Anda di halaman 1dari 89

PENGANTAR REDAKSI

Strategi pemberdayaan tampaknya menjadi pilihan bagi berbagai pihak terutama pemerintah dalam upaya memberi motivasi dan dorongan guna membangkitkan kesadaran masyarakat terutama kelompok rentan akan potensi yang dimilikinya. Salah satunya adalah program pengembangan distrik (PPD) yang dilaksanakan di provinsi Papua menjadi kajian menarik karena seharusnya dapat mengangkat masyarakat tidak mampu dari keterpurukannya tetapi ternyata program ini hanya dimanfaatkan oleh kalangan tertentu. Muchtar menyajikan bagaimana implementasi program ini di tingkat masyarakat. Sebaliknya pemberdayaan sebagai perwujudan dari Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukan oleh PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Co Tbk, mampu membantu komunitas rentan yang ada di lingkungannya. Lebih jauh Dewi Wahyuni melakukan studi pada lingkungan masyarakat yang menjadi sasaran program ini. Masih bicara tentang masyarakat miskin, Toton Witono lebih menyoroti pada kehidupan mereka di era otonomi daerah terutama mereka yang tinggal di Lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah. Menurut penulis, tampaknya otonomi daerah tidak banyak menghasilkan kebijakan yang dapat mengentaskan kemiskinan di daerah tersebut. Sungguh ironis memang. Habibullah di dalam artikelnya, melihat bahwa kegagalan program penanganan masalah kemiskinan umumnya lebih disebabkan karena terbatasnya pemahaman tentang pola kehidupan masyarakat tersebut. Bahasan lain dalam edisi Jurnal kali ini tentang Anak Jalanan, tampaknya masih menjadi pembicaraan pada kalangan Pemerintah dan LSM. Hari Harjanto Setiawan melakukan penelitian tentang Anak Jalanan yang tinggal di Kampung Pedongkelan yang mendapat program bantuan income generating. Menurutnya, model community based yang diterapkan dalam program ini dianggap cukup efektif dikembangkan. Lain halnya dengan dua artikel yang dibahas oleh Dorita Setiawan yang menyoroti tentang kehidupan perempuan dengan aktivitasnya, serta Surya Wijaya dengan bahasannya tentang kepemimpinan dan motivasi kerja di kalangan PNS di lingkungan Departemen Sosial. Kepedulian Dorita terhadap KDRT yang akhir-akhir ini terjadi, memunculkan pemikiran tentang pentingnya metode pekerjaan sosial melalui pendekatan pengorganisasian masyarakat yang dianggap dapat lebih memahami bagaimana individu, kelompok dan kebersamaan saling terkait. Hal ini dilakukan karena penulis melihat ada pandangan umum yang menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah masalah kolektif, sehingga pemecahannya harus dilakukan bersama. Sementara dalam kehidupan komunitas pegawai yang disorot oleh Surya Wijaya, memunculkan pemikiran bahwa ternyata motivasi kerja sangat dipengaruhi oleh nilai (value), keyakinan dan sistem merit yang dianut dalam suatu organisasi. Temuan yang sangat menarik adalah ternyata motivasi kerja pada kalangan PNS yang diteliti belum cukup kuat mempengaruhi prestasi kerja mereka.

REDAKSI

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PENGEMBANGAN DISTRIK


Kajian Kebijakan dan Implementasinya di Provinsi Papua
Muchtar

ABSTRAK
Kajian Implementasi Program Pengembangan Distrik (PPD) di Provinsi Papua bertujuan memahami penanganan kemiskinan melalui strategi pemberdayaan. Pendekatan kajian ini adalah kualitatif yang menekankan esensi dan substansi (pemahaman, pandangan, dan tanggapan) informan yang menghasilkan data deskriptif, yakni gambaran implementasi program di lapangan. Data tersebut diperoleh melalui studi dokumen dan wawancara. Informan ditentukan secara purposive, yakni informan mengetahui secara baik pemasalahan yang sedang dikaji. Untuk itu, informan dalam penelitian ini adalah aparat Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Provinsi Papua sebagai pengelola PPD. Hasil kajian menunjukkan, meskipun pelaku PPD di Propinsi Papua khususnya pada awal implementasi program mampu melakukan pembangunan sejumlah prasarana dasar desa melalui dana program ditambah swadaya masyarakat setempat dan menyalurkan dana program kepada kelompok masyarakat untuk usaha ekonomi produktif, tetapi jika dicermati, belum terjadi proses pemberdayaan khususnya bagi kelompok miskin, karena tidak ada transfer daya kepada kelompok miskin. Program lebih dimanfaatkan oleh kalangan tertentu saja, dan proses belajar sosial relatif kurang berlangsung, sebab program lebih bernuansa ekonomi saja. Untuk itu, saran ditekankan pada kualitas pelaku program di berbagai tingkatan (khususnya tingkat kampung), yaitu: (a) mereka perlu memahami program secara baik pentingnya pembekalan; (b) perlunya pelaksanaan sosialisasi program kepada masyarakat secara benar, yang tidak semata penyebaran informasi, tetapi juga perlu diarahkan pada penyadaran tentang permasalahan yang sedang dihadapinya, dan tumbuhnya semangat untuk memecahkan masalah secara mandiri; (c) perlunya pendampingan (fasilitator lokal) secara berkelanjutan terhadap para pelaku program di tingkat kampung, dalam kurun waktu tertentu, hingga mereka dinilai mampu melakukan penanganan masalah kemiskinan warganya secara mandiri. Untuk itu, diperlukan petugas pendamping yang memiliki kompetensi yang memadai, profesional, visionis, taktis, tekun, dan mempunyai semangat tinggi.

Kata kunci : Pemberdayan masyarakat,PPD.

I.
A.

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Daerah perdesaan (baca: kampung) tidak hanya ditandai oleh keadaan yang serba terbelakang, tapi ia juga menanggung beban mempekerjakan mayoritas angkatan kerja yang berpendidikan sekolah dasar atau kurang, menampung penganggur semu, serta menghidupi lapisan penduduk di bawah garis kemiskinan (Baswir, 1999: 72). Fenomena keterbelakangan masyarakat perdesaan di republik ini, telah lama mengemuka, yang terlihat dalam data dimana tahun 1980-an, terdapat 40,6 juta (27%)

penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Dari jumlah itu, 70% berada di perdesaan (Data BPS 1981 dalam Sumodiningrat 1989: 120). Hal serupa dikemukakan oleh Sarbini (1989: 221), lebih dari 80% rakyat Indonesia hidup di perdesaan. Diantara mereka itu hanya 10-15% yang dapat disebut sebagai orang berada. Sisanya 85% rakyat desa hidup serba kekurangan, bahkan lebih kurang 40% tergolong sangat miskin. Tahun 1999, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 48,4 juta jiwa (23,4%) sebagai dampak langsung krisis moneter (ekonomi), padahal pada tahun 1996 penduduk miskin hanya berjumlah 22,5 juta jiwa (11,9%). Tahun 2002, jumlah penduduk miskin

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 1-10

mengalami sedikit penurunan menjadi 35,7 juta jiwa (17,6%). Dari jumlah itu, sebagian besar tinggal di perdesaan, yang mencapai 22,6 juta jiwa (11,2%), dan selebihnya, 12,9 juta jiwa (6,4%) di perkotaan (BPS-Depsos R.I., 2003: 15-17). Tahun 2006, data Susenas menunjukkan, angka kemiskinan kembali melonjak, dari 35,10 juta (15,97%) tahun 2005 menjadi 39,05 juta jiwa (17,75%) tahun 2006, dengan garis kemiskinan Rp. 152.847 per kapita per bulan (setara konsumsi 2.100 kilogram kalori/kkal), bahkan Bank Dunia (November 2006) mencatat dengan kriteria yang mereka acu, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 149 juta jiwa (49%) dari total penduduk Indonesia. Sebagian besar mereka itu (63,41%) ada di perdesaan (Kompas, 16 Maret 2007). Atas realitas itu, program pemberdayaan penduduk perdesaan/kampung (yang pada umumnya miskin), sudah mendesak untuk dilakukan oleh berbagai pihak, khususnya dari penyelenggara negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah, sejalan dengan perubahan paradigma pembangunan dari sentralisasi ke desentralisasi (akhir 1990-an). Perubahan itu tidak hanya terbatas pada bidang politik, tetapi juga pada bidang lainnya khususnya pemenuhan kebutuhan pangan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat lainnya. Perbaikan berbagai bidang tersebut, sebagian besar harus dipenuhi di tingkat daerah sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang telah menjadi komitmen nasional dan telah harus diberlakukan. Searah dengan pemikiran itu, Pemerintah Propinsi Papua sejak tahun 1998 melaksanakan PPD dengan dukungan dana APBN dalam upaya pemberdayaan masyarakat miskin di wilayah Propinsi Papua, akan tetapi efektifitasnya belum seperti diharapkan. Atas permasalahan tersebut, pertanyaannya adalah: (1) bagaimana gambaran kemiskinan di Wilayah Propinsi Papua? (2) Bagamaimana gambaran PPD? (3) Bagaimana capaian program? dan (4) Apa kendala dalam implementasi program? Atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, kajian ini bertujuan memahami dan mendeskripsi: (1) kemiskinan di Wilayah Propinsi Papua, (2) implementasi program, (3) capaian program, dan (4) kendala dalam implementasi

program. Hasil kajian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak terkait guna penyempurnaan program yang akan datang, dan sebagai informasi awal bagi mereka yang ingin melakukan kajian secara lebih mendalam dalam upaya pemberdayaan penduduk miskin perdesaan kampung. B. 1) Telaah Pustaka Konsep pemberdayaan Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi pembangunan. Dalam perspektif pembangunan ini, disadari betapa penting kapasitas manusia dalam upaya meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal atas sumber daya materi dan nonmaterial. Sebagai suatu strategi pembangunan, pemberdayaan dapat diartikan sebagai kegiatan membantu klien untuk memperoleh daya guna mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan, terkait dengan diri mereka termasuk mengurangi hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki dengan mentransfer daya dari lingkungannya (Payne, 1997: 266 dalam buku Modern social work theory). Sementara itu Ife (1995: 182 dalam buku Community development: Creating community alternatives-vision, analysis and practice) memberikan batasan pemberdayaan sebagai upaya penyediaan kepada orang-orang atas sumber, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan mereka menentukan masa depannya dan untuk berpartisipasi di dalam dan mempengaruhi kehidupan komunitas mereka. Sementara itu, Sutrisno (2000:185) menjelaskan, dalam perspektif pemberdayaan, masyarakat diberi wewenang untuk mengelola sendiri dana pembangunan baik yang berasal dari pemerintah maupun dari pihak lain, disamping mereka harus aktif berpartisipasi dalam proses pemilihan, perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan. Perbedaannya dengan

Pemberdayaan Masyarakat melalui Program Pengembangan Distrik

(Muchtar)

pembangunan partisipatif adalah keterlibatan kelompok masyarakat sebatas pada pemilihan, perencanaan, dan pelaksanaan program, sedangkan dana tetap dikuasai oleh pemerintah. Meskipun rumusan konsep pemberdayaan berbeda-beda antara ahli yang satu dengan yang lainnya, tetapi pada intinya dapat dinyatakan bahwa pemberdayaan adalah sebagai upaya berencana yang dirancang untuk merubah atau melakukan pembaruan pada suatu komunitas atau masyarakat dari kondisi ketidakberdayaan menjadi berdaya dengan menitikberatkan pada pembinaan potensi dan kemandirian masyarakat. Dengan demikian mereka diharapkan mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh dalam menentukan masa depan mereka, dimana provider dari pemerintah dan lembaga non government organization/NGO hanya mengambil posisi partisipan, stimulan, dan motivator. 2) Konsep kemiskinan Kemiskinan adalah konsep yang cair, tidak pasti, dan mutidimensional. Oleh karena itu, terdapat banyak terminologi kemiskinan baik yang dikemukakan oleh pakar secara individu maupun secara kelembagaan. Dalam pengertian konvensional, kemiskinan (hanya) dimaknai sebagai permasalahan pendapatan (income) individu, kelompok, komunitas, masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan (Zikrullah, 2000:11). Hal ini setidaknya terlihat pada batasan yang dikemukakan UNDP (1997) dalam Cox (2004:9), bahwa seseorang dikatakan miskin jika tingkat pendapatannya (hanya) berada dibawah garis kemiskinan. Oleh Karena itu, upaya penanganan kemiskinan yang dilakukan pada negara dunia ketiga baik oleh pemerintah maupun organisasi non pemerintah, kebanyakan (hanya) bertumpu pada upaya peningkatan pendapatan. Padahal kemiskinan meliputi aspek ekonomi, sosial, dan aspek-aspek lainnya. Itu sebabnya, berbagai upaya penanganan kemiskinan itu tidak menyelesaikan masalah dan cenderung gagal.

Untuk itu, menurut Max Neef dalam Zikrullah (2000:11), sekurang-kurangnya ada enam macam kemiskinan yang perlu di fahami oleh pihak-pihak yang menaruh perhatian terhadap penanganan kemiskinan, yaitu: (a) kemiskinan substensi, penghasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal; (b) kemiskinan perlindungan, lingkungan buruk (sanitasi, sarana pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan tanah; (c) kemiskinan pemahaman, kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran akan hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan; (d) kemiskinan partisipasi, tidak ada akses dan kontrol atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas; (e) kemiskinan identitas, terbatasnya perbauran antara kelompok sosial, terfragmentasi; dan (f) kemiskinan kebebasan, stress, rasa tidak berdaya, tidak aman baik ditingkat pribadi maupun komunitas. Narhetali mengutip hasil penelitian tentang kemiskinan yang dilakukan Yeates & Mc Laughlin dari Bank Dunia (2000) menyatakan, orang miskin mempunyai penekanan yang berbeda dari pembuat kebijakan tentang hal-hal yang dipersepsi sebagai dimensi kemiskinan. Selain tingkat pendapatan, konsumsi, pen-didikan, dan kesehatan, kaum miskin juga menekankan faktor psikologis seperti kepercayaan diri, ketidakberdayaan (powerlesness) serta pengucilan fisik dan sosial sebagai sumber kemiskinan. Dengan demikian secara jelas terlihat bahwa bagi orang, kelompok, komunitas, masyarakat miskin, ternyata peningkatan pendapatan bukanlah satusatunya hal yang amat penting. Tetapi, perlakuan humanis penuh harga diri, selfrespect juga merupakan sesuatu yang amat bernilai (Kompas, 5 Maret 2003) Meskipun banyak terminologi mengenai kemiskinan, tetapi secara umum dapat dinyatakan, bahwa istilah kemiskinan selalu menunjuk pada sebuah kondisi yang serba kekurangan. Kondisi

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 1-10

serba kekurangan tersebut bisa diukur secara obyektif, dirasakan secara subyektif, atau secara relatif didasarkan pada perbandingan dengan orang lain, sehingga melahirkan pandangan obyektif, subyektif, dan relatif tentang kemiskinan. Berdasarkan kajian teoritik itu, penanganan kemiskinan melalui PPD mulai memandang, bahwa peningkatan pendapatan bukan satu-satunya hal yang amat penting, tetapi perlakuan humanis, mengakui potensi mereka dengan pendekatan pemberdayaan merupakan unsur lain yang ditekankan. C. Metode Kajian

pemusatan perhatian pada penyederhanaan, transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan lapangan; (b) Penyajian data, kegiatan penyajian sekumpulan informasi dalam bentuk teks naratif; dan (c) penarikan kesimpulan, mencari arti, pola-pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat. Penarikan kesimpulan dilakukan secara cermat dengan melakukan verifikasi berupa tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan sehingga data yang ada teruji validitas dan reliabilitasnya.

II. HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN


A. Gambaran Kemiskinan di Papua Provinsi Papua berpenduduk 1.956.224 jiwa yang tersebar di 19 kabupaten/kota (219 distrik, 2500 kampung/kelurahan). Dari jumlah penduduk tersebut, 966.800 jiwa (38,69%) dalam kategori miskin (BPMD, 2006). Secara lebih jelas persebaran penduduk miskin di Provinsi Papua tersebut, terlihat pada matrik 1 berikut: Matriks 1: Data kemiskinan penduduk Propinsi Papua berdasarkan Kabupaten/Kota
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 KABUPATEN/KOTA Kota Jayapura Jayapura Sarmi Yapen Waropen Biak Numfor Supiori Nabire Paniai Jayawijaya Asmat Mappi Merauke Pegunungan Bintang Puncak Jaya Yahukimo Tolikara Waropen Mimika Boven Digul % 22,98 28,39 27,88 42,62 44,87 43,01 49,09 46,21 31,37 29,97 28,15 47,85 50,67 45,74 46,21 44,48 30,75 28,76

Kajian ini bermaksud mendapatkan gambaran nyata implementasi PPD secara sistematis dan faktual di lapangan, dan pencapaian hasil program. Oleh karena itu jenis kajian ini adalah deskriptif. Menurut Newman (1997:19), kajian deskriptif mampu menyajikan gambaran secara detail dari sebuah situasi dan atau setting social. Menurut Danim (2002:61), pada pendekatan kualitatif, data yang dikumpulkan umumnya berbentuk kata-kata, gambar dan bukan angka-angka, kalaupun ada angka-angka sifatnya hanya sebagai penunjang. Data dimaksud meliputi transkrip wawancara, catatan lapangan, foto-foto, dokumen pribadi, nota, dan catatan lain-lain. Atas alasan itulah dipilih pendekatan data kualitatif. Kajian ini dilakukan di Papua pada September 2006 selama lima hari. Penentuan informan dalam penelitian ini secara purposive. Artinya, informan dipilih berdasarkan pertimbangan mereka mengetahui secara baik pelaksanaan PPD. Untuk itu, informan yang telah dipertimbangkan sesuai dan mengetahui secara baik pelaksanaan program adalah aparat kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Provinsi Papua. Pengumpulan data dan informasi di lapangan digunakan studi dokumen guna menghimpun dan merekam data yang bersifat dokumentatif, seperti: foto-foto kegiatan, arsiparsip penting, kebijakan, dan lainnya. Disamping itu juga digunakan teknik wawancara. Analisis data dilakukan dalam tiga tahapan: (a) Reduksi data, proses pemilihan,

Sumber: BPMD, 2006.

Pemberdayaan Masyarakat melalui Program Pengembangan Distrik

(Muchtar)

B.

Gambaran PPD

2)

PPD adalah suatu program pendesentralisasian kewenangan dan dana ke tingkat kampung, dimana masyarakat kampung mengelola secara sendiri pembangunan di kampungnya dengan prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat. 1) Tujuan PPD a) Meningkatkan keterlibatan orang miskin dan perempuan terutama dalam pengambilan keputusan Meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin melalui bidang pendidikan dan kesehatan Meningkatkan penyediaan prasarana sosial ekonomi masyarakat kampung Memperoleh kesempatan berusaha dan pengembangan usaha bagi masyarakat miskin di kampung Mengembangkan kemampuan/ kapasitas masyarakat dalam merencanakan, menyelenggarakan dan melestarikan pembangunan di kampung serta mengakses sumberdaya yang dimilikinya Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap program pembangunan di kampung Mengembangkan dan memperkuat kelembagaan pembangunan di kampung atau antar kampung 4) 3)

Prinsip PPD a) Transparansi b) Partisipasi c) Desentralisasi d) Kompetisi sehat e) Pertanggungjawaban pekerjaan f) Pelestarian/keberlanjutan Bentuk fasilitasi PPD a) Bantuan langsung masyarakat (BLM) 1) Dana untuk menyelenggarakan kegiatan pembangunan sarana prasarana sosial dasar dan ekonomi 2) Diperuntukkan kepada masyarakat di kampung terutama untuk penduduk miskin Bantuan teknis pendampingan 1) Berupa bantuan teknis kepada institusi sosial lokal, pemerintahan desa, unit pengelola keuangan (UPK) dan usaha-usaha kecil serta mikro terutama yang dikelola oleh penduduk miskin 2) Transformasi pendampingan kepada pendamping lokal, aparat pemerintah dan institusi lokal

b)

c)

d)

b)

e)

f)

g)

Jenis kegiatan PPD a) Sarana prasarana (SP) b) Usaha Ekonomi Produktif (UEP) c) Simpan pinjam untuk kelompok perempuan (SPP) d) Pendidikan e) Kesehatan Alokasi dana perdistrik
KETERANGAN Selama kurun waktu 1988-2006 dialokasikan dana 121.250 Milyard. Tahun 2006, PPD melalui dana APBN dipersiapkan alih ke dana APBD (Otonomi khusus/Otsus) dengan alokasi dana 1 Milyard

5)
LOKASI JUMLAH PENDUDUK/DISTRIK > 25.000 jiwa Seluruh distrik Provinsi Papua 15.000-25000 jiwa < 15.000 jiwa ALOKASI DANA 1 milyard 750 juta 500 juta

Jumlah KK/kampung Alokasi perkampung = x Alokasi dana/distrik Total KK semua kampung

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 1-10

6)

Mekanisme pencairan dana

7)

Dana dialokasikan untuk rekening kampung melalui Tim Pengelola kegiatan kampung di setiap distrik pada KPPN, Bank, Cabang pembantu bank terdekat. Pencairan dana direalisasikan setelah melakukan proses perencanaan melibatkan berbagai komponen di kampung dalam forum musyawarah kampung (Muskam) dan setelah diverivikasi/ disetujui dalam musyawarah distrik dapat dicairkan setelah ditandatangani oleh Tim Pengelola Kegiatan di kampung, Pendamping, dan Penanggung Jawab Operasional Kegiatan (PJOK) distrik. Proses pencairan pada tahap I sebesar 60%, tahap II 40%.

