Anda di halaman 1dari 16

TUGAS IPS

BUDAYA NEGARA SWEDIA

DISUSUN OLEH
KELOMPOK :

ARHAM MAULANA
M. FAJRIN
M. YUSUF
SITI FITRIYANAH
WULAN F

KELAS IX-6

MADARASAH TSANAWIYAH NEGERI 2


BOGOR
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya penulis masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah in. Makalah
ini merupakan salah satu dari tugas mata pelajaran Akidah Akhlak.
Dalam penyelesaian makalah yang berjudul “Perilaku Tercela” ini, tidak lupa
penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
memberikan dukungan kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan,
oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Semoga dengan selesainya makalah ini dapat memberikan manfaat pada penulis
khususnya dan seluruh pembaca pada umumnya.

Bogor, September 2019

Penulis
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Akhlak Tercela
B. Macam-macam dan bahaya bagi kehidupan manusia serta cara mengobatinya
1. Hasad
2. Riya’
3. Hubbud Dunya
4. Sum’ah
5. Ujub
6. Takabur
7. Itba’ul Hawa
8. Ghibah
9. Namimah
BAB III KESIMPULAN

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang


Akhlak Tercela adalah perbuatan/perilaku yang tidak Diridhoi oleh Allah SWT. Seseorang
yang berbohong, sombong, pamer, menyiksa, menyakiti dan berbagai bentuk ketidakadilan
seperti menindas, mengambil hak orang lain dengan paksa dan lain-lain. Itu semua adalah
perbuatan tercela. Sungguh moral manusia sudah sangat rusak akibat akhlak-akhlak tercela
tersebut. Seseorang tidak akan mendapatkan kebahagiaan, jika ia selalu melakukan
perilaku-perilaku tercela. Baik ketika di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan yang
diperoleh dari perilaku tercela tersebut hanya bersifat sementara. Dan akan mendapat
kesedihan dan penyesalan yang tak ada hentinya.
Disisi lain, Al-Qur’an juga mengemukakan dan memberi peringatan tentang akhlak-akhlak
tercela yang dapat merusak iman seseorang dan pada akhirnya akan merusak dirinya serta
kehidupan masyarakat. Seperti akhlak buruk kaum Quraisy dahulu untuk memojokkan
kebenaran yang disampaikan Rasulullah sebagaimana yang dilakukan oleh tokoh-tokoh
Quraisy seperti Abu jalal, Walid bin mugirah, Akhnas bin syariq, Aswad bin abdi Yaquts.
Oleh karena itu, iman merupakan suatu pengakuan terhadap kebenaran dan harus
dipelihara serta di tingkat kan kualitas nya melalui sikap dan perilaku terpuji.
Sifat terpuji dan tercela yang tertanam dalam diri manusia selalu berdampingan dan
terlihat dalam perilaku sehari-hari. Apabila perilaku seseorang menampilkan kebaikan,
maka terpujilah sikap orang tersebut. Sebaliknya, apabila perilaku seseorang menampilkan
kebaikan atau kejahatan, maka tercelalah sikap orang tersebut. Sifat tercela sangat dilarang
oleh Allah SWT dan harus dihindari dalam pergaulan sehari-hari karena akan merugikan
diri sendiri maupun orang lain.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian akhlak tercela?
2.      Apa macam-macam akhlak tercela dan bahaya bagi kehidupan manusia serta cara
mengobatinya?
C.      Tujuan
1.      Mengetahui pengertian akhlak tercela.
2.      Mengetahui macam-macam dan bahaya bagi kehidupan manusia serta cara
mengobatinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Akhlak Tercela
Menurut bahasa akhlak merupakan tingkah laku, tabiat atau perangai. Sedangkan akhlak
menurut istilah merupakan suatu pengetahuan yang menjelaskan mengenai perbuatan yang
baik serta buruk, mengatur prilaku manusia, serta mampu menentukan perbuatan akhir.
Pada dasarnya akhlak sudah melekat pada diri seseorang yang berasal dari prilaku serta
perbuatan. Nah, jika perilaku yang ditunjukan buruk maka otomatis akhlak tersebut bisa
dikatakan akhlak buruk. Sedangkan jika yang ditampilkan baik, maka otomatis akhlak
tersebut baik.
Akhlak buruk atau tercela merupakan suatu sikap atau perbuatan jelek yang dilarang oleh
agama. Karena pada dasarnya agama mengajarkan kita untuk selalu bersikap baik terutama
menjaga perilaku serta perbuatan yang akan kita lakukan. Dengan berlandaskan agama
maka sifat tercela ini sebenarnya bisa dicegah karena ancaman serta sangsi yang akan
didapatkan dalam waktu cepat maupun dikehidupan selanjutnya. Akhlak tercela ini
merupakan cerminan bahwa seseorang tersebut mempunyai prilaku yang kurang baik, hal
tersebut bisa saja disebabkan karena kita mulai jauh pada aturan – aturan agama.
B.       Macam-macam dan bahaya bagi kehidupan manusia serta cara mengobatinya.
1.         Hasad
Menurut sebagian besar ulama hasad (dengki atau iri hati) merupakan akar dari semua
penyakit hati. Karena sifat ini merupakan manifestasi dosa pertama serta penyebab
pertama ketidakpatuhan terhadap Allah. Sebagaimana sifat setan yang tidak mau mematuhi
perintah Allah untuk memberi hormat kepada Nabi Adam As karena ia merasa iri hati
terhadap Nabi Adam yang dipilih Allah untuk menjadi wakil-Nya di bumi. Oleh karena
itu, setan selalu menebarkan (hasid atau hasud) rasa iri hati dalam diri manusia agar
menyandang sifat yang sama dengannya.
Pada dasarnya Hasad merupakan akibat dari dendam, dan dendam merupakan akibat dari
kemarahan dan kebencian terhadap apa yang dlihatnya (tentang kondisi kebaikan keadaan
yang dicemburui). Sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud dari Abu Hurairah RA:
َ َ‫ت َك َما تَأْ ُك ُل النَّا ُر ْال َحط‬
‫ب‬ ِ ‫ْال َح َس ُد يَأْ ُك ُل ْال َح َسنَا‬
“Hasad menghapus kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.”

