Anda di halaman 1dari 7

PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN

DINAS KESEHATAN
UPTD PUSKESMAS WIROSARI I
Jl. KusumaBangsa No. 86 WirosariTelp. (0292) 761029
Email: pkms.wirosatoe@gmail.com

EVALUASI PENGELOLAAN OBAT PADA PUSKESMAS WIROSARI 1 KABUPATEN


GROBOGAN

1. Pendahuluan
Obat merupakan suatu komponen esensial yang harus tersedia di sarana pelayanan
kesehatan termasuk puskesmas, obat merupakan bagian hubungan antara pasien dan sarana
pelayanan kesehatan, karena tersedia atau tidaknya obat di sarana pelayanan kesehatan akan
memberikan dampak positif atau negatif terhadap mutu pelayanan.
Karena mengingat pentingnya pengelolaan obat untuk meningkatkan mutu pelayanan di
puskesmas maka perlu dilakukan evaluasi pengelolaan obat mulai dari perencanaan,
permintaan, penerimaan, penyimpanan dan pendistribusian.
Pada periode ini dilakukan evaluasi penyimpanan obat. Penyimpanan obat adalah suatu
kegiatan pengamanan terhadap obat yang diterima agar aman (tidak hilang), terhindar dari
kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya terjamin. Indikator yang digunakan untuk
mengevaluasi penyimpanan obat ini adalah indikator persentase jumlah obat yang rusak dan
kadaluarsa. Perhitungan dilakukan dengan cara membandingkan jumlah obat yang rusak dan
kadaluarsa dengan jumlah ketersediaan obat pada akhir tahun 2021. Ada pun data ketersediaan
obat dilihat dari data stok opname per tanggal 31 Desember 2021.
Data jumlah obat yang rusak dan kadaluarsa serta data ketersediaan obat terlampir.

2. Hasil Evaluasi

Dari data tersebut dipeoleh jumlah ketersediaan obat per 31 Desember 2021 dari sumber
anggraran APBD 1 adalah 3.007, APBD 2 adalah 39.841 dan BLUD 215.891 Total jumlah
ketersediaan obat 258.739. Jumlah obat yang rusak dan kadaluarsa keseluruhan 10.499.
sehingga diperoleh hasil prosentase obat yang rusak dan kadaluarsa 4.05 %. Menurut standar
yang ditetapkan, jumlah obat yang rusak dan kadaluarsa adalah 0%. Penyimpanan obat di
Puskesmas Wirosari 1 belum sesuai standar. Terjadinya obat rusak dan kadaluarsa bisa
disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah kurangnya pengamatan mutu dalam
penyimpanan. Pengaturan dalam penyimpanan obat harus disusun dengan sistem “ First In First
Out (FIFO)” untuk masingmasing obat, artinya obat yang datang pertama kali harus dikeluarkan
terlebih dahulu dari obat yang datang kemudian dan “ First Expired First Out (FEFO) untuk
masing-masing obat, artinya obat yang lebih awal kadaluarsa harus dikeluarkan lebih dahulu dari
obat yang kadaluarsa kemudian.

3. Rencana Tindak Lanjut


a. Dilakukan peningkatan sistem penyimpanan obat di gudang obat puskesmas Wirosari 1
meliputi suhu ruangan,system FIFO dan FEFO
b. Dilakukan pelatihan pengelolaan sediaan farmasi bagi pengelola obat
4. Penutup

Dengan adanya evaluasi pengelolaan sediaan farmasi diharapkan dapat meningkatkan


kualitas pengelolaan sediaan farmasi dan meningkatkan mutu pelayanan Puskesmas Wirosari 1

Mengetahui, Wirosari,03 januari 2022


Kepala UPTD Puskesmas Wirosari 1 Pengelola obat,

drg. Rendra mayangsari DanikRicatningsih,S.Farm.,Apt.


