Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS KEMISKINAN MASYARAKAT MELALUI

PENDEKATAN PARTICIPATORY POVERTY AND ASSESSMENT


PADA WILAYAH PEMUKIMAN MIGRAN PASCA KERUSUHAN
AMBON DI KOTA BAUBAU¹⁾
Wali Aya Rumbia
Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Halu Oleo Kendari
(E-mail:Waliayaunhalu18@gmail.com)

ABSTRACT

The purpose of the study was to describe the poverty at the area of
pasca migrant of Ambon riots in Wolio, Bau-Bau City through Participatory
Poverty and Assesment approach.
Qualitative descriptive is employed in the analysis of the study by
using software of PPA (Participatory Poverty and Assesment) that is a
community that conduct an effort to portrayed the poverty, formulate the
program of overcoming the poverty and monitoring that conducted through
participative or generally known as participatory poverty assessment (PPA).
both of are the tools that could portrayed the poverty as one of
multidimensions and to find out the minimum wage.
Results of the study shown that the portrayed of the poverty at the area
of pasca migrant of Ambon riots in Kadolokatapi district of Bau-Bau City
with the number of respondent’s 113 families. The percentage of the group of
the poverty is 81% or 112 respondents, while the percentage of small poverty
is 3% or 4 respondents and the percentage of prosperous family is 16% or 22
respondents. From 8 dimensions that portrayed the poverty, the dimension of
natural resource and social dominating the poverty, in other words, natural
resource and society in the area of pasca migrant of Ambon riots is not the
major cause of the poverty.

Keywords: Poverty, Migrant, PPA.

1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Migrasi dan Kemiskinan memiliki kaitan yang erat, karena migrasi
terkadang menjadi salah satu alternatif untuk bisa keluar dari kemiskinan.
Agar program penanggulangan kemiskinan menjadi efektif, maka suara si
miskin harus dijadikan data utama dalam memutuskan program atau
kebijakan. Selain itu, perlu membentuk tim verifikasi yang melibatkan
masyarakat lokal. Mereka bertugas melihat perkembangan jumlah orang
dan keluarga miskin di pemukiman tertentu. Pantauan data dilakukan
selama setahun; perlunya spesialisasi pembagian program. Kategori
miskin selama ini tidaklah homogen (sejenis), tapi heterogen (majemuk).
Salah satu prasyarat keberhasilan pengentasan kemiskinan adalah
dengan cara mengidentifikasi kelompok sasaran dan wilayah sasaran
dengan tepat. Program pengentasan dan pemulihan nasib orang miskin
tergantung dari langkah awal yaitu ketetapan mengidentifikasi siapa yang
dikatakan miskin dan di mana dia berada. Aspek di mana “si miskin” dapat
ditelusuri melalui si miskin itu sendiri serta melalui pendekatan-
pendekatan profil wilayah atau karakter geografis.
Migrasi penduduk dari Kota Ambon tahun 1999 ke wilayah Kota
Baubau saat itu didasari oleh instabilisasi kondisi Kota Ambon yang
dipicu oleh konflik horizontal masyarakat dalam hal ini penyebab
masyarakat migrant bermigrasi ke wilayah Kota Baubau diakibatkan daya
dorong migrasi yang begitu besar dari Kota Ambon, dengan kata lain
migran asal Kota Ambon di wilayah Kota Baubau merupakan migran tak
suka rela.
Konsep Participatory Poverty and Assessment merupakan
modifikasi dari Nested Spheres of Poverty (NESP) dan Suara Si Miskin
yakni lembaga atau komunitas yang mengkaji kemiskinan secara bersama
untuk formulasi kebijakan pembangunan yang merupakan pengalaman
dalam memformulasikan strategi penanggulangan kemiskinan daerah
secara partisipatif. Pendekatan ini memandang kemiskinan sebagai suatu
kondisi yang multidimensi dari sudut pandang komunitas miskin dalam
konteks assessment, monitoring dan perumusan program penanggulangan
kemiskinan.
1.2. Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi masalah
dalam penelitian ini bagaimana gambaran kemiskinan pada wilayah
pemukiman masyarakat migran pasca kerusuhan Ambon di Kecamatan

