DISUSUN OLEH :
CI LAHAN CI INSTITUSI
1. Definisi
Asfiksia neonatorum merupakan keadaan dimana bayi tidak bernapas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir, keadaan tersebut dapat
disertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea dan sampai ke asidosis
(Hidayat, 2018). Asfiksia neonatorum adalah suatu kondisi yang terjadi
ketika bayi tidak mendapatkan cukup oksigen selama proses kelahiran
(Mendri & Sarwo prayogi, 2017). Asfiksia neonatorum adalah
keadaan bayi yang tidakdapat bernapas spontan dan teratur, sehingga
dapat menurunkan O2 dan makin meningkatnya CO2 yang menimbulkan
akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut (Hidayat, 2019).
2. Epidemologi
Menurut laporan dari organisasi dunia yaitu World Health
Organization (WHO) 2010 , bahwa setiap tahunnya 3% (3.6 juta) dari 120
juta bayi lahir mengalami asfiksia, hampir 1 juta bayi ini kemudian
meninggal. Penyebab kematian bayi baru lahir di Indonesia diantaranya
asfiksia neonatorum (27%), Bayi Baru Lahir Rendah (29%), tetanus
neonatorum (10%), masalah pemberian makan (10%), infeksi (5%) (DepKes
RI, 2011). Angka kematian bayi ini sebanyak 47% meninggal pada masa
neonatal. Kejadian asfiksia di rumah sakit pusat rujukan provinsi di
Indonesia sebesar 41,94%. Provinsi dengan Asfiksia tertinggi adalah Jawa
Tengah (33,1%), Jawa Barat (23%), Sumatra utara (18,69%), Papua
(15,38%) (Kemenkes RI, 2014). Pasuruan 30,8% (Profil Kesehatan
Kabupaten Pasuruan, 2015). Di RSUD Bangil 439.
3. Etiologi
a. Penyebab terjadinya Asfiksia menurut (Hidayat, 2019).
1) Faktor Ibu
Oksigenisasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat
hipoventilasi selama anastesi, penyakit jantung, sianosis, gagal
pernapasan, keracunan karbon monoksida, dan tekanan darah ibu
yang rendah akan menyebabkan asfiksia pada janin. Gangguan
aliran darah uterus dapat menyebabkan berkurangnya pengaliran
oksigen ke plasenta dan ke janin. Hal ini sering ditemukan pada
gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni atau tetani
uterus akibat penyakit atau obat: hipotensi mendadak pada ibu
karena perdarahan, hipertensi pada penyakit akiomsia dan lain-lain.
2) Faktor Plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan
kondisi plasenta. Asfiksia janin dapat terjadi bila terdapat gangguan
mendadak pada plasenta, misalnya: plasenta tipis, plasenta kecil,
plasenta tak menempel, dan perdarahan plasenta.
3) Faktor Fetus
Kompresi umbilikus dapat mengakibatkan terganggunya aliran
darah dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran
gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan
pada keadaan tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat antara janin
dan jalan lahir, dan lain-lain.
4) Faktor Neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi oleh
karena pemakaian obat anastesia/analgetika yang berlebihan pada
ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernapasan
janin, maupun karena trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya
perdarahan intra kranial. Kelainan kongenital pada bayi, misalnya
stenosis saluran pernafasan, hipoplasia paru dan lain-lain.
5) Faktor Persalinan
Partus lama dan partus karena tindakan dapat
berpengaruh terhadap gangguan paru-paru.
4. Patofisiologi
Pembuluh darah arteriol yang ada di paru-paru bayi masih dalam
keadaan kontraksi dan hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat
melalui paru-paru sehingga darah dialirkan melalui duktus arteriosus
kemudian masuk ke aorta namun suplai oksigen melalui plasenta ini terputus
ketika bayi memasuki kehidupan ekstrauteri (Nurarif, 2020). setelah lahir
bayi akan menarik nafas yang pertama kali (menangis), pada saat ini paru
janin mulai berfungsi untuk resoirasi. Alveoli akan mengembang udara akan
masuk dan cairan yang ada didalam alveoli akan meninggalkan alveoli secara
bertahap (Braham 2018). Bersamaan dengan ini arteriol paru akan
mengembang dan aliran darah ke dalam paru meningkat secara memadai
(Yulinti, 2019). Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah
timbulah rangsangan terhadap nervus vagus sehingga DJJ ( denyut jantung
janin) menjadi lambat. Jika kekurangan O2 terus berlangsungmaka nervus
vagus tidak dapat dipengaruhi lagi.Timbulah kini rangsangan dari nervus
simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat dan akhirnya ireguler dan
menghilang. Janin akan mengadakan pernafasan intrauterine dan bila kita
periksa kemudian terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam paru,
bronkus tersumbat dan terjadi atelaktasis. Bila janin lahir, alveoli tidak
berkembang.
Jika berlanjut, bayi akan menunjukan pernafasan yang dalam, denyut
jantung terus menurun, tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan
terlihat lemas. Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki
periode apnea sekunder. Selama apnea sekunder, denyut jantung, tekanan
darah dan kadar O2 dalam darah (PaO2) terus menurun. Bayi sekarang tidak
dapat bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan menunjukan upaya
pernafasan secara spontan (Yulianti, 2019).
