Anda di halaman 1dari 6

Datu beru

QURRATA‘AINI, asal dataran tinggi Gayo, adalah


seorang tokoh wanita Aceh yang sejak kecil sudah
melekat ciri-ciri kepemimpinan dan membela kebenaran.
Beliau cerdas, menguasai ilmu agama, politik, falsafah
dan hukum. Oleh sebab itu, Raja Linge mengutus
Qurrata‘aini sebagai wakil resmi dari Kerajaan Linge
dalam Parlemen Aceh di Kutaraja. Prestasi
gemilangnya, sempat menggemparkan dunia pradilan
Aceh pada ketika itu, hanya saja tidak diketahui secara
meluas, karena kurangnya minat para pakar sejarah
(khususnya dari Gayo) untuk meneliti dan menulis demi
memperkaya khazanah sejarah Aceh.
Jadi, wajar, jika hanya ketokohan Tjut Malayati, Tjut
Muthia, Tjut Njak Dien, Tjut Meuligoë, Tjut Meurah
Gambang dan Tjut Meurah Intan, yang mencuat dan
mendominasi referensi sejarah wanita Aceh. Terlebih
dari itu, ketokohan wanita Aceh dalam perang melawan
penjajah -keperkasaannya- diidentikkan dengan kaum
lelaki, tidak dalam arti lain. Padahal, Tajul Alam
Syaifiatuddin, Nurul Alam Nakiyatuddin dan Inayatsyah
Zakiyatuddin adalah diantara wanita yang tidak kurang
harumnya dalam lembaran sejarah Aceh, tetapi deretan
nama wanita yang disebut terakhir ini kurang populer
berbanding ketokohan militer wanita Aceh. Apakah ini
suatu indikasi bahwa wanita Aceh hanya suka dengan
perang?
Qurrata‘aini punya warna lain, berkiprah dalam dunia
politik, hukum dan telah menempatkan dirinya sebagai
satu-satunya wanita Aceh yang disegani dan layak
menduduki kursi Parlemen pusat pada masa
pemerintahan Sultan Ali Mughayatsyah. Bertandang,
meski seorang! Pandangan beliau tentang aplikasi
hukum yang mengetengahkan ijtihad -penafsiran
intensive- telah menjadi yurisprudensi menarik dalam
dunia Pradilan Aceh, karena memadukan atau
memasukkan unsur hukum Adat Gayo ke dalam hukum
Islam yang diterima oleh Mahkamah Qadhi Maliku ’Adil,
tanpa mengenyampingkan makna hukum Islam.
Ceritanya begini: ’Sebelum Johansyah (Raja Linge ke-
12) dilantik oleh Sultan Aceh menjadi Panglima perang
melawan Portugis di Selat Melaka dan Tanah
Semenanjung Malaysia, sudah mempunyai seorang
anak lelaki [yang kemudian memangku [Raja Linge ke-
13] Dalam missi tersebut; selain berhasil meredam
kekuatan Portugis, Johansyah mempersunting putri
Sultan Johor dan dikaruniai dua anak lelaki bernama:
Bener Merie dan Sengeda. [Johansyah mempunyai tiga
isteri, yaitu: Ibu Raja Linge ke-13 (isteri pertama); Nio
Niang Lingké -Putroê Nèng- (isteri kedua), tidak ada
zuriat; Putri Sultan Johor, (isteri ketiga) Ketika bertugas
di kepulauan Riau, tiba-tiba Johansyah jatuh sakit dan
meninggal dunia. Makam Johansyah, hingga sekarang
masih tegak dan dipelihara dengan baik di Pulau
Lingga, Riau.
Suatu ketika, ketika Bener Merie dan Sengeda sudah
dewasa, mereka meminta restu Ibunya, supaya
dibolehkan ikut rombongan Raja Linge, seusai
menghadiri Sidang tahunan Raja-raja seluruh Aceh di
Kutaraja. Untuk melicinkan jalan, mereka bisikan
kepada Syirajuddin (Perdana Menteri Linge,
berkedudukan di Serule). Pendek cerita, sampai di
Istana Kerajaan Linge, suasana mulai heboh dan bisik-
bisik; siapa gerangan dua remaja yang ikut dalam
rombongan? Tanpa disiasat lebih dahulu, Raja Linge ke-
13 terus menyiapkan algojo untuk ’menghabisi‘ Bener
Merie dan Sengeda dengan tuduhan sebagai mata-
mata, padahal keduanya ialah saudara satu Ayah, lain
Ibu dengan Raja Linge ke-13.
Untuk itu, Raja Linge ke-13, menyusun dua regu. Regu
pertama, bertugas untuk membunuh Bener Merie, yang
komandannya ialah Raja Linge ke-13 sendiri. Regu
kedua, bertugas untuk membunuh Sengeda, yang
komandannya ialah Syirajuddin. Setelah dua hari dalam
perjalanan, regu pertama tiba di Samar Kilang. Di sinilah
Bener Merie baru sadar dan tahu bahwa dirinya akan
dibunuh. Sebelum jiwanya melayang, dia menangis
tersedu-sedu, menderu dan meratap hingga mengoyak
angkasa biru dan keheningan alam semesta agar Allah
Maha kuasa tahu, bahwa nyawanya tinggal menghitung
detik waktu, karena tidak menyangka peristiwa ini akan
berlaku. Tempat Bener Merie menangis dan menderu ini
dinamai: “Wihni Bernguk” (“Sungai isak-tangis”). Bener
Merie dibunuh di hulu “Uning”, suatu kawasan terpencil
di Samarkilang.
Akan halnya dengan Sengeda, berhasil diselamatkan
oleh Syirajuddin, yang dikenal ’alim dan berbudi baik.
