Anda di halaman 1dari 10

DIPATI OEKOER=

Dalam mengkaji sosok seorang Dipati Ukur merupakan julukan untuk Bupati daerah Ukur atau Tatar
Ukur. Menurut kelompok saya sepak terjang Dipatu Ukur sendiri tidak bisa dikatakan sebagai seorang
pemberontak atau pengkhinat malah sejak awal Dipati Ukur sendiri telah diperintah kan oleh Susuhunan
Mataram untuk melaksanakan penyerangan terhadap kumpeni Belanda di Batavia. Saat itu dalam
penyerangannya Dipati Ukur bersama pasukan Mataram dariKartasura yang dipimpin oleh Tumenggung
Narapaksa. Ketidak sabaran Dipati Ukur untuk langsung menyerangBatavia(kumpeni Belanda) dengan
memerintahkan pasukan nya untuk menyerbu. Kekuatan pasukan Dipati Ukur tidak bisa mengimbangi
kekuatan yang akhirnya pasukan Dipati Ukur harus menderita kekalahan yang membuat Dipati Ukur
tertekan dan melarikan diri ke hutan sekaligus mengurungkan niatnya untuk menyerbu kembali ke
Batavia. Bertubi-tubitekanan yang harus dirasakan oleh Dipati Ukur yang membuat dia berniat bertemu
dengan Bupati Sunda Lainnya untuk menyerukan mengurungkan penyerbuan terhadap Batavia karena
percuma menyerang kumpeni yang memiliki kekuatanyang kuat dibandingkan kekuatan pasukan
Mataram. Karena seruan Dipati Ukur seolah-olah sebagai suatu pemberontakan atau pengkhinatan yang
akhirnya Mataram memerintahkan Tumenggung Narapaksa untuk menangkapDipati Ukur yang akhirnya
berhasil ditangkap dan dibawa ke Kartasura untuk diserahkan kepada Susuhunan Mataram.Dipati Ukur
dengan pasukan nya akhirnya mati dibunuh. Mengapa Dipati Ukur ini ada yang menganggap
pemberontak?Dan apa yang menyebabkan Dipati Ukur seolah-olah memberontak?. Yang pertama
adalah Dipati Ukur telah melakukan beberapa kali malakuakan penyerbuan terhadap Batavia dan
beberapa kali itulah kekalahan yang harus diterimanya yangmenyebabkan banyak kerugian terhadap
kekuatan pasukannya. Yang kedua adalah setelah kekalahan itu Dipati Ukur dengan pasukannya
melarikan diri ke Hutan tepat nya daerah Pegunungan, disitu Dipati Ukur merasakan ketakutan
akanhukuman yang diterima nya setelah pelariannya itu. Yang ketiga Dipati Ukur syirik dengan Mataran
karena hampir beberapa daerah pasundan atau tanah Sunda berhasil didudukinya yang membuat Dipati
Ukur merasa seperti dijajah olehkekuatan Jawa saat itu. Yang keempat suatu ketika Dipati Ukur sempat
meminta bantuan Raja Banten untuk membantunya melawan Mataran tetapi Raja Banten tak
mengubris Dipati Ukur, akhirnya Dipati Ukur mengutus beberapa pengikut untuk datang ke Batavia
menghadap kumpeni Belanda untuk diminta kesediaannya membantu Dipati Ukur danakhirnya kumpeni
Belanda menyanggupinya dengan kesepakatan dan syarat-syaratnya. Dan kesimpulannya adalahtekanan
dan rasa iri yang membuat Dipati Ukur tidak mau tunduk kepada Mataram itu dalam perspektif sejarah
lokal danuntuk sejarah nasional terbentuknya daerah Bandung yang dulunya sebagai Tatar Ukur tidak
bisa dipisahkan akan sosok Dipati Ukur yang dimana pemimpin yang asli berasal dari pasundan yang
memang ingin sekali tanah pasundan inidikuasai oleh orang pasundan sendiri tidak ingin diduduki oleh
kekuatan lain.

