kesehatan, memperbesar risiko kehamilan tidak diinginkan dan kehamilan yang terlalu
cepat, infeksi HIV dan PMS lainnya, sebagaimana aborsi tidak aman (paragraf 93).

Perempuan memiliki risiko kesehatan lebih besar karena kurangnya kepedulian dan pelayanan untuk
memenuhi kebutuhan kesehatan yang berhubungan dengan seksualitas dan reproduksi … Aborsi tidak
aman membahayakan hidup perempuan, mewakili masalah kesehatan masyarakat yang serius, banyak
menimpa remaja yang berisiko paling tinggi. Kebanyakan dari kematian, masalah kesehatan dan
kecacatan dapat dicegah melalui perbaikan akses pelayanan kesehatan yang cukup, termasuk metode KB
yang aman dan efektif serta pelayanan kebidanan gawat darurat, mengenali hak perempuan dan laki-laki
dalam memilih metode KB yang aman, efektif dan dapat diterima sesuai pilihan mereka, yang tidak
bertentangan dengan hukum. Kemampuan perempuan untuk mengontrol fertilitasnya merupakan dasar
penting untuk menikmati hak-hak lainnya (paragraf 97)

Tindakan yang akan dilakukan pemerintah bekerjasama dengan lembaga non-pemerintah dengan
dukungan institusi internasional adalah:

(j) Mengenali dan menangani pengaruh aborsi tidak aman terhadap kesehatan sebagai masalah utam
kesehatan masyarakat, sebagaimana dijelaskan pada paragraf 8.25 dari Program Aksi Konferensi
Internasional tentang Kependudukan dan Pengembangan (ICPD);

(k) Dalam paragraf 8.25 dari Program Aksi Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan
Pembangunan (ICPD) … mempertimbangkan untuk mengkaji ulang hukum yang berisi aturan tentang
perempuan yang melakukan aborsi ilegal (paragraf 106)

Tindakan yang akan dilakukan oleh pemerintah, Badan Perserikatan Bangsa-bangsa, profesi
kesehatan, lembaga penelitian, lembaga non-pemerintah, donatur, industri farmasi, dan media massa, sbb:

(i) Karena aborsi tidak aman merupakan masalah utama terhadap kesehatan dan keselamatan jiwa
perempuan, penelitian untuk memahami konsekuensi aborsi disengaja, termasuk pengaruhnya terhadap
fertilitas, kesehatan reproduksi dan jiwa serta penggunaan kontrasepsi harus lebih dipromosikan,
sebagaimana penelitian tentang tindakan terhadap komplikasi aborsi dan perawatan pasca-aborsi
(paragraf 109)

… Oleh karena itu kesehatan reproduksi mengimplikasikan bahwa setiap individu dapat memiliki
kehidupan seks yang aman dan memuaskan serta mempunyai kemampuan untuk memiliki keturunan dan
bebas untuk memutuskan kapan dan bagaimana untuk memperolehnya. Secara implisit, hal itu merupakan
hak laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan informasi dan akses terhadap metode KB yang aman,
efektif, terjangkau dan dapat diterima sesuai pilihan mereka (paragraf 94)

Dari definisi di atas, hak reproduksi merupakan hak asasi manusia yang sudah dikenal dalam hukum
nasional, peraturan internasional hak-hak manusia, dan peraturan lainnya. Hak-hak tersebut bergantung
pada pengenalan dari hak asasi setiap pasangan dan individu untuk memutuskan secara bebas dan
bertanggungjawab jumlah, jarak dan waktu kelahiran anak mereka, serta mendapatkan informasi untuk
melakukannya, dan hak untuk memperoleh standar tertinggi kesehatan seksual dan reproduksi. Termasuk
hak mereka untuk mengambil keputusan mengenai masalah reproduksi, bebas dari diskriminasi, tekanan
dan kekerasan (paragraf 95)

Hak-hak asasi perempuan termasuk hak mereka untuk mengontrol dan memutuskan secara bebas setiap
hal yang berhubungan dengan kehidupan seks mereka, termasuk kesehatan reproduksi dan seks, bebas
dari tekanan, diskriminasi dan kekerasan (paragraf 96).

sumber:  Lembar Informasi FKP

SISTEM PELAYANAN BUDI KEMULIAAN


---------------------------------------
Memperhatikan keinginan mulia para pendiri serta meng - antisipasi perkembangan masyarakat di masa
depan maka dibuat 2 jenis pelayanan kesehatan yang dituangkan dalam SK direktur sbb.:

a. Pelayanan pasien berjenjang :Yaitu pelayanan yang diberikan oleh satu tim yang terdiri dari :
bidan – dokter umum – dokter spesialis obs.gin/anak
Sistem ini merupakan yang terbanyak dipilih pasien dan merupakan kebijaksanaan utama
karena :
o Memenuhi misi Perkumpulan Budi Kemuliaan yang meng-haruskan pelayanan untuk
seluruh lapisan masyarakat
o Pasien dapat memilih pelayanan sesuai dengan ekonominya
o Merupakan lahan praktek bagi pendidikan bidan.

b. Pelayanan Pasien Pribadi Pelayanan diberikan oleh dokter yang dipilih pasien
Hasil Kegiatan

1. Kegiatan 1998 - 2002


a. Rawat jalan
Pemanfaatan poliklinik untuk kunjungan antenatal ibu hamil dalam kurun waktu 5
tahun meningkat dari 20.754 pasien di tahun 1998 menjadi 26.717 pada tahun 2002
(kurva 1).

Peningkatan pemeriksaan antenatal ini antara lain disebabkan oleh perubahan


penatalaksanaan pemeriksaan ante natal yang disesuaikan dengan perkembangan
terakhir yang mementing-kan kualitas pertemuan. Jumlah kunjungan pasien
ginekologi juga menunjukkan peningkatan dari 6.402 pada tahun 1998 menjadi 9.189
pada tahun 2002. (kurva 2).

Sedangkan kunjungan bayi dan anak rata-rata 16.000 bayi/ tahun (kurva 3).

b.  Rawat inap

1. Pasien yang dirawat


Seiring dengan pemeriksaan ibu hamil yang meningkat pada tahun 1998 – 2002,
jumlah pasien yang dirawat meningkat dari 6732 pada tahun 1998 menjadi 9.818
pada tahun 2003 (kurva 4) yang terjadi oleh karena perbaikan manajemen
keperawatan serta rujukan dari fasilitas kesehatan lain, sedangkan layanan kunjungan
ibu hamil belum optimal oleh karena sarana pemeriksaan ibu hamil yang belum
memadai dan tidak nyaman. Peningkatan rawat inap ini harus ditunjang dengan
peningkatan mutu pelayanan terutama fasilitas bangunannya.

2. Persalinan
Jumlah persalinan tenyata meningkat dari 4.351 pada tahun 1998, menjadi 7.335 pada
tahun 2003. Peningkatan jumlah persalinan ini terjadi karena perbaikan manejemen
pertolongan persalinan yang merujuk pada Asuhan Persalinan Normal (APN). 70 %
bidan telah mendapat sertifikat standarisasi APN dan masih terus dilakukan secara
bertahap bagi bidan-bidan lainnya. Penerimaan bidan baru ditetapkan lulusan D III
dan dalam orientasi awal kerja dilakukan standarisasi APN lebih dulu.Selain dari
pada itu adanya Maternal Neonatal Health Care Update serta penerapan Upaya
Pencegahan Infeksi yang baik bekerja sama dengan lembaga swadaya dari dalam dan
luar negeri juga menjadi faktor penunjang peningkatan jumlah pasien. Kerjasama
yang baik terjalin dengan instansi terkait seperti bagian kebidanan, bagian anestesi,
serta perinatologi/ nenonatologi RSAB Harapan Kita dalam upaya meningkatkan
mutu pelayanan. Moto cepat, tepat, ramah dan terjangkau dari bidang pelayanan
medik, diwujudkan dengan salah satunya adalah memberikan kemudahan untuk tidak
harus membayar uang muka lebih dulu. Hal ini ternyata sangat berarti bagi mereka
yang kurang mampu. Semua ini tidaklah cukup apabila sarana fisik tidak ditingkatkan
menjadi sarana yang memadai dan memenuhi standar medik dan kenyamanan &
kepuasan pelanggan.
Selain persalinan yang telah disebutkan diatas, persalinan dari RB dan BKIA Budi
Kemuliaan adalah 1.239 pada tahun 1998 menjadi 1.545 pada tahun 2002.

3. Pasien dirawat menurut kelas perawatan.


Pada tahun 2001 persiapan untuk pembangunan gedung rawat inap telah dimulai,
jumlah tempat tidur terpaksa dikurangi dari 102 tempat tidur (tt) menjadi 70 tt yang
terbagi dalam kelas I 10 tt, kelas II 26 tt, kelas III 20 tt dan kelas IV 10 tt serta 4 tt
untuk kamar bersalin khusus. Keadaan ini diimbangi dengan kebijaksanaan dalam
merawat pasien yaitu dengan meminimalisasi hari rawat (length of stay) dengan tetap
memperhatikan keamananan pasien secara medik.Dengan situasi dan kondisi seperti
tersebut diatas, dapat dilihat bahwa RSB BK tetap banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat menengah kebawah yaitu sebesar 68 % untuk pasien yang dirawat
(gambar 1) dan 75 % (gambar 2) untuk pasien bersalin. Pengelolaan pelayanan
kepada pasien yang tidak mampu ini dimungkinkan oleh adanya subsidi yang ternyata
diambil dari dana yang sebenarnya untuk peningkatan sarana dan prasarana serta
kesejahteraan karyawan. Hal ini menyebabkan perkembangan sarana dan
prasaranaRSBBK menjadi sangat lambat, demikian pula kesejahteraan karyawan
hanya dapat terlaksana sesuai standar.

