Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT. Yang maha pengasih lagi maha penyayang, serta
memanjatkan puja dan puji syukur atas kehadiratNya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayahNya kepada kita semua. Sehingga dengan ini saya dapat menyelesaikan laporan
kunjungan ke meseum dan makam Ki Hadjar Dewanatara pada tanggal 06 Mei 2023 yang
menjadi tugas dari mata kuliah Ketamansiswaan.
Terlepas dari semua ini, saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan laporan ini, baik itu dari segi kata ataupun kalimat serta tata bahasanya. Akhir kata
saya mengucapkan terimakasih.

Yogyakarta, 08 Mei 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

1. Sejarah Ki Hadjar Dewantara ..................................................................................


2. Sejarah Meseum Ki Hadjar Dewantara (Kriti Griya) .............................................
3. Makam Ki Hadjar Dewantara ..................................................................................
4. Cita-Cita Ki Hadjar Untuk Pendidikan Indonesia ..................................................
5. Dokumnetasi Kegiatan ..............................................................................................
1. Sejarah Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara atau yang juga dikenal dengan bapak pendidikan, beliau
merupakan salah satu pahlawan nasional Indonesia yang lahir di Yogyakarta pada 2 Mei
1889. Ia juga berasal dari lingkungan keluarga keraton Yogyakarta, beliau lahir dengan
nama asli Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Sebagai keturunan bangsawan, beliau
berkesempatan menempuh pendidikan bersama anak-anak bangsa Eropa Hindia-
Belanda. Semasa kecil Ki Hadjar Dewantara bersekolah di sekolah dasar untuk orang-
orang Eropa yaitu Eurepeesche Lagere School (ELS). Kemudian ia melanjutkan
pendidikannya ke STOVIA, sekolah dokter bumi putera pada tahun 1905.

Karena kerap sakit, ia tidak menamatkan sekolah tingginya. Sejumlah sumber lain
mendapati pemerintah Belanda-lah yang memutus beasiswa pendidikannya pada 1910.
Kendati demikian, ia gemar mencari ilmu di berbagai tempat, seperti dikutip dari
Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap oleh Mirnawati.
Ki Hajar Dewantara belajar beragam hal baru dari menggeluti profesi sebagai
wartawan. Salah satu surat kabar yang pernah menjadi tempatnya berkarya yaitu
Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Muoeda, Tjahaja
Timur, dan Poesara. Tulisannya dinilai sangat komunikatif, tajam, dan partiotik,
sehingga mampu membangkitkan semangat anti penjajahan. Ia juga aktif di organisasi
Budi Utomo untuk menggugah kesadaran masyarakat agar bersatu mewujudkan
kemerdekaan Indonesia. Pada 25 Desember 1912, ia juga membentuk Indische Partij,
partai politik nasionalisme pertama bersama Douwes Dekker dan dr. Cipto
Mangunkusumo untuk mewujudkan kemerdekaan.

Peresmian Indische Partij ditolak pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur


Jenderal Idenburg karena dianggap dapat membangkitkan nasionalisme dan
penentangan atas penjajahan. Ki Hajar Dewantara dan tokoh Indische Partij lalu
membuat Komite Bumiputra pada 1913. Komite ini bertujuan untuk mengkritik
pemerintah Belanda yang menggunakan uang dan sumber daya wilayah jajahannya
untuk mengadakan perayaan-perayaan. Salah satunya yaitu saat pemerintah Belanda
hendak merayakan 100 tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis.
Kritik tersebut dituangkan Ki Hajar Dewantara detik.com/tag/ki-hajar-dewantara dalam
surat kabar De Express milik Douwes Dekker, seperti dikutip dari Ensiklopedia
Pahlawan Indonesia dari Masa ke Masa oleh Tim Grasindo. Kutipan tulisan Ki Hajar
Dewantara berjudul Als Ik Eens Nederlader Was (Seandainya Aku Seorang Belanda)
itu yakni sebagai berikut: "Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan
menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas
kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga
tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan
itu."
Kritik tersebut membuat marah pemerintah Belanda sehingga Ki Hajar Dewantara
diasingkan ke Pulau Bangka. Tulisan Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo
yang diniatkan untuk membantunya juga dianggap Belanda sebagai tulisan menghasut
rakyat, sehingga keduanya juga diasingkan. Douwes Dekker dibuang ke Kupang,
sementara dr. Cipto Mangunkusumo ke Pulau Banda. Suatu hari, mereka mengajukan
usul pada Belanda agar bisa dibuang ke negeri Belanda agar dapat belajar banyak hal,
alih-alih di tempat terpencil tersebut. Akhirnya pada Agustus 1913, permintaan mereka
dikabulkan. Mendirikan Taman Siswa Kesempatan diasingkan ke Belanda
dimanfaatkan Ki Hajar Dewantara sebaik-baiknya untuk mendalami masalah
pendidikan dan pengajaran di sana, sampai memperoleh Europeeshe Akte, ijazah
pendidikan bergengsi di Belanda. Ia kembali ke tanah air pada 1918 dan fokus
membangun pendidikan sebagai bagian alat perjuangan meraih kemerdekaan.

