STUDI KELAYAKAN
PENAMBAHAN 3 UNI T KAPAL TUG & BARGE
0
BAB I I
ASPEK PEMASARAN
1
dan Air Bersih tumbuh 2,2 persen, Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran
tumbuh 1,9 persen, Sektor Industri Pengolahan tumbuh 1,4 persen, Sektor
Jasa-Jasa tumbuh 1,2 persen, dan Sektor Keuangan, Real Estat, dan Jasa
Perusahaan tumbuh 1,0 persen.
Distribusi PDB menurut sektor ekonomi atau lapangan usaha atas dasar harga
berlaku menunjukkan peranan dan perubahan struktur ekonomi dari tahun ke
tahun. Tiga sektor utama yaitu Sektor Industri Pengolahan, Sektor Pertanian,
dan Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran mempunyai peranan sebesar
52,8 persen tahun 2011. Sektor Industri Pengolahan memberi kontribusi
sebesar 24,3 persen, Sektor Pertanian dan Sektor Perdagangan, Hotel, dan
Restoran mempunyai peranan masing-masing sebesar 14,7 persen dan 13,8
persen.
Dibandingkan dengan tahun 2010, pada tahun 2011 terjadi peningkatan
peranan pada beberapa sektor kecuali: Sektor Pertanian turun dari 15,3
persen menjadi 14,7 persen, Sektor Industri Pengolahan turun dari 24,8
persen menjadi 24,3 persen, dan Sektor Konstruksi turun dari 10,3 persen
menjadi 10,2 persen. Peranan Sektor Pertambangan dan Penggalian naik dari
11,1 persen menjadi 11,9 persen, Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran
naik dari 13,7 persen menjadi 13,8 persen, Sektor
Jasa-Jasa naik dari 10,2 menjadi 10,5 persen. Sementara, Sektor
Pengangkutan dan Komunikasi memiliki peranan yang sama tahun 2010 dan
2011. Selanjutnya jika dilihat secara total, peranan PDB tanpa migas naik dari
91,7 persen pada tahun 2009 menjadi 92,2 persen pada tahun 2010 dan
turun kembali tahun 2011 menjadi 91,5 persen.
PDB atas dasar harga berlaku tahun 2011 sebesar Rp. 7.427,1 triliun,
sebagian besar digunakan untuk konsumsi rumah tangga sebesar Rp. 4.053,4
triliun. Komponen penggunaan lainnya meliputi pengeluaran untuk konsumsi
pemerintah sebesar Rp. 667,4 triliun, pembentukan modal tetap bruto atau
investasi fisik sebesar Rp. 2.378,3 triliun, perubahan inventori sebesar Rp.
55,6 triliun, transaksi ekspor sebesar Rp. 1.955,4 triliun, dan impor sebesar
Rp. 1.850,5 triliun. Dibandingkan dengan tahun 2010, PDB atas dasar harga
berlaku meningkat dari Rp. 6.436,3 triliun menjadi Rp. 7.427,1 triliun.
2
Grafik 2-1. Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Sumber : BPS
Pada Januari 2012 terjadi inflasi sebesar 0,76 persen dengan Indeks
Harga Konsumen (IHK) sebesar 130,90. Dari 66 kota IHK, 62 kota
mengalami inflasi dan 4 kota mengalami deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di
Banjarmasin 2,92 persen dengan IHK 139,35 dan terendah terjadi di Banda
Aceh 0,02 persen dengan IHK 127,15. Sedangkan deflasi tertinggi terjadi di
Sorong 0,38 persen dengan IHK 145,47 dan terendah terjadi di Manado 0,13
persen dengan IHK 125,94.
Inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan
indeks pada kelompok bahan makanan 1,85 persen; kelompok makanan
jadi, minuman, rokok dan tembakau 0,65 persen; kelompok perumahan, air,
listrik, gas dan bahan bakar 0,54 persen; kelompok kesehatan 0,51 persen;
kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga 0,15 persen dan kelompok
transpor, komunikasi dan jasa keuangan 0,23 persen. Sedangkan kelompok
sandang pada bulan ini mengalami deflasi sebesar 0,08 persen.