NIP. 19760103 200501 2010 NIP. 19830103 201101 2 006
PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN
DINAS KESEHATAN
UPTD PUSKESMAS WIROSARI I
Jl. KusumaBangsa No. 86 WirosariTelp. (0292) 761029
Email: pkms.wirosatoe@gmail.com

EVALUASI PENGELOLAAN OBAT PADA PUSKESMAS WIROSARI 1 KABUPATEN


GROBOGAN

1. PENDAHULUAN
Instalasi Farmasi adalah unit pelaksana fungsional yang menyelenggarakan seluruh
kegiatan pelayanan kefarmasian di Puskesmas.Oleh karena itu Instalasi Farmasi puskesmas
Wirosari I, mempunyai tanggung jawab yang besar terutama yang berhubungan dengan
pelayanan obat/perbekalan farmasi mulai dari seleksi sampai dengan pemberian obat ke
pasien. Dalam mempersiapkan aktreditasi ini ,Instalasi Farmasi harus lebih aktif dalam
melakukan checking, double check ataupun inspeksi baik administratif maupun pelayanan
yang berkaitan langsung dengan pelayanan Instalasi Farmasi maupun yang melibatkan
organisasi lainya seperti keperawatan, dokter, bidan dan lain sebagainya.
Peningkatan mutu pelayanan di Puskesmas perlu diterapkan suatu standar pelayanan.
Mutu pelayanan di Puskesmas dapat dinilai dengan cara melihat kegiatan pelayanan yang
diberikan dan dicatat dalam dokumen rekam medis sebagai bukti proses pelayanan yang
dilakukan oleh tenaga medis,paramedis, dan tenaga non medis sejak pendaftaran sampai
dengan pasien keluar puskesmas .Untuk mewujudkan sebagai bukti proses pelayanan,maka
penyelenggaraan Instalasi Farmasi pun harus dilaksanakan sesuai prosedur.

2. LATAR BELAKANG
Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan Puskesmas yang berorientasi kepada pelayanan
pasien ,penyediaan Sediaan Farmasi,Alat Kesehatan,dan Bahan Medis Habis Pakai yang
bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik.
Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi,
mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait Obat. Tuntutan pasien dan masyarakat akan
peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian,mengharuskan adanya perluasan dari paradigm
lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang
berorientasi pada pasien(patientoriented)dengan filosofi Pelayanan
Kefarmasian(pharmaceuticalcare).
Apoteker khususnya yang bekerja di Puskesmas dituntut untuk merealisasikan
perluasan paradigma Pelayanan Kefarmasian dari orientasi produk menjadi orientasi
pasien.Untuk itu kompetensi Apoteker perlu ditingkatkan secara terus menerus agar
perubahan paradigm tersebut dapat diimplementasikan. Apoteker harus dapat memenuhi hak
pasien agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan termasuk tuntutan hukum.
Puskesmas sebagai salah satu lini terdepan pelayanan kesehatan bagi masyarakat
Indonesia sudah seharusnya menerapkan penggunaan obat yang rasional sesuai standar yang
ada. Ketidaktepatan penggunaan obat pada tingkat puskesmas dapat berakibat merugikan bagi
kalangan masyarakat luas. Hal tersebut dikarenakan banyak masyarakat yang memilih
pelayanan kesehatan di puskesmas,terutama dari kalangan menengah ke bawah yang
merupakan mayoritas penduduk Indonesia.
Antibiotik merupakan obat yang paling banyak digunakan pada infeksi yang
disebabkan oleh bakteri.Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan
berbagai permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi
bakteri terhadap antibiotika dan munculnya efek obat yang tidak dikehendaki. Hal ini terjadi
akibat penggunaan antibiotik yang tidak bijak dan penerapan kewaspadaan standar yang tidak
benar di fasilitas pelayanan kesehatan. Salah satu cara mengatasinya ialah dengan
menggunakan antibiotik secara rasional,melakukan monitoring dan evaluasi penggunaan
antibiotik secara sistematis,terstandar dan dilaksanakan secara teratur di puskesmas atau pun
di fasilitas kesehatan lain.