Pada 3 Juli 1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan perguruan bercorak nasional


bersama teman-temannya yang bernama Perguruan Nasional Tamansiswa (Nationaal
Onderwijs Instituut Tamansiswa). Perguruan ini menekankan pendidikan dengan rasa
kebangsaan pada siswa. Para siswa ditanamkan rasa mencintai bangsa dan tanah air
untuk berjuang memperoleh kemerdekaan. Ia juga tetap aktif menulis dengan teman
pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya yang mencapai
ratusan buah tersebut menjadi dasar-dasar pendidikan nasional bangsa Indonesia.
Setelah kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara sempat menjadi Menteri Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan yang pertama. Ia juga meraih gelar doktor Honoris Causa
dari Universitas Gadjah Mada pada 1957. Dua tahun kemudian, sang pahlawan
pendidikan Indonesia wafat pada 28 April 1959 di Yogyakarta, dan dimakamkan di
sana.

2. Sejarah Meseum Ki Hadjar Dewantara (Kriti Griya)

Museum Dewantara Kirti Griya terletak di kompleks Majelis Luhur Tamansiswa


di Jalan Taman Siswa no. 31 Yogyakarta. Bedirinya museum ini merupakan gagasan
dari Ki Hadjar Dewantara sendiri yang menginginkan tanah bekas tempat tinggalnya
dijadikan sebuah museum.

Foto 1 : Tampak Depan Meseum Dewantara Kriti Griya

Bangunan dan tanah Museum Dewantara Kirti Griya sebelumnya dimiliki oleh
wanita penguasa tanah perkebunan Belanda yang akhirnya dibeli oleh Ki Hadjar
Dewantara, Ki Sudarminto, dan Ki Supratolo pada 14 Agustus 1934 dengan biaya
sebesar 3.000 Gulden. Bangunan ini kemudian difungsikan sebagai kompleks
perguruan Taman Siswa sekaligus tempat tinggal Ki Hadjar Dewantara setelah
dihibahkan kepada Yayasan Persatuan Tamansiswa pada tanggal 18 Agustus 1951. Pada
tanggal 3 November 1957, Ki Hadjar Dewantara berpindah tempat tinggal di Jalan
Kusumanegara no. 31 yang diberi nama Padepokan Ki Hadjar Dewantara.
Museum Dewantara Kirti Griya diresmikan pada tanggal 2 Mei 1970 oleh Nyi
Hadjar Dewantara. Berisikan lebih dari 3.000 koleksi yang merupakan peninggalan KI
Hadjar Dewantara semasa hidupnya terdiri atas perabot rumah tangga, naskah, foto,
koran, buku, majalah dan surat-surat. Museum Dewantara Kirti Griya juga merupakan
tempat berdirinya Badan Musyawarah Musea (Barahmus) DIY.
Di dalam meseum ini tersimpan barang-barang Ki Hadjar Dewanatara dan
keluarganya yang menjadi koleksi meseum. Serta juga terdapat beberapa foto dan
lukisan kegiatan pembelajaran siswa di awal berdirinya Tamansiswa.

Foto 2 : Kamar Ki Hadjar Dewantara

Foto 3 : Foto Kegiatan Pembelajaran


Ketika rapat Pamong (Guru) Tamansiswa tahun 1958, Ki Hajar Dewantara
mencetuskan gagasan agar rumahnya di kompleks Perguruan Tamansiswa dijadikan
museum. Pada waktu yang sama, Ki Hajar Dewantara merumuskan sebuah konsep
kebudayaan berbunyi, “Kemajuan suatu kebudayaan adalah merupakan suatu
kelanjutan langkah dari kebudayaan itu sendiri (kontinuitas), menuju ke arah kesatuan
kebudayaan dunia (konvergensi), dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian di dalam
lingkungan kemanusiaan sedunia (konsentrisitas)”. Konsep tersebut terkenal dengan
sebutan “TRIKON”.