Dampak program yang diharapkan a) Adanya proses pembelajaran b) Proses bottom up planning terjadi di masyarakat c) Adanya lapangan pekerjaan d) Peningkatan kapasitas kelembagaan e) Perubahan prilaku f) Peningkatan swadaya masyarakat g) Keberanian/kritis mengemukakan pendapat h) Kompetensi i) Tersedia dana (perputaran, saving) di tingkat kampung untuk menggerakkan ekonomi lokal Struktur organisasi dan pelaku program a) Struktur organisasi di tingkat kampung
Bamuskam

8)

Tiga Tungku

Kepala Kampung

Fasilitator lokal

TPK

Masyarakat

Tim Penulis Usulan

Sumber : BPMD Provinsi Papua, 2006. Keterangan : 1. Tiga Tungku (Kepala Kampung, Tokoh Adat, Tokoh Agama) 2. Mamuskam (Badan Musyawarah Kampung) 3. TPKK (Tim Pengelola Kegiatan Kampung)

Pemberdayaan Masyarakat melalui Program Pengembangan Distrik

(Muchtar)

b)

Struktur organisasi di tingkat Distrik


Kepala Distrik

PjOK/PjAK

Fasilitator Distrik

Tim Verivikasi UPKD

Sumber: BPMD Provinsi Papua, 2006. Keterangan : 1. PJoK/PJAK (Penanggung Jawab Operasional Kegiatan/Penanggung Jawab Administrasi Kegiatan 2. UPKD (Unit Pengelola Kegiatan Distrik)

c)

d)

Pelaku di tingkat Kabupaten/Kota 1) Bupati/Walikota 2) DPRD 3) Tim Koordinasi 4) Konsultan managemen kabupaten/kota (teknik & pemberdayaan) Pelaku di tingkat Provinsi 1) Gubernur (penanggung jawab) 2) Sekretaris Daerah (pengarah) 3) Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa/BPMD (Pengarah) 4) Tim Koordinasi 5) Konsultan

sarana prasarana, bidang usaha ekonomi produktif, bidang pendidikan, dan kesehatan , dan dikuatkan oleh informan melalui wawancara, diperoleh data sebagai berikut : A. 1) Pembangunan Sarana Prasarana Sarana air bersih di Kampung Asaryendi (Numfor Timur, Biak Numfor) dengan dana PPD Rp. 38.000.000,- dan dana swadaya masyarakat Rp. 3.287.000,Sarana air bersih di kampung Kalifan (Waris, Keerom) dengan dana PPD Rp.133.727.300,- dan dana swadaya masyarakat Rp. 13.717.500,Jembatan beton ukuran 6X4 m di Kampung Telagasari (Kurik, Merauke) dengan dana PPD Rp. 61.539.000,dan dana swadaya masyarakat Rp.29.915.000,Jembatan beton panjang lima meter di Kelurahan Awiyo (Abepura, Jayapura) dengan dana PPD Rp. 38.310.000,dan dana swadaya masyarakat Rp. 1.953.000,Jembatan kayu, ukuran 13X3 m di Kampung Agenggem (Sinak, Puncak Jaya) dengan dana PPD Rp. 30.142.697,Listrik desa di Kampung Pasi (Padaido, Biak Numfor) dengan dana PPD Rp. 46.001.000,- dan swadaya masyarakat Rp. 950.000,-

2)

9)

Jumlah pelaku PPD (1998-2006): a) Konsultan Provinsi : 10 orang b) Aparatur/PjOK : 101 orang c) Konsultan Manajemen Kabupaten : 19 orang d) Fasilitator Distrik : 432 orang e) Unit Pengelola Kegiatan (UPK) : 432 orang f) Fasilitator kampung/ lokal : 1300 orang

3)

4)

5)

III. CAPAIAN PPD DI PAPUA


Mencermati dokumen PPD yang ada, terkait capaian program bidang pembangunan

6)

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 1-10

7)

Lantai penjemuran coklat di kampung Yuwainda (Waris, Keerom) dengan dana PPD Rp. 66.131.300,- dan swadaya masyarakat Rp. 12.467.000,Bidang Usaha Ekonomi Produktif : Usaha jualan sayur keliling di Kampung Harapan Makmur (Kurik, Merauke tidak diperoleh informasi dana, baik dari PPD maupun swadaya masyarakat ). Usaha jualan di kios (Kampung Abatadi, Paradide, Paniai) dengan dana PPD Rp. 8.498.700,Usaha kios di Kampung Ampera (Mandobo, Boven Digul) dengan dana PPD Rp. 9.243.500,Bidang Kesehatan

IV. KENDALA DALAM IMPLEMENTASI PPD


Kendala-kendala yang ditemui selama pelaksanaan PPD sejak 1998, meliputi: a) Belum ada kesamaan persepsi dari sebagian pemerintah kabupaten/kota tentang program yang didanai APBD (Otonomi khusus). Pada tataran implementasi, kepala distrik (seringkali) menetapkan mekanisme diluar panduan yang telah ada, dan alokasi dana program tidak diturunkan ke bawah. Oleh karena itu, program ditangani oleh unit kerja pemerintah kabupaten/kota Sosialisasi program masih lemah khususnya di kabupaten pemekaran. Dalam pelaksanaan program pemberdayaan, cenderung tidak melibatkan masyarakat, baik pada saat perencanaan maupun pelaksanaan, sehingga rawan terjadi penyimpangan oleh aparat (distrik/ kab/kota).

B. 1)

2)

b)

3)

c)

C.

Pembangunan Puskesmas Pembantu (Pustu) di Kampung Amungun (Agim, Mimika) dengan dana PPD Rp. 40.000.000,- swadaya masyarakat Rp. 1.185.000,D. 1) Bidang Pendidikan Pemberian bea siswa dan pembelian pakaian seragam sekolah di Citak (tapi tidak diperoleh informasi dana, baik dari PPD maupun swadaya masyarakat ). Pengadaan sanggar belajar ukuran 7X6 m di Kampung Entiyebo (Deppapre Jayapura) dengan dana PPD. Rp. 84.306.400.- dan swadaya masyarakat Rp.14.830.000,-

Atas dasar gambaran program, capaian program (hasil), kendala dalam implementasi dan dianalisis berdasarkan kerangka teori pemberdayaan, dapat digambarkan sebagai berikut:

2)

Pemberdayaan Masyarakat melalui Program Pengembangan Distrik

(Muchtar)

TUJUAN PROGRAM

KERANGKA TEORITIK

HASIL PROGRAM

Membangkitkan semangat kemandirian dan kegiatan usaha ekonomi kelompok miskin Memberdayakan dan mengkoordinasikan masyarakat melalui kelembagaan lokal masyarakat

Sasaran pemberdayaan adalah kelompok masyarakat miskin

Implementasi program belum/tidak mampu menjangkau kelompok miskin Tidak terjadi transfer daya kepada kelompok miskin, karena program lebih dimanfaatkan oleh golongan tertentu saja. Transfer hanya terjadi di tingkat lembaga yang keberadaannya cenderung didominasi oleh elit birokrasi (kabupaten/kota, distrik, kampung).

Terjadinya transfer daya, sehingga mereka (beneficeries) mampu menentukan nasib/pilihannya

Adanya proses belajar sosial bagi kelompok sasaran menuju penyadaran tentang permasalahan yang dihadapi dan tumbuhnya semangat untuk memecahkannya Adanya kelembagaan yang mampu menampung dan menyuarakan kepentingan kelompok miskin
Gambar 4 : Olahan dari hasil bahasan

Proses belajar sosial relatif tidak berlangsung, karena program lebih bernuansa economic

V.
A.

PENUTUP
Kesimpulan

karena program lebih bernuansa ekonomis (pengelola program memberikan pinjaman dana kepada peminjam). B. Saran

Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan tersebut dapat disimpulkan, PPD belum mampu memberdayakan kelompok miskin, karena kurangnya pemahaman dari para pelaku program di berbagai tingkatan, khususnya di tingkat kampung dan distrik terhadap program. Hal itu diperburuk oleh sosialisasi program, dimana sosialisasi difahami oleh para pelaku program hanya sebatas penyebaran informasi proyek, bukannya sebagai bagian proses penyadaran terhadap masyarakat (kelompok miskin) terhadap visi dan missi program dalam upaya peningkatan kemandirian masyarakat dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, serta (hanya) sekedar memenuhi target (formal) proyek. Tidak terjadinya proses pemberdayaan itu terlihat dari hasil capaian program, dimana: (a) tidak terjadi transfer daya kepada kelompok miskin, karena program lebih dimanfaatkan oleh kalangan tertentu saja (elit birokrasi: kabupaten/kota, distrik, kampung); (b) proses belajar sosial relatif tidak berlangsung,

Bertolak dari kesimpulan tersebut, saran yang diajukan lebih ditekankan pada kualitas pelaku program, yaitu: (a) para pelaku perlu mempunyai pemahaman terhadap PPD secara lebih baik. Untuk itu, diperlukan fasilitator lokal (kampung, distrik) secara lebih baik, dan perlunya pembekalan kepada mereka secara memadai; (b) perlunya pelaksanaan sosialisasi program kepada masyarakat secara benar, dimana sosialisasi bukan semata penyebaran informasi, tetapi lebih dari itu, sebagai bagian penyadaran tentang permasalahan yang dihadapi dan tumbuhnya semangat untuk memecahkannya secara mandiri, karena itu diperlukan petugas yang berkualitas; (c) perlunya pendampingan oleh fasilitator lokal secara berkelanjutan. Untuk itu, diperlukan fasilitator lokal yang mempunyai pemahaman baik terhadap program, ulet, sabar, tekun, dan mempunyai semangat yang tinggi.

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 1-10

DAFTAR PUSTAKA
Baswir, Revrisond. 1999. Pembangunan Pedesaan dan Penanggulangan Kemiskinan, Penyunting dalam Hasan Basri Pembangunan Ekonomi Rakyat di Pedesaan sebagai Strategi Penanggulangan Kemiskinan. Kerjasama Yayasan Adi Karya IKAPI & The Ford Foundation, Jakarta: Bina Rena Pariwara. BPS Kerjasama dengan Depsos R.I., 2003. Penduduk Fakir Miskin Indonesia 2002, Jakarta. Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD). Provinsi Papua. 2006. Cox. Poverty alleviation programs in the Asia-Pacific Region, Seminar, 3rd March, 2004, Jakarta. Danim, Sudarman. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: CV. Pustaka Setia. Ife, Jim. 1995. Community Development: Creating community Alternatives-vision, Analysis and Practice, Australia, Longman Pty Ltd. Narhetali, Erita. Kemiskinan yang Berkelanjutan, KOMPAS, Rabu, 3 Maret 2003. Neuman, L.W. 1997. Social Research Methodes: Qualitative & Quantitative Approach. Boston: Allyn Bacon. Payne, Malcolm. 1997. Modern Social Work Theory. Second edition London: MacMillan Press Ltd. Qodir, Zuly. Islam dan Jeratan Kemiskinan. KOMPAS, 16 Maret 2007. Sarbini. 1989. Ekonomi Kerakyatan, dalam Penyunting Sjahrir dkk. Menuju Masyarakat Adil Makmur. 70 Tahun Prof. Sarbini Sumawinata, Jakarta: Gramedia. Soetrisno, Loekman. 1997. Kemiskinan, Perempuan, Pemberdayaan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif, Yogyakarta: Penerbit Kanisius Zikrullah, Y., Adam. 2000. Struktur Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan, Media Partisipatif-P2KP No. , 07 Edisi Oktober.

BIODATA PENULIS : Muchtar, Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI.

10

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) MEWUJUDKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


Studi atas Program PT. Ultrajaya Milk Industry & Trading Company TBK Cimareme Padalarang Kabupaten Bandung
Dewi Wahyuni

ABSTRAK
Pembangunan sosial masih dipandang sebagai pelengkap dari pembangunan ekonomi. Keberlanjutan pembangunan sosial sangat terkait dengan peran pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Untuk itu, pembangunan sosial harus dimulai oleh dunia usaha, salah satunya melalui tanggung jawab dunia usaha yang dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR). Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan pemberdayaan masyarakat sebagai perwujudan Corporate Social Responsibility (CSR) di PT. Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk. Hasil dari penelitian menunjukkan, bahwa aktivitas CSR PT Ultrajaya, mampu membantu kelompok rentan di komunitas, melalui program air bersih dan beasiswa bagi keluarga miskin. Meskipun demikian, masih perlu kerjasama yang kuat antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat dalam mewujudkan sustainability dari program yang telah dilaksanakan.

I.
A.

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah

Pembangunan sosial masih dipandang sebagai pelengkap dari pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dengan strategi pertumbuhan (growth oriented strategy) yang dilaksanakan bangsa Indonesia selama rezim orde baru 32 tahunan sering dipandang sebagai obat mujarab untuk mengatasi berbagai permasalahan bangsa ini. Asumsi dengan strategi tersebut menekankan bahwa apabila terjadi pergerakan ekonomi nasional (Gross National Product) yang tinggi, maka sebagai konsekuensinya akan terjadi tetesan rejeki ke bawah (Trickle down effect). Inilah yang diharapkan menyentuh lapisan masyarakat paling bawah (grass root) berupa pemerataan pendapatan dan kesempatan kerja terhadap standar kebutuhan minimum dapat dinikmati oleh seluruh anak bangsa (Wahyuni,2006). Namun kenyataannya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan Trickle down effect-nya tidak menjamin terciptanya pemerataan hasil-hasil pembangunan. Sebagian besar pendapatan nasional justru dikuasai oleh para elit dan pemilik modal. Mereka kemudian mendirikan

koorporasi untuk tujuan bisnis atau mencari keuntungan. Koorporasi perusahaan inilah yang dalam perkembangannya di Indonesia telah menjadi kekuatan besar yang mendorong terjadinya perubahan sosial. Perusahaan telah menjadi alat yang dominan dalam transformasi ilmu dan teknologi berupa barang dan jasa yang berdayaguna secara ekonomis. Ternyata pembangunan dengan pendekatan strategi pertumbuhan cenderung semakin memperlebar kesenjangan ekonomi di antara kelompok kaya dan miskin karena kepemilikan terhadap aset ekonomi tidak merata cenderung di satu pihak yang memperdalam jurang pemisah kehidupan sosial yang berwujud memudarkan kesetiakawanan sosial. Sudah saatnya pembangunan berorientasi pada penguatan kehidupan sosial. Penguatan kehidupan sosial dilaksanakan dengan memadukan sinergi antara ketiga pelaku utama pembangunan yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Kenyataan menunjukkan apabila tidak terjadi sinergi di antara ketiga pelaku pembangunan sosial dapat menimbulkan bencana sosial. Berbagai unjuk rasa banyak muncul sebagai protes pada dunia usaha yang tidak mempedulikan kepentingan masyarakat sekitarnya atau sebagai perlawanan terhadap kebijakan

11

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 11-20

regulasi pemerintah yang dipandang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat. Masyarakat merasa kehadiran perusahaanperusahaan besar umumnya perusahaan asing menjadi pemicu munculnya masalah ekologi, sosial dan budaya (ekososbud), seperti polusi (air, udara, suara), kesenjangan sosial ekonomi yang sangat tajam antara masyarakat perusahaan dengan penduduk lokal dan terjadinya pemiskinan masyarakat secara struktural dengan eksploitasi dan perusakan lingkungan yang dilakukan perusahaan. Namun, saat ini ada secercah harapan di sektor dunia usaha berkaitan dengan penguatan kehidupan sosial. Hal ini ditandai dengan munculnya paradigma baru di sektor dunia usaha dengan konsep Triple Bottom line bahwa kinerja perusahaan bukan hanya dievaluasi dari satu dimensi keuangan (financial result) belaka. Namun harus memperhatikan dua dimensi lain yaitu dampaknya terhadap orang (karyawan/komunitas di sekitar perusahaan) dan lingkungan alam (Elkington dalam Pambudi, 2005). Paradigma baru di dunia usaha inilah yang mendorong perusahaan untuk melaksanakan kegiatan tertentu sebagai wujud tanggung jawab perusahaan kepada lingkungannya yang dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR). CSR menunjuk pada perluasan peran perusahaan yang tidak hanya mengurusi kesejahteraan pegawai dan kebutuhan konsumen saja, melainkan turut peduli akan kehidupan masyarakat yang tinggal di seputar perusahaan (Suharto, 2005). CSR lahir didorong oleh adanya perubahan model perusahaan yang lebih berorientasi pada model sosio ekonomis dari pada model ekonomis. Ciri pendekatan model sosio ekonomis menekankan pada kualitas kehidupan secara keseluruhan, kelestarian sumber daya, kepentingan masyarakat, keterlibatan aktif pemerintah dan pandangan sistem terbuka perusahaan. Sedangkan ciri perusahaan dengan pendekatan model ekonomis menekankan pada aspek produksi, eksploitasi sumber daya, kepentingan individual, peran pemerintah sangat sedikit dan perusahaan sebagai sistem tertutup (Purnama, 2005). Salah satu contoh perusahaan yang melibatkan masyarakat di sekitarnya dilaksanakan oleh PT. Ultrajaya Milk Industry. Namun

apakah kegiatan yang dipraktikkan perusahaan tersebut sudah merupakan perwujudan dari konsep CSR belum diketahui validitas dan reliabilitasnya. Oleh karena itu, kajian ini lebih difokuskan analisa data pelaksanaan pemberdayaan masyarakat sebagai perwujudan konsep CSR dimaksud. B. Rumusan Masalah

Pemberdayaan masyarakat sebagai perwujudan Corporate Social Responsibility (CSR) di PT. Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk masih lebih menitikberatkan pada pemberian bantuan daripada pendekatan pemberdayaan masyarakat. C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan dan analisa pemberdayaan masyarakat sebagai perwujudan Corporate Social Responsibility (CSR) di PT. Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk CimaremePadalarang Kabupaten Bandung.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Pada tahun 1980-an dan 1990-an kepedulian sosial sebagian besar perusahaan berfokus pada sponsorship untuk kegiatan tertentu, seperti olah raga. Namun saat ini perhatian perusahaan mulai pada isu-isu sosial, kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi komunitas lokal. Keberadaan perusahaan akan memperhatikan kesejahteraan bukan hanya pada pemilik modal (shareholder) namun juga bagi komunitas sekitar perusahaan dan masyarakat terkait (stakeholder). Perusahaan sudah mulai melaksanakan konsep Corporate Social Responsibility (CSR). Schermerhon (1993) dalam Suharto (2006) dengan judul buku Pekerjaan Sosial di Dunia Industri mengartikan CSR sebagai suatu kepedulian organisasi bisnis untuk bertindak dengan cara-cara mereka sendiri dalam melayani kepentingan organisasi dan publik eksternal. Suatu kegiatan dikatakan CSR lebih menekankan pada prinsip keberlanjutan dari kegiatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat di sekitar perusahaan. Hal ini sebagaimana dikemukakan Widjajanti Direktur Eksekutif Yayasan Pembangunan Berkelanjutan dan Direktur Program National Lead Indonesia.

12

Corporate Social Responsibility (CSR) Mewujudkan Pemberdayaan Masyarakat

(Dewi Wahyuni)

Sebenarnya yang terpenting, dari program CSR menekankan pada prinsipprinsip keberlanjutan. Artinya, perusahaan membuat program yang berjalan secara berkesinambungan, bukan sekedar membagibagi uang dalam jangka yang sangat pendek. Perlu ada desain program terencana, termonitoring dan evaluasi perbaikan yang kontiniu. Aktivitas CSR yang terbaik adalah program yang bersumber dari hasil pertanyaan apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat dan lingkungan sekitar kita, sehingga lebih mengena dan tepat sasaran. (Pambudi, 2005 dengan judul artikel CSR Sebuah Keharusan). Porter ketika berbicara di Sekolah Bisnis Copenhagen, September 2003, ketika itu ia mengkritik perusahaan yang mempraktikkan CSR hanya sebagai reaksi terhadap tekanan mengatakan bahwa : Sekecil apapun, dan semurah apapun, perusahaan bisa mempraktekkan CSR. Buatlah dan berilah nilai tambah sebanyak mungkin kepada lingkungan dan masyarakat, terutama untuk yang mereka tak memiliki. Lebih lanjut Porter mencontohkan bahwa : Jika sebuah perusahaan berada di lingkungan yang sistem pendidikanya kurang bagus, bantulah sebisa mungkin. Seyogyanya CSR bukanlah sebagai reaksi, tapi kegiatan proaktif yang dirancang dengan tujuan memberi nilai tambah buat stakeholders. (Pambudi, 2005 dengan judul artikel CSR Sebuah Keharusan). Pada dasarnya CSR merupakan suatu standar minimum yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Jadi CSR ditujukan untuk memenuhi harapan stakeholder dalam memaksimumkan dampak positif perusahaan terhadap lingkungan sosial dan fisik, dengan tetap menyediakan suatu pengembalian keuntungan kompetitif kepada shareholder finansial, sehingga CSR diposisikan sebagai suatu kewajiban sosial perusahaan untuk mempertimbangkan kepentingan stakeholder dalam menjalankan bisnis. CSR penting bagi perusahaan agar keberadaan perusahaan mendapat dukungan dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya. Apabila perusahaan tidak memberikan kontribusi pada lingkungan di sekitarnya, perusahaan akan mengalami berbagai kendala dalam bisnisnya. Tidak jarang komunitas sekitar perusahaan berusaha

menghentikan aktivitas perusahaan antara lain lewat berdemo. Jadi CSR berfungsi memelihara kelangsungan perusahaan sepanjang masa yang memungkinkan perusahaan terhindar dari berbagai risiko dari masyarakat sekitar perusahaan. CSR pada jangka panjang menjadi aset strategis dan kompetitif bagi perusahaan di tengah iklim bisnis yang menuntut praktik-praktik etis dan tanggung jawab. Praktik tanggung jawab sosial dipercaya menjadi landasan fundamental bagi pertumbuhan berkelanjutan, bukan hanya untuk perusahaan itu sendiri, tapi juga stakeholders secara keseluruhan. Pemberdayaan merupakan salah satu wujud dari konsep CSR. Pemberdayaan berhubungan dengan kekuatan individu dan kompetensinya serta sistem yang saling bergantung dan perilaku proaktif pada aktivitas sosial, kebijakan sosial, perubahan sosial, dan pengembangan masyarakat. Itu semua dapat diterapkan secara praktis pada semua tingkat (Anderson dalam Dubois dan Miley, 2005 dalam buku Social Work An Empowering Profession). Jadi, pemberdayaan sebagai proses peningkatan kemampuan individu, keluarga, kelompok dan masyarakat agar dapat mengambil peran dalam meningkatkan kondisi mereka. Pemberdayaan adalah upaya membangun daya dengan mendorong/memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya (Kartasasmita, 1996 dalam buku Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan). Pemberdayaan juga berarti upaya untuk menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang m e n j a d i pilihan hidupnya (Pranaka dan Moeljarto, 1994 dalam buku Pemberdayaan, Konsep Kebijakan dan Implementasinya). Pemberdayaan adalah suatu proses yang bertujuan untuk membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa

13

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 11-20

percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya (Payne, 1997 dalam buku Modern Social Work Theory). Pemberdayaan masyarakat dapat menjadikan masyarakat sekitar perusahaan dapat mengaktualisasikan dirinya dan memahami keberadaannya sebagai elemen penting dari perusahaan. Interaksi masyarakat dengan perusahaan akan harmonis, apabila perusahaan mampu memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar perusahaan dan sebaliknya, sehingga tercipta modal sosial (social capital) di lingkungan perusahaan. Inilah yang menjadi prasyarat long life corporate yang seyogyanya menjadi dambaan setiap perusahaan. Kepedulian perusahaan dalam menyisihkan dananya untuk CSR bukan sesuatu yang dipaksanakan melainkan justru menjadi kebutuhan bagi perusahaan. Mengingat keuntungan dari CSR dalam bentuk pemberdayaan masyarakat bukan hanya intangible yang nilai moralitasnya jauh melebihi nilai finansialnya, namun secara tangible juga mampu mendatangkan nilai finansial yang lebih tinggi melalui brand image produk. Keuntungan CSR secara intangible lebih menekankan pada aspek psikologis, nilai-nilai dan moral, seperti kerjasama, rasa aman, memahami potensi, mampu mengambil keputusan, dan lain-lain. Sementara keuntungan secara tangible lebih menekankan pada bantuan permodalan dan peluang usaha di sektor formal dan informal, mengembangkan sarana dan prasarana masyarakat serta pembangunan sarana dan fasilitas masyarakat, dan lain-lain. Keuntungan CSR yang lain terutama dapat mempertinggi citra diri (brand image) perusahaan yang tidak hanya dibangun melalui anggaran iklan, tetapi juga ditunjukkan oleh akuntabilitasnya kepada kepentingan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat. Justru pemberdayaan masyarakat inilah yang menjadi iklan paling baik dan sekaligus berfungsi sebagai tali pengaman (seat belt) bagi perusahaan agar tetap mampu menarik simpati para pelanggannya agar tetap percaya pada produk perusahaan.

III. METODELOGI PENELITIAN YANG DIGUNAKAN


A. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan data kualitatif khususnya menggunakan studi kasus. Penelitian ini berusaha untuk memberi gambaran tentang pemberdayaan masyarakat sebagai perwujudan CSR di PT. Ultrajaya Milk Industry Cimareme Padalarang. B. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah : 1. Wawancara : Wawancara dilakukan kepada para manajer dan karyawan di PT. Ultrajaya Milk Industry tentang pemberdayaan masyarakat sebagai perwujudan CSR. Wawancara juga dilakukan kepada tokoh masyarakat, warga masyarakat dan orangtua dari anak penerima beasiswa. 2. Observasi : Dilakukan untuk mengetahui pemanfaatan bantuan (air bersih, beasiswa dan fasilitas lainnya) oleh masyarakat. 3. Studi litelatur : Dilakukan untuk mempelajari konsep CSR dan pemberdayaan serta mencermati data tentang pemberdayaan masyarakat di perusahaan tersebut. Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan memilih informan. Informan dalam penelitian ini ditentukan secara purposive sampling yang ditentukan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini (Nasution, 2003). Informan pada penelitian ini berjumlah sepuluh orang yang di bagi menjadi dua bagian yaitu : 1. Karyawan PT. Ultrajaya Milk Industry sebanyak 5 orang terdiri dari 3 orang dari kalangan manajer dan 2 orang staff yang dapat memberikan gambaran tentang pemberdayaan masyarakat sebagai pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR).

14

Corporate Social Responsibility (CSR) Mewujudkan Pemberdayaan Masyarakat

(Dewi Wahyuni)

2.

Masyarakat di sekitar perusahaan sebanyak 5 orang terdiri dari Kepala Desa Gadobangkong, tokoh masyarakat, warga masyarakat (2 orang) dan orangtua dari anak penerima beasiswa yang dapat memberikan gambaran tentang manfaat Corporate Social Responsibility (CSR) bagi masyarakat.

C. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan bersifat terbuka (open ended), artinya terbuka terhadap perubahan, perbaikan dan penyempurnaan berdasarkan data baru yang masuk (Nasution, 2003). Analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus menerus selama pengkajian berlangsung melalui reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Data kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara direduksi yang dimaksud adalah dilakukannya pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang data yang tidak perlu dan mengorganisasi data sehingga kesimpulan akhir dapat diambil.

PT. Ultrajaya Milk Industry terletak di Jalan Cimareme Nomor 131 Padalarang Kabupaten Bandung yang merupakan lokasi strategis di daerah lintasan peternakan dan pertanian sehingga memudahkan untuk memperoleh pasokan bahan baku dan pengiriman hasil produksinya. PT. Ultrajaya Milk Industry merupakan perseroan yang bergerak dalam bidang makanan dan minuman. Makanan yang diproduksi, seperti mentega, susu bubuk, susu kental manis dan bermacam-macam minum, seperti minuman susu, sari buah, teh, minuman tradisional dan minuman untuk kesehatan yang diproses dengan teknologi UHT (Ultra High Temperature) dan dikemas dalam kemasan antiseptik (Antiseptic packaging material) serta memproduksi teh celup dan konsentrat buahbuahan tropis. Kegiatan PT. Ultrajaya Milk Industry dalam kerangka CSR dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan hajat hidup orang banyak khususnya warga masyarakat yang bertempat tinggal disekitar lokasi perusahaan dengan harapan mempunyai dampak langsung terhadap pemenuhan sebagian kebutuhan mereka diantaranya : A. Air Bersih

IV. PEMBAHASAN
PT. Ultrajaya Milk Industry merupakan salah satu perusahaan susu cair dan sari buah yang cukup tua yang sudah mulai beroperasi sejak tahun 1971 dan mulai tahun 2000 menjadi PT. Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk dengan melakukan penawaran umum sahamnya kepada masyarakat. PT. Ultrajaya Milk Industry memiliki visi menjadi perusahaan industri makanan dan minuman yang terbaik dan terbesar di Indonesia dengan senantiasa mengutamakan kepuasan konsumen serta menjunjung tinggi kepercayaan para pemegang saham dan mitra kerja perusahaan. Untuk mewujudkan misi tersebut dirumuskan misi : menjalankan usaha dengan dilandasi kepekaan yang tinggi untuk senantiasa berorientasi kepada pasar/ konsumen dan kepercayaan serta kepedulian untuk senantiasa memperhatikan lingkungan yang dilakukan secara optimal agar dapat memberikan nilai tambah sebagai wujud pertanggungjawaban kepada para pemegang saham.

Menyadari bahwa air memiliki arti yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia dan perusahaan menggunakan air bawah tanah sebagai bahan penunjang produksi, maka PT. Ultrajaya Milk Industry memberikan sebagian air yang diambilnya untuk disalurkan kepada masyarakat sekitarnya sesuai dengan batas kewajaran. Pengambilan Air Bawah Tanah (ABT) dikaitkan dengan upaya pemberian air bersih kepada masyarakat sekitar selalu menjadi perhatian yang serius dan diupayakan semaksimal mungkin agar tidak menimbulkan dampak negatif. Oleh karena itu PT. Ultrajaya Milk Industry selalu peduli dan memberikannya dengan alokasi sebagai berikut: a. Di RW 04 Desa Gadobangkong (seberang jalan raya Cimareme), diberikan air bersih dengan menyalurkannya melalui pipa dan ditampung pada sebuah bak penampungan.

15

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 11-20

b.

Di RW 05 Desa Gadobangkong, diberikan air bersih dengan menyalurkan ke pipa-pipa induk penyaluran dan dibuatkan juga 2 (dua) bak penampungan. Pendistribusian air agar sampai ke warga dilakukan dengan swadaya menyediakan paralon. Di RW 06 Desa Gadobangkong, diberikan juga air bersih dengan menyalurkannya ke pipa-pipa induk dan dibuatkan juga 3 (tiga) bak penampungan. Pada tahap awal pendistribusian air untuk sampai ke warga masyarakat dikelola oleh warga dengan swadaya menyediakan paralon. Di RW 05 dan RW 06 Desa Cimareme yang jumlah penduduknya padat, dibuatkan 1 (satu) sumur bor tersendiri lengkap dengan pipanya. Untuk mengurus pendistribusian air sampai ke warga dikelola oleh tim pengelola RW setempat dan untuk pemeliharaan teknis masih dibantu oleh PT. Ultrajaya Milk Industry. Air bersih langsung disalurkan melalui pipa untuk rumah-rumah ibadah dan sekolah yang letaknya berdekatan dengan lokasi perusahaan.

tempat tinggalnya jauh dari lokasi perusahaan, mendapatkan air tanah dari sumur pantek maupun sumur tradisional miliknya. Mereka khawatir apabila di setiap RW dimana mereka tinggal dibuatkan sumur bor, akan mengakibatkan sumur-sumur mereka tidak lagi keluar airnya. B. Pemberian Beasiswa

c.

Pemberian bantuan beasiswa untuk membantu menunjang program pemerintah tentang wajib belajar 9 tahun. Dasar pemikiran pemberian beasiswa bagi anak yang tinggal di sekitar perusahaan antara lain : a. Mahalnya biaya pendidikan yang mengakibatkan banyaknya orang tua yang tidak mampu membiayai pendidikan anaknya meskipun hanya sampai ke sekolah lanjutan tingkat petama. Perusahaan berkepentingan, apabila masyarakat disekitarnya memiliki tingkat pendidikan yang memadai, maka perusahaan apabila membutuhkan tenaga kerja diharapkan dapat menyerap dari warga setempat.

d.

b.

e.

PT. Ultrajaya Milk Industry memberikan air bersih kepada warga sekitar berdasarkan perhitungan dari flow meter yang terpasang mencapai hampir 2 (dua) sumur bor yang ada di dalam komplek pabrik dengan debit pengambilan sesuai dengan Surat Izin Pengambilan Air (SIPA) adalah 146 - 154 m3 per hari. Memang hal ini berpengaruh pada persediaan air untuk produksi yang pada akhirnya berpengaruh pada proses produksi selanjutnya. Guna meringankan beban semua pihak, perusahaan berniat untuk membuat sumur bor di setiap RW tersebut di atas dengan biaya sepenuhnya ditanggung perusahaan. Namun sebagian warga belum menyetujui pembuatan sumur bor dimaksud. Selama ini warga yang

Beasiswa diberikan kepada anak-anak lulusan sekolah dasar yang akan melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dengan persyaratan sebagai berikut : a. b. c. Anak yang berasal dari keluarga tidak mampu. Berminat melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Adanya dukungan orang tua untuk menyekolahkan anak.

Program pemberian beasiswa dimulai pada tahun ajaran 2001/2002 dengan jumlah penerima beasiswa yang terus bertambah dan besarnya dana yang diterima pun meningkat pula. Secara lebih rinci jumlah penerima beasiswa dan besaran dana yang diterima dapat di lihat pada tabel di bawah ini :

16

Corporate Social Responsibility (CSR) Mewujudkan Pemberdayaan Masyarakat

(Dewi Wahyuni)

Tabel 1
JUMLAH PENERIMA BEASISWA PT. ULTRAJAYA MILK INDUSTRY TAHUN 2001 S.D TAHUN 2007
NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. TAHUN 2001 2002 2003 2004 2005 2006 JUMLAH PENERIMA BEASISWA 47 Orang siswa 116 Orang siswa 158 Orang siswa 192 Orang siswa 230 Orang siswa 278 Orang siswa KELAS (Jumlah Siswa) 1 (25 orang) 2 (22 orang) 1 (62 orang) 2 (32 orang) 3 (20 orang) 1 (53 orang) 2(32 orang) 1 (80 orang) 2 (51 orang) 3 (61 orang) 1( 98 orang) 2 (80 orang) 3 (52 orang) 1 (104 orang) 2 (97 orang) 3 (77 orang) BESAR BEASISWA RATA-RATA PER BULAN Rp. 63.696,00 Rp. 66.295,00 Rp. 73.508,00 Rp. 76.174,00 Rp. 83.560,00 Rp. 95.875,00

Sumber : PT. Ultrajaya Milk Industry, 2006

Penerima beasiswa tersebut tersebar di berbagai SLTP di wilayah Ngamprah, Cimahi dan Padalarang. Beasiswa diberikan langsung kepada pihak sekolah dengan terlebih dahulu pihak perusahaan meminta pihak sekolah untuk merinci kebutuhan pendidikan siswa selama setahun. Pemberian bantuan bea siswa meliputi: Dana Sumbangan Pendidikan (DSP), Dana BP3, seragam sekolah & pramuka sampai pada buku LKS (Lembar Kerja Siswa dan alat tulis termasuk dana untuk karya wisata. Jadi beasiswa yang diberikan tidak diterima langsung oleh orang tua siswa, namun langsung diserahkan kepada pihak sekolah sesuai dengan kebutuhan siswa selama setahun. Besarnya dana yang dikeluarkan perusahaan untuk setiap bulannya akan berbeda. Pengeluaran dana terbesar terjadi saat penerimaan siswa baru di SLTP, karena penerima beasiswa yang masuk di kelas 1 harus membayar Dana Sumbangan Pendidikan (DSP) yang besarannya bervariasi tergantung pada kebijakan sekolah. Apabila dihitung rata-rata, dana yang dikeluarkan untuk setiap siswa pada tahun 2007 sebesar Rp. 95.875,00. Di bidang pendidikan keagamaan, pada setiap Bulan Ramadhan, semua penerima beasiswa diundang untuk buka puasa dan Sholat Tarawih bersama sekaligus di isi dengan ceramah pembinaan rohani oleh perusahaan.

Setiap akhir semester dan kenaikan kelas diselenggarakan acara silaturahmi antara penerima beasiswa bersama orang tua siswa, guru dan perwakilan manajemen PT. Ultrajaya sekaligus dilakukan evaluasi dan memantau kemajuan proses belajar siswa. Perusahaan tidak menutup kemungkinan memberikan beasiswa lanjutan kepada siswa lulusan terbaik penerima beasiswa PT. Ultrjaya yang ternyata lulus Ujian Akhir Nasional (UAN) dan diterima disekolah Negeri favorit. C. Bantuan Sosial Lain

Bentuk kepedulian lain yang dapat dikategorikan sebagai kepedulian Perusahaan terhadap masyarakat disekelingnya adalah berupa : a. Bantuan yang sifatnya rutin : Pemberian bantuan rutin tahunan berupa iuran desa pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa baik Desa Cimareme maupun Desa Gadobangkong. Bantuan rutin keamanan kepada aparat Desa dan RW sekitar perusahaan. Bantuan partisipasi kerja bhakti lingkungan maupun desa setempat.

17

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 11-20

Pemberian kesempatan kepada desa setempat membeli barangbarang sisa pembungkus untuk selanjutnya dijual kembali kepada yang membutuhkan. Pemberian bantuan berupa infaq maupun sodakoh kepada masyarakat tidak mampu di sekitar perusahaan, terutama pada hari Raya Idul Fitri dan hari-hari besar Islam lainnya.

Gunung Halu, Cililin. Namun semuanya belum dilaksanakan karena tidak ada investor yang tertarik. Kegiatan yang dilaksanakan PT. Ultrajaya Milk Industry sudah mencerminkan pelaksanaan konsep CSR, seperti pemberian air kepada masyarakat secara cuma-cuma. Suatu kegiatan dikatakan sebagai pelaksanaan CSR apabila kegiatan yang dilaksanakan berkelanjutan dan benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Penulis memandang bahwa pemberian air kepada masyarakat sekitar perusahaan adalah wujud kepedulian perusahaan pada masyarakat sekitar. Masyarakat sekitar memang sangat memerlukan air untuk kelangsungan hidupnya, karena sumur mereka sedikit sekali bisa mengeluarkan air bahkan ada yang sama sekali tidak mengeluarkan air. Warga masyarakat di sekitar perusahaanpun sangat merasakan manfaat bantuan air bersih dari perusahaan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh kepala desa, tokoh masyarakat dan warga masyarakat ketika dilakukan wawancara dengan mereka. Pemberian air dari perusahaan kepada masyarakat sifatnya berkelanjutan, karena tanpa air yang diberikan oleh perusahaan, kehidupan warga sekitar akan sangat berat. Sebaliknya warga masyarakatpun sangat bertanggung jawab untuk memelihara dan memanfaatkan air yang disalurkan perusahaan. Mereka membentuk pengelola pada tingkat RW dan melakukan swadaya untuk pengadaan paralon agar air sampai ke warga. Manfaat bantuan air bersih dari perusahaan akan dirasakan menurun oleh masyarakat apabila ada kerusakan pada pipa induk di perusahaan dan ini akan segera dapat diatasi apabila warga melapor dan perusahaan memperbaikinya. Selain itu, kegiatan pemberian beasiswa kepada anak dari keluarga tidak mampu yang tinggal di sekitar perusahaan merupakan bentuk pemberdayaan sebagai pelaksanaan dari konsep CSR. Artinya kehadiran PT. Ultrajaya Milk Industry mampu memberikan nilai tambah bagi kemajuan pendidikan di sekitar perusahaan. Penulis memandang pemberian beasiswa tersebut adalah bentuk pemberdayaan. Pada hakikatnya pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses yang berisi serangkaian kegiatan untuk memberikan sebagian kekuatan

b.

Bantuan yang sifatnya insidental, meliputi: Bantuan peralatan 2 Set komputer lengkap kepada Desa Cimareme dan Desa Gadobangkong. Bantuan pengerasan dan pengaspalan jalan desa di Kampung Sindangsari yang menghubungkan Jalan Raya Cimareme ke jalan desa di Kampung Bunisari, Desa Gadobangkong sepanjang 500 meter. Pemberian pinjaman 1 (satu) bangunan rumah tinggal karyawan untuk digunakan sebagai gedung Kantor dan Posyandu RW 06 Desa Cimareme. Pemberian bantuan perbaikan/ renovasi bangunan tempat-tempat ibadah di sekitar perusahaan.

Bentuk pemberdayaan yang masih direncanakan untuk dilaksanakan adalah pemberdayaan di bidang ekonomi. Kegiatan yang akan dilaksanakan dikaitkan dengan kegiatan perusahaan yang bergerak di bidang makanan dan minuman. Perusahaan berupaya untuk memanfaatkan lahan kosong milik perusahaan di Desa Gadobangkong untuk istal/ kandang koloni ternak sapi perah yang berorientasi mandiri dengan menyerap tenaga calon peternak dari warga setempat yang berminat dan belum memiliki pekerjaan tetap. Lahan untuk kandang ternak disediakan oleh PT Ultrajaya. Kesulitan saat ini menyediakan lahan untuk menanam pakan ternak berupa rumput hijau. Sudah dilakukan penjajagan ke daerah Cijapati Desa Bojong Kecamatan Nagreg, Perkebunan Cisadea, Cigombong perbatasan Cianjur dan

18

Corporate Social Responsibility (CSR) Mewujudkan Pemberdayaan Masyarakat

(Dewi Wahyuni)

dan kemampuan agar individu menjadi lebih berdaya. Jadi pemberdayaan merupakan upaya berkesinambungan untuk meningkatkan daya yang ada. Dengan beasiswa yang diberikan, keluarga yang semula tidak mampu membiayai sekolah anaknya menjadi mampu menyekolahkan anaknya. Melalui pendidikan juga diharapkan dapat menjadi bekal bagi anak untuk merubah masa depannya menjadi lebih baik, sehingga anak dapat menolong dirinya sendiri di masa yang akan datang. Pada dasarnya pendidikan merupakan investasi manusia (human invesment) yang hasilnya baru akan dinikmati setelah melalui proses. Prasyarat diperolehnya beasiswa adalah anak dari keluarga tidak mampu yang tinggal di sekitar perusahaan tanpa melihat anak tersebut berprestasi atau tidak di sekolahnya. Hal ini menarik untuk ditelaah karena keluarga yang tidak berdaya memiliki banyak keterbatasan untuk menjadikan anaknya seorang yang berprestasi. Apabila ukuran anak yang berprestasi menjadi salah satu prasyarat untuk mendapatkan beasiswa, maka anak dari keluarga tidak mampu di sekitar perusahaan tidak akan pernah mendapat kesempatan. Dengan demikian, bantuan yang diberikan PT. Ultrajaya Milk Industry sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan merupakan pemberdayaan masyarakat sebagai pelaksanaan dari konsep CSR. Pemberdayaan masyarakat menjadikan masyarakat sekitar perusahaan dapat mengaktualisasikan dirinya dan memahami keberadaannya sebagai elemen penting dari perusahaan. Interaksi masyarakat dengan perusahaan akan harmonis, apabila perusahaan mampu memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar perusahaan, sehingga tercipta modal sosial (social capital) di lingkungan perusahaan. Kepedulian PT. Ultrajaya Milk Industry dalam menyisihkan dananya untuk pemberdayaan masyarakat bukan sesuatu yang dipaksakan melainkan justru menjadi kebutuhan perusahaan agar memberikan manfaat sekecil apapun bagi masyarakat di sekitar perusahaan.

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


A. Kesimpulan CSR dalam berbagai manifestasinya penting dilaksanakan mengingat sebagian besar masyarakat masih hidup dalam kondisi serba kekurangan. Sudah saatnya CSR yang sekarang masih bersifat kesukarelaan berubah menjadi suatu keharusan untuk dilaksanakan oleh perusahaan. Hal ini disebabkan masalah sosial di masyarakat khususnya yang berkaitan dengan kondisi sosial dan ekonomi sudah sangat berat, sehingga pemerintah tidak sanggup lagi menanggungnya sendiri. Kegiatan yang dilaksanakan PT. Ultrajaya Milk Industry merupakan kegiatan CSR untuk memberdayakan masyarakat di sekitar perusahaan. Wujud nyatanya berupa pemberian air bersih secara cuma-cuma kepada masyarakat dan pemberian bea siswa bagi anak dari keluarga tidak mampu di sekitar perusahaan. Suatu kegiatan dapat dikatakan sebagai kegiatan CSR, apabila kegiatan yang dilakukan lebih menekankan pada prinsip keberlanjutan sesuai dengan kebutuhan masyarakat di sekitar perusahaan dan kegiatan tersebut dapat memberikan nilai tambah pada masyarakat, terutama untuk warga yang tidak mampu. Kenyataannya yang dilaksanakan perusahaan adalah pemberian air bersih dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan dapat menumbuhkan pemberdayaan masyarakat dengan mengelola air bersih secara swadaya. Selain itu, pemberian beasiswa kepada anak dari keluarga tidak mampu di sekitar perusahaan adalah bentuk pemberdayaan. Mengingat pemberdayaan itu sendiri dapat dimaknai sebagai suatu proses yang manfaatnya baru akan dirasakan di masa yang akan datang. B. Rekomendasi

Terdapat beberapa rekomendasi agar pemberdayaan masyarakat sebagai perwujudan konsep CSR di PT. Ultrajaya Milk Industry dapat mencapai hasil yang maksimal, antara lain :

19

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 11-20

1.

PT. Ultrajaya Milk Industry perlu lebih meningkatkan kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Bandung, Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Kabupaten Bandung serta masyarakat di sekitar perusahaan untuk mewujudkan pemberdayaan ekonomi warga sekitar yang sampai saat ini belum terwujud.

2.

Apabila pemberdayaan masyarakat di PT. Ultrajaya Milk Industry meningkat, kiranya perlu dipikirkan untuk bekerja sama dengan organisasi sosial setempat, bahkan perlu dipikirkan untuk membentuk unit khusus sebagai pelaksana CSR yang berisi tenaga profesional tidak bersatu dengan manajemen seperti yang dilaksanakan selama ini.

DAFTAR PUSTAKA
Dubois, B dan Milley K. 1992. Social Work An Empowering Profession. Boston: Allyn and Bacon. Kartasasmita, Ginanjar. 1996. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: Dides. Majalah SWAsembada. Perusahaan-perusahaan Dermawan, 19 Desember 2005 11 Januari 2006. Nasution. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Nuryana, Muman. 2005. Sumber Dana Sosial dari Corporate Social Responsibility Perusahaan (Isu-isu Tematik Pembangunan Sosial Konsepsi dan Strategi). Jakarta: Balatbangsos. Payne, Malcolm. 1997. Modern Social Work Theory, Second Edition. London: MacMillan Press. London. PT. Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk. 2005. Profil Perseroan Company Profile. Pranarka, A.M.W dan Moeljarto, Vindyandika. 1994. Pemberdayaan, Konsep Kebijakan dan Implementasinya. Jakarta: Center For Strategic and International Studies. Purnama, Asep Sasa. 2005. Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial. (Investasi Sosial). Jakarta: La Tofi Enterprise. Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama. Suharto, Edi. 2007. Pekerjaan Sosial di Dunia Industri. Bandung: Refika Aditama. Pambudi, Teguh Sri. 2005. CSR Sebuah Keharusan (Investasi Sosial). Jakarta: La Tofi Enterprise. Wahyuni, Dewi. 2006. Konsep dan Praktik Pengembangan Masyarakat. Bandung: BBPPKS.

BIODATA PENULIS : Dewi Wahyuni, Menyelesaikan pendidikan S1 di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung tahun 1992 dan pada tahun 2005 menyelesaikan pendidikan Magister Profesional Pengembangan Masyarakat di Institut Pertanian Bogor (IPB). Saat ini menjabat widyaiswara di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Bandung.

20

KEMISKINAN DAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH


Studi Kasus di Lereng Gunung Merapi, Magelang, Jawa Tengah
Toton Witono ABSTRAK
Penelitian ini menggali pelaksanaan otonomi daerah di tingkat bawah dan mengungkap perannya dalam pengentasan kemiskinan dan pelestarian lingkungan melalui kasus penambangan pasir di kawasan Gunung Merapi. Dengan pendekatan induktif, teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu: (i) mengkaji dokumen terkait; (ii) mewawancarai berbagai pihak; dan (iii) mengobservasi kegiatan penambangan, kehidupan para penambang, dan kondisi lingkungan. Hasil kajian eksploratori ini menunjukkan pelaksanaan otonomi daerah tingkat desa sangat bergantung pada pemerintah kabupaten. Dominasi tingkat atas dan ketergantungan desa masih sangat kentara. Di samping itu, otonomi daerah tidak banyak menghasilkan kebijakan-kebijakan yang dapat berperan mengentaskan kemiskinan dan menjaga kelestarian lingkungan bagi aktivitas penambangan pasir Merapi. Kebijakan yang ada cenderung berorientasi pendapatan daerah tanpa mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Kebijakan tersebut lebih memihak pada kaum pemodal (para pengusaha) dan memarginalkan penambang manual. Sistem penambangan rakyat lebih tepat untuk mengentaskan kemiskinan dan dengan pengawasan ketat demi menghindari kerusakan lingkungan.

Kata kunci : otonomi daerah, kemiskinan, dan lingkungan

I.