1
Wolio Kota Baubau melalui pendekatan Participatory Poverty dan
Assessment.
2. Kajian Teori dan Empirik
2.1. Kajian Teori
A. Konsep Kemiskinan
Menurut Friedman dalam (Usman, 2006), kemiskinan
didefenisikan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk
mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial
meliputi (tidak terbatas pada) modal yang produktif atau assets (misalnya
tanah, perumahan, peralatan, kesehatan, dan lainnya) sumber-sumber
keuangan, organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk
mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial untuk memperoleh
pekerjaan, barang-barang; pengetahuan, keterampilan yang memadai dan
informasi yang berguna.
Syaifuddin (2007:32), membagi cara berpikir yang memandang
kemiskinan sebagai gejala absolut; dan, sebagai gejala relatif. Cara berfikir
(model) mengenai kemiskinan sebagai gejala absolut memandang
kemiskinan sebagai kondisi serba berkekurangan materi, hanya memiliki
sedikit atau bahkan tidak memiliki sarana untuk mendukung kehidupan
sendiri. Cara pandang relativistik ini terdiri atas dua cara pandang, yakni
cara pandang (model) kebudayaan, dan cara pandang (model) struktural.
B. Konsep Migrasi
Perpindahan penduduk yang berlangsung dalam kelompok
masyarakat terdiri dari dua macam yakni perpindahan vertikal, yaitu
pindahnya status manusia dari kelas rendah ke kelas menengah, dari
pangkat yang rendah ke pangkat yang lebih tinggi, atau sebaliknya
perpindahan horizontal, yaitu perpindahan secara ruang atau secara
geografis dari suatu tempat ke tempat yang lain. Peristiwa inilah yang
sering disebut dengan migrasi, meskipun tidak setiap gerak horizontal
disebut migrasi.

2
Fenomena migrasi merupakan salah satu dari mobilitas penduduk
yang tidak dapat dilepaskan dari proses perubahan menyeluruh dari
kehidupan ekonomi global. Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan
tujuan untuk menetap dari satu tempat ketempat lain melampaui batas
politik atau batas negara lain. Pada tataran yang lebih makro aktivitas ini
sesungguhnya berada dalam satu frame dengan peta perubahan hubungan
global, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya maupun politik. Oleh
karena itu, paling kurang terjadi dua hal yang penting untuk menjelaskan
mengapa aktivitas ini makin berkembang dalam skala yang sulit untuk
diprediksi. Pertama, secara teoritis aktivitas ini sering kali dikaitkan
dengan suatu bentuk perubahan dalam struktur sosial, yaitu suatu aktivitas
yang mencoba menghubungkan antara aktivitas migrasi atau distribusi
sumber daya sosial (social resources). Kedua, bahwa aktivitas ini juga
sering dikaitkan dengan suatu proses relasional dalam suatu proses
pembangunan dengan elemen-elemen sosial dan kelompok-kelompok
sosial yang ada dalam suatu komunitas.
2.2. Kajian Empirik
Kajian yang pernah dilakukan oleh Fajar Saranani dan Ahmad pada
tahun 2013 tentang tingkat kesejahteraan masyarakat migran kembali
pasca kerusuhan Ambon di Kota Baubau terlihat bahwa ditinjau dari
pendapatan yang diperoleh masih tergolong rendah bila dihubungkan
dengan beban tanggungan yang dimiliki oleh kepala keluarga, selain itu
kurang tersedianya lapangan pekerjaan sehingga sebagian besar responden
masyarakat migran hanya bisa menghidupi kelurganya dengan bekerja
pada sektor informal sebagai pengojek, penjahit, supir dan pekerjaan
serabutan lainnya. Sumber matapencaharian yang berasal dari sektor
informal sangat rentan dengan kemiskinan karena masyarakat tidak
memiliki pendapatan riil yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-harinya.
Selain itu, kajian yang pernah dilakukan oleh Susan Cassels, Sara
R. Curran, dan Randall Kramer tahun 2005 tentang Migrasi, Sumber Daya

