Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

Majapahit adalah nama yang tidak asing lagi dalam perjalanan panjang sejarah Indonesia
sebagai sebuah kerajaan, Majapahit terhitung sebagai salah satu kerajaan terlama dalam periode
klasik Hindu-Buddha yang pernah berdiri di Nusantara, dampak dari rentan waktu yang lama
tersebut banyak sekali gambaran dari kejayaan hingga keruntuhan Majapahit yang sangat menarik
sebagai kajian sejarah. Majapahit menjadi sebuah titik tolak kebanggaan dan semangat persatuan
bangsa Indonesia sekarang ini. Karena inspirasinya, dari sebuah negara kecil dapat menjadi sebuah
kerajaan maha luas yang disegani. Namun banyak sekali ternyata fakta sejarah Majapahit yang
belum pernah kita dengar sebelumnya. Berikut ini akan saya bahas satu per satu beberapa fakta
sejarah majapahit yang unik dan jarang diungkap.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah kerajaan Majapahit?


2. Di mana letak geografis dan Ibu Kota kerajaan Majapahit?
3. Bagaimana perkembangan politik kerajaan Majapahit?
4. Bagaimana kemajuan atau peradaban kerajaan Majapahit?
5. Bagaimana kemunduran dari kerajaan Majapahit?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui sejarah kerajaan Majapahit.


2. Mengetahui letak geografis dan Ibu Kota kerajaan Majapahit.
3. Mengetahui perkembangan politik kerajaan Majapahit.
4. Mengetahui kemajuan kerajaan Majapahit.
5. Mengetahui kemunduran kerajaan Majapahit.

1.4 Manfaat

1. Untuk memberikan informasi/pelajaran tentang peradaban kerajaan Majapahit guna


sebagai referensi atau kajian lain pada umumnya.
2. Untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia I di Jurusan
Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati
Bandung.

1
BAB II
KAJIAN KONSEPTUAL
2.1 Hayam Wuruk adalah Ia diberi gelar Sri Rajasanagara, dan dikenal dengan nama Bhra
Hyang Wekasing Sukha. Ketika ibunya Trribhuwanottunggadewi masih memerintah.
2.2 Gajah Mada adalah Patih Hamangkhubumi
2.3 Peradaban adalah kebudayaan yang sudah tinggi tingkatannya.
2.4 Sumpah Palapa adalah sumpah yang diucapkan oleh patih Gajah Mada untuk menyatukan
Nusantara dalam politiknya.
2.5 Nusantara adalah sebutan sebelum terbentuknya negara Indonesia
2.6 Kitab Nagarakertagama adalah kitab ini dibuat Mpu Prapanca ketika kerajaan Majapahit
berdiri.
2.7 Kitab Pararaton adalah kitab yang ditulis tentang para raja-raja dan kehancuran kerajaan
Singasari
2.8 Raden Wijaya adalah anak dari Dyah Lembu Tal, seorang perwira Kerajaan Singasari putra
dari Narasingamurtti.

2
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Sejarah Kerajaan Majapahit
3.1.1 Sejarah terbentuknya kerajaan Majapahit

Berakhirnya kerajaan Singasari, maka pemerintahan beralih ke tangan Raja Jayakatwang,


Raja Gelang-Gelang. Setelah berhasil mengalahkan kerajaan Singasari rupa-rupanya
Jayakatwang beristana di Daha sebagai ibu kota kerajaan Kediri. Sebagai salah seorang
keturunan penguasa Singasari, Wijaya merasa bertanggung jawab untuk merebut kembali
takhta kerajaan, serta menegakkan kembali wangsa Rajasa.

Secara genealogis menurut negarakertagama, Wijaya adalah anak dari Dyah Lembu Tal,
seorang perwira Kerajaan Singasari putra dari Narasingamurtti. Oleh karena itu Wijaya dengan
Raja Kertanegara adalah keponakan tingkat ke dua. Menurut sumber paraton, Wijaya diambil
menantu oleh Kertanegara, dikawinkan dengan putri yang tertua dan purti yang termuda.
Namun menurut negarakertagama, purti Raja Kertanegara keempat-empatnya dinikahkan
senuanya oleh Wijaya. Baik negarakrtagama dan prasasti Sukamrta (1296M), menyebut
keempat putri Raja Kertanegara secara berurutan sebagai berikut: Sri Prameswari Dyah
Tribhuweswari, Sri Mahadewi Dyah Narendraduhita, Sri Jayendradewi Dyah Prajnaparamita,
dan Sri Rajendradewi Dyah Gayatri.

Kitab paraton menceritakan bagaimana jalannya peristiwa kehancuran Kerajaan Singasari


serta bagaimana ia menyelamatkan diri hingga akhirnya dapat merebut kembali takhta kerajaan
dari tangan Jayakatwang. Sementara prasasti Kudadu (1294M) yang dikeluarkan oleh Wijaya,
terutama lempeng Iva s.d VI a (Yamin, 1962a:207-208), menceritakan masa-masa akhir
Kerajaan Singasari sampai ia berhasil lolos dari kejaraan musuh dan bersembunyi di Desa
Kudadu, hingga akhirnya menyebrang ke pulau Madura.

Wijaya dan Ardharaja (putra Jayakatwang yang diambil menantu oleh Raja Kertanagara)
berangkat sampai ke Tumapel menuju utara, atas perintah Raja Kertanegara yang mendengar
kabar datangnya bala tentara musuh. Sampai di pedukuhan Kedung Peluk (sebelah timur
Wonorejo-Pasuruhan), maka wilayah yang pertama kali bertemu musuh. Tentara Wijaya
bertempur melawan tentara musuh, dan musuhpun kalah serta melarikan diri, dengan
menderita kekalahan.

Sesudah itu Wijaya dan tentaranya bergerak menuju lembah, tetapi di sana tidak ada
musuh. Mereka lalu bergerak ke arah barat menuju Batang, di sana mereka bertemu lagi dengan
musuh, tetapi musuh mundung dengan tidak melawan sama sekali. Setelah melewati Batang,
sampailah Ijaya di Kapulungan, di sana ia bertemu lagi dengan musuh, maka bertempuralah
tentara Wijaya di sebelah barat Kapulungan, dan musuh mendapat kekalahan lalu melarikan
diri bercerai berai.

3
Wijaya dan tentaranya lalu menuju ke Rabut Carat, dan tidak beberapa lama di Rabut Carat,
dari arah barat datang tentara musuh. Wijaya dan tentaranya menyerang tentara musuh
tersebut, sehingga musuh pun lari setelah mendapatkan kerugian besar. Tetapi dalam keadaan
yang demikian itu tidak lama kelihatanlah bendera musuh berkibar-kibar di sebalah timur Desa
Hanyiru, merah dan putih warnanya. Melihat bendera musuh yang berkibar-kibar tersebut,
seketika itu pula Ardharaja menyarungkan senjatanya, dan dengan tindakan memalukan ia
berlari ke arah Kapulungan dengan mengkhianati Wijaya. Oleh sebab itu rusaklah tentara
Wijaya. Tetapi Wijaya tetap setia kepada raja Kertanegara. Itulah sebabnya Wijaya sementara
bersembunyi di Rabut Carat. Setelah keadaan aman maka Wijaya dan tentaranya yang masih
tersisa pergi ke utara menuju Pamwatan Apajeg, di sebelah utara sungai.