PENDAHULUAN

Banyak kalangan menilai kebijakan otonomi daerah (Otda) adalah semacam kompensasi ketakpuasan orang-orang daerah akibat sistem pemerintahan sentralistik (Huda, 2004). Krisis ekonomi tahun 1997 memicu berbagai tuntutan daerah untuk mendapatkan kekuasaan atau kewenangan lebih besar mengurus dan menyelesaikan masalahmasalah mereka sendiri dan pembagian keuntungan hasil eksploitasi sumber daya alam (Ismawan, 2002; McCharty, 2004). Atas dasar itu, diterbitkanlah Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua UU ini menjadi pijakan pelaksanaan kebijakan desentralisasi. Tahun 2004, UU No. 22/1999 direvisi menjadi UU No. 32/2004 dengan beberapa perubahan signifikan. Pada kenyataannya, efektivitas pelaksanaan kebijakan Otda ini belum mampu menyelesaikan masalah. Otda menciptakan kesenjangan ekonomi antar daerah yang sebagian disebabkan oleh perbedaan kekayaan sumber daya alamnya. Setelah krisis

ekonomi, pertumbuhan ekonomi juga tidak berdaya menurunkan angka pengangguran. Sebagai ilustrasi, angka pengangguran tahun 1994 hanya 3,2%. Satu dekade kemudian, tahun 2004, persentasenya meningkat hingga 10,3% (Usman, 2004; Maryatmo, 2005). Di samping itu, dalam hal pengentasan kemiskinan kontribusi Otda masih dipertanyakan. Alih-alih mengakomodasi aspirasi dan partisipasi rakyat dalam pembangunan, Otda telah menjadi alat pemuas kepentingan elit lokal dan para pemodal. Pemerintah daerah (Pemda) bahkan berlomba-lomba mengeruk kekayaan alam untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan kondisi lingkungan dan ekonomi masyarakat bawah (Ismawan, 2002; Setiaji, 2004). Dengan latar belakang seperti ini, usaha pelestarian lingkungan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat masih jauh dari harapan. Penelitian tentang tema ini pada intinya bertujuan untuk: (i) mengetahui bagaimana implementasi konsep Otda di tingkat pemerintahan paling bawah; (ii) memahami peran Otda dalam mengentaskan kemiskinan dan menjaga kelestarian lingkungan; dan (iii)

21

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 21-32

mengetahui pola hubungan antara kemiskinan dan lingkungan dalam kasus komunitas penambang pasir di lereng Merapi. Pada akhirnya, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi perbaikan kebijakan Otda yang sarat akan utopis pengentasan kemiskinan dan sustainabilitas ekologi.

Akibatnya, karena ketiadaan izin tersebut, pekerjaan mereka dikatakan sebagai penambangan liar. Deposit pasir ditambang tidak hanya dari sungai (riverbank), tetapi juga dari tebing sungai, hutan, dan tanah pertanian. Di samping mengancam nyawa para penambang itu sendiri ketika mereka menambang, seperti ancaman longsoran tebing dan aliran lahar atau awan panas ketika Merapi aktif, penambangan tersebut juga menimbulkan kerusakan lingkungan yang luas, di antaranya penggundulan hutan (deforestasi), pengupasan tanah/soil di lahan hutan dan pertanian (land clearing), dan pengurangan suplai air bagi pertanian dan wilayah lereng bawah. Berangkat dari gambaran di atas, rumusan masalah (research question) penelitian ini adalah: Kebijakan otonomi daerah berperan dalam melahirkan kesenjangan aktivitas penambangan pasir di wilayah Gunung Merapi. Perumusan ini dikaitkan dengan kegagalan pengentasan kemiskinan dan pelestarian lingkungan dimana ruh kebijakan Otda di tingkat bawah dieksplorasi untuk mendapatkan kerangka bagi kebijakan pengelolaan tambang pasir, khususnya yang terkait dengan masalah kemiskinan dan lingkungan.

II. DESKRIPSI MASALAH


Kawasan Merapi memiliki kandungan sumber daya alam melimpah. Salah satunya adalah tambang pasir. Akan tetapi, kemakmuran penduduk yang mendiaminya sulit terwujud dan kondisi ekologinya pun semakin terancam. Dalam kasus aktivitas penambangan di lereng Gunung Merapi, Otda diuji dari sisi peluang dan tantangan dalam pemberantasan kemiskinan dan upaya pelestarian lingkungan. Aktivitas penambangan pasir berada di sepanjang sungai-sungai yang berhulu di puncak Merapi. Material volkanik hasil erupsi Merapi dimuntahkan dan dialirkan sepanjang sungai-sungai di lereng Merapi. Sudah sejak lama material pasir dan batu ditambang secara manual oleh penduduk lokal maupun pendatang. Mereka disebut penambang tradisional. Sejak awal tahun 1990-an, alat berat seperti backhoe (dalam bahasa lokal disebut bego) dan excavator mulai digunakan untuk mengeruk pasir dan batu dalam skala besar. Eksploitasi dengan teknologi berat ini dilegalkan oleh pemerintah provinsi Jawa Tengah dengan maksud mengatur aktivitas penambangan dan memperoleh pemasukan dana bagi provinsi. Selanjutnya, terkait dengan pelaksanaan kebijakan Otda (UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999), kewenangan pengelolaan Bahan Galian Golongan C (BGGC) diserahkan ke Pemda kabupaten dan kota. Bahan tambang pasir dan batu termasuk dalam BGGC. Baik regulasi penambangan pasir Merapi yang dibuat pemerintah provinsi maupun Pemda berdasarkan kebijakan Otda ternyata tidak jauh berbeda. Regulasi tesebut, pada intinya, mengharuskan setiap kegiatan penambangan memiliki izin dari pemerintah. Namanya Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD). Sementara ada ribuan penambang tradisional yang menggantungkan hidupnya pada pekerjaan menambang ini, kebanyakan dari mereka tidak mampu memiliki SIPD karena satu dan lain hal.

III. DAERAH PENELITIAN


Penelitian ini dilakukan pada paruh awal tahun 2005 di kawasan Gunung Merapi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Kabupaten Magelang terdiri dari 21 kecamatan. Tiga di antaranya berada di lereng baratdaya-selatan Gunung Merapi, yakni Srumbung, Dukun, dan Sawangan. Srumbung berada di lereng baratdaya. Kecamatan ini memiliki luas wilayah 53,18 km2 dan 17 desa dengan ketinggian rata-rata 501 m di atas permukaan laut. Daerah penelitian mencakup tujuh desa di Kecamatan Srumbung: Kaliurang, Kemiren, Ngablak, Ngargosuko, Mranggen, Tegalrandu, dan Sudimoro. Alasan pemilihan daerah penelitian adalah karena ketujuh desa tersebut dilewati lima dari 13 sungai yang ada di lereng Merapi dimana endapan pasir volkanik sangat potensial ditambang. Kelima sungai tersebut yaitu Kali Blongkeng, Putih, Batang, Bebeng,

22

Kemiskinan dan Lingkungan dalam Kerangka Otonomi Daerah

(Toton Witono)

dan Krasak. Di lima sungai ini pula aktivitas penambangan pasir masih intensif dilakukan baik oleh perusahaan tambang maupun para penambang manual dan penduduk lokal kondisi kualitas hidup yang kurang baik.

IV. METODE PENELITIAN


Metode induktif digunakan untuk mengeksplorasi penerapan kebijakan Otda kaitannya dengan isu kemiskinan dan lingkungan di wilayah Merapi, karena literatur tentang tema ini belum kuat untuk menjawab rumusan masalah penelitian ini (Friedman, 1998). Alasan lain adalah bahwa peneliti memiliki keterbatasan pemahaman akan masalah yang dikaji (Marlow, 2001; Singleton dan Straits, 1999). Rumusan masalah penelitian ini menggunakan kerangka process question, yang secara eksplisit tidak perlu ada variabel yang akan diobservasi untuk kemudian diuji ada tidaknya hubungan kausalitas antar variabel (Maxwell, 1996). Dengan demikian, penelitian ini menggunakan kajian eksploratori (exploratory study). Strategi penelitian yang dipakai berupa studi kasus (case study). Gambaran tentang pelaksanaan Otda di tingkat bawah diperoleh dari tujuh desa wilayah penelitian. Informasi ini diperlukan sebagai konteks dimana kegiatan penambangan pasir berada. Kegiatan penambangan di lereng Merapi sejak awal sampai penelitian ini berjalan ditelusuri untuk memahami berbagai konsekuensi penerapan Otda terhadap kondisi lingkungan dan ekonomi penduduk lokal. Terakhir, pola hubungan antara kemiskinan dan lingkungan dalam kasus ini juga dianalisis. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah kajian literatur, interview, dan observasi lapangan. Teknik ini digunakan untuk memperoleh pemahaman yang baik tentang fenomena yang diteliti. Penggunaan teknik dan instrumen yang berbeda dalam penelitian kualitatif dinamakan triangulasi (interdisciplinary triangulation) yang bertujuan untuk validasi data. Data atau berbagai penemuan diperoleh melalui penggunaan dua sampai tiga teknik atau pendekatan berbeda yang tidak punya kelemahaman serupa secara metodologis (Singleton dan Straits, 1999; Janesick, 2003; Denzin dan Lincoln, 2003).

Kajian literatur pertama sekali dilakukan dalam rangka memahami konsep Otda dan berbagai kebijakan menyangkut pengelolaan sumber daya alam secara umum. Berbagai dokumen yang relevan, semacam perundangundangan, lembar kebijakan (peraturan atau keputusan), arsip, draft, dan lain-lain, juga dimanfaatkan semaksimal mungkin. Wawancara open-ended dilaksanakan untuk lima kategori informan kunci: tiga pejabat pemerintah daerah Magelang; sepuluh elit lokal (enam kepala desa dan empat ketua atau anggota Badan Perwakilan Desa); enam pengurus organisasi setempat; tiga aktivis lembaga non-pemerintah; dan tujuh pekerja/ buruh yang terkait dengan kegiatan penambangan pasir. Wawancara mendalam (in-depth interview) dijabarkan dari pedoman wawancara yang telah tersusun (interview guide) untuk mengembangkan diskusi dan mengecek/ membandingkan data yang telah diperoleh dari satu sumber ke sumber lain sebagai bagian dari proses analisis hasil pengumpulan data (Ezzy, 2002). Hal ini dimaksudkan sebagai tes validitas dan reliabilitas data. Meskipun demikian, informasi atau pandangan satu informan tidak secara eksplisit dikonfrontasikan dengan informan lain. Ketika membandingkan suatu data, anonimitas informan tetap dijaga demi mengeliminasi segala kemungkinan resiko baik bagi informan maupun peneliti (Punch, 1994; Babbie, 1998; Rubin dan Babbie, 2001). Karena in-depth interview dilakukan terhadap beberapa kategori informan yang berbeda, otomatis dijumpai komentar dan/atau pandangan yang berbeda-beda, meskipun tema masalah yang diwawancarakan sama. Pada tahap ini, peneliti menggunakan kristalisasi ketimbang triangulasi. Kristalisasi adalah satu istilah yang dipakai Richardson untuk merujuk ke satu desain penelitian yang relatif baru yang muncul dalam konteks Posmodern. Konsep ini mengibaratkan subjek penelitian seperti layaknya citra (image) kristal yang memiliki warna dan struktur yang memantulkan keindahan internal dan akan menampakkan citra yang berbeda-beda tergantung dari sisi mana dilihat (angle). Segala kenampakan kristal dari berbagai arah tersebut adalah relevan. Dengan kristalisasi, akan diperoleh pemahaman tentang topik tertentu secara mendalam, kompleks, dan

23

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 21-32

tajam. Kita tahu lebih, akan tetapi kita meragukan apa yang kita tahu (Richardson, 1994: 522). Dengan demikian, pandangan, perspektif, dan tanggapan yang berbeda-beda tentang tema yang sama diakomodasi dalam penelitian ini. Dengan kata lain, penelitian ini menampung suara dari berbagai informan yang berbeda dari segi kelas sosial, status, atau profesi. Observasi lapangan dilaksanakan untuk mendapatkan data tentang aktivitas penambangan pasir di wilayah penelitian. Selaku pengamat murni (complete observer), peneliti membuat catatan yang menggambarkan kegiatan penambangan yang dilakukan para penambang manual dan kondisi hidup keseharian mereka dan juga kondisi lokasi penambangan (Rubin dan Babbie, 2001).

Merapi membuat para penambang manual dikategorikan sebagai penambang liar (Anonim, 2000). Hal ini karena mereka tidak mengantongi izin menambang (SIPD) karena ketakmampuan finansial dalam memenuhi persyaratan yang terkait dengan uang. Karena hidup mereka bergantung pada kegiatan ini, mereka terpaksa menambang secara ilegal. Sampai era Reformasi berjalan, status mereka tetap sebagai penambang liar di bawah peraturan daerah (Perda) No. 23/2001 karena alasan yang sama, yakni masalah finansial. Bahkan, ketika Bupati Magelang mengeluarkan Keputusan No. 19/2004 untuk menghentikan kegiatan penambangan di lima sungai di akhir 2004, mereka masih melakukan aktivitas penambangan seperti biasa. Di samping ketiadaan modal, izin prinsip dari Bupati, sebagai rekomendasi yang sangat menentukan di tahap awal memperoleh SIPD, bisa menjadi alasan lain mengapa mereka tidak mampu mengantongi izin. Kebanyakan penambang manual adalah buta huruf dan tidak paham akan prosedur birokratis. Keluarnya izin prinsip menjadi sangat bergantung pada kehendak Bupati. Ini bisa jadi karena didorong oleh kenyataan bahwa usaha penambangan yang berstatus badan hukum (perusahaan tambang) dapat memberi kontribusi pendapatan daerah yang jauh lebih besar dibanding para penambang tradisional. Kenaikan PAD dari sektor tambang inilah yang tampaknya menjadi motif utama diterbitkannya Perda pengelolaan penambangan pasir. Jumlah penambang pasir selalu berubah dan tidak pasti. Satu sumber mengestimasi sekitar 1500 penambang manual di tahun 1995, 3000 orang pada 1998, dan 4370 penambang pada 2001. Sumber lain, sebagaimana dilaporkan Kompas, mencatat ada 4000-an penambang. Sebagian besar masuk dalam keanggotaan Paguyuban Gotong Royong (GORO), sebuah organisasi berpengaruh yang terkait dekat dengan aktivitas penambangan pasir di Kabupaten Magelang (Kompas, 16 Februari 2005). Lokasi tambang atau bekas tambang tersebar di banyak tempat, terutama di lahan hutan di lereng Gunung Merapi. Endapan pasir dikeruk dimana-mana oleh para penambang manual secara berkelompok tiga sampai lima orang. Para pengeruk dan pengumpul pasir ini

V.
A.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Penambangan Pasir di Merapi

Ada 13 atau 14 sungai di lereng Merapi yang sangat potensial mengandung endapan pasir. Akan tetapi, sebagian besar pasir volkanik dialirkan ke sungai-sungai di lereng selatan hingga barat puncak Gunung Merapi, yaitu Pabelan (Trising and Senowo), Lamat, Blongkeng, Putih, Batang, Bebeng, dan Krasak yang terletak di Kabupaten Magelang. Di antara sungai-sungai tersebut, Pabelan/ Senowo, Lamat, Putih, dan Bebeng paling intensif ditambang. Sejarahnya, para penambang manual telah jauh memulai pekerjaannya sejak dekade 1980-an. Kegiatan penambangan ini masih bebas dilakukan dan semakin menjadi sumber penghidupan bagi penduduk lokal Merapi maupun bagi para pendatang dari sekitar Magelang, Temanggung, Wonosobo, Semarang, Salatiga, dan wilayah lain di provinsi Jawa Tengah. Di awal tahun 1990-an, alat-alat berat mulai digunakan untuk menambang pasir dan mulai menggeser aktivitas para penambang tradisional. Sejak saat itu, deposit pasir di kawasan Merapi secara masif dieksploitasi baik secara manual maupun dengan teknologi modern. Pemberlakuan peraturan pemerintah provinsi Jawa Tengah No. 6 tahun 1994 tentang manajemen penambangan pasir di lereng

24

Kemiskinan dan Lingkungan dalam Kerangka Otonomi Daerah

(Toton Witono)

dalam bahasa keseharian mereka disebut pengepul. Sedimen pasir volkanik ditambang dengan tiga cara: menggali lahan/tanah; mengepras tebing sungai atau bukit; dan menambang bukit. Teknik pertama dilakukan untuk menambang deposit pasir di lahan hutan atau pertanian dengan cara menghilangkan lapisan soilnya (land clearing) dimana pohon dan semak-belukar ditebang dan disingkirkan terlebih dahulu. Penggalian deposit pasir dengan metode ini hingga sedalam 1-2 m. Penggalian dilakukan di sembarang lahan secara ekstensif, sehingga deforestasi juga menjadi intensif dan lubang-lubang bekas galian dibiarkan dimana-mana. Cara kedua adalah dengan cara menggali tebing sungai atau bukit. Cara penggalian seperti ini menyisakan lubang-lubang horisontal dan bukit-bukit kecil yang curam dan labil. Kondisi macam ini sangat mengancam keselamatan para penambang karena bukit-bukit tersebut bisa runtuh setiap saat. Cara terakhir adalah dengan menggali pasir dari atas bukit pada ketinggian tertentu dan hasil galian dijatuhkan ke kaki bukit. Cara penambangan seperti ini juga sangat membahayakan karena tebing bukit mudah longsor. B. Penambangan Pasir dalam Kerangka Otonomi Daerah

memegang peran kunci. Peran tersebut di antaranya meliputi rekomendasi boleh-tidaknya suatu perusahaan menambang pasir beserta dana sumbangan dari pemberian rekomendasi tersebut, kompensasi tanah melalui kontrak, dan retribusi. Kemudian, pada level pusat, kewenangan pemerintah dalam hal konservasi kawasan telah digunakan untuk mengubah status Merapi menjadi Taman Nasional. Kewenangan ini juga masih harus melibatkan penduduk lokal dalam proses pembuatan kebijakan. Di sini, institusiinstitusi demokratis tingkat desa diharuskan dapat menampung aspirasi dan harapan orang-orang desa. Penerapan kebijakan desentralisasi di tingkat bawah terutama tercermin pada kewenangan desa untuk membuat Perdes yang menampung segala peraturan, cita-cita dan kepentingan masyarakat, dan keuangan desa (Perda No. 1/2000). Kemudian, pendapatan desa, APBDesa, dan kerjasama antar desa diatur dalam Perdes; dan aktor dari pembuatan Perdes ini adalah BPD dengan melibatkan eksekutif desa dan masyarakat (Perda No. 10/ 2000). Pada kenyataannya, secara garis besar pembuatan Perdes di kebanyakan desa di kecamatan Srumbung terlalu didominasi oleh eksekutif dan legislatif desa dan dikendalikan kabupaten. Sebagai contoh, Perdes seputar APBDesa yang akan ditetapkan telah ditentukan atau harus sesuai dengan kehendak Bupati melalui keputusan-keputusannya. Dengan begitu, tidak berlebihan apabila apa yang disebut Dwipayana dan Eko (2003: xi) sebagai formalisasi politik desa atau oleh Dwipayana et al. (2003a: 96) disebut formalisme demokratik di desa telah terbukti adanya. Hal yang sama terjadi pada institusi BPD. Secara umum, badan ini belum mampu mendorong demokratisasi tingkat desa karena tidak muncul dari bawah, tetapi dari atas. Hal ini terjadi karena BPD berposisi sebagai sebuah institusi formal-korporatif di tingkat desa (Dwipayana et al., 2003b). Ada beberapa sumber bagi pendapatan desa. Sumber pertama adalah tanah Bengkok. Keputusan Bupati No. 188.4/353/KEP/06/ 2001 secara khusus merujuk ke peralihan kepemilikan atau pemanfaatan Bengkok sebagai sumber pendapatan desa, meskipun tidak mencukupi atau tidak memadai sebagai

Dalam kegiatan penambangan pasir terkait dengan isu kesejahteraan sosial dan kelestarian lingkungan, kebijakan Otda dilihat dan diuji pada tiga tingkatan pemerintahan: pemerintah desa, Pemda, dan pemerintah pusat. Secara keseluruhan, kebijakan Otda memposisikan pemerintah dan/atau warga desa sebagai peran penentu di tingkatan daerah dan pusat. Pada tingkatan pemerintah desa, pelaksanaan Otda ditunjukkan oleh kehadiran beberapa elemen desa. Bentuk-bentuk pelaksanaannya berupa Perda dan Keputusan Bupati, peraturan desa (Perdes), Badan Perwakilan Desa (BPD), sumber pendapatan desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa), dan kerjasama antar desa. Di tingkatan daerah, salah satu bentuk kewenangan kabupaten yang berupa regulasi penambangan pasir melalui penerbitan SIPD memungkinkan pemerintah desa bisa

25

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 21-32

sumber pemasukan. Sumber pemasukan lain, sebagaimana diatur dalam Perda No. 3/2001, dapat diperoleh dari donasi berbagai sumber. Sebagian besar berasal dari beberapa perkumpulan atau perusahaaan yang terkait erat dengan aktivitas penambangan pasir. Sumber pemasukan tersebut berbentuk bantuan finansial dan barang, retribusi, kompensasi atau ganti rugi, dan dana komitmen. Sayangnya, sumbersumber pemasukan ini kurang punya kontribusi terhadap kondisi ekonomi penduduk lokal. Sumber pendapatan berikutnya adalah dana block grant yang diperoleh setiap tahun dari pemerintah kabupaten. Lebih jauh, desa-desa wilayah penelitian punya sektor penambangan yang sejatinya dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan sumber pemasukan yang sangat potensial. Akan tetapi, tidak ada pembagian secara proprosional dengan kabupaten. Kemudian, tidak ada Perda atau Keputusan Bupati yang mengatur pemanfaatan sektor tambang bagi desa. Dari semua sumber pemasukan tadi, tampaknya hanya block grant yang selama ini menjadi sumber pendapatan utama bagi desa. Sebagai sumber utama pemasukan desa, secara otomatis block grant juga menjadi satusatunya sumber bagi pembiayaan APBDesa (lihat Perda No. 6/2001) dimana anggaran belanjanya harus sesuai dengan apa yang telah digariskan Bupati melalui Keputusan No. 188.4/353/KEP/06/2001. Walaupun demikian, masih ada ruang bagi keterlibatan masyarakat dalam menentukan anggaran belanja umum. Dengan kondisi seperti ini, pemerintah kabupaten menciptakan ketergantungan desa dan tetap mendominasi desa. Dalam pandangan Sukasmanto (2004), block grant digunakan sebagai instrumen untuk mengontrol desa. Sebetulnya, ada beberapa kemungkinan bagi desa-desa yang bertetangga di lereng Merapi untuk melakukan kerjasama terkait dengan penambangan pasir, sejalan dengan Perda No. 7/2001 tentang kerjasama antar desa. Seperti telah dijelaskan, masyarakat desa dapat berperan sebagai faktor penentu dalam penerbitan SIPD berdasarkan Perda No. 23/ 2001. Dalam menerbitkan rekomendasi, yang diinginkan oleh perusahaan-perusahaan untuk menambang pasir yang terkandung di lebih dari satu wilayah desa, diperlukan adanya koordinasi antar kepala desa untuk memutuskan

layak-tidaknya rekomendasi diberikan kepada perusahaan yang mengajukan. Hal ini seharusnya dapat menjadi kesempatan untuk menaikkan posisi tawar desa dalam mendapatkan dana komitmen dari perusahaan tambang sekaligus posisi tawar di hadapan Bupati yang hendak mengeluarkan izin prinsip. Koordinasi antara desa juga penting untuk mengatur pembagian retribusi dan dana kompensasi dari dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas tambang. Sayang sekali, kenyataannya tidak ditemui adanya kerjasama antar desa. Hal ini setidaknya karena dua hal: tidak terakomodasi dalam kebijakan (Perda atau Keputusan Bupati); dan kurangnya inisiatif warga desa. Secara garis besar kebijakan daerah tentang SIPD hampir serupa dengan kebijakan provinsi sebelumnya. Keduanya sama-sama berorientasi pada peningkatan PAD yang cenderung memihak perusahaan-perusahaan tambang bermodal besar dan, akhirnya, mengkesampingkan para pekerja tambang manual. Dengan kata lain, mereka dimiskinkan oleh kedua kebijakan tersebut. Lebih buruk lagi, kondisi lingkungan kawasan Merapi menjadi terancam dan semakin parah karena eksploitasi besar-besaran dengan menggunakan alat-alat berat demi mengejar profit berlimpah. Para penambang manual ikut serta memperburuk kondisi ini dengan mengeruk onggokan pasir di sembarang tempat, seperti lahan hutan dan ladang. Meskipun demikian, para penambang manual tampaknya lebih sering menjadi kambing hitam bagi rusaknya lingkungan. Perubahan status Merapi menjadi Taman Nasional oleh pemerintah pusat sejalan dengan kewenangannya dalam mengatur konservasi kawasan. Akan tetapi, kebijakan ini menyisakan masalah berkaitan dengan proses pengambilan keputusan dan masih menjadi perdebatan pada tahap implementasi. Selama proses pembuatan kebijakan, pemerintah pusat tidak banyak melibatkan Pemda dan masyarakat selaku kelompok yang paling mengalami dampak langsung dari kebijakan tersebut (the most affected groups). Kalau demikian adanya, hal ini berarti bertentangan dengan UU No. 23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang harus melibatkan masyarakat luas. Di samping itu, masalah Merapi tampaknya hanya dilihat dari masalah hutan semata. Padahal, faktanya ada ribuan