Pada hakikatnya hasad adalah membenci kenikmatan Allah kepada saudaranya, akan tetapi
tentang hasad ini dibedakan menjadi dua jenis. Pertama, membenci kenikmatan yang
diberikan Allah kepada saudaranya dan ia menginginkan kenikmatan itu hilang dari-nya.
Ini merupakan hasad yang paling tercela. Contoh hasad semacam ini terdapat dalam firman
Allah QS. Al-Baqarah ayat 109:
          
           
           
  
“sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu
kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka
sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka,
sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.”

Ayat diatas mengabarkan bahwa keinginan mereka agar hilang kenikmatan iman
merupakan hasad.
Kedua, seseorang yang membenci kenikmatan yang Allah bagi pada saudaranya dan tidak
ada keinginan nikmat itu hilang darinya tetapi ia menginginkan sebagaimana yang ada
pada saudaranya. Hal semacam ini disebut dengan ghibthah. terkadang untuk hasad jenis
kedua ini disebut dengan al-munafasah (berlomba), berlomba dalam permasalahan yang
disenangi untuk mendapatkan dan memilikinya. Akan tetapi munafasah ini tidak mutlak
tercela, bahkan terpuji bila dalam kebaikan. Mengenai jenis yang kedua ini dijelaskan oleh
Allah dalam firmannya QS An-Nisa’ ayat 32:
            
          
         
“ Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian
kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian
dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa
yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Yang dimaksud dengan ayat diatas adalah larangan terhadap keinginan berpindahnya
kenikmatan itu kepadanya. Adapun berharap agar Allah memberikan kenikmatan seperti
itu kepadanya tidaklah tercela jika dalam urusan agama.
Dalam kitab Durratun Nasihin disebutkan bahwa bahaya yang ditimbulkan dari rasa
dengki atau hasad ini ada delapan macam, yaitu:
a)        Merusak ketaatan.
b)        Menjuruskan kepada perbuatan maksiat, karena hasad tidak lepas dari bohong, caci
maki, fitnah, dan ghibah. Hal ini diperkuat oleh Tha’labah:
‫الَ يَزَ ا ُل النَّاسُ بِ َخي ٍْر َما لَ ْم يَتَ َحا َس ُدوْ ا‬
“Manusia akan tetap dalam kebaikan selagi mereka tidak saling dengki satu sama lain.”

c)        Meniadakan syafa’at, seperti sabda Nabi Saw:


ُ‫ْس ِمنِّي ُذوْ َح َس ٍد َوالَ ُذوْ نَ ِم ْي َم ٍة َوالَ ُذوْ َكهَانَ ٍة َوالَ أَنَا ِم ْنه‬
َ ‫لَي‬
“Bukanlah termasuk umatku orang yang mempunyai sifat dengki, suka adu domba,
mempunyai ilmu kedukunan dan aku pun tidak termasuk mereka.”
d)       Masuk kedalam neraka
e)        Menyebabkan suka menggoda/mengganggu orang lain.
f)         Mengakibatkan rasa letih dan takut yang tidak ada gunanya bahkan selalu dibarengi
dengan perbuatan dosa dan maksiat.
g)        Meyebabkan buta hati, dimana ia tidak dapat menerima dan memahami hukum-
hukum Allah dengan baik.
h)        Menyebabkan kegagalan yang pada akhirnya tidak bisa mencapai apa yang menjadi
maksudnya dan selalu dikalahkan oleh lawannya.
Menurut Imam Mawlud sebagaimana yang dikutip oleh Hamza Yusuf, ada beberapa cara
untuk mengobati penyakit iri hati, yaitu: 1) melawan hawa nafsu yang dapat menarik
seseorang dari kebenaran dengan cara melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi objek iri
hati, 2) menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa iri hati tidak akan pernah memberikan
manfaat bagi pelakunya, 3) menyadari bahwa apa yang seseorang peroleh sesungguhnya
dari Allah dan juga akan kembali kepada-Nya, 4) Taqwa, memiliki perasaan takut terhadap
Allah dan iman yang tinggi sehingga dapat menjauhkan seseorang terhadap dugaan-
dugaan yang salah atas ketidaksesuaian karunia.
2.         Riya’
Riya’ itu berasal dari kata ru’yah yang berarti melihat. Menurut imam Ghazali riya’
asalnya mencari kedudukan pada hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka
hal-hal kebaikan. Riya’ merupakan perilaku terkeji ketika seseorang melakukan ritual
ibadahnya hanya untuk memperoleh tempat dihati orang lain. Sifat seperti ini termasuk
salah satu bentuk kesyirikan yang dibenci oleh Allah SWT. Hal itu ditunjukkan dalam
firman-Nya QS. Al-Ma’un ayat 4-6:
               
  
“Maka celakalah orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap sholatnya
yang berbuat riya.”

