Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT,


karena atas rahmat-Nya saya dapat  menyelesaikan tugas individu mata
kuliah Akhlak yang berjudul Khauf dan Raja’ .
Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan
bimbingan dari beberapa pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Dan tidak pula
penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah Akhlak.
            Sebagai bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan
kepada penulis dapat diterima dan menjadi amal sholeh dan diterima Allah
sebagai sebuah kebaikan. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis
dan semua pembaca pada umumnya .

Banjarbaru, Desember 2022

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................
A. Latar Belakang.......................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................
A.    Pengertian Bohong/Dusta............................................................................................
B.     Sifat Bohong Terbagi Dalam 3 Kategori....................................................................
1.      Mendustakan / berkhianat   kepada Allah SWT..............................................
2.      Mendustakan atau berkhianat  kepada Rasul SAW........................................
3.      Mengkhianati amanah (kepercaan) diantara sesama manusia........................
C.     Faktor-Faktor Pendorong Terjadinya Dusta...............................................................
D.    Dusta dalam Kenyataan Sehari-hari yang Harus Dihindari........................................
E.     Terapi Penyembuhan Penyakit Tercela Ini.................................................................
F.      30 Sifat Munafik Yang Wujud Dalam Hati Kita........................................................
BAB III PENUTUP.........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehidupan manusia di dunia tujuannya tidak lain hanya untuk beribadah
kepada Allah swt, sebagaimana telah dijelaskan dalam firman-Nya; “ Dan tidak
Aku (Allah) ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku
(Allah)” . Maka dari itu wajib bagi kita untuk mendekatkan diri kepada Allah swt
yaitu dengan beribadah kepada-Nya. Adapun tata cara beribadah telah dicotohkan
oleh rasul-Nya Muhammad saw. Adapun hakikat beribadah adalah wushul
(sampai) kepada Allah swt. Terdapat tujuh tahapan untuk bisa mencapainya yaitu;
tahapan ilmu, tobat, rintangan, godaan, pendorong, penoda dan perusak ibadah,
dan tahapan puji dan syukur.
         Dalam kesempatan kali ini saya akan mencoba menguraikan tentang tahapan
yang kelima yaitu tahapan pendorong yang di dalamnya berisi tentang berharap
kepada Allah swt (raja’) dan takut kepada-Nya (khauf).

B. Tujuan Masalah
Adapun tujuan masalah dari makalah ini :

1. Untuk mengetahui pengertian khauf  dan raja’.

2.   Untuk mengetahui dasar Al Quran tentang khauf  dan raja’.

3.   Untuk memahami hakikat khauf  dan raja’.

4.   Untuk mengetahui dasar dari khauf  dan raja’.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A  Pengertian Khauf Dan Raja’

1.   Pengertian Al-Khauf
         Secara bahasa khauf artinya perasaan takut yang muncul terhadap
sesuatu yang mencelakakan, berbahaya atau mengganggu.
         Secara istilah khauf  adalah suatu sikap mental merasa takut kepada
Allah karena kurang sempurna pengabdiannya, takut atau khawatir kalau
kalau Allah tidak senang padanya. Khauf timbul karena pengenalan dan
cinta kepada Allah yang mendalam sehingga ia merasa khawatir kalau Allah
melupakannya atau takut kepada siksa Allah.
         Adapun para ulama tasawuf mengemukakan makna khauf adalah seba-
gai berikut :

a)      Hasan al Bashri
      Khauf  adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah SWT
karena kurang sempurnanya pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau-
kalau Allah tidak senang kepadanya.

b)      Bishr al-Hafi

Ketakutan kepada Allah adalah sebenar-benar harta yang hanya di-


miliki oleh hati para hamba yang benar-benar bertakwa. Perasaan takut
bukanlah dengan bercucuran air mata lantas dilap dengan kedua tangan
seseorang. Ketakutan yang sebenar adalah kamu mampu meninggalkan
segala dosa yang akan mengundang azab-Nya.