Dipihak Wijaya, waktu itu masih ada sekitar 600 pasukan. Keesokan harinya tentara musuh
berhasil menyusul Wijaya, tentara Wijaya menyongsong mereka. Pertempuran pun terjadi,
banyak tentaranya yang mati dan melarikan diri meninggalkannya, sementara Wijaya mundur
memisahkan diri. Dalam mengundurkan diri, Wijaya berunding dengan para pengikutnya yang
masih menyertainya. Menurut pendapatnya ia harus pergi ke Trung, untuk berunding dengan
akuwu disana, yaitu Rakyan Wuru Agraja, yang diangkat mwnjadi kuwu oleh Raja
Kertanegara, agar akuwu dapat membantunya dengan cara mengumpulkan orang-orang yang
ada di Trung. Semua menyetujui pendapat wijaya. Demikianlah pada malam hari Wijaya
melalui kulawan bergerak menuju ke Trung.

Di Kulawan Wijaya bertemu lagi dengan tentara musuh, ia dikejar, tetapi dapat meloloskan
diri dengan pergi ke arah utara ke daerah Kembang Sri, tetapi disana ia bertemu dan dikejar
oleh musuh. Wijaya dan sebagian tentaranya yang masih tersisa melarikan diri menyebrangi
sungai besar menuju utara. Pada saat itulah tentaranya banyak yang mati tenggelam, sedangkan
yang lain tertangkap musuh dan dibunuh dengan tombak, yang lainnya lari menyelamatkan
diri. Yang berhasil menyebrang ke utara adalah Wijaya dengan dua belas pengikutnya.

Siang hari sampailah mereka di desa Kudadu, maka oleh kepala Desa Kudadu mereka
dijamu, dan dicarikan tempat bersembunyi agar tidak ketahuan musuh. Pada akhirnya oleh
kepala Desa Kudadu diantarlah kejalan menuju Rembang, dari Rembang Wijaya dan beberapa
pengikutnya berperahu menuju madura.

Pararaton memberitahukan bahwa Wijaya datang di Pandakan (nama Kudadu tidak disebut
oleh pararaton), ia ditolong oleh ketua Desa Pandakan yang bernama Macan Kuping. Di siti ia
dijamu dan diberi perlindungan. Sampai-sampai anak buah Wijaya yang bernama Gajah Pagon
yang terkena tombak pahanya, ia disembunyikan ditengah ladang ilalang yang tidak diketahui
orang. Dari Pandakan itulah Wijaya dan pengikutnya pada malam hari menuju Datar, dan naik
perahu menuju Madura.

Gambaran perjalanan Wijaya tersebut juga secara singkat diberitakan dalam prasasti
Sukamerta (1296M) terutama lempeng XI. Prasasti ini memperingati dikukuhkannya daerah
Sukamrta sebagai swarantra bagi Panji Pati-pati muda. Alasan pemberian hak tersebut karena

4
Panji Pati-pati muda sangat berjasa kepada raja pada waktu raja ditinggalkan oleh Raja
Kertanegara. Maka terpaksalah Wijaya yang masih muda harus mengembara dalam hutan, naik
gunung, menyembrangi sungai dan lautan dengan menderita dalam segala hal (Yamin,
!962a:245)

Di Madura, Wijaya diterima baik-baik oleh Aryya Wiraraja. Dalam waktu dekat Aryya
Wiraraja mengusahakan agar Wijaya diterima menyerahkan diri ke Kadiri. Demikianlah
akhirnya Wijaya diterima baik oleh Jayakatwang di Kadiri, sehingga pada waktu Wijaya
meminta daerah Trik sebagai benteng pertahanan di daerah hilir sungai Brantas, permintaan
dikabulkan.
Pararaton menceritakan bahwa pembukaan hutan oleh Wijaya di wilayah Trik tersebut
dibantu oleh Aryya Wiraraja dengan masyarakat Madura, menjadi desa yang diberinya nama
Majapahit, karena hutan tersebut banyak tumbuhan (buah) maja yang rasanya pahit. Di desa
Majapahit yang baru itulah Wijaya berusaha menarik hari orang-orang yang datang ke sana,
baik dari Tumapel, Daha, dan Madura untuk bertempat tinggal.

Bertepatan waktu dengan masa pembentukan Desa Majapahit tersebut, menurut catatan
Cina dari Dinasti Yuan (Gronevelt, 1960:20-24), armada Cina yang diperintah oleh Kaisar
Kublai Khan bertolah dari C’uan-chou, armada tersebut akhirnya sampai di Pulau Kolan
(Biliton), dan berhenti untuk mengetur siasat perang. Ike Mise berangkat lebih dahulu dengan
500 orang dan 10 kapal lainnya berangkat melalui Karimon (Karimunjawa) menuju Tu-ping-
tsuh (Tuban). Sampai di Tuban, spatuh tentara melanjutkan pelayaran ke arah timur dibawah
pimpinan Shih-pi, menuju muara sungai Su-ga-lu (sedayu), namun menurut Heru Sukadri, Su-
ga-lu adalah Hujunggaluh (1976:34).

Dari Su-ga-lu, Ike Mise mengirim tiga perwira ke Majapahit. Tiga perwira tersebut diberi
perintah untuk menyampaikan pesan kaisar kepada Tuhan Pijaya (Wijaya). Jika tugas itu telah
dilaksanakan, segera diharapkan kembali dan menggabungkan diri dengan tentara lainnya,
yang segera akan berangkat ke Sungai Pat-sieh (Kali Mas). Ketiga perwira itu mamang segera
kembali dan memberitahu kepada Shih-pi bahwa Raja Jawa, Tuhan Pijaya bersedia tunduk
kepada kemauan kaisar. Namun Wijaya sedang dalam peperangan dengan Raja Kalang
(Gelang-gelang), yaitu Haji Katang (Haji Jayakatwang). Haji Jayatakyang telah membunuh
Haji Katamalaka (Kertanegara).
Sementara itu para prajurit Tartar telah membuat perkampungan di suatu tempat yang
strategis letaknya, yaitu muara sungai. Jika orang mudik menurutkan sungai itu, maka ia akan
sampai di Istana Raja Tumapan (Tumapel). Tempat tersebut diduduki setelah dapat
mengalahkan musuh yang menjaga ketat tempat tesebut (pasukan Kadiri).

Datanglah kemudian utusan dari Wijaya untuk memberitahukan bahwa tentara Raja
Jayakatwang mengejarnya sampai Majapahit. Itulah sebabnya Tuhan Pijaya menta bantuan.
Ike Mise segera berangkat ke Majapahit diiringi oleh tentaranya sampai Canggu. Kau shing

5
juga ikut ke Majapahit. Pada malam harinya ternyata datang serangan dari tentara Kadiri.
Serangan Datang dari tiga Jurusan, namun dengan mudah dapat dihancurkan oleh tentara
Tartar.