Setelah Ki Hadjar Dewantara wafat pada tanggal 26 April 1959, mulai tahun 1960,
Tamansiswa berusaha mewujudkan gagasan almarhum Ki Hadjar Dewantara. Pada
tahun 1963 dibentuklah panitia pendiri Museum Tamansiswa yang terdiri dari:
Keluarga Ki Hadjar Dewantara, Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Sejarawan, dan
Keluarga Besar Tamansiswa. Pada tanggal 11 Oktober 1969, Ki Nayono menerima
surat pribadi dari Nyi Hadjar Dewantara. Dengan surat tersebut Ki Nayono tergugah
untuk segera meminta perhatian kepada Majelis Luhur agar bekas tempat tinggal Ki
Hadjar yang sudah dinyatakan sebagai Dewantara Memorial segera dijadikan
museum. Cita-cita Ki Hajar Dewantara untuk menjadikan rumahnya sebagai museum
akhirnya terwujud pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 1970. Museum
diresmikan dengan nama “Dewantara Kirti Griya” artinya rumah yang berisi hasil kerja
Ki Hajar Dewantara. Nama tersebut pemberian Hadiwidjono, seorang ahli bahasa Jawa.

Di dalam meseum inilah tersimpan berbagai barang dan benda peninggalan Ki


Hadjar Dewantara semasa hidupnya benda-benda tersebut kini menjadi koleksi
berharga yang menjadi sumber belajar bagi generasi bangsa. Surat-surat penting saksi
perjuangan Ki Hajar Dewantara yang dikoleksi museum ini yaikni 1) Surat
penangkapan “Tiga Serangkai” (Douwes Dekker, dr. Cipto Mangunkusumo, dan Raden
Mas Suwardi Suryaningrat yang kemudian dikenal dengan Ki Hajar Dewantara) pada
tahun 1931; 2) Surat penangkapan Raden Mas Suwardi Suryaningrat di Semarang pada
1920, dan Wilde School Ordonantie 1932. Selain kedua surat tersebut, ada sebanyak
879 pucuk surat lainnya yang menjadi koleksi museum.

Foto 4 : Meja Nyi Hadjar Dewantara


Meseum ini juga menyimpan foto-foto dan film. Di antaranya satu film berjudul
“Ki Hajar Dewantara, Pahlawan Nasional” yang diproduksi oleh Perum PFN pada
1960. Ada 2.341 judul buku yang menjadi koleksi museum. Buku-buku tersebut
bertema ketamansiswaan, politik, kebudayaan, dan pendidikan. Selain itu di
perpustakaan museum juga terdapat koleksi buku bertema Sastra Daerah Jawa (3560
judul), Melayu (432 judul), dan Bahasa Belanda (3789 judul).

Foto 5 : Foto Ki Hadjar Dewantara

Foto 6 : Foto Nyi Hadjar Dewantara

Meseum ini memiliki visi dan misi yaitu :

 Visi : Terwujutnya nilai-nilai perjuangan dan ajaran hidup Ki Hadjar Dewantara dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
 Misi: Menggali, mengembangkan, menginformasikan dan melestarikan
koleksi tangible dan intangible peninggalan Ki Hadjar Dewantara dan Tamansiswa
untuk kepentingan studi, penelitian, dan rekreasi kepada masyarakat.
Museum diberi nama Dewantara Kirti Girya, nama tersebut pemberian dari bapak
Hadiwijono seorang ahli bahasa Jawa. Adapun keterangannya sebagai berikut .

Dewantara, diambil dari nama Ki Hadjar Dewantara,


Kirti, artinya pekerjaan (bhs. Sansekerta)
Griya, berarti rumah. Dengan demikian arti lengkapnya adalah Rumah yang berisi
hasil kerja Ki Hadjar Dewantara.Peresmian museum ditandai dengan
candrasengkala “Miyat Ngaluhur Trusing Budi” yang menunjukkan angka tahun
1902 (Çaka ) atau tanggal 2 Mei 1970 Masehi. Makna yang terkandung dalam
sengkalan tersebut sama dengan makna dan tujuan memorial yakni, dengan melalui
museum diharapkan para pengunjung khususnya generasi muda akan dapat
mempelajari, memahami dan kemudian dapat mewujudkan nilai-nilai yang terkandung
didalamnya, kedalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam perjalanan sejarah Tamansiswa, semua peristiwa terjadi saling kait-


mengkait dan berlalu dalam kesatuan waktu lampau, sekarang dan yang akan datang.
Peristiwa yang telah terjadi di masa lalu apabila tidak diekspos dan dikaji kembali
hanyalah menjadi peristiwa yang hampa tanpa makna. Terbersit dari pemikiran
tersebut, untuk mengoptimalkan visi dan misi Museum Dewantara Kirti Griya, perlu
adanya tambahan koleksi penunjang memorial berupa, foto tokoh-tokoh Tamansiswa
secara periodik, workshop pendidikan yang bercirikhas pendidikan Tamansiswa.
Tampilan tokoh-tokoh dan workshop pendidikan tersebut akan menjadi obyek
pembelajaran yang berharga bagi generasi muda karena sarat akan nilai budi pekerti
luhur.