c)      Imam Qusyairy

       Takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumNya. Menurutnya


khauf adalah masalah yang berkaitan dengan kejadian yang akan
datang, sebab seseorang hanya merasa takut jika apa yang dibenci tiba

2
dan yang dicintai sirna. Dan realita demikian hanya terjadi di masa de-
pan.

d)    Sayyid Ahmad bin Zain al-Habsyi

    Khauf adalah Suatu keadaan yang menggambarkan resahnya hati


karena menunggu sesuatu yang tidak disukai yang diyakini akan terjadi
dikemudian hari.

e)       Ibnu Khabiq

       Makna khauf menurutku adalah berdasarkan waktunya, yaitu takut


yang tetap ada pada Allah saat ia dalam keadaan aman.

f.       Al-Falluji

       Khauf adalah suatu bentuk kegelisahan ketika seseorang memperkirakan


sesuatu yang ia benci akan menimpanya.

g.      Al Ghazali

       Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang
tidak disenagi dimasa sekarang.

Menurut Al Ghazali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat[3],
diantaranya adalah:
a.            Tingkatan Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan
yang  
   dimiliki wanita, perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-
ayat
   Allah dibaca.
b.            Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan
   melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf
   tingkat ini menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini
   dicela karena karena membuat manusia tidak bisa beramal.
c.             Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia
berada

3
   diantara khauf qashir dan mufrith.[4]

        

         Dalam kitabnya Ihya Ulumuddin Al Ghazali juga membagi khauf kedalam
tiga tingkatan[5] yaitu :
a.     Khauf al awam (takutnya orang awam), yaitu takut akan hukuman dan keter-
lambatan pahala.
b.            Khauf al khashshah (takutnya orang khusus), yaitu takut akan keterlambatan
teguran.
c.      Khauf al khashshah al khashshah (takutnya orang yang paling khusus), yaitu
takut akan ketertutupan dengan nampaknya keburukan budi pekerti.

2.         Pengertian Al-Raja’

         Secara bahasa raja’ artinya mengharapkan. Apabila dikatakan rajaahu maka
artinya ammalahu “dia mengharapkannya”. Syaikh Utsaimin berkata: “Raja’
adalah keinginan seorang insan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam jangka
dekat maupun jangka panjang yang diposisikan seperti sesuatu yang bisa digapai
dalam jangka pendek.[6]”

Secara istilah yang dimaksud dengan raja’ adalah menginginkan kebaikan


yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia
akhirat. Dan raja’ haruslah diiringi dengan usaha menempuh sebab-sebab untuk
mencapai tujuan.[7]

Adapun para ulama tasawuf mengemukakan makna raja’ adalah sebagai


berikut:

a.      Hasan Al Bashri

       Raja’ adalah sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat
ilahi yang di sediakan bagi hamba-hambanya yang shaleh.

b.      Imam Qusyairy

4
       Raja’ adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diingikannya tejadi di
masa yang akan datang.

c.       Abu Abdullah bin khafif

       Raja’ adalah senangnya hati karena melihat kemurahan yang tercinta yang
kepada Nya harapan dipautkan dan menganggap adanya fadal sebagai tanda hara-
pan yang pasti.

d.      Ibn al-Qayyim  

       Raja’ adalah cinta kepada apa yang diharapkannya, takut harapannya hilang
dan berusaha untuk mencapai apa yang diharapkannya.

e.       Ahmad bin Ashim al-Anthaky

       Sikap seorang hamba yang manakala ia menerima nikmat anugerah (ihsan), ia
terilhami untuk bersyukur, penuh harap akan penuhnya rahmat Allah swt di dunia
dan penuhnya pengampunanNya di akhirat.   

f.       Al Ghazali

       Raja’ adalah perasaaan hati yang senang menanti sesuatu yang diinginkan dan
disenangi serta rasa lapang hati dalam menantikan hal yang diharapkan di masa
yang akan datang yang mungkin terjadi

