Anda di halaman 1dari 44

Bahan Rapat Konsinyering Tanggal 9-11Agustus 2010

di Hotel Salak, Bogor

RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan


aset hasil tindak pidana berikut instrumen yang digunakan
untuk melakukan tindak pidana, pada saat ini belum mampu
mendukung upaya penegakan hukum yang berkeadilan dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. bahwa pengaturan yang jelas dan komprehensif mengenai
pengelolaan aset yang telah dirampas akan mendorong
terwujudnya penegakan hukum yang profesional, transparan,
dan akuntabel;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Perampasan Aset Tindak Pidana;

Mengingat: Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

www.djpp.depkumham.go.id
MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET


TINDAK PIDANA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perampasan Aset Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Perampasan Aset
adalah upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk merampas aset tindak
pidana berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan tanpa didasarkan
pada penghukuman terhadap pelakunya.
2. Aset Tindak Pidana adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak,
baik berwujud maupun tidak berwujud dan mempunyai nilai ekonomis, yang
diperoleh atau diduga berasal dari tindak pidana.
3. Penelusuran adalah serangkaian tindakan untuk mencari, meminta,
memperoleh, dan menganalisis informasi untuk mengetahui atau
mengungkap asal-usul dan keberadaan Aset Tindak Pidana.
4. Pemblokiran adalah pembekuan sementara Aset Tindak Pidana dengan
tujuan untuk mencegah aset tersebut dialihkan atau dipindahtangankan.
5. Penyitaan adalah serangkaian tindakan Penyidik atau Penuntut Umum untuk
mengambil alih dan/atau menyimpan Aset Tindak Pidana di bawah
penguasaannya baik untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan, dan peradilan atau untuk kepentingan Perampasan Aset menurut
undang-undang ini.
6. Pengelolaan Aset Tindak Pidana adalah kegiatan penyimpanan,
pengamanan, pemeliharaan, penilaian, penjualan, penggunaan, pemanfaatan,
pembagian, pengawasan, dan/atau pengembalian Aset Tindak Pidana.
7. Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana yang selanjutnya disebut LPA
adalah suatu lembaga yang berada dan bertanggung jawab kepada Menteri
yang membidangi urusan keuangan dalam pemerintahan, yang mempunyai
fungsi mengelola aset yang berasal dari penyitaan dan perampasan aset.

www.djpp.depkumham.go.id
8. Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas,
atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. tulisan, suara, atau gambar;
b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau
c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
9. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Pasal 2
(1) Perampasan aset menurut ketentuan dan cara yang diatur di dalam Undang-
Undang ini dilakukan dalam hal sebagai berikut:
a. tersangka atau terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit
permanen, atau tidak diketahui keberadaannya;
b. terdakwanya diputus lepas dari segala tuntutan;
c. perkara pidananya belum atau tidak dapat disidangkan; atau
d. perkara pidana yang telah diputus oleh pengadilan dan berkekuatan
hukum tetap, dan di kemudian hari ternyata diketahui terdapat aset dari
tindak pidana yang belum dinyatakan dirampas.
(2) Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. seluruh atau sebagian aset yang diduga diperoleh dari tindak pidana
termasuk kekayaan yang ke dalamnya kemudian diubah, atau
digabungkan dengan kekayaan yang diperoleh atau dihasilkan dari aset
tindak pidana tersebut, termasuk pendapatan, modal, atau keuntungan
ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan tersebut;
b. aset yang diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana
maupun prasarana untuk melakukan tindak pidana;
c. aset lainnya yang sah sebagai pengganti Aset Tindak Pidana.
(3) Aset tindak pidana yang dapat dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) terdiri atas :

www.djpp.depkumham.go.id
a. Aset yang bernilai paling sedikit Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah);
atau
b. Aset yang berasal dari tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
(4) Dalam hal terjadi perubahan nilai minimum maka penyesuaian nilai
minimum diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 3
Barang temuan yang diduga berasal dari tindak pidana dapat juga dirampas
berdasarkan Undang-Undang ini.

BAB II
PENELUSURAN, PEMBLOKIRAN, PENYITAAN, DAN PERAMPASAN

Bagian Kesatu
Penelusuran

Pasal 4

(1) Dalam hal terdapat aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, penyidik atau
penuntut umum dapat melakukan Penelusuran.
(2) Dalam melaksanakan Penelusuran, penyidik atau penuntut umum sesuai
dengan kewenangannya dapat meminta Dokumen atau bahan lainnya kepada
setiap orang, Korporasi, atau instansi pemerintah.
(3) Setiap orang, Korporasi, atau instansi pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib memberikan informasi dengan menyerahkan dokumen
atau bahan lainnya kepada penyidik atau penuntut umum.
(4) Penyerahan Dokumen oleh orang, Korporasi, atau instansi pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan dari ketentuan
kerahasiaan.

www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 5
Orang, Korporasi, atau instansi pemerintah yang memberikan informasi dengan
beriktikad baik dan bertanggung jawab tidak dapat dituntut secara pidana maupun
perdata.

Pasal 6
Dalam hal Penelusuran terhadap Aset Tindak Pidana diduga berada di luar negeri,
maka penelusuran dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur oleh
perjanjian bilateral, regional, serta multilateral dan/atau atas dasar hubungan baik
berdasarkan prinsip resiprositas dengan memperhatikan peraturan perundang-
undangan.

Bagian Kedua
Pemblokiran dan Penyitaan
Pasal 7
(1) Jika dari hasil Penelusuran diperoleh dugaan kuat mengenai asal usul atau
keberadaan Aset Tindak Pidana, penyidik atau penuntut umum dapat
memerintahkan Pemblokiran kepada lembaga yang berwenang.
(2) Tindakan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diikuti
dengan tindakan Penyitaan.
(3) Lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
melakukan Pemblokiran segera setelah perintah Pemblokiran diterima.

Pasal 8
Pelaksanaan pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak perintah Pemblokiran
diterima.

www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 9
Penyidik atau penuntut umum yang memerintahkan pemblokiran dan Lembaga
yang melaksanakan pemblokiran aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 yang
beriktikad baik tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata.

Pasal 10
Selama masa Pemblokiran, Aset Tindak Pidana tidak dapat dialihkan atau
dipindahtangankan.

Pasal 11

(1) Penyitaan menurut ketentuan Undang-Undang ini dilakukan oleh penyidik


atau penuntut umum dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat.
(2) Dalam keadaan yang mendesak penyitaan terhadap benda bergerak dapat
dilakukan tanpa mendapatkan surat izin terlebih dahulu dan wajib segera
melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh
persetujuannya.