Dalapan hari kemudian Tartar mengadakan persiapan untuk menyerang Taha (Daha).
Tentara Tartar dibagi menjadi tiga pasukan. Satu pasukan berlayar menuju hulu sungai, satu
pasukan lagi di bawah pimpinan Ike Mise menuju Daha dari jurusan timur, sedangkan pasukan
Kau Shing menyerang dari jurusan barat. Telah ditatapkan bahwa pada hari yang keempat, tiga
pasukan tersebut akan bertemu di kota Daha, sementara tentara Majapahit bergerak di
belakangnya. Pada hari keempat itulah kota Daha diserang dari tiga penjuru. Istana
Jayakatwang dikepung, dan Jayaktwang menyerah. Menurut Pararaton, Raja Jayakatwang
dibawa oleh panglima tentara Tartar ke Benteng pertahanan mereka di Hujung Galuh, dan
ditawan di sana. Di dalam tempat ia ditawan, Raja Jayakatwang sempai mengubah sebuah
kakawin yang diberi nama Wukir Polaman, dan sesudah itu meninggal.
Empat belas hari kemudian ketika tentara Tartar yang sedang berangkat ke Majapahit dari
Daha untuk menerima hadiah, diserang oleh tentara Wijaya. Sepanjang jalan sekitar 300 li (157
km) sampai ke pelabuhan Pat-shieh, serangan tentara Wijaya tidak pernah berhenti.
Demikianlah akhirnya tentara Tartar yang sudah kelelahan tersebut dipaksa menghindari
peperangan berkepanjangan. Mereka bertolak dari Hujunggaluh pulang ke negerinya dangan
membawa beberapa tawanan dari Kadiri sekitar 100 orang, dan barang0barang lainnya, seperti
peta, daftar penduduk, perhiasan, kemenyan, minyak wangi, tenunan, serta surat berhuruf
emas, kejadian tersebut dicatat pada hari ke-24 bulan ke-4 tahun Cina, atau sama dengan 31
Mei 1293 M (Soekadri, 1976:91). Kaisar sangat marah dengan akhrir ekspedisi yang gagal
tersebut. Shih-pi dan Ike Mise mendapat hukuman, tetapi tidak lama kemudian diberi
ampunan. Hubungan dengan Jawa sempat berhenti, tetapi kemudian menjadi baik kembali
pada 1297. Karena pada tahun tersebut mulai datang utusan Jawa ke Cina, begitu pula 1298,
1300, dan 1308.
Dengan kembalinya armada Tartar ke negerinya, dengan sendirinya Jawa menjadi kosong.
Kesempatan inilah yang ditunggu oleh Wijaya untuk menobatkan dirinya menjadi Raja
Majapahit. Penobatan itu terjadi pada tanggal 15 bulan Karttika tahun 1215 S, atau 10
November 1293 M (Djafar, 1993). Wijaya menjadi Raja Majapahit dengan gelar Sri
Kertarajasa Jayawaardhana.

Tidak lama setelah penobatannya sebagai raja di Majapahit, pasukan yang dikirim raja
Kertanegara ke Melayu, kembali dengan membawa hasil yang gemilang. Raja Melayu
mempersembahkan dua orang putri, yaitu Dara Petak dan Dara Jingga. Kitab Pararaton
menyebutkan bahwa Dara Petak diambil Istri oleh Raja Kertarajasa, dan beranak Kalagemet.
Sementara Dara Jingga dikawinkan kepada seorang “Dewa”, dan beranak Tuhan Janaka yang
bergelar Sri Marmadewa, dan kemudian menjadi raja di Melayu dengan gelar Aji Mantrolot.

6
Pengikut-pengikut Raja Kertarajasa yang setia dan berjasa dalam perjuangan mendirikan
kerajaan Majapahit diberikan kesempatan untuk menikmati hasil perjuangannya. Mereka
diangkat mebjadi pejabat tinggi dalam kerajaan. Nama-nama yang disebut dalam Pararaton,
didapati pula dalam beberapa prasasti, seperti Aryya Wiraraja sebagai mantara
mahawiradikara, Pu Nambi sebagai rakryan mahapatih, Pu Sora sebagai rakyan mahapatih di
Daha. Ranggalawe diangkat menjadi adipati di Datar (Tuban). Pemimpin pasukan Melayu ke
dijadikan panglima perang dengan mendapat sebutan Kebo Anabrang.

Pengangkatan Nambi sebagai mahapatih di Majapahit, tampaknya menimbulkan rasa tidak


puas dari para pengikut raja Kertarajasa. Ranggalawe lah yang pertama kali menyatakan
kekecewaannya. Tidak segan-segan ia menyatakan sikapnya kepada Raja Kertarajasa.
Kekecawaan Ranggalawe tersebt semakin menjadi ketika ia berani menantang Nmbi di
hadapan Raja. Oleh karena itu ia kemudian pulang ke Tuban untuk menyusun kekuatan, maka
terjadilah suatu pertempuran yang dikenal dengan nama pemberontakan Ranggalawe.
Peperangan ini dicatat oleh Pararaton terjadi pada 1295 M. Setelah itu terjadi lagi peperangan
yang dilakukan oleh pengikut-pengikut Raja Kertarajasa dahulu, seperti Sora, Juru Demung,
dan Gajah Biru, namun mereka semua dapat ditumpas.

Mamang mengherankan, bagaimana para pengikut setia Raja Kertarajasa tersebut saling
mengangkat senjata untuk melakukan perlawanan terhadap raja? Ternyata itu bersumber pada
seseorang yang ambisius hendak menjadi pejabt tinggi. Dalam kitab Pararaton disebutkan
bahwa pemberontakan Ranggalawe dibakar oleh hasut seseorang bernama Mahapati. Ketika
peristiwa Sora, yang menghembuskan fitnah juga Mahapati. Juga terhadap peperangan yang
dilakukan oleh Nambi, Mahapati mejadi tikoh penting yang mengatur strategi dalam
menyerang benteng di Pajarakan. Demikianlah kiranya hilangnnya semua pengikut Raja
Kertarajasa sewaktu perjuangan dahulu memang disengaja, agar Mahapati dapat naik sebagai
pejabat tinggi kerajaan. Namun setelah peristiwa pemberontakan Kuti, diketahuilah bahwa
Mahapati yang suka menyebar fitnah dan mengadu domba. Akhirnya Mahapati ditangkap dan
dibunuh dengan cara di”celeng” (dibunuh seperti menbunuh babi hutan).
Menurut Nagarakertagama, Raja Kertarajasa Jayawarddhana meninggal pada 1309 M. Ia
dimakamkan di dalam pura, yang disebut Atahpura sebagai Jina (Buddha), dan Simping
(Sumberjati-Blitar) sebagai Siwa.