Kerajaan Galuh merupakan sebuah kerajan di bawah naungan Tarumanegara yang didirikan pada tahun
612 oleh Wretikandayun dan berhasil ditaklukan oleh kerajaan Islam Cirebon pada tahun 1528. Cerita
lengkapnya sendiri adalah bahwa pada tahun 1524, datanglah Fadhilah Khan ke Cirebon. Beliau adalah
putra dari Sultan Huda di Samudera Pasai.Orang Portugis menyebut Fadhilah Khan sebagai Faletehan.
Sebelum diangkat menjadi panglima prajurit Demak, olehSultan Trenggono, Faletehan diberi tugas
untuk menyebarkan Islam di daerah Kekuasaan Pajajaran yakni Cirebonmembantu Syarief Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati).Gabungan prajurit Demak dan Cirebon akhirnya pada tahun 1526 menguasai
Banten. Kemudian Sunda Kelapa danPelabuan Pajajaran pun dapat dikuasai pada tahun 1527, Kerajaan
Hindu Talaga (Majalengka) ditaklukan tahun 1529(panglima perangnya waktu itu adalah Pangeran
Walangsungsang). Dan puncaknya adalah pada tahun 1579 gabungan prajurit Demak, Cirebon dan
Banten ini akhirnya dapat meruntuhkan pusat kerajaan Sunda Pakuan. Dari beberapakerajaan penting di
tatar Sunda yang ditaklukan oleh pasukan Gabungan itulah akhirnya semakin membuka jalan
bagiMataram untuk menguasai tatar Sunda.Pada tahun 30 Mei 1619, VOC datang ke Jakarta yang waktu
itu bernama Batavia untuk mendirikan kongsi dagang disana. Kongsi dagang VOC ini cepat sekali maju
pesat karena VOC menerapkan sistem monopoli pada wilayahdagangnya bahkan hingga ke wilayah
dagang di daerah kekuasan Mataram. Sontak saja Sultan Agung yang berkuasawaktu itu menjadi geram
karena polah tingkah VOC ini membuat tataniaga Mataram menjadi tersendat. Merasa dirugikanoleh
pola tingkah VOC, Mataram pada tahun 1628 memutuskan untuk menyerang Batavia. Gagal, mencoba
kembali ditahun 1629 tetap gagal.#Pemberontakan Dipati Ukur Tanggal 12 Juli 1628, datang utusan
Mataram ke Timbanganten (Tatar Ukur). Membawa surat tugas dari Sultan Agung,untuk memerintahkan
Adipati Wangsanata atau disebut juga Wangsataruna alias Dipati Ukur, untuk memimpin pasukannya
dan menyerbu VOC di Batavia membantu pasukan dari Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628.
Dalamsurat tersebut ada semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu Pasukan Jawa di
Karawang sebelumnantinya bersama-sama menyerang Batavia. Tapi, setelah seminggu ditunggu
ternyata pasukan dari Jawa tak jugakunjung datang sementara logistic makin menipis. Karena logistic
yang kian menipis dan takut kalau mental prajuritkeburu turun maka Dipati Ukur pun memutuskan
untuk terlebih dahulu pergi ke Batavia menggempur VOC sambilmenunggu bantuan pasukan dari Jawa.
Baru dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur berperang melawanVOC, pasukan Jawa
datang ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan Sunda tak ada di sana. Tersinggung karenamerasa
tak dihargai, bukannya membantu pasukan Sunda yang sedang mati-matian menggempur VOC pasukan
Jawa inimalah memusuhi Pasukan Sunda. Ditengah kekalutan itu, datang utusan dari Dayeuh Ukur
membawa surat dari EndenSaribanon yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang mengabarkan bahwa
para gadis, istri-istri prajurit dan bahkandirinya sendiri pun hampir diperkosa oleh panglima utusan
Mataram dan pasukannya. Panglima dari Mataram itu sendiriada di Dayeuh Ukur dalam rangka
mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa Dipati Ukur tak mengindahkan
pesan dari Sultan Agung untuk menunggu pasukan Jawa di Karawang, para panglima ini
kemudianmelampiaskan kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan juga merampas harta
benda mereka.Mendengar kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan untuk
menghentikan perang dan kembali kePabuntelan (Paseurdayeuh Tatar Ukur, atau Baleendah -
Dayeuhkolot sekarang). Dipati Ukur yang marah dengankelakuan para utusan mataram itu sesampainya
di Pabuntelan langsung menghabisi para utusan Mataram itu. Sayangnya,dari semua utusan itu ada satu
orang yang lolos dari kematian dan kemudian melapor kepada Sultan Agung perihal apayang dilakukan
oleh Dipati Ukur terhadap teman-temannya.