Rasulullah Saw mengibaratkan perilaku seperti ini sebagai “syirik kecil.” Sebagaimana
sabda beliau, “Aku tidak khawatir seandainya kalian akan menyembah matahari, bintang-
bintang, bulan. Namun, aku lebih khawatir kalian beibadah bukan karena Allah, melainkan
karena riya’.”
Akar sumber riya’ adalah keinginan, yakni menginginkan sesuatu dari sebuah sumber
selain Allah (yaitu Manusia). Misalnya, keinginan untuk selalu dipuji, pandangan
masyarakat akan kebaikannya, kedudukannya, dan lain-lain. Adapun yang menjadi tanda-
tanda riya’ menurut Imam Mawlud adalah:
a.         Malas dan kurang melakukan sesuatu yang semata-mata karena Allah swt.
Misalnya, ketika berada di rumah tidak ada rasa keinginan untuk membaca al-Qur’an,
namun ketika banyak orang seperti di masjid ia membaca al-Qur’an dengan suara yang
merdu.
b.        Meningkatkan perilaku-perilaku ketika dipuji dan menurunkannya ketika tidak ada
pujian.
Riya’ biasanya dikenal dengan sikap menampakkan ibadah atau ketaatan di hadapan orang
banyak. Namun, ada juga riya’ yang sifatnya tersembunyi, yaitu sikap ketika seseorang
menghindari riya’ tetapi justru melakukannya untuk riya’. Misalnya, seseorang sengaja
menghindari khalayak agar tidak disangka riya’. Kemudian ia sengaja berkhalwat dan
menyendiri. Namun, di balik semua itu, ia justru ingin dilihat dan dipuji oleh orang lain.
Disanalah terdapat riya’ yang tersembunyi.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa penyakit riya’ dapat menghancurkan pahala
seseorang dan merupakan sebab dari kemurkaan Allah. Riya’ juga merupakan salah satu
perbuatan dosa besar. Oleh karena itu sesorang harus bersaha untuk menghilangkan
penyakit ini dari dalam hatinya. Cara untuk menghindari perbuatan seperti ini seseorang
yang beriman harus menyadari bahwa sesungguhnya Allah adalah dzat yang paling layak
untuk dipuji. Semestinya kita harus merasa malu ketika dipuji karena Dia yang
menganugerahkan karunia yang besar sehingga aib seorang hamba tertutup dan
kebaikannya tampak dimata manusia. Jika saja Allah menampakkan aib tersebut walau
hanya kecil saja, maka tidak akan ada orang yang yang mau memuji. Sehingga dengan
begitu kita dapat memurnikan dari perburuan yang sia-sia dan riya’. Adapun cara untuk
menyembuhkan penyakit seperti ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a.    Melepaskan penyakit riya’ sampai akar-akarnya, yaitu cinta kedudukan dan jabatan.
b.    Mencegah akibat-akibat buruk yang muncul dari penyakit riya’ ketika beribadah.
3.         Hubbud Dunya
Hubbud Dunya adalah cinta dunia yang berlebihan, merupakan induk segala kesalahan
(maksiat) serta perusak agama. Yaitu mencintai kehidupan dunia dan melalaikan
kehidupan akhirat.
Penyakit inilah yang menyebabkan seorang muslim menjadi lemah. Sehingga musuh-
musuh dengan leluasa menebar rasa takut dan sifat pengecut dalam dirinya, syaitan-syaitan
(manusia dan jin) dengan mudah menyesatkannya. Sementara orang-orang kafir dan
musuh Islam lainnya memandangnya dengan sebelah mata. Mencintai dunia akan
mengakibatkan banyak melakukan kesalahan dan dosa ketika hidup di dunia.
Firman Allah SWT dalam surat Al-Hadid ayat 20
        
         
           
          
  
“ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu
yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-
banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat
warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras
dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain
hanyalah kesenangan yang menipu”.
Adapun obat untuk menghindari dari perbuatan Hubbud Dunya yaitu : Nabi kita
Muhammad Saw. telah memberikan wasiatnya, yang merupakan formula bagi jenis
penyakit tersebut. Rasulullah Saw. Bersabda :
َ‫ت يَ ْعنِى ْال َموْ ت‬
ِ ‫ أَ ْكثِرُوا ِذ ْك َر هَا ِذ ِم اللَّ َّذا‬ ‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ع َْن أَبِى هُ َر ْي َرةَ رضي هللا عنه قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda, “Perbanyaklah
oleh kalian mengingat penghancur segala kelezatan, yaitu kematian.” (HR. An-Nasaa’i
No. 1824, Tirmidzi No. 2307 dan Ibnu Majah No. 4258 dan Ahmad)
4.         Sum’ah
Secara bahasa sum’ah adalah diperdengarkan kepada orang lain, adapun secara istilah
yaitu beribadah dengan benar dan ikhlas karena Allah, kemudian menceritakan amal
perbuatannya kepada orang lain. Adapun Sum’ah mempunyai hubungan erat sekali dengan
riya’, bahkan tergolong sama. Akan tetapi terdapat perbedaan antara keduanya, Perbedaan
antara riya’ dan sum’ah menurut Al-Hafizh yaitu: riya’ adalah memperlihatkan amal dan
perbuatan dengan maksud mendapatkan pujian seperti shalat, adapun sum’ah merupakan
amalan yang diperdengarkan kemudian menceritakan perbuatannya (sudah dikerjakan
dengan penuh keikhlasan, namun pada akhirnya mengharapkan pujian yang sifatnya
duniawi).
Perbedaan riya’dan sum’ah ialah: Riya’ berarti beramal karena diperlihatkan kepada orang
lain, sedangkan sum’ah beramal supaya diperdengarkan kepada orang lain, Riya’ berkaitan
dengan indra mata, sedangkan sum’ah berkaitan dengan indra telinga. Kata sum’ah berasal
dari kata samma’a (memperdengarkan). Kalimat samma’an naasa bi ‘amalihi digunakan
jika seseorang menampakkan amalnya kepada manusia yang semula tidak mengetahuinya.
Dalam Al-Qur’an Allah telah mengingatkan kepada kita mengenai sifat sum’ah dan riya’
ini dalam QS. Al-Baqarah : 264
         
  
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti
orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia...”