Pasal 12

(1) Penyitaan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum menurut
Undang-Undang ini harus didasarkan surat perintah penyitaan.
(2) Dalam hal penyidik atau penuntut umum melakukan penyitaan, penyidik
atau penuntut umum wajib menunjukkan surat perintah penyitaan kepada
orang yang memiliki atau menguasai aset tersebut.
(3) Setelah penyitaan dilakukan, penyidik atau penuntut umum segera
membuat berita acara penyitaan dan menyerahkan tembusan berita acara
penyitaan kepada orang yang memiliki atau menguasai aset tersebut.

Pasal 13
(1) Aset Tindak Pidana yang telah dikenakan Penyitaan beserta dokumen
pendukungnya oleh penyidik atau penuntut umum wajib diserahkan kepada
LPA.

www.djpp.depkumham.go.id
(2) LPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib untuk melakukan kegiatan
penyimpanan, pemeliharaan, pengamanan, dan penilaian Aset Tindak
Pidana.
(3) Dalam hal diperlukan, LPA wajib menghadirkan Aset Tindak Pidana beserta
dokumennya pada setiap tingkat pemeriksaan.

Pasal 14
Dalam hal Pemblokiran atau Penyitaan dilakukan terhadap Aset Tindak Pidana
yang berada di luar negeri, maka penyidik atau penuntut umum melakukan
kerjasama dengan negara tempat aset tersebut berada dengan dilakukan
berdasarkan perjanjian, baik bilateral, regional, maupun multilateral, atau atas
dasar hubungan baik berdasarkan prinsip resiprositas sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 15
Dalam hal permintaan Pemblokiran atau Penyitaan aset yang berada di luar
negeri ditolak, maka penyidik atau penuntut umum dapat memblokir atau
menyita aset lainnya yang terdapat di Indonesia yang nilainya setara dengan nilai
aset yang akan diblokir atau disita.

Bagian Ketiga
Perampasan

Paragraf 1
Umum

Pasal 16
Perampasan aset tidak menghapuskan kewenangan untuk melakukan penuntutan
terhadap pelaku tindak pidana.

www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 17
(1) Sebelum terdapat putusan Perampasan Aset yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, LPA dapat menunjuk pihak ketiga yang telah
mempergunakan atau memanfaatkan aset tersebut sepanjang dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. tidak mengubah bentuk fisik aset;
b. tidak dialihkan penggunaan atau pemanfaatannya;
c. dilakukan pemeliharaan dan perawatan; atau
d. tidak dipergunakan untuk melakukan perbuatan melawan hukum.
(2) Segala biaya perawatan, pajak, rekening tagihan, maupun pengeluaran lain
yang diperlukan selama menggunakan atau memanfaatkan aset tersebut
menjadi kewajiban bagi pihak yang menggunakan atau memanfaatkan aset.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penunjukan pihak
ketiga oleh LPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.

Paragraf 2
Pemberkasan Permohonan Perampasan Aset

Pasal 18
Setelah penyidik atau penuntut umum melakukan pemblokiran dan/atau
penyitaan, penyidik atau penuntut umum segera melakukan pemberkasan baik
terhadap Dokumen maupun bukti yang dapat mendukung permohonan
Perampasan Aset.

Pasal 19
(1) Dalam hal pemberkasan dilakukan oleh penyidik, maka setelah dilakukan
pemberkasan, penyidik segera menyerahkan berkas tersebut kepada penuntut
umum untuk diteliti.

www.djpp.depkumham.go.id
(2) Penuntut umum dalam waktu 14 (empat belas) hari harus menentukan sikap
apakah berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah
memenuhi syarat untuk disidangkan atau tidak.
(3) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa berkas perkara tersebut
belum lengkap segera dikembalikan kepada penyidik, dan penyidik dalam
jangka waktu 14 (empat belas) hari wajib melengkapi berkas dimaksud.

Paragraf 3
Wewenang Mengajukan Permohonan Perampasan Aset dan
Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili

Pasal 20
(1) Permohonan perampasan aset diajukan oleh penuntut umum secara tertulis
dalam bentuk surat permohonan, ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
setempat, dengan permintaan agar segera memeriksa dan memutus perkara
perampasan aset tersebut.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. nama dan jenis aset;
b. jumlah menurut jenis masing-masing aset;
c. tempat, hari, dan tanggal penyitaan;
e. identitas orang dari mana aset itu disita, jika ada;
f. dasar hukum dan alasan dilakukan permohonan perampasan aset; dan
g. dokumen pendukung yang dianggap perlu.

(3) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberi tanggal dan
ditandatangani oleh Penuntut Umum.

Pasal 21
Penuntut umum berdasarkan Undang-Undang ini diberi wewenang untuk
melakukan tindakan untuk dan atas nama negara tanpa perlu adanya surat kuasa
khusus untuk itu.

www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 22
(1) Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara perampasan aset adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat keberadaan aset.
(2) Apabila terdapat beberapa aset yang dimohonkan untuk dirampas dalam
daerah hukum beberapa Pengadilan Negeri, maka masing-masing
Pengadilan Negeri tersebut berwenang mengadili perkara Perampasan Aset
itu.

Pasal 23
Dalam hal keadaan daerah tidak memungkinkan suatu Pengadilan Negeri untuk
memeriksa suatu permohonan Perampasan Aset, maka atas usul Ketua
Pengadilan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan, Mahkamah
Agung menetapkan atau menunjuk Pengadilan Negeri lain yang layak untuk
memeriksa permohonan dimaksud.

Pasal 24
Apabila aset yang dimohonkan untuk dirampas berada di luar negeri, namun telah
memenuhi syarat sebagai objek Perampasan Aset menurut ketentuan undang-
undang ini, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa.

Paragraf 4
Pemeriksaan Permohonan Perampasan Aset

Pasal 25
(1) Panitera Pengadilan Negeri memanggil secara sah para pihak untuk datang
ke sidang pengadilan melalui alamat atau tempat tinggalnya.
(2) Dalam hal alamat atau tempat tinggal para pihak tidak diketahui, panggilan
disampaikan di tempat kediaman terakhir.
(3) Apabila para pihak tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat kediaman
terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa/kelurahan atau
nama lainnya dalam daerah hukum tempat tinggal para pihak atau tempat
kediaman terakhir.