Dalam kitabnya Ihya Ulumuddin Al Ghazali juga membagi raja’ kedalam


tiga tingkatan[8] yaitu :

a.     Raja’ al awam (harapan orang awam), yaitu harapan memdapatkan sebaik-
baiknya tempat kembali dan sebanyak-banyaknya pahala.
b.   Raja’ al khashshah (harapan orang khusus), yaitu harapan memperoleh ridha
dan selalu dekat dengan Allah SWT.
c.   Raja’ al khashshah al khashshah (harapan orang yang paling khusus), yaitu hara-
pan kemungkinan untuk syuhud (menyaksikan) dan meningkatkan pengetahuan
mengenai rahasia-rahasia Allah.

5
B.        Dasar–Dasar Al Quran Tentang Al-Khauf Dan Al-Raja’
1.            Dasar Al Quran Tentang Al-Khauf

      surah al-Qasas ayat 21 surah al-Naml ayat 10 dan surah al-Qasas ayat 33.
Ayat tentang khauf yang lain diantaranya dalam surah az-Zumar ayat 13, al-Nur
ayat 37, al-Insan ayat 10 yang menunjukkan ketakutan pada siksaan hari akhir.
Sedang khauf dalam surah Asy-Syuara’ ayat 14.

2.            Dasar Al Quran Tentang Al-Raja’

"Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada

Rabb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan

mengharapkan rahmat-Nya dan takut adzab-Nya."(Al-Isra': 57).

"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendak-lah

ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia memperseku-tukan

seorangpun dalam beribadah kepada Rabbnya." (Al-Kahfi: 110).

  "Mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah maha Pengam-pun

lagi Maha Penyayang." (Al-Baqarah: 218).

C.       Hakikat Al-Khauf Dan Al-Raja’  
            Khauf (takut) dan raja’ (harap) adalah dua ibadah yang sangat agung. Bila
keduanya menyatu dalam diri seoarang mukmin, maka akan seimbanglah seluruh
aktivitas kehidupannya. Sebab dengan khauf akan membawa dirinya untuk selalu
melaksanakan ketaaatan dan menjauhi perkara yang diharamkan, sementara  raja’

6
akan menghantarkan dirinya untuk selalu mengharap apa yang ada di sisi rabb nya
‘azza wa jalla.[9]

        Dengan khauf dan raja’ seorang mukmin akan selalu ingat bahwa dirinya
akan kembali ke hadapan sang pencipta (karena adanya rasa takut), disamping ia
akan bersemangat memperbanyak amalan-amalan (karena adanya pengharapan).

   Allah SWT berfirman :

Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “apa mereka itu (yang di-
maksud dalam ayat diatas) adalah orang yang meminum khamr, berzina, dan men-
curi?” Rasulullah SAW menjawab, “bukan wahai putri Ash Shiddiq. Justru
mereka adalah orang-orang yang melakukan shaum, shalat, dan bersadaqah dan
mereka khawatir tidk akan diterima amalannya. Mereka itulah orang-orang yang
bergegas dalam kebaikan.” (HR. At Tirmidzi dari Aisyah)[10].

1.            Hakikat Khauf

Khauf adalah ibadah hati. Tidak dibenarkan khauf ini kecuali kepada Nya
Subhanahu wa Ta’ala. Khauf adalah syarat pembuktian keimanan seseorang.

Apabila khauf kepada Allah SWT berkurang dalam diri seseorang, maka ini
sebagai tanda mulai berkurangnya pengetahuan dirinya terhadap Rabb nya, sebab
orang yang paling tahu tentang Allah adalah orang yang paling takut kepada
Nya[11].

Rasa khauf akan muncul dengan sebab beberapa hal, diantaranya :

Pertama, bila seorang hamba mengetahui dan menyakini hal-hal yang tergo-
long pelanggaran dan dosa-dosanya serta kejelekan-kejelekannya.

7
Kedua, pembenarannya akan adanya ancaman Allah SWT bahwa Allah
SWT akan menyiapkan siksa atas segala kemaksiatan.

Ketiga, dia mengetahui akan adanya kemungkinan penghalang antara 


dirinya dan taubatnya.

2.      Hakikat Raja’

Raja’ adalah bergantungnya hati dalam meraih sesuatu di kemudian hari.


Raja’ merupakan ibadah yang mencakup kerendahan dan ketundukan, tidak boleh
ada kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Memalingkan kepada selain Allah SWT
adalah kesyirikan,bias berupa syirik besar ataupun syirik kecil tergantung apa
yang ada dalam hati orang yang tengah mengharap[12].

Raja’ tidaklah menjadikan pelakunya terpuji kecuali bila disertai amalan.


Berkata Ibnu Qayyim dalam kitabnya “Madarijus Salikin” : “ bahwa raja’ tidak
akan sah kecuali jika di barengi dengan amalan. Oleh karena itu tidaklah seorang
dianggap mengharap jika tidak beramal.

Ibnu Qayyim membagi raja’ menjadi  tiga bagian, dua diantaranya raja’
yang benar dan terpuji pelakunya sedangkan yang lainnya tercela[13]. Raja’ yang
menjadikan pelakunya terpuji adalah :

Pertama, seseorang mengharap disertai dengan amalan taat kepada Allah


SWT, diatas cahaya Allah SWT, ia senantiasa mengharap pahala Nya.

Kedua, seseorang yang berbuat dosa lalu bertobat darinya dan ia senantiasa
mengharap ampunan Allah SWT dan kebaikan Nya dan kemurahan Nya.

Adapun yang menjadikan pelakunya tercela adalah seseorang yang terus


menerus dalam kesalahan-kesalahannya lalu mengharap rahmat Allah SWT tanpa
di barengi amalan, maka raja’ seperti ini hanyalah angan-angan belaka, sebuah
harapan yang dusta.

8
Raja’ menuntut adanya khauf dalam diri seorang mukmin, yang dengan itu
akan memacunya untuk melakukan amalan-amalan sholeh, tanpa disertai khauf,
raja’ hanya akan bernilai sebuah fatamorgana. Sebaliknya khauf juga menuntut
adanya raja’, tanpa raja’ khauf hanyalah berupa keputusan tak berarti.

Jadi khauf dan raja’ harus senantiasa menyatu dalam diri seorang mukmin
dalam rangka menyeimbangkan hidupnya untuk tetap istiqamah melaksanakan
perintah Nya dan menjauhi larangan Nya. Mengharap pahala dan takut akan siksa
Nya. Keduanya ibarat dua sayap burung yang dengannya dapat menjalani kehidu-
pannya dengan sempurna. 

D.          Manfaat dari Al-Khauf Dan Al-Raja’


Keharusan seseorang memiliki rasa takut didasarkan atas dua hal[14];
Pertama agar terhindar dari kemaksiatan, sebab nafsu yang senantiasa mengajak
berbuat jahat itu cenderung melakukan hal yang tidak baik. Nafsu tidak akan
berhenti berbuat jahat kecuali jika diancam. Cara mengatasi nafsu harus dilecut
dan dicambuk sehingga dapat membuatnya jerah dan takut, baik berupa ucapan,
tindakan, atau pikiran.
Kedua agar tidak membangga-banggakan amal solehnya (ujub). Sebab jika
sampai berbuat ujub maka dapat menimbulkan celaka dan nafsu itu tetap harus di-
paksa dengan dicela dan dihinakan mengenai apa yang ada padanya, berupa keja-
hatan, dosa-dosa dan berbagai macam bahaya lainnya.