5.         Ujub
Ujub merupakan sifat tercela dimana seseorang membanggakan diri sendiri karena merasa
memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Seperti ujubnya orang alim
yang merasa dirinya telah mencapai kesempurnaan dalam ilmu, perbuatan, dan akhlak.
Orang yang menyandang sifat ini biasanya ia melupakan bahwa nikmat yang ia peroleh
adalah pemberian dari Allah melainkan dari usahanya sendiri. Sifat ujub selalu diikuti
dengan idlal (mengharap balasan). Oleh karena itu, setiap orang yang melakukan idlal
pasti ia memiliki sifat ujub. Akan tetapi, tidak semua orang yang ujub melakukan idlal.
Orang yang memiliki sifat ini sangat dibenci oleh Allah Swt. sebagaimana firman-Nya:
           
          
    
Artinya: ” .....dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu ketika kamu menjadi congkak
karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat
kepadamu sedikitpun....” (Qs. At-Taubah:25)
     
Artinya: “Janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih
banyak.” (Qs. Al-Muddatstsir: 6)
             
“Maka Apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? tiada
yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi”.

Bahkan Rasululullah Saw juga bersabda:


)‫ َوإِ ْع َجابُ ْال َمرْ ِء بِنَ ْف ِس ِه (رواه الطَابَرى‬،ٌ‫ َوهَ ًوى ُمتَّبَع‬،‫ع‬
ٌ ‫ ُش ٌّح ُمطَا‬:‫ت‬ ُ َ‫ثَال‬
ٍ ‫ث ُم ْهلِ َكا‬
“Tiga perkara yang membawa kepada kehancuran: pelit, mengikuti hawa nafsu, dan suka
membanggakan diri.” (Ath-Thabari, hadits hasan)

                 Ujub membawa pengaruh negatif yang sangat banyak, ia dapat mengahantarkan
ke arah kesombongan. Di hadapan Allah, orang yang memiliki sifat ujub menyebabkan ia
menjadi lupa dan meemehkan dosa-dosanya karena merasa telah melakukan ibadah yang
sempurna sehingga beranggapan dosa yang dilakukan tidak ada apa-apanya dengan ibadah
yang telah dilakukan. Ujub dapat mengakibatkan seseorang lupa bahwa nikmat yang ia
peroleh berasal dari Allah sehingg menjadikannya kufur nikmat.
Adapun untuk mengobati penyakit ujub seseorang harus menyadari bahwa kenikmatan
yang ia peroleh adalah dari Allah yang merupakan buah dari cinta dan ibadah bukan
karena ia berhak menerimanya dan Allah wajib melakukannya. Kemudiancara yang
lainnya harus selalu menanamkan ketakuak akan hilangnya nikmat itu akibat tindakan ujub
yang dilakukan.
6.         Takabur
Takabur atau sombong secara bahasa artinya membesarkan diri atau menganggap dirinya
lebih dari orang lain. Pengertian takabur secara istilah adalah suatu sikap mental yang
memandang rendah terhadap orang lain, sementara ia memandang tinggi dan mulia
terhadap dirinya sendiri. Sifat takabur merupakan sifat yang dimiliki oleh Iblis. Sifat inilah
yang menyebabkan iblis diusir dari surga dan diturunkan derajatnya hingga menjadi
makhluk yang sangat rendah. Sifat takabur Iblis terlihat ketika ia menolak perintah Allah
untuk bersujud kepada Nabi Adam a.s. Penolakan Iblis ini disebabkan ia merasa dirinya
lebih tinggi dan mulia daripada Nabi Adam a.s. ”Aku diciptakan dari api, sedangkan Adam
diciptakan dari tanah. Mengapa aku harus sujud kepada makhluk yang lebih rendah
daripadaku?” sumbar Iblis dengan congkak. Oleh karena kesombongannya, akhirnya Iblis
diusir Allah dan direndahkan derajatnya.
Takabur menurut penjelasan Rasulullah adalah himpunan dari dua sifat yaitu menolak
kebenaran dan merendahkan orang lain, sebagaimana sabdanya, ”Takabur adalah (sifat)
orang yang mengingkari/menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (H.R. Abu
Daud dan Hakim)
Dari pengertian takabur di atas dapat kita temukan ciri-ciri orang yang takabur, sebagai
berikut.
a.    Suka memuji diri dan membanggakan kemuliaan diri, harta, ilmu, keturunan dan lain
sebagainya.
b.    Meremehkan orang lain.
c.    Suka mencela dan mengkritik orang lain dengan kritik yang menjatuhkan.
d.   Memalingkan muka ketika bertemu dengan orang lain.
e.    Berlagak dalam berbicara.
f.     Pemboros dalam harta benda.
g.    Berlebih-lebihan dalam berpakaian dan berhias.
Takabur merupakan salah satu akhlak yang tercela. Banyak ayat Al-Qur’an dan hadis yang
menjelaskan tentang keburukan sifat takabur tersebut, antara lain pada Firman Allah dalam
Al-Qur’an Surah al-A‘raf [7]: 146
         
           
          
      
Artinya : Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka
bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-
tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang
membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat
jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. yang demikian itu adalah karena mereka
mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.