10

www.djpp.depkumham.go.id
(4) Dalam hal terdapat pihak yang ditahan dalam Rumah Tahanan Negara, surat
panggilan disampaikan melalui pejabat Rumah Tahanan Negara.
(5) Surat panggilan yang diterima oleh para pihak sendiri atau oleh orang lain
atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan.
(6) Apabila tempat tinggal ataupun tempat kediaman terakhir tidak diketahui,
surat panggilan ditempelkan pada papan pengumuman di gedung pengadilan
tempat perkara Perampasan Aset diperiksa.
(7) Apabila para pihak adalah korporasi maka panggilan disampaikan kepada
Pengurus di tempat kedudukan korporasi sebagaimana tercantum dalam
Anggaran Dasar korporasi tersebut.
(8) Salah seorang pengurus korporasi wajib menghadap di sidang pengadilan
mewakili korporasi.

Pasal 26
(1) Dalam menetapkan hari persidangan, panitera harus mempertimbangkan
jarak antara alamat tempat tinggal pihak yang berperkara dengan pengadilan
tempat persidangan dilakukan
(2) Tenggang waktu antara pemanggilan pihak yang berperkara dan waktu
sidang tidak boleh kurang dari 3 (tiga) hari, kecuali dalam hal sangat perlu
dan mendesak untuk diperiksa dan hal tersebut dinyatakan dalam surat
panggilan

Paragraf 5
Memutus Sengketa mengenai Wewenang Mengadili

Pasal 27
(1) Setelah Pengadilan Negeri menerima surat permohonan Perampasan Aset
dari penuntut umum, Ketua Pengadilan Negeri menentukan apakah perkara
yang disampaikan tersebut termasuk wewenang pengadilan yang
dipimpinnya.
(2) Salinan permohonan Perampasan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada para pihak yang diketahui berkepentingan dengan aset
tersebut.

11

www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 28
(1) Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri berpendapat bahwa permohonan
Perampasan Aset tersebut tidak termasuk wewenang pengadilan yang
dipimpinnya, tetapi termasuk wewenang Pengadilan Negeri lain, maka
Ketua Pengadilan Negeri menyerahkan permohonan Perampasan Aset
tersebut secara tertulis kepada Pengadilan Negeri lain melalui Kejaksaan
Negeri yang mengajukan permohonan dimaksud.
(2) Salinan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada para
pihak yang diketahui berkepentingan dengan aset tersebut.

Paragraf 6
Acara Pemeriksaan

Pasal 29
Dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini, pemeriksaan di
semua tingkatan dalam perkara Perampasan Aset ini dilakukan berdasarkan
ketentuan hukum acara pidana.

Pasal 30
(1) Dalam hal Pengadilan Negeri menerima permohonan perampasan aset dan
berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya, Ketua Pengadilan
Negeri menunjuk majelis hakim atau hakim tunggal yang akan
menyidangkan perkara tersebut.
(2) Hakim yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerintahkan
Panitera untuk mengumumkan tentang permohonan Perampasan Aset
dimaksud.
(3) Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pengumuman tentang permohonan
perampasan aset dimaksud, hakim menetapkan hari sidang.
(4) Hakim dalam menetapkan hari sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memerintahkan kepada panitera pengadilan negeri untuk memanggil
Penuntut Umum/jaksa pengacara negara dan/atau pihak yang mengajukan
perlawanan untuk hadir di sidang pengadilan.

12

www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 31
(1) Pada hari sidang yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 ayat (2), Pengadilan wajib membuka persidangan.
(2) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang
dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia.

Pasal 32
(1) Hakim membuka sidang perkara permohonan Perampasan Aset dengan
menyebut objek Perampasan Aset dan menyatakan sidang terbuka untuk
umum.
(2) Penuntut umum menyampaikan permohonan Perampasan Aset beserta dalil-
dalil tentang alasan mengapa aset tersebut harus dirampas.
(3) Penuntut umum menyampaikan alat bukti tentang asal usul dan keberadaan
aset yang mendukung alasan Perampasan Aset.
(4) Dalam hal diperlukan, penuntut umum dapat menghadirkan aset yang akan
dirampas atau berdasarkan perintah hakim dilakukan pemeriksaan terhadap
Aset Tindak Pidana di tempat aset tersebut berada.
(5) Dalam hal ada perlawanan dari pihak ketiga, maka hakim memberikan
kesempatan kepada pihak ketiga untuk mengajukan alat bukti berkenaan
dengan keberatannya dimaksud.
(6) Setelah mendengarkan pembuktian dari pihak ketiga, penuntut umum dapat
memanggil saksi atau ahli tambahan untuk menyanggah pembuktian dari
pihak ketiga selama persidangan.
(7) Hakim mempertimbangkan seluruh dalil-dalil yang diajukan oleh penuntut
umum dan/atau pihak ketiga sebelum memutus apakah akan menerima atau
menolak permohonan Perampasan Aset.

Pasal 33
Hakim ketua sidang meneliti apakah semua saksi atau ahli yang dipanggil telah
hadir dan memberi perintah untuk mencegah saksi atau ahli berhubungan satu
dengan yang lain sebelum memberi keterangan di sidang.

13

www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 34
(1) Penuntut umum terlebih dahulu mengajukan pertanyaan kepada saksi atau
ahli yang dihadirkan oleh penuntut umum.
(2) Setelah penuntut umum selesai mengajukan pertanyaan, pihak ketiga dapat
mengajukan pertanyaan kepada saksi atau ahli.
(3) Penuntut umum dapat mengajukan pertanyaan kembali kepada saksi atau
ahli untuk memperjelas setiap jawaban yang diberikan kepada pihak ketiga.
(4) Pihak ketiga mengajukan pertanyaan kepada saksi atau ahli yang dihadirkan
oleh pihak ketiga.
(5) Setelah pihak ketiga selesai mengajukan pertanyaan, penuntut umum dapat
mengajukan pertanyaan kepada saksi atau ahli.
(6) Pihak ketiga selanjutnya dapat mengajukan pertanyaan kembali kepada saksi
atau ahli untuk memperjelas setiap jawaban yang diberikan kepada penuntut
umum.
(7) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut
umum atau pihak ketiga kepada saksi atau ahli apabila hakim ketua sidang
menilai bahwa pertanyaan tersebut tidak relevan dengan perkara yang
disidangkan dan menyebutkan alasannya mengapa pertanyaan tertentu tidak
diperbolehkan.
(8) Dalam hal diperlukan, Hakim berwenang mengajukan pertanyaan untuk
mengklarifikasi pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum atau pihak
ketiga kepada saksi atau ahli.
(9) Hakim ketua sidang dan hakim anggota dapat meminta kepada saksi segala
keterangan yang dipandang perlu untuk mendapatkan kebenaran.