4. Pasien bersalin menurut asal pasien tahun 2002


Dari gambar 3 didapatkan bahwa 64 % adalah pasien RSB BK (booked patients),
sedangkan pasien rujukan dari bidan swasta, puskesmas, RB/RS baik pemerintah
maupun swasta ataupun RB BK (unbooked patients) mencapai 36 %.

5. Jenis tindakan pertolongan persalinan.


Dari gambar 4 didapatkan bahwa dari 7.335 persalinan terdapat 39 % persalinan
dengan tindakan (ekstraksi forceps/ vakum dan seksio sesaria). Issu tetang tingginya
operasi sesar di beberapa RS selalu menjadi perhatian staf medik RSB BK. Untuk hal
tersebut staf medik di RSB BK selalu bertindak sesuai indikasi medis.

6. Pasien bersalin menurut asal wilayah tempat tinggal.


Gambar 5 menunjukkan bahwa pasien RSB BK 48 % dari Jakarta
Barat, 27 % dari Jakarta Pusat, 10 % dari Jakarta Selatan, 6 % dari
Botabek, 5 % dari Jakarta Utara, dan 2 % dari Jakarta Timur.

Gambar 5 : Pasien bersalin menurut asal wilayah tempat tinggal.

4. Pengelolaan Pasien tidak mampu/membayar kurang


Dalam pengelolaan pasien tidak mampu RSB BK mendapat bantuan dari
pemerintah DKI yang jumlahnya berkisar antara Rp. 10.000.000.- sampai
Rp.25.000.000.- / tahun.

Jumlah dana yang dikeluarkan RSB BK untuk pasien tidak mampu adalah sbb :

TAHUN JUMLAH DANA JUMLAH PASIEN


1998 Rp. 49.072.695 182 Orang
1999 Rp. 83.344.658 245 Orang
2000 Rp. 106.390.988 263 Orang
2001 Rp. 148.213.845 266 Orang
2002 Rp. 254.243.440 372 Orang

     Pada umumnya pasien tersebut adalah pasien – pasien rujukan dari fasilitas
kesehatan lainnya. Jumlah dana yang dikeluarkan untuk pasien kurang / tidak
mampu melebihi dana yang diberikan oleh pemerintah DKI.

Pembebasan pembayaran untuk pasien tidak hanya pasien rawat inap saja tetapi
juga pasien – pasien rawat jalan, yang memerlukan tindakan diagnostik khusus
seperti laboratorium, CTG, USG, dan pap’s smear. Subsidi lain yang diberikan
ialah tarif rawat inap untuk kelas IV yang nilainya lebih rendah dari " unit cost " –
nya. Pada tahun 2002 subsidi yang diberikan secara ini sebesar Rp.
297.298.852,-

Dari hasil analisa ternyata subsidi ini dapat terlaksana dengan cara memakai dana
pengembangan sarana dan prasarana serta kesejahteraan karyawan. Beberapa
usaha dilakukan pihak RS untuk menekan subsidi tanpa mengurangi nilai
pelayanan kesehatan antara lain ialah penurunan " length of stay ", menentukan
tarif paket persalinan dan operasi untuk kasus normal.

Untuk masa depan diupayakan pengelolaan pasien tidak mampu harus


bersamaan dengan peningktan sarana/prasarana serta kesejahteraan karyawan
sehingga mutu pelayanan dapat ditingkatkan. Dengan peningkatan kesejahteraan
karyawan serta peningkatan sarana / prasarana diharapkan komitmen dan
motivasi karyawan meningkat dan akhirnya misi Perkumpulan Budi Kemuliaan,
yaitu menyelenggarakan pelayanan dan pendidikan kesehatan reproduksi yang
profesional dan bermutu bagi seluruh lapisan masyarakat dapat tercapai.

Bantuan pemikiran, tenaga dan finansial sangat diharapkan untuk membantu


pasien yang tidak/kurang mampu.
Sejak tahun berdiri pada tahun 1959, RSUP Sanglah sampai saat ini telah berkembang menjadi
Rumah Sakit Swadana dan akan segera menuju Rumah Sakit - Perjan. Dalam
perkembangannya, RSUP Sanglah senantiasa berupaya meningkatkan profesionalisme untuk
mengantisipasi
 kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau. Dipihak lain,
perubahan global
 dan perkembangan IPTEK-Kedokteran yang sangat pesat membutuhkan sumber daya yang
cukup mendukung
 tersedianya pelayanan yang diharapkan. Motto untuk menjadikan RSUP Sanglah sebagai
pilihan utama dalam
 pelayanan kesehatan, maka arah kebijakan pengembangan pelayanan dilandaskan pada VISI
dan MISI sebagai
 berikut :

 1. Visi RSUP Sanglah


   - Pelayanan dengan kualitas dan keunggulan yang prima merupakan jaminan kepuasan
pelanggan.
   - Bekerja bersama dalam satu tim, menghormati hak-hak setiap orang untuk bekerja secara
profesional,
     etis dan nasionalisme dalam mengembangkan pelayanan, pendidikan para medis, dokter
umum, dokter
     spesialis dan penelitian akan membantu pelaksanaan misi Rumah Sakit.

 2. Misi RSUP Sanglah


     Meningkatkan derajat kesehatan melalui :
   - Pelayanan kesehatan yang : Paripurna, Bermutu dan Terjangkau oleh semua
     lapisan masyarakat.
   - Tempat pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan.
   - Tempat penelitian dan pengembangan : Ilmu Kedokteran Klinik dan Keperawatan.

     Dalam mewujudkan misi tersebut, maka semua upaya yang dilakukan merupakan kegiatan
yang dinamis
 yang dikembangkan melalui nilai inti (Core Value) RSUP Sanglah yaitu : kerja keras, kejujuran,
rendah hati,
 keterbukaan, kerjasama dan hak yang sama bagi seluruh staf untuk mendapatkan
perghargaan dan
 kehormatan atas prestasinya. Dan keberhasilan RSUP Sanglah adalah ditentukan oleh
penilaian terhadap
 suara pelanggan (customer), yang merupakan aset penting. Kepuasan pelanggan adalah
kebahagiaan kami
 dan kami bertekad menjadikan RSUP Sanglah sebagai pilihan utama dalam pelayanan
kesehatan.

 3. Sejarah Singkat RSUP Sanglah


     RSUP Sanglah dibangun pada tahun 1955/1956 dan diresmikan pada tanggal 30 Desember
1959 dengan
     jumlah tempat tidur 150 tempat tidur.
     Tahun 1959 RSUP Sanglah diakui menjadi Rumah Sakit Rujukan Regional untuk wilayah
Bali, Nusa
     Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
     Tahun 1962 RSUP Sanglah menjadi Rumah Sakit Pendidikan, bekerjasama dengan
Fakultas Kedokteran
     Universitas Udayana.
     Tahun 1968 penambahan tempat tidur dari 150 tempat tidur menjadi 300 tempat
 tidur.
     Kemudian berdasarkan Keppres No. 15/1977 terhitung mulai tanggal 30 Maret
 1977, RSUP Sanglah ditetapkan secara Eselon yaitu Eselon II pada tahun 1978
 berdasarkan SK. Menkes RI No. 134/1978 ditetapkan kembali sebagai Rumah Sakit
 Pendidikan Type B dengan Eselon II B dan Pusat Rujukan untuk wilayah Nusa
     Tenggara, Bali, NTB, NTT dan Timor Timur.
     Tahun 1982 penambahan tempat tidur dari jumlah 300 tempat tidur menjadi 695 tempat
tidur. Selanjutnya
     pada tahun 1986 penambahan tempat tidur menjadi 700 tempat tidur.
     Tahun 1990, bantuan Pemerintah Jepang untuk pembangunan Instalasi Rawat Darurat
dengan Kapasitas
     tempat tidur 52 tempat tidur, sehingga jumlah tempat tidur menjadi 752 tempat tidur.
     Berdasarkan SK.Menkes RI. No. 1133/Menkes/SK/VI/1994 tanggal 10 Desember 1993,
RSUP Sanglah
     diakui sebagai Rumah Sakit Swadana.
     Pada tanggal 1 Agustus 1996 jumlah tempat tidur menjadi 756 tempat tidur dan saat ini
menjadi 777 tempat
     tidur.

 4. Prasarana dan Sarana RSUP Sanglah


     Prasarana RSUP Sanglah :
     - Gedung Perawatan
     - Transportasi pasien-pasien dan jenazah
     - Parkir untuk penderita, keluarga penderita dan karyawan
     - Halaman dan taman yang dapat dinikmati oleh penderita dan keluarga penderita
     - Air PAM dan sumur bor yang cukup
     - Penerangan yang cukup

     Sarana RSUP Sanglah :


     - Rawat Jalan
     - Rawat Inap
     - IRD (Instalasi Rawat Darurat)
     - Fasilitas Penunjang Diagnostik (Laboratorium Klinik)
     - Fasilitas lainnya (Laundry, Instalasi Gizi, CSSD, Incenerator, Hot Water, Instalasi Bedah
Sentral)

 5. Sumber Daya Manusia


     Tenaga
     Dokter Umum (termasuk honorer) - 59 Orang
     Dokter Residen - 128 Orang
     Dokter Spesialis/ Sub Spesialis - 166 Orang
     Dokter Gigi - 8 Orang
     Paramedik Keperawatan - 799 Orang
     Paramedik Non Keperawatan - 200 Orang
     Tenaga Non Medik - 366 Orang
     Tenaga Farmasi - 6 Orang
     Tenaga Honorer :
     - Non Medik - 273 Orang
     - Paramedik Perawatan - 45 Orang
     - Paramedik Non Perawatan - 14 Orang
     - Satpam - 40 Orang
     Total : 2.104 Orang