3
Alam dan Kemiskinan di Sulawesi Utara menunjukan bahwa tidak
ditemukannya banyak perbedaan antara masyarakat migran dan
masyarakat lokal (non-migran) terkait dengan tingkat kesejahteraannya.
Ketersediaan sumberdaya alam khususnya di wilayah persisir Sulawesi
Utara mempu meningkatkan kesejahteraan masyarakat migran maupun
masyarakat lokal (non migran), walaupun keduannya memberikan dampak
yang negatif pada ekologi lingkungan pesisir di sekitar wilayahnya.
3. Data dan Metode
3.1. Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data primer dan
data sekunder untuk menggambarkan secara deskriptif terkait gambaran
kemiskinan masyarakat pada wilayah pemukiman migran pasca kerusuhan
Ambon di Kelurahan Kadolokatapi, Kecamatan Wolio Kota Baubau.
3.2. Metode
Metode pengambilan data dalam penelitian ini dibagi dalam tiga
tahapan yaitu observasi wilayah lokal, Focussed Group Discussion (FGD)
dan terakhir ialah metode wawancara dengan menggunakan kuesioner
yang diperoleh dari hasil Focussed Group Discussion (FGD) terhadap 138
rumah tangga migran yang bermukim di wilayah pemukiman masyarakat
migran pasca kerusuhan Ambon di Kelurahan Kadolokatapi, Kecamatan
Wolio Kota Baubau, dengan pertimbangan bahwa responden dalam
penelitian ini ialah masyarakat yang memang melakukan migrasi dari Kota
Ambon ke Kota Baubau pada tahun 1999 yang lalu.
4. Hasil dan Analisis

4.1. Gambaran Umum Wilayah


Berawal dari Januari 1999 dimana terjadi mobilisasi masyarakat
migran asal Kota Ambon dengan tujuan Kota Baubau sebagai dampak
konflik horizontal di Kota Ambon saat itu, Kota Baubau yang saat itu
masih menjadi ibukota Kabupaten Buton dibanjiri dengan masyarakat
migrant dari Kota Ambon. Pemerintah Kabupaten Buton saat itu
berpartisipasi dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM)

4
menyediakan tiga tempat penampungan sementara eksodus asal Kota
Ambon. Sejak ditetapkannya kerusuhan Ambon sebagai bencana nasional,
maka beberapa lembaga bantuan baik dari pemerintah daerah, pemerintah
pusat bekerja sama dengan lembaga kemanusian luar negeri, maka pada
saat itulah didirikan pemukiman masyarakat eksodus kerusuhan Ambon
yang salah satunya terdapat di wilayah Kecamatan Wolio, dengan jumlah
kepala keluarga yang terdapat di wilayah pemukiman tersebut berjumlah
212 kepala keluarga.
Wilayah pemukiman dengan luas 2.000 m² dilengkapi dengan
fasilitas perumahan dan beberapa sarana kesehatan untuk menunjang
kehidupan masyarakat migran dengan status kepemilikan tanah dan
bangunan milik pemerintah daerah Kabupaten Buton selama waktu 5
tahun. Dengan berjalannya waktu, jumlah rumah tangga migran pada
wilayah pemukiman migrant pasca kerusuhan Ambon mengalami
penambahan jumlah rumah tangga baru selama 15 tahun terakhir,
walaupun pada prinsipnya rumah tangga migrant yang berdomisili sejak
tahun 1999 mengalami penurunan jumlah dari 212 kepala keluarga
menjadi 138 kepala keluarga. Hal ini dipengaruhi oleh faktor kematian
(mortalitas) dan faktor migrasi (migran kembali ke Kota Ambon).
4.2. Hasil Penelitian
Dari berbagai perangkat assesment kemiskinan, hampir tidak ada
yang menyelesaikan tahapannya pada pengidentifikasian penyebab
kemiskinan dan perumusan rencana aksi. PPA (Participatory Poverty
Assesment) hanya berhenti pada penemuan si miskin. NESP (Nested
Sphere of Poverty) memang telah secara indikatif memberikan informasi
penyebab kemiskinan di dalam lingkup dimensi (sphere).
Konsep PPA berupaya mengukur kesejahteraan dengan melihat 9
(sembilan) dimensi (sphere), meliputi Wealth (kekayaan), Health
(kesehatan), Knowledge (pengetahuan), Natural sphere (alam), Economic
sphere (ekonomi), Social sphere (sosial), Political sphere (politik),
Infrastructure (infrastruktur), dan Services (pelayanan). Seperti terlihat