Laju inflasi tahun kalender (Januari) 2012 sebesar 0,76 persen dan laju inflasi
year on year (Januari 2012 terhadap Januari 2011) sebesar 3,65 persen.
Komponen inti pada Januari 2012 mengalami inflasi sebesar 0,44 persen,
laju inflasi komponen inti tahun kalender (Januari) 2012 sebesar 0,44 persen
dan laju inflasi komponen inti year on year (Januari 2012 terhadap Januari
2011) sebesar 4,29 persen.
3
Grafik 2-2. Perkembangan I nflasi
Sumber : BPS
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada tanggal 9 Februari 2012
memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 5,75%.
Keputusan ini diambil sebagai langkah lanjutan untuk memberikan dorongan
bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah menurunnya kinerja ekonomi
global, dengan tetap mengutamakan pencapaian sasaran inflasi dan stabilitas
nilai tukar Rupiah. Dengan keputusan BI Rate ini, koridor bawah dan atas
suku bunga operasi moneter Bank Indonesia masing-masing menjadi 3,75%
untuk fasilitas simpanan o/ n (deposit facility rate) dan 6,75% untuk fasilitas
pinjaman o/ n (lending facility rate). Ke depan, Bank Indonesia akan terus
mewaspadai risiko memburuknya perekonomian global dan dampak kebijakan
Pemerintah di bidang energi, dan akan terus memperkuat bauran kebijakan
moneter dan makroprudensial, serta koordinasi kebijakan dengan Pemerintah.
Dewan Gubernur meyakini bahwa penerapan bauran kebijakan moneter dan
makroprudensial yang bersifat counter-cyclical sangat diperlukan dalam
pengelolaan makroekonomi secara keseluruhan serta untuk membawa inflasi
pada sasaran yang ditetapkan, yaitu 4,5%± 1% pada tahun 2012 dan 2013.
4
Grafik 2.3. Tingkat Suku Bunga
Nilai tukar Rupiah sempat mengalami tekanan sebagai akibat dari aliran modal
keluar. Rupiah mengalami pelemahan disertai volatilitas yang sedikit
meningkat, dipicu antara lain oleh kekhawatiran pelaku pasar terhadap
meningkatnya tekanan inflasi. Nilai tukar Rupiah pada bulan Januari 2011
melemah rata-rata 0,1% menjadi Rp.. 9.034 per USD. Namun Bak Indonesia
menyakini bahwa aliran modal asing yang keluar dan pelemahan Rupiah
tersebut hanya bersifat sementara dikarenakan factor fundamental ekonomi
Indonesia yang tetap kuat.
Pada tanggal 30 Januari 2012, Rupiah diperdagangkan pada level Rp. 9.045,-
untuk US $1,00.
Grafik 2- 4. Kurs Rupiah Terhadap USD
5
2.1.5. Perkembangan I nvestasi
Jumlah Investasi PMDN pada tahun 2011 mencapai Rp. 76.000,70 miliar
dengan jumlah proyek sebanyak 1.476 yang didominasi oleh sektor sekunder
dengan andil sebesar 51% (784 proyek dengan nilai investasi Rp. 39.048,00
miliar). Investasi dalam sektor sekunder ini didominasi oleh investasi industri
makanan, disusul oleh industri mineral non logam kemudian industri logam,
mesin & elektronik disusul oleh industri kertas dan percetakan. Kondisi ini
tidak berubah dari tahun 2010 sebelumnya, dimana sektor ini menyumbang
sampai 42% dari total investasi PMDN dengan jumlah proyek sebanyak 429
proyek senilai Rp. 26.612,60 miliar.
Grafik 2.5. Perkembangan I nvestasi PMDN 2010-2011
Sumber : BKPM
6
sektor ini pada tahun 2011 adalah bidang transportasi, gudang & komunikasi
senilai US$ 3.865,60 juta (49%) disusul oleh subsektor LGA US$ 1.864,7 juta
(24%) kemudian perdagangan & reparasi US$ 821 juta (10%) dan sisanya
tersebar pada beberapa bidang usaha alainnya.