     Kelompok Staf Medik Fungsional (SMF)


     SMF Bedah - 25 Orang
     SMF Kesehatan Anak - 20 Orang
     SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan - 20 Orang
     SMF Penyakit Dalam/ Jantung - 27 Orang
     SMF Syaraf - 10 Orang
     SMF Penyakit Kulit dan Kelamin - 8 Orang
     SMF THT - 8 Orang
     SMF Penyakit Gigi dan Mulut - 9 Orang
     SMF Mata - 6 Orang
     SMF Rehabilitasi Medik - 3 Orang
     SMF Anestesi - 10 Orang
     SMF Radiologi - 5 Orang
     SMF Patologi Klinik - 9 Orang
     SMF Patologi Anatomi - 5 Orang
     SMF Kedokteran Kehakiman - 3 Orang
     SMF Kesehatan Jiwa - 7 Orang
     Andrologi - 1 Orang
     Total : 166 Orang

STUDI TENTANG PROFESIONALISME SISTEM PELAYANAN KESEHATAN IBU


DAN ANAK (KIA) DAN INOVATIF DALAM RANGKA MENCEGAH TINGKAT
KEMATIAN IBU PADA FASE HAMIL DAN BERSALIN
STUDY ON PROFESSIONALISM AND INNOVATION OF MOTHER AND CHILD
HEALTH CARE SYSTEM TO DECREASE MATERNITY MORTALITY RATE IN
PREGNANCY AND DELIVERY PHASE
Suhari M. Yahya and H. Ngalimun
JENDERAL SOEDIRMAN UNIVERSITY
School of Social and Political Science
PURWOKERTO
KEYWORDS : reproductive health, maternal and infant mortality rate, poor service
ABSTRACT : To decrease matemal and infant mortality, the government has enhanced the role
of Mother and Child Health Care Clinic. To what extend this service has improved the maternal
and infant mortality rate in particular and the health level of mother and infant in general are not
known in detail particularly in certain areas of the country. It is in this regard we want to know:
1) The reproductive health status of women served by Mother and Infant Health Care Clinic 2)
The response and accessibility of pregnant women to the Clinic 3) The role and function of the
Clinic to women with reproductive health problem during pre and post natal phase 4) Efforts of
the Clinic to enhance motivation of women living in the surrounding 5) Approaches taken to
have a better relation with referral hospital in order to get better and prompt service to those who
have reproductive health problems 6) Strategic policy taken to develop a better professionalism
and innovative Mother and Infant Health Care system that leads to decrease maternal and infant
mortality rate. For this purpose we conducted a qualitative descriptive analytic study located in
Sikapat rural village, Sumbang sub-district, Banyuwangi district. Respondents taken were those
belong to fertile age married women who still have potential to be pregnant. Key informants
were a/o husbands, officers from District Health Agency, informal leaders, and doctors assigned
to Public Health Centers in two different subdistricts. Primary data was collected by in-depth
interview with written guidance and secondary data was taken from official records.
Triangulation approach was taken to determine data validity. Collected data later was analyzed
by four steps of Miles and Huberman (1984): data collection, data reduction, data presentation
and deriving conclusion.
The results show: 1) The reproductive health status in Sikapat rural village, Sumbang sub-district
was poor as indicated by the high maternal and infant mortality rate. 2) Response of women
toward services provided by the Mother and Child Health Care Clinic was low. This is assumed
due to limited knowledge on how to care a better reproductive health and the role of the Clinic.
3) The Fertile Age Couple generally expects the Mother and Child Health Care Clinic to provide
a better access to them and assign more medical personnels to work in rural villages. 4) The
contribution of services provided by the Mother and Child Health Care Clinic in pre and post
natal phase were assessed as poor and far from expected. 5) If the Mother and Child Health Care
Clinic failed to handle a case, they just refer it to the nearest hospital. 6) To have a better service,
it is expected that the Mother and Child Health Care Clinic should develop a better relation with
referral hospitals in order to get a better and prompt service to a refered patient.
Perhatian terhadap peristiwa kehamilan dan persalinan di masa krisis sekarang ini mengandung
makna penting. Hal ini bukan hanya dikarenakan masih tingginya angka kematian maternal di
Indonesia, yang mencapai sekitar 390 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi
yang juga masih cukup tinggi yakni 52 per 1000 kelahiran hidup, namun yang lebih penting lagi
disebabkan permasalahan ini berkaitan erat dengan munculnya kerawanan stabilitas nasional,
yang menyangkut terganggunya hak azasi manusia untuk dapat hidup sehat dan layak.
Tingginya angka kematian maternal yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan
dipengaruhi faktor didalam dan diluar kesehatan. Beberapa faktor kesehatan antara lain: tindakan
aborsi yang tidak aman, kehamilan ektopik, pendarahan ante, intra dan postpasrtum infeksi,
persalinan macet, penyakit hipertensi (preklain-psia dan eklainpsia), sepsis serta anemia. Dan
segi medis sebenarnya sudah diketahui usaha-usaha preventif dan pengobatan yang mampu
menolong wanita hamil dan bersalin sehingga dapat terhindar dari bahaya kematian. Hanya saja
sistem pelayanan terhadap hal ini terasa masih kurang memadai.
Adapun faktor-faktor diluar kesehatan antara lain: kemiskinan, kurang memadainya pelayanan
kesehatan selama kehamilan dan pertolongan persalinan, keterbatasan sarana transportasi, situasi
geografi yang sulit, komunikasi antar lokasi mukim yang sulit terjangkau, rendahnya tingkat
pendidikan wanita, keterbatasan jumlah tenaga terlatih dan profesional serta etos kerjanya yang
masih rendah. Penyebab lainnya adalah hamil dan melahirkan pada usia rawan (< 20 tahun dan >
30 tahun), terlalu banyak melahirkan anak, terlalu dini atau rapat jarak kelahiran, terbatasnya
frekuensi penyuluhan dan pendidikan kesehatan reproduksi dikomunikasi-kan dalam keluarga
dan praktek-praktek bersalin tradisional yang belum tersentuh aspek medis kebidanan modern.
Selanjutnya juga bisa disebabkan oleh faktor langkanya peralatan dan obat-obatan di tempat
bersalin, kurang dimanfaatkannya fasilitas pelayanan yang ada oleh ibu hamil dan mahalnya
biaya kesehatan reproduksi.
Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan
swasta untuk menekan laju meningkatnya angka kematian maternal. Salah satunya adalah melaui
pelayanan Kesehatan lbu dan Anak (KIA) atau yang lebih terkenal dengan sebutan BKIA.
Namun sampai saat ini belum ada indikasi yang menunjukan kemajuan berarti.
Respon, aksesibilitas dan orientasi medik terutama dari wanita miskin terhadap sistem pelayanan
kehamilan dan persalinan yang diberikan KIA memang sudah patut dipertanya-kan untuk
ditinjau kelayakannya sebagai salah satu strategi yang diandalkan dalam menurunkan tingkat
kematian maternal. Begitu juga, setelah mengamati fakta yang menunjukkan adanya
kompleksitas pelayanan yang serba rumit dan dilematis, dimana pada satu sisi pelayanan KIA
berperan memenuhi kebutuhan kesehatan reproduksi tetapi disisi lain fungsi sebagai penolong
pasien dengan penyakit jenis lain juga dilakukan. Kondisi tersebut pantas dicermati. Pengamatan
fakta dilapangan sering teramati bahwa seorang ibu yang mengalami pendarahan parah
menjelang persalinan akhirnya meninggal karena terlambat mendapat pertolongan medis dan
BKIA. Hal tesebut sering kali disebabkan petugas sibuk melayani pasien lain atau sulitnya
mendapatkan sarana transportasi (kadang-kadang hanya memanfaatkan sejenis "colt"
pengangkut barang dengan bak terbuka) membawa pasien ke rumah sakit yang lebih lengkap
(Santoso, 1997).
Hal lain yang mendasari pemilihan topik ini adalah keinginan untuk mewujudkan Dekade Kaum
Wanita Persatuan Bangsa-Bangsa yang dikumandangkan sejak 1976 agar semua pen-deritaan
wanita khususnya pada pase reproduksi segera diakhiri sesuai slogan “Sehat Untuk Semua” yang
ditargetkan tercapai tahun 2000.
Tujuan penelitian
(1) Mengkaji kondisi kesehatan reproduksi wanita yang berada dibawah praktek pelayanan KIA.
(2) Menganalisis respon dan aksesibilitas ibu yang potensial hamil dan melahirkan terhadap
sistem pelayanan kesehatan reproduksi yang KIA selama ini beserta harapan-harapan yang
diinginkan oleh mereka dalam mendapatkan pelayanan optimal dan memuaskan dari KIA.
(3) Mengkaji fungsi dan peran yang diberikan sistem pelayanan KIA selama ini kepada para
wanita yang mengalami gangguan kesehatan reproduksi (sakit) pada masa-masa kehamilan dan
persalinan.
(4) Mengkaji pendekatan yang telah dilakukan sistem pelayanan KIA untuk menumbuhkan
motivasi kalangan masyarakat sekitar agar lebih peduli memperhatikan masa penting dari
kehamilan dan persalinan yang lebih terjamin aman dan sehat.
(5) Menganalisis bentuk-bentuk interaksi yang dibina selama ini dengan Rumah Sakit tempat
rujukan pasien hamil dan melahirkan jika tidak tertolong lagi, dengan para tenaga penolong