Takabur dapat dibagi menjadi dua, yaitu takabur lahir dan batin.
1)        Takabur lahir, yaitu perbuatan yang dilakukan dan ditunjukkan oleh anggota badan,
seperti gerak gerik tubuh, raut muka, dan tutur kata.
2)        Takabur batin, yaitu sifat dalam jiwa yang tidak terlihat. Takabur batin dilakukan
oleh hati dan perasaan yang menganggap diri lebih tinggi dan menganggap orang lain lebih
rendah.
Kedua jenis takabur ini sama-sama berbahaya dan bisa menyebabkan pelakunya
terjerumus api neraka. Oleh karena itu, kita harus menjauhi kedua jenis takabur ini dalam
kehidupan sehari-hari. Kenapa demikian? Di antara bahaya dari sifat takabur antara lain
sebagai berikut.
a.         Merusak pergaulan manusia, merenggangkan hubungan silaturahmi dan
menghalangi kasih sayang serta sikap tolongmenolong. Orang yang sombong pasti dibenci
orang lain karena kesombongannya. Mereka akan segan berhubungan dengan dia. Hal ini
berarti mengurangi pergaulan.
b.        Menumbuhkan permusuhan karena orang yang takabur dalam berteman selalu
membeda-bedakan dan mendiskriminasikan orang atau kelompok lain yang tidak sederajat
dengan diri atau kelompoknya.
c.         Sifat takabur akan menumbuhkan sifat-sifat buruk lainnya, seperti dengki kepada
orang lain, pemarah, pembohong, khianat, dan sebagainya. Orang yang takabur tidak
segansegan menggunakan sifat-sifat buruk tersebut demi mempertahankan kemuliaannya.
d.        Sifat takabur akan menjadikan orang tidak berkembang dan beku. Oleh karena
usaha-usaha melakukan perbaikan terhadap dirinya tidak ada, orang yang takabur
beranggapan bahwa dirinya sudah baik, hebat, terhormat, mulia, istimewa, dan sempurna.
e.         Sifat takabur menjadi penghalang masuk surga karena menghalangi manusia
berakhlak mulia yang merupakan pintu surga.
f.         Sifat takabur (sombong) mengakibatkan pemiliknya tidak mempunyai perasaan
untuk mencintai dan menyayangi sesama saudara yang mukmin sebagaimana mencintai
atau menyayangi dirinya sendiri.
g.        Orang yang takabur akan dimasukkan ke dalam neraka dan mendapatkan hukuman
yang sangat berat karena yang berhak sombong hanyalah Allah. Sombong adalah
selendang Allah. Barangsiapa yang berani memakai selendang-Nya, Allah akan murka dan
menjatuhkan hukuman yang berat kepadanya.
h.        Orang yang takabur akan lupa diri, siapa dirinya, dari mana, dan hendak ke mana
dia sebenarnya.
Dengan memperhatikan beberapa bahaya di depan dapat kita simpulkan bahwa sifat
takabur tidak hanya membahayakan diri kita sendiri, tetapi juga orang lain. Orang yang
bersifat takabur menjadi hina di hadapan Allah. Demikian pula di hadapan orang lain,
justru akan dicampakkan. Seseorang yang menjauhi sifat takabur dengan sendirinya harus
berusaha bersifat rendah hati/tawadu. Dengan dia memilih bersikap rendah hati, justru
akan menguntungkan dirinya sendiri dan menumbuhkan kenyamanan bagi orang lain.
7.         Itba’ul Hawa
Secara bahasa Itba’ al-Hawa berarti mengikut hawa nafsu, sedang secara istilah yaitu
orang yang lebih mengikuti jeleknya hati yang telah diharamkan oleh hukum syariat, itulah
orang yang selalu mengikut hawa nafsu.
Dari definisi diatas dapat kita fahami bahwa itba’ al-hawa berarti mengikuti hawa nafsu
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang hukum syara’, berbuat hal-hal yang
dilarang agama. Dengan demikian, itba’ al-hawa merupakan pangkal perbuatan maksiat,
sumber malapetaka dan kemungkaran. Orang yang bersikap demikian akan tersesat dari
jalan Allah dan dikenai siksa di akhirat kelak. Oleh karena itu, hawa nafsu harus dikekang
dan dikendalikan agar manusia dapat meninggalkan perbuatan-perbuatan yang dilarang
Allah SWT.
Hawa nafsu menjalar pada diri seseorang laksana sebuah penyakit yang sangat ganas,
bahkan lebih berbahaya dari virus (rabies)nya seekor anjing. Hawa nafsu lebih berbahaya
karena tidak disadari oleh pengidapnya, tetapi ia lebih mematikan. Jika rabies dapat
membinasakan jasad manusia(jasmani), maka hawa nafsu bisa menghancurkan jiwanya
(rohani). Sehingga hatinya pun mati dan gelap gulita, dan pada akhirnya dia tidak lagi
mampu menerima petunjuk dari Allah SWT.
Mengikuti hawa nafsu, orang yang lebih mengikuti jeleknya hati yang diharamkan oleh
hukum syari’at. (As-Sad: 26)
         
            
          
” Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,
Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan”
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT juga telah menegaskan bahwa hawa nafsu merupakan
bahaya laten bagi orang-orang yang berilmu, karena mereka bisa saja menjadi sesat
walaupun berilmu. Sebabnya tak lain adalah karena mengikuti hawa nafsu. Sehingga ilmu
yang turun dari Allah tak mampu membuatnya teguh di atas jalan Allah, seperti dalam
Surah Al-Jatsiyah ayat 23 Allah berfirman:
          