Dalam ‘Nagara Karta Bumi’ disebutkan bahwa salah satu watak Sultan Agung adalah jika memberi tugas
kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang
bersangkutan akan dihukum mati.Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun agar terhindar dari
hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukanMataram bisa gagal menaklukan VOC. Semua
kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati Ukur. Sultan Agung punmurka karena bagaimana pun juga
mundurnya Dipati Ukur dari medan perang merupakan kerugian besar bagi Mataram.Intinya, penyebab
kalahnya Mataram adalah karena mundurnya Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat
dan mau memberontak kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak maka Dipati
Ukur pun oleh Sultan Agung pantas dihukum mati. Aklhirnya Sultan Agung pun menyuruh Cirebon untuk
menangkap DipatiUkur hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur itu dipimpin langsung oleh
Tumenggung Narapaksa dari Mataram.Dari kenyatan itu, Dipati Ukur kemudian sadar bahwa dirinya
sejak sekarang harus menghadapi Mataram. Kekuatan pundi susun. Dipati Ukur mulai melobi beberapa
bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi Kabupaten yang mandiri.Ajakan ini menimbulkan pro
dan kontra. Sebagian ada yang setuju seperti Bupati Karawang, Ciasem, Sagalaherang,Taraju, Sumedang,
Pamanukan, Limbangan, Malangbong dan sebagainya. Dan sebagian laginya tidak setuju. Di antarayang
tidak setuju itu adalah Ki Somahita dari Sindangkasih, Ki Astamanggala dari Cihaurbeuti, dan Ki
Wirawangsa dariSukakerta.Belum juga Dipati Ukur berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan
kabupaten mandiri yang lepas dari kekuasanMataram tiba-tiba bagus Sutaputra, salah satu pemuda
yang sakti mandraguna (putra dari bupati Kawasen, wilayahGaluh) yang merupakan algojo yang dimintai
tolong oleh Tumenggung Narapaksa keburu datang untuk menangkapnya.Terjadilah pertarungan sengit
antar keduanya (adikabarkan hingga 40 hari 40 malam). Setelah semua tenaga terkurasakhirnya Dipati
Ukur pun dapat diringkus kemudian di bawa ke Cirebon untuk diserahkan ke Mataram. Dipati Ukur
punakhirnya di hukum mati di alun-alun Mataram dengan cara dipenggal kepalanya.Sepeninggal Dipati
Ukur wafat, kekuasan Mataram di tatar Sunda pun kian kukuh. Bahkan di wilayah pesisir utara, banyak
pasukan Mataram yang tak kembali lagi ke Mataram dan lebih memilih memperistri penduduk
setempat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup para prajurit ini kemudian banyak yang membuka lahan
sawah terutama di daerah Karawang, berbeda dengan kebiasaan masyarakat Sunda waktu itu yang
umumnya berkebun. Mungkin, inilah yang pada akhirnyasampai sekarang Karawang terkenal dengan
sawahnya dan menjadi salah satu lumbung padi di Jawa Barat.
(http://www.bandungkab.go.id/arsip/2413/sejarah-berdirinya-kabupaten-bandung)

Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan "Tatar Ukur". Menurut
naskah SadjarahBandung, sebelum Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah
Kerajaan Timbanganten denganibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah dominasi Kerajaan
Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15,Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun
temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur.Pada masa pemerintahan Dipati Ukur,
Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat,
terdiri atas sembilan daerah yang disebut "Ukur Sasanga".Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh
(1579/1580) akibat gerakan Pasukan Banten dalam usaha menyebarkan agamaIslam di daerah Jawa
Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus KerajaanPajajaran.
Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-
1608),dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota Sumedang sekarang.
Wilayah kekuasaankerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh
(sekarang bernama Ciamis).Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa,
anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya,Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak
tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun berubahdari kerajaan menjadi Kabupaten dengan
nama Kabupaten Sumedang. Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian
Barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni yang berkedudukan
diBatavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan
Kompeni dan konflik dengan Kesultanan Banten.Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung
mengangkat Raden Aria Suradiwangsa menjadi Bupati Wedana(Bupati Kepala) di Priangan (1620-1624),
dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal dengansebutan Rangga Gempol I. Tahun
1624 Sultan agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan daerahSampang (Madura).
Karenanya, jabatan Bupati Wedana Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I pangeranDipati
Rangga Gede. Tidak lama setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati Wedana,
Sumedangdiserang oleh Pasukan Banten. Karena sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang,
Pangeran Dipati RanggaGede tidak dapat mengatasi serangan tersebut.Adipati Ukur Akibatnya, ia
menerima sanksi politis dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram.Jabatan
Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia
darikekuasaan Kompeni. Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu
pasukan Matarammenyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati
Ukur menyadari bahwa sebagaikonsekwensi dari kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang
diterima oleh Pangeran Dipati Rangga Gede,atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karena itu Dipati
Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadapMataram. Setelah penyerangan terhadap
Kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalantugasnya. Tindakan Dipati Ukur
itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa
KerajaanMataram.Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya dimungkinkan,
antara lain karena pihak Mataram sulituntuk mengawasi daerah Priangan secara langsung, akibat
jauhnya jarak antara Pusat Kerajaan Mataram dengan daerahPriangan. Secara teoritis, bila daerah
tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka kekuasaan pusat di daerah itusangat lemah. Walaupun
demikian, berkat bantuan beberapa Kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya
dapatmemadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur
tertangkap di GunungLumbung (daerah Bandung) pada tahun1632. Setelah "pemberontakan" Dipati
Ukur dianggap berakhir, Sultan Agungmenyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada
Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas darihukumannya. Selain itu juga dilakukan reorganisasi
pemerintahan di Priangan untuk menstabilkan situasi dan kondisidaerah tersebut. Daerah Priangan di
luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung,Kabupaten
Parakanmuncang dan Kabupaten Sukapura dengan cara mengangkat tiga kepala daerah dari Priangan
yangdianggap telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur.Silsilah Prabu Siliwangi - Dipati Ukur
Ketiga orang kepala daerah dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti diangkat menjadi
mantri agung(bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Tanubaya sebagai bupati
Parakanmuncang dan NgabehiWirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung
Wiradadaha. Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan berdasarkan "Piagem Sultan Agung", yang
dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9 Muharam Tahun Alip(penanggalan Jawa). Dengan demikian,
tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari jadi KabupatenBandung tetapi sekaligus
sebagai hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.Samudera IndonesiaBerdirinya
Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi perubahan terutama dalam bidang
pemerintahan.Daerah yang semula merupakan bagian (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan
Sunda-Pajararan kemudianSumedanglarang) dengan status yang tidak jelas, berubah menjadi daerah
dengan status administrative yang jelas, yaituKabupaten. Setelah ketiga bupati tersebut dilantik di pusat