3. TUJUAN
a. TujuanUmum:
Terciptanya sistem dan prosedur pelayanan Instalasi Farmasi yang dapat
dijalankan dan dapat digunakan sebagai alat evaluasi dalam meningkatkan mutu
pelayanan Instalasi Farmasi yang berfokus kepada pasien.
b. Tujuan Khusus :
1) Bertanggung jawab terhadap pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,dan Bahan
Medis Habis Pakai di Puskesmas dan menjamin seluruh rangkaian kegiatan tersebut
sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta memastikan kualitas, manfaat, dan
keamanannya
2) Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa maupun
dalam keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien maupun fasilitas yang
tersedia
3) Menyelenggarakan kegiatan pelayanan professional berdasarkan prosedur kefarmasian
dan etik profesi
4) Melaksanakan KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) mengenai obat
5) Menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku
6) Melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi
pelayanan
7) Memastikan semua Apoteker dan Tenaga Tekhnik Kefarmasian mengerti cara
pelayanan farmasi yang baik(good pharmacy prosess)
8) Melakukan Evaluasi Kerasionalan Resep khususnya pengunaan Antibiotik pada pasien
ISPA non pneumonia

4. HASIL EVALUASI
Evaluasi Pengelolaan Obat pada Puskesmas Wirosari I ini dikhususkan pada evaluasi
kerasionalan penggunaan antibiotik pada ISPA non pneumonia. Berdasarkan rekapitulasi data
yang telah dilakukan di Puskesmas Wirosari I dari bulan Januari sampai Desember 2021,
ditemukan adanya ketidakrasionalan penggunaan antibiotik pada ISPA non pneumonia sebesar
3.75 %

Tabel Jumlah dan Persentase Pasien ISPA non pneumonia Berdasarkan Rasionalitas pada bulan
Januari-Desember 2021
No Rasionalitas Jumlah Persentase (%)
1 Rasional 282 96.25
2 Tidak Rasional 11 3.75
Total 293 100

Penggunaan obat yang rasional dalam konteks biomedis mencakup beberapa kriteria
seperti, tepat indikasi, tepat penderita, tepat obat, tepat regimen yang meliputi dosis, frekuensi
pemberian, rute pemberian dan lama pemberian, waspada efek samping. Tepat indikasi dikatakan
apabila keputusan untuk memberikan resep secara keseluruhan didasarkan oleh alasan medis dan
farmakoterapi sebagai alternatif pengobatan yang terbaik. Keputusan ini tidak boleh dipengaruhi
oleh alasan nonmedis seperti permintaan pasien, atau menolong rekan kerja. Penggunaan
antibiotik pada pasien harus didasarkan pada diagnosa, anamnesa spesifik, dan pemeriksaan fisik
yang sederhana, karena jika penyebab infeksi diketahui maka akan lebih mudah dalam proses
penanganannya. Tidak semua penyakit ISPA mendapatkan terapi antibiotik, ISPA yang non
pneumonia tidak disarankan diberi antibiotik.
Dari hasil evaluasi ini ditemukan ketidaktepatan indikasi sebesar 3.75 %. Penilaian
evaluasi ketidaktepatan indikasi sebesar 3.75% secara langsung menyebabkan ketidaktepatan
pada tepat obat, tepat pasien, tepat regimen serta waspada efek samping, sedangkan yang sesuai
(tepat indikasi) adalah sebanyak 96.25%. Penyebab utama ketidaksesuaian penggunaan
antibiotik ini adalah terapi tanpa indikasi, yaitu pasien diberikan antibiotik padahal tidak ada
indikasi yang jelas.
Tepat obat adalah penentuan kesesuaian obat yang diresepkan dengan diagnosis yang
ditegakkan oleh kemampuan dan pengalaman dokter berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah. Dari
hasil penelitian ini dapat dilihat antibiotik yang digunakan di Puskesmas Wirosari I sudah sesuai
dengan jenis antibiotik yang ada pada standar Pharmaceutical Care untuk penyakit ISPA. Di
dapat 96.25% data rekam medik pasien sudah memenuhi syarat tepat obat. Untuk pemberian
antibiotik seharusnya diberikan dari lini pertama terlebih dahulu untuk mengurangi efek samping
resistensi. Amoxicilin merupakan antibiotik lini pertama yang diberikan kepada pasien yang
membutuhkan terapi antibiotik. Antibiotik yang digunakan di Puskesmas Wirosari I berbeda-
beda antara satu pasien dengan pasien lainnya, perbedaan ini mungkin disebabkan karena
perbedaan pola pemikiran dokter tentang penegakan terapi empiris khususnya penggunaan
antibiotik berdasarkan gejala atau kondisi pasien.
Tepat regimen meliputi ketepatan dalam memberikan dosis, ketepatan dalam menentukan
frekuensi penggunaan obat, juga ketepatan dalam lama pengunaan suatu obat tersebut.
Pemberian obat yang harus diberikan kepada pasien untuk menghasilkan efek terapi yang
diharapkan tergantung kepada banyak faktor, antara lain usia, bobot badan, kelamin, besarnya
permukaan badan, beratnya penyakit, dan keadaan daya tangkis penderita dan faktor ADME
(absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eksresi. Adanya asumsi dari tenaga kesehatan (dokter,
perawat, farmasis) yang lebih menekankan keamanan obat dan meminimalisir efek toksik
terkadang sampai mengorbankan sisi efektivitas terapi.
Dari hasil evaluasi ketepatan regimen ini, didapat bahwa regimen penggunaan antibiotik
di Puskesmas Wirosari I sudah sesuai pada standarnya. Diperoleh data 96,25% telah memenuhi
ketepatan regimen yang meliputi tepat dosis, tepat frekuensi, dan tepat lama pemberian.
Sedangkan 3.75% lagi dikatakan tidak tepat regimen.