3. Makam Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara merupakan figur yang selalu menjadi kebanggaan bangsa


Indonesia terutama di dalam dunia pendidikan. Ia dikenal sebagai tokoh yang
mempunyai semangat pejuang yang tidak kenal kata menyerah, sebagai seorang
pemimpin yang dapat menuntun anak buahnya, sebagai seorang yang kritis terhadap
dunia pendidikan, yang telah menghasilkan berbagai gagasan yang meliputi masalah
politik dan budaya, sehingga beliau dikenal sebagai seorang pejuang, pendidik sejati,
dan sekaligus menjadi budayawan Indonesia.

Bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara, dikenal sebagai penggagas dan


pemerhati utama pendidikan karakter Indonesia pertama. Terkenal dengan tiga
semboyan fenomenal dalam dunia pendidikan yakni: “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing
Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” yang mempunyai arti ketika berada di
depan harus mampu menjadi teladan (contoh baik), ketika berada di tengah-tengah
harus mampu membangun semangat, serta ketika berada di belakang harus mampu
mendorong orang-orang dan atau pihak-pihak yang dipimpinnya. Pada 4 November
1907 dilangsungkan “Nikah Gantung” antara R.M. Soewardi Soeryaningrat dengan
R.A. Soetartinah. Keduanya merupakan cucu dari Sri Paku Alam III. Pada akhir
Agustus 1913 beberapa hari sebelum berangkat ke tempat pengasingan di negeri
Belanda. Pernikahannya diresmikan secara adat dan sederhana di Puri Soeryaningratan
Yogyakarta. Ki Hadjar Dewantara mendirikan Perguruan Tinggi Taman Siswa di
Yogyakarta pada 3 Juli 1922. Di mana menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan adalah
alat mobilisasi politik dan sekaligus sebagai penyejahtera umat. Dari pendidikan akan
dihasilkan anak bangsa yang akan memimpin rakayat dan mengajaknya memperoleh
pendidikan yang merata, pendidikan yang bisa dinikmati seluruh rakyat Indonesia.
Gagasan mendirikan sekolah atau pendidikan pada saat itu berasal dari sarasehan
(diskusi) tiap hari Selasa-Kliwon. Di mana peserta diskusi sangat prihatin terhadap
keadaan pendidikan kolonial. Sistem pendidikan kolonial yang materialistik,
individualistik dan intelektualistik diperlukan lawan tanding yaitu pendidikan yang
humanis dan populis yang memayu hayuning bawana ( memelihara kedamaian dunia).

Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia pada tanggal 26 Apri 1959, di rumahnya


Mujamuju Yogyakarta. Dan pada tanggal 29 April, jenazah Ki Hadjar Dewantara
dipindahkan ke pendopo Taman Siswa. Dari pendopo Taman Siswa, kemudian
diserahkan kepada Majelis Luhur Taman Siswa. Dari pendopo Taman Siswa, jenazah
diberangkatkan ke makan Wijaya Brata Yogyakarta. Dalam upacara pemakaman Ki
Hadjar Dewantara dipimpin oleh Panglima Kodam Diponegoro Kolonel Soeharto. Ki
Hadjar Dewantara wafat pada usia 69 tahun.

Foto 7 : Upacara Pemakaman Ki Hadjar Dewantara


Foto 8 : Gerbang Masuk Taman Makam Wijaya Brata

Taman Wijaya Brata merupakan tempat dimakamkannya Ki Hajar Dewantara


beserta istrinya, Nyi Hajar Dewantara. Taman Wijaya Brata dibangun atas prakarsa
Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa dalam sidang Rapat Besar Umum (Kongres)
Tamansiswa, Ki Soedarminto pada 1952. Ketika itu Ki Soedarminto menangkap
maksud dari Ki Hajar Dewantara yang berkeinginan memiliki tempat peristirahatan,
meski keinginan tersebut tidak disampaikannya secara langsung. Taman Wijaya Brata
mengandung makna sebagai tempat “pasarean langgeng” atau persemayaman abadi
bagi para pejuang yang telah menunjukan kejayaan atau “wijaya”. Memperoleh
kemenangan setelah melampaui masa penderitaan, keprihatinan, “tapa brata” berjuang
melawan penjajahan untuk mencapai kemerdekaan.