pemerintahan Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing. Sajarah Bandung (naskah)
menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumeggung Wiraangunangun beserta pengikutnya dari Mataram
kembali ke Tatar Ukur. Pertama kali mereka datang ke Timbanganten. Di sana bupatiBandung
mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenggung Wiraangunangun bersama rakyatnya membangun
Krapyak,sebuah tempat yang terletak di tepi Sungat Citarum dekat muara Sungai Cikapundung, (daerah
pinggiran KabupatenBandung bagian Selatan) sebagai ibukota Kabupaten. Sebagai daerah pusat
Kabupaten Bandung, Krapyak dan daerahsekitarnya disebut Bumi Tatar Ukur Gede.Wilayah
administrative Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir abad ke-17), belum
diketahuisecara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu tidak/belum ditemukan.
Menurut sumber pribumi,data tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa daerah antara lain
Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten,Kahuripan, Sagaraherang, dan sebagian Tanah
medang.Boleh jadi, daerah Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura
dan Galuh, yang semulamerupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati
Ukur, merupakan wilayah administrativeKabupaten Bandung waktu itu. Bila dugaan ini benar, maka
Kabupaten Bandung dengan ibukota Karapyak, wilayahnyamencakup daerah Timbanganten, Gandasoli,
Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga,Kopo, Ujungberung dan lain-
lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang dan Tanahmedang.Kabupaten Bandung sebagai salah satu
Kabupaten yang dibentuk Pemerintah Kerajaan Mataram, dan berada di bawah pengaruh penguasa
kerajaan tersebut, maka sistem pemerintahan Kabupaten Bandung memiliki sistem
pemerintahanMataram. Bupati memiliki berbagai jenis symbol kebesaran, pengawal khusus dan prajurit
bersenjata. Simbol dan atributitu menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh Bupati atas
rakyatnya. Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan oleh pemilikan hak-hak
istimewa yang biasa dmiliki oleh raja. Hak-hak dimaksud adalahhak mewariskan jabatan, hak memungut
pajak dalam bentuk uang dan barang, hak memperoleh tenaga kerja (ngawula),hak berburu dan
menangkap ikan dan hak mengadili.Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa
Mataram, maka tidaklah heran apabila waktu itu BupatiBandung khususnya dan Bupati Priangan
umumnya berkuasa seperti raja. Ia berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya.Sistem pemerintahan dan
gaya hidup bupati merupakan miniatur dari kehidupan keraton. Dalam menjalankan tugasnya, bupati
dibantu oleh pejabat-pejabat bawahannya, seperti patih, jaksa, penghulu, demang atau kepala cutak
(kepaladistrik), camat (pembantu kepala distrik), patinggi (lurah atau kepala desa) dan lain-
lain.Kabupaten Bandung berada dibawah pengaruh Mataram sampai akhir tahun 1677. Kemudian
Kabupaten Bandung jatuhketangan Kompeni. Hal itu terjadi akibat perjanjian Mataram - Kompeni
(perjanjian pertama) tanggal 19-20 Oktober 1677. Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), Bupati
Bandung dan Bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukansebagai penguasa tertinggi di Kabupaten,
tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni.Sistem pemerintahan Kabupaten padadasarnya tidak mengalami
perubahan, karena Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui kekuasaan Kompeni,dengan
jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Dalam hal ini bupati tidak boleh mengadakan
hubungan politik dan dagang dengan pihak lain. Satu hal yang berubah adalah jabatan bupati wedana
dihilangkan. Sebagai gantinya,Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai pengawas (opzigter)
daerah Cirebon - Priangan (CheribonschePreangerlandan).Salah satu kewajiban utama Bupati terhadap
kompeni adalah melaksanakan penanaman wajib tanaman tertentu, terutamakopi, dan menyerahkan
hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebut Preangerstelsel. Sementara itu bupati wajib memelihara
keamanan dan ketertiban daerah kekuasaannya. Bupati juga tidak boleh mengangkat atau memecat
pegawai bawahan bupati tanpa pertimbangan Bupati Kompeni atau penguasa Kompeni di Cirebon. Agar
bupati dapatmelaksanakan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik, pengaruh bupati dalam bidang
keagamaan, termasuk penghasilan dari bidang itu, seperti bagian zakat fitrah, tidak diganggu baik bupati
maupun rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya ditentukan oleh
Kompeni.Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni - VOC akhir tahun 1779, Kabupaten Bandung
beribukota di Krapyak. Selamaitu Kabupaten Bandung diperintah secara turun temurun oleh enam
orang bupati. Tumenggung Wiraangunangun(merupakan bupati pertama) angkatan Mataram yang
memerintah sampai tahun 1681. Lima bupati lainnya adalah bupatiangkatan Kompeni yakni
Tumenggung Ardikusumah yang memerintah tahun 1681-1704, Tumenggung Anggadireja I(1704-1747),
Tumenggung Anggadireja II (1747-1763), R. Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763-
1794) dan R.A. Wiranatakusumah II yang memerintah dari tahun 1794 hingga tahun 1829. Pada masa
pemerintahan Bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak
ke Kota Bandung.