bersalin tradisional (dukun beranak) dan dengan kader kesehatan desa (non medis).
(6) Mempelajari strategi pengembangan profesionalisme sistem pelayanan kesehatan lbu dan
Anak (KIA) yang inovatif dalam upaya menurunkan tingkat kematian maternal berdasarkan
persepsi pasangan usia subur di lokasi penelitian.
Manfaat penelitian :
1. Hasil penelitian dapat dimanfaatkan sebagai informasi penting untuk mengetahui perkem-
bangan derajat kesehatan reproduksi wanita khususnya pasca hamil dan melahirkan di pedesaan.
2. Hasil penelitian juga dapat menjadi bahan pertimbangan yang berharga bagi policy maker
untuk menyusun kebijakan-kebijakan di bidang kesehatan masyarakat khususnya peningkatan
kualitas pelayanan kesehatan reproduksi yang lebih baik.
BAHAN DAN CARA KERJA
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini semula direncanakan di Kabupaten Banyumas dengan mengambil dua kecamatan
yang tergolong kelompok pertama paling tinggi dan kelompok kedua paling rendah dalam
masalah tingkat kematian ibu hamil dan melahirkan. Namun oleh karena keterbatasan dana dan
waktu dengan tidak mengurangi bobot ilmiahnya, maka dipilih satu kecamatan yang tingkat
kematian ibu hamilnya tertinggi saja dan memfokuskan diri pada Desa Sikapat, sebagai desa
dengan tingkat kesehatan reproduksi yang relatif berada di bawah rata-rata dibanding desa
lainnya. Hal ini dimak-sudkan bahwa kedalaman analisis lebih dipentingkan dan pada luasnya
lokasi.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif diskriptif terpancang atau embedded research
dalam bentuk studi kasus dimana data yang dijaring berupa ucapan, tulisan maupun perilaku
yang dapat diamati dari subjek atau sasaran yang ditelaah.
3. Penentuan Sampel Penelitian
Teknik pengambilan sampel yang dimanfaat-kan dalam penelitian ini berupa purposive
sampling. Pemilihan sampel dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan relevansi data.
4. Jenis dan teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang akan dikumpulkan terdiri atas dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer didapat secara langsung melalui wawancara mendalam dengan responden dan
informan terpilih. Adapun data sekunder diperoleh dari arsip-arsip resmi dan tak resmi yang
dianggap dapat melengkapi informasi/data primer.
Untuk dapat merealisir dua jenis data tersebut, maka dilakukan cara-cara pengum-pulan data
melalui :
1. Wawancara mendalam dilakukan untuk memperoleh data primer dan pelak-sanaannya dengan
kuesioner terstruktur kepada responden yang bisa baca tulis dan interview guide sebagai
pedoman wawancara bagi responden yang buta huruf.
2. Analisis dokumentasi (content analysis) dilakukan untuk mendapatkan data sekunder dan
pelaksanaannya berdasar-kan analisis substansi arsip-arsip dan dokumen-dokumen resmi
mengenai sistem pelayanan kesehatan reproduksi. Jumlah kematian ibu pada fase hamil dan
melahirkan serta data lain terkait, baik yang ada dibalai desa, kantor Dinas Kesehatan
Kabupaten, Kantor Keca-matan, maupun sumber lainnya.
5. Unit Pengamatan dan Unit Analisis
Penelitian ini menggunakan rumah tangga perorangan usia subur di pedesaan sebagai unit
analisis. Responden dibagi atas wanita yang telah menikah dan pernah ataupun masih potensial
mengalami fase reproduksi. Adapun informan kunci terdiri dari para suami, petugas BKIA,
kader-kader keseha-tan, aparat desa/kecamatan, pejabat Dinas Kesehatan Kabupaten, tokoh
informal dan dokter-dokter yang bertugas yang dikedua kecamatan sampel.
6. Validitas Data
Guna menjamin validitas data pada penelitian ini maka data yang telah dikumpulkan diuji
dengan cara triangulasi data (Patton, 1990). Cara ini dilakukan dengan mengumpulkan masing--
masing data sejenis dengan memanfaatkan sumber data yang tersedia. Dengan demikian,
kebenaran data yang satu diuji oleh data yang diperoleh dan sumber data berbeda.
7. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah dengan memakai model interaktif dari Miles dan Huberman (1984)
dengan pola empat sumbu kumparan selama pengumpulan data. Keempat sumbu kumparan
tersebut adalah sebagai berikut:
- Pengumpulan data
- Reduksi data
- Sajian data
- Penarikan kesimpulan
Dalam model analisis interaktif ini tiga komponen analisis yaitu reduksi data, sajian data dan
penarikan kesimpulan atau verifikasi dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses
pengumpulan data. Selama proses pengumpulan data berlangsung, peneliti tetap bergerak
diantara tiga komponen. Setelah proses pengumpulan data peneliti bergerak diantara tiga
komponen analisis yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan/ verifikasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Diskripsi Kawasan Penelitian
1. Gambaran Fisik Desa Sikapat
Desa Sikapat termasuk wilayah Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa
Tengah. Desa ini terletak di ujung Timur Laut dari ibukota Kecamatan Sumbang dan berbatasan
dengan Hutan Negara di bawah Kawasan Kantor Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur
Desa di sebelah Utara, Desa Ciberem di sebelah Selatan Desa Gandatapa di sebelah Barat dan
termasuk desa-desa di wilayah administrasi Kabupaten Purbalingga di sebelah Timur.
Dari segi orbitasi diketahui Desa Sikapat bejarak 3,5 kilometer dari ibukota Kecamatan
Sumbang dan 10 kilometer dari ibukota Kabupaten Banyumas (Purwo-kerto), 220 kilometer dari
ibukota Propinsi Jawa Tengah (Semarang) dan 445 kilometer dari ibukota Negara Republik
Indonesia (Jakarta). Perjalanan menuju Desa Sikapat dapat ditempuh melalui tiga jalur. Jalur
pertama dari ibukota kecamatan Kembaran ke arah Utara sejauh 8 km. Jalur kedua dari
Kelurahan Pabuaran - Tambak Sogra ka arah Timur dan kemudian ke Utara sejauh 4 km. Jalur
ketiga yaitu jalur menuju Desa Sikapat melalui arah utara dari Baturaden atau dari samping
kirinya Desa Limpakuwus. Untuk menempuh jarak tersebut dapat dilalui dengan menggu-nakan
berbagai jenis baik yang beroda dua maupun roda empat.
Topografi atau bentang lahan di lokasi penelitian bervariasi yaitu sebagian besar atau kira-kira
60 persen berupa dataran dan sebagian lagi atau kurang lebih 40 persen terdiri dari perbukitan
dengan kemiringan yang relatif tinggi. Baik tanah-tanah yang bertopografi dataran maupun
perbukitan mayoritas telah aktif difungsikan sebagai lahan-lahan pertanian produktif bagi
penduduk setempat. Hanya saja karena tingginya kemiringan air dengan demikian mudah
terbawa arus, sehingga menyulitkan tersedianya air untuk irigasi. Desa Sikapat berada pada
ketinggian yang sedang yakni sekitar 400 meter dari atas permukaan laut. Suhu rata-rata di desa
ini kurang lebih 23 derajat Celcius. Luas Desa Sikapat kira-kira 396,8 hektar yang pada
umumnya dipakai untuk pemukiman, pertanian, perkebunan, peternakan, tempat ibadah dan
lainnya. Curah hujan di Desa Sikapat termasuk tinggi dan iklim yang relatif dingin (masih dalam
batas iklim tropis) mendukung upaya pengembangan berbagai jenis usaha tani yang ditekuni
penduduk, seperti tomat, cabe dan sejenisnya. Sekitar bulan Agustus sampai Desember curah
hujan tergolong kategori tinggi atau 3.000 mm per tahun, sedangkan pada bulan-bulan lainnya
tergolong kategori sedang (2000 mm).
2. Komposisi Penduduk
Jumlah penduduk Desa Sikapat menurut catatan resmi yang tertuang dalam Monografi Tahun
2000 sebanyak 2.872 jiwa yang terdiri dari 1.380 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 1.492 jiwa
perempuan mencakup kira-kira 718 kepala keluarga. Angka rasio jenis kelamin penduduk desa
tersebut sebesar 92 yang dapat diartikan bahwa dalam 92 orang penduduk laki-laki terdapat 100
orang penduduk berjenis kelamin perempuan. Besarnya angka rasio jenis kelamin penduduk
Desa Kramat menunjukkan perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dengan perempuan
agak berbeda cukup jauh, sehingga dalam menggerakkan masyarakat ke dalam proses
pembangunan harus melibatkan kedua komponen warga dengan memperhatikan aspek
kesetaraan dan keadilan gender, khususnya perempuan.
Potensi sumber daya manusia yang besar dimiliki Desa Sikapat dapat teramati dari fakta yang
memperlihatkan bahwa lebih dari separuh penduduknya ternyata berusia produktif atau berusia
antara 16-59 tahun (76,00 persen). Secara lebih jelas data mengenai komposisi penduduk Desa
Sikapat menurut jenjang umur dapat dicermati dari cantuman data yang dimuat pada Tabel 1.
Dari hasil analisis terhadap data yang dimuat dalam Tabel 1 maka diketahui angka beban
tanggungan antara jumlah penduduk berusia produktif dengan yang non produktif adalah sekitar
76. Besarnya angka beban tanggungan memberi makna 100 orang penduduk Desa Sikapat harus
menanggung secara ekonomis kelanjutan hidup sehari-hari 76 jiwa penduduk yang non
produktif.
Tabel 1. Komposisi Penduduk Desa Sikapat Menurut Usia dan Jenis Kelamin Tahun 2000
Laki-laki Perempuan
Kelompok Jumlah Persentase
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Umur (Orang) (%)
(Orang) (%) (Orang) (%)