Pembangunan Taman Wijaya Brata dimulai pada 1959. Saat peringatan 1000 hari
wafatnya Ki Hajar Dewantara tanggal 30 Januari 1962, dilakukan upacara peletakan
batu nisan di makam. Akhirnya tahun 1963 diresmikan. Peresmian Taman Wijaya Brata
ditandai dengan candra sengkala “Rinaras Trus Basukining Wiji” artinya suasana
harmonis menciptakan generasi baru yang hidup dalam suasana sejahtera atau
bahagia. Ki Hajar Dewantara wafat pada 26 April 1959 dan Nyi Hajar Dewantara wafat
pada 16 April 1971. Keduanya dimakamkan di Taman Wijaya Brata. Di dalam
kompleks taman ini juga terdapat 217 makam kerabat dekat Ki Hajar Dewantara,
keluarga Tamansiswa, serta para tokoh nasional bangsa Indonesia.
Foto 9 : Makam Ki Hadjar Dewanatara Dan Nyi Hadjar Dewantara

Makam Ki Hajar Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara berada di atas batur
berbentuk persegi delapan berukuran panjang 10 m, lebar 8 m dan tinggi 0,8 m. Untuk
menggambarkan bahwa makam Ki Hajar Dewantara dapat dicapai dari segala arah,
batur makam diberi lima tangga. Kelima tangga tersebut terletak di sisi selatan dua
tangga, sisi barat dan timur satu tangga dan sisi utara satu tangga yang dibuat hanya
simbolis saja. Kelima tangga tersebut melambangkan Pancasila dan Pancadarma. Jirat
makam berbentuk persegi panjang, pada bagian atas terdapat nisan berupa lambang
Tamansiswa, yaitu Cakra Garuda di sisi utara dan Cakra Kembang di sisi selatan. Batu
andesit untuk nisan Ki Hajar Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara diambil dari bukit di
desa Brejo, Godean, Sleman. Bahan jenis batunya padat dan masif, berwarna hijau
muda, tidak mudah “gempil” bila dipahat.

Foto 10 : Ukiran Relief Pada Makam Ki Hadjar Dewanatara

Di Taman Wijaya Brata terdapat relief perjuangan Ki Hajar Dewantara pada masa
lampau dan pakeliran dinding batur yang terdapat di sebelah utara batur atau
melatarbelakangi makam Ki Hajar Dewantara dan Nyi Hajar
Dewantara. Pakeliran tersebut disebut Wukir Pancadharma yang merupakan
perwujudan dari ide Ki Sindhusisworo dan sebagai desainernya ialah Ki Suratman,
Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa. Relief pada pakeliran menggambarkan
pandangan hidup Tamansiswa dengan sistem Pendidikan Nasional, sebagai berikut:
1. Lahirnya Tamansiswa adalah 3 Juli 1922, atau disingkat 3722. Angka tersebut
dilambangkan dengan relief gunung yang berbobot 7 dan tiga gunung melambangkan
3, jadi tiga gunung dan bobot gunung menjadi 37. Sayap wataknya 2, dua sayap
melambangkan 2, menjadi secara keseluruhan 3722.

2. Dasar ciri khas Tamansiswa Pancadharma yang masing-masing digambarkan dengan


lambang, yaitu Kodrat alam dengan lambang matahari, kemerdekaan dengan lambang
sayap Garuda, kebudayaan dengan lambang pohon teratai, kebangsaan dengan lambang
pohon besar dan kemanusiaan dengan lambang tirta (air).

3. Sistem pendidikan Tamansiswa adalah sistem among yang berjiwa kekeluargaan


(pendapa) dan berlandaskan kodrat alam (matahari) dan kemerdekaan (sayap Garuda).

Pada bagian sisi selatan terdapat tempat untuk meletakkan karangan bunga
berbentuk Kelir Pewayangan yang menggambarkan pergelaran hidup kemasyarakatan
dari cita-cita Ki Hajar Dewantara bertuliskan Tut Wuri Handayani. Keliling dari
dinding batur terdapat relief berjumlah dua puluh dua yang menggambarkan perjalanan
hidup dan perjuangan Ki Hajar Dewantara dimulai sejak kanak-kanak hingga wafat.
Relief tersebut dibaca dengan cara mengelilingi batur searah jarum jam. Atas pesan Ki
Hajar Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara juga, bahwa disamping makam keduanya
tersedia makam untuk putra dan putrinya, yaitu Ni Asti Wandansari (putri sulung)
terletak di samping kanan dan Mas Syailendra Wijaya (putra bungsu) di samping kiri.