Waspada efek samping adalah suatu tindakan yang dilakukan tenaga kesehatan baik
dokter maupun tenaga farmasi dalam mewaspadai efek samping obat yang mungkin terjadi
terhadap pasien. Waspada efek samping dapat dilakukan dengan memberikan informasi-
informasi yang tepat kepada pasien, memberikan pendidikan terkait penyakit yang di deritanya,
seperti meminum antibiotik harus sampai habis agar tidak terjadi efek yang dapat merugikan
pasien seperti resistensi. Pada penggunaan antibiotik, efek samping yang paling sering terjadi
seperti reaksi hipersensitivitas dan resistensi. Pada penelitian ini penilaian waspada efek samping
diperoleh 96.25%. Evaluasi waspada efek samping ini dilakukan dengan menanyakan langsung
kepada tenaga medis yang ada di puskesmas, karena tidak tertulis di dalam data rekam medik
pasien.

5. KESIMPULAN
Dari hasil evaluasi Peresepan Obat Rasional pada pasien ISPA non pneumonia di
Puskesmas Wirosari I bulan Januari-Desember 2021 dapat disimpulkan bahwa peresepan obat
rasional sebesar 96.25% dan peresepan obat yang tidak rasional sebesar 3.75%. Standar dari
WHO untuk penggunaan antibiotik pada penyakit ISPA non Pneumonia adalah kurang dari 20
%. Jadi penggunaan antibiotik pada ISPA non Pneumonia di Puskesmas Wirosari I masih
memenuhi standar dari WHO.

6. REKOMENDASI
a. Dilakukan sosialisasi peresepan obat rasional pada penyakit ISPA non Pneumonia kepada
dokter dan tenaga medis lain
b. Dilakukan sosialisasi tentang resistensi antibiotik kepada dokter dan tenaga medis lain
c. Untuk mengurangi pemakaian antibiotik perlu kesadaran dan kerja sama sinergi antara
pemerintah, Dokter, apoteker dan praktisi medik lainnya dalam peningkatan penggunaaan
antibiotik untuk menghindari efek resistensi terhadap pasien ISPA.

Mengetahui Wirosari,31 Desember 2021


Kepala UPTD Puskesmas Wirosari I Pengelola Obat,

drg. Rendra Mayangsari Danik Ricatningsih,S.Farm.,Apt.


NIP. 19760103 200501 2 010 NIP.19830103 201101 2 006

Anda mungkin juga menyukai