0-4 126 4,39 133 4,63 259 9,02


5-9 103 3,59 114 3,97 217 7,56
10-19 199 6,92 208 7,24 407 14,41
20-24 145 5,05 154 5,36 299 10,41
25-29 133 4,63 138 4,81 271 9,43
30-34 101 3,52 104 3,62 205 7,14
35-39 101 3,52 124 4,32 225 7,83
40-44 112 3,90 124 4.32 236 8,22
45-49 130 4,53 142 4.94 272 9,47
50-54 100 3,48 110 3.83 210 731
>55 130 4,53 141 4.91 271 9,44
Jumlah 1380 48,05 1492 51.95 2872 100,00
diolah dari Monografi Desa Sikapat Tahun 2000
Pendidikan merupakan salah satu indikator yang mampu mencerminkan kemampuan daya
intelektual sumber daya manusia dalam berkarya sehingga perlu diperhatikan dalam menelaah
potensi dari sekelompok penduduk. Demikian juga dari hasil penelitian dapat dipahami karena
sisi pendidikan yang dimiliki penduduk Desa Sikapat sebagian besar masih berpendi-dikan
formal yang tergolong rendah atau setara sekolah dasar. Bahkan sampai penelitian ini dilakukan
menurut data monografi desa setempat terdapat kira-kira sekitar tiga persen buta huruf dari
angka latin, kendatipun telah dilakukan Program Wajar 9 tahun. Terdapat sebagian kecil telah
mengenyam tingkat pendidikan menengah pertama dan atas atau sekitar 2,28 persen. Sementara
jumlah penduduk yang telah memiliki pendidikan tinggi atau setingkat akademi masih termasuk
rendah atau hanya satu orang per 2800-an jumlah penduduk Sikapat, yakni anak dari Sekretaris
Desa setempat, yakni kurang dari 0,0005 persen.
Jika dikaji dari sisi pola nafkah yang ditekuni maka menurut data yang dipahami sebagian besar
penduduk di Desa Sikapat berprofesi sebagai petani yaitu dari buruh tani kira-kira 50 persen
lebih, kemudian dunia pertukangan, jasa sebagai pegawai kelurahan, PNS hanya empat orang
sebagai guru SD. Beberapa yang lain menjadi tenaga kerja wanita dan juga sebagian kecil pria
ke Jakarta.
Berdasarkan data monografi terung-kap bahwa roda perekonomian penduduk di Desa Sikapat
tidak hanya tergantung pada sektor pertanian melainkan dilengkapi sektor non pertanian seperti
perdagangan, industri, jasa dan sebagainya. Meskipun terasa minim namun terdapat berbagai
fasilitas yang mendukung sistem perekono-mian desa misalnya pasar desa, prasarana
transportasi, toko, kios/warung perorangan dan koperasi simpan pinjam. Dengan tersedianya
berbagai jenis fasilitas perekonomian yang dijelaskan sesuai hasil pengamatan turut mendorong
kegiatan penduduk untuk melaksanakan kegiatan kewirausahaan kendatipun dalam skala yang
relatif sangat kecil dibanding desa sekitarnya.
3. Kondisi Kesehatan Secara Umum
Untuk tingkat kecamatan sebenarnya kondisi sarana dan prasarana kesehatan di Kecamatan
Sumbang termasuk kurang kondusif bagi perawataan ibu dan anak pada masa-masa reproduksi
mulai dari awal kehamilan. Persalinan sampai pasca persalinan. Fakta ini dapat dilihat dari
tingginya angka kematian bayi dan ibu yang baru melahirkan di Kecamatan Sumbang. Di Desa
Sikapat kondisi yang demikian juga ditemukan meskipun tidak ada laporan yang resmi dari
warga masyarakat ke petugas kesehatan di tingkat kecamatan. Hanya saja beberapa desa lain
yang sebenarnya kondisinya lebih baik telah melaporkan secara lisan ataupun tertulis tentang
peristiwaperistiwa gagal persalinan atau pasca persalinan yang sampai mengakibatkan kematian
ke Puskesmas Sumbang melalui jasa pelayanan informasi dari masing-masing Pos Pelayanan
Terpadu (Posyandu) dan bidan yang bertugas di masing-masing desa.
Di samping tingginya angka kematian bayi dan ibu yang baru mengalami fase pasca persalinan
maka untuk tingkat kecamatan Sumbang yang juga menunjuk-kan kondisi kurang memadainya
fasilitas kesehatan. Di tingkat kecamatan terdapat satu Puskesmas yang berlokasi di pusat
ibukota kecamatan dan satu Puskesmas Pembantu didukung jasa lima orang dokter umum
dibantu oleh 30 tenaga medis. Adapun fasilitas kesehatan yang ditemukan di Desa Sikapat
sendiri hanya tersedia satu bidan dan empat dukun bayi yang telah dilatih oleh tenaga medis.
Ditinjau dari jumlah rumahnya Tipe A hanya 96, tipe B hanya 8 rumah dan tipe C hanya 28
rumah, sebagian rumah masih sangat sederhana dengan kondisi kesehatan yang sangat
memprihatinkan. Sebagai gambaran bahwa prasarana air bersih berupa penampungan air hujan
yang sudah rusak, PAM tidak ada, sumur gali hanya ada 16 buah, sumur pompa tidak ada dan
hanya mengandalkan mata air dengan kemiringan tinggi.
Setiap keluarga pada umumnya tidak memiliki bak sampah, karena rumah pekarangan mereka
anggap sebagai bak sampah yang besar. Umumnya 4 kegiatan kesehatan berupa penimbangan
bayi, penyuluhan gizi melalui Posyandu dan belum dianggap kebutuhan oleh warga, karena
berbagai keterdesakan ekonomi. Padahal kasus perkawinan dini misalnya masih tergolong
tinggi. Pada tahun 2000 saja jumlahnya melebihi angka 15 pasangan muda. Demikian juga angka
perceraian juga termasuk tinggi. Untuk tingkat kecamatan, bahkan mencapai rekor tertinggi
untuk Kabupaten Banyumas dan ini salah satunya yang banyak di Desa Sikapat. Di balik ini
tentu saja terdapat berbagai permasalahan pelik yang "fenomenanya seperti gunung es" mulai
dari keterdesakan ekonomi, dekadensi moral, rendahnya tingkat pendidikan, kurangnya
penyuluhan dan masih banyak lagi. Bukti lain menunjukkan, bahwa jumlah keluarga Pra-
sejahtera sebanyak 538 orang dan sejahtera satu sebanyak 96 pasang serta selebihnya keluarga
sejahtera dua dan tiga. Mereka yang dikategorikan sejahtera III Plus sebesar dua pasang saja.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Kondisi Kesehatan Reproduksi Wanita
Sebelum masuk ke dalam analisis data secara lebih komprehensif, maka perlu dikemukakan di
sini mengenai profil responden penelitian. Jumlah responden yang diwawancarai sebanyak 20
orang dan jumlah ini dianggap mewakili keseluruhan gambaran keterkaitan wanita yang telah
menikah dan masih potensial mengalami fase reproduksi dengan masalah profesio-nalisme
sistem pelayanan Kesehatan lbu dan Anak (KIA) di Desa Sikapat.
Tabel 2. Karakteristik Responden PUS Desa Sikapat Tahun 2001
Uraian Karakteristik Jumlah Persentase
(Orang) (%)
Umur (Tahun) 11 55
13 - 20 7 35
21 - 30 2 10
31 -40
Pendidikan 5 25
Buta huruf atau tidak 14 70
pernah bersekolah 1 5
SD/sederajat
SLTP sederajat
Pekerjaan 4 20
Ibu rumah tangga saja 15 75
Petani 1 5
Pedagang
Jumlah anak 5 25
I-2 12 80
3 -4 3 20
>4
Sumber Data primer Tahun 2001
Berdasarkan uraian data pada Tabel 2 maka diketahui bahwa sebagian besar responden atau
sekitar 55 persen berusia sangat muda (13-20 tahun) untuk berumah tangga. Sedangkan 35
persen termasuk berusia muda atau 21-30 tahun dan 10 persen yang telah mempunyai usia yang
matang untuk berkeluarga (30-40 tahun). Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa di Desa
Sikapat terdapat kecenderungan wanita menikah di usia dini.
Dari tingkat pendidikan yang dipunyai maka tergambar sebagian besar dari responden (70
persen) telah menduduki jenjang pendidikan dasar. Hanya terdapat 5 persen yang telah
memasuki jenjang SLTP dan hal itupun tidak sempat diluluskan karena dikendalai oleh faktor
keterbatasaan biaya dan langsung dilamar untuk menikah pada usia 16 tahun. Selain itu, ada
kira-kira 25 persen responden yang sama sekali belum pernah mengenyam pendidikan atau
termasuk kategori yang masih buta huruf. Rendahnya faktor pendidikan yang dipunyai
responden memberi gambaran bahwa daya intelektual wanita usia reproduksi di Desa Sikapat
relatif rendah dan fakta ini mempunyai pengaruh terhadap ketidaktahuan mereka akan informasi
yang berkaitan dengan masalah kesehatan reproduksi. Termasuk perlunya memanfaatkan
fasilitas medis yang ada dalam pemeriksaan fase kehamilan, persalinan dan pasca persalinan
yang dialami.
Meskipun sebagian besar dari responden hanya berpendidikan dasar namun pada prinsipnya jika
ditinjau dari kemauan mereka mencari nafkah maka akan terbukti bahwa mayoritas dari
responden mempunyai peran ganda yakni di samping mengerjakan tugas-tugas domestik juga
mencari nafkah khususnya di bidang pertanian. Menurut responden peran ganda yang dilakukan
terutama berhubungan dengan upaya menambah tingkat pendapatan rumah tangganya sehari-
hari. Kecuali mengerjakan kegiatan-kegiatan bertani seperti menanam sayur, padi, buah-buahan
maka ada juga responden yang berprofesi sebagai pedagang (5 persen). Hasil wawancara
memberi informasi bahwa di antara responden terdapat wanita yang hanya bekerja mengurusi