5
dalam gambar 2, terdapat 4 (empat) lingkaran di dalam konsep PPA, yaitu:
(1) SWB (self well-being) adalah perasaan bahagia atau sejahtera yang
dirasakan oleh individu/keluarga/komunitas; (2) core (inti), terdiri dari
wealth (kekayaan), health (kesehatan), knowledge (pengetahuan); (3) inner
contex (konteks dalam), terdiri dari natural sphere (alam), economic
sphere (ekonomi), social sphere (sosial), political sphere (politik); dan (4)
Outer contex (konteks luar), terdiri dari infrastructure (infrastruktur) dan
services (pelayanan).
Berdasarkan hasil perhitungan batas nilai kemiskinan maka nilai
batas kemiskinan yang diperoleh ialah sebesar 42,42 dengan batas nilai
kelas menengah ialah 57,58 sehingga klassifikasi nilai yang diperoleh
untuk menentukan kelas kemiskinan, kelas menengah dan sejahterah ialah
Kelas Miskin dengan rasio 0 – 42,42, Kelas Menengah dengan rasio
42,43 – 57,58 dan Kelas Sejahterah dengan rasio 57,59 – 100. Gambaran
kemiskinan masyarakat pada wilayah pemukiman migran pasca kerusuhan
Ambon di Kelurahan Kadolokatapi Kota Baubau terlihat pada diagram
profil kesejahteraan masyarakat di bawah ini.
Gambar 1. Profil Kesejahteraan Masyarakat Pada Wilayah Pemukiman
Migran Pasca Kerusuhan Ambon di Kelurahan Kadolokatapi
Kota Baubau

Gambar 1. di atas memperlihat profil kesejahteraan masyarakat


pada wilayah pemukiman migran pasca kerusuhan Ambon di Kelurahan

6
Kadolokatapi Kecamatan Wolio Kota Baubau dengan jumlah responden
sebanyak 138 KK. Diagram dengan warna merah menunjukan persentase
masyarakat Miskin yakni sebanyak 81 persen atau 112 responden,
sedangkan diagram dengan warna kuning menunjukan persentase
masyarakat Menengah yakni sebanyak 3 persen atau 4 responden dan
diagram yang berwarna hijau menunjukan persentase masyarakat
sejahterah 16 persen atau 22 responden.

Gambar 2. Diagram Dimensi Kemiskinan Masyarakat Pada Wilayah


Pemukiman Migran Pasca Kerusuhan Ambon di Kelurahan Kadolokatapi
Kota Baubau

Berdasarkan gambar diagram dimensi kemiskinan masyarakat


terlihat bahwa dari 9 dimensi yang mewakili kehidupan masyarakat
migran termasuk self well-being (perasaan bahagia/sejahterah) yang
dirasakan oleh masyarakat, hanya dimensi sosial dan sumberdaya alam
yang bukan menjadi faktor penyebab kemiskinan masyakat migran, yang
ditandai dengan warna hijau pada batang kolom diagram. Sementara

7
dimensi kepemilikan materi, pengetahuan, ekonomi, politik dan layanan
menjadi faktor penyebab masyarakat migran terjebak didalam lingkaran
kemiskinan yang ditandai dengan warna merah pada batang kolom
diagram. Khusus untuk dimensi kesehatan, dengan warna batang kolom
diagram yang berwarna kuning, menunjukan bahwa masyarakat migran
dari segi kesehatan tergolong masyarakat golongan menengah.
Dalam penelitian ini, hubungan antara migrasi dan ketersediaan
sumberdaya alam menjadi sangat penting dalam memotret kemiskinan di
wilayah pemukiman masyarakat migran. Kebijakan transmigrasi yang
pernah dilakukan di era orde baru dengan tujuan pemerataan penduduk
sangatlah jauh berbeda dengan kondisi migran pasca kerusuhan Ambon di
Kota Baubau, betapa tidak masyarakat yang melakukan migrasi secara
terpaksa dari daerah asal ke daerah tujuan dalam jangka pendek
bergantung pada bantuan pemerintah yang kemudian membuat masyarakat
menjadi jauh dari kata mandiri, apalagi untuk mengelolah potensi-potensi
yang tersedia di wilayah tujuan migrasi.
6. Simpulan

Berdasarkan pemaparan pada bagian hasil dan pembahasan, maka


kesimpulan dalam penelitian ini yaitu gambaran kemiskinan masyarakat
pada wilayah pemukiman migran pasca kerusuhan Ambon di Kelurahan
Kadolokatapi Kecamatan Wolio Kota Baubau dengan jumlah responden
sebanyak 138 KK. Persentase kelompok masyarakat miskin yakni
sebanyak 81 persen atau 112 responden, sedangkan persentase kelompok
masyarakat menengah yakni sebanyak 3 persen atau 4 responden dan
persentase kelompok masyarakat sejahterah 16 persen atau 22 responden.
Dari 8 dimensi yang menggambarkan kemiskinan masyarakat, hanya
dimensi sumberdaya alam dan dimensi sosial yang berada di atas garis
kemiskinan, dengan kata lain hal ini menunjukan kondisi sumberdaya
alam yang tersedia di wilayah pemukiman migran dan kondisi interaksi
sosial masyarakat di pemukiman migran pasca kerusuhan Ambon bukan
menjadi penyebab kemiskinan masyarakat tersebut.