Dipati Ukur; Pahlawan Anti-Kolonisasi Tanah Pasundan [28]: Tugas Hidup Mati Nyimas Utari

Sebuah Novel Menyambut Hari Jadi Kab Bandung ke-378

bb1 Saturday, May 18, 2019

2 4 minutes read

Sepasang agen telik sandi terkemuka Mataram, Dom Sumuruping Mbanyu, sudah masuk menyusup ke
dalam benteng VOC di Batavia

Balebandung.com – Sebenarnya, selain mengutus Aria Wirasaba untuk membangun jaringan logistik,
tiga tahun kemudian Sultan Agung pun telah mengutus ‘pasukan’ lain secara diam-diam memasuki
Batavia. Itu terjadi pada tahun 1627. Tugasnya sederhana, pelaksanaannya yang mempertaruhkan jiwa
raga, hidup-mati: membunuh Murjangkung sekeluarga!

Saat itu Kanjeng Sultan meminta pimpinan lembaga telik sandinya Dom Sumuruping Mbanyu [1], Raden
Bagus Wonoboyo, untuk mempersiapkan agen yang akan menyusup diam-diam ke dalam benteng VOC
di Batavia.

“Wonoboyo, terserah bagaimana caramu, susupkan orang-orangmu ke dalam rumah Murjangkung.


Bunuh dia, dan bawa kepalanya ke mari!” seru Kanjeng Sultan, memerintah setahun lalu.

Sebulan kemudian pimpinan tertinggi lembaga intel itu menghadap Sultan. Bersamanya menghadap
Tumenggung Kertiwongso dari Tegal dan agen telik sandi terkemuka asal Samudra Pasai yang telah lama
mengabdi kepada Mataram, Mahmuddin. Bagus juga membawa serta putrinya, Nyimas Utari
Sandijayaningsih.
“Hamba telah mendidiknya sebagai telik sandi terbaik, Kangjeng Gusti,” kata Bagus Wonoboyo saat
Sultan bertanya buat apa membawa putrinya menghadap.

“Baiklah,” kata Sultan Agung. “Apa yang terbaik menurutmu, lakukanlah. Yang jelas, pada saatnya aku
minta kepala Murjangkung diserahkan di atas nampan. Atau kepalamu!”

Tahun itu pula kelompok pertama pasukan Mataram itu bergerak. Mereka membangun basis jauh dari
Batavia, namun masih cukup strategis untuk mengamati perkembangan kota benteng itu. Mereka
membuka hutan di bantaran kali Sunter di wilayah Pakuan, sebuah wilayah bekas pusat kerajaan tua
Pajajaran. Dari sana, perjalanan ke Batavia bisa ditempuh dengan tiga perempat hari berkuda.

Bertugas bersama, timbullah rasa cinta di antara Nyimas Utari dengan Mahmuddin. Menikahlah
keduanya dengan tugas awal yang kian mengukuhkan kedekatan keduanya. Mahmuddin untuk tugas
tersebut mendapatkan nama sandi ‘Wong Agung Aceh’. Memang, mereka mengawali penyusupan pun
dari Aceh.

Pasangan itu berhasil memasuki benteng VOC dengan kamuflase sebagai pebisnis. Tak hanya itu,
kepandaian menyanyi dan suara emas Nyimas Utari pun menjadi modal penting penyamaran keduanya.
Suara Nyimas Utari begitu disukai Eva Ment, istri Murjangkung. Kedekatan itu pula yang membuat kapal
dagang suami-istri itu kemudian disewa VOC untuk mengangkut meriam dari Madagaskar.