26

Kemiskinan dan Lingkungan dalam Kerangka Otonomi Daerah

(Toton Witono)

warga negara yang secara ekonomi, sosial, dan kultural bergantung pada Merapi. Sebagai bukti, kegiatan penambangan pasir dan aspek mitigasi bencana akibat volkanisme Merapi tidak termasuk bahan pertimbangan dalam konsep Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Keputusan tentang Taman Nasional tersebut juga mengandung beberapa cacat karena kajian kelayakan lingkungan ternyata belum beres. Sehingga, lagi-lagi keputusan itu bertentangan dengan UU No. 41/1999 tentang pemanfaatan lahan dan hutan (Kompas, 26 Mei 2004). C. Kemiskinan dan Ketertindasan Para penambang manual asal luar Merapi sudah bertahun-tahun tinggal di lereng Gunung Merapi di gubug-gubug atau tempat tinggal sederhana secara berkelompok di sepanjang tebing sungai. Sebenarnya wilayah yang mereka tinggali termasuk zona terlarang dalam peta zonasi bahaya volkanik Merapi. Hidup dan harta benda mereka berada di bawah ancaman nyata Gunung Merapi, seperti awan panas (nue ardente atau Wedhus Gembel dalam bahasa lokal) dan aliran lahar baik ketika Merapi aktif maupun tidak. Singkatnya, mereka hidup dengan kondisi buruk karena kurang layaknya pemenuhan kebutuhan dasar manusia: tempat tinggal, sanitasi, kesehatan, pendidikan, lingkungan. Kondisi seperti itu disebut sebagai kemiskinan karena ketakmampuan mereka memenuhi standar hidup minimal (Cox, 1996). Meskipun telah bertahun-tahun tinggal di lereng Merapi, sebagian ada yang sudah belasan tahun, status kependudukan mereka masih dari daerah asal. Dengan demikian, pada satu sisi, mereka belum diakui sebagai penduduk desa dimana sekarang mereka tinggal. Di sisi yang lain, mereka dianggap tidak ada di daerah asal mereka. Keadaan ini membuat mereka hidup dengan pelayanan sosial yang sangat terbatas atau bahkan tidak ada, baik dari pemerintah pusat maupun daerah, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, atau pelayanan sosial lain. Paling jauh, dari sisi aspirasi politik, mereka baru dilibatkan oleh partai politik tertentu hanya ketika masa-masa kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) berlangsung untuk menambah perolehan suara. Keberadaan penambang manual beserta aktivitasnya di lereng Merapi tampaknya

didukung oleh GORO. Dengan kata lain, mereka berada di bawah otoritas dan patronase paguyuban ini. Selama ini, GORO sampai tahap tertentu menjadi semacam benteng bagi aktivitas penambangan pasir Merapi dari intervensi lembaga-lembaga nonpemerintah yang peduli akan masalah kemiskinan desa dan isu lingkungan. Sampai periode tertentu, paguyuban ini juga pernah memiliki hubungan khusus dengan pemodal besar dan elit pusat dalam rangka mengamankan bisnis penambangan di sana. Tidak mengherankan apabila organisasi ini sering dicitrai kurang baik dan keberadaannya ditentang baik oleh pejabat kabupaten maupun masyarakat luar lingkaran pengaruh GORO. Keadaan ini menyebabkan organisasi atau lembaga non-pemerintah enggan melakukan pemberdayaan penambang manual karena mereka diidentikan dengan GORO itu sendiri. Di samping itu, pemerintah daerah dan desa menjadi kurang peduli terhadap pelayanan sosial bagi mereka. Dengan demikian, keadaan ini dapat dikatakan sebagai ketiadaan pemberdayaan dan akses pelayanan sosial. Karena mayoritas penambang pasir berasal dari luar, penduduk desa lereng Merapi merasa keberatan dengan kegiatan penambangan tersebut. Alasannya adalah bahwa sementara kandungan sumber daya alam di tanah mereka dimanfaatkan orang lain, mereka lah yang harus menanggung dampak lingkungan dari eksploitasi tersebut. Kondisi macam ini cukup dilematis. Satu sisi, ini tentu saja tidak adil bagi penduduk Merapi, tetapi di sisi lain juga tidak adil kalau hanya penambang manual saja yang dipersalahkan. Alasannya, agen utama perusak lingkungan Merapi adalah mereka yang menggunakan alat-alat berat untuk mengeruk pasir Merapi, yang kebanyakan juga orang luar Merapi, di samping penduduk Merapi sendiri. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa komunitas pengumpul pasir lereng Merapi mengalami Kemiskinan multidimensional. Istilah ini merujuk ke suatu keadaan dimana dimensi politik, sosial, kultural, ekologi, sejarah, dan ekonomi telah tercerabut. Lebih jelasnya, para pengumpul pasir dikatakan miskin karena: ketiadaan akses terhadap pelayanan sosial, adanya penghalang sosial-kultural, kondisi kesehatan, sanitasi, dan pendidikan yang kurang baik serta berbagai keterbatasan lain,

27

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 21-32

tempat menambang dan tempat tinggal yang sangat beresiko terkena ancaman Merapi. Karena tidak ada pemberdayaan, mereka juga tidak memiliki representasi dan partisipasi sosialpolitik, dicap dengan berbagai anggapan buruk (prejudice dan stereotype), ketiadaan akses informasi dan teknologi (Snel, 2002). Dalam perspektif Hak Azasi Manusia (HAM), kemiskinan penambang manual lebih baik dipahami dengan cara bagaimana kemiskinan itu dialami dan dirasakan oleh si miskin itu sendiri, karena kemiskinan tiap orang berbeda tergantung waktu dan konteks. Oleh karena itu, inti permasalahannya bukan pada apakah mereka miskin atau tidak menurut standar kemiskinan tertentu. Akan tetapi, apabila kebutuhan dasar mereka tidak mampu terpenuhi, hak azasi mereka dilanggar, mereka dikatakan miskin. Keinginan dan kebutuhan tersebut kemudian ditransformasikan ke dalam hak-hak yang harus mereka perjuangkan oleh mereka sendiri (Goldewijk dan de GaayFortman, 1999: 90; Wahono, 2005). Secara keseluruhan, komunitas penambang manual mengalami berbagai bentuk penindasan atau diskriminasi di semua tingkatan: personal, kultural, dan struktural. Penindasan personal yang dimaksud adalah bahwa mereka dilabeli dengan penilaian negatif (negative prejudgement) oleh para elit lokal, pejabat pemerintah daerah, atau masyarakat kebanyakan. Mereka dianggap sebagai kelompok orang yang sulit diatur, tak terkontrol, dan pembangkang. Lebih jauh lagi, sebagai penambang liar, mereka juga sering dikambinghitamkan sebagai oknum kerusakan lingkungan yang ada di Merapi. Penindasan kultural yang mereka alami bahwa masyarakat umum mencurigai dan menganggap mereka sebagai orang-orang pelarian (karena melakukan tindak kriminal di kampung asalnya), orang-orang bermasalah, atau kaum miskin desa. Penindasan yang ketiga, karena tidak dilibatkan dalam institusi, proses, atau kegiatan sosial, mereka bisa dikatakan mengalami penindasan struktural. Selain itu, mereka juga dimarginalkan dan dimiskinkan karena kebijakan pemerintah di tingkat daerah (Mullaly, 2002: 49). Untuk memberantas penindasan yang dialami para penambang manual ini adalah melalui pemberdayaan sosial. Seperti konsep Paulo Freire, dengan memakai katakata Mayo, pemberdayaan tersebut bertujuan

untuk mencari sumber masalah mereka, mengeksplorasi kebutuhan mereka, dan menemukan strategi mereka sendiri (Adams, 2003:130). D. Pola Hubungan Kemiskinan dan Lingkungan

Setidaknya terdapat tiga pola atau bentuk hubungan kemiskinan (atau kaum miskin) dan lingkungan dalam kasus aktivitas penambangan di lereng Merapi. Pertama, kaum miskin (penambang tradisional) berperan sebagai agen kerusakan lingkungan. Kedua, mereka juga sekaligus menjadi korban bencana lingkungan karena harta-benda dan hidup mereka berada di bawah ancaman aktivitas volkanisme Gunung Merapi (Shyamsundar, 2002). Ketiga, lingkungan hidup yang di dalamnya terkandung sumber daya alam dapat dijadikan sebagai aset penting untuk mengentaskan kemiskinan. Kaitannya dengan penambangan pasir, lingkungan Merapi sedang terancam. Seperti telah dijelaskan, kerusakan lingkungan ditimbulkan oleh eksploitasi intensif penambangan modern, dan penambang manual memperburuk kondisi tersebut. Konsekuensi ekologisnya di antaranya adalah sebagai berikut: deforestasi, berkurangnya pasokan air bagi air permukaan maupun air bawah tanah daerah sekitar, rusaknya tebing dan dasar sungai yang natural, menumpuknya sisa/limbah penambangan pasir berupa blantak (batuan volkanik sisa pengayakan pasir yang berukuran kerikil dan kerakal), yang dapat mengganggu jalannya aliran lahar. Di samping kerusakan ekologi, para pengepul pasir juga terancam oleh bencana volkanik Merapi, seperti aliran dan lontaran piroklastik dan awan panas ketika erupsi Merapi terjadi sewaktu-waktu. Dalam hal ini, lingkungan berarti dapat menimbulkan bencana kematian dan juga kerusakan harta-benda penduduk. Kontribusi lingkungan dapat dijelaskan dari sisi ekonomi bagi penduduk lokal dengan cara pemanfaatan sumber daya alam, seperti deposit pasir dan batu volkanik untuk bahan bangunan baik kontribusi langsung maupun tak lansung. Kontribusi langsung berupa pemanfaatan material pasir dan batu untuk membangun rumah mereka, jalan aspal, atau

28

Kemiskinan dan Lingkungan dalam Kerangka Otonomi Daerah

(Toton Witono)

fasilitas publik lain. Sedangkan, kontribusi tak langsung diperoleh ketika mereka menambang pasir-batu untuk mereka jual dan juga perolehan manfaat ekonomi lain yang terkait dengan aktivitas penambangan tersebut, seperti warung makan-minum, bengkel, jasa transportasi, dan sebagainya. Bentuk hubungan pertama dan kedua merujuk ke suatu keterkaitan yang bernuansa negatif, karena keduanya dapat saling merugikan, merusak, atau bahkan menghancurkan dan membinasakan. Sebaliknya, bentuk yang ketiga mengkaitkan lingkungan alam dengan kemiskinan dari sisi positifnya, karena alam bisa menjadi anugerah untuk mengurangi penderitaan manusia dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Dari sini, pengintegrasian aset lingkungan dan pengentasan kemiskinan dalam program dan asistensi pembangunan bisa menjadi prioritas (Reed, 2002; Sullivan, 2002). Dikatakan sebagai agen kerusakan lingkungan tidak dimaksudkan bahwa kaum miskin lah yang harus bertanggung jawab. Alasannya, mereka hanya salah satu dari beberapa agen perusak. Penambangan modern dengan backhoe dan excavator-nya, yang sering diidentikkan dengan karakter pengejar atau pelipat ganda keuntungan (profitoriented), merupakan faktor paling utama dalam kerusakan lingkungan. Meskipun demikian, seperti telah dijelaskan, dampakdampak ini sebetulnya telah diciptakan oleh regulasi penambangan pasir daerah yang berlaku. Melalui regulasi tersebut, penambangan modern dizinkan mengeruk dengan alat-alat berat di konsesi wilayah yang dimilikinya. Sementara, para penambang manual yang hidupnya bergantung pada anugerah Merapi terpaksa menambang di sembarang tempat karena otomatis tidak punya konsesi, yang hanya bisa diperoleh kalau punya SIPD. Dengan demikian, hal ini menunjukkan betapa pentingnya menciptakan kebijakan sosial yang sekiranya punya pengaruh besar akan bagaimana lingkungan dikelola dan bagaimana kaum papa dan kelompokkelompok yang dimarginalkan merasakan dampaknya (Hazlewood, 2002).

VI. KESIMPULAN DAN SARAN


Kaitannya dengan isu kemiskinan dan lingkungan, otonomi daerah sebenarnya dapat berperan di tingkat pemerintah pusat, daerah, hingga desa. Keterlibatan masyarakat akar rumput bersama pemerintah desa juga dapat memengaruhi dan menjadi penentu pengambilan kebijakan di tingkat daerah dan pusat. Pada intinya, masyarakat akar rumput merupakan subjek sekaligus objek utama mengapa dan untuk apa kebijakan desentralisasi diterapkan. Pada pelaksanaannya, Otda tampaknya masih belum membawa perubahan nyata bagi perbaikan kualitas hidup penduduk lokal dan kondisi lingkungan. Meskipun demikian, bukan berarti Otda menjadi penyebab semakin buruknya kondisi yang ada. Ada atau tidaknya Otda, keadaan seperti itu kurang-lebih tetap berlangsung, karena kebijakan yang dihasilkan dari penerjemahan konsep desentralisasi kurang memperhatikan pelestarian lingkungan dan kondisi penambang manual. Akar penyebab semakin parahnya kondisi lingkungan Merapi dan kemiskinan penduduk lokal adalah kebijakan penambangan pasir daerah dan kurang baiknya penerapan kebijakan tersebut. Oleh karena itu, pemecahannya ada pada kebijakan itu sendiri dan penerapannya. Pemecahan tersebut tidak dengan menciptakan ketergantungan penduduk lokal terhadap pemerintah daerah dan pusat, melainkan harus dengan menciptakan berbagai upaya berkelanjutan dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, dan kultural serta menjaga kelestarian lingkungan. Di sini, pekerja sosial (peksos) dapat berkontribusi menunjukkan bagaimana suatu kebijakan sosial publik sebaiknya dibuat, menerjemahkannya ke regulasi yang lebih rendah, serta menerapkannya. Para peksos juga dapat memainkan perannya untuk menggerakkan keterlibatan masyarakat akar rumput dan mengorganisir para penambang manual untuk memberantas berbagai bentuk ketertindasan yang mereka alami. Pada akhirnya, penelitian ini merekomendasikan empat hal. Pertama, penerapan Perda dan Keputusan Bupati tidak semestinya disamakan untuk semua desa, tetapi harus disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan,

29

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 21-32

kemampuan, dan sumber daya yang dimiliki tiap desa. Oleh karena itu, perbedaan penerapan suatu kebijakan yang kontekstual dan khas bagi tiap desa sangat lah memungkinkan. Kedua, block grant yang setiap tahun dialokasikan oleh Pemda harus mulai dikurangi secara bertahap dengan diimbangi pemberian kewenangan lain bagi desa untuk mengelola pendapatan dari sektor yang dimiliki desa, seperti penambangan pasir dan pariwisata. Sehingga, retribusi dan pajak yang didapat dari sektor tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembiayaan anggaran belanja desa. Hal ini dimaksudkan dalam rangka menciptakan kemandirian desa.

Ketiga, pengelolaan sektor penambangan pasir Merapi seharusnya mengadopsi sistem penambangan rakyat, yang dibarengi dengan pengawasan ketat dari berbagai stakeholder, termasuk organisasi lokal semacam GORO, untuk mewujudkan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan Merapi. Terakhir, memberdayakan komunitas penambang pasir mungkin menjadi cara terbaik untuk memberantas berbagai bentuk penindasan (ketaksetaraan, diskriminasi, dan prejudice) dan kemiskinan multidimensi. Kemudian, pemberdayaan ini harus mampu mengungkap apa yang mereka inginkan dan butuhkan dari segi standar hidup, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA
Adams, R. 2003. Social Work and Empowerment. Third edition. New York: Palgrave Macmillan. Anonim, 2000. Laporan Antara: Penataan dan Pengaturan Usaha Pertambangan Kawasan Gunung Merapi Tahun Anggaran 2000. Jogjakarta: Kerjasama Dinas Pertambangan Propinsi Jawa Tengah dan P4N Universitas Gadjah Mada. Babbie, E. 1998. The Practice of Social Research. 8th edition. USA: Wadsworth Publishing Company. Cox, D. 1996. Focusing on Poverty: Enhancing Social Worlds Developmental Relevance Through Poverty Alleviation Programs. The Journal of Applied Social Sciences, 21 (1), Fall/Winter, 27-36. Denzin, N. & Lincoln, Y. 2003. Introduction: The Discipline and Practice of Qualitative Research. In Denzin, N. & Lincoln, Y. (Eds.), Strategies of Qualitative Inquiry (pp. 1-45). Second Edition. California: Sage Publications, Ltd. Dwipayana, A.A. & Eko, S. 2003. Membuat Good Governance Bekerja di Desa. Dalam Dwipayana, A.A. & Eko, S. (Eds.), Membangun Good Governance di Desa (pp. v-xxviii). Jogjakarta: IRE Press. Dwipayana, A.A., Karim, A.G., Purwoko, B., Haryanto, Pratikno, & Santoso, P 2003a. Pembaharuan . Desa secara Partisipatif. Jogjakarta: Pustaka Pelajar and S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM. Dwipayana, A.A., Rozaki, A., Sujito, A., Hudayana, B. Bramantyo, Purnomo, J., et al. 2003b. Membangun Good Governance di Desa. Jogjakarta: IRE Press. Ezzy, D. 2002, Qualitative Analysis: Practice and Innovation. London: Routledge. Fakultas Kehutanan UGM Merasa Kecolongan. (2004, May 26). Retrieved June 28, 2005, from http:// www.kompas.com Friedman, B. 1998. The Research Tool Kit: Putting It All Together. Toronto: Brooks/Cole Thomson Learning. Goldewijk, B.K. & de Gaay-Fortman, B. 1999. Where Needs Meet Rights: Economic, Social, Cultural Rights in a New Perspective. Geneva: WCC Publications. Hazlewood, P 2002. A Global Capacity Development Network on Poverty and Environment: Linking . Participatory Research, Dialogue and Action. New York: Harper & Case, Inc.

30

Kemiskinan dan Lingkungan dalam Kerangka Otonomi Daerah

(Toton Witono)

http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/konservasi/040630_masytolakmerapi. Retrieved June 24, 2004 Huda, N. 2004. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Pilihan atas Federalisme dan Negara Kesatuan. Dalam Hamid, E.S. & Malian, S. (Eds.), Memperkokoh Otonomi Daerah: Kebijakan, Evaluasi dan Saran (pp. 15-26). Jogjakarta: UII Press. Ismawan, I. 2002. Ranjau-ranjau Otonomi Daerah. Solo: Pondok Edukasi. Janesick, V. (2003). The Choreography of Qualitative Research Design: Minuets, Improvisations, and Crystallization. In Denzin, N. & Lincoln, Y. (Eds.), Strategies of Qualitative Inquiry (pp. 46-79). Second Edition. California: Sage Publications, Ltd. Keputusan Bupati Magelang No.: 188.4/353/KEP/06/2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Sumber Pendapatan Desa. Keputusan Bupati Magelang No. 19/2004 tentang Penghentian Kegiatan Penambangan Pasir di Lereng Merapi. Marlow, C. 2001. Research Methods for Generalist Social Work. 3rd edition. USA: Wadsworth/Thomson Learning. Maryatmo, R. (2005). Kontroversi Upaya Pembelaan. Basis No. 05-06, Tahun ke-54, May-June 2005, 18-23. Masyarakat dan Kepala Dusun Tolak TNGM. (2004, June 1). Retrieved June 28, 2005, from http:// www.kompas.com Maxwell, J. 1996. An Interactive Approach. USA: Sage Publications, Inc. McCharty, J. F. 2004. Changing to Gray: Decentralization and the Emergence of Volatile Socio-Legal Configurations in Central Kalimantan, Indonesia. World Development Vol. 32, No. 7, 1199-1223. Mullaly, B. 2002. Challenging Oppression: A Critical Social Work Approach. Oxford: Oxford University Press. Pakar UGM Tuntut SK tentang TNGM Dicabut. (2004, July 17). Retrieved June 28, 2005, from http:// www.kompas.com Peraturan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah No. 6/1994 tentang Manajemen Penambangan Pasir di Lereng Merapi. Perda Kab. Magelang No. 1/2000 tentang Peraturan Desa. Perda Kab. Magelang No. 10/2000 tentang Badan Perwakilan Desa. Perda Kab. Magelang No. 23/2001 tentang Izin Usaha Pertambangan. Perda Kab. Magelang No. 3/2001 tentang Sumber Pendapatan Desa. Perda Kab. Magelang No. 6/2001 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Perda Kab. Magelang No. 7/2001 tentang Kerjasama antar Desa atau Kelurahan di Kabupaten Magelang. Punch, M. 1994. Politics and Ethics in Qualitative Research. In Denzin, N. & Lincoln, Y. (Eds.), Handbook of Qualitative Research (pp. 83-97). California: Sage Publications, Inc. Reed, D. 2002. Poverty and the Environment: Changing Concepts. Development Bulletin, 58, July 2002, 9-15. Richardson 1994. Writing A Method of Inquiry. In Denzin, N. & Lincoln, Y. (Eds.), Handbook of Qualitative Research (pp. 516-529). California: Sage Publications, Inc. Rubin, A. & Babbie, E. 2001. Research Methods for Social Work. 4th edition. USA: Wadsworth/Thomson Learning.

31

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 21-32

Saleng, A. 2004. Hukum Pertambangan. Jogjakarta: UII Press. Setahun, Enam Pekerja Tambang Pasir Tewas di Lereng Merapi. (2005, February 16). Retrieved June 28, 2005, from http://www.kompas.com Setiaji, B. 2004. Kecenderungan dalam Implementasi Otonomi Daerah. In Hamid, E.S. & Malian, S. (Eds.), Memperkokoh Otonomi Daerah: Kebijakan, Evaluasi dan Saran (pp. 123-132). Jogjakarta: UII Press. Shyamsundar, P 2002. Environmental Economic Series: Poverty-Environment Indicators. The World Bank . Environment Department, Paper No. 84. Singleton, R. Jr. & Straits, B. (1999). Approaches to Social Research. Third Edition. Oxford: Oxford University Press. Snel, M. 2002. What does It Mean to be Poor? Environment and Poverty Times. No. 1 First Issue, August 2002. Available from http://www.povertymap.net/publications/povertytimes/01/ Sukasmanto 2004. Good Governance dan Isu-Isu Politik Anggaran Desa dan Kabupaten. Dalam Rozaki, A. (Ed.), Promosi Otonomi Desa (pp. 73-97). Jogjakarta: IRE Press. Sullivan, M. 2002. Aid in Community Based Poverty-Environment Projects. Development Bulletin 58, July 2002, 16-19. Undang-Undang Republik Indonesia No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan Penjelasan. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Republik Indonesia No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004. Undang-Undang Republik Indonesia No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan Penjelasan. Undang-Undang Republik Indonesia No. 41/1999 tentang Kehutanan Usman, S. 2004. Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Demokratisasi. In Hamid, E.S. & Malian, S. (Eds.), Memperkokoh Otonomi Daerah: Kebijakan, Evaluasi dan Saran (pp. 109-115). Jogjakarta: UII Press. Wahono, F 2005. Proses Perjuangan Hak di Akar Rumput. Basis No. 05-06, Tahun ke-54, May-June . 2005, 4-9.

BIODATA PENULIS : Toton Witono, Alumnus S-2 UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, program Interdisciplinary Islamic Studies, konsentrasi Social Work; staf BBPPKS Padang, Sumatera Barat.