Untuk mengelabui Raja Linge ke-13, Syirajuddin
terpaksa mengeksekusi seekor kucing, diletakkan dalam
Kerenda dan dimakaman. Kuburan Kucing yang tak
bersalah (innosence) ini dinamai: “Tanom Kucing”
(“Tanam Kucing”) terletak di daerah Serule.
Pada persidangan tahunan Raja-raja seluruh Aceh
berikutnya, terungkap sepak terjang Raja Linge ke-13,
atas laporan Sengeda dan Syirajuddin (Perdana Menteri
Linge). Kasus ini menjadi salah satu agenda pokok
dalam persidangan Raja-raja seluruh Aceh waktu itu.
Sultan Aceh kemudian menyerahkan perkara tersebut
kepada Qadhi Malikul ’adil untuk mengadili.
Setelah mendengar keterangan saki-saksi dan bukti-
bukti yang ada, maka Qadhi Maliku ’adil menjatuhkan
hukuman mati (qishash) kepada Raja Linge ke-13,
karena telah terbukti dengan sah melakukan delik
pembunuhan berencana. Hal ini termaktub dalam Al-
Qur‘an, surat Al-Baqarah, ayat 178: “… Diwajibkan atas
kamu qishash berkenaan dengan orang yang dibunuh;
orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang
mendapat suatu pema‘afan dari saudaranya [Ahli waris],
hendaklah yang mema‘afkan mengikuti dengan cara
yang baik dan yang diberi ma‘af membayar diyat kepada
yang memberi ma‘af dengan cara yang baik pula. Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu
dan suatu rahmat…”
Sebagai pakar hukum Islam dan anggota Parlemen
wakil dari Kerajaan Linge, Qurrata‘aini merasa
keberatan dengan hukuman qishash yang dijatuhkan
kepada Raja Linge ke-13, walaupun sudah terbukti
melakukan pembunuhan. Kebenaran mesti ditegakkan,
walaupun langit akan runtuh! Dalam persidangan,
Qurrata‘aini menyampaikan pledoi menarik dan ilmiah,
yang mempersoalkan tentang kepastian hukuman
qishash yang dijatuhkan kepada Raja Linge ke-13.
Pledoi Qurrata‘aini bukan saja membentangkan dalil-
dalil Qur‘ani, tetapi juga legalitas hukum Adat Gayo,
demi melengkapi referensi Qadhi Malikul ’adil. “Ya
benar, Al-Qur‘an telah menentukan hukuman qishash
kepada sipembunuh. Ini wajib ditegakkan! Tetapi jangan
lupa bahwa, masih dalam ayat yang sama, tertera: “…
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema‘afan dari
saudaranya [Ahli waris], hendaklah yang mema‘afkan
mengikuti dengan cara yang baik dan yang diberi ma‘af
membayar diyat kepada yang memberi ma‘af dengan
cara yang baik pula…” Sehubungan dengan itu, putusan
Majlis hakim tidak boleh dilaksanakan, sebelum terlebih
dahulu memanggil dan mendengar keterangan Ahli
waris, yaitu: Sengeda dan Ibunya. Untuk itu, saya siap
menghadirkan mereka di depan Mahkamah yang
terhormat ini.” Demikian antara lain bunyi pledoi
Qurrata‘aini.
Sementara itu, di celah-celah proses persidangan yang
berlangsung alot, Qurrata‘aini melobby Sengeda dan
Ibunya yang dirundung malang. Kepada Sengeda,
Qurrata‘aini berkata: “Abangmu (Bener Merie) sudah
tiada dan tidak mungkin kembali lagi. Jika Raja Linge
ke-13 dieksekusi, berarti Anda kehilangan dua saudara.
Relakah Anda mema‘afkan? Inilah satu-satu jalan
menyelamatkan nyawa Raja Linge ke-13.
Dalam Islam, perintah qishash adalah hak Allah yang
wajib didahulukan, bukan sebaliknya. Artinya, hukuman
mati (qishash) tidak dilaksanakan, jika ahli waris
mema‘afkan. Segeda dengan ikhlas memberi ma‘af.
Setelah mendengar pledoi dan kesaksian Sengeda dan
Ibunya, maka Majlis Hakim menukar hukuman mati
(qishash) ke atas Raja Linge ke-13 dengan
memerintahkan membayar diyat kepada Ahli waris.
Qurrata‘aini mengusulkan: “selain membayar diyat, Raja
Linge ke-13 juga dikenakan sanksi adat, yakni: wilayah
kuasa hukumnya dipersempit, baju kebesaran dan
Bawar (Pedang) Kerajaan Linge ditanggalkan.” Usul
tersebut dikabulkan oleh Majlis Hakim. Akhirnya, Raja
Linge ke-13 yang dengki, irihati dan buruk sangka
(prejudice), pulang kampung dengan hina dan tercela.
Qurrata‘aini yang diceritakan panjang-lebar tadi ialah:
nama Datu Beru sewaktu kecil. Dalam bahasa Gayo:
“Geral turun mani.” Diriwayatkan, dalam perjalanan dari
Kuta Raja menuju Takengon, setibanya di Ulung Gajah,
tiba-tiba Datu Beru jatuh sakit. Para staffnya mengusung
dengan tandu. Akhirnya, beliau meninggal dan
dimakamkan di sebuah bukit di Kampung Tunyang,
Acheh Tengah. Datu Beru adalah benih unggul (“énéh
bereden”) yang sulit dicari penggantinya, walau pun
riwayatnya sudah lebih dari lima abad yang silam. Datu
Beru; … Datu kita!

Anda mungkin juga menyukai