pekerjaan domestik setiap hari mulai dari bangun pagi memasak untuk menyiapkan makanan
keluarga, mencuci pakaian, membersihkan rumah dan pekarangan, menyuapi anak sampai
malam tiba. Jumlah responden yang tidak melakukan aktivitas ekonomis dalam penelitian sekitar
20 persen. Umumnya mereka terdiri dari wanita yang masih berusia sangat muda atau 13-20
tahun dan menurut penuturannya peker-jaan mencari nafkah cukup diserahkan kepada suami
atau orang tua saja.
Semua responden masih mempunyai suami dan hampir 80 persen mengaku memiliki 34 orang
anak. Sekitar 25 persen pernah melahirkan 1-2 orang anak dan sisanya atau 20 persen
melahirkan dan mengasuh lebih dari 4 orang anak. Dikaitkan dengan profil usia maka umumnya
semakin tua usia seorang wanita di lokasi penelitian akan semakin banyak anaknya atau wanita
yang bertanggung jawab terhadap > 4 orang anak umumnya adalah wanita yang berusia sekitar
30-40 tahun. Sementara, yang masih sangat muda (13-20 tahun) rata-rata mempunyai sekitar 3-4
orang anak.
Sebubungan dengan pemilikan profil yang dijelaskan maka berdasarkan hasil wawancara
terhadap 20 responden dan informan kunci yang terdiri dari warga desa yang aktif di bidang
kesehatan sebagai kader kesehatan desa dan juga wawancara mendalam dengan tenaga medis
dan dokter di Puskesmas tingkat Kecamatan Sumbang, maka dapat diterangkan di sini, bahwa
kondisi kesehatan reproduksi di kawasan penelitian masih belum meng-gembirakan untuk tidak
dikatakan buruk sama sekali. Kondisi tersebut menurut hasil pengamatan erat hubungannya
dengan kondisi Desa Sikapat yang sebenarnya dalam berbagai aspek kehidupan berada di bawah
rata-rata desa lainnya, baik secara sosial, ekonomi maupun geografi (letaknya paling jauh dari
perkotaan). Wanita yang mengalarni masa-masa reproduksi cenderung enggan memeriksakan
diri dan bayinya ke Puskes-mas Kecamatan Sumbang, rumah sakit ataupun klinik-klinik bersalin
yang terdapat di Kota Purwokerto. Peristiwa tentang kondisi reproduksi wanita yang sedang
mengalami fase reproduksi termasuk kejadian yang sampai mengakibatkan kematian ibu
melahirkan atau bayi yang dilahirkan jarang dilaporkan ke Puskesmas Sumbang, sehingga data
sebenarnya sering tidak direkam. Berbagai kasus menunjukkan, bahwa untuk desa yang lebih
baik didalam lingkup Kecamatan Sumbang kasus-kasus BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)
misalnya ada tiga untuk kejadian tahun 2000, yaitu bulan Pebruari dan bulan Juli. Hal ini juga
terjadi di sebagian besar kawasan miskin di Desa Sikapat.
Kondisi reproduksi wanita yang rendah di Desa Sikapat selain dipengaruhi oleh keengganan
memeriksakan kesehatan ke Puskesmas atau bidan dan petugas medis lain berhubungan dengan
masalah rendahnya pengetahuan mereka tentang perlunya mutu gizi yang ideal bagi ibu hamil
dan saat dan sesudah melahirkan anak. Menurut responden kondisi kesehatan ibu yang kurang
nafsu makan dan kurang gizi serta kurang vitamin, protein dan mineral yang dibutuhkan tubuh
seperti akibatnya kurang Yodium, yang sering juga diderita warga Sikapat pada umumnya
tampak senantiasa belum disadari wanita yang sedang melewati fase reproduksi begitu juga
anggota keluarga lain.
Kasus lain yang menunjukkan buruknya kondisi reproduksi wanita di lokasi penelitian teramati
dari beberapa peristiwa yang telah terjadi selama Tahun 2000 sampai 2001 sebagai berikut yakni
Post Partum Epilepsi karena ibunya penderita epilepsi (1 orang), kemudian Attesia Ani, yakni
gejala yang menunjukkan, bahwa anak tidak memiliki anus (2), distosia baku sejumlah 2 orang
(anaknya bahunya macet) dan juga IUFD (Intra Uterus Fensah Death) biasanya diartikan sebagai
"meninggal di dalam kandungan" dengan jumlah terbanyak yaitu 4 orang. Kasus lain juga terjadi
yaitu Anencephal sebanyak satu orang (tidak ada tulang tengkorak) dan Aspesia yang berkaitan
dengan terganggunya fungsi pernafasan bayi (4 orang), tetanus (satu orang) dan juga diare (4
orang). Data tersebut adalah hasil telusuran pada peristiwa kegagalan reproduksi yang dialami
baik oleh responden maupun wanita lain yang non responden di desa Sikapat dan cara
penjenisan penyakit penyebab kegagalan menghadapi masa reproduksi ditentukan bersama atas
bantuan bidan-bidan Puskesmas Kecamatan Sumbang setelah mendengarkan informasi ciri
penyebab yang ditemukan pada penderita.
2. Respon, Akses dan Harapan-Harapan Wanita terhadap Pelayanan KIA
Dalam mensikapi pelaksanaan kesehatan reproduksinya berkaitan dengan wanita responden
memiliki berbagai sikap. Paling tidak dapat dibagi menjadi tiga golongan, yakni wanita yang
responsif, baik secara preventif dan kuratif kalau ada penyakit maupun tidak senantiasa menjaga
diri dan gesit dalam melaksanakan berbagai program yang ada, seperti misalnya berhubungan
dengan Posyandu, bidan terdekat, dokter, petugas media di Puskesmas maupun dari sumber--
sumber yang lain termasuk aktif dalam keikut-sertaannya dalam Gerakan Sayang lbu. Kalau ada
kejadian senantiasa direspon sehingga mendapat rujukan ke Puskesmas dan Rumah sakit
terdekat (RS Prof. Dr. Margono Sukaryo) di Purwokerto. Golongan kedua yaitu golongan yang
tidak terlalu aktif namun masih mengikuti petunjuk medis dan yang ketiga adalah yang tidak
aktif dan juga tidak tahu persis bagaimana harus merawat kesehatan reproduksinya. Kebanyakan
perempuan desa Sikapat sesuai yang diterangkan responden dan juga desa-desa lain di
Kecamatan Sumbang masuk golongan kedua dan ketiga.
Pada prinsipnya warga Kecamatan Sumbang termasuk desa Sikapat telah bersedia mendukung
kesuksesan Gerakan Sayang Ibu yakni dengan memberikan fasilitas mobil pribadi dari salah
seorang warga untuk dijadikan ambulans bilamana diperlukan sewaktu-waktu. Meskipun demi-
kian, ternyata keberadaan mobil tersebut belum aktif di masing-masing desa termasuk Sikapat
karena wanita yang khususnya sedang menghadapi masa melahirkan belum sepenuhnya dapat
memanfaatkannya. Untuk membantu memperlancar penanganan kasus-kasus darurat juga belum
digunakan secara baik karena kurang meratanya sosialisasi kesehatan reproduksi. Gerakan
Sayang Ibu yang telah berjalan selama dua tahun di Desa Sikapat.
Jika dikaitkan dengan sistem pelayanan Kesehatan lbu dan Anak (KIA) yang langsung
mengunjungi pasien ke lokasi terasa kurang memadai sebab jumlah tenaga medis terutama bidan
yang bertugas di Kecamatan Sumbang secara keseluruhan terbatas kemampuannya dengan
jumlah yang relative sedikit yaitu tiga tenaga medis dan bidan desa masih belum banyak berarti
dengan jumlah penduduk yang cukup besar dan luasan geografis yang cukup jauh.
Masalah yang cukup menghantui wanita di lokasi penelitian dalam masa-masa reproduksinya
bukan hanya karena disebabkan keengganan berkunjung ke bidan tetapi yang lebih menentukan
menurut mereka adalah sulitnya trans-portasi, khususnya kalau harus melahirkan pada malam
hari. Tiadanya saluran telepon, jauhnya komunikasi dengan tetangga dekat yang memiliki alat
transportasi khususnya mobil menjadi kendala tersendiri, sehingga pertolongan pertama, bagi
misalnya penderita tetanus dan kasus-kasus lain, termasuk fasititas bedah Caesar kadang
terlambat diantisipasi.
Fakta tersebut juga menjadi harapan yang nyata bagi ibu-ibu dalam menjaga kesehatan
reproduksinya. Kesulitan akses lain yaitu mengenai tingginya biaya yang juga dikeluhkan oleh
beberapa ibu, sehingga gejala "minderweigh complex" dan kecemasan dalam menghadapi masa-
masa kehamilan menjadi terkendala, selain juga umur.
Khusus untuk masyarakat Kecamatan Sumbang termasuk juga Sikapat kese-rasian hubungan
dengan suami termasuk dalam rangkaian kendala psikologis. Tingginya angka perceraian
menunjukkan gejala "gunung es" yang menyulitkan pengembangan kesehatan reproduksi wanita,
khsususnya ditinjau dari aspek psikologis.
3. Kontribusi Pelayanan KIA bagi Pende-rita Gangguan Kesehatan Reproduksi pada Masa
Kehamilan dan Persalinan.
Melalui penyediaan tenaga medis sebanyak tiga orang plus masing-masing satu bidan desa di
delapan desa Kecamatan Sumbang memang masyara-kat sebagian kecil sudah mengetahui itu,
yakni mendinamisir peran Posyandu melalui Gerakan Sayang lbu, mereka mempromosikan
kesehatan reproduksi yang sehat dan aman. Peran mereka dalam hal ini selain memberikan
keterangan-keterangan juga memberikan rujukan ke Rumah Sakit terdekat. Hanya saja di dalam
penjelasan-penjelasan itu tidak semata-mata kesehatan reproduksi saja, tetapi menyangkut