Grafik 2.6. Perkembangan I nvestasi PMA 2010-2011
S
u
m
b
e
r
Sumber : BKPM
Perkembangan nilai investasi PMA pada tahun 2010 sebelumnya mencapai
US$ 16.214,8 juta (3.081 proyek) artinya pada tahun 2011 investasi PMA
mengalami peningkatan sebesar 20%. Sektor yang banyak diminati oleh
kalangan PMA pada tahun 2010 adalah sektor tersier yang memberi
konstribusi sebesar 60% dengan nilai investasi US$ 9.815,3 juta. Dalam
sektor ini yang banyak diminati oleh PMA adalah subsektor transportasi,
gudang & komunikasi disusul LGA dan perumahan & kawasan industri dan
sisanya tersebar pada beberapa bidang usaha lainnya.
7
pembangunan kapal. Selain itu banyaknya biaya pajak yang harus
ditanggung untuk pembuatan kapal tersebut, membuat masih tingginya biaya
pembuatan kapal di Indonesia. Kondisi ini membuat beberapa perusahaan
pelayaran nasional membangun kapalnya di luar negeri, karena dianggap
lebih murah biayanya dibanding membangun di dalam negeri.
Seiring dengan meningkatnya ekspor dan beragamnya barang yang dikirim
menyebabkan kebutuhan ruang kapal semakin besar. Dan untuk memenuhi
kebutuhan hanya bisa dilakukan oleh armada asing. Saat ini, perusahaan
pelayaran nasional hanya mampu menyerap lima sampai enam persen
pangsa angkutan laut, baik barang impor/ bongkar atau barang ekspor
angkut, dan sisanya diambil oleh perusahaan pelayaran asing yang dengan
leluasanya keluar masuk perairan nasional.
Penerapan azas cabotage telah berhasil memberikan hasil yang signifikan
dalam pemberdayaan industri pelayaran nasional sesuai dengan amanat
Inpres No. 5 tahun 2005 yang diperkuat dengan UU No.17 tahun 2008
tentang Pelayaran. Hasil tersebut ditunjukkan dengan telah diselesaikannya
beberapa regulasi yang sesuai dengan pelaksanaan Inpres No. 5 tahun 2005
diantaranya adalah Peraturan Presiden No.44 Tahun 2005 tanggal 8 Juli 2005
tentang pengesahan International Convention on Maritime Liens and
Mortgages, 1993 (Konvensi Internasional tentang Piutang Maritim dan
Mortgage, 1993), 7 Peraturan Menteri Perhubungan, 2 Peraturan Bersama
Menteri Perhubungan, dan Menteri Perdagangan, 1 Peraturan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral, dan 1 Peraturan Menteri Perindustrian.
Untuk jumlah armada dan kapasitas armada niaga nasional setelah
pelaksanaan Inpres No. 5 Tahun 2005, telah terjadi peningkatan sebesar
110,8% yaitu dari 6.041 kapal dengan tonase 5,67 juta GT (pada 31 Maret
2005) menjadi 9.309 kapal (pada Maret 2010). Sedangkan untuk pangsa
muatan armada nasional, secara umum semua 13 komoditi telah berhasil
diangkut oleh kapal-kapal berbendera Indonesia. Peningkatan pangsa muatan
armada niaga nasional untuk angkutan laut dalam negeri dari 55,5% (tahun
2005) menjadi 90,2% (tahun 2009) dan untuk angkutan laut luar negeri dari
5% (tahun 2005) menjadi 9% (tahun 2009).
Untuk memperbesar porsinya dalam mengangkut muatan armada nasional
mencoba menurunkan tarif angkutannya. Hal ini memungkinkan karena
pemerintah memang tidak mengatur tarif angkutan laut untuk barang.