3.2 Letak geografis dan ibu kota kerajaan Majapahit


3.2.1 Lokasi awal pusat ibu kota kerajaan Majapahit

Majapahit merupakan salah satu kerajaan besar yang ada di Indonesia, dan di Jawa Timur
khususnya. Lokasi ibu kota kerajaannya dalam kitab Pararaton di sebutkan berada di daerah
Trik. Namun dari penemuan arkeologis ditemukan kompleks situs yang diduga besar sebagai
keraton Majapahit, berada di daerah Trowulan, Kabupaten Mojokerto sekarang. Adanya

7
daerah yang memiliki kemiripan nama dengan Trik, lokasi ibu kota awal masa pendirian
Majapahit, yaitu Kecamatan Tarik, yang terletak di Kabupaten Sidoarjo.1

Baru-baru ini diketahui bahwa sebuah organisasi yang dinamakan Perkumpulan Peduli
Majapahit telah sukses menentukan peta ibu kota kerajaan Majapahit. Disebutkan bahwa ibu
kota Majapahit berada di Jawa Timur, tepatnya berada di Mojokerto dan Jombang.2

Pembuatan peta ibukota ini didasarkan pada sketsa rekonstruksi kota Majapahit oleh Henry
MacLaine Pont yang merupakan seorang insinyur dari Belanda yang sangat tertarik pada situs
Trowulan dan kemudian mendirikan Museum Purbakala Trowulan pungkas Anam. Mengenai
peta ibu kota kerajaan Majapahit ini juga melibatkan beberapa ahli arkeologi dari Balai
Arkeologi Yogyakarta, Nurhadi Rangkuti. Situs bekas ibukota kerajaan Majapahit ini akan
dikembangkan menjadi kawasan Cagar Budaya Nasional, Pusat Wisata Budaya, Pusat Studi
Sejarah, Kepurbakalaan dan Kebudayaan.3

3.3 Perkembangan politik kerajaan Majapahit


3.3.1 Perkembangan Politik Kerajaan Majapahit
3.3.1.1 Pemerintahan Jayanegara

Sebelum Jayanegara naik tahta menggantikan ayahnya, ia sudah menjadi


Yuwaraja/Kumararaja di Daha. Gelar abhiseka-nya seperti yang terdapat pada Prasasti
Tunaharu (1323 M) adalah Sri Sundarapandyadewadhiswarana Maharajabhiseka
Wikramottunggadewa.

Pada masa pemerintahannya, ia tetap mendapat rongrongan pemberontakan yang


merupakan kelanjutan dari pemberontakan yang terjadi pada masa pemerintahan
Kertajasa. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa serentetan tersebut disebabkan
oleh adanya fitnah dan adu domba dari seorang yang dijuluki sebagai Mahapati.
Demikianlah ketika ia termakan hasutan, maka Patih Majapahit, yaitu Nambi beserta
keluarganya ditumpas di Pajarakan.

Pemberontakan yang lainnya adalah pemberontakan yang dilakukuan oleh Semi pada
1318 M, dan pemberontakan yang dilakukan oleh Kuti pada 1319 M. Kuti dan Semi
adalah orang-orang dharmmaputra (orang yang diberi keistimewaan oleh raja), mereka
sebanyak tujuh orang, yaitu Semi, Kuti, Pangsa, Wedeng, Yuyu, Tanca, dan Banyak.
Dalam pemberontakan Kuti, Raja Jayanegara sempat keluar dari keraton, menuju sebuah
tempat bernama Badander, diiringi oleh 15 pengawal raja (bekel bhayangkari), salah
satunya Gajah Mada. Lama mereka mngungsi di Badander, di rumah ketua Desa
Badander. Berkat siasat Gajah Mada dalam peristiwa di Badander, raja dapat diselamatkan
dan Kuti beserta sekutunya dapat ditumpas. Sebagai anugerahnya, Gajah Mada

1
http://www.kumpulanmisteri.com/2014/09/misteri-ibukota-majapahit-akhirnya.html.
2
http://dahanapura.blogspot.co.id/2015/03/lokasi-awal-pusat-ibukota-kerajaan.html.
3
Ibid.

8
mengambil istirahat dua bulan, kemudian diangkat menjadi patih di Kahuripan, dan tidak
lama kemudian diangkat sebagai patih di Daha.

Dari masa pemerintahan Raja Jayanegara, didapatkan tiga buah prasastinya yang
sampai kepada kita, yaitu prasasti Tuhanaru, prasasti Balambangan, prasasti Balitar I.
Prasasti Tuhanaru (1323 M) beserisi penetapan kembali Desa Tuhanaru dan Kusambyan
sebagai daerah swatantra atas permohonan Dyah Makaradhawaja yang telah
menunjukkan kesetiaan dan baktinya kepada raja, dalam mempertaruhkan jiwa dan
raganya demi teguhnya singgasana memerintah seluruh mandala Pulau Jawa. Karena
kesetiaannya itulah Dyah Makaradhwaja dianggap anak oleh raja (Yamin, 1962b:43-59).
Prasasti kedua adalah prasasti Balambangan yang hanya didapat satu lempengnya saja,
tanpa diketahui angka tahunnya. Prasasti Balambangan menyebutkan antara lain penetpan
daerah Balambangan sebagai daerah sima (perdikan), karena para rama daerah
Balambangan telah menunjukkan kebaktiannya kepada raja dalam usaha memandamkan
pemberontakan di Balambangan, ”sumapwana geleh-gelohning rat sumanghara kali kala
anapwa ikanang karaman i malambangan” [balambangan}, (yang menyapu bersih
keburukan dunia, yang melenyapkan ketika zaman kali, yang menyapu bersih
pemberontakan di Balambangan...) (Poerbatjacaraka dalam Yamin, 1962b:37).
Prasasti berikutnya adalah prasasti Balitar (Blitar) (1324 M). Prasasti ini sudah sangat
aus, sehingga sulit dibaca apa yang dimaksudkan di dalamnya, hanya angka tahun serta
raja yang mengeluarkan saja yang dapat dibaca (Damais,1955:109-110).
Raja Jayanegara memerintah sampai 1328 M, karena pada saat itu ia meninggal
dibunuh oleh Tanca, salah seorang dari dharmmaputra yang bertindak sebagai tabib. Raja
Jayanegara didarmakan di dalam pura, yaitu Sila Petak dan Bubad sebagai Wisnu. Di
Sukalila sebagai Buddha Amoghasiddhi.
3.3.1.2 Pemerintahan Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwarddhani

Sepeninggal Raja Jayanegara, pemerintahan jatuh ke tangan adiknya, yaitu Dyah Sri
Gitarja atau Bhre Kahuripan. Ia dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar
Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani. Dalam perkawinan keluarga, ia di kawin
dengan Dyah Cakreswara atau Bhre Tumapel dengan gelar Sri Kertawarddhana. Ia adalah
keturunan dari Raja Wisnuwarddhana yang meninggal di Mandagiri (Yamin, 1962b:97).