8
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad S, C, 2005. Ekonomi Rakyat dan Fenomena Alam Pikiran Raktyat.


[Online].Tersedia:http://www.pikiranrakyat.com
/cetak/2005/0105/07/0801. htm. [15 Maret 2015].

Badan Pusat Statistik, 2011. Indonesia Dalam Angka Tahun 2011.

Badan Pusat Statistik, 2011. Kota Bau-Bau Dalam Angka Tahun 2011.

Badan Pusat Statistik, 2008. Analisis dan Perhitungan Tingkat Kemiskinan Tahun
2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik, 2005. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun
2004: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta

Bank Dunia, 1990. Indonesia: Poverty Assessment and Strategy Report. Report,
No.8034-IND, Country Department III East Asia and Pacific
Region. Washington.

BAPPENAS, 2002. Direktori Kegiatan Pengentasan Kemiskinan Periode 1996-


2001, hal 3-8. Jakarta.

BAPPENAS, 2004. Sistem Data dan Penentuan Sasaran (Targeting) Dalam


Penanggulangan Kemiskinan, diunduh tanggal 22 Juli 2014.

BAPPENAS, 2005. Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, Sekretariat


Kelompok Kerja Perencanaan Makro Penanggulangan Kemiskinan,
Komite Penanggulangan Kemiskinan, Januari 2005.

BAPPENAS, 2007. Laporan Perkembangan Pencapaian Millennium


Development Goals Indonesia, Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, November 2007.

BAPPENAS, 2007. Pemantauan dan Evaluasi Program-Program


Penanggulangan Kemiskinan, Deputi Kemiskinan, Ketenagakerjaan
dan UKM BAPPENAS.

BKKBN, 1996. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.

Bintarto, 1989. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, Jakarta: Ghalia.


Indonesia.

9
Cox, D, 2004. Outline of presentation on poverty alleviation programs in the asia
pacific region. Makalah disampaikan pada International Seminar on
Curriculum Develompent for Social Work Education in Indonesia.
Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial. 2 Maret 2004. Bandung.

Cahyat, A, 2004. Bagaimana kemiskinan diukur? Beberapa model penghitungan


kemiskinan di Indonesia. Poverty & Decentralization Project CIFOR
(Center for International Forestry Research)-BMZ
(Bundesministerium für Wirtschaftliche Zusammenarbeit und
Entwicklung). November 2004:2.

David Feldman, 2002. Migrants, Immigrants And Welfare From The Old Poor
Law To The Welfare State. Jurnal Internasional: Manchaster
University.

Gamal, Merza, 2006. Visi dan Misi untuk Kesejahteraan Indonesia,


http://www.mailarchive.com/ekonomi.com. htm. [21 Mei 2014].

Gema Alam, 2010. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Sapit, Lombok


Timur.

Gita Buana, 2010. Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Lambang Sigatal


Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun Jambi

Gorz, Andre, 2003. Ekologi dan Krisis kapitalisme, Penerbit: Insist Press,
Yogyakarta.

Hall, Anthony dan James Midgley, 2004. Social Policy for Development,
London : Sage Publication, Ltd.

Hatta, Mohammad, dkk, 2001. Ekonomi Kerakyatan, Melanie Sritua Arief (ed.),
cetakan kedua, Muhammadiyah University Press: Surakarta.

Jhingan, M. L, 2007. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: Raja


Grafindo Persada.
Kuncoro, Mudrajad, 2004. Ekonomi Pembangunan II. Jakarta: Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka.

Mardi, 2006. Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia, Ghalia


Indonesia, Jakarta.

Marzuki, 2008. Penerapan Sistem Ekonomi Kerakyatan dalam Kerangka


Paradigma pembangunan Kemandirian Lokal.