Namun karena kapasitas angkutnya kecil, armada nasional sulit mendapat
muatan ekspor/ impor, karena dipandang tidak efisien dan biayanya lebih
mahal.
8
Akhirnya armada nasional cenderung menjadi angkutan feeder bagi muatan
ekspor/ impor, yaitu angkutan yang melayani rute dari pelabuhan-pelabuhan
di dalam negeri ke Singapura yang merupakan pelabuhan transhipment. Di
pelabuhan ini, muatan dialihkan ke kapal perusahaan pelayaran nasional
yang melayani angkutan feeder ke negara tujuan. Perusahaan pelayaran
nasional yang melayani angkutan feeder ke Singapura diantaranya adalah PT.
Djakarta Lloyd, PT. Trikora Lloyd dan PT. Samudera Indonesia.
Upaya lainnya yang dilakukan oleh masing-masing perusahaan pelayaran
nasional untuk menembus dominasi armada pelayaran asing adalah dilakukan
kerjasama antar pemerintah Indonesia dengan negara lain di bidang
pelayaran antara lain dengan Vietnam dan Cina. Dengan kerjasama tersebut
kapal-kapal dari masing-masing negara mendapat perlakuan sama. Barang
ekspor/ impor dari kedua negara harus diangkut seimbang oleh kapal kedua
negara. Namun kerjasama ini belum banyak dilakukan.
Berkembangnya sistem kontainerisasi dalam angkutan laut di dunia beberapa
tahun belakangan ini menjadi penyebab munculnya sistem transportasi antar
moda. Sistem transportasi antar moda adalah sebuah sistem pengangkutan
barang yang menggunakan sekurang-kurangnya dua jenis sarana angkutan
berdasarkan kontrak angkutan multimoda. Barang dari suatu tempat di
negara tertentu dipindahkan ke suatu tempat penyerahan barang yang telah
ditentukan di negara lain, dimana tanggung jawab atas barang yang telah
ditentukan di negara lain, dimana tanggung jawab atas barang tersebut
diambil alih penyelenggara jasa angkutan multimoda.
Saat ini angkutan barang dari ke Indonesia sebagian sudah menggunakan
kontainer. Hal ini menunjukkan Indonesia sudah mengarah ke sistem
transportasi antar moda, meskipun sistem ini belum dilaksanakan secara
penuh. Perwujudan transportasi antar moda dianggap sebagai salah satu
langkah penting untuk meningkatkan daya saing dan pangsa pasar komoditi
ekspor Indonesia.
Pengembangan pelayaran nasional memang terkait pada banyak hal sehingga
sulit dilakukan. Namun untuk bisa mengikuti perkembangan pola pelayaran
dan distribusi internasional, Indonesia perlu segera membenahi bidang-
bidang yang menyangkut pelayaran seperti perizinan, pola trayek, pajak,
pelabuhan dan sebagainya.
9
2.3. Perkembangan I ndustri Transportasi Laut
10
Armada pelayaran nusantara adalah armada yang melayani angkutan
domestik dengan trayek panjang (seluruh Indonesia). Armada pelayaran
lokal merupakan armada yang melayani angkutan domestik, trayeknya
terbatas pada daerah tertentu di Indonesia. Kedua jenis pelayaran ini telah
disatukan dan digolongkan sebagai pelayaran domestik.
c. Spot Charter
Yaitu penyewaan pengangkutan untuk sekali pelayaran, mencakup hal-
hal sebagai berikut :
• Berdasar tarif sewa di pasar spot
• Membayar biaya sewa
• Biaya ABK dan operasional kapal termasuk bahan bakar dan jasa
pelabuhan ditanggung/ beban pemilik kapal
11
Pada umumnya pemilik kapal lebih memilih menyewakan kapalnya dengan
kontrak tetap berdasarkan time charter dan COA, karena dalam jangka
pendek biaya dan pendapatan dapat dikelola dan diprediksi.