Terdapat beberapa prasasti yang berhubungan dengan Tribhuwanatunggadewi, yaitu


prasasti Geneng (Brumbung) tahun 1329 M, isinya tentang penetapan daerah perdiksn di
Geneng. Juga dapat diketahui bentuk susunan pemerintahan pada masa
Tribhuwanatunggadewi (Yamin II, 1962:63-64). Prasasti berikutnya adalah prasasti
Tribhuwana, tetapi angka tahunnya tidak terbaca karena aus. Isinya tidak diketahui
berkenaan dengan penetapan daerah mana. Juga disebutkan susunan pemerintahan seperti
halnya prasasti Geneng (Brandes, 1913:205-207).
Adapula prasasti pada masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi, tetapi tidak
dikeluarkan olehnya. Prasasti dikeluarkan oleh ipar raja yang bernama Bhre Matahun

9
Wijayarajasa. Isinya untuk meresmikan selesainya pembuatan bendungan batu di Kusmala
oleh Rakryan Dmung sang Martabun Rangga Sapu dengan seizin nenek moyang yang sang
Ngawurwabhumi (Yamin, 1962b:73). Prasasti Batur tidak berangka tahun, tetapi melihat
susunan pemerintahannya, prasasti tersebut dikeluarkan pada masa
Tribhuwanatunggadewi, tetapi karena ausnya batu, maka tidak dapat dibaca seluruhnya.
Pada masa Tribhuwanatunggadewi pula, Mahapatih Gajah Mada, yang waktu itu masih
menjabat sebagai mahapatih di Janggala Kadiri, atas nama raja memberikan surat
pengadilan (jayasong) kepada penduduk di Walandit atas sengketa kewenangan merawat
atas bangunan suci di Himad-Walandit (Yamin II, 1962:83-84).
Nagarakretagama mencatat bahwa pada masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi
terjadi pemberontakan di Sadeng Keta pada 1331 M. Pemberontakan tersebut dapat
dipadamkan oleh Gajah Mada. Pararaton menguraikan agak panjang tentang peristiwa
sadeng ini. Awalnya Gajah Mada yang disuruh memadamkan, tetapi Gajah Mada
kedahuluan oleh Ra Kembar, terjadi perselisihan antara Gajah Mada dan Ra Kembar,
akhirnya pemberontakan dipadamkan sendiri oleh raja.
Pararaton menyebutkan bahwa sehabis peristiwa Sadeng pada 1331 M, terjadi Guntur
di Pabanyu Pindah pada 1334 M. Nagarakretagama pupuh I baris ke 4-5 mencatat bahwa
pada 1334 M lahir putra mahkota yang bernama Hayam Wuruk. Kelahirannya disertai
gempa bumi, hujan abu, guntur, sebagai akibat meletusnya Gunung Kampud (Kelud).
Pararaton kemudian mengabarkan tentang pengangkatan Gajah Mada sebagai patih di
Majapahit, kiranya dapat dilihat dari beberapa prasasti yang menyebut namanya berkenaan
dengan kedudukan dan jabatannya. Dalam prasasti Geneng (1329 M), ia belum tercatat
sebagai patih di Majapahit. Namanya tercatat sebagai patih di Majapahit kedapatan pada
prasasti dari daerah Surabaya yang sayang tidak berangka tahun. Pada baris ke-14 tersebut
”Rake mapatih ring Majapahit Pu Gajah Mada...” (Brandes, 1913:203).
Pada waktu itulah sebuah peristiwa yang dikenal dalam sejarah, sungguhpun hanya
tercatat dalam Pararaton, yaitu sumpah palapa Gajah Mada. Bunyi smpah palapa itu
sebagai berikut: “lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, amun kalah ring
gurun, ring seran, tanjungpura, ring haru,ring pahang, dompa, ring bali, sunda,
palembang, tumasik, samana isun amukti palapa”, (apabila sudah tunduk nusantara, baru
saya akan mengambil hasilnya (menikmati), apabila sudah tunduk Gurun, Seran,
Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, pada waktu itu
saya akan mengambil hasil [menikmati])” (Padmapuspita, 1966:38).
Tribhuwanatunggadewi memerintah sampai 1350 M, ia mengundurkan diri dari
pemerintahan dan digantikan oleh anaknya, Hayam Wuruk. Pada 1372 M,
Tribhuwanatunggadewi meninggal. Ia didarmakan di Panggih, pendarmaannya bernama
Pantarapurwa.

10
3.3.1.3 Pemerintahan Rajasanagara

Nagarakretagama memberitakan bahwa penobatan Dyah Hayam Wuruk sebagai raja


di Majapahit berlangsung sesudah mangkatnya Sri Rajatpani (ibu Tribhuwanatunggadewi)
tahun 1350 M, bergelar Sri Rajasanagara, didampingi oleh Patih Hamangkubhumi Gajah
Mada yang diperolehnya ketika Tribhuwanatunggadewi masih memerintah.

Prasasti yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Rajasanagara adalah prasasti
Prapancasarapura (angka tahun tidak ada), prasasti Canggu (1358 M). Isinya mengatur dan
menentukan kedudukan hukum desa-desa di tepi Sungai Brantas dan Solo yang menjadi
tempat penyeberangan. Desa-desa itu dijadikan sima dan bebas dari kewajiban membayar
pajak, tetapi diwajibkan memberi semacam sumbangan (pamuja) untuk kepentingan
upacara keagamaan, dan diatur oleh Panji Margabhaya Ki Ajaran Rata, penguasa tempat
penyeberangan di Canggu, dan Panji Angraksaji Ki Ajaran Ragi, penguasa tempat
penyeberangan di Trung.
Prasasti Manah i Manuk, yang karena lempeng pertama hilang maka tidak ada angka
tahunnya, tetapi di dalamnya menyebut nama Raja Hayam Wuruk. Prasasti Manah i Manuk
atau Bendosari merupakan sebuah keputusan hukum (jayasong) atas sengketa tanah di
Manah i Manuk. Pihak penggugat adalah keluarga dan sima Tiga yang diwakili antara lain
oleh Apanji Anawung Harsa, sedangkan pihak tergugat diwakili Mapanji Sarana. Pihak
penggugat mengatakan bahwa tanah Manah i Manuk berada ditangan tergugat karena
nenek moyang mereka pernah meminjam sejumlah uang kepada nenek moyang tergugat,
dan sebagai jaminannya adalah tanah tersebut. Setelah diperiksa semua bukti dan saksi
serta alasan pihak yang bersengketa, diputuskan bahwa pihak penggugat kalah sehingga
tanah itu tetap milik tergugat. Prasasti ini juga penting karena bagian awalnya menyebutkan
nama-nama keluarga Raja Hayam Wuruk (ayah, ibu, paman, dan bibi), para menteri, dan
para pejabat tinggi kerajaan lainnya secara terperinci berikut gelar mereka.
Masih ada beberapa prasasti yang diduga berasal dari Raja Rajasanagara. Selain tidak
berangka tahun, prasasti-prasasti tersebut tidak lengkap pemberitaannya, hanya memuat
nama-nama pejabat kerajaan yang nama-namanya sama dengan nama-nama pejabat
kerajaan pada masa Raja Rajasanagara. Sementara Patih Gajah Mada pada masa
pemerintahan Raja Rajasanagara juga mengeluarkan sebuah prasasti pada 1351 M, yaitu
prasasti Gajah Mada, guna memperingati gugurnya para brahmana Siwa dan sogata, juga
sang mahawreddhamanti yang mati bersama-sama Raja Kartanegara pada waktu kerajaan
Singasari runtuh.
Dengan bantuan Patih Gajah Mada, Raja Rajasanagara berhasil membawa Kerajaan
Majapahit ke puncak kebesarannya. Gagasan politik luar negeri mengenai perluasan
cakrawala mandala, dilakukan dengan baik. Gagasan penyatuan Nusantara oleh Gajah
Mada satu demi satu ditundukkan. Dari pemberitaan Nagarakretagama pupuh XIII-XV
diketahui bahwa pengaruh Majapahit sangat luas. Daerah-daerah itu hampir seluas wilayah
Indonesia sekarang.