Pasal 35
(1) Setelah memberi keterangan, saksi diharuskan tetap hadir di sidang, kecuali
hakim ketua sidang memberi izin untuk meninggalkannya.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan, jika penuntut
umum atau pihak ketiga mengajukan permintaan agar saksi tersebut tetap
menghadiri sidang.
(3) Para saksi selama sidang berlangsung dilarang saling bercakap-cakap.

14

www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 36
(1) Seseorang yang dapat diminta memberikan keterangan tanpa sumpah atau
janji adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum
pernah kawin.
(2) Keterangan saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan
untuk memperkuat keyakinan Hakim.

Pasal 37
(1) Setelah saksi memberi keterangan, maka pihak ketiga dapat mengajukan
permintaan kepada hakim ketua sidang agar di antara saksi tersebut yang
tidak dikehendaki kehadirannya dikeluarkan dari ruang sidang, dan saksi
yang lain dipanggil masuk oleh hakim ketua sidang untuk didengar
keterangannya, baik seorang demi seorang maupun bersama-sama tanpa
hadirnya saksi yang dikeluarkan tersebut.
(2) Apabila dipandang perlu, hakim karena jabatannya dapat meminta agar saksi
yang telah didengar keterangannya keluar dari ruang sidang untuk
selanjutnya mendengar keterangan saksi yang lain.

Pasal 38
(1) Apabila keterangan saksi di sidang diduga palsu, hakim ketua sidang
memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepada saksi agar memberikan
keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang
dapat dikenakan kepada saksi apabila tetap memberikan keterangan palsu.
(2) Apabila saksi tetap memberikan keterangan yang diduga palsu, hakim ketua
sidang karena jabatannya atau atas permintaan para pihak dapat memberi
perintah agar saksi ditahan dan dituntut dengan dakwaan sumpah palsu.
(3) Panitera dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari membuat Berita Acara
pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan
alasan persangkaan bahwa keterangan saksi tersebut palsu dan Berita Acara
tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera
diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan
Undang-Undang ini.

15

www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 39
(1) Jika pihak ketiga atau saksi bisu, tuli, atau tidak dapat menulis, maka hakim
ketua sidang dapat menunjuk seorang penerjemah atau orang yang pandai
bergaul dengan mereka untuk mendampingi mereka dalam memberikan
keterangan di sidang.
(2) Jika pihak ketiga atau saksi bisu atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua
sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran secara tertulis kepada
pihak ketiga atau saksi tersebut untuk diperintahkan menulis jawabannya
dan selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan.

Pasal 40
(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli wajib memberikan
keterangan ahli demi keadilan.
(2) Semua ketentuan mengenai saksi, berlaku juga bagi ahli yang memberikan
keterangan, dengan ketentuan bahwa ahli yang mengucapkan sumpah atau
janji tersebut akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan
sejujur-jujurnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.

Pasal 41
(1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduk persoalan yang timbul di
sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat meminta keterangan ahli dan
dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.
(2) Dalam hal timbul perlawanan yang beralasan dari salah satu pihak terhadap
hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hakim
memerintahkan agar hal tersebut dilakukan penelitian ulang, termasuk
penelitian ulang atas keterangan ahli tersebut.
(3) Penelitian ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
instansi semula dengan komposisi personal yang berbeda dan instansi lain
yang mempunyai wewenang untuk itu.

16

www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 42
(1) Sesudah kesaksian dan bukti disampaikan oleh kedua belah pihak, masing-
masing pihak diberi kesempatan untuk menyampaikan keterangan lisan yang
menjelaskan tentang bukti yang diajukan di persidangan mendukung
pendapat mereka mengenai perkara tersebut.
(2) Dalam hal pemeriksaan dinyatakan selesai, hakim ketua sidang menyatakan
bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup.

Pasal 43
(1) Dalam hal tertentu, baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena
jabatannya maupun atas permintaan salah satu pihak dengan memberikan
alasan yang dapat diterima, sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (2) dapat dibuka kembali.
(2) Setelah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, hakim
mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan.
(3) Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus didasarkan atas
surat permohonan Perampasan Aset dan segala sesuatu yang terbukti dalam
pemeriksaan di sidang.
(4) Dalam musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hakim ketua
majelis mengajukan pertanyaan kepada setiap hakim anggota dan setelah itu
ketua majelis hakim mengemukakan pendapatnya.
(5) Pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus disertai dengan
pertimbangan beserta alasannya.

Pasal 44
(1) Putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat,
kecuali jika permufakatan tersebut setelah diusahakan dengan sungguh-
sungguh tidak dapat dicapai, maka putusan diambil dengan suara terbanyak.
(2) Pelaksanaan pengambilan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dicatat dalam buku himpunan putusan yang sifatnya rahasia yang disediakan
khusus untuk keperluan tersebut.
(3) Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu
juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada
penuntut umum dan/atau pihak ketiga.

17

www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 45
(1) Keterangan saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) sebagai
alat bukti adalah segala hal yang dinyatakan oleh saksi di sidang pengadilan.
(2) Dalam hal saksi tidak dapat dihadirkan dalam pemeriksaan di sidang
pengadilan, keterangan saksi dapat diberikan secara jarak jauh melalui alat
komunikasi audio visual dengan dihadiri oleh para pihak.
(3) Keterangan 1 (satu) orang saksi hanya dapat menjadi alat bukti yang sah
apabila diperkuat dengan alat bukti lain.
(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah.
(5) Keterangan beberapa saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus saling
berhubungan satu sama lain sehingga dapat membenarkan adanya suatu
kejadian atau keadaan tertentu.
(6) Pendapat atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran belaka bukan
merupakan keterangan saksi.
(7) Dalam menilai kebenaran keterangan saksi, hakim wajib memperhatikan :
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan
tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi dipercayanya keterangan tersebut; dan/atau
e. keterangan saksi sebelum dan pada waktu sidang.
(8) Keterangan saksi yang tidak disumpah yang sesuai satu dengan yang lain,
walaupun tidak merupakan alat bukti, dapat dipergunakan sebagai tambahan
alat bukti yang sah apabila keterangan tersebut sesuai dengan keterangan
yang diperoleh dari alat bukti lainnya.

Pasal 46
Keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) adalah apa yang
dinyatakan oleh seorang ahli berdasarkan keahliannya di depan persidangan.

18

www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 47
Surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c, dibuat berdasarkan
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, yakni :
a. Berita Acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialami
sendiri disertai dengan alasan yang tegas dan jelas tentang keterangannya;
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam ketatalaksanaan
yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian
suatu hal atau suatu keadaan;
c. surat keterangan ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi darinya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku, jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.