2.3.3. Perkembangan Perusahaan Pelayaran Angkutan Laut
Selama tahun 2005-2009, jumlah perusahaan pelayaran di Indonesia
cenderung meningkat. Menurut catatan Ditjen Perhubungan Laut, pada
tahun 2005 terdapat 2.071 perusahaan pelayaran, dan pada tahun 2009
meningkat menjadi 2.731 perusahaan.
Dari jumlah perusahaan pelayaran yang ada tersebut, tidak semuanya
memiliki kapal sendiri melainkan sewa/ charter dari perusahaan lain. Ada
pula perusahaan pelayaran yang hanya berfungsi sebagai agen pelayaran
asing. Dengan masih banyaknya perusahaan pelayaran yang berfungsi
sebagai agen dan hanya memiliki kapal charter ini sebenarnya pemerintah
telah menyiapkan Keputusan Menteri No. 33 tahun 2001 tentang
perusahaan pelayaran yang boleh mengoperasikan kapal adalah
perusahaan yang memiliki kapal. Bagi perusahaan yang tidak memiliki
kapal dilarang menyelenggarakan angkutan laut dan kegiatan usahanya
hanya dibatasi sebagai keagenan.
Perusahaan Angkutan Laut Menurut Jenis Pelayaran 2005 – 2009
Uraian 2005 2006 2007 2008 2009
Pelayaran Nasional 1.269 1.380 1.432 1.620 1.754
Pelayaran Rakyat 485 507 560 583 595
Non Pelayaran 317 326 334 367 382
Jumlah 2.071 2.213 2.326 2.570 2.731
Sumber : Direktorat Lalu Lintas Angkutan Laut (Dit. LALA), Ditjen Hubla
12
Perusahaan pelayaran nasional tersebar di seluruh propinsi di Indonesia,
didominasi propinsi DKI Jakarta, yang diikuti Jawa Timur, Riau, Kalimantan
Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Utara dan Kalimantan Selatan.
Selama 2005 - 2009, jumlah perusahaan pelayaran di propinsi DKI Jakarta
meningkat dari 612 perusahaan tahun 2005 menjadi 757 perusahaan atau
43% dari total perusahaan pelayaran pada tahun 2009. Dominannya
perusahaan pelayaran di DKI Jakarta erat kaitannya dengan pusat
kegiatan bisnis yang menggunakan pelayaran baik untuk jalur domestik
maupun ekspor-impor melalui pelabuhan Tanjung Priok.
Sementara itu untuk muatan angkutan laut dipropinsi Jawa Timur
didistribusikan melalui pelabuhan Tanjung Perak. Sedangkan di propinsi
Riau, terdapat beberapa pelabuhan yang digunakan untuk transportasi
laut.
Jumlah Perusahaan Pelayaran Menurut Propinsi
Propinsi 2005 2006 2007 2008 2009
Nangroe Aceh D. 11 9 10 13 13
Sumatera Utara 43 43 45 55 63
Sumatera Barat - - - - -
Ri a u 126 128 133 145 178
Jambi 12 14 14 19 19
Bengkulu 2 1 1 2 2
Bangka/ Belitung 2 4 4 4 4
Sumatera Selatan 28 25 27 35 35
Lampung 5 5 5 9 9
Banten 2 4 4 7 7
DKI Jakarta 612 662 688 712 757
Jawa Barat 6 8 8 10 10
Jawa Tengah 10 11 11 17 17
D.I Yogyakarta - - - - -
Jawa Timur 145 170 177 204 233
Bali 9 9 9 16 16
NTB 2 2 2 4 4
NTT - - - - -
Kalimantan Barat 37 41 42 47 51
Kal. Tengah 2 2 2 4 4
Kal. Selatan 35 41 41 54 54
Kal. Timur 87 106 109 115 115
Sul. Utara 18 20 22 33 35
Gorontalo 1 1 1 2 2
Sul. Tengah 7 7 7 9 9
Sul. Tenggara 6 7 7 13 13
Sul. Selatan 20 20 21 38 45
Maluku Utara 6 9 9 12 12
Maluku 17 12 14 19 22
13
Papua 18 19 19 22 25
Jumlah 1.269 1.380 1.432 1.620 1.754
Sumber : Direktorat Lalu Lintas Angkutan Laut (Dit. LALA), Ditjen Hubla
14
positif, dimana sebagian besar merupakan pengalihan bendera kapal milik
perusahaan pelayaran nasional dari bendera asing ke bendera Indonesia
serta pembangunan kapal baru dan pengadaan kapal bekas dari luar
negeri.