Foto 11 : Gerbang Masuk Taman Makam

Taman Wijaya Brata dipagari dengan tembok keliling. Pintu gerbang makam ada
di sisi timur. Pada bagian atas terdapat hiasan lambang Taman Siswa, yaitu stilirisasi
burung terbang dengan sayap terentang penuh menukik ke bawah. Pada ujung kepala
burung terdapat tulisan Taman Wijaya Brata. Di samping kanan depan pintu gerbang
terdapat prasasti peresmian pemugaran makam Taman Wijaya Brata yang dilakukan
oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Daoed Yoesoef.
Peresmian makam tersebut dilakukan bertepatan dengan pelaksanaan Hari Pendidikan
Nasional pada tanggal 2 Mei 1980 di Yogyakarta.

Di sebelah barat pintu gerbang terdapat bangunan “pengrantunan”, yaitu tempat


untuk menunggu kedatangan jenazah, mempersiapkan upacara pemakaman, dan untuk
menempatkan jenazah bila keadaan hujan. Pada saat Yogyakarta mengalami gempa
tahun 2006, pagar tembok dan pakeliran ini hancur tak tersisa. Setelah perbaikan pagar
pascagempa bumi, pakeliran dan candra sengkala tersebut tidak dibangun ulang.

Taman Wijaya Brata ditetapkan sebagai Cagar Budaya melalui SK Penetapan


Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
226/P/2019. Taman Wijaya Brata berlokasi di Jalan Soga Nomor 25 Celeban, Tahunan,
Umbulharjo, Yogyakarta.

Foto 12 : Papan Daftar Nama Keluarga Besar Tamansiswa Yang Di Makamkan


Di Taman Wijaya Brata

Foto 13 : Makam Lain Di Dalam Kompleks Taman Wijaya Brata


Taman Wijaya Brata mengandung makna sebagai tempat “pasarean langgeng” atau
persemayaman abadi bagi para pejuang yang telah menunjukan kejayaan atau “wijaya”.
Memperoleh kemenangan setelah melampaui masa penderitaan, keprihatinan, “tapa
brata” berjuang melawan penjajahan untuk mencapai kemerdekaan.
Pembangunan Taman Wijaya Brata dimulai pada 1959. Saat peringatan 1000 hari
wafatnya Ki Hajar Dewantara tanggal 30 Januari 1962, dilakukan upacara peletakan
batu nisan di makam. Akhirnya tahun 1963 diresmikan.
Peresmian Taman Wijaya Brata ditandai dengan candra sengkala “Rinaras Trus
Basukining Wiji” artinya suasana harmonis menciptakan generasi baru yang hidup
dalam suasana sejahtera atau bahagia.

Sebelum meninggal Ki Hadjar Dewantara juga meninggalkan pesan terakhirnya


untuk pendidikan nasional. Di tahun 1959, Ki Hadjar Dewantoro sakit keras dan Ir.
Soekarno menjenguknya. Hati teramat senang ketika Bung Karno menjenguk Ki Hadjar
Dewantoro, dan terus menerus melihat wajah Ir. Soekarno, teringat dua sahabat Ki
Hadjar yaitu : Dokter Tjiptomangunkusumo dan Setiabudi Douwes Dekker. Pelan
pelan air mata meleleh dari dua matanya, dan memegang tangan Ir. Soekarno. Seolah
olah ia menitipkan Indonesia pada Bung Karno, sebuah bangsa yang larut dalam
gelombang sejarahnya, dimana pendidikan yang selalu jadi pusat perhatiannya:
"Mencerdaskan Kehidupan Bangsa."

Dalam mengenal dan menerapkan konsep dari sosok bapak pendidikan Indonesia
maka kita juga perlu tau akan sejarah dan perjuangan beliau dalam mewujudkan
merdeka belajar di Indonesia seperti yang kita rasakan saat ini. Salah satu caranya
adalah dengan berkunjung secara langsung ke meseum atau rumah peninggalan beliau
dan juga berziarah ke makam beliau. Agar kita lebih dekat dan lebih tau mengenai
perkembangan pendidikan di Indonesia.

Perjuangan sosok bapak pendidikan Indonesia bukanlah suatu hal yang mudah.
Beliau rela mengorbankan segala yang ia miliki demi bisa terwujudnya pendidikan
yang anti kolonialisme. Semoga perjuangan beliau dapat terus tetap di lanjutkan oleh
kita semua selaku warga Indonesia.

4. Cita-Cita Ki Hadjar Dewantara Untuk Pendidikan Indonesia

Konsep pendidikan dan cita-cita pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah


pendidikan yang holistik, dimana murid atau peserta didik dibentuk menjadi insan yang
berkembang secara utuh meliputi olah rasio, olah rasa, olah jiwa dan olah raga melalui
proses pembelajaran dan lainnya yang berpusat pada murid dan dilaksanakan dalam
suasana penuh keterbukaan, kebebasan, serta menyenangkan. Hal ini seiring dengan
empat pilar pendidikan menurut UNESCO yaitu learning to know, learning to do,
learning to be, and learning to live together.