11
Politik nusantara Gajah Mada berakhir pada 1357 M setelah peristiwa penundukkan
Dompo yang dipimpin oleh Laksamana Mpu Nala. Baru setelah peristiwa tersebut, terjadi
suatu peristiwa yang dikenal dengan Pasundan Bubat. Peristiwa ini dicatat dalam
Pararaton, tetapi tidak diberitakan dalam Nagarakretagama. Peristiwa Bubat merupakan
strategi Gajah Mada untuk menundukkan Sunda, namun para prajurit Sunda tidak setuju
dengan cara yang demikian itu. Pertempuran terjadi di Lapangan Bubat. Sudah barang
tentu pasukan Sunda kalah, karena berperang di negeri lain tanpa persiapan. Peristiwa
Bubat diceritakan dalam Pararaton dan Kidung Sundayana secara panjang lebar.
Dari Pararaton pula dapat diketahui bahwa setelah peristiwa Bubat, Gajah Mada
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai patih mangkubumi, karena merasa disalahkan.
Namun beberapa waktu ia dipanggil kembali untuk memegang pemerintahan. Sementara
Raja Rajasanagara yang gagal mengawini Putri Sunda, kemudian kawin dengan Paduka
Sori (Paduka Iswari), saudara sepupunya sendiri, anak Bhre Wengker Wijayarajasa dengan
Bhre Daha Rajadewi Maharajasa, bibi Rajasanagara.
Peristiwa penting lainnya yang terjadi pada masa Raja Rajasanagara, yaitu 1362 M,
adalah dilaksanakannya upacara sraddha guna memperingati dua belas tahun
meninggalnya Rajapatni, atas perintah ibunda Tribhuwanatunggadewi.
Pada 1363 M, ketika Raja Rajasanagara melakukan lawatan ke daerah Blitar,
mendengar kabar bahwa Mahapatih Gajah Mada sakit. Segera ia kembali ke istana
Majapahit. Akhirnya pada 1364 M patih amangkubhumi meninggal, sekitar tiga puluh
tahun ia mengabdikan dirinya kepada kerajaan. Seluruh Majapahit berduka, meninggalnya
Gajah Mada merupakan suatu kehilangan besar bagi Kerajaan Majapahit.
Keputusan raja atas pertimbangan dari pahom narendra (dewan pertimbangan kerajaan
) bahwa jabatan patih tidak diganti. Untuk mengisi pelaksana tugas diangkatlah
Aryyatmaraja Pu Tanding (Tandi) sebagai wrddhamantri, Sang Aryya Wira Mandalika Pu
Nala sebagai Mancanegara, dan Patih Dami menjadi Yuwamantri. Masa pemerintahan
Raja Rajasanagara tanpa patih amangkubhumi berlangsung selama tiga tahun, karena
setelah itu Gajah Enggon diangkat menjadi patih amangkubhumi. Menurut Pararaton
pengangkatan Gajah Enggon ini pada 1371.
Raja Rajasanagara menurut Pararaton meninggal pada 1389 M, dan didarmakan di
Tanjung, nama pendarmaannya Paramasukapura. Rajasanagara meninggalkan seorang
putri mahkota bernama Kusumawarddhani.
3.3.1.4 Perebutan Kekuasaan

Sepeninggal Raja Rajasanagara, penggantinya adalah Wikramawarddhana, suami dari


Kusumawarddhani. Wikramawarddhana sendiri adalah anak dari Bhre Pajang Dyah Nrttaja
Rajasaduhiteswari, adik Raja Rajasanagara yang kawin dengan Bhre Paguhan
Singhawarddhana.

Wikramawarddhana mulai memerintah pad 1389 M dan pada 1400 M ia mengundurkan


diri dari pemeintahan. Penggantinya adalah Suhita. Menurut Pararaton, Suhita adalah anak

12
kedua Wikramawarddhana. Anak yang pertama adalah laki-laki, yaitu Nhre Tumapel atau
Bhra Hyang Wekasing Sukha, tetapi meninggal dunia sebelum dinobatkan menjadi raja.
Pengangkatan Suhita sebagai raja-putri di Majapahit, ternyata membawa pertentangan
dikalangan bangsawan Kerajaan Majapahit. Pertentangan terutama dari keluarga Bhre
Wirabhumi, yaitu anak Raja Raajasanagara yang lahir dari selir. Bhre Wirabhumi diberi
kedudukan oleh ayahnya di bagian ujung timur Pulau Jawa, yaitu Balambangan. Bhre
Wirabhumu tidak setuju dengan pengangkatan Suhita menjadi raja di Majapahit.
Muncullah kemudian apa yang disebut Perang Paregreg.
Dalam Perang Paregreg, Suhita dibantu oleh ayahnya, yaitu Wikramawarddhana dan
Bhre Tumapel Bhra Hyang Parameswara. Dalam peperangan Bhre Wirabhumi melarikan
diri naik perahu, tetapi dapat dikejar oleh Raden Gajah Bhre Narapati. Bhre Wirabhumi
ditangkap, kemudian dibunuh dengan dipenggal kepalanya. Perstiwa ini terjadi pada 1406
M.
Peperangan antara Wikramawarddhana dan Bhre Wirabhumi disebut pula dalam berita
Cina dari zaman Dinasti Ming. Kaisar Ch’eng-tsu yang naik tahta pada 1403 M,
mengadakan hubungan diplomatik dengan Jawa (Majapahit). Ia mengirimkan utusan-
utusannya kepada raja ‘bagian barat’, tu-ma-pan, dan raja ‘bagian timur’, put-ling-ta-ha.
Pada 1405 M laksamana Cheng-ho memimpin sebuah armada perutusan ke Jawa, dan pada
tahun berikutnya menyaksikan kedua Raja Majapahit tersebut saling berperang. Kerajaan
bagian timur disebutkan mendapat kekalahan dan kerajaannya dirusak. Pada waktu
peperangan tersebut perutusan Cina kebetulan sedang berada di kerajaan bagian timur, dan
banyak yang menjadi korban (Gronevel, 1960:36-37).
Pertentangan keluarga itu ternyata terus berlangsung, yang ditandai dengan dibunuhnya
Raden Gajah pada 1433 M, karena dipersalahkan telah memenggal kepala Bhrre
Wirabhumi.
Masa pemerintahan Suhita berakhir dengan meninggalnya Suhita pada 1447 M. Ia
didarmakan di Singhajaya bersama-sama dengan suaminya Bhra Hyang Parameswara Aji
Ratnapangkaja yang meninggal pada 1446 M. Tahta kerajaan Majapahit digantikan oleh
adiknya, yaitu Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya, karena Suhita tidak mempunyai anak.
Pada masa pemerintahan Bhre Tumapel, ia mengeluarkan prasasti Waringin Pitu
(1447). Isinya tentang peresmian sima di Waringin Pitu yang bernama Rajasa Kusumapura.
Dalam prasasti Waringin Pitu tersebut Bhre Tumapel bergelar
Wijayaparakramawarddhana. Ia tidak lama memerintah, pada 1451 M ia meninggal dan
didarmakan di Kertawijayapura.
Sepeninggal Kertawijaya, Bhre Pamotan menggantikannya sebagai raja dengan gelar
Sri Rajasawarddhana. Ia dikenal pula dengan sebutan Sang Sinagara. Dari prasasti
waringin Pitu diketahui bahwa Rajasawarddhana disebutkan pada urutan ketiga sesudah
raja, ia berkedudukan sebagai Batara ring Kahuripan. Ia memerintah sekitar tiga tahun
lamanya. Pada 1453 M ia meninggal dan didarmakan di Sepang.