Selain armada pelayaran nasional, industri angkutan laut di Indonesia
sebagian masih tergantung kepada armada milik asing baik berupa kapal
charter maupun berupa keagenan. Dalam periode 2005 - 2009 jumlah
kapal asing yang disewa (charter) oleh perusahaan pelayaran dalam
negeri relatif menurun yaitu dari 1.955 unit tahun 2005 menjadi tinggal
865 unit tahun 2009. Sedangkan jumlah keagenan kapal asing juga dari
6.520 unit pada tahun 2005 menjadi 6.510 unit tahun 2009.
Perkembangan Armada Angkutan Laut Menurut Kepemilikan
(Satuan Unit
Kapal)
Uraian 2005 2006 2007 2008 2009
Nasional 6.012 6.428 7.154 8.165 9.164
Charter Asing 1.955 1.448 1.154 977 865
Keagenan Asing 6.520 6.594 6.540 6.616 6.510
Jumlah 14.487 14.470 14.848 15.758 16.539
Sumber : Direktorat Lalu Lintas Angkutan Laut (Dit. LALA), Ditjen Hubla
15
Jumlah Kapal Persentase
Jenis Kapal Maret Maret Maret Maret
2005 2009 2005 2009
Fishing Vessel 874 1.042 63,24% 65,04%
Tugboat 169 178 12,23% 11,11%
Kapal Wisata 57 66 4,12% 4,12%
Bulk Carrier 24 24 1,74% 1,50%
Tanker 9 9 0,65% 0,56%
Landing Craft 9 9 0,65% 0,56%
Barges 212 213 15,34% 13,30%
Lainnya (Kapal Keruk, motor 28 61 2,03% 3,81%
Boat, Cargo, supply vessel)
Total 1.382 1.602 100,00% 100,00%
Sumber : Ditjen Hubla
16
Perkembangan Produksi Angkutan Laut di I ndonesia
tahun 2005- 2009 ( Ton)
Uraian 2005 2006 2007 2008 2009
Perusahaan Nasional
Angk. Dalam Negeri 114.459.924 135.335.338 148.740.629 192.763.874 258.359.686
Angk. Luar Negeri 24.599.718 29.363.757 31.381.870 38.196.693 49.293.953
Sub Jumlah 139.059.642 164.699.095 180.122.499 230.960.567 307.653.639
Perusahaan Asing
Angk. Dalam Negeri 91.879.206 85.444.321 79.214.358 50.126.180 28.007.688
Angk. Luar Negeri 468.370.236 485.789.846 500.514.225 498.273.709 501.661.150
Sub Jumlah 560.249.442 571.234.167 579.728.583 548.399.889 529.668.838
Angk. Dalam Negeri 206.339.130 220.779.659 227.954.987 242.890.054 286.367.374
Angk Luar Negeri 492.969.954 515.153.603 531.896.095 536.470.402 550.955.103
Total 699.309.084 735.933.262 759.851.082 779.360.456 837.322.477
Sumber : Direktorat Lalu Lintas Angkutan Laut (Dit. LALA), Ditjen Hubla
17
batubara, emas dan timah masih diangkut oleh kapal-kapal dari perusahaan
asing.
Dengan penerapan asas Cabotage pelayaran nasional akan memperoleh
tambahan penerimaan dari kegiatan ekspor impor. Kebijakan tersebut juga
dapat menyerap tenaga kerja baru disektor perkapalan, industri galangan
kapal, serta industri hulu-hilir, sehinga akan membuka bagi persahaan-
perusahaan nasional.