Pasal 48
Hakim hanya dapat memutuskan suatu aset dapat dirampas jika dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa Negara
berwenang mengajukan permohonan perampasan dan berhak atas aset tersebut
karena memang merupakan objek dari perampasan aset berdasarkan undang-
undang ini.

Pasal 49
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Dokumen
e. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu.

19

www.djpp.depkumham.go.id
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan

Pasal 50
(1) Dalam hal hakim menyatakan permohonan Perampasan Aset diterima, maka
hakim mengeluarkan putusan yang menyatakan merampas aset tersebut
untuk negara.
(2) Dalam hal permohonan Perampasan Aset ditolak, maka hakim
mengeluarkan putusan yang menyatakan aset tersebut dikembalikan kepada
yang berhak.

Pasal 51
(1) Terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dapat
diajukan upaya hukum kasasi.
(2) Tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum kasasi tersebut adalah 14
(empat belas hari) sejak putusan dibacakan.

Pasal 52
(1) Hakim, penuntut umum, atau panitera wajib mengundurkan diri dari
menangani perkara apabila mempunyai kepentingan dengan aset yang
dimohonkan perampasan.
(2) Jika dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mereka yang
mengundurkan diri harus diganti.

Pasal 53
Sebelum majelis memutuskan, Hakim dilarang menunjukkan sikap atau
mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai dapat atau
tidaknya permohonan perampasan aset dikabulkan.

Paragraf 7
Pembuktian dan Penetapan/Putusan

20

www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 54
(1) Alat bukti yang diberikan oleh pemerintah, orang, atau perusahaan negara
lain yang sudah disahkan oleh pemerintah negara yang bersangkutan dapat
dipertimbangkan sebagai alat bukti yang sah.
(2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dipertimbangkan
jika terdapat perbedaan prosedur untuk mendapatkan alat bukti tersebut
antara peraturan perundang-undangan di Indonesia dengan peraturan
perundang-undangan di negara tempat alat bukti tersebut diperoleh,
sepanjang tidak melanggar peraturan perundang-undangan atau perjanjian
internasional.

Pasal 55
Pemilik aset yang tidak mampu membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh
melalui perbuatan yang sah menurut hukum, dapat dijadikan sebagai petunjuk
bagi Hakim bahwa aset tersebut merupakan hasil dari suatu tindak pidana
sehingga dapat dirampas untuk Negara.

Pasal 56
Jika penuntut umum mengajukan permohonan Perampasan Aset dengan alasan
aset tersebut digunakan sebagai alat atau sarana untuk melakukan suatu tindak
pidana, maka penuntut umum harus dapat membuktikan bahwa terdapat
hubungan yang erat antara aset yang digugat untuk dirampas dengan tindak
pidana yang terjadi.

Pasal 57
Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Pasal 58
(1) Putusan memuat :
a. kepala penetapan/putusan yang dituliskan berbunyi :
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA”

21

www.djpp.depkumham.go.id
b. nama, jenis, berat, ukuran dan/atau jumlah masing-masing aset;
c. permohonan perampasan aset;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
beserta alat bukti yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang
menjadi dasar penentuan diterima atau ditolaknya permohonan
perampasan aset;
e. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan,
f. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim,
g. pernyataan diterima atau ditolaknya permohonan perampasan aset;
h. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
jumlahnya yang pasti;
i. perintah agar aset dirampas untuk negara atau tetap dalam status sitaan
atau blokir atau dibebaskan dari status sitaan atau blokir atau
dikembalikan kepada pemilik yang sah; dan
j. hari dan tanggal putusan, nama para pihak, nama penuntut umum, nama
hakim yang memutus, dan nama panitera; dan
k. putusan mengenai pemberian ganti kerugian dalam hal memungkinkan.
(2) Petikan putusan ditandatangani oleh hakim dan panitera segera setelah
putusan diucapkan.

Pasal 59
Putusan dilaksanakan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah putusan
tersebut disampaikan kepada penuntut umum.

Pasal 60
(1) Panitera membuat Berita Acara sidang dengan memperhatikan persyaratan
yang diperlukan dan memuat segala kejadian di sidang yang berhubungan
dengan pemeriksaan.
(2) Berita Acara sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga hal
yang penting dari keterangan para pihak, saksi, dan ahli.

22

www.djpp.depkumham.go.id
(3) Atas permintaan penuntut umum atau pihak ketiga, hakim ketua sidang
wajib memerintahkan kepada panitera supaya dibuat catatan secara khusus
tentang suatu keadaan atau keterangan.
(4) Berita Acara sidang ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan panitera,
kecuali apabila salah seorang dari mereka berhalangan, maka hal tersebut
dinyatakan dalam Berita Acara.

BAB III
PENGELOLAAN ASET
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 61
(1) Pengelolaan aset dilaksanakan berdasarkan asas profesional, kepastian
hukum, keterbukaan, efisiensi, dan akuntabilitas.
(2) Pengelolaan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
LPA yang bertanggung jawab kepada menteri yang membidangi urusan
keuangan dalam pemerintahan.

Bagian Kedua
Fungsi, Tugas, dan Kewenangan

Pasal 62
(1) Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) mempunyai fungsi
pengelolaan Aset.
(2) Dalam menjalankan fungsi pengelolaan aset, ditetapkan suatu lembaga
pengelola aset yang berada dan bertanggung jawab kepada menteri yang
membidangi urusan keuangan dalam pemerintahan.

23

www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 63
Dalam melaksanakan fungsi pengelolaan Aset, lembaga bertugas melakukan
penyimpanan, pengamanan pemeliharaan, penilaian, penjualan, penggunaan,
pemanfaatan, pembagian, pengawasan, dan/atau pengembalian Aset Tindak
Pidana.