           
    
Artinya :“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[1384] dan Allah telah
mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya?
Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat).
Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
8.         Ghibah
Mengumpat (ghibah) adalah kejahatan lidah yang terbesar. Menurut Al-Ghazali
mengumpat adalah mengatakan sesuatu (aib atau kekurangan) tentang orang lain yang
kemungkinan besar akan menyakiti perasaannya apabila ia mengetahuinya, meskipun apa
yang diceritakan itu sungguh benar adanya. kekurangan yang dibicarakan itu bisa terdapat
pada badan, nasab, tabiat, ucapan, agama, maupun urusan duniawi lainnya. Adapun
membicarakan kekurangan atau aib seseorang yang tidak terdapat pada diri orang tersebut
dinamakan fitnah (buhtan). Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
َ َ‫ "أَتَ˜ َدرُوْ نَ َم˜ا ْال ِغ ْيبَ˜ةُ؟" ق‬:‫˜ال‬
ُ ‫ هَّللا‬:‫˜ال‬ َ َ‫ص˜لّى هَّللا َعلَ ْي˜ ِه َو َس˜لَّ َم ق‬
َ ‫ض˜ َى هَّللا ُ َع ْن˜هُ أَ َّن َر ُس˜وْ َل هَّللا‬ َ ˜‫َوع َْن أَبِى هُ َر ْي‬
ِ ‫˜رةَ َر‬
‫ ِإ ْن َكانَ فِ ْي ِه َما تَقُ˜˜وْ ُل‬:‫ أَفَ َرأَيْتَ ِإ ْن َكانَ فِى أَ ِخى َما أَقُوْ لُ؟ قَا َل‬:‫ك بِ َما يَ ْك َرهُ" قِ ْي َل‬ َ ‫ " ِذ ْكرُكَ أَخَا‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫َو َرسُوْ لُهُ أَ ْعلَ ُم‬
ْ َ
.‫فَقَ ِد ا ْغتَ ْبتَهُ َوإِ ْن لَ ْم يَك ْن فِ ْي ِه بَهَتهُ" أخ َر َجهُ ُم ْسلِ ٌم‬
َّ ُ
Dari Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, “Tahukah kalian, apa
itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang tahu.” Beliau
bersabda, “Yaitu kamu menuturkan tentang saudaramu dengan sesuatu yang tidak ia
sukai.” Seorag sahabat bertanya, “Bagaimana jika apa yang aku tuturkan itu memang
benar-benar ada padanya?” Beliau bersabda, “Jika apa yang kamu tuturkan itu
memanga ada  padanya, maka berarti kamu telah berbuat ghibah terhadapnya. Dan jika
tidak demikian, berarti kamu telah membuat-buat kebohongan padanya.”

Ghibah tidak hanya dapat dilakukan dengan lisan saja namun juga bisa terjadi dengan
tulisan atau isyarat seperti kerdipan mata, gerakan tangan, cibiran, dan sebagainya. Karena
pada intinya semuanya itu memiliki arti memberitahukan kekurangan seseorang kepada
orang lain. Adapun macam dan bentuk ghibah yang paling buruk adalah ghibah yang
disertai dengan riya’. Misalnya, dengan mengatakan “Saya berlindung kepada Allah dari
perbuatan yang tidak tahu malu seperti ini, semoga Allah menjagaku dari perbuatan itu.”
Ini mengandung maksud bahwa ia mengungkapkan ketidaksenangannya kepada orang lain
namun ia menggunakan ungkapan doa untuk mengutarakan maksudnya.
Megatakan keburukan orang tertentu memang tidak salah jika ini dilakukan untuk maksud
yang baik, yaitu:
a)    Untuk mencari keadilan atau bantuan seseorang yang berwewenang.
b)   Untuk menghilangkan kejahatan dengan memberitahukan orang-orang yang dapat
menghapuskannya.
c)    Untuk minta pendapat hukum (nasihat) dari seorang hakim.
d)   Untuk memperingatkan atau menasihati kaum muslimin. Misalnya jarh yang dilakukan
para ulama hadits.
e)    Menyebut seseorang sesuai dengan sifat yang telah diumumkannya sendiri namun
tidak boleh menyebutkan aib-aib yang lain.
f)    Menyebut seseorang dengan sebutan yang telah masyhur pada diri seseorang. Namun
hal ini tidak diperbolehkan bila dimaksudkan untuk menunjukkan kekurangan seseorang.
Penyebab seseorang yang melakukan ghibah adalah karena ada rasa dengki dan amarah
yang dapat memicu seseorang memiliki keinginan agar seseorang tertentu menjadi tidak
dipercaya orang lain, dan ia akan merasakan kepuasan apabila keinginannya itu terpenuhi.
Seseorang yang telah melakukan ghibah berarti ia telah melakukan dua kejahatan, yaitu
kejahatan terhadap Allah swt karena melakukan perbuatan yang dilarang oleh-Nya dan
kejahatan terhadap hak manusia. oleh karena itu, apabila seseorang melakukan ini harus
bertaubat, menyesali perbuatan yang telah dilakukan dan berjanji untuk tidak
mengulanginya kembali. Kemudian selanjutnya yaitu dengan meminta maaf kepada orang
yang digunjingkannya atas perbuatannya apabila orang yang dibicarakannya itu telah
mengetahuinya. Namun apabila ia belum mengetahuinya maka hendaknya yang
melakukan ghibah tersebut mendo’akannya dengan kebaikan. Sebagaimana sabda
Rasulullah saw. dalam hadits:
ِّ َ‫ إِيَّا ُك ْم َو ْال ِغ ْيبَةَ فَإ ِ َّن ْال ِغ ْيبَةَ أَ َش˜ ُّد ِمن‬:‫صلَّى هَّللا َعلَيْه َو َسلَّم‬
ُ‫الزنَ˜ا قِيْ˜ َل لَ˜ه‬ َ ‫ قَا َل َرسُوْ ُل هَّللا‬:َ‫ع َْن َجابِ ٍر َوأَبِى َس ِع ْي ٍد قَاال‬
‫ص˜ا ِحبَهُ (اخرج˜˜ه‬ َ ُ‫˜ر لَ˜ه‬ َ ˜ِ‫ب ال ِغ ْيبَ˜ ِة الَ يَ ْغفِ˜ ُر لَ˜هُ َحتَّى يَ ْغف‬ َ ‫اح‬
ِ ˜‫ص‬ َ ‫َك ْيفَ قَا َل إِ َّن ال َّر ُج َل يَ ْزنِى َويَتُ˜˜وْ بُ هَّللا ُ َعلَ ْي˜ ِه َوإِ َّن‬
)‫البيهقي والطبرنى وابوالشيخ وابن ابي الدنيا‬
Dari Jabir dan Abu Sa’id mereka berkata, Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jauhilah
olehmu sifat ghibah karena ghibah itu lebih besar dosanya dari pada zina. Ditanyakan
kepada Rasul “bagaimana bisa?” Rasulullah menjawab: seorang laki-laki berzina
kemudian bertaubat, Allah akan mengampuninya dan orang yang mempunyai sifat
ghibah, Allah tidak akan mengampuninya sehingga temannya mau mengampuninya.