Setahun kemudian, kedekatan itu mulai membuahkan harapan akan keberhasilan tugas mereka.
Keberhasilan untuk menjaga pula batang leher ayah dan mertua, yakni Ki Bagus Wonoboyo, tetap pada
tempatnya. Nyimas Utari kian berhasil menjalin kedekatan dengan keluarga Murjangkung. Pada 1628 itu
Nyimas Utari sudah dipercaya dan memiliki akses ke kastil, bergaul sangat akrab dengan Eva Mentdan
anak-anaknya!

Jadi, dengan segala persiapan itu, menurut Sultan Agung inilah saatnya Mataram menggempur
Kompeni, bangsa bule yang jumawa itu!

***

Dipati Ukur tepekur membaca surat yang baru diterimanya dari utusan Keraton Mataram. Inilah hari
yang sejak lama ia sadari akan datang. Hari saat Keraton Mataram menagih janji setianya untuk berbakti.
Hari itu 12 Juli 1628.
Surat itu sederhana saja. Sultan Agung memintanya mengumpulkan pasukan dari semua kabupaten di
Priangan yang menjadi bawahannya. Pasukan yang ia pimpin itu akan bergabung di Karawang dengan
pasukan Mataram yang sudah mulai diberangkatkan dari ibukota. Gabungan pasukan itulah yang akan
bersama-sama menyerbu Batavia.

“Dua bulan lalu pasukan Mataram sudah mulai bergerak,” bunyi surat tersebut.

“Hm, kalau perjalanan jalan kaki menempuh waktu tiga bulan, itu artinya serbuan akan dilaksanakan
pada bulan yang disebut orang-orang Olanda itu bulan Agustus,” Ukur membatin.

“Baiklah, Utusan,” kata Dipati Ukur kepada caraka yang datang dari Mataram. “Ganti kudamu dengan
kuda yang masih segar di istal. Segera kembali ke Mataram. Katakan kepada Susuhunan Mataram bahwa
wadya bala Tatar Ukur dan Sumedang siap bergabung dengan prajurit Mataram pada pekan kedua
Agustus di Karawang.”

“Sendika Gusti!” kata Caraka tersebut. Kepada salah seorang pejabatnya Ukur memerintahkan agar
kedua caraka itu diberi bekal uang yang lebih dari cukup untuk perjalanan pulang.

“Sampaikan salam dariku untuk Kanjeng Sultan!” perintah Ukur manakala keduanya telah siap di atas
pelana kuda-kuda yang masih segar, siap membawa mereka kembali ke Mataram.

“Sendika, Gusti!” Setelah menyembah, kedua utusan itu segera melompat ke punggung kuda. Mereka
berdua mengangguk hormat sebelum kemudian memacu kuda cepat-cepat ke arah wetan.

Kepergian kedua utusan tersebut meninggalkan kepulan debu yang mempercepat hilangnya mereka dari
pandangan. Begitu punggung mereka tak lagi terlihat, Ukur segera memanggil seorang hulubalang.

“Senapati, segera pilih 10 orang utusan. Sebar mereka ke 22 wilayah Kandage Lante dan 18 umbul yang
ada di wilayah kita. Perintahkan semua umbul dan kandaga lante untuk mengumpulkan pasukan.
Sepuluh hari lagi semua harus berkumpul di alun-alun Tatar Ukur, sebelum kita bersama-sama
berangkat ke Karawang,” kata Ukur. Perintahnya jelas, membuat hulubalang itu tak harus bertanya lebih
jauh.
“Kaula Nun Gusti, mangga! Siap!“ katanya. Setelah unjuk sembah, segera ia berlari hendak melakukan
tugasnya.

Sore itu, sambil menunggu maghrib Ukur bersama Nyimas Saribanon menikmati senja. Layung di langit
barat tampak megah memulas langit dengan sepuhan warna emas. Burung-burung pulang ke sarang,
digantikan kepak sayap kelelawar yang satu persatu tampak keluar beterbangan.

Kelelawar pemangsa serangga saat itu pun sudah bisa mulai berpesta menyambari serangga-serangga
yang beterbangan. Capung terutama. Sementara kelelawar buah belum bisa memakan buah-buahan,
harus bersabar sementara waktu menunggu datangnya malam.