Pasal 64
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, LPA
mempunyai wewenang sebagai berikut:
a. menerima Aset hasil sitaan atau rampasan yang diserahkan oleh penyidik
atau penuntut umum termasuk dokumen-dokumen pendukungnya;
b. menunjuk atau menetapkan pihak lain yang bertugas melakukan
pengurusan Aset Tindak Pidana yang bersifat khusus atau kompleks;
c. membantu penyidik atau penuntut umum dalam melaksanakan eksekusi
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
yaitu dengan melaksanakan penjualan, pemusnahan, pengembalian
kepada pemilik sesuai dengan putusan pengadilan.
(2) LPA atas permintaan penyidik atau penuntut umum berwenang menjual aset
sebelum adanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
dalam hal:
a. Aset yang disita mempunyai sifat mudah rusak, mudah busuk, atau nilai
ekonomisnya cepat menurun, atau penyimpanan, pemeliharaan, dan
pengamanan aset tersebut memerlukan biaya yang cukup besar; atau
b. Apabila perkara masih ada di tangan penyidik atau penuntut uumum,
benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik
atau penuntut umum dan LPA, dengan disaksikan oleh tersangka atau
kuasanya,

Bagian Ketiga
Proses/Tata Cara Pengelolaan Aset
Paragraf 1
Pengelolaan Aset yang Disita
Penyimpanan, Pengamanan, dan Pemeliharaan

24

www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 65
(1) LPA bertanggungjawab atas penyimpanan, pengamanan, dan pemeliharaan
aset yang ada di bawah penguasaannya.
(2) Penyimpanan, pengamanan, dan pemeliharaan aset sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dimaksudkan untuk menjaga atau mempertahankan nilai
Aset.
(3) Dalam melakukan penyimpanan, pengamanan, dan pemeliharaan Aset
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LPA dapat menunjuk pihak lain
untuk membantu melakukan pemeliharaan Aset.

Pasal 66
(1) Pengamanan terhadap aset meliputi pengamanan administrasi, pengamanan
fisik, dan pengamanan hukum.
(2) Dalam melakukan pengamanan fisik aset, LPA dapat bekerja sama dengan
aparat keamanan.

Paragraf 2
Penilaian

Pasal 67
(1) Terhadap aset yang diterima oleh LPA dilakukan penilaian.
(2) Hasil penilaian aset dituangkan dalam bentuk laporan hasil penilaian aset.
(3) Laporan hasil penilaian aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada penyidik atau penuntut umum.

Paragraf 3
Pengelolaan Aset yang Dirampas
Pasal 68
(1) Penjualan Aset yang telah diputus dirampas dilakukan dengan lelang melalui
Kantor Lelang.

25

www.djpp.depkumham.go.id
(2) Dalam hal aset tidak terjual melalui lelang, LPA melakukan lelang ulang
paling banyak 3 (tiga) kali.
(3) Hasil lelang Aset disetor langsung ke kas negara sebagai penerimaan negara
bukan pajak.

Pasal 69
Dalam hal aset tidak terjual setelah dilakukan lelang ulang paling banyak 3 (tiga)
kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2), maka Pengelolaan aset yang
dirampas berlaku ketentuan perundang-undangan tentang pengelolaan barang
milik negara.
Pasal 70
(1) Penggunaan Aset yang diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan tugas
pokok dan fungsi LPA dapat dilakukan oleh LPA dengan persetujuan
menteri yang membidangi urusan keuangan dalam pemerintahan.
(2) Dalam hal Aset yang dirampas diperlukan penggunaannya oleh instansi
Pemerintah maka dapat dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan
menteri yang membidangi urusan keuangan dalam pemerintahan.
(3) Dalam hal persetujuan menteri yang membidangi urusan keuangan dalam
pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
diperoleh maka Aset harus dijual.
(4) Penggunaan Aset dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan
memperhatikan kepentingan negara dan kepentingan umum.

Paragraf 4
Pengembalian

Pasal 71
Pengembalian Aset baik sebagian atau seluruhnya dilakukan terhadap pihak
ketiga atau orang lain sebagaimana disebutkan dalam Putusan perampasan Aset.

26

www.djpp.depkumham.go.id
Paragraf 5
Pengawasan

Pasal 72
(1) LPA dapat meminta lembaga pemerintah yang berwenang untuk
melakukan audit atas pelaksanaan pengembalian Aset.
(2) Hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada LPA
untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Hasil Pengelolaan Aset dan Penggunaannya

Pasal 73
(1) Hasil yang diperoleh dari pengelolaan Aset disetorkan langsung ke kas
negara sebagai penerimaan negara bukan pajak.
(2) Terhadap pihak yang telah berjasa dalam upaya perampasan dan
pengelolaan Aset yang menghasilkan penerimaan negara bukan pajak dapat
diberikan insentif.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemberian
insentif diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 74
(1) Sebagian dana dari penerimaan negara bukan pajak dari hasil pengelolaan
aset rampasan dapat digunakan untuk kegiatan:
a. Pendidikan dan pelatihan;
b. Penegakan hukum;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan penerimaan negara bukan
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

27

www.djpp.depkumham.go.id
BAB IV
PERLINDUNGAN DAN KOMPENSASI

Pasal 75
(1) Dalam hal pelaku tidak terbukti bersalah dan Perampasan Aset telah
dilakukan sebelum dikeluarkannya putusan pengadilan dan dikemudian
hari Aset tersebut dapat dibuktikan bukan merupakan hasil dari kejahatan
maka Aset tersebut harus dikembalikan kepada tersangka atau kuasanya
atau pihak yang berhak.
(2) Pihak ketiga yang beriktikad baik wajib membuktikan hak kepemilikannya
atas Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pengembalian Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sebagai berikut:
a. Dalam hal aset telah dijual melalui lelang atau telah dilakukan
penggunaan, maka pengembalian dilakukan atas uang hasil lelang
sebesar nilai yang diperoleh pada saat lelang, paling lama 2 (dua) tahun
sejak pengajuan anggaran.
b. Dalam hal aset masih dikuasai LPA, maka aset langsung dikembalikan,
paling lama 3 (tiga) bulan setelah putusan diterima.
(4) Selain mengembalikan Aset, terhadap tersangka juga diberikan rehabilitasi.

Pasal 76
(1) Dalam hal seseorang dirugikan sebagai akibat dilakukannya pemblokiran,
penyitaan, dan/atau Perampasan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan rehabilitasi dan/atau
kompensasi.
(2) Dalam hal kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa hilang
atau musnahnya Aset yang dirampas, maka pemiliknya berhak atas ganti
kerugian sebesar jumlah yang setara dengan harga Aset tersebut.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengembalian Aset,
rehabilitasi, dan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

28

www.djpp.depkumham.go.id
BAB V
PERLINDUNGAN TERHADAP PIHAK KETIGA
YANG BERIKTIKAD BAIK

Pasal 77
(1) Dalam hal Aset Tindak Pidana yang diajukan permohonan perampasan
terdapat milik pihak ketiga yang beriktikad baik, maka pihak ketiga tersebut
dapat mengajukan keberatan terhadap permohonan perampasan kepada
Ketua Pengadilan Negeri.
(2) Pihak ketiga yang beriktikad baik wajib membuktikan hak kepemilikannya
atas Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencegah
atau menunda pelaksanaan putusan permohonan Perampasan Aset.