Namun demikian pemberlakuan azas cabotage mengalami beberapa
kendala antara lain sebagai berikut :
a. Dukungan perbankan maupun lembaga keuangan atau pembiayaan
lainnya dalam memberikan pinjaman atau kredit bagi pengembangan
armada niaga nasional, meskipun telah menunjukkan peningkatan yang
cukup signifikan namun dibanding dengan total pendanaan yang
dibutuhkan masih relatif terbatas dengan tingkat suku bunga, own
equity dan collateral yang relatif masih tinggi;
b. Insentif pajak yang masih kurang bagi pemberdayaan industri
pelayaran dan industri perkapalan nasional sebagaimana diamanatkan
dalam Inpres No. 5 tahun 2005, antara lain: hasil penjualan kapal
( capital gain) yang ditujukan untuk membeli kapal baru atau
peremajaan kapal masih dikenakan pajak penghasilan;
c. Belum terwujudnya secara efektif kontrak jangka panjang antara
pemilik barang dengan perusahaan pelayaran nasional yang akan
digunakan sebagai jaminan mendapatkan pendanaan dari perbankan
dan lembaga keuangan/ pembiayaan lainnya;
d. Pengurangan volume muatan dan freight kapal yang signifikan akibat
krisis ekonomi global;
e. Perlunya sinkronisasi atau harmonisasi pengaturan mengenai batas
umur kapal impor yang akan berganti bendera dari bendera asing
menjadi bendera Indonesia;
f. Pemilik muatan tertentu menerapkan kondisi atau persyaratan kontrak
pengangkutan yang beRp.otensi menyulitkan atau menghambat
penggunaan kapal berbendera , antara lain :
Adanya ketentuan vetting system ( re-Survey) yang diterapkan
perusahaan pemilik muatan batubara tertentu;
Adanya pembatasan usia kapal tidak lebih dari 25 (dua puluh lima)
tahun untuk kapal milik berbendera Indonesia yang mengangkut
minyak di dalam negeri yang ditetapkan oleh BP MIGAS;
18
Short-term contract membuat perbankan atau kreditur enggan
memberikan pinjaman;
Adanya ketentuan “ Early Termination Clause” dalam kontrak dengan
KKKS membuat perbankan/ kreditur enggan memberikan pinjaman.
h. Kapal-kapal jenis tertentu belum dimiliki oleh perusahaan pelayaran
nasional (a.l. survey vessel, heavy lift vessel, pipelay Barges, MODU,
MODPU, Drilling ship, dll);
Produksi batubara nasional dalam 5 tahun terakhir tumbuh pesat dari 153
juta ton tahun 2005 menjadi sebesar 275 juta ton tahun 2010. Volume
ekspor pada tahun 2010 mencapai 208 juta ton naik sebesar 188%
dibanding tahun 2005 yang sebesar 111 juta ton. Sejalan dengan ekspor,
penjualan batubara dalam negeri juga mengalami peningkatan dari 41 juta
ton tahun 2005 menjadi 67 juta ton tahun 2010.
Perkembangan Produksi, Penjualan
dan Ekspor Batubara I ndonesia ( Ton)
Tahun Produksi Ekspor I mpor Dalam Negeri
Sesuai Keputusan Menteri ESDM nomor 1991 K/ 30/ MEM/ 2011 tentang
Penetapan Kebutuhan dan Presentase Minimal Batubara untuk kepentingan
dalam negeri tahun 2012, ditargetkan kebutuhan batubara untuk
kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/ DMO) bagi pemakai
batubara tahun 2012 adalah sebesar 82,07 juta ton atau naik 3,8%
dibandingkan DMO tahun 2011. Dari jumlah tersebut paling besar
dialokasikan untuk pembangkit listrik PLN sebesar 69%. Sedangkan
pembangkit swasta diperkirakan menggunakan batubara sebesar 10,76 juta
ton atau 13,11%.