Hadits diatas menerangkan bahwa dosa ghibah tidak akan diampuni oleh Allah sebelum
orang yang dighibahkan mau mengampuninya.
Adapun untuk mengobati kebiasaan ghibah yang merupakan penyakit yang sulit dideteksi
dan diobati ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan ilmu dan amal. Dimana
dengan ilmu berarti mengetahui pengaruh jahat mengumpat terhadap kehidupan dan 
menghapuskan penyebab mengumpat. Dan dengan amal, bertujuan untuk menyelidiki
kekurangan diri sendiri sehingga kita akan malu menyalahkan orang lain tanpa melihat
kekurangan diri sendiri.
9.         Namimah
Secara bahasa, Namimah berarti mengadu domba. Menurut Imam Zakaria Yahya bin
Syarfin Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin, Namimah adalah merekayasa omongan
untuk menghancurkan sesama manusia. Namimah adalah mengadu domba antara
seseorang dengan orang lain dengan tujuan agar mereka saling bermusuhan. Namimah
termasuk perbuatan tercela yang harus kita hindari dalam kehidupan sehari-hari, karena
namimah dapat menimbulkan permusuhan antar sesama umat. Sebagaimana firman Allah
dalam Qs. Al-Qalam ayat 10-14:
               
                
  
Artinya : “Dan janganlah kamu ikuti Setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina (10)
yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah (11) yang banyak
menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa (12) yang kaku
kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya (13) karena Dia mempunyai (banyak)
harta dan anak (14)
Orang yang mempunyai banyak anak dan harta lebih mudah Dia mendapat pengikut. tapi
jika Dia mempunyai sifat-sifat seperti tersebut pada ayat 10-13, tidaklah Dia dapat
diikuti.
Bahkan dalam suatu hadits Nabi disebutkan bahwasanya orang yang melakukan namimah
diancam tidak akan masuk surga.
)‫صلَّى هَّللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم الَ يَ ْد ُخ ُل ْال َجنَّةَ نَ َما ٌم (اخرجه الشيخان‬
َ ‫ قَا َل َرسُوْ ُل هَّللا‬: ‫ع َْن ُح َذ ْيفَةَ قَا َل‬
Dari Hudzaifah r.a. ia mendengar bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan masuk
surga orang yang mengadu domba (menebar fitnah)”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Bentuk menyebarkan berita tentang perkataan atau perbuatan orang dikatakan namimah
apabila dalam kondisi untuk merusak, namun apabila tujuannya untuk memberi nasehat,
mencari kebenaran dan mencegah kemungkaran tidak dikatakan sebagai namimah. Akan
tetapi, hukumnya dapat menjadi sunah atau bahkan wajib bergantung pada situasi dan
kondisi tersebut. Misalnya, melaporkan pada pemerintah tentang orang yang akan
membuat kerusakan, orang yang akan menganiaya orang lain, dan lain sebagainya.
Sama dengan akhlaq-akhlaq tercela lainnya, Namimah ini ditimbulkan karena adanya rasa
dengki terhadap seseorang sehingga menjadikan kita berlaku jahat atau tidak adil
kepadanya. Oleh karena itu untuk agar kita dapat terhindar dari perbuatan ini ada beberapa
cara yang dapat dilakukan:
1.    Menyadari tentang bahaya yang ditimbulkan dari sifat namimah
2.    Menyadari bahwa namimah merupakan perbuatan dosa
3.    Menyadari bahwa diri kita juga tidak suka apabila diadu domba oleh orang lain
4.    Menjaga lisan dari perkataan yang tidak berguna, yang karenanya dapat menyakiti dan
mendzalimi orang lain.
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Menurut bahasa akhlak merupakan tingkah laku, tabiat atau perangai. Sedangkan akhlak
menurut istilah merupakan suatu pengetahuan yang menjelaskan mengenai perbuatan yang
baik serta buruk, mengatur prilaku manusia, serta mampu menentukan perbuatan akhir.
Macam-macam dari akhlak tercela adalah banyak sekali seperti Hasad, Riya’, Hubbud
Dunnya, Sum’ah, Ujub, Takabur, Itbaul Hawa, Ghibah, Namimah dan masih banyak lagi.
Aklak tercela diatas merupakan suatu sikap/perbuatan jelek yang merugikan diri sendiri
dan orang lain yang dilakukan jauh dari apa yang dilarang agama dan tidak diridhoi oleh