“Nyai, hari ini datang utusan Mataram, meminta Kakang membantu mereka menyerbu Batavia,” kata
Ukur. Diraihnya sepotong pisang yang digoreng dengan minyak kelapa buatan Galuh. Wanginya khas,
menunjukkan gorengan itu menggunakan minyak buatan wilayah yang kaya pohon kelapa itu. Lain
dengan minyak buatan daerah lain, minyak kelapa Galuh tak pernah membuat gorengan berbau tengik.

“Iya, Dinda melihatnya tadi. Begitu tergesa, hingga setiap orang pun tahu ada persoalan besar yang
dibawanya dari Keraton Wetan,” kata Nyimas Saribanon. “Sebenarnya, bisakah seandainya Kakang
menolak perintah Sultan?” Nyimas Saribanon bertanya.

Ukur tersenyum. Ia tahu istrinya itu tak menginginkan ia pergi jurit. Apalagi jurit untuk kepentingan
Sultan Agung yang terkenal tak pernah mau menerima kegagalan. Tampaknya cerita tentang
dipancungnya Adipati Rangga Gempol karena gagal menyerang Kerajaan Madura telah membuatnya
trauma.

“Bisa saja, mengapa tidak?” kata Ukur.

“Nah, lalu mengapa Kakang tidak langsung menolak?” Paras muka Nyimas Saribanon berkerut,
mempertanyakan sikap suaminya.

Ukur kembali tersenyum. Ia tahu betapa pun istrinya itu istri seorang prajurit, tetap saja ibu rumah
tangga yang tak banyak bersentuhan dengan urusan politik dan tata negara.
“Karena itu artinya sama dengan langsung meminta Kanjeng Sultan menyerang dan membunuh kita,”
kata Ukur.

“Apalagi yang diminta Kanjeng Sultan juga masuk akal, meminta bantuan untuk menyerang orang-orang
Olanda kafir yang watak jahatnya tak kurang dengan sebagian orang-orang Wetan. Belum lagi Kakang
pun terikat janji untuk mengabdi. Apa namanya Kakang sebagai prajurit dan nonoman Sunda bila
mengabaikan janji yang pernah diucapkan lidah, keluar dari mulut? Kakang harus menepati janji setia.
Itu aturan sinatria, Rayi.”

Nyimas Saribanon terdiam. Hatinya gundah. Bagaimana pun ia tahu, perang, apalagi menghadapi
senjata bedil yang bisa menjatuhkan musuh jauh lebih dari jangkauan anak panah, bukanlah sebuah
kondisi yang bisa memastikan pelakunya selalu dapat kembali pulang. Tak jarang, yang pulang hanya
nama, karena jasad telah menjadi mayat, ngababatang[2] di medan juang.

“Jangan sedih, Rayi. Sejak awal kita membangun rumah tangga bukankah kemungkinan ini telah Kakang
bicarakan?”

Nyimas Saribanon mengangguk. Ia menghela nafas panjang.

“Semoga saja Allah memberi kemenangan untuk Kakang,” kata dia, setelah sekian lama terdiam.

“Terima kasih, Rayi. Kakang berharap Rayi bisa tegar. Bukan hanya Kakang yang berangkat ke medan
perang, melainkan juga seluruh prajurit Ukur dan Sumedang. Bagaimana nanti, bila Rayi, istri Kakang
yang akan memimpin jurit para prajurit, justru menunjukkan kesedihan? Yang terbaik adalah selalu
sabar, doakan Kakang dalam setiap shalat Rayi,” kata Ukur.

Istrinya mengangguk, meski matanya kini terlihat mulai basah. Nyimas Saribanon menubruk Ukur,
menangis di pangkuan suaminya. Dipati Ukur terus membesarkan hatinya sambil tak henti mengelus-
ngelus rambut istrinya, hingga adzan maghrib berkumandang. [bersambung/gardanasional.id]

1] Arti harfiahnya jarum yang dimasukkan ke dalam air

[2] Terbujur (Sunda)

https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sumedang_Larang#Dipati_Ukur

Anda mungkin juga menyukai