5. Phatway
ASFIKSIA
Perdarahan, kejang
Ikterik Neonatus
Apneu
Hipvolemia
Bernafas
Sedikit
(Nurarif, 2020)
Keterangan:
1) Nilai 0-3 : Asfiksia berat
2) Nilai 4-6 : Asfiksia sedang
3) Nilai 7-10 : Normal
Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila
nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit
sampai skor mencapai 7. Nilai apgar berguna untuk menilai keberhasilan
resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai
resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak
menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor apgar). Asfiksia neonatorum di
klasifikasikan:
Skor apgar 7-10, bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan Tindakan
istimewa (Nurarif, 2020).
a. Asfiksia Ringan ( vigorus baby)
Skor apgar 7-10, bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan Tindakan
istimewa.
b. Asfiksia sedang ( mild moderate asphyksia)
Skor APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung
lebih dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflek
iritabilitas tidak ada.
c. Asfiksia Berat
Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung
kurang dari 100 x permenit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan
kadang-kadang pucat, reflek iritabilitas tidak ada. Pada asphyksia dengan
henti jantung yaitu bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit
sebelum lahir lengkap atau bunyi jantung menghilang post partum,
pemeriksaan fisik sama pada asphyksia berat.
7. Manifestasi Klinis
Asfiksia biasanya merupakan akibat hipoksia janin yang menimbulkan
tanda-tanda klinis pada janin atau bayi berikut ini :
a. DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak teratur.
b. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala tonus otot buruk karena
kekurangan oksigen pada otak dan organ lain.
c. Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksiegen.
d. Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada
otot-otot jantung atau sel-sel otak.
e. Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung,
kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta
sebelum dan selama proses persalinan.
f. Takipnea (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbs cairan paru-paru atau
nafas tidak teratur atau megap-megap.
g. Sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen didalam darah.
h. Penurunan terhadap spinkters
8. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan khusus
1) Bayi lahir tanggal
2) Frekuensi jantung
3) Pernafasan bayi lemah tidak teratur dan bayi tidak segera menangis
4) Pernafasan
5) Suhu bayi
b. Pemeriksaan umum
1) Berat badan lahir
2) Panjang badan lahir
3) Jenis kelamin
4) Kepala
5) Mata
6) Hidung
7) Mulut/Bibir
8) Telinga
9) Dada dan Perut
10) Tali pusat
11) Punggung dan Bokong
12) Genitalia dan Anus
9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada neonatal dengan asfiksia, meliputi:
a. Nilai APGAR: memberikan pengkajian yang cepat mengenai kebutuhan
untuk resusitasi neonatal
b. Rontgen thoraks dan abdomen: untuk menyingkirkan abnormalitas/cedera
struktural dan penyebab masalah ventilasi.
c. Pemeriksaan ultrasonografi kepala: untuk mendeteksi abnormalitas/cedera
kranial atau otak atau adanya malformasi kongenital
d. Kultur darah: untuk menyingkirkan atau memastikan adanya bacteremia
e. Skrining toksikologi: untuk menemukan adanya toksisitas obat atau
kemungkinan sindrom alkohol janin atau fetal alcohol syndorome.
f. Skrining metabolisme: untuk menyingkirkan adanya gangguan endokrin atau
metabolisme
10. Diagnosis
a) Laboratorium AGD : mengkaji tingkat dimana paru-paru mampu memberikan
O2 yang adekuat
b) Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
c) Babygram (photo rontgen dada)
d) Elektrolit darah
e) Gula darah
f) Pulse oxymetry : metode pemantauan non invasive secara kontinu terhadap
saturasi O2 Hb, pemantauan SPO2
2 Ikterik neonatus Setelah dilakukan tindakan Fisioterapi Neonatus (I.03091) 1) Memantau ikterik pada sklera
berhubungan dengan usia keperawatan selama …x24 jam 1. Monitor ikterik pada skelra dan kulit dan kulit bayi
kurang dari 7 hari diharapkan hipovolemia bayi 2) Memantau tanda vital tetap
(D.0024) menurun teratasi dengan kriteria 2. Monitor tanda vital setiap 4jam sekali
stabil setiap jam nya
hasil: 3. Monitor efek sampingfototerapi.
1) Warna kulit 4. Siapkan lampu fototerapidan inku 3) Memantau efek samping
kemerahan bator atau kotakbayi fototerapi
2) Meningkatnya 5. Lepaskan pakaian bayikecuali popok 4) Menjaga bayi tetap hangat
hidrasi. 6. Berikan penutup mata (eye 5) Sinar foto terapi terkena ke
3) Suhu kulit normal. protector/biliband) pada bayi
4) Tekstur kulitlembab. seluruh tubuh bayi
7. Ukur jarak antara lampu dan
permukaan kulit bayi 6) Melindungi mata dari sinar
8. Biarkan tubuh bayi terpaparsinar fototerapi bayi
fototerapi secara berkelanjutan 7) Lampu fototerapi tidak terlalu
9. Ganti segera alas dan popokbayi jika dekat jaraknya dengan
BAB/BAK
permukaan kulit bayi
8) Bayi tetap terkena sinar
fototerapi
9) Mempertahankan kebersihan
bayi
5. Evaluasi
Nursalam, 2019. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (untuk perawat dan bidan).
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2018), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia.