Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH AKIDAH AHKLAK

KHAUF

Di susun oleh :

Olivia Anita Rosalinda


XII IPS 1

MA BILINGUAL BATU
ARENG-ARENG DADAPREJO
Tahun Pelajaran 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami hanturkan kepada kehadirat Allah SWT.


yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya bisa menyelesaikan penulisan makalah
tentang khauf.
Tidak lupa saya mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak turut memberikan konstribusi dalam penyusunan
makalah ini. Tentunya tidak akan maksimal jika tidak
mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun saya menyadari bahwa masih dapat
kekurangan, baik dari penyusunan maupun tata bahasa
penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu, saya
dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari
pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ini.
saya berharap semoga makalah yang saya susun ini
memberikan manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.

Batu, 22 Januari 2024

Penyusun
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehidupan manusia di dunia tujuannya
tidak lain hanya untuk beribadah kepada Allah
swt, sebagaimana telah dijelaskan dalam
firman-Nya; “ Dan tidak Aku (Allah) ciptakan jin
dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-
Ku (Allah)” . Maka dari itu wajib bagi kita untuk
mendekatkan diri kepada Allah swt yaitu
dengan beribadah kepada-Nya. Adapun tata
cara beribadah telah dicotohkan oleh rasul-Nya
Muhammad saw. Adapun hakikat beribadah
adalah wushul (sampai) kepada Allah swt.
Terdapat tujuh tahapan untuk bisa
mencapainya yaitu; tahapan ilmu, tobat,
rintangan, godaan, pendorong, penoda dan
perusak ibadah, dan tahapan puji dan syukur.
Dalam kesempatan kali ini kami akan
mencoba menguraikan tentang tahapan yang
kelima yaitu tahapan pendorong yang di
dalamnya berisi tentang berharap kepada Allah
SWT. yaitu takut kepada-Nya (al-khauf).

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian al-khauf?
2. Apa saja dasar Al Quran tentang al-khauf?
3. Apa hakikat al-khauf?
4. Apa manfaat dari al-khauf?

C. Tujuan Penulisan
1. Pembaca dapat mengetahui pengertian al-
khauf
2. Pembaca dapat mengetahui dasar Al Quran
tentang al-khauf
3. Pembaca dapat memahami hakikat al-khauf
4. Pembaca dapat mengetahui dasar dari al-
khauf
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

ü Khauf adalah suatu sikap mental merasa


takut kepada Allah karena kurang sempurna
pengabdiannya, takut atau khawatir kalau-
kalau Allah tidak senang padanya. Sedangkan
raja’ adalah menginginkan kebaikan yang ada di
sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan,
ihsan dan kebaikan dunia akhirat
ü khauf dan raja’ harus senantiasa menyatu
dalam diri seorang mukmin dalam rangka
menyeimbangkan hidupnya untuk tetap
istiqamah melaksanakan perintah Nya dan
menjauhi larangan Nya.
ü Keharusan seseorang untuk memiliki khauf
didasarkan atas dua hal, yaitu; agar terhindar
dari kemaksiatan dan agar tidak membangga-
banggakan amal sholeh (ujub). Sedangkan
keharusan seseeorang memiliki sifat raja’ juga
didasarkan atas dua hal yaitu; agar
bersemangat dalam melakukan beribadah dan
agar terasa ringan menanggung rasa kesusahan
dan kesulitan.
B. Saran dan Kritik
Pemakalah mengharapkan agar apa yang
telah dijelaskan di atas dapat dipahami oleh
pembaca sekalian,
MAKALAH AKHIDAH AKHLAQ
UJUB

FANESA AINUR RAHMA


XII MIPA 2
MA BILINGUAL BATU
ARENG ARENG DADAPREJO
TAHUN AJARAN 2023/2024
I. PENDAHULUAN
Secara naluri, manusia memiliki kecenderungan
menonjolkan kelebihannya di hadapan orang lain.
Kecenderungan ini lahir dari watak bangga diri. Dalam hal
ini, ada unsur kesamaan antara manusia dengan beberapa
jenis binatang. Burung merak misalnya, dia kerap
memamerkan kelebihan bulu-bulunya untuk menarik
simpati lawan jenisnya.Setiap manusia diberikan berbagai
karunia dan kelebihan yang bisa menjadi potensi untuk
melahirkan sifat ujub. Ada kelebihan yang sifatnya alami
dimana manusia tidak memiliki peran sama sekali dalam
memperolehnya semisal kecantikan dan ketampanan. Ada
kelebihan yang merupakan pengembangan potensi
manusia. Apapun kelebihan itu, harus dikembalikan kepada
Allah dan mensyukurinya. Tak layak manusia
membanggakan diri.
Sifat bangga diri (‘ujub) adalah sifat-sifat mazmumah
yang perlu kita jauhi. Tanpa kita sadari bahawa apabila sifat
ini telah bertapak dalam hati kita akan menyebabkan hati
kita berpenyakit dan akan merusak amalan kita kepada
Allah SWT. Sifat kekaguman dan membangga-banggakan
diri dapat menimbulkan kesombongan dan keangkuhan
terhadap orang lain. Sifat ini adalah salah satu penyakit hati
yang sangat mencelakakan dan sulit dihindari. Dalam al-
Qur’an sudah tertera larangan dan ancaman serta bahaya
yang akan ditimbulkan dari sifat takabur ini. Jika seseorang
sudah melekat pada sifat ini, maka segeralah mungkin
untuk mengobatinya dan menghindarinya, karena sifat ini
sangat merugikan diri sendiri maupun orang lain serta
merugikan di dunia dan di akhirat.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa pengertian Kebanggaan (‘Ujub) ?
B. Apa bahaya yang diakibatkan oleh sikap ‘Ujub ?
C. Bagaimana cara menunjukkan sikap membenci ‘Ujub ?

III. PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebanggaan (‘Ujub)


‘Ujub artinya merasa bangga pada diri sendiri, merasa heran
terhadap diri sendiri dengan sebab adanya satu dan lain hal. Diri
sendiri yang dimaksudkan disini ialah mengenai pribadinya,
golongannya, kelompoknya atau apa saja yang dianggap erat
hubungannya dengan dirinya sendiri itu ‘Ujub adalah sifat yang
tercela, sebagaimana Firman Allah dalam QS. At-Taubah : 25

“... dan (ingatlah) peperangan Hunain, Yaitu diwaktu kamu


menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), Maka jumlah
yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu
sedikitpun” (QS. At-Taubah: 25)

Allah Ta’ala menyebutkan ini sebagai suatu pengingkaran,


yakni tidak menyetujui sikap kaum muslimin yang membanggakan
dirinya, merasa heran terhadap jumlahnya yang banyak, yang
dikiranya dengan itu mereka pasti memperoleh kemenangan di
medan perang. Tapi kenyataannya tidaklah demikian.

Allah Ta’ala berfirman lagi dalam QS. al-Hasyr :2

“... mereka itu menyangka, bahwa benteng-benteng mereka dapat


mempertahankan mereka dari (siksa) Allah. Maka Allah
mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak
mereka sangka-sangka. ”

Dalam ayat ini Allah Ta’ala mencemoohkan orang-orang


kafir yang membanggakan keadaan perbentengannya, heran
terhadap kekuatan yang telah mereka susun, sehingga menyangka
tidak akan dapat runtuh sama sekali. Kenyataannya tidaklah
demikian, mereka akhirnya jatuh berantakan.
Rasulullah saw. Bersabda :

” Ada tiga hal yang merusakkan atau mencelakakan yaitu : rasa


bakhil yang dita’ati, hawa nafsu yang diikuti, dan kekaguman
seseorang terhadap dirinya.”

Ketahuilah bahwa sifat ‘ujub bermuara dari merasa dirinya


sempurna. Ada delapan perkara yang dapat menimbulkan sikap
‘ujub, yaitu :
1. ‘Ujub dengan badan
Yakni menyangkut kecantikan atau ketampanan, tubuhnya yang
indah, kekuatannya, keindahan suaranya
2. ‘Ujub dengan ketangguhan dan kekuatan
Ini sebagaimana dikisahkan Allah dalam Al-Qur’an tentang
kaum ‘Ad ketika mereka berkata :

"Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari


kami?"(QS.Fushshilat :15)

Ayat ini menjelaskan mengenai sikap kaum ‘Ad yang sangat


buruk. Mereka sangat menyombongkan diri di muka bumi. Tidakkah
mereka sadar bahwa kalau Allah menghendaki, Dia dapat
menjadikan mereka lemah sebagaimana sekian kaum lainnya, dan
disamping itu apakah mereka tidak melihat yakni mengetahui dan
menyadari bahwa Allah yang menciptakan mereka adalah yang lebih
besar. Namun itu telah menjadi sifat dasar mereka terhadap ayat-ayat
Kami, yakni bahwa mereka senantiasa mengingkarinya.
3. ‘Ujub dengan kepandaian dan kecerdasan
Akibat dari hal ini adalah ia ingin pendapatnya selalu dipakai,
tidak suka bermusyawarah, menganggap orang lain yang
berselisih pendapat dengannya adalah orang bodoh.
4. ‘Ujub atas garis keturunan (nasab) yang mulia
Sebagian orang yang memiliki nasab mulia mengira bahwa ia akan
memperoleh keselamatan oleh sebab kemuliaan nasabnya dan
keselamatan nenek moyangnya.
5. ‘Ujub dengan nasab pembesar negara atau pejabat-pejabat
sebawahnya, bukan dengan nasab ahli ilmu agama.Misalnya
seseorang yang mengaku bahwa dirinya adalah anak jenderal,
cucu menteri dan sebagainya.
6. ‘Ujub dengan banyaknya anak, pelayan, pengikut, keluarga,
dan kerabat
Sebagaimana dikatakan oleh kaum Mu’minin pada waktu
perang Hunain, karena meng’ujubkan jumlah balatentaranya
yang amat banyak itu, sehingga mereka berkata : ” Nah, hari ini
kita tidak akan terkalahkan lagi oleh kaum musyrikin”. Tetapi
karena ‘ujub, Allah Ta’ala tidak memberikan kemenangan
kepada mereka itu dan bahkan sebaliknya.
7. ‘Ujub dengan harta
Mengagumi harta benda yang banyak adalah serupa dengan
orang kafir, ketika ia berkata, sebagaimana disebutkan dalam
Al-Qur’an surat Al-Kahfi : 34

"Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-


pengikutku lebih kuat".(QS. Al-Kahfi :34)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa dengan perkataan demikian,
dia (orang kafir) mengisyaratkan bahwa seseorang dapat hidup
bahagia dan jaya tanpa beriman kepada Tuhan. Dia beranggapan
bahwa segala kejayaan yang dimilikinya dan kenikmatan yang
diperolehnya semata-mata berkat kemampuannya dirinya. Tiada
Tuhan yang dirasanya turut membantu dan memberi rezeki dan
kenikmatan kepadanya.
8. ‘Ujub dengan pendapatnya yang salah.
Rasulullah saw. Telah mengabarkan bahwa umat-umat
terdahulu juga mengalami kehancuran karena kekaguman
terhadap pendapat-pendapat yang salah. Yakni bahwa mereka
terpecah belah menjadi golongan-golongan yang sangat banyak.
Masing-masing golongan mengagumi pendapat sendiri. Dan
masing-masing golongan merasa bangga dengan apa yang ada
pada golongan mereka.

B. Bahaya yang diakibatkan oleh sikap ‘Ujub

Sebagaimana riya' merupakan syirik kecil, demikian pula ‘ujub


merupakan syirik kecil.
Karenanya ujub merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya.
Bahaya ‘ujub itu banyak sekali, diantaranya adalah sebagai
berikut :
1. Sesungguhnya ‘ujub itu mendorong kepada kesombongan.
Karena ‘ujub memang merupakan salah satu sebab yang
menimbulkan kesombongan. Jadi, dari sifat ‘ujub itulah lahir
kesombongan. Dan kesombongan itu sendiri jelas banyak sekali
bahayanya yang menyangkut hubungan dengan sesama
manusia.
2. Adapun menyangkut hubungan dengan Allah, ‘ujub itu
menyebabkan seseorang melupakan dan mengabaikan dosa-
dosanya dimasa lalu.
3. Sedangkan yang menyangkut amal saleh, maka ia
menganggapnya sebagai suatu amalan yang besar.
4. Sifat ‘ujub ini akan menyesatkannya lebih jauh hingga ia tak
segan-segan memuji diri sendiri, menyanjung dan
menganggapnya suci.
5. Orang yang selalu membanggakan diri tidak mau berdiskusi
atau bermusyawarah dalam suatu masalah. Ia juga enggan
bertanya mengenai hal yang tidak diketahui kepada orang yang
lebih mengetahui.
6. Seseorang yang’ujub itu akan mengutamakan dirinya sendiri,
tidak perlu lagi memikirkan kepentingan orang lain

C. Cara menunjukkan sikap membenci ‘Ujub

Termasuk hal yang tidak terpuji, jika orang yang berakal


mengagumi ilmu dan akalnya, sehingga ia merasa heran kalau
Allah memberikan kefakiran kepadanya dan memberikan
kekayaan kepada sebagian orang-orang yang bodoh. Seharusnya
orang yang berakal itu selamanya kagum terhadap keutamaan
atau kelebihan Allah dan kedermawanan-Nya. Karena Allah telah
memberi dia ilmu dan akal.
Oleh karena itu jangan sampai kita terjerumus dalam
kebiasaan yang tidak baik itu. Hendaklah kita memaklumi bahwa
perbuatan yang demikian tadi akan berakibat menurunkan derajat
dari pandangan orang lain dan akan mengakibatkan murka Allah.
Memuji diri sendiri itu tidak menaikkan derajat dalam
pandangan orang lain, maka hendaklah kita renungkan
bagaimana pandangan kita ketika ada teman yang memuji-muji
kebaikannya sendiri, membanggakan kedudukannya dan
memamerkan kekayaannya. Ketika itu pastilah hati kita menolak
untuk mengetahui apa yang diceritakan oleh teman kita itu, dan di
dalam hati kecil kita akan menyatakan bahwa perbuatan teman
kita itu merupakan suatu hal yang keterlaluan sehingga setelah
kita berpisah dengannya, kemungkinan kita pun akan menaruh
kebencian kepadanya.

Jika kita tidak senang


mendengar orang lain memuji dirinya sendiri, maka orang lain
pun merasa benci ketika mendengar kita memuji terhadap diri
sendiri. Allah Ta’ala berfirman :

”Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang


paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”(QS. An-
Najm :32)

Ayat ini menunjukkan kelemahan manusia dan potensi dosa dan


kekurangan dirinya. Jadi, janganlah kalian merasa suci dengan
mengaku-ngaku bertakwa dan istiqamah. Hanya Allah semata yang
mengetahui siapa yang benar-benar bertakwa. Dengan demikian,
semua orang harus berhenti menganggap dirinya suci dan hendaklah
selalu meminta ampun kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha
Maha Kuasa.
Sedangkan cara menanggulangi Penyakit 'ujub antara lain:
1. Selalu mengingat akan hakikat diri
Orang yang kagum pada diri sendiri hendaknya sadar bahwa
nyawa yang ada dalam tubuhnya semata-mata anugerah Allah.
Andaikan nyawa tersebut meninggalkan badannya, maka badan
tidak ada harganya lagi sama sekali. Dia harus sadar bahwa
tubuhnya pertama-tama dibuat dari tanah yang diinjak-injak
manusia dan binatang, kemudian dari air mani yang hina, yang
setiap orang merasa jijik melihatnya, lalu kembali lagi ke tanah
dan menjadi bangkai yang berbau busuk dan setiap orang tidak
suka mencium baunya.

2. Selalu sadar akan hakikat dunia dan akherat


Hendaklah seseorang selalu sadar bahwa dunia adalah tempat
menanam kebahagiaan kehidupan akherat. Dia harus sadar
bahwa sekalipun umurnya panjang, namun tetap akan mati,
kemudian hidup di sebuah kampung abadi yaitu akhirat.
Kesadaran seperti ini akan mendorong seseorang untuk
meluruskan akhlaknya yang bengkok, sebelum nafasnya
meninggalkan jasadnya dan sebelum hilang kesempatan untuk
bertaubat.
3. Selalu mengingat nikmat Allah
Dengan kesadaran seperti ini, seseorang akan merasa lemah dan
merasa butuh kepada Allah, sehingga dia akan membersihkan
diri dari penyakit kagum diri dan berusaha terhindar darinya.
4. Selalu ingat tentang kematian dan kehidupan setelah mati
Kesadaran seperti ini akan mendorong seseorang meninggalkan
perasaan kagum diri karena takut akan berbagai kesengsaraan
hidup setelah mati.
5. Tidak berkawan dengan orang yang kagum diri
Sebaiknya, berkawanlah dengan orang-orang yang tawadlu’ dan
memahami status dirinya. Hal semacam itu sangat membantu
seseorang untuk meninggalkan perangai buruk kagum diri.
6. Memperhatikan keadaan orang yang sedang sakit, bahkan
keadaan orang yang meninggal dunia, ziarah kubur dan
merenungkan keadaan ahli kubur
Cara semacam ini akan mendorong seseorang untuk
meninggalkan perasaan kagum diri dan panyakit hati lainnya.
7. Selalu bermuhasabah (Introspeksi diri)
Dengan demikian, mudah dideteksi gejala awal dari segala
bentuk penyakit hati, terutama penyakit kagum diri. Dengan
demikian, penyakit ini akan mudah diobati.
8. Selalu memohon bantuan dari Allah
Dengan cara berdoa dan senantiasa memohon perlindungan dari-
Nya agar terhindar dari penyakit kagum diri dan tidak terjerumus
ke dalamnya.

IV. PENUTUP

A. Kesimpulan
‘Ujub artinya merasa bangga pada diri sendiri, merasa heran
terhadap diri sendiri dengan sebab adanya satu dan lain hal. Ada
delapan perkara yang dapat menimbulkan sikap ‘ujub, yaitu :
‘Ujub dengan badan,‘Ujub dengan ketangguhan dan kekuatan,
‘Ujub dengan kepandaian dan kecerdasan, ‘Ujub atas garis
keturunan (nasab) yang mulia, ‘Ujub dengan nasab pembesar
negara atau pejabat-pejabat sebawahnya, bukan dengan nasab
ahli ilmu agama, ‘Ujub dengan banyaknya anak, pelayan,
pengikut, keluarga, dan kerabat, ‘Ujub dengan harta, ‘Ujub
dengan pendapatnya yang salah.
Bahaya ‘ujub itu banyak sekali, diantaranya adalah sebagai
berikut :
1. Sesungguhnya ‘ujub itu mendorong kepada kesombongan
2. Adapun menyangkut hubungan dengan Allah, ‘ujub itu
menyebabkan seseorang melupakan dan mengabaikan dosa-
dosanya dimasa lalu.
3. Sedangkan yang menyangkut amal saleh, maka ia
menganggapnya sebagai suatu amalan yang besar.
4. Sifat ‘ujub ini akan menyesatkannya lebih jauh hingga ia tak
segan-segan memuji diri sendiri, menyanjung dan
menganggapnya suci.
5. Orang yang selalu membanggakan diri tidak mau berdiskusi
atau bermusyawarah dalam suatu masalah
6. Seseorang yang’ujub itu akan mengutamakan dirinya sendiri,
tidak perlu lagi memikirkan kepentingan orang lain.
Jika kamu ingin mengetahui bahwa memuji diri sendiri itu
tidak menaikkan derajat dalam pandangan orang lain, maka
cobalah kamu renungkan bagaimana pandanganmu ketika
temanmu memuji-muji kebaikannya sendiri, membanggakan
kedudukannya dan memamerkan kekayaannya. Jika kamu tidak
senang mendengar orang lain memuji dirinya sendiri, maka orang
lain pun merasa benci ketika mendengar pujianmu terhadap
dirimu sendiri.
B. Kritik dan Saran
Demikianlah pembuatan dan penyampaian makalah
tentang ‘Ujub. Tentunya dalam makalah ini masih banyak
kesalahan dan kekurangtelitian. Olehkarena itu, kritik dan
saran yang membangun sangat kami butuhkan demi
perbaikan makalah ini dan selanjutnya. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi semua
mahasiswa pada umumnya. Amiiin.
DAFTAR PUSTAKA

[1]Muhammad Jamaludin Al qasimi, Bimbingan untuk


mencapai tingkat mu’min,(Bandung : CV. Diponegoro, 1994), hlm.
786
[2]Kementrian Agama RI , Al-Qur’an dan tafsirnya, (Jakarta :
Lentera Abadi, 2010), hlm. 88
[3] Kementrian Agama RI , Al-Qur’an dan tafsirnya, .....hlm.
90
[4] ‘Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar, ( Jakarta : Qisthi Press,
2008), hlm.311
[5]‘Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar, .....hlm. 311
[6]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002),hlm. 27
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, .....hlm.31-32
[8] Sa’id Hawwa,Tazkiyatun nafs, (Jakarta : Pena Pundi
Aksara, 2006), hlm. 238
[9]Kementrian Agama RI , Al-Qur’an dan tafsirnya, .....hlm.606
[10] Kementrian Agama RI , Al-Qur’an dan tafsirnya, .....hlm.
609
[11]Muhammad Jamaludin Al qasimi, Bimbingan untuk
mencapai tingkat mu’min, .....hlm. 629-630
[12]Moh. Abdai Rathomy,Terjemahan Mauidhatul Mukminin,
(Bandung :TP, 1975)
[13] Sa’id Hawwa,Tazkiyatun nafs, .....hlm 234
[14]Achmad Sunarto, Pandangan Imam Al-Ghazali tentang
Takabur dan ‘Ujub, (Jakarta :Pustaka Amani,1988), hlm. 54-55
[15] Achmad Sunarto, Pandangan Imam Al-Ghazali tentang
Takabur dan ‘Ujub, .....hlm.57
[16] ‘Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar, .....hlm.214
[17] ‘Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar, .....hlm. 214-215
[18] file:///D:/ujub.htm, Kamis, 02 Mei 2013, pkl. 13.56
MAKALAH AKIDAH AKHLAQ
RIDHO

SHIFLIA KHUSNA SYAFA


XII IPS 2
MA BILINGUAL BATU
ARENG-ARENG DADAPREJO
TAHUN AJARAN 2023/2024
I. Pengertian Ridha

Perkataan ridha berasal dari bahasa arab, radhiya yang artinya


senang hati (rela). Ridha menurut syariah adalah menerima
dengan senang hati atas segala yang diberikan Allah swt, baik
berupa hukum (peraturan-peraturan) maupun ketentuan-
ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Sikap ridha harus
ditunjukkan, baik ketika menerima nikmat maupun tatkala
ditimpa musibah. Adapun beberapa pengertian ridha, yaitu:
 Menurut W.J.S Purwadarminta dalam KBBI diartikan rela,
suka, dan senang hati. Sedangkan secara istilah yaitu
perasaan lega atu kepuasan seseorang terhadap hasil
prestasi yang diraihnya atau keputusan yang diberikan
oleh Allah SWT sebagai takdirnya, dan atau pihak lain yang
harus diterima sesuai prinsip keadilan.
 Menurut Imam Gozali, ridha adalah segala keputusan Allah
SWT, merupakan puncak keindahan akhlak.

Orang yang berhati ridha pada Allah juga memiliki sikap


optimis,lapang dada, kosong hatinya dari dengki, selalu
berprasangka baik, bahkan lebih dari itu, yaitu memandang
baik, sempurna, penuh hikmah, semua yang terjadi semua
sudah ada dalam rancangan, ketentuan Allah. Berbeda dengan
orang-orang yang selalu membuat kerusakan di muka bumi ini,
mereka selalu ridha apabila melakukan perbuatan yang Allah
haramkan, dalam hatinya selalu merasa kurang apabila
meninggalkan kebiasaan buruk yang selama ini mereka
perbuat, dengan kata lain merasa puas hati apabila aktivitas
hidupnya bisa membuat risau, khawatir, dan selalu
mengganggu terhadap sesamanya. Semuanya itu ia lakukan
karena mengikut hawa nafsu yang tanpa ia sadari bahwa
sebenarnya syaitan telah menjerat dirinya dalam perbuatan
dosa. Lebih jelasnya Allah telah menjelaskan dalam surat At-
Taubah ayat 96:
‫َيْح ِلُفْو َن َلُك ْم ِلَتْر َض ْو ا َع ْنُهْم َفِإْن َتْر َض ْو ا َع ْنُهْم َفِإَّن َهللا َال َيْر َض ى َع ِن اْلَقْو ِم اْلَفاِسِقْيَن‬
“Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada
mereka, tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka,
Sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang
berbuat fasik.”

II. Karakteristik Sikap Ridha

Pendapat para ahli hikmah, ridha dikelompokan menjadi tiga


tingkatan, yaitu ridha kepada Allah, ridha pada apa yang datang
dari Allah, dan rida pada qada dan qadar Allah.
a. Ridha kepada Allah dan Rasul-Nya
Pada hakekatnya seseorang yang telah mengucapkan dua
kalimat syahadat, dapat diartikan sebagai pernyataan ridha
terhadap semua nilai dan syari’ah Islam.
“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun
ridha kepadanya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang
yang takut kepada Tuhannya.” (Q.S.al-Bayyinah ayat 8 )
Maksud dari ayat diatas adalah jika kita ridha terhadap perintah
Allah maka Allah pun ridha terhadap kita.
Seperti dalam Hadith Qudsi:
‫ َم ْن َلْم َيْر َض ى ِبَقَض اِئْي َو َلْم َيْشُك ْر ِبِنْع َم اِئْي َو َلْم َيْص ِبْر ِبَبَالِئْي َفْلَيْخ ُرْج‬: ‫َقاَل ُهللا‬
‫َتْح َت َس َم اِئْي َو ْلَيْطُلْب َر ًّبا ِس َو اِئْي‬
Artinya:
“Allah berfirman kepada rasul SAW: Barangsiapa yang tidak
ridha atas segala hukum perintah, larangan, janji qadha dan
qadar-Ku, dan tidak bersyukur atas segala nikmat-nikmat-Ku,
serta tidak sabar atas segala cobaan-Ku, maka keluarlah dari
bawah langit-Ku yang selama ini engkau jadikan sebagai
atapmu, dan carilah Tuhan lain selain diri-Ku (Allah)”.
Maksud hadits diatas adalah ridha untuk mentaati Allah dan
Rasulnya.
b. Ridha apa yang datang dari Allah
Yaitu ridha baik dalam bentuk perintah maupun larangan, kalau
itu datangnya dari Allah, maka kita harus menerimanya dengan
sepenuh hati. Apabila seseorang tidak ridha kepada apa yang
datang dari Allah berarti ia benci kepada Allah.

c. Ridha pada Qada dan Qadar


Ada sebuah kisah dari Ali bin Abi Thalib yang menerangkan
tentang ridha terhadap taqdir Allah, yaitu :
“Pada suatu hari Ali bin Abi Thalib r.a. melihat Ady bin Hatim
bermuram durja, maka Ali bertanya ; “Mengapa engkau tampak
bersedih hati ?”. Ady menjawab ; “Bagaimana aku tidak
bersedih hati, dua orang anakku terbunuh dan mataku
tercongkel dalam pertempuran”. Ali terdiam haru, kemudian
berkata, “Wahai Ady, barang siapa ridha terhadap taqdir Allah
swt. maka taqdir itu tetap berlaku atasnya dan dia
mendapatkan pahalaNya, dan barang siapa tidak ridha
terhadap taqdirNya maka hal itupun tetap berlaku atasnya, dan
terhapus amalnya”.
Ada dua sikap utama bagi seseorang ketika dia tertimpa
sesuatu yang tidak diinginkan yaitu ridha dan sabar. Ridha
merupakan keutamaan yang dianjurkan, sedangkan sabar
adalah keharusan dan kemestian yang perlu dilakukan oleh
seorang muslim.
Perbedaan antara sabar dan ridha adalah sabar merupakan
perilaku menahan nafsu dan mengekangnya dari kebencian,
sekalipun menyakitkan dan mengharap akan segera berlalunya
musibah. Sedangkan ridha adalah kelapangan jiwa dalam
menerima taqdir Allah swt. Dan menjadikan ridha sendiri
sebagai penawarnya. Sebab didalam hatinya selalu tertanam
sangkaan baik (Husnu-dzan) terhadap sang Khaliq bagi orang
yang ridha ujian adalah pembangkit semangat untuk semakin
dekat kepada Allah, dan semakin mengasyikkan dirinya untuk
bermusyahadah kepada Allah.
Dalam suatu kisah Abu Darda’, pernah melayat pada sebuah
keluarga, yang salah satu anggota keluarganya meninggal
dunia. Keluarga itu ridha dan tabah serta memuji Allah swt.
Maka Abu Darda’ berkata kepada mereka. “Engkau benar,
sesungguhnya Allah swt. apabila memutuskan suatu perkara,
maka dia senang jika taqdirnya itu diterima dengan rela atau
ridha.
Begitu tingginya keutamaan ridha, hingga ulama salaf
mengatakan, tidak akan tampak di akhirat derajat yang
tertinggi daripada orang-orang yang senantiasa ridha kepada
Allah swt. dalam situasi apapun.
Itulah ketiga kelompok ridha menurut baitul hikmah, namun
ada beberapa pendapat mengatakan ridha kepada perintah
orang tua juga ridha kepada peraturan atau Undang-undang
negara.
a. Ridha Kepada Perintah Orang Tua
Ridha terhadap perintah orang tua merupakan salah satu
bentuk ketaatan kita kepada Allah swt. karena keridhaan Allah
tergantung pada keridhaan orang tua, perintah Allah dalam Q.S.
Luqman (31) ayat 14 yang artinya : “ Dan Kami perintahkan
kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya;
ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu,
hanya kepada-Kulah kembalimu. (Q.S. Luqman :14)
Bahkan Rasulullah bersabda : “Keridhaan Allah tergantung
keridhaan orang tua, dan murka Allah tergantung murka orang
tua”. Begitulah tingginya nilai ridha orang tua dalam kehidupan
kita, sehingga untuk mendapatkan keridhaan dari Allah,
mempersyaratkan adanya keridhaan orang tua. Ingatlah kisah
Juraij, walaupun beliau ahli ibadah, ia mendapat murka Allah
karena ibunya tersinggung ketika ia tidak menghiraukan
panggilan ibunya.
b. Ridha Terhadap Peraturan dan Undang-Undang Negara
Mentaati peraturan yang belaku merupakan bagian dari ajaran
Islam dan merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah
swt. karena dengan demikian akan menjamin keteraturan dan
ketertiban sosial. Allah berfirman dalam Q.S. an-Nisa (4) ayat 59
yang artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.( Q.S. an-Nisa :59)
Ulil Amri artinya orang-orang yang diberi kewenangan, seperti
ulama dan umara (Ulama dan pemerintah). Ulama dengan
fatwa dan nasehatnya sedangkan umara dengan peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku.
Termasuk dalam ridha terhadap peraturan dan undang-undang
negara adalah ridha terhadap peraturan sekolah, karena
dengan sikap demikian, berarti membantu diri sendiri, orang
tua, guru dan sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan.
Dengan demikian mempersiapkan diri menjadi kader bangsa
yang tangguh.

III. Bentuk Perilaku Ridha


Adapun bentuk perilaku ridha yang dapat kita wujudkan dalam
perilaku , yaitu sebagai berikut:
a. Sabar dalam melaksanakan kewajiban hingga selesai
dengan kesungguhan usaha atau ikhtiar dan penuh tanggung
jawab.
b. Tidak iri hati atas kekurangan atau kelebihan orang lain
dan tidak ria untuk dikagumi hasil usahanya.
c. Senantiasa bersyukur atau berterima kasih kepada Allah
swt. atas segala nikmat pemberian-Nya. Hal itu adalah upaya
untuk mencapai tingkat tertinggi dalam perbaikan akhlak.
d. Tetap beramal saleh (berbuat baik) kepada sesama sesuai
dengan keadaan dan kemampuan, seperti aktif dalam kegiatan
social, kerja bakti, dan membantu orangtua di rumah dalam
menyelesaikan pekerjaan mereka.
e. Menunjukkan kerelaan atau rida terhadap diri sendiri dan
Tuhannya. Juga rida terhadap kehidupan terhadap takdir yang
berbentuk nikmat maupun musibah, dan terhadap perolehan
rezeki atau karunia Allah swt.
Ridha kedudukannya lebih tinggi daripada sabar. Karena ridha
lebih berat dalam prakteknya. Seseorang mungkin bisa
bersabar ketika mendapat musibah, tapi sangat sedikit yang
bisa ridha. Seseorang mampu bersabar meskipun mendapat
musibah yang berat, dia mampu mengekang dirinya untuk tidak
menangis dengan menjerit, berteriak dan lain sebagainya. Akan
tetapi sangat sedikit orang yang mampu untuk merasakan
senang dan bersukur dan menganggap segala keputusan Allah
adalah yang terbaik.
Oleh karena itu Umar bin Khattab berkata: “ jika engkau
mampu meraih ridha maka raihlah dan apabila tidak mampu
maka bersabarlah.”
Ibnu Tamimiyah juga berkata:” ridha yang wajib adalah
kedudukannya setara dengan sabar yaitu ridha bagi pemula.
Adapun ridha tingkat tinggi adalah ridha yang mengandung
ketenangan jiwa yang sempurna.”

IV. Nilai positif perilaku Ridha


Rida merupakan kesadaran diri, perasaan jiwa, dan dorongan
hati yang menyebabkan seseorang berkenaan sepenuh hati
untuk menerima apa yang didapat ataupun yang dihadapi
dengan penuh semangat dan rasa kasih sayang.

Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam sikap ridha :


1. Menciptakan suasana batin yang puas, lega, bahagia
2. Membawa ketentraman jiwa dan kesejahteraan rohani
3. Menghilangkan kebencian
4. Mendorong memikir positif
5. Mendorong pelakunya beramal sholeh
6. Akan mendapatkan balasan dari Allah SWT. (surga) karena
ia selalu ingin mendapat ridlo dari Allah SWT
Syeh Abdul Qadir Jailani menandaskan bahwa ridha akan
meringankan hidup manusia, membuat tenang, tentram,
menghilangkan rasa gundah, cape, dan kegelisahan

.
V. Membiasakan Ridha Dalam Kehidupan Sehari-hari
Konsekuensi ridha kepada Allah harus mengikuti semua yang
diajarkan oleh Rasulullah SAW (ittiba’ ar-Rasul). Apabila seorang
ridha kepada Allah, tentu dia akan selalu berusaha melakukan
segala sesuatu yang diterima dari-Nya dan meninggalkan segala
sesuatu yang dibenci-Nya. Untuk itu seseorang agar dapat
membiasakan ridha maka perlu melakukan berbagai upaya,
yang diantaranya sebagai berikut :
1. Menyadari pentingnya ridlo didalam kehidupannya, baik
sebagai makhluk pribadi, sosial maupun sebagai hamba Allah
SWT
2. Memahami apa yang di takdirkan Allah SWT adalah pilihan
terbaik dari-Nya
3. Suka husnudzon terhadap takdir Allah SWT baik itu yang
baik maupun yang buruk
4. Optimis terhadap prestasi yang kurang baik dan
menjadikannya sebagai bahan untuk memperbaiki diri sendiri
5. Tidak membenci kemalangan atau musibah maupun
kegagalan yang telah dicapainya.

Kesimpulan
Ridha adalah salah satu akhlak terpuji yang memiliki pengertian
menerima dengan senang hati atas segala yang diberikan Allah
swt. Ridha menurut baitul hikmah dikelompokkan menjadi 3
yaitu ridha kepada Allah, ridha apa yang datang dari Allah, dan
ridha pada qada’ dan qadar Allah. Bentuk perilaku ridah salah
satunya yaitu rela menerima setiap takdir yang sudah
ditenteukan Allah dan berkeyakinan bahwa dibalik takdir baik
maupun buruk tersimpan rahasia dan hikmah yang berharga.
Selain itu perilaku ridha juga terdapat nilai positifnya, seperti
menghilangkan kebencian, menciptakan suasana batin yang
puas, lega dan bahagia. Kita juga perlu untuk membiasakan
ridha dalam kehidupan sehari-hari kita, namun tidak semudah
membalikkan telapak tangan karena semua itu memerlukan
proses yang bertahap.

Anda mungkin juga menyukai