         Adapun keharusan memiliki rasa raja’ juga dikarenakan dua hal[15], yaitu;
Pertama agar bersemangat melakukan ketaatan, sebab berbuat baik itu berat dan
syaitan selalu mencegahnya. Hawa nafsu selalu mengajak pada perbuatan yang
jelek dan tidak baik. Kebanyakan orang memenuhi hawa nafsunya, sedangkan pa-
hala itu tidak kelihatan, dengan demikian tentu nafsu tidak mau dan tidak seman-
gat dalam melakukan kebaikan. Dalam menghadapi hal ini harus dihadapi dengan

9
raja’, yakni rasa mengharap rahmat Allah dan kebaikan pahalanya agar senantiasa
bersemangat dalam beribadah dan berbuat baik.
Kedua agar terasa ringan menanggung rasa kesulitandan kesusahan. Karena
jika seseorang telah mengetahui sesuatu yang telah menjadi tujuantentu seseorang
tersebut akan rela berbuat apapun dan mengeluarkan apapun demi tercapainya tu-
juan tersebut.

Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan)


menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia
memasukkan kedua sifat itu dengan etika-etika, keagamaan lainnya, yakni, ketika
disifati dengan khauf dan raja’, seseorang secara bersamaan disifati pula oleh
sifat-sifat lainnya. Pangkal wara’, menurutnya adalah ketakwaan, pangkal ketak-
waan adalah introspeksi diri (musabat Al-nafs), pangkal introspekasi diri adalah
khauf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang janji dan an-
caman Allah,  pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.[16]

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bohong adalah sifat atau keadaan dari  sesuatu (perbuatan/perkataan), yang


tidak benar, tidak berdasarkan/fakta,  tidak menepati  janji/kesepakatan atau tidak
mengakui atau melanggar hak-hak pihak lain.
Perbuatan yang memiliki sifat dusta, dapat dibagi dalam 3 kategori,
berdasarkan kepada firman Allah Ta’ala yaitu: mendustakan/berkhianat   kepada
Allah SWT, mendustakan atau berkhianat  kepada Rasul SAW, mengkhianati
amanah  (kepercayaan) diantara sesama manusia.

Faktor-Faktor Pendorong Terjadinya Dusta :


1.      Tipisnya rasa takut kepada Allah Ta’ala.

10
2.      Usaha memutarbalikkan fakta dengan berbagai motifnya baik untuk melariskan
barang dagangan, melipatgandakan keuntungan atau yang lain.
3.      Mencari perhatian, seperti ikut dalam seminar dan diskusi dengan
membawakan trik-trik dan kisah-kisah bohong menarik supaya para peserta
terpesona.
4.      Tiadanya rasa tanggung jawab dan berusaha lari dari kenyataan hidup.
5.      Kebiasaan berdusta sejak kecil, baik karena pengaruh kebiasaan orang tua atau
lingkungan tempat tinggalnya.
6.      Merasa bangga dengan kebohongannya, karena ia menganggap kebohongan itu
suatu kecerdikan, kecepatan daya nalar dan perbuatan baik.

B. Saran

Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini,


akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki. Hal
ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis.

Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat diharapkan
sebagai bahan evaluasi untuk ke depannya. Sehingga bisa terus menghasilkan penelitian
dan karya tulis yang bermanfaat bagi banyak orang.

11
DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Taimiyah. A’mal al-qulub au Maqamat wa al-Ahwal. 2007. Jakarta: PT Ikrar


Mandiriabadi
Kitab Al Kadzib, Karya Saikh Abdul Malik Qashim (bit tasharruf wa ziyadah AM.
Afkar/alsofwah)
ZAHIRUDDIN. 25 SEPTEMBER 2010. CIRI-CIRI ATAU SIFAT ORANG
MUNAFIK—ONLINE. (HTTP:REZEKIHALAL.COM/CIRI-CIRI-ATAU-
SIFAT-ORANG-MUNAFIK/) DIAKSES 08-NOPEMBER-2013
Zaky Ahma Fahreza. MENGINSTAL JUJUR “Agar Jujur Kebiasaan dan Supaya
Dusta Jadi Pantangan”. 2011. Klaten Jateng: INAS MEDIA

12

Anda mungkin juga menyukai