Dua pilar pertama telah dipraktekan pada sistem pendidikan kita yaitu
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, tetapi itu terasa tidak cukup karena
kita mengharapkan manusia Indonesia yang tidak hanya memiliki kecerdasan, tetapi
juga harus berkarakter. Manusia Indonesia dituntut juga harus memahami jati dirinya
sebagai manusia yang memiliki dimensi individu dan sosial, memiliki akal budi,
kehendak bebas, dan hati nurani. Learning to be menghendaki para murid untuk
menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur, sedangkan learning to live
together mengarahkan murid untuk memiliki kesadaran untuk dapat hidup bersama
dengan manusia yang lain ditengah pluralitas dan heterogenitas. Sehingga yang
menjadi tujuan pendidikan yang holistik adalah membentuk pribadi utuh yang memiliki
kecerdasan intelektual, emosional, sosial, moral, spritual yang disebut melek moral dan
sosial (social and moral literacy).
Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam sistem among didasarkan pada dua
azas yaitu:Pertama, kodrat alam yang menjadi syarat untuk menghidupkan dan
mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya;Kedua, azas
kemerdekaan yang menjadi syarat untuk menghidupkan, menggerakkan dan
mengembangkan kekuatan lahir dan batin anak sehingga menjadi pribadi yang kuat,
berpikir dan bertindak merdeka. Dalam sistem among, ia sangat mengedepankan azas
kemanusiaan sehingga anak-anak harus diberikan kebebasan dan kemerdekaan yang
terbatas oleh tuntutan kodrat alam dan menuju ke arah kebudayaan. Sistem ini
menjunjung tinggi pedagogik pemeliharaan, dengan n perhatian penuh, yang menjadi
syarat berkembangnya anak secara lahir dan batin.

Foto 14 : Sekolah Taman Indria


Menurut Ki Hadjar Dewantara mendidik dan mengajar adalah proses
memanusiakan manusia, sehingga harus memerdekakan manusia dan segala aspek
kehidupan baik secara fisik, mental , jasmani dan rohani. Hal positif yang bisa
diterapkan di kelas/sekolah sesuai dengan budaya Jawa/ orang Banyumas yang
berkarakter seperti tokoh Banyumas yaitu Semar/ Bawor yang sifatnya adalah suka
momong, walaupun sakti beliau tidak pernah sombong dan selalu memperhatikan
akhlak yang mulia (memperhatikan tata krama terhadap orang tua, juga sayang terhadap
yang lebih muda, dekat dengan Tuhan), bekerja itu tidak hanya mengandalkan otak
semata,tetapi juga dengan kerja keras, maka dibutuhkan keterpaduan kerja otot dan otak
untuk hasil yang maksima, rajin, suka bekerja keras dan cekatan.

Jiwa yang merdeka sangat diperlukan sepanjang zaman agar bangsa Indonesia
tidak didikte oleh negara lain. Ki Hadjar Dewantara memiliki istilah sistem among,
yakni melarang adanya hukuman dan paksaan kepada anak didik karena akan
mematikan jiwa merdeka serta mematikan kreativitasnya. Esensi kemerdekaan berpikir
harus didahului oleh para guru sebelum mereka mengajarkannya pada siswa-siswi.
Merdeka Belajar diharapkan dapat memperbaiki proses belajar mengajar agar dapat
berdampak baik dalam aspek kehidupan. Mulai dari aspek fisik, mental, jasmani dan
rohani dalam dunia pendidikan.
Pemikiran Ki Hajar Dewantara perihal merdeka belajar selaras pula dengan
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terkait mencerdaskan bangsa. Mencerdaskan
bangsa bukan berarti mencerdaskan individu, namun menyesuaikan sistem pendidikan
dengan kebutuhan hidup dan penghidupan rakyat Indonesia. Kemerdekaan merupakan
salah satu yang bisa menggambarkan pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Terdapat satu
hal dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara yang harus digaris bawahi, yaitu tentang
trisentris pendidikan. Trikonsentris pendidikan, yakni keluarga, perguruan, dan
masyarakat merupakan satu kesatuan yang utuh dalam pendidikan.