32

PEMANFAATAN LAHAN DAN SUMBER DAYA ALAM DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN DI KABUPATEN BATANGHARI PROPINSI JAMBI
Habibullah

ABSTRAK
Kegagalan berbagai program penanganan kemiskinan masyarakat sekitar hutan tidak terlepas dari kesalahan dalam mengidentifikasi pola pemanfaatan lahan dan sumber daya alam karena masyarakat sekitar hutan mempunyai pola pemanfaatan yang berbeda dengan masyarakat desa yang berbasis pertanian sawah umumnya sehingga pemahaman yang tepat terhadap sumber daya yang tersedia akan dapat menuntun langkah yang tepat pula dalam pembangunan masyarakat. Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi-potensi sumber daya alam yang dikembangkan masyarakat sekitar hutan sebagai sumber penghidupan tanpa merusak lingkungan hidup. Kajian bersifat deskriptif ini dilaksanakan di 4 (empat) desa sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas Kabupaten Batanghari Propinsi Jambi. Hasil kajian menunjukkan sebagian besar masyarakat desa memanfaatkan lahan untuk mengembangkan komoditas karet walaupun tidak dapat dipungkiri terdapat kendala sosial-ekonomi antara lain masyarakat terjebak dengan pinjaman(barang dan uang) yang diberikan tauke sehingga harga karet ditentukan oleh tauke sementara itu KUD yang semestinya dapat mengakomodasikan kepentingan masyarakat belum mempunyai peranan kecuali hanya sebagai kedok untuk memanfaatkan hasil hutan. Hasil studi ini merekomendasikan berbagai program Departemen Sosial untuk masyarakat sekitar hutan lebih mempertimbangkan aspek pola-pola pemanfaataan lahan dan sumber daya alam sehingga program tersebut tepat sasaran dan berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kata kunci : Masyarakat sekitar hutan, pembangunan masyarakat, pemanfaataan lahan dan sumber daya alam, karet

I.
A.

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Pada masa otonomi daerah yang bersamaan dengan lahirnya berbagai tuntutan reformasi, pemanfaatan sumber daya hutan menjadi krusial. Harapan besar terhadap sumber daya hutan mengakibatkan sektor ini masih menjadi tumpuan untuk dapat menghasilkan pendapatan. Permasalahan ini ditambah lagi dengan kenyataan sektor perkebunan sawit oleh swasta kurang mempertimbangkan opportunity cost yang akan muncul, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Memberikan porsi ruang berlebihan di salah satu aspek seperti aspek perkebunan dan aspek ekonomi lainnya akan memberikan kerugian pada aspek keruangan lain seperti aspek ekologi dan sosial ekonomi.

Pada aspek sosial ekonomi perubahan fungsi-fungsi keruangan yang terjadi tidak serta-merta dapat meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar hutan, terutama masyarakat asli. Banyak kasus-kasus konflik lahan antara masyarakat dengan perkebunan sebagai buah dari kebijakan keruangan yang memarginalkan masyarakat sekitar hutan. Resiko terbesar akibat kehilangan sumber daya alam justru menjadi beban masyarakat sehingga manfaat sesaat secara finansial menjadi hilang maknanya dan masyarakat sekitar hutan tetap miskin. Departemen Sosial telah mengimplementasikan berbagai program penanganan kemiskinan seperti: Proyek Bantuan Kesejahteraan Sosial (BKS), Program Kesejahteraan Sosial KUBE (Prokessos KUBE), Program Bantuan Sosial Fakir Miskin (BSFM), Program Keluarga Harapan (PKH) dan lainnya. Salah satu sasaran program penanganan kemiskinan

33

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 33-43

yang dilaksanakan oleh Departemen Sosial adalah masyarakat sekitar hutan.Namun seringkali dalam implementasinya programprogram tersebut salah sasaran, timbul benihbenih fragmentasi sosial dan belum menyentuh akar permasalahan salah satu penyebabnya adalah program tersebut tidak mempertimbangkan pola pemanfaatan lahan dan sumber daya alam desa sekitar hutan. Melalui garapan tata ruang desa ini akan diketahui potensi ekonomi strategis dan mungkin dikembangkan, termasuk masalah ketersediaan lahan dan konflik lahan. Pembangunan masyarakat sebagai usaha untuk menciptakan hubungan serasi antara sumber-sumber yang tersedia dengan kebutuhan masyarakat. Apabila hubungan harmonis tersebut dapat terwujud maka kesejahteraan masyarakat akan terwujud pula, apabila yang terjadi sebaliknya maka akan ditemukan adanya berbagai bentuk masalah sosial (Soetomo, 2006). Identifikasi sumber daya merupakan salah satu langkah strategis dalam proses pembangunan masyarakat. Pemahaman yang tepat terhadap sumber daya yang tersedia akan dapat menuntun langkah yang tepat pula. Tidak jarang dijumpai suatu kenyataan ironis bahwa dalam masyarakat tersedia sumber daya cukup besar, tetapi tetap bersifat laten dalam jangka waktu cukup lama oleh karena masyarakat belum menyadari keberadaannya sementara itu kondisi kehidupan masyarakat demikian buruknya sehingga membutuhkan perbaikan kehidupan. Oleh sebab itu, identifikasi sumber daya berfungsi untuk mengangkat sumber daya terpendam ke atas permukaan realitas sosial sehingga dapat segera dimanfaatkan dalam rangka peningkatan taraf hidup. Dengan kata lain, identifikasi sumber daya juga dapat berarti mengubah sumber daya yang masih laten menjadi manifes. B. Metodologi Penelitian

Kecamatan Maro Sebo Ulu dan Kecamatan Bathin XXIV Kabupaten Batanghari. Desa penelitian adalah 1) Padang Kelapo, 2) Sungai Ruan Ulu di Kecamatan Maro Sebo Ulu dan 3) Jelutih, dan 4) Hajran di Kecamatan Bathin XXIV. Penetapan responden dengan menggunakan metode kuantitatif dalam kajian ini ditetapkan secara purposive, yakni 10% kepala keluarga (kk) dari masing-masing desa: Padang Kelapo mempunyai 286 kk ditetapkan 29 responden, Sungai Ruan Ulu mempunyai 445 kk ditetapkan 44 responden, Jelutih mempunyai 653 kk ditetapkan 66 responden dan Hajran mempunyai 158 kk ditetapkan 16 responden. Penetapan 10% kepala keluarga sebagai responden sudah dianggap cukup menggambarkan keseluruhan keadaan kepala keluarga di masing-masing desa, untuk itu digunakan kuesioner sebagai teknik pengumpulan data. Sedangkan metode kualitatif digunakan untuk menjelaskan lebih jauh tentang berbagai hal yang mengakibatkan munculnya satu kejadian, yang memberikan gambaran tentang variabel penelitian. Teknik yang digunakan meliputi interview mendalam, kelompok diskusi dan triangulasi.Selain metode tersebut juga digunakan metode partisipatif melalui kegiatan workshop di desa yang dimaksudkan untuk mengamati perhatian masyarakat desa pada sumber daya desa dan bagaimana mereka merencanakannya. Sedangkan pengamatan untuk melengkapi unit analisis tersebut dilakukan terhadap desa dan lembaga-lembaga yang terdapat di lokasi penelitian. II. A. 1. HASIL PENELITIAN Deskripsi Wilayah Keadaan Wilayah dan Jumlah Penduduk Desa-desa Penelitian Desa-desa penelitian secara administratif terletak di dua kecamatan yaitu desa Jelutih dan Hajran di Kecamatan Batin XXIV. Sementara itu, desa Padang Kelapo dan Sungai Ruan Ulu terletak di Kecamatan Maro Sebo Ulu. Desa-desa ini termasuk desa penyangga Taman Nasional Bukit Duabelas terletak di Kabupaten Batanghari. Desa Jelutih mempunyai luas wilayah 9.900 ha dan berpenduduk 2.698 jiwa. Sebelah utara

Kajian ini bersifat deskriptif, yaitu menggambarkan masyarakat desa sekitar hutan dalam memanfaatkan lahan dan sumber daya alam. Penentuan lokasi ditetapkan secara purposive, yakni desa-desa interaksi Taman Nasional Bukit Duabelas yang mempunyai potensi lahan dan sumber daya alam sekaligus menjadi ancaman bagi Taman Nasional Bukit Duabelas. Desa-desa penelitian terletak di

34

Pemanfaatan Lahan dan SDM dalam Pembangunan Masyarakat Desa

(Habibullah)

berbatasan dengan desa Durian Luncuk, selatan berbatasan dengan desa Mandiangin, barat dengan Maro Sebo Ulu dan timur dengan desa Olak Besar merupakan desa penelitian terjauh dari ibukota kabupaten (61 km) dan ibukota provinsi (121 km). Desa Hajran mempunyai luas wilayah 7.500 ha dan berpenduduk 816 jiwa. Sebelah utara berbatasan dengan desa Mata Goal, selatan berbatasan dengan desa Aur Gading dan desa Paku Aji, barat dengan Batas TNBD dan timur dengan Maro Sebo Ulu. Desa Padang Kelapo mem-punyai luas wilayah 3.513 ha dan berpenduduk 1.407 jiwa. Sebelah utara berbatasan dengan desa Renah Sago, selatan berbatasan dengan desa Sei. Lingkar, barat dengan HP Inhutani V dan timur dengan desa Rantau Gedang. Desa Sungai Ruan Ulu mempunyai luas wilayah 5600 ha dan berpenduduk 2.357 jiwa. Sebelah utara berbatasan dengan desa Rantau Gedang,selatan berbatasan dengan desa Hajran, barat dengan Sungai Lingkar dan timur dengan desa Sungai Ruan Ilir. 2. Kelembagaan Sosial dan Ekonomi di Desa-desa Penelitian Secara umum kelembagaan sosial seperti Badan Perwakilan Desa (BPD) dan Lembaga pemberdayaan Masyarakat (LMD) secara formal telah terbentuk, namun dalam hal kinerja tidak banyak memberikan kontribusi terhadap pembangunan desa, bahkan ada kesan keberadaannya masih di bawah koordinasi oleh aparat pemerintahan desa. Hal ini juga menjadikan peran aparat pemerintahan desa lebih dominan dalam mengatur dan melaksanakan kinerja pembangunan desa. Lembaga pendidikan utama yang terdapat di desa penelitian adalah sekolah dasar negeri (Inpres) dan sekolah agama berupa Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang diselenggarakan secara swadaya oleh masyarakat. Kondisi fasilitas pendidikan jika dilihat per desa menunjukkan kondisi yang berbeda, baik dari jumlah murid dan guru sekolah. Pada Madrasah Ibtidaiyah, desa Sungai Ruan Ulu saat ini tidak aktif

lagi akibat keterbatasan swadaya dari masyarakat. Dari keempat desa penelitian ternyata fasilitas kesehatan dan keberadaan paramedis hanya terdapat di desa Jelutih dan Hajran. Desa Padang Kelapo dan Sungai Ruan Ulu tidak mempunyai fasilitas kesehatan hal ini menjadikan kedua desa tersebut rentan terhadap masalah kesehatan dan pengetahuan akan gizi masyarakat. B. Karakteristik Responden

Berdasarkan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 143 orang (94%) dan perempuan sebanyak 10 orang (6%). Dilihat dari rata-rata tanggungan keluarga maka di desa Hajran sebesar 4,76 jiwa, desa Jelutih sebesar 4,41 jiwa, desa Padang Kelapo sebesar 6,68 jiwa dan desa Sungai Ruan Ulu sebesar 4,18 jiwa. Responden di desa Padang Kelapo mempunyai tanggungan keluarga yang lebih banyak dibanding dengan ketiga desa lainnya, karena terdapat beberapa kecenderungan pada rumah tangga. Kecenderungan itu antara lain adalah banyak anggota keluarga menjadi janda (+ 63 orang) menjadi tanggungan keluarga inti, demikian juga dengan penduduk lanjut usia dan masih bergabungnya beberapa Kepala Keluarga (KK) dalam satu rumah tangga. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat desa Padang Kelapo rentan menjadi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) apabila tidak diantisipasi dengan berbagai program pemberdayaan. Tingkat pendidikan responden dilihat dari lamanya bersekolah atau pendidikan formal yang ditempuh. Dari 153 responden di 4 desa terlihat bahwa 19 orang atau 8,67 % tidak pernah menempuh pendidikan di tingkat dasar (SD/MI), sebanyak 109 orang atau 71,33 % pernah menempuh pada pendidikan tingkat dasar (tidak tamat dan tamat SD/ MI) yang merupakan pendidikan tertinggi mayoritas responden. Rendahnya tingkat pendidikan disebabkan ketidaksediaan fasilitas sekolah menengah yang dekat dengan desa penelitian untuk melanjutkan pada pendidikan menengah anak-anak di desa penelitian paling tidak harus bersekolah di kota kecamatan. Di sisi lain, anak selepas pendidikan dasar bagi masyarakat desa-desa penelitian mulai dapat memberikan

35

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 33-43

sumbangan produktif kepada penghasilan keluarga. Sehingga apabila si anak berada di sekolah akan berarti hilangnya sejumlah penghasilan yang sedianya dapat dihasilkan oleh si anak tersebut bila ia menggunakan waktunya untuk bekerja di tanah pertanian keluarga. Hal ini menurut Todaro ( 1993:467) dinamakan biaya pendidikan yang bersifat tidak langsung (opportunity cost of education). Dan hanya sebanyak 18 orang (12%) responden yang pernah dan tamat pada pendidikan lanjutan pertama dan 10 orang (6,67%) pernah menempuh pendidikan lanjutan tingkat atas, sedang sisanya pernah menempuh pendidikan tinggi setara akademi. Mata pencaharian utama yang digeluti lebih didominasi oleh pertama; orang yang beraktivitas sebagai petani karet berjumlah 97 orang (64,67%) dan kedua, orang yang beraktivitas sebagai pembalok berjumlah 26 orang (17,34%). Jika dilihat untuk masingmasing desa, sebagai petani karet lebih banyak dilakukan oleh responden di desa Jelutih yaitu 34 % dari total responden, diikuti oleh Padang Kelapo yaitu 14%, dan Sungai Ruan Ulu sebanyak 12 persen, sementara Hajran hanya 4,67 persen. Aktivitas sebagai pembalok banyak ditemui di Sungai Ruan Ulu (13,34 %), Hajran (2,67 %) dan Jelutih (1,34 %). Aktivitas ini tidak ditemui pada responden di Desa Padang Kelapo. Untuk aktivitas di luar petani karet dan pembalok bervariasi antara 0,67 2 % dari 150 responden yang meliputi antara lain sebagai peternak, buruh (angkut balok, bangunan, mencuci pakaian), berdagang, PNS/ Guru, jasa penyeberangan, ojek, opera-

tor chain shaw, Sopir, Tukang kayu, Tauke (balok, karet) dan tidak bekerja sama sekali. C. Kepemilikan dan Kondisi Lahan, Produksi, Pemasaran dan Sistem Pembayaran

Responden di desa Hajran yang menyatakan memiliki lahan sebesar 88,24%, desa Jelutih sebesar 88,52%, desa Padang Kelapo sebesar 92,86% dan desa Sungai Ruan Ulu sebesar 61,35%. Berdasarkan persentase ini, terlihat bahwa responden yang tidak memiliki lahan yang tertinggi adalah di Desa Sungai Ruan Ulu (38,64%) hal ini disebabkan sebagian besar masyarakatnya masih bertumpu kepada pemanfaatan sumber daya alam hutan meskipun pemanfaatannya secara ileggal di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas. Dari 153 orang responden di 4 desa yang menjadi lokasi penelitian, kepemilikan lahan pertanian dibagi menjadi kepemilikan lahan perkebunan karet, lahan sawah, lahan perkebunan kelapa sawit, belukar ( belukar tua dan belukar muda), sesap, kepemilikan lahan dan sama sekali tidak mempunyai lahan. Berdasarkan hal tersebut, kepemilikan lahan perkebunan karet lebih mendominasi dengan jumlah responden sebanyak 109 orang atau 71,34%. Jika dilihat dari prosentase kepemilikan lahan karet untuk masing-masing desa, di desa Jelutih sebanyak 85,25%; 76,47% dari responden yang ada di desa Hajran, sedangkan di Padang kelapo dan S. Ruan Ulu yang menyatakan memiliki lahan karet masingmasing 71,43% dan 50% dari total responden di desa tersebut. Lebih rinci kepemilikan lahan karet berdasarkan luasannya dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Luas Kepemilikan Lahan Karet


Desa Hajran Jelutih Padang Kelapo Sungai Ruan Ulu Luas ( ha) 0 2 (%) 61,54 19,23 5 54,55 2 5 (%) 23,08 48,08 55 27,27 5 10(%) 0 21,15 10 13,64 > 10 (%) 15,38 11,54 30 4,55

Sumber : diolah dari data primer

36

Pemanfaatan Lahan dan SDM dalam Pembangunan Masyarakat Desa

(Habibullah)

Dari tabel tersebut menunjukkan di desa Hajran sebesar 61,54% responden luasan kebun karet 0-2 ha, luasan 2-5 ha dan > 10 ha masing-masing 23,08% dan 15,38%. Di desa Jelutih didominasi luasan lahan 2-5 ha yaitu sebesar 48,08 ha, sedangkan 5-10 ha sebesar 21,15%. Sedangkan di Padang Kelapo sebanyak 55% memiliki lahan karet seluas 2-5 ha dan 30% dengan luasan lebih dari 10 Ha. Sementara itu desa S. Ruan Ulu didominasi pemilik lahan seluas 0-2 ha yaitu 54,55 %, sedangkan yang mempunyai lahan karet lebih dari 10 ha hanya 4,55 dari responden yang ada. Berdasarkan grafik 1. sebanyak 33 orang atau 18,67 persen dari total responden menyatakan memiliki lahan sawah. Jika dilihat per desa responden terbanyak yang memiliki lahan sawah terdapat di desa Padang Kelapo (67,86%), disusul desa Sungai Ruan Ulu (31,82%). Sedangkan desa Jelutih dan Hajran tidak ditemui responden yang mempunyai lahan sawah. Sedang luasan sawah responden tersebut untuk di Padang Kelapo cukup merata, yaitu kurang 1 ha sebanyak 21,05%, 1-5 ha sebesar 31,57%, dan 5-10 ha serta lebih dari 10 ha masing-masing 26,31% dan 21,05%, Sedangkan di desa S. Ruan Ulu rata-rata responden mempunyai luasan sawah 1-5 ha sebesar 64,28% dan untuk sawah seluas 0-1 ha sebesar 35,71% dari responden yang memiliki sawah. Mengenai kepemilikan lahan kelapa sawit dari 150 responden yang menyatakan memiliki sebanyak 3 orang atau 10,7% di Desa Padang Kelapo, Desa Jelutih sebanyak 1 orang (1,63%). Besarnya produksi

karet, ada perbedaan jika menyadap pada karet sendiri dengan menyadap karet orang lain, dan juga tergantung dengan periode bulan basah atau bulan kering pada saat penyadapannya. Grafik 1. Kepemilikan Lahan Karet, Sawah dan Sawit
Kepemilikan Lahan Karet, Sawah dan Sawit
100% 80% 60% 40% 20% 0% Karet Sawah Sawit Hajran 76.47% 0.00% 0.00% Jelutih 85.25% 0.00% 1.64% P. Kelapo 71.43% 67.86% 10.71% S. Ruan 50.00% 31.82% 0.00%

Sumber: diolah dari data primer

Di desa Hajran pada saat bulan basah untuk karet sendiri dapat dihasilkan sebanyak rata-rata 226,67kg/bulan, sementara untuk karet orang lain dapat dihasilkan sebanyak 405 kg/bulan. Pada bulan kering, penyadapan karet milik sendiri menghasilkan 420 kg/bulan, sementara untuk karet orang lain dihasilkan 592,22 kg/bulan. Hal yang agak mencolok terjadi di desa Padang Kelapo, dimana pada periode bulan basah penyadapan karet milik sendiri sebanyak 266,67 kg/bulan sementara untuk karet milik orang lain hanya menghasilkan 52 kg/ bulan. Pada bulan kering dihasilkan 605 kg/bulan karet milik sendiri sementara untuk karet orang lain hanya 357,78 kg/bulan. Lebih rinci dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Produksi Karet Responden Berdasarkan Periode Bulan Basah dan Bulan Kering
Desa Hajran Jelutih Padang Kelapo Sungai Ruan Ulu Karet Sendiri Bulan basah Bulan kering (Kg) (Kg) 226,67 420 213 345,29 266,67 605 150 150 Karet Orang Lain Bulan basah Bulan kering (Kg) (Kg) 405 592,22 324,28 463,39 52 357,78 193,34 340

Sumber: diolah dari data primer

37

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 33-43

Angka produksi karet tersebut, terutama karet milik orang lain masih harus dibagi antara untuk penyadap dengan pemiliknya. Dari pernyataan responden kecenderungan tentang sistem bagi hasil/desa, untuk desa Hajran dan Jelutih memakai pola 1:2 yaitu 1 (satu) bagian untuk pemilik tanaman karet dan 2 (dua) bagian untuk penyadap. Sedangkan desa Padang Kelapo dan Sungai Ruan Ulu pola umum yang dipakai adalah 1:3 1 (satu) bagian untuk pemilik tanaman karet dan 3 (tiga) bagian untuk penyadap. Pemasaran hasil karet masyarakat umumnya dilakukan di desa karena pada empat desa penelitian terdapat pedagang pengumpul dan cenderung menjual pada satu pedagang pengumpul tertentu (tauke). Jika

dilihat alasan yang dominan menjual getah ke tauke; di Hajran sebanyak 5 responden dari 7 responden yang berkegiatan menyadap karet (71,43%) beralasan bahwa itu karet tauke. Alasan yang sama sebesar 39,21% responden ditunjukkan di Jelutih. Disusul dengan alasan telah mendapat pinjaman/hutang dari tauke yaitu sebesar 31,37%. Di Padang Kelapo alasan yang dominan adalah karena karetnya milik tauke (47,62%) sedangkan pemotong karet telah mendapat pinjaman dari tauke sebesar 19,05%. Sementara itu di S. Ruan Ulu mayoritas pemotong menjual ke tauke tertentu karena alasan harga yang tinggi (44,44 %) dan yang menjual secara bebas, tidak terikat pada tauke tertentu sebesar 33,33 %. Rincinya dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik Responden di Daerah Penelitian Berdasarkan Alasan Menjual Karet Pada Tauke di Desa.
Alasan menjual ke toke sekarang Keluarga Bisa ambil belanja Dapat pinjaman Dekat kebun Dijemput Toke Harga dianggap layak Karet toke Mudah berunding Terikat jasa sosial Tidak ada modal Jual Bebas (tidak tergantung toke tertentu) Total
Sumber : diolah dari data primer

Hajran 1 1

Jelutih 2 1 16 1

P. Kelapo

S. Ruan 1

Total 4 2

4 1 2

22 2 2

7 5 20 1 1

2 10

8 1

17 36 1 1

1 1 7 51 1 21 6 18

1 8 97

38

Pemanfaatan Lahan dan SDM dalam Pembangunan Masyarakat Desa

(Habibullah)

Adapun sistem pembayaran dari pola penjualan karet kepada tauke di empat desa yang diteliti memperlihatkan adanya kecenderungan membayar tunai kepada penyadap dan membayar selisih antara nilai penjualan dengan pinjaman yang telah diberikan kepada penyadap sebelumnya. Pinjaman barang berupa kebutuhan sehari-hari yang diambil oleh penyadap dari tauke yang bersangkutan. Sebanyak 57,14% responden yang berkegiatan ekonomi karet di Desa Hajran menerima pembayaran tunai, di Padang Kelapo sebanyak 90,48% dan 77,7 % di S. Ruan Ulu. Sementara di Jelutih hanya 19,61 % yang menyatakan mendapatkan pembayaran tunai dari penjualan hasil karetnya, sedangkan mayoritasnya (80,39 %) berupa pinjaman terlebih dahulu kepada tauke.

D.