kesehatan secara umum, misalnya : diare, gizi, KB, imunisasi, penimbangan Berat Badan (BB)
dan sebagainya. Adanya satu unit mobil milik Puskesmas digunakan untuk senantiasa berkeliling
desa, mereka juga mengawasi dan memberikan dukungan fisik dan moril dalam perawatan ibu
hamil. Sekali lagi kelemahannya karena jumlah warga yang harus dilayani, sangat sulit untuk
menyentuh hampir semua warga yang mengalami kasus hamil dan bersalin. Berdasarkan hasil
pengamatan di lokasi penelitian diketahui, juga kontribusi pelayanan bagi wanita penderita
gangguan kesehatan reproduksi pada masa kehamilan dan persalinan masih berada dalam taraf
kurang memuaskan.
Dari kesemua responden mengakui bahwa selama ini pelayanan KIA di Desa Kramat kurang
mendukung bagi pe-nanganan sesegera mungkin wanita yang tengah menderita gangguan
kesehatan reproduksi. Disebutkan oleh sebagian besar responden (70 persen) bahwa pelayanan
yang agak memadai akan diperoleh jika mereka langsung berkunjung ke Puskesmas pada jam--
jam praktek pagi hari setiap hari kerja. Sedangkan 30 persen responden lain tidak memberikan
komentar yang berarti tentang pelayanan KIA kepada wanita yang menghadapi gangguan
kesehatan reproduksi.
Pada responden yang berusia antara 20-40 tahun sebagian kecil (40 persen) pernah mendapatkan
pelayanan KIA tetapi tidak intensif Pelayanan yang diterima terbatas selagi berobat ke
Puskesmas Sumbang memeriksakan kandungan (masih satu bulan) tanpa disengaja dimana
awalnya berobat dilakukan hanya karena perut mulas, muntah-muntah dan tidak enak badan
tanpa awalnya mengetahui gejala tersebut sebagai tanda-tanda kehamilan.
Adapun responden lain sekitar 60 persen merasa hampir tidak pernah mendapat pelayanan pada
saat terjadi gangguan di masa kehamilannya. Mereka lebih suka berobat ke dukun beranak (pijat)
karena lebih mudah dipanggil dan dapat dibayar dengan biaya murah.
Pelayanan KIA terhadap wanita yang mengalami gangguan saat persalinan retatif terbatas pada
pasien yang berkunjung langsung ke Puskesmas setiap hari kerja atau ke rumah bidan di ibukota
kecamatan. Akan tetapi, dijelaskan sebagian besar responden menurut pendapat mereka
pelayanan yang diberikan seringkali terlambat membantu wanita yang kesulitan melahirkan
karena harus melayani pasien yang antri lebih dahulu. Pelayanan hanya diberikan dalam waktu
yang terbatas yakni pagi hari dan malam hari pelayanan terhadap wanita yang mengalami
gangguan persalinan hampir tidak ada. Seringkali fakta yang demikian menyebabkan kematian
ibu atau bayi yang baru lahir.
4. Tindakan-tindakan yang Dilakukan oleh Pelayanan KIA jika Pasien tak Tertolong oleh
Petugas Setempat.
Kiranya dapat dengan mudah dipahami, bahwasanya petugas media atau bidan yang berdinas di
Desa Sikapat baik bidan maupun dukun bayi sebenarnya bagi masyarakat merupakan sosok
manusia yang dianggap trampil di bidang pelayanan kesehatan reproduksi, khususnya di dalam
memberikan nasehat dan perawatan antenatal dan post natal yakni dengan membantu melahirkan
bayi yang ada dalam kandungan dan perawatan ibu dan anaknya setelah bersalin. Akan tetapi,
jika dikaitkan dengan kenyataan yang tengah berlangsung maka dapat dinyatakan sebenarnya
bidan dan petugas kesehatan lain belum dapat dikategorikan ahli dalam menjalankan perannya
sebagai seorang anggota organisasi KIA yang bersifat formal dan bertujuan sosial. Sasaran yang
dihadapi mengemukakan pendapat serupa tentang hal kekurangmampuan petugas KIA melayani
wanita di masa-masa reproduksi di Desa Sikapat. Fakta tersebut diindikasikan salah satunya dari
ketidaksediaan petugas KIA menetap tinggal didesa setempat dan jarang berkunjung ke dusun-
dusun dalam rangka penyelenggaraan kegiatan Posyandu.
Terlebih dari itu kesulitan perleng-kapan persalinan dan sarana untuk analisis laboratorium yang
tersedia di Puskesmas Sumbang tentulah sangat terbatas untuk melayani para wanita yang
mengalami gangguan kesehatan reproduksi terutama pada masa kehamilan dan melahirkan. Oleh
karenanya menurut keterangan para petugas KIA sedikit banyak ada kasus-kasus yang tidak
dapat dilayani oleh petugas kesehatan setempat jika membutuhkan tenaga yang lebih ahli
(spesialis kandungan dan kebidanan) atau perlengkapan medis lainnya. Biasanya tindakan yang
mereka berikan adalah dengan membuat rujukan untuk dapat dirawat lebih ke RS Prof. Margono
Sukaryo di Purwokerto atau ke Rumah Sakit lainnya, seperti RSUP Dr. Sardjito di Yogyakarta
atau RSU Kariadi dan RSU Elisabet di Semarang berdasarkan kebu-tuhan dan kemampuan
ekonomi pasiennya
5. Strategi Pengembangan Profesionalis-me Sistem Pelayanan KIA
Konsep strategi menunjuk pada upaya menekan kelemahan, meningkatkan potensi sistem
pelayanan KIA serta memanfaakan peluang untuk menjawab berbagai jenis tantangan atau
kendala. Merujuk pada teknik evaluasi terhadap organisasi yang bersifat dinamis sebagaimana
hendaknya sebuah organi-sasi kepelayanan kesehatan ini, maka evaluasi yang dilakukan
terhadap profesionalisme KIA di Desa Sikapat dalam melayani wanita yang sedang berada pada
fase hamil dan melahirkan mestinya tidak semata-mata merujuk pada organisasi yang bersifat
hierarkhis, kendatipun dalam sistem admnistrasi Departemen Kesehatan kenyataan hierarkhis itu
juga muncul. Hal ini disebabkan makin banyaknya individu yang terlibat sebagai kader yang
berada dalam posisi informal akan menampilkan berbagai variasi tugas yang lebih besar yang
tidak diprogramkan dan juga tidak diulang kembali secara teratur. Hal ini senada dengan apa
yang dikemukakan oleh Tossi dan Carroll (1976: 405):
"Performance evaluation in the dynamic organization is also different from that in the
hierardiical organization because more individuals perform agreater variety of tasks that are non
programmed and non repetitive"
Besarnya proporsi dan jumlah pimpinan yang lebih banyak dalam organisasi dinamis
sebagaimana terjadi dalam sistem organisasi kepelayanan kesehatan reproduksi ini dibanding
organisasi perusahaan yang biasanya bersifat hierarkhis, mengakibatkan kompen-sasi yang lebih
rendah pada organisasi dinamis ini. Kekurangan definisi dari karakteristik tugas dari organisasi
ini juga menyulitkan rencana pemberian insentif individual yang diperlukan dalam upaya
mengukur output dengan tepat. Bertolak dari temuan di lapang, bahwa pengukuran evaluasi
lebih dapat diterapkan dalam skala kelompok dan (masing-masing kelompok itu sendiri yang
memberikan penghargaan kepada individu yang produktif dan kreatif, misalnya terhadap kader-
kader pelayanan kesehatan reproduksi. Akan mendorong kinerja organisasi kepelayanan dalam
tingkat yang lebih baik dan ini belum banyak dilakukan, sehingga kader benar-benar merasa
memiliki dan bersemangat dalam tugasnya. Kompensasi lebih diarahkan ke dasar pengalaman
masing-masing individu dalam membina pasangan usia subur agar lebih menyadari posisi
kesehatan reproduksinya, khususnya dalam perawatan antenatal, kelahiran dan perawatan
bayinya. Kendatipun demikian kader ditingkat "grass roots" bagaimanapun harus berupaya
mempunyai kontrol terhadap dirinya sendiri untuk tercapainya pencapaian tujuan tersebut.
Dalam hal ini Tossi dan Carroll (1976 : 461) menyebutkan tiga kriteria yang cocok untuk
evaluasi organisasi berciri dinamis:
(1) kriteria subyektif,
(2) memfokuskan diri pada aktivitas dari pada hasil (lebih mementingkan proses dari hasil),
(3) rentang waktu yang lama antara performance dan hasil.
Pendekatan yang dilakukan para medis dengan wanita hamil dan melahirkan cenderung
berorientasi pada kekuatan yang seolah-olah masih memaksa mereka datang sendiri berobat ke
Puskesmas ataupun ke kediaman bidan yang bersedia diganggu pada malam hari. Hampir belum
ada pendekatan yang bersifat persuasif dalam upaya meningkatkan motivasi wanita untuk lebih
rajin memeriksakan kandungannya atau bersedia melahirkan dengan bantuan medis dalam
menjaga terjadinya kematian ibu yang baru melahirkan atau bayinya akibat berbagai gangguan
kesehatan reproduksi.
Menyadari keadaan yang masih belum menunjukkan keprofesionalismean pela-yanan KIA
sebagai suatu organisasi yang bergerak dalam kegiatan sosial maka kemudian dapat diungkapkan
bahwa kendatipun sebagai organisasi pemerintah yang memiliki kekuatan represif dan hirarkhis
seyogyanya jajaran pelayanan kesehatan reproduksi pada level kecamatan ke bawah (KIA) lebih