13
3.3.1.5 Pemerintahan Girindrawarddhana

Setelah tiga tahun mengalami kekosongan, pada 1456 M tampil seorang raja bernama
Dyah Suryawikrama Girisawarddhana. Ia adalah anak Dyah Kertawijaya yang semasa
pemerintahan ayahnya, ia menjadi raja di Wengker. Ia memerintah selama sepuluh tahun,
karena pada 1466 M ia meninggal dan didarmakan di Puri.

Yang naik tahta berikutnya adalah Bhre Pandansalas dan berkedudukan di Majapahit.
Ia dikenal dengan nama Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawarddhana. Dalam
prasasti Waringin Pitu, ia berkedudukan raja di daerah Tumapel. Dalam prasasti
Pamintihan (1473 M). Isinya menetapkan anugrah raja kepada Sang Arya Surung berupa
sebidang tanah di Pamintihan dengan hak sima dan akan menjadi milik turun temurun tanpa
batas, karena Sang Arya Surung memperlihatkan kesetiaan tidak terhingga kepada raja.
Pada masa pemerintahan Bhre Pandansalas terjadi serangan ke istana oleh Bhre
Kertabhumi yang ingin merebut kekuasaan Majapahit. Bhre Pandansalas sempat
menyingkir ke Daha, di Daha ia meneruskan pemerintahannya sampai akhirnya meninggal
pada 1474 M. Bhre Kertabhumi adalah anak bungsu dari Rajasawarddhana (Djafar, 1978
:50-51).
Sepeninggal Dyah Suraparabhawa, kedudukan raja digantikan oleh anaknya yang
bernama Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Sebelumnya Ranawijaya menjadi Batara
di Kling. Oleh karenanya dalam prasasti-prasastinya ia menyebut Paduka Sri Maharaja
Bhattara i Kling di samping disebutkan sebagai Paduka Sri Maharaja Sri Wilwatikta Daha
Janggala Kadiri Prabunatha Sri Girindrawarddhana nama Dyah Ranawijaya (Brandes,
1913:216).
Dalam masa pemerintahannya, Dyah Ranawijaya dibantu oleh seorang rakryan
mapatih bernama Pu Wahan. Pada masa akhir pemerintahannya ia didampingi oleh patih
Udara. Sebagai anak dari Bhre Pandasalas, Ranawijaya berusaha melancarkan serangan
melawan Bhre Kertabhumi yang pada waktu itu berkedudukan di Majapahit. Dalam
prasasti Trailokyapuri (Duku) (1486 M). Isinya berhubungan dengan pengukuhan
anugerah berupa tanah tanah di Trailokyapuri kepada Sri Brahmaraja Ganggadhara, yang
telah berjasa kepada raja waktu perang melawan Majapahit. Dalam peperangan ini Dyah
Ranawijaya dapat merebut kembali kekuasaan Majapahit dari tangan Bhre Kertabhumi,
dan Bhre Kertabhumi meninggal di kedaton (Suwardono, 2013:203)
3.4 Kemajuan Kerajaan Majapahit
3.4.1 Hayam Wuruk: puncak kebesaran kerajaan Majapahit

Pada tahun 1350 putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja Majapahit. Ia
diberi gelar Sri Rajasanagara, dan dikenal dengan nama Bhra Hyang Wekasing Sukha. Ketika
ibunya Trribhuwanottunggadewi masih memerintah, Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja
muda (rajakumara) dan mendapat daerah Jiwanna sebagai daerah lungguhnya. Dalam
pemerintahannya Hayam Wuruk didampingi oleh Gajah Mada yang menduduki jabtan Patih

14
Hamangkubhumi. Jabatan ini sebenarnya sudah diperolehnya ketika ia mengabdi kepada raja
Trribhuwanottunggadewi, yaitu setelah ia berhasil menumpas pemberontakan di Sadeng.

Dengan bantuan patih hamngkubhumi Gajah Mada raja Hayam Wuruk berhasil membawa
kerajaan Majapahit ke puncak kebesarannya. Seperti halnya raja Kertanagara yang mempunyai
gagasan politik perluasan cakrawala mandala yang meliputi seluruh dwipantara. Gajah Mada
ingin melaksanakan pula gagasan politik nusantara-nya yang telah dicetuskan sebagai sumpah
palapa di hadapan raja Trribhuwanottunggadewi dan para pembesar kerajaan Majapahit.4

Menurut pemberitaan Prapanca di dalam kakawin Nagarakertagama kita mengetahui


bahwa daerah-daerah yang ada di bawah pengaruh kekuasaan Majapahit itu sangat luas.
Bahkan pengaruh itu telah diluaskan pula sampai ke beberapa negara tetangga di wilayah Asia
Tenggara.5 Namun politik nusantara ini berakhir sampai tahun 1357, dengan terjadinya
peristiwa di Bubat (pasunda-Bubat), yaitu perang antara orang sunda dengan Majapahit.6
Peristiwa ini dikemukakan panjang lebar dalam kitab Pararaton dan Kidung Sundayana.

Masa raja Hayam Wuruk Nampak menampilkan usahanya untuk meningkatkan


kemakmuran bagi rakyatnya. Berbagai kegiatan dalam bidang ekonomi dam kebudayaan
sangat diperhatikan. Hasil pemungutan berbagai bidang. Kakawin Nagarakertagama dan
beberapa buah prasasti yang berasal dari masa pemerintahan raja Hayam Wuruk, memberikan
keterangan tentang hal itu. Untuk keperluan peningkatan kesejahteraan di bidang pertanian.
Raja telah membuatkan bendungan-bendungan, dan saluran-saluran pengairan, serta
pembukaan tanah-tanah baru untuk perladangan. Di beberapa tempat sepanjang sungai-sunagi
besar diadakan tempat-tempat penyebrangan, yang sangat memudahkan lau-lintas antar
daerah.

Penemuan saluran air, aneka gerabah dan produk rumah tanggaa batu bata lengkung yang
menandai penguasaan terhadap matematika, menunjukkan bahwa ketika itu manusia
(Majapahit) telah berada dalam taraf atau kualitas kehidupan yang relatif baik.7

Raja Hayam Wuruk sangat memperhatikan pula keadaan daerah-daerah kerajaan.


Beberapa kali ia mengadakan perjalanan kenegaraan meninjau daerah-daerah wilayah
Majapahit. Kakawin Nagarakertagama mencatan perjalan raja Hayam Wuruk ke Pajang pada
tahun 1351, ke daerah Lasem pada tahun 1354 dan kedaerah pantai selatan (Lodaya) pada
tahun 1357. Kemudian ia mengadakan perjalanan menuju daerah Lamajang pada tahun 1359
dan daerah Tirib dan Sempur pada tahun berikutnya, daerah Balitar mengunjungi Simping
sambil meresmikan sebuah candi yang baru selesai dipindahkan.