Allah SWT. Seseorang yang melakukan akhlak tercela akan mendapat kesulitan baik di
dunia maupun di akhirat. Kesenangan yang didapat dari akhlak tercela di dunia hanyalah
sementara.
Bahaya yang ditimbukan dari akhlak tercela adalah beragam, yaitu : Selalu bangga
terhadap apa yang telah dilakukan meskipun itu salah, memandang orang lain selalu salah,
merugikan diri sendiri dan orang lain, semakin dekat dengan syaitan, tidak akan
mendapatkan ridha dari Allah SWT dan mendapat siksa di akhirat nanti.
Adapun cara untuk menghindari/mengobati nafsu jahat ini adalah : Dalam ilmu tasawuf,
nafsu jahat dan liar sering disebut dengan istilah sifat madzmumah. Di antara sifat-sifat
mazmumah itu seperti Hasad, Riya’, Hubbud Dunnya, Sum’ah, Ujub, Takabur, Itbaul
Hawa, Ghibah, Namimah dan lain-lain. Sifat-sifat itu melekat pada hati seperti daki
melekat pada badan. Semua akhlak tercela berawal dari nafsu jahat, sedangkan nafsu jahat
berasal dari godaan para syaitan. Maka, agar kita dapat terjauh dari akhlak tercela adalah
dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Dengan kita selalu mendekatkan diri kepada
Allah maka kita akan selalu takut dengan murka Allah. Kita akan sadar bahwa Allah selalu
melihat perbuatan kita. Dengan begitu, kita akan merasa takut untuk melakukan perbuatan
jelek. Selain itu, kita juga harus ingat bahwa ajal seseorang tidak ada yang tau.
Bayangkanlah bahwa ajal kita adalah hari esok. Dengan begitu kita akan takut untuk
melakukan perbuatan jelek. Dan beribadahlah dengan khusyu’ seakan-akan kamu mati
besok.
B.       Saran
Berdasarkan pembahasan mengenai akhlak-akhlak tercela, penulis memberi saran sebagai
umat muslim seharusnya memberikan perhatian penuh terhadap masalah pembersihan hati
dari segala-segala penyakit yang dapat menimbulkan perilaku atau perbuatan yang buruk,
dimana keduanya merupakan identitas dari akhlak yang tercela. Dengan begitu, apabila
hati yang merupakan unsur utama tubuh itu bersih maka insyaallah keadaan jiwa (Akhlak)
mengikuti kebersihan hati yang kita miliki. Mengingat begitu pentingnya akhlak dalam
kehidupan yang dapat mengantarkan kedalam jalan yang baik dan bermanfaat serta tidak
merugikan orang lain.
Demikian makalah ini penulis buat, apabila terdapat kekurangan dan kesalahan dalam
penulisan makalah ini, penulis meminta maaf dikarenakan penulis hanya manusia biasa
yang tidak terlepas dari kesalahan dan lupa. Oleh karena itu, untuk kesempurnaan dalam
penulisan makalah ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca dan semoga dengan informasi dalam makalah ini dapat bermanfaat untuk para
pembaca. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. 2008. Mutiara Ihya’ ‘Ulumuddin: Ringkasan yang
Ditulis Sendiri oleh Sang Hujjatul Islam;Terjemahan Irwan Kurniawan. Bandung: Mizan
Al-Ghozali, Imam. 2008. Mutiara Ihya’ Ulumuddin. Bandung: PT Mizan Pustaka
Al-Ghazali, Imam. 2013. Minhajul Abidin: Jalan Para Ahli Ibadah.Jakarta: Khatulistiwa
Al Khaubawiyyi,Usman Asy Syakir. 1985. Durratun Nasihin: Butir-butir Mutiara Hikmat;
Alih bahasa oleh Rosihin Abd.Gani. Semarang: Wicaksana
Ibnu Taimiyah. 2002. Risalah Tasawuf Ibnu Taimiyah.Jakarta: Hikmah
Bahreisy, Salim. 1987. Terjemah Riyadhus Shalihin II. Bandung: Alma Arif
Hawwa, Sa’id.2006. Tazkiyatun Nafs: Intisari Ihya’ Ulumuddin; Terjemahan Tim Kuwais.
Jakarta: Pena Pundi Aksara
Masykhur, Anis. 2002. Risalah Tasawuf Ibnu Taimiyah: Terjemahan Majmu’ Fatawa
Syaikh Al-Islam Ahmad Ibnu Taimiyah Jilid 10 tentang Kitab ‘Ilm Al-Suluk. Jakarta:
Hikmah
Quasem, M.Abul, Kamil. 1975. Etika Al-Ghazali:Etika Majemuk didalam Islam. Bandung:
Pustaka
Sati,Pakih. 2013. Syarah Al-Hikam: Kalimat-kalimat Menakjubkan Ibnu ‘Atha’illah dan
Tafsir serta Motivasinya. Yogyakarta: Diva Press
Yusuf, Hamza. 2009. Hatiku Surgaku: Terapi Jitu Membersihkan Hati dari Sifat-sifat
yang Tidak Disukai Allah. Jakarta: Lentera Hati

Anda mungkin juga menyukai