Prospek Ekonomi Desa

Berdasarkan luasan kebun karet yang dimiliki oleh responden di empat desa yang diteliti maka didapatkan gambaran tentang prospek ekonomi ke depan terutama dari sektor tanaman karet. Dilihat dari per desa yang paling tinggi adalah Hajran dimana kepemilikan karet usia 1-5 tahun dan 5-10 tahun masingmasing 35,29 % dan 23,53 %. Sedang yang paling mengkuatirkan adalah Sungai Ruan Ulu dimana kepemilikan kebun karet usia 1- 5 tahun hanya 4,54 %, sedangkan 5-10 tahun 18,18 % dari responden yang ada. Lebih lengkapnya bisa lihat tabel 5. berikut:

Tabel 4. Karakteristik Responden Berdasarkan Sistem Pembayaran Penjualan Karet Pada Tauke di Desa
Tunai Desa Hajran Jelutih P. Kelapo S. Ruan Ulu Jml 4 10 19 14 % 57,14 19,61 90,48 77,78 Pinjaman Jml 3 41 2 4 % 42,86 80,39 9,52 22,22 Jml 7 51 21 18 Total % 100 100 100 100

Sumber : diolah dari data primer

Tabel 5. Karakteristik Responden Berdasarkan Kepemilikan Lahan Karet yang Belum Disadap dan Umur Tanaman
Desa Hajran Jelutih P. Kelapo S. Ruan
Sumber : diolah dari data primer

Tahun Umur Tanaman Karet 15 6 16 3 2 35,29 % 26,22 % 10,71 % 4,54 % 4 10 2 8 5 - 10 23,53 % 16,39 % 7,14 % 18,18 % 1 0 0 0 > 10 5,88 -

39

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 33-43

Sedangkan jika dilihat dari kepemilikan karet responden yang belum disadap; di desa Jelutih didapati 42,62 %, Sungai Ruan Ulu dijumpai 22,73 %. Sementara desa Padang Kelapo dari 28 reseponden hanya 2,5 % yang memiliki tanaman karet belum disadap. Dari kondisi ini dapat disimpulkan bahwa keadaan responden di desa Padang Kelapo untuk 5 tahun ke depan akan tetap berada dibawah dari responden di tiga desa lainnya. Di samping bergerak dalam aktivitas ekonomi utama di usaha pertanian dan perbalokan, ditemukan juga beberapa responden yang bekerja di luar sektor pertanian (non-farm) walaupun saat ini masih bersifat sebagai usaha sampingan. Usaha sampingan di desa Jelutih terbanyak adalah dagang yaitu 4 responden (6,56 %), sedangkan di Sungai Ruan Ulu adalah dagang dan ojek masing-masing 3 orang (6,82 %). E. Pemanfaatan Ruang

pada hamparan yang bersifat tadah hujan. Pada musim hujan atau pasang naik masyarakat mengharapkan akan turun ke sawah karena lahan dapat diolah. Akan tetapi jika musim hujan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dapat mendatangkan bencana. Masyarakat desa Hajran tidak mempunyai kegiatan bersawah dari penjelasan masyarakat desa, kebiasan bersawah ditinggalkan masyarakat ketika kegiatan bebalok (memanfaatkan hasil hutan berupa kayu) marak terjadi. 2. Ladang Kegiatan berladang masyarakat terlaksana dengan pola subsisten, hampir tidak ditemui adanya hamparan khusus yang digunakan untuk berladang. Kehidupan berladang menjadi langka bukan saja karena pengetahuan masyarakat tentang pengembangan tanaman kurang, akan tetapi juga dikarenakan intensifnya gangguan dari berbagai ternak seperti kerbau dan kambing. Oleh karena itu tidak mengherankan kendala masyarakat dalam mengembangkan ladang adalah karena adanya ancaman dari berbagai jenis ternak yang ada di desa. Ladang termasuk sawah pada kenyataaannya harus diberi pagar agar terhindar dari gangguan ternak-ternak yang ada didesa. Kebun karet Kebun karet merupakan wilayah peruntukan lahan terbesar di desa-desa penelitian. Hampir seluruh kebun karet menggunakan bibit lokal, yang lebih dikenal dengan bibit sapuan. Produktivitas rata-rata pernyadap 1,25 kuintal/minggu untuk luas lahan kira-kira 2 ha, dengan hari kerja selama lima hari dalam seminggu. Aksesibilitas Desa

Pemanfaatan ruang di desa tergambarkan dari berbagai kegiatan masyarakat di desa penelitian. Secara fisik kegiatan ini dapat dibedakan menjadi kegiatan yang berada di lingkungan desa dan di luar lingkungan desa. Kegiatan di luar lingkungan desa pada kenyataannya merupakan tempat yang digunakan oleh masyarakat secara bersama, berupa interaksi antara desa. Kegiatan yang dilakukan di lingkungan desa antara lain digunakan untuk kegiatan: sawah, ladang, penggembalaan, kebun karet, kebun sawit dan belukar secara historis masing-masing kegiatan ini berbeda latar belakangnya antara satu desa dengan desa penelitian lainnya. 1. Sawah Sawah diartikan sebagai hamparan yang digunakan petani untuk bercocok tanam pangan, utamanya padi yang menggunakan irigasi maupun tadah hujan. Di desa Padang Kelapo hamparan sawah terdapat belakang perkampungan. Luas lahan yang digunakan untuk sawah adalah 112 ha. Dengan kondisi sekarang, sawah yang dapat diairi oleh irigasi adalah 90 ha. Masyarkat desa Sungai Ruan Ulu melakukan kegiatan bersawah bersamasama dengan penduduk Sungai Lingkar

3.

F.

Aksesibilitas yang menonjol di desa-desa penelitian adalah adanya keterjangkauan masyarakat terhadap sumber daya hutan yang terletak di Taman Nasional Bukit Duabelas. Sumber daya ini menjadi pusat aktivitas masyarakat desa-desa penelitian. Surat

40

Pemanfaatan Lahan dan SDM dalam Pembangunan Masyarakat Desa

(Habibullah)

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.258/Kpts-II/2000 pada tanggal 23 Agustus menyebutkan, antara lain bahwa kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) berasal dari perubahan fungsi sebagian hutan produksi terbatas Serengam Hulu seluas 20.700 ha dan sebagian hutan produksi tetap Serengam Hilir seluas 11.400 ha serta penunjukan sebagian areal penggunaan lain seluas 1.200 ha dan kawasan suaka alam dan pelestarian alam (cagar biosfer) seluas 27.200 ha, dengan demikian luas TNBD menjadi 60.500 ha. Sebagai Taman Nasional maka TNBD ditujukan sebagai kawasan pelestarian jenis dan ekosistem, aspirasi generasi mendatang, ilmu dan pengetahuan dan teknologi, edukasi, rekreasi dan budaya. Pada saat ini arah pembukaan lahan (perladangan dan kebun karet) penduduk desa interaksi tersebut lebih banyak ke arah kawasan TNBD. Masyarakat desa Paku Aji dan Hajran banyak yang membuka lahan di kiri kanan mudik daerah Sungai Serengam sampai ke Muara Sungai Terab dan di sekitar daerah Sungai Nemantan (areal perkebunan sawit PT. SDM), sedangkan penduduk desa Jelutih banyak yang membuka lahan (sekitar 80 KK) antara Sungai Serengam (sampai ke Sungai Bangkai Anjing) dan Sungai Jelutih, atau di dalam dan sekitar areal HTI PT. Wana Perintis dan perkebunan sawit PT. EMAL. Daerah hulu Sungai Jelutih dan Sungai Bangkai Anjing menjadi daerah perebutan pembukaan lahan dengan Desa Baru Kecamatan Pauh.

Masyarakat desa sebagian besar memanfaatkan sumber daya hutan berupa kayu (bebalok) untuk sumber penghasilan dan pendapatan. Kegiatan bebalok biasanya dilakukan oleh bujangan dan kepala keluarga yang masih berusia muda atau masih besar kekuatan fisiknya. Masyarakat desa menganggap bahwa sumber daya hutan masih cukup tersedia antara 23 tahun lagi dan didukung oleh permintaan kayu masih terus mengalir, termasuk kehadiran pabrik sawmill yang aksesnya relatif dekat dengan desa mereka. Keberadaan Sawmill terdapat di desa Muara Jangga 1 (satu) pabrik sawmill (pengolahan kayu menjadi papan) dan desa Teluk Leban ada 4 (empat) pabrik sawmill dan di desa Sungai Rengas ada 1 (satu) pabrik sawmill. G. Infrastruktur Ekonomi Sarana ekonomi di pedesaan dirancang oleh pemerintah dengan menggunakan Koperasi Unit Desa (KUD). KUD diharapkan mampu menggerakkan potensi ekonomi desa, meningkatkan posisi tawar masyarakat desa terhadap pelaku ekonomi pada jenjang perekonomian yang lebih tinggi. Pada masa lalu diperoleh bukti keberadaan KUD sebagai alat penggerak ekonomi di desa-desa penelitian. Selain dengan KUD, pembenahan kelembagaan di pedesaan juga dilakukan melalui perangkat pemerintahan desa yang menginisiasi dan mengelola berbagai program pembangunan di perdesaan. Keadaan sarana ekonomi ini dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Sarana Ekonomi KUD, Individu dan Perangkat Kades Pada Masing-Masing Desa Lokasi Penelitian
No Desa KUD (Past) Ruan Putra Empat Sekato Harapan Sejahtera KUD (Existed) Warga Desa Secara Individu Toke Balok dan getah Toke Balok dan getah Toke Balok dan getah Toke Balok dan getah Perangkat Kades Simpan pinjam PKK -

1 2 3 4

Padang Kelapo Sungai Ruan Ulu Hajran Jelutih

Sumber : Hasil penelitian

41

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 33-43

Masing-masing koperasi di desa penelitian mempunyai peranan yang hampir sama, keberadaannya hanya rangka memanfaatkan sumber daya hutan. Di desa Sungai Ruan Ulu terdapat Koperasi Ruan Putra yang mendapat Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). Peran Koperasi bagi pembangunan desa hanya terbatas menyediakan dana untuk membangun Mesjid dan Kantor Kepala Desa dari hasil penerimaan di bidang perkayuan. Demikian juga dengan Hajran terdapat Koperasi Empat Sekato yang pada akhirnya juga tidak mendapat tempat di masyarakat karena dicurigai hanya mengambil keuntungan untuk koperasi itu sendiri tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat desa. H. Kegagalan-Kegagalan ProgramProgram Pembangunan Desa

c)

Praktek-praktek kolusif juga menjadi salah satu penyebab kegagalan IDT. Pengadaan sapi, dan kambing diketahui oleh masyarakat tidak sesuai dengan kriteria yang disusun bersama oleh kelompok.

Dari hasil workshop yang adakan di empat desa penelitian muncul keinginan masyarakat untuk turut serta dalam membudidayakan kelapa sawit. Keinginan ini berkaitan dengan program kabupaten Batanghari yang merencanakan akan menjadikan desa-desa penelitian untuk dijadikan daerah tujuan transmigrasi dengan komoditas adalah kelapa sawit. Kedua hal ini disebabkan dengan kenyataan: a) keinginan masyarakat untuk mempunyai lahan sawit sangat tinggi, dengan alasan bahwa keempat desa ini merupakan desa yang tidak terjamah oleh program pemerintahan kabupaten Batanghari dalam membudidayakan sawit. Bila dilakukan program transmigrasi, maka ke empat desa ini sangat berharap bahwa mereka terlibat ke dalam bentuk program yang akan dilaksanakan dengan harapan program membawa perubahan kehidupan masyarakat setempat terutama setelah hutan sudah tidak dimanfaatkan lagi.

Program pembangunan yang pernah dialami oleh desa-desa penelitian adalah program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Keempat desa penelitian masuk dalam kategori Desa Tertinggal yang mempunyai pengalaman sama yaitu gagal dalam menjalankan program tersebut. Dari hasil pendalaman terhadap berbagai kegagalan ini dapat dijelaskan penyebab-penyebabnya antara lain adalah sebagai berikut: a) Bidang usaha yang dipilih oleh Kelompok Masyarakat merupakan bidang usaha yang tidak didukung oleh kompentensi masyarakat untuk mengembangkannya. Sebagaimana digariskan bahwa jenis komoditi yang dikembangkan dalam program IDT adalah jenis komoditi yang mudah dipasarkan marketable akan tetapi pada kenyataannya masyarakat tidak mempunyai keahlian dalam mengelola jenis komoditi yang dikembangkan. Jenis komoditi yang pernah dikembangkan di empat desa ini antara lain adalah ternak sapi, kambing, keramba dan tanaman semusim seperti cabai. Kegagalan juga dikarenakan tidak adanya penyiapan kelembagaan di tingkat desa yang mampu mengelola Kelompok Masyarakat (Pokmas) dimana setiap penerima terhimpun. Kegagalan ini ditambah lagi bahwa secara program, IDT terputus dari program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten.

b)

Masyarakat memang tertarik untuk menanam sawit dengan berbagai program kemitraan yang ditawarkan oleh perusahaanperusahaan perkebunan sawit akan tetapi masyarakat desa Hajran mempunyai pengalaman pahit dengan PT. Sawit Desa Makmur yang hanya mengambil keuntungan dari pengambilan kayu-kayu dari lahan yang akan disiapkan menjadi lahan kebun sawit.

III. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


A. Kesimpulan Dari hasil pembahasan sebelumnya dapatlah ditarik berbagai kesimpulan karet merupakan komoditas potensial pengembangannya bagi desa-desa sekitar hutan di kabupaten Batanghari. Hal ini disebabkan masyarakat sudah berpengalaman dalam membudidayakan komoditas ini terbukti

b)

42

Pemanfaatan Lahan dan SDM dalam Pembangunan Masyarakat Desa

(Habibullah)

dengan mata pencaharian masyarakat yang mayoritas petani, kepemilikan kebun karet, luasan peruntukkan wilayah untuk kebun karet namun masyarakat masih ada yang tergiur untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu illegal yang diambil dari Taman Nasional Bukit Duabelas karena adanya desakan kebutuhan hidup dan pendapatan yang besar walaupun sesaat. Ada beberapa kendala sosial ekonomi yang dihadapi masyarakat dalam membudidayakan karet antara lain; terjebak dengan pinjaman tauke sehingga harga di masyarakat jauh lebih rendah dibandingkan harga pasar sementara keberadaan KUD belum begitu dapat diterima masyarakat.

B.

Rekomendasi

Pola pemanfaatan lahan dan sumber daya alam dilakukan masyarakat sekitar hutan dengan mengandalkan budidaya karet merupakan sumber ekonomi jangka panjang oleh karena itu berbagai program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan harus lebih berorientasi pada sumber daya lokal tanpa mengesampingkan aspek ekologi yang ada. Namun untuk budidaya karet bukan hanya bagaimana cara menanam karet yang baik dengan pemilihan bibit unggul, pemberian pupuk dan pembasmian hama akan tetapi harus mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat desa yang masih terjerat dengan pinjaman tauke sementara infrastruktur KUD belum dapat di terima sepenuhnya oleh masyarakat. Oleh karena itu perlu pembenahan KUD dan pembenahan berbagai program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1997. Evaluasi Pelaksanaan Pelita VI Provinsi Daerah Tingkat I Jambi. Laporan akhir, Kerjasama Bappeda Tingkat I Jambi dengan Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada Yogyakarta. , 2000. Kecamatan Bathin XXIV dalam Angka, Badan Pusat Statistik Kabupaten Batanghari, Muara Bulian , 2000. Kecamatan Maro Sebo Ulu dalam Angka, Badan Pusat Statistik Kabupaten Batanghari, Muara Bulian Arifin, B. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Alam Indonesia, Perspektif Ekonomi, Etika, dan Praksis Kebijakan, Erlangga, Jakarta. Redclift, M., 1987. Sustainable Development: exploring the contradictions, Methuen, London and New York. Soetomo, 2006. Strategi-Strategi Pembangunan Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Todaro, Michael, 1999. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga, Erlangga, Jakarta Tyler, Sthepen, R. 1999. Policy Implication Of Natural Resource Conflict Management, in Buckle, D, Editor Cultiating Peace Conflict And Collaboration in Natural Reource Management, The World Bank.

BIODATA PENULIS : Habibullah, Menyelesaikan kuliah di Jurusan Ilmu Sosiatri Fisipol Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2003, sempat bekerja sebagai Fasilitator Desa di Komunitas Konservasi Indonesia-Warsi (KKI-Warsi) LSM Program Habitat and Resources Management for the Kubu, sekarang sebagai Staf Bidang Program Puslitbang Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial RI.

43

MENCEGAH MENJADI ANAK JALANAN DAN MENGEMBALIKANNYA KEPADA KELUARGA MELALUI MODEL COMMUNITY BASED
Hari Harjanto Setiawan

ABSTRAK
Anak-anak di Kampung Pedongkelan mempunyai resiko tinggi untuk menjadi anak jalanan. Hal ini disebabkan ketidakmampuan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan, sehingga mendorong anak untuk bekerja sebagi pengamen, penjual koran, atau pedagang asongan. Secara umum, anak-anak masih tinggal bersama keluarga. Karena mereka mempunyai resiko tinggi untuk menjadi anak jalanan, maka pendekatan yang harus dilakukan adalah melalui pendekatan komunitas. Program yang dilaksanakan adalah melalui program income generating dan mendorong komunitas untuk turut serta mendorong potensi keluarga. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk meningkatkan kemampuan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan sosial, melindungi anak-anak sesuai dengan haknya.

Kata kunci : Anak Jalanan, Community Based, Keluarga

I.

PENDAHULUAN

Pendorong anak lari dari rumah dan hidup di jalan adalah penelantaran dan pengabaian oleh keluarga. Penelantaran sebagai dampak kemiskinan keluarga yang ditampilkan dalam bentuk ketidak mampuan fisik dan sosial. Dalam Pola Dasar Pembangunan Kesejahteraan Anak (Departemen Sosial RI, 1996), dikemukakan bahwa anak terlantar dapat dikarenakan orang tua melalaikan kewajibannya, sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar, baik secara rohani, jasmani dan sosial. Pada seminar Nasional Children On Fire di Hotel Savoy Homan Bandung yang berjudul Kebijakan Penanganan Anak Jalanan Di Indonesia, dikemukakan bahwa pemahaman terhadap situasi anak jalanan saja tidak akan memberikan jalan keluar yang efektif. Agar sebuah intervensi efektif, maka diperlukan pemahaman yang menyeluruh mengenai masyarakat dan keluarga anak jalanan. Pemahaman makro (struktural) dan mikro (dinamika keluarga) sangat dibutuhkan (Irwanto, 1999:2). Departemen sosial sudah melaksanakan beberapa program penanganan anak jalanan yang bekerja sama dengan lembaga internasional antara lain United Nation Devel-

opment Program (UNDP) dalam uji coba 10 rumah singgah di 7 propinsi di Indonesia; Asian Development Program (ADB) dalam progran Social Protection Sector Development Program (SPSDP) dan Health and Nutrition Sector Development Program (HANSDP). Program tersebut diberikan kepada anak jalanan dalam bentuk pendampingan, pelatihan ketrampilan, pemberian makanan tambahan dan pemberian beasiswa bagi anak yang sekolah melalui model rumah singgah. Ada 3 model penanganan anak jalanan antara lain : penanganan berbasis jalanan (street based), penanganan anak jalanan terpusat (center based), dan penanganan anak jalanan berbasis komunitas (community based). Dalam prakteknya lebih banyak diterapkan model street based dan center based, padahal model community based tidak kalah pentingnya dibandingkan pendekatan yang lainnya karena masing-masing pendekatan mempunyai kelemahan dan kelebihan. Penanganan anak jalanan sampai saat ini cenderung lebih dititik beratkan pada upaya pemberdayaan langsung kepada anak. Keberadaan keluarga atau orang tua anak jalanan yang cenderung sebagai penyebab anak turun ke jalanan belum tersentuh pelayanan secara optimal. Padahal dilihat dari perkembangannya, penyebab banyaknya anak

44

Mencegah Menjadi Anak Jalanan dan Mengembalikan Kepada Keluarga

(Hari Harjanto Setiawan)

jalanan dikota-kota besar bersumber dari keluarga yang mengalami kemiskinan maupun keretakan hubungan orang tua. Bila dilihat lebih jauh lagi ada dua faktor utama yaitu: pertama, ketidak siapan orang tua melakukan pernikahan baik fisik maupun mental. Kedua, faktor eksternal yang disebabkan karena faktor ekonomi seperti terjadinya krisis ekonomi yang menyebabkan terjadinya pemutusan kerja secara masal. Anak yang berada dalam kondisi keluarga seperti itu mempunyai resiko sangat tinggi (children at high risk). Salah satu wilayah yang banyak anak jalanannya adalah Kampung Pedongkelan. Dalam kondisi ini, pencegahan yang paling tepat agar anak tidak menjadi anak jalanan adalah penguatan fungsi keluarga. Sehingga model berbasis masyarakat (community based) perlu untuk dikembangkan selain kedua model yang lain. Inilah yang mendorong untuk melakukan penelitian di wilayah tersebut.

1. 2.

Bagaimana kehidupan keluarga anak jalanan di Kampung Pedongkelan? Model community based seperti apa yang dapat dikembangkan diwilayah tersebut?

III. TUJUAN
Penelitian menemukan ini secara umum bertujuan untuk model penanganan anak jalanan yang berbasis masyarakat sehingga dapat memberikan masukan kepada pemerintah, LSM maupun masyarakat dalam mencegah anak untuk menjadi anak jalanan dan mengembalikannya kepada keluarga. Dan secara khusus penelitian ini bertujuan : 1. 2. Menggambarkan kehidupan keluarga anak jalanan di Kampung Pedongkelan Menemukan model community based yang dapat dikembangkan diwilayah tersebut.

II. PERMASALAHAN
Konsekuensi logis dari perkembangan kota Jakarta sebagai kota metropolitan adalah lahirnya kantong-kantong pemukiman kumuh sebagai akibat kemiskinan yang dialami oleh warga di wilayah tersebut. Kondisi ini melahirkan tuntutan untuk kontribusi pendapatan dari seluruh keluarga agar dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya tak terkecuali anakanak dibawah umur. Salah satu wilayah yang termasuk dalam kriteria ini adalah Kampung Pedongkelan. Sebagai akibat ketidakmampuan keluarganya, anak-anak dari wilayah ini terpaksa bekerja sebagai pengamen, pedagang asongan maupun sebagai tukang parkir. Anak seperti ini kita kenal dengan istilah anak jalanan. Mereka dianggap sebagai permasalahan sosial karena selain mengganggu ketertiban umum juga kurang terpenuhinya hak mereka sebagai seorang anak. Kita kembalikan kepada keluarganya dengan memperkuat fungsi-fungsi keluarga. Sehingga dalam penelitian ini akan menjawab permasalahan umum penelitian yaitu Bagaimana mencegah anak untuk menjadi anak jalanan dan mengembalikannya kepada keluarga melalui model community Based ? dari permasalahan umum penelitian tersebut, secara khusus penelitian ini akan menjawab :

IV. DEFINISI KONSEP


A. Anak Jalanan Banyak istilah yang ditunjukkan kepada anak jalanan seperti anak pasar, anak tukang semir, anak lampu merah, peminta-minta, anak gelandangan, anak pengamen dan sebagainya. Menurut Lusk (1989, 57-58), yang dimaksud anak jalanan adalah ...any girl or boy...for whom the street (in the widest sense of the word, including unoccupied dwellings, wasteland, etc.) has become his or her habitual abode and/or source of livelihood; and who is inadequately protected, supervised, or directed by responsible adults. [setiap anak perempuan atau laki-lakiyang memanfaatkan jalanan (dalam pandangan yang luas ditulis, meliputi tidak punya tempat tinggal, tinggal di tanah kosong dan lain sebagainya) menjadi tempat tinggal sementara dan atau sumber kehidupan; dan tidak dilindungi, diawasi atau diatur oleh orang dewasa yang bertanggung jawab. Definisi anak jalanan yang disusun peserta lokakarya nasional anak jalanan DEPSOS bulan Oktober 1995, yang dimaksud anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya. Usia anak jalanan berkisar antara 6 sampai

45

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 44-53

dengan 18 tahun. Rentang usia ini dianggap rawan karena mereka belum mampu berdiri sendiri, labil mudah terpengaruh dan belum mempunyai bekal pengetahuan dan ketrampilan yang cukup. Di jalanan memang ada anak usia 5 tahun ke bawah, tetapi mereka biasanya dibawa orangtua atau disewakan untuk mengemis. Memasuki usia 6 tahun biasanya dilepas atau mengikuti temannya. Anak-anak yang berusia 18 sampai dengan 21 tahun dianggap sudah mampu bekerja atau mengontrak rumah sendiri bersama temantemannya. Anak jalanan dikelompokkan menjadi 3 tipologi yaitu anak yang mempunyai resiko tinggi (children at high risk), anak yang bekerja di jalan untuk membantu keluarganya (children on the street) dan anak yang hidup kesehariannya di jalan (children of the street). Ketiga tipologi anak jalanan tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda sehingga model penanganannya juga berbeda. Dalam penelitian ini anak jalanan yang dimaksud adalah yang tergolong dalam kategori children at high risk dengan usia dibawah 18 tahun. B. Model Penanganan Anak Jalanan

Menurut Departemen Sosial RI (1995), ada 3 model penanganan anak jalanan yaitu street based, center based dan community based. Masing-masing model ini memiliki kelemahan dan kelebihan tertentu.