BAB VI
KERJASAMA INTERNASIONAL

Pasal 78
Kerjasama internasional mengenai bantuan untuk pemblokiran, penyitaan,
perampasan, dan pengelolaan Aset Tindak Pidana dilakukan berdasarkan
perjanjian, baik bilateral, regional, maupun multilateral, atau atas dasar hubungan
baik berdasarkan prinsip resiprositas sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 79
Permintaan bantuan Perampasan Aset oleh negara lain dilaksanakan oleh
Pemerintah Republik Indonesia jika hukum di negara tersebut juga mengatur
pelaksanaan Perampasan Aset.

29

www.djpp.depkumham.go.id
BAB VII
PEMBIAYAAN
Pasal 80
Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan Undang-Undang ini dibebankan
kepada anggaran pendapatan belanja negara.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 81
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Aset Tindak Pidana yang disita
yang telah ditempatkan dalam Rumah Penyimpanan Barang Sitaan dan
Rampasan Negara tetap disimpan dan dikelola oleh Rumah Penyimpanan Barang
Sitaan dan Rampasan Negara, yang penyimpanan dan pengelolaannya
dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang ini sampai terbentuknya LPA.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 82
LPA melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya paling lambat 1 (satu) tahun
setelah Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 83
Sebelum terbentuknya LPA, tugas dan fungsi penyimpanan, pengamanan,
pemeliharaan, penilaian, penjualan, penggunaan, pemanfaatan, pembagian,
pengawasan, dan/atau pengembalian Aset Tindak Pidana dilaksanakan oleh unit
yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan aset yang berada di bawah
Kementerian Keuangan.

30

www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 84
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan berlaku surut
terhadap Aset yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan sejak tahun
1998.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-


Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR.SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ...
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...

31

www.djpp.depkumham.go.id
RANCANGAN
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN
TENTANG
PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA

I. UMUM
Konstruksi sistem hukum pidana yang dikembangkan saat ini masih
difokuskan pada upaya untuk mengungkap tindak pidana yang terjadi,
menemukan pelakunya serta menghukum pelaku tindak pidana dengan sanksi
pidana, terutama pidana badan baik pidana penjara maupun pidana kurungan.
Sementara itu, masalah penyitaan dan perampasan hasil tindak pidana dan
instrumen tindak pidana belum menjadi bagian penting di dalam sistem hukum
pidana.
Berdasarkan pengalaman bahwa mengungkap tindak pidana, menemukan
pelakunya dan menempatkan pelaku tindak pidana di dalam penjara dengan
membiarkan pelaku tindak pidana tetap menguasai hasil dan instrumen tindak
pidana serta memberikan peluang kepada pelaku tindak pidana atau orang lain
yang memiliki keterkaitan dengan pelaku tindak pidana untuk menikmati hasil
tindak pidana dan menggunakan kembali instrumen tindak pidana atau bahkan
mengembangkan tindak pidana yang pernah dilakukan, ternyata belum cukup
efektif untuk menekan tingkat kejahatan jika tidak disertai dengan upaya untuk
menyita dan merampas hasil dan instrumen tindak pidananya
Saat ini bentuk-bentuk kejahatan telah berkembang diantaranya dengan
adanya kejahatan yang terorganisir atau organized crime. Bentuk kejahatan ini
selain melibatkan sekumpulan orang yang mempunyai keahlian di dalam
melaksanakan tindak pidana juga didukung oleh beragam instrumen tindak
pidana sehingga mereka bisa menghimpun hasil tindak pidana dalam jumlah yang
sangat besar.
Upaya untuk melumpuhkan bentuk kejahatan seperti ini hanya akan efektif
jika pelaku tindak pidana ditemukan dan dihukum serta hasil dan instrumen
tindak pidananya disita dan dirampas oleh negara.

32

www.djpp.depkumham.go.id
Beberapa ketentuan pidana sudah mengatur mengenai kemungkinan untuk
menyita dan merampas hasil dan instrumen tindak pidana. Namun demikian,
berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, perampasan hanya dapat dilaksanakan
setelah pelaku tindak pidana terbukti di pengadilan secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana. Padahal terdapat berbagai kemungkinan yang dapat
menghalangi penyelesaian mekanisme penindakkan seperti itu misalnya tidak
ditemukannya atau meninggalnya atau adanya halangan lain yang mengakibatkan
pelaku tindak pidana tidak bisa menjalani pemeriksaan di pengadilan atau tidak
ditemukannya bukti yang cukup untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan dan
sebab yang lainnya.
Selain hal tersebut di atas, upaya untuk menekan kejahatan dengan
mengandalkan penggunaan ketentuan-ketentuan pidana juga menghadapi kendala
lain dimana terdapat beberapa tindak pidana atau pelanggaran hukum yang tidak
dapat dituntut dengan menggunakan ketentuan-ketentuan pidana. Sebagai contoh,
pada saat ini perbuatan melawan hukum materiel yang mengakibatkan kerugian
kepada negara tidak bisa dituntut dengan ketentuan tindak pidana korupsi.
Pada saat ini perkembangan hukum di dunia internasional menunjukkan,
bahwa penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana menjadi
bagian penting dari upaya menekan tingkat kejahatan. Selain mengungkap tindak
pidana dan menemukan pelakunya, penyitaan dan perampasan hasil dan
instrumen tindak pidana menjadi bagian utama dari penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan tindak pidana. Selain itu dalam rangka memperkuat ketentuan-
ketentuan pidana yang sudah ada, beberapa negara mengadopsi ketentuan-
ketentuan yang berasal dari ketentuan-ketentuan perdata untuk menuntut
pengembalian hasil tindak pidana. Penuntutan secara perdata tersebut dapat
dilakukan secara terpisah dari upaya penuntutan pidana terhadap pelaku tindak
pidana. Berdasarkan pengalaman yang ada, penerapan pendekatan seperti ini di
sejumlah negara terbukti efektif dalam hal meningkatkan nilai hasil tindak pidana
yang dapat dirampas.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, terlihat adanya kebutuhan
untuk merekonstruksi sistem hukum pidana dengan mengatur mengenai
penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana di dalam suatu
undang-undang. Pengaturan tersebut selain harus komprehensif juga harus
terintegrasi dengan pengaturan lain dan harus sejalan dengan pengaturan yang
berlaku umum di dunia internasional untuk memudahkan pemerintah dalam
meminta bantuan kerjasama dari pemerintahan negara lain berdasarkan hubungan
baik dengan berlandaskan prinsip resiprositas.

33

www.djpp.depkumham.go.id
Secara khusus tujuan dari Undang-Undang ini adalah untuk:
- mengatasi kendala-kendala yang timbul dalam upaya penarikan atau
pengembalian aset melalui mekanisme pidana (in personam), sehingga
walaupun tersangka/terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit
permanen, atau tidak diketahui keberadaannya, penyitaan dan perampasan
aset hasil tindak pidana tetap dapat dilakukan secara fair karena melalui
pemeriksaan sidang pengadilan.
- mendorong terwujudnya pengelolaan aset tindak pidana yang profesional,
transparan dan akuntabel dengan pembentukan lembaga pengelola aset.
- memudahkan Pemerintah Indonesia dalam meminta bantuan kerjasama
pengembalian aset (aset recovery) dari pemerintahan negara lain yang pada
umumnya mensyaratkan adanya putusan pengadilan baik pidana maupun
perdata.

Batasan jumlah aset yang kejar dengan pendekatan Undang-Undang ini,


jumlah nominalnya Rp 100.000.000,- ( Seratus Ratus Juta Rupiah ) dan aset di
bawah nilai tersebut tidak menggunakan pendekatan Undang-Undang ini,
melainkan menggunakan cara konvensional. Jika terjadi perubahan nilai
minimum maka penyesuaian nilai minimum tersebut diatur dengan peraturan
pemerintah

Kemudian undang-undang ini juga mendorong mengelola aset yang


professional, transparan, dan akuntabel dengan dibentuknya lembaga
pengelolaan aset yang bertanggungjawab kepada menteri yang membidangi
urusan keuangan dalam pemerintahan agar tidak disia-siakan atau ada yang
disalahgunakan sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan negara dan
untuk memudahkan pemerintah meminta bantuan kerja sama pengembalian aset
dari negara lain yang pada umumnya mensyaratkan adanya putusan pengadilan.

Undang-Undang ini berlaku surut terhadap aset yang terkait dengan tindak
pidana yang dilakukan sejak tahun 1998 tetapi bukan memberlakukan surut
pemidanaan tapi pemberlakuan surut mengenai hasil-hasil kejahatan.

34

www.djpp.depkumham.go.id
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Termasuk aset dalam ayat ini adalah aset-aset lainnya
yang telah dialihkan pada pihak ketiga.
Huruf b
Cukup Jelas.
Huruf c
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menggantikan Aset
Tindak Pidana yang hilang, telah habis digunakan, tidak
dapat ditemukan, telah dialihkan kepada pihak ketiga,
telah ditempatkan di luar yurisdiksi pengadilan,
ditiadakan nilainya, atau bercampur dengan properti
lain.
Pasal 3
Ketentuan ini dimaksudkan untuk merampas barang-barang hasil
kejahatan yang tidak diketahui pelakunya, misalnya kayu-kayu
gelondongan di hutan atau barang-barang selundupan di pelabuhan
tidak resmi.
Pasal 4
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini PPATK dapat membantu penyidik atau
penuntut umum untuk melakukan penelusuran dalam rangka
mengoptimalkan upaya pengembalian aset,
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)

35

www.djpp.depkumham.go.id
Jika tidak memberikan yang asli maka dokumen tersebut
harus dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “lembaga yang berwenang” antara
lain Penyedia Jasa Keuangan baik bank maupun non bank,
Badan Pertanahan Nasional, atau Perum Pegadaian.
Dalam ketentuan ini, pemblokiran terhadap Aset Tindak
Pidana yang disimpan dalam rekening perbankan, sebesar
perkiraan nilai Aset yang diduga diperoleh atau terkait dengan
tindak pidana
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “segera” adalah tanpa ditunda atau
tindakannya diprioritaskan.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.

36

www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Terhadap hasil pengelolaan atau pemanfaatan aset oleh pihak
ketiga tersebut diserahkan kepada LPA untuk diadakan
perhitungan dan pembagian dalam rangka pemeliharaan aset.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.

37

www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
mengenai penentuan hakim majelis atau tunggal didasarkan
pada kompleksitas perkara.
Ayat (2)
- pengumuman dimuat dalam media cetak dan papan
pengumuman Pengadilan Negeri setempat.
- pengumuman ini dimaksudkan untuk memberikan
kesempatan kepada pihak ketiga mengajukan keberatan
terhadap permohonan Perampasan Aset yang diajukan pada
penuntut umum.
- Pembiayaan pengumuman dibebankan pada anggaran LPA

Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 31

38

www.djpp.depkumham.go.id
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Dalam musyawarah ini, setiap hakim (Ketua dan Anggota
Majelis) wajib menyampaikan pendapatnya

39

www.djpp.depkumham.go.id
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
ketentuan yang dimaksud dalam Pasal ini dimaksudkan untuk
menjembatani adanya alat bukti dari negara lain, misalnya
negara yang lebih mementingkan phsycal evidences bukan
testimoni seperti yang dianut di Indonesia
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 55

40

www.djpp.depkumham.go.id
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Yang dimaksud “pengamanan hukum” dalam ketentuan ini
adalah....
Ayat (2)
Yang dimaksud “aparat keamanan” dalam ketentuan ini
adalah .......

41

www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 67
Ang dimaksud “penilaai” dalam ketentuan ini adalah ....
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mencairkan
aset menjadi sejumlah nilai uang yang akan disetorkan ke kas
negara.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 69
Penggunaan, pemanfaatan, maupun penjualan dilakukan
sebagaimana barang milik negara.

Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat ini
antara lain kondisi atau keadaan benda dan rencana
penggunaan atau peruntukan.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.

42

www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
kepentingan penegakan hukum dalam ketentuan ini meliputi:
a. penggantian biaya penegak hukum dari negara lain dalam
rangka penelusuran dan perampasan aset tindak pidana
b. memberikan biaya tambahan penegakan hukum kepada
instansi yang telah berjasa dalam perampasan aset

Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 75
Ayat (1)
- Dalam hal si pelaku dinyatakan tidak terbukti
melakukan tindak pidana berdasarkan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan
Perampasan Aset telah dilakukan sebelum
dikeluarkannya putusan pengadilan tersebut, apabila
Aset tersebut dapat dibuktikan bukan merupakan hasil
dari kejahatan maka Aset tersebut harus dikembalikan
kepada yang berhak.
- Pengembalian Aset kepada kuasanya dilakukan antara
lain apabila tersangka telah meninggal dunia.
Ayat (2)
Pembuktian tentang aset yang dirampas bukan merupakan
hasil dari kejahatan disidangkan menurut hukum acara Undag-
Undang ini
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

43

www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


NOMOR.....

44

www.djpp.depkumham.go.id

Anda mungkin juga menyukai