10
Narwoko, Dwi J dan Bagong Suryanto. 2006. Sosiologi Teks Pengantar dan
Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Nasikun, 1993. Sistem Sosial Indonesia, PT. Rajawali Press, Jakarta.

Nugroho dan Dauri, 2004. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan


Evaluasi. Jakarta:PT. Elex Media Komputindo.

Owen Corrigan, 2009. Migrants, Welfare Systems And Social Citizenship In


Ireland and Britain Users Or Abusers. Jurnal internasional:
Cambridge University.

Rachbini, Didik J, 2001. Ekonomi di Era Transisi Demokrasi, Penerbit Ghalia


Indonesia, Jakarta.

Ravallion, M and Jyotsna, 1998. Are There Dynamics Gains from a Poor-area
Development Program. Journal of Public Economics, 26(2), 338-57.

Sahdan, Gregorius, 2005. Menanggulangi Kemiskinan Desa. Jurnal Ekonomi


Rakyat. Ekonomi Rakyat dan Kemiskinan, Edisi Maret 2005.

Saifuddin, Azwar, 2007. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta :


Pustaka Pelajar Offset.

Schumacher, E.F, 1981. Kecil Itu Indah: Ilmu Ekonomi yang Mementingkan
Rakyat Kecil, Cetakan Ketiga, Penerbit: LP3ES, Jakarta.

Stiglitz, Joseph E, 2006. Dekade Keserakahan, Terjemahan Aan Suhaeni, Penerbit


Marjin Kiri, Serpong.

Sitohang, M.BA, 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta : PT. Pradnya
Paramita.

Sriwiyanto, 2005. Makalah Ekonomi Kerakyatan. Makalah. www.google.com.

Standing, Guy. 1987. Konsep-Konsep Mobilitas di Negara Sedang Berkembang,


Pusat Penelitian Kependudukan UGM. Yogyakarta.
Susan Cassels, Sara R. Curran, and Randall Kramer, 2005. Do Migrants Degrade
Coastal Environments? Migration, Natural Resource Extraction And
Poverty In North Sulawesi, Indonesia., Jurnal Internasional:
Princeton University.
Sumitro Djojohadikusumo, 1994. Ekonomi Pembangunan, Jakarta; LP3ES.

Sumarnonugroho, T, 2008. Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial, PT. Hanindita,


Yogyakarta.

11
Suharto, Edi, 2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian
Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial.
Bandung: Refika Aditama.

Supadi dan Achmad Rozany, 2008. Kesenjangan Pengeluaran Pembangunan


Antar Wilayah dan Propinsi di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan
Keuangan Indonesia. Volume XLVII, Nomor 4.

Suyanto, Bagong, 1995. Perangkap Kemiskinan: Problem dan Strategi


Pengentasannya, Cetakan Pertama Airlangga, University Press,
Surabaya.

Suryawati, C, 2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional. JMPK


Vol. 08/No.03/September/2005.

Syaefudin, dkk, 2003. Menuju Masyarakat Mandiri. PT. Gramedia Pustaka


Utama. Jakarta.

Usman, Hardius, 2006. Proses Penelitian Kuantitatif. Fakulatas Ekonomi . UI:


Robbinson.

Taslim, Arifin, 2004. Nelayan dan Kemiskinan, Refleksi: Makassar.

Tim Studi Kajian Kemiskinan Parsitipatoris, 2004. Memahami Suara Orang


Miskin. Smeru Newsletter, No.11: Juli-September 2004.

Todaro, 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Keenam, Jakarta:


Gramedia.

World Bank, 2006. Making the New Indonesia Work for the Poor.

World Bank, 2008. Conditional Cash Transfers in Indonesia: Program


Keluarga Harapan and PNPM-Generasi Baseline Survey Report,
June 2008.

Widianto, Bambang, 2010. Pelaksanaan Dan Usulan Penyempurnaan


Program Pro-Rakyat, 7/7/2010.

Wismuadji, 2008. Teori Ekonomi Produksi. Jakarta : Rajawali Press.

Yayasan Shorea, 2010. Kesejahteraan Masyarakat di Dusun Karangasem,


Paliyan, Kab Gunungkidul.

Yulianto, T, 2005. Fenomena Program-Program Pengentasan Kemiskinan Di


Kabupaten Klaten (Studi Kasus Desa Jotangan Kecamatan Bayat).
Tesis Program Pascasarjana Undip: Semarang.

12

Anda mungkin juga menyukai