memformasikan dirinya sebagai organisasi yang dapat digolongkan dalam organisasi normatif
(normatif organizations), yaitu organisasi yang mana kekuatan atau kekuasaan normatif
(normative powers) menjadi sumber utama dari kontrol terhadap anggota-anggotanya.
Interaksi yang dijalin dengan pihak rumah sakit tempat merujuk pasien yang mengalami
gangguan kesehatan repro-duksi termasuk kurang baik ditinjau frekuensi pertemuan atau tatap
muka antara petugas KIA dengan para medis dirumah sakit yang menjadi tempat rujukan.
Biasanya dijelaskan oleh responden yang pernah mendapat rujukan dari bidan untuk melahirkan
di rumah sakit bahwa yang diberikan hanya berupa surat pengantar tanpa bidan ikut mengantar
untuk menerangkan secara spesifik jenis gangguan reproduksi yang dialami pasien. Hal ini
terjadi karena petugas KIA disibukkan oleh jam kerja yang juga harus melayani pasien lain
dengan jenis penyakit yang bermacam-macam. Adapun interaksi dengan dukun beranak yang
membuka praktek di Desa Sikapat sampai sekarang masih tergolong rendah. Hubungan
komunikasi berupa pertemuan antara kedua pihak yang sering disebut sebagai penolong ibu
melahirkan jarang terjadi. Dukun beranak yang pernah dilatih oleh bidan kecamatan berjumlah
dua orang dan hanya berlangsung dalam sekali pertemuan yang telah lama sekitar delapan tahun
yang laki. Keahlian dalam memeriksa dan mengobati gangguan kesehatan reproduksi secara
prosedur diagnosa medis seperti tes urin, tes tekanan dan kandungan darah hampir tidak dimiliki
para dukun beranak. Umumnya bantuan yang diberikan berdasarkan pengalaman saja atau yang
diwariskan orangtua, sehingga bila menghadapi wanita yang sulit atau terganggu melahirkan
tindakan dukun beranak terkadang kurang sesuai dengan kaidah kesehatan yang semestinya.
Oleh sebab itu, sering terjadi pendarahan dan kejang-kejang pada ibu melahirkan dan berakibat
fatal yakni kematian ibu dan bayi yang baru lahir. Perawatan terhadap wanita hamil hanya
berupa pemijitan dan pemberian jamu-jamuan atau jenis obat-obatan tradisional lainnya.
Dihubungkan kembali dengan orientasi terhadap organisasi yang dicirikan dengan besarnya
komitmen terhadap organisasi maka teramati bahwa selama ini pemilihan staff jajaran
Puskesmas yang berada di tingkat kecamatan khususnya yang berhak menangani dan yang wajib
memberikan pelayanan kesehatan reproduksi senan-tiasa dituntut memiliki komitmen yang besar
untuk senantiasa dekat dan menyatu dengan kekuatan masyarakat khususnya pada Pasangan
Usia Subur, lebih khusus lagi kaum perempuannya.
Kepatuhan dalam organisasi normatif, sebagaimana terjadi dalam banyak organisasi
kemasyarakatan menurut Etzioni (1961) ditentukan oleh intemalisasi dari pengarahan yang
mempunyai kekuatan legitimasi. Kekuatan legitimasi tersebut muncul dalam bentuk
kepemimpinan dalam hal ini yang dipimpin adalah pelayanan KIA, ritual keagamaan (upacara--
upacara), manipulasi dari simbol-simbol sosial dan prestise serta resosialisasi. Kesemuanya ini
sangat penting sebagai alat kontrol terhadap anggota (wanita muda termasuk pasangan usia
subur) dan sekaligus juga pimpinan organisasi (bidan dan petugas medis lainnya).
Dengan demikian, strategi pening-katan profesionalisme pelayanan KIA untuk tingkat desa perlu
dipusatkan pada bagian-bagian yang masih kurang memadai seperti berkisar pada upayaupaya;
pengurangan nikah usia dini, terlebih perkawinan karena kecelakaan (hamil) lebih dulu atau
dikenal sebagai "marriage by accidance", per-baikan sarana transfor-masi, penyuluhan
kesehatan reproduksi secara meluas dan mendalam melalui pemanfaatan komuni-kasi dan
kelembagaan lokal, sosialisasi, koordinasi serta dengan bekal komitmen yang kuat dari masing-
masing kader.
Alternatif yang memadai untuk pengembangan kesehatan reproduksi, baik pada fase hamil dan
melahirkan kiranya harus lebih mensinergikan ke berbagai kelompok masyarakat, khususnya
pada keluarga pasangan usia subur dan unsur-unsur lain yang terkait, termasuk di dalamnya pada
pemimpin informal yang biasanya memberikan manfaat penting bagi menyebarnya publik opini
dan diteruskan ke kelompok sasaran yang diinginkan.
Mendudukkan permasalahan sosial pada posisi yang sebenarnya merupakan kata kunci agar
peristiwa hamil dan melahirkan tidak dianggap semata-mata suatu proses alami yang tanpa
masalah. Sebagaimana proses manusia lahir, berkembang dan kemudian mati. Meredifinisikan
konsep kehamilan dan kelahiran sebagai suatu proses yang problematik, karena akan melahirkan
anak manusia dan awal dari pengembangan SDM yang berkualitas dan perempuan sebagai ibu
yang juga dituntut kualitasnya. Tentu saja ini membutuhkan banyak prasarat yang tentu tidak
dipunyai oleh banyak orang. Terlebih dengan kondisi Desa Sikapat pada umumnya dan
Kecamatan Sumbang pada umumnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Kondisi kesehatan reproduksi wanita di Desa Sikapat dan juga Kecamatan Sumbang rendah.
Hal ini diindikasikan dengan tingginya angka kematian ibu melahirkan dan anak yang baru
dilahirkan.
2. Respon wanita terhadap pelayanan KIA termasuk kategori rendah karena pada umumnya
mereka belum aktif dan belum tahu persis tentang bagaimana harus merawat kesehatan
reproduksinya, melalui keberadaan KIA. Akses mereka juga terbatas terhadap pelayanan
kesehatan reproduksi.
3. Harapan-harapan yang diungkapkan oleh Pasangan Usia Subur terhadap pelayanan KIA
adalah dipermudahnya jangkauan pelayanan sehingga lebih mudah mereka tertolong. Selain itu
juga menambah petugas medis yang bersedia meluangkan waktunya di desa.
4. Kontribusi pelayanan KIA bagi gangguan reproduksi pada fase kehamilan dan persalinan
relatif masih kurang mengun-tungkan yang diketahui, bahwa sebagian besar responden
mengungkapkan adanya kenyataan pelayanan KIA kurang mendukung bagi penanganan secepat
mungkin wanita yang tengah menderita gangguan kesehatan reproduksi.
5. Tindakan-tindakan yang dilakukan pela-yanan KIA jika pasien tak tertolong dengan fasilitas
medik lokal terbatas hanya memberi rujukan ke rumah sakit di kota yang dianggap memiliki
pelayanan medis yang lebih komplit dan memadai.
6. Dalam upaya meningkatkan profesiona-lisme pelayanan KIA, maka diperlukan juga
pembinaan hubungan dengan rumah sakit tempat rujukan pasien yang di lokasi asal tidak ada
harapan untuk tertolong.
7. Strategi pendekatan sistem pelayanan KIA pada tingkat "desa dan kecamatan, sebenarnya
tidak hanya terpusat pada organisasi kesehatan formal Model Departemen Kesehatan, namun
dapat dilakukan perbaikan sistem pelayanan dengan meminjam konsep managemen organisasi
yang bernuansa sosial dan mementingkan pendekatan kemasyarakat, sehingga organisasi
kesehatan yang ada menjadi lebih mobil dan dinamis. Pola-pola organisasi kesehatan yang
memiliki gejala represif hirarkhis hendaknya diganti dengan pendekatan yang lebih diagonal,
bahkan horisontal yang berorientasi pada kebutuhan sasaran.
8. Pengembangan profesionalisme pela-yanan KIA yang potensial menumbuhkan motivasi di
kalangan masyarakat sekitar lokasi penelitian agar lebih peduli mem-perhatikan masa penting
dari kehamilan dan persalinan yang terjamin aman dan sehat adalah dengan mengarahkan upaya
yang mampu meningkatkan optimalisasi pelayanan KIA bermutu.
B. Saran
1. Pengembangan kesehatan reproduksi baik pada fase hamil dan melahirkan kiranya hendaknya
lebih mensinergikan ke berbagai kelompok masyarakat, khususnya pada keluarga pasutri dalam
kelompok Pasangan Usia Subur (PUS) dan unsur-unsur lain yang terkait, termasuk di dalamnya
pada pemimpin informal yang biasanya memberikan manfaat penting bagi menyebarnya publik
opini yang berisi pesan-pesan kesehatan reproduksi dan diteruskan ke kelompok sasaran yang
diinginkan.
2. Merubah dan metransformasikan felt needs menjadi the positive actual real needs dengan
mendudukkan permasalahan sosial pada posisi yang sebenarnya. Dengan begitu maka peristiwa
hamil dan melahirkan tidak dianggap semata-mata suatu proses alami yang tanpa masalah.
Sebagaimana proses manusia lahir, berkembang dan kemudian mati. Meredifinisikan konsep
kehamilan dan kelahiran sebagai suatu proses yang problematik, karena akan melahirkan anak
manusia dan awal dari pengembangan SDM yang berkualitas dan perempuan sebagai ibu yang
juga dituntut kualitasnya dan memasukkannya dengan pendekatan organisasi yang dinamis.

Anda mungkin juga menyukai