Daftar Pemakai Batubara Untuk Kepentingan Dalam Negeri
Tahun 2012
Jumlah GCV ( Kkal/ Kg)
No I ndustri %
( juta Ton) Dalam GAR
19
1 PLTU
PT. PLN & PLTGB-PLTGBB 57,20 69,70% 4.000 – 5.200
IPP 10,76 13,11% 4.000 – 5.200
PT. Freeport Indonesia 0,83 1,01% 5.800
PT. Newmont Nusa Tenggara 0,54 0,66% 5.000
PT. Pusaka Jawa Palu Power 0,19 0,23% 5.000
69,52 84,7%
2 Metalurgi
PT. Inco 0,13 0,16% 5.900
PT. Antam Tbk 0,19 0,23% 6.600
0,32 0,39%
3 Semen, Tekstil, Pupuk & Pulp
Semen 8,40 10,24% 4.100 – 6.300
Tekstil dan Produksi Tekstil 1,93 2,35% 5.000 – 6.500
Pupuk 1,30 1,58% 4.200 – 5.400
Pulp 0,60 0,73% 4.500 – 5.500
12,23 14,90%
Total 82,07 100%
Sumber : Kepmen ESDM No. 1991 K/ 30/ MEM/ 2011
20
B BUMN
PT. Bukit Asam (Persero) Tbk 3.213.584
Jumlah 3.213.584
C Izin Usaha Pertambangan
PT. Jembayan Muarabara 1.197.679
PT. Lamindo Inter Multikon 1.150.710
Lain-lain (dibawah 1 juta ton) 9.459.896
Jumlah 11.808.285
TOTAL 82.070.000
Sumber : Kepmen ESDM No. 1991 K/ 30/ MEM/ 2011
21
terbuka untuk perdagangan luar negeri wajib menunjuk perusahaan
angkutan laut nasional yang memenuhi persyaratan yang ditentukan
sebagai agen umum.
Perusahaan angkutan laut nasional yang dapat ditunjuk sebagai agen
umum harus memiliki kapal berbendera Indonesia yang laik laut dengan
ukuran sekurang-kurangnya GT. 5000. Agen umum tidak diperkenankan
menggunakan ruangan kapal yang diageninya baik secara sebagian
maupun keseluruhan untuk kepentingan angkutan laut dalam negeri. Agen
umum hanya melakukan kegiatan menggunakan kepentingan kapal yang
diageninya selama berada di Indonesia. Adapun kegiatan di agen umum
antara lain :
• Mengurus jasa-jasa kepelabuhan yang diperlukan oleh kapal selama
berada di Indonesia;
• Menunjuk perusahaan bongkar muat untuk kepentingan principal;
• Melakukan pembukuan muatan dan canvassing;
• Memungut jasa angkutan (freight) atas perintah prinsipal;
• Menerbitkan konosemen (bill of lading) untuk atau atas nama principal;
• Menyelesaikan tagihan (disbursement) dan klaim jika ada;
• Memberikan informasi yang diperlukan oleh principal.
PT. “BC” merupakan produsen batubara terbesar ke-5 di Indonesia dari segi
jumlah produksi pada tahun 2009, menurut Laporan Tahunan Produksi
22
Batubara per tanggal Desember 2009 oleh KESDM. Perseroan terlibat dalam
bisnis penambangan batubara di permukaan (open-cut mining) dari wilayah
konsesinya di Kalimantan Timur, Indonesia, dimana perseroan pada saat ini
mengoperasikan 3 tambang aktif di daerah Lati, Binungan, dan Sambarata,
seluruhnya berada di Propinsi Kalimantan Timur. Cadangan batubara yang
tersedia diperkirakan sebesar 346 juta ton per 31 Desember 2009, dimana
sebesar 146 juta ton merupakan proved reserves sedangkan 200 juta ton
merupakan probable reserve, menurut laporan dari Minarco-Mine Consult.
Wilayah konsesi batubara “BC” yang lebih kurang sebesar 118.400 hektar
yang juga terdiri dari 3 lokasi pencadangan yang lain, yaitu Binungan Blok
8-9-10, Gurimbang, dan Punan.
23