4
Marwati Djoened Poesponegoro, 2008, sejarah Nasional Indonesia Jilid II, Balai Pustaka.
5
Uraian mengenai daerah-daerah ini terdapat di kakawin Nagarakertagama, Pupuh, X111 XV.
6
Kitab pararaton masih menyebutkan pula adanya ekpedisi ke Dompo (padompo) dalam tahun 1357, yaitu
bersamaan dengan terjadinya peristiwa di Bubat.
7
Lingkungan dan pemukiman zaman kerajaan Majapahit dalam CGI (Computer Generated Imagery), PDF.

15
Masa pemerintahan raja Hayam Wuruk tanpa patih hamangkubhumi ini hanya berlangsung
selama tiga tahun. Di dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa setelah tiga tahun terdapat
kekosongan tidak ada patih hamngkubhumi, kemudian Gajah Enggon diangkat menjadi patih
hamangkubhumi. Pada tahun 1389 raja Hayam Wuruk meninggal dan tempat pendarmaannya
tidak diketahui.8

3.5 Kemunduran kerajaan Majaphit


3.5.1 Masa Runtuhnya Kerajaan Majapahit

Tradisi mengatakan bahwa Kerajaan Majapahit runtuh pada 1400 S atau 1478 M. Saat
keruntuhannya ditandai dalam serat kanda dengan sengkala ”sirna-ilang-kertaning-bhumi”
(1400). Padahal tahun tersebut menurut Pararaton merupakan tahun penandaan dari gugurnya
Bhre Kertabhumi, yang diberi tahun sengkala “sunya-nora-yuganing-wong” (1400).
Berdasarkan bukti-bukti sejarah yang ditemukan ternyata pada saat itu Kerajaan Majapahit
beum runtuh hingga 1518 M. Prasasti-prasasti terakhir yang terakhir ditemukan justru masih
menyebut pemerintahan Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Berita Cina yang berasal dari
Dinasti Ming masih menyebut adanya hubungan diplomatik antara Cina dengan Jawa pada
1499 M (Gronevelt, 1960:39).

Pada waktu itu Majapahit jelas masih berdiri. Bukti-bukti epigrafi yang berasal dari 1486
M, yaitu prasasti-prasasti dari Raja Girindrawarddhana dengan jelas menyebutkan dirinya Sri
Maharaja Sri Wilwatika. Selain itu, adanya kegiatan pembangunan tempat-tempat suci
keagamaan yang bercorak Hindu di lereng Gunung Penanggungan pada masa pemerintahan
Ranawijaya antara 1408-1433 S, mendukung kenyataan bahwa Kerajaan Majapahit masih ada.
Bahkan sebuah prasasti tembaga, yaitu prasasti Pabanolan yang berangka tahun 1541 M, masih
menyebutkan tempat penulisannya disebuah tempat suci di Will (w) atikta (Boechari dan
Wibowo, 1985/1986:111; Djafar, 1978:104).
Pemberitaan pigaffeta pada 1522 M menyatakan bahwa Raja Pati Unus adalah Raja
Majapahit yang sangat berkuasa. Dalam hal ini berarti ketika Adipati Unus berkuasa di Demak,
Majapahit masih ada sebagai sebuah kota, sedangkan secara politis sudah kehilangan
kedaulatan. Sejak itulah kekuasaan raja-raja Dinasti Rajasa atau Girindra yang berkuasa
hampir 300 tahun lamanya di Kerajaan Singasari dan Majapahit berakhir (Djafar, 1978:105).

8
N.J. Krom menduga raja Hayam Wuruk didarmakan di Paramasukhapura, di Tanjung, yang juga dijadikan tempat
pendarmaan cucunya Bhre Tumapel (Bhra Hyang Wekasing Sukha).

16
BAB IV

PENUTUP

4.1 Simpulan

Ketika Singasari berakhir, sebagai salah seorang keturunan Singasari Wijaya bertanggung
jawab untuk merebut kembali tahta kerajaan. Wijaya mengalami beberapa pertempuran dalam
menuju kejayaannya dan mengalami kekalahan ketika Ardaraja melarikandiri. Namun raden
Wijaya, berhasil medirikan kembali tentaranya. Ketika Wijaya berpihak kepada kekaisaran Cina
dia membantu pasukan Tartar untuk menyerang Dhaha istana Jaya Katwang, sehingga Jaya
Katwang kalah. Empat belas hari kemudian ketika tentara Tartar yang sedang berangkat ke
Majapahit dari Dhaha untuk menerima hadiah, diserang oleh tentara Wijaya. Kekuasaan Jawa
menjadi kosong kesempatan inilah yang ditunggu oleh Wijaya untuk monobatkan dirinya menjadi
raja Majapahit. Majapahit merupakan salah satu kerajaan besar yang ada di Indonesia, dan di Jawa
Timur khususnya. Lokasi ibu kota kerajaannya dalam kitab Pararaton di sebutkan berada di daerah
Trik. Namun dari penemuan arkeologis ditemukan kompleks situs yang diduga besar sebagai
keraton Majapahit, berada di daerah Trowulan, Kabupaten Mojokerto sekarang. Penemuan saluran
air, aneka gerabah dan produk rumah tanggaa batu bata lengkung yang menandai penguasaan
terhadap matematika, menunjukkan bahwa ketika itu manusia (Majapahit) telah berada dalam taraf
atau kualitas kehidupan yang relatif baik.

4.2 Saran

Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat penyusun harapkan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Boechari, M. Dan Wibowo, A.S. 1985/1986. Prasasti Koleksi Museum Nasional I. Jakarta: Proyek
Pengembangan Museum Nasional.

Suwardono, 2013, Sejarah Indonesia Hindu-Buddha. Yogyakarta: Ombak.

Brandes, J.L.A. 1913. “Oud-Javaansche Oorkonde, nagelaten transcripties van wiljen Dr.J.L.A.
Brandes, uitgegeven door N.J. Krom,” VBG, LX. Batavia: Albrecht & Co’s-Gravenhage: Martinus
Nijhoff.

Damais, Louis Charles. 1955. “Etudes Javanaises: IV. Discussion de la date des Inscription,”
BEFEO, 17, hlm. 1.

Djafar, Hasan. 1978. Girindrawarddhana. Beberapa Masalah Majapahit Akhir. Jakarta: Dinas
Purbakala R.I

Groeneveldt, W.P. 1960. Historical Notes on Indonesia & Malaya complied from Chinese Sources.
Jakarta: C.V. Bhratara

Padmapuspita, ki J. 1966. Pararaton. Yogyakarta: Taman Siswa.

Yamin, Muh. 1962b. Tatanegara Majapahit, Parwa II. Jakarta: Prapantja.


N.J. Krom, Inventaris der Hindoe-Oudheden, ROD 1914.
Marwati Djoened Poesponegoro, 2008, sejarah Nasional Indonesia Jilid II, Balai Pustaka.

Lingkungan dan pemukiman zaman kerajaan Majapahit dalam CGI (Computer Generated
Imagery), PDF (Di download tanggal 27 April 2017)

http://www.kumpulanmisteri.com/2014/09/misteri-ibukota-majapahit-akhirnya.html. (Di akses


tanggal 1 Mei 2017).

http://dahanapura.blogspot.co.id/2015/03/lokasi-awal-pusat-ibukota-kerajaan.html. (Di akses


tanggal 1 Mei 2017).

18

Anda mungkin juga menyukai