Berdasarkan buah pemikirannya, Ki Hajar Dewantara sangat berjasa dalam


kemajuan pendidikan dan pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Kita sebagai
generasi muda harus bisa menghormati dan menghargai jasa dari perjuangan beliau.
Lebih penting lagi, bisa meneladani, mempunyai cita-cita, dan semangat untuk belajar
dalam membawa Indonesia lebih baik.
Foto 15 : Sekolah Taman Dewasa

Foto 16 : Balai Persatuan Tamansiswa

Ki Hadjar Dewantara sendiri juga mendirikan sekolah dalam menerapkan konsep-


konsepnya yaitu Taman Siswa adalah nama sekolah yang didirikan oleh Ki Hadjar
Dewantara pada tanggal 3 Juli tahun 1922 di Yogyakarta (Taman berarti tempat
bermain atau tempat belajar, dan Siswa berarti murid).Pada waktu pertama kali
didirikan, sekolah Taman Siswa ini diberi nama "National Onderwijs Institut Taman
Siswa", yang merupakan realisasi gagasan beliau bersama-sama dengan teman di
paguyuban Sloso Kliwon. Sekolah Taman Siswa ini sekarang berpusat di balai Ibu
Pawiyatan (Majelis Luhur) di Jalan Taman Siswa, Yogyakarta, dan mempunyai 129
sekolah cabang di berbagai kota di seluruh Indonesia.

Pada permulaan abad ke-20 perhatian rakyat Indonesia terhadap pendidikan sangat
besar, hingga Departemen Pengajaran tidak dapat mengatasinya. Hal ini disebabkan
banyaknya orang yang ingin sekolah tetapi tempatnya tidak mencukupi. Sementara
sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda, sistem pengajarannya tidak
memuaskan rakyat. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan Barat yang diterapkan
oleh pemerintah Hindia Belanda terlalu intelektualistik dan materialistik, sehingga
tidak dapat menjawab kebutuhan bangsa. Diberinya kesempatan bagi bangsa Indonesia
untuk memasuki sekolah bumiputra yang kelak menjadi HIS, juga tidak memberi
harapan yang diinginkan. Lulusan HIS dinilai tidak bermutu sebab yang diterapkan
adalah sistem Eropa. Hasil pendidikan dengan sistem tersebut melahirkan anak-anak
yang bertabiat kasar, kurang memiliki rasa kemanusiaan sehingga tumbuh rasa
individualisme. Melihat hasil pendidikan tidak sesuai dengan karakteristik bangsa
Indonesia, maka dipikirkan sistem pendidikan nasional yang berdasarkan budaya
bangsa Indonesia dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. Akhirnya pada
tanggal 3 Juli 1922 berdirilah Taman Siswa oleh Ki Hajar Dewantara. Taman berarti
tempat bermain atau tempat belajar, dan Siswa berarti murid. Ketika pertama kali
didirikan, sekolah Taman Siswa ini diberi nama "National Onderwijs Institut Taman
Siswa".

Setelah berdiri, maka tokoh Taman Siswa, yaitu Ki Hajar Dewantara, R.M. Sutomo
Suryokusumo, R.M.H. Suryoputro, dan Ki Pronowidigdo, mengadakan pertemuan untuk
menentukan sikap selanjutnya. Pendirian Taman Siswa menimbulkan berbagai kritik, baik dari
kalangan bangsa Indonesia maupun dari pemerintah kolonial. Olehnya itu demi perkembangan,
maka pada tanggal 20-22 Oktober 1923 diadakan kongres dengan hasil sebagai berikut:

 Mengumumkan bahwa Taman Siswa merupakan "Badan Wakaf" (Institut Pendidikan


yang berdiri sendiri, bebas dari pemerintah).
 Menyatakan prinsip-prinsip Taman Siswa.
 Menyusun kembali institutraat menjadi hoofdraat (Majelis Tinggi), yang kemudian
diubah lagi menjadi Majelis Luhur.

Prinsip dasar dalam sekolah/pendidikan Taman Siswa yang menjadi pedoman bagi
seorang guru dikenal sebagaiPatrap Triloka. Konsep ini dikembangkan oleh Suwardi setelah
ia mempelajari sistem pendidikan progresif yang diperkenalkan oleh Maria Montessori
(Italia) dan Rabindranath Tagore (India/Benggala). Patrap Triloka memiliki unsur-unsur
(dalam bahasa Jawa) yaitu:

 Ing ngarsa sung tuladha (yang di depan memberi teladan/contoh)


 Ing madya mangun karsa (di tengah membangun prakarsa/semangat)
 Tut wuri handayani (dari belakang mendukung).
5. Dokumentasi Kegiatan

Foto 17 : Mendengarkan Secara Langsung Sejarah Meseum Ki Hadjar Dewantara Dari


Penjaga Meseum

Foto 18 : Foto Bersama Di Makam Ki Hadjar Dewantara


Foto 19 : Foto Bersama Di Depan Gerbang Masuk Taman Wijaya Brata

Anda mungkin juga menyukai