Community based adalah model penanganan yang berpusat di masyarakat dengan menitik beratkan pada fungsi-fungsi keluarga dan potensi seluruh masyarakat. Tujuan akhir adalah anak tidak menjadi anak jalanan dan mereka tetap berada di lingkungan keluarga. Kegiatannya biasanya meliputi peningkatan pendapatan keluarga, penyuluhan dan bimbingan pengasuhan anak, kesempatan anak untuk memperoleh pendidikan dan kegiatan waktu luang dan lain sebagainya. Street based adalah kegiatan di jalan, tempat dimana anak-anak jalanan beroperasi. Pesan sosial menciptakan perkawanan, mendampingi dan menjadi sahabat untuk keluh kesah mereka. Anak-anak yang sudah tidak teratur berhubungan dengan keluarga, memperoleh kakak atau orang tua pengganti dengan adanya pekerja sosial. Center based yaitu kegiatan di panti, untuk anak-anak yang sudah putus dengan keluarga. Panti menjadi lembaga pengganti keluarga untuk anak dan memenuhi kebutuhan anak seperti kesehatan, pendidikan, ketrampilan waktu luang, makan, tempat tinggal, pekerjaan dan lain sebagainya. Open house (Rumah terbuka/Rumah singgah) di berbagai negara untuk melengkapi pendekatan yang sudah ada, termasuk di Indonesia. Keunikannya adalah mampu digunakan untuk memperkuat ketiga pendekatan diatas. Berikut adalah tipologi anak jalanan yang dihubungkan dengan model dan fungsi intervensi :

TIPOLOGI ANAK JALANAN


KATEGORI ANAK MODEL INTERVENSI FUNGSI INTERVENSI Preventif

Anak yang mempunyai resiko Community based tinggi menjadi anak jalanan (Children at high risk)

Anak yang bekerja di jalanan Street based (Children in the street)

Street education

Anak yang hidup di jalan (Children Center based of the street)


Sumber : Lusk (1989, 67-74)

Rehabilitatif Corectional

46

Mencegah Menjadi Anak Jalanan dan Mengembalikan Kepada Keluarga

(Hari Harjanto Setiawan)

Model Penanganan Anak Jalanan Berbasis Masyarakat (Community based ) adalah salah satu model penanganan anak jalanan yang menerapkan strategi pengembalian anak kepada keluarganya dan mencegah anak-anak menjadi anak jalanan. Anak yang menjadi sasaran adalah anak yang masih berhubungan atau tinggal dengan keluarga. Basis penanganan diarahkan pada penguatan fungsi keluarga, peningkatan pendapatan, dan pendayagunaan potensi masyarakat. Anakanak memperoleh pendidikan formal maupun non formal, memenuhi kebutuhan dasar, pengisian waktu luang dan lain-lain. Tujuan model ini adalah meningkatkan kemampuan keluarga dan anggota masyarakat dalam melindungi, mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak-anak. Childhope Asia (1990, 2) mengemukakan pengertian model community based sebagai pendekatan pencegahan. Pendekatan ini merupakan suatu alternatif untuk melembagakan anak jalanan. Hal itu merupakan suatu usaha yang menunjukkan bahwa permasalahan anak dimulai dari keluarga dan masyarakat. Proses pendekatan berbasis masyarakat adalah ditujukan pada keluarga anak jalanan, anak miskin perkotaan dan masyarakat untuk meyakinkan mereka membuat perubahan terhadap diri mereka sendiri agar tidak memanfaatkan anak mereka untuk mencari nafkah di jalan. Komponenkomponen pendekatan berbasis masyarakat antara lain : advokasi, pengorganisasian masyarakat, peningkatan pendapatan, bantuan pendidikan yang meliputi : klarifikasi nilai dan pelatihan ketrampilan. Dalam penelitian ini, Community based yang dimaksud adalah penanganan keluarga anak jalanan di Kampung Pedongkelan, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur. Alur pikir model digambarkan sebagai berikut :

Keberhasilan program dalam model community based tidak terlepas dari peranan pekerja sosial. Seseorang pekerja sosial yang bekerja di masyrakat kita sebut dengan pendamping masyarakat (community worker). Seorang community worker harus memiliki sikap yang ditampilkan pribadi, baik bersumber dari kompetensi profesional maupun secara fundamental melekat pada kualitas pribadinya. Kualitas pribadi tersebut disamping diperoleh melalui proses pelatihan, terlebih utama diperoleh dari pengalaman praktek di masyarakat. Kesadaran untuk membangun dan meningkatkan kualitas pribadi secara terus menerus perlu dikembangkan dalam rangka tanggung jawab profesionalnya. Peran seorang pekerja sosial menurut Zastrow (1986, 49-50) antara lain : Pemercepat perubahan (Enabler), Perantara (Broker), Pendidik (Educator), Tenaga Ahli (Ekspert), Perencana Sosial (Social Planner), Advokat (Advocate) dan Aktifis (Activist).

V.

METODE

Data dalam tulisan ini diambil dari penelitian terapan (action research) yang menurut penjabarannya termasuk penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini, peneliti terlibat langsung dalam pelaksanaan program di Kampung Pedongkelan. Tahapan dalam action research diulangi secara terus menerus sampai batas waktu yang telah ditentukan untuk menghasilkan suatu program yang lebih sempurna. Action research paling sedikit berproses dalam satu kali siklus dan dalam penelitian ini berjalan dua kali siklus.

Gambar 1 : Model Community Based


INPUT
KELUARGA ANAK JALANAN DI KAMPUNG PEDONGKELAN

PROSES
MODEL COMMUNITY BASED

OUTPUT
KEBERFUNGSIAN SOSIAL, KELUARGA ANAK JALANAN

47

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 44-53

VI. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Kehidupan Keluarga Anak Jalanan di Kampung Pedongkelan

Kampung Pedongkelan terletak di sebelah perempatan Coca-cola (by Pass) yang sangat strategis untuk menuju pusat-pusat perekonomian kota sehingga penduduk banyak yang memanfaatkan sebagai sumber pendapatan. Kearah timur menuju terminal Pulogadung, kearah utara menuju Tanjung Priuk, kearah barat menuju ke Senen dan ke arah selatan menuju ke Jatinegara. Berdasarkan kondisi geografisnya, daerah Pedongkelan merupakan daerah dataran rendah dan terletak diatas rawa-rawa. Apabila hujan, maka genangan air naik dan membanjiri rumahrumah penduduk. Sebagian besar mata pencaharian kepala keluarga di Kampung Pedongkelan adalah pedagang kecil, tukang ojeg dan pengelap mobil. Dengan mata pencaharian tersebut penghasilan mereka rata-rata Rp.10.000,sampai dengan Rp. 20.000,-perhari perkeluarga. Pendapatan yang sedikit menyebabkan mereka tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya, sehingga mereka terpaksa mengajak anaknya untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Dalam membantu keluarganya, anak-anak tersebut bekerja sebagai pengamen, pengelap mobil dan ada juga yang berdagang koran. Kondisi yang menyedihkan ini diperburuk lagi ketika ada orang yang memanfaatkan kondisi keluarga tersebut untuk membungakan uang (renternir). Bunga yang ditentukan renternir berkisar antara 20%-30%. Karena terdesak oleh kebutuhan keluarga, tidak jarang dari mereka yang meminjam uang dari renternir. Bunga yang tinggi ini menyebabkan usaha mereka tidak berkembang karena keuntungannya habis dipakai untuk membayar hutang. Untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya, penduduk terbiasa dengan cara gali lobang tutup lobang.

Hampir setiap keluarga memiliki anak jalanan yang pada umumnya berpendidikan hanya sampai tingkat SD dan bahkan ada yang tidak bersekolah. Mereka pulang ke rumah secara teratur (tiap hari bertemu karena tinggal dengan orangtuanya) maupun tidak teratur, secara berkala pulang ke rumah. Keluarga anak jalanan adalah keluarga miskin yang tinggal di daerah-daerah kumuh di perkotaan. Begitupun yang berasal dari luar kota berasal dari desa-desa miskin. Lingkungan komunitas mereka biasanya ditandai dengan kurangnya sarana drainase dan sanitasi, rumah-rumah yang sempit, kurangnya sarana bermain untuk anak, merupakan rumah sewaan, dan sebagainya. Padahal keluarga-keluarga tersebut biasanya mempunyai jumlah anak yang banyak dan pendapatan mereka di bawah garis kemiskinan. Dalam kondisi seperti itu, anak-anak memperoleh tekanan untuk bekerja dan sebagian besar meluangkan waktunya di jalanan. Bagi mereka, persoalan yang utama mereka hadapi adalah bagaimana mempertahankan kelangsungan hidup, bukan lagi bagaimana bisa bersekolah dengan baik seperti anak-anak lainnya. B. Model Community Based

Salah satu LSM yang menangani anak jalanan di wilayah Jakarta Timur adalah Yayasan SEKAM. Menurut data dari Yayasan SEKAM (th 2000) jumlah anak jalanan yang dibina di sekitar Jakarta Timur berdasarkan tipologi anak jalanan, antara lain children of the street yang berjumlah 199 orang atau 10%, yang membutuhkan model center based. Anak yang tergolong children in the street berjumlah 493 orang atau 25%, yang membutuhkan model street based, dan anak yang tergolong children at high risk berjumlah 1283 orang atau 65% yang membutuhkan program community based. Apa bila digambarkan kondisi tsebut adalah sebagai berikut :

48

Mencegah Menjadi Anak Jalanan dan Mengembalikan Kepada Keluarga

(Hari Harjanto Setiawan)

Gambar 2. Kategori anak jalanan berdasarkan jumlah dan model penanganan


65 % 25 %
10 %
Children of the street Children in the street Children at high risk

Center Based

Street Based

Community Based

Sumber : Yayasan SEKAM tahun 2000

Berdasarkan hasil observasi kondisi anak jalanan dan latar belakang keluarganya, maka model community based dianggap efektif dikembangkan di wilayah Kampung Pedongkelan.

Proses penanganan anak jalanan dengan pendekatan community based dapat kita lihat dalam gambar sebagai berikut :

Gambar 3. Kategori anak jalanan berdasarkan jumlah dan model penanganan

Tipologi anak jalanan

TUJUAN Membangkitkan kesadaran orang tua Membantu mengindentifikasi kebutuhan Mengembangkan kapabilitas keluarga SASARAN Terwujudnya keluarga yang mandiri Terwujudnya keberfungsian keluarga Terbinanya keluarga peduli anak TARGET INTERVENSI Keluarga/orang tua anak jalanan PRINSIP Partisipatif, sustainable, pemberdayaan, multiefek, dan kontrol sosial PROGRAM Penambahan pendapatan keluarga (income generating) dan pembentukan keluarga yang baik (good parenting) income generating

Children of the stereet berjumlah 199 atau 10%

KEBERFUNGSIAN SOSIAL KELUARGA ANAK JALANAN

Anak tidak lagi di jalan dan kembali ke keluarga

Children in the stereet berjumlah 493 atau 25%

Children at high risk berjumlah 1283 atau 65%

PENDAMPINGAN OLEH PEKERJA SOSIAL

49

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 44-53

Tujuan penanganan dengan model ini adalah Pertama, untuk membangkitkan kesadaran orang tua dan anak-anak mengenai hak-hak anak, serta membangkitkan perasaan bahwa mereka bisa melakukan sesuatu untuk merubah kehidupannya. Kedua, membantu mereka dalam mengidentifikasi kebutuhankebutuhan mereka serta mengorganisir penduduk untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ketiga, mengembangkan kapabilitas orang tua dan anak-anak untuk memahami dan bertindak berdasarkan kemampuan mereka dalam menggunakan sumber-sumber internal maupun eksternal guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan individual, keluarga dan masyarakat serta untuk mengatasi masalah-masalah mereka. Sasaran dari model community based adalah: Pertama, terwujudnya keluarga dan masyarakat yang mampu mengurus dirinya sendiri dan mampu memecahkan masalahmasalah yang ada dalam masyarakat sendiri serta tidak tergantung pihak lain. Kedua, terciptanya keberfungsian sosial kehidupan anak dengan keluarga dan masyarakat secara harmonis. Ketiga, terwujudnya dan terbinanya kepedulian serta peran aktif keluarga dan masyarakat dalam melindungi anak-anak mereka agar tidak turun ke jalanan. Target intervensi program secara langsung adalah keluarga anak jalanan dan masyarakat. Sedangkan sasaran tidak langsungnya adalah anak jalanan itu sendiri. Sedangkan fungsinya adalah mencegah agar anak tidak turun ke jalan, mengembalikan anak kepada orang tua atau keluarga pengganti, dan anak mandiri dan bekerja pada tempat yang lebih baik dari pada di jalanan. Prinsip pelayanan adalah partisipatif, sustainable, pemberdayaan, multiefek, dan kontrol sosial. Partisipatif yaitu menekankan pada kebersamaan atau saling memberikan sumbangan akan kepentingan dan masalahmasalah bersama yang tumbuh dari kepentingan dan perhatian individu keluarga anak jalanan itu sendiri. Partisipasi adalah hasil dari kesepakatan warga masyarakat akan perubahan sosial yang mereka harapkan. Sutainable, yaitu dalam proses pengembangan keluarga dan masyarakat harus berkelanjutan. Program yang dilaksanakan harus berkaitan satu dengan program selanjutnya dan tidak hanya berorientasi pada tuntutan proyek.

Pemberdayaan (empowerment) yaitu peningkatan kemampuan keluarga untuk memelihara kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan perlindungan anak. Dalam hal ini keluarga anak jalanan tidak tergantung selamanya pada pekerja sosial pendamping. Multiefek, yaitu intervensi yang dilakukan terhadap keluarga anak jalanan tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri, tetapi juga berdampak pada lingkungan sekitarnya terutama pada anak mereka. Kontrol sosial yaitu segala tindakan pencegahan dan pengawasan yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat terhadap tindak kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi maupun penelantaran anak yang terjadi pada keluarganya. Program atau kegiatan dalam model community based antara lain penambahan pendapatan keluarga (income generating) dan pembentukan keluarga yang baik (good parenting). Income generating yaitu bantuan sosial bagi keluarga atau orang tua anak jalanan dengan harapan untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Dengan meningkatnya pendapatan keluarga diharapkan dapat memenuhi hak-hak anaknya. Jenis pelayanan yang diberikan antara lain: pemberian bantuan modal usaha ekonomi produktif berupa pinjaman uang untuk berdagang, bimbingan motifasi berwira usaha, pembentukan kelompok swadaya masyarakat dan pelatihan manajemen kelompok. Dalam pelaksanaan program pertama adalah memberikan modal bergulir kepada keluarga anak jalanan sebanyak 150 keluarga. Kemudian setelah 6 bulan kemudian pada program kedua adalah semakin memperluas pelayanan dengan menambah anggota yaitu sebayak 100 keluarga sehingga jumlah keseluruhan adalah 250 keluarga. Selain menambah anggota juga membentuk lembaga yang menaungi yaitu koperasi. Sedangkan good parenting adalah meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan bagi keluarga bermasalah atau rawan masalah sehingga secara bertahap mampu mendaya gunakan berbagai sumber yang tersedia baik didalam maupun diluar keluarga guna pemecahan permasalahan atau kerawanan yang dialami. Jenis pelayanan yang diberikan antara lain: pemberian informasi tentang kesejahteraan keluarga, mengembangkan

50

Mencegah Menjadi Anak Jalanan dan Mengembalikan Kepada Keluarga

(Hari Harjanto Setiawan)

pengetahuan dan ketrampilan, membantu merujuk kepada pelayanan terkait yang dibutuhkan, penyuluhan dan bimbingan tentang hak anak sehingga keluarga tersebut tersentuh untuk berusaha memenuhinya. Keberhasilan model community based tidak lepas dari peranan pendamping masyarakat yang dilakukan oleh pekerja sosial. Peran pekerja sosial dalam mendampingi masyarakat Kampung Pedongkelan antara lain: pertama, sebagai enabler yaitu membantu masyarakat agar dapat mengartikulasikan kebutuhan mereka, mengidentifikasikan masalah mereka, dan mengembangkan kapasitas mereka agar dapat menangani masalah yang mereka hadapi secara lebih efektif. Peranan sebagai enabler ini adalah peran klasik dari seorang community worker. Dasar filosofis dari peran ini adalah help people to help them selves. Kedua, sebagai broker (perantara) yaitu terkait erat dengan upaya hubungkan individu atau kelompok dalam masyarakat yang membutuhkan bantuan ataupun layanan masyarakat (community services), tetapi tidak tahu dimana dan bagaimana mendapatkan bantuan tersebut, dengan lembaga yang menyediakan layanan masyarakat. Peran sebagai perantara, yang merupakan peran mediasi dalam konteks pengembangan masyarakat.juga diikuti dengan perlunya melibatkan klien dalam kegiatan penghubung ini. Ketiga, pendidik, community worker diharapkan mempunyai kemampuan menyampaikan informasi dengan baik dan jelas, serta mudah ditangkap oleh komunitas yang menjadi sasaran perubahan. Disamping itu ia harus mempunyai pengetahuan yang cukup memadai mengenai topik yang akan dibicarakan. Dalam kaitan dengan hal ini, seorang community worker tidak jarang harus menghubungi rekan dari profesi lain yang menguasai materi tersebut. Keempat, sebagai tenaga ahli (ekspert), community worker diharapkan untuk memberikan masukan, saran dan dukungan informasi dalam berbagai area. Misalnya saja, seorang tenaga ahli diharapkan dapat memberikan usulan mengenai bagaimana struktur organisasi yang bisa dikembangkan dalam suaatu organisasi nirlaba yang menangani lingkungan, kelompok-kelompok mana saja yang harus terwakili, atau memberikan masukan mengenai isu yang pantas dikembangkan dalam suatu komunitas (termasuk organisasi). Kelima,

sebagai Perencana Sosial (Social Planer) yaitu mengumpulkan data mengenai masalah sosial yang terdapat dalam komunitas, menganalisisnya dan menyajikan alternatif tindakan rasional untuk menangani masalah. Setelah itu perencana sosial mengembangkan program, mencoba alternatif sumber pendanaan, dan mengembangkan konsensus dalam kelompok yang mempunyai berbagai kepentingan. Jadi perencanaan sosial lebih memfokuskan pada tugas-tugas yang terkait dengan pengembangan dan pelaksanaan program. Keenam, sebagai advokat dalam community work dicangkok dari profesi hukum. Peran advokat pada satu sisi berpijak pada tradisi pembaharuan sosial, dan pada sisi lain berpijak pada tradisi pelayanan sosial. Peran ini merupakan peran yang aktif dan terarah dimana community worker menjalankan fungsi advokasi. Seseorang community worker tidak jarang harus melakukan persuasi terhadap kelompok profesional ataupun kelompok elit tertentu, agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Ketujuh, Sebagai activist, seorang community worker mencoba melakukan perubahan institusional yang lebih mendasar, dan seringkali tujuannya adalah mengalihkan sumberdaya ataupun kekuasaan (power) pada kelompok yang kurang mendapatkan keuntungan (disadvanted group). Seorang aktifis biasanya memperhatikan isu-isu tertentu, seperti ketidak sesuaian dengan hukum yang berlaku (injustice), kesenjangan (inequity) dan perampasan hak. Seorang aktifis biasanya mencoba menstimulasi kelompok-kelompok yang kurang diuntungkan tersebut untuk mengorganisir diri dan melakukan tindakan melawan struktur kekuasaan yang ada (yang menjadi penekanan mereka). Taktik yang biasa mereka lakukan adalah melalui konflik, konfrontasi (misalnya melalui demonstrasi) dan negoisasi.

VII. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan Community based digunakan untuk menggali dan menumbuhkan partisipasi keluarga dan masyarakat setempat dalam menemukan kebutuhan-kebutuhannya, merencanakan kegiatan dalam memenuhi kebutuhan, berpartisipasi aktif dalam melaksanakan kegiatan dan mengawasi

51

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 44-53

pelaksanaan kegiatan. Proses ini dilaksanakan dengan cara mengembangkan sikap-sikap kooperatif dan kolaboratif antar warga masyarakat. Dari tahapan penelitian diatas dapat diambil manfaat bahwa proses community based yang harus dilalui oleh seorang pekerja sosial bukanlah proses alamiah, akan tetapi merupakan proses sosial yaitu serangkaian aktifitas yang terencana untuk memfasilitasi dan mengembangkan kapasitas individu kelompok dan masyarakat guna merespon masalah-masalah yang dipandang dalam kerangka kerja dari tujuan-tujuan dan nilai-nilai spesifik. B. Saran

kredit hanyalah sebagai alat saja, sedangkan tujuan utamanya adalah kesejahteraan anak atau terpenuhinya hak anak. Kedua, Permasalahan yang dialami keluarga anak jalanan bukan hanya masalah ekonomi saja, tetapi juga masalah nilai-nilai yang diterapkan keluarga terhadap anaknya. Untuk itu selain program income generating, perlu diimbangi dengan program good parenting. Sehingga perlu adanya komitmen orang tua anak jalanan untuk melaksanakan program tersebut. Ketiga, Pelaksanaan program sering berbenturan dengan pihak-pihak tertentu, misalnya pemerintah setempat, ada LSM yang merasa tersaingi maupun renternir yang kehilangan lahan. Untuk mengatasi masalah tersebut, libatkan stakeholder dan shareholder disekitrar komunitas Kampung Pedongkelan.

Pertama, Pekerja sosial kadang-kadang terjebak pada kegiatan mikro kredit yang seolah-olah sebagai suatu tujuan. Pekerja sosial harus menyadari bahwa intervensi melalui mikro

DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Adi, Isbandi Rukminto. 2001, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas, Lembaga penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Carrizosa and Poertner. 1990, International social work : Latin American Street Children. Childhope Asia, A Guidebook for Community Based Programs Among Street Children and Theit families, National Project on Street Children, Philippines. Kruenge Richard. 1988, Focus Group: A Practical Guide For Aplied Research, Sage publication, Newbury Park Beverly Hills London New Delhi. Moleong, Lexy J. 1990, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya Bandung. Margaret Alston and Wendy Bowles. 1998, Research for Social Workkers; An Introduction to Methods, Allen & Unwin. Skidmore, Rex. 1994, Introduction to Social Work, Sixth Edition, Prentice Hall International Editions. Siporin, Max. 1975, Introduction to Social Work Practice,: MacMillan Publishing Co. Inc, New York & Coll ier Macmillan Publishers, London. Stringer T Ernest. 1996, Action Research : A Hand For Practitioners, California: Sage publication, Inc. Zastrow, Charles. 1985, The Practice of Social Work, Dorsey Pres, Chicago.

Artikel dan Makalah :


Anwar Jeffry. 1994, Ekonomi Jalanan Suatu Pendekatan Alternatif Dalam Penanganan Anak Jalanan di Perkotaan, Makalah seminar. Balukh, Benyamin (Ketua Komisi VII DPR).2000, Kerangka Kebijakan Terhadap Perlindungan Hak Anak, Konas III Kesejahteraan Anak, Hotel Sahid Jaya, Jakarta.

52

Mencegah Menjadi Anak Jalanan dan Mengembalikan Kepada Keluarga

(Hari Harjanto Setiawan)

Hikmat, Harry. 1999, Perlindungan Anak Dalam Perspektif Pendekatan Pembangunan Pada Generasi Selanjutnya, Seminar Hari Anak Nasional STKS Bandung. Irwanto. 1999, Anak Jalanan : Strategi Intervensi Terbaik Untuk Indonesia, Unika Atmajaya, Jakarta. Sanusi, Makmur. 1996, Beberapa Temuan Lapangan Survey Anak Jalanan dan Rencana penanganannya di Jakarta dan Surabaya, Jakarta Departemen Sosial-UNDP . Sudrajat, Tata. 1997, Mengenali Program Penanganan Anak Jalanan, Makalah untuk pelatihan beranting pendamping anak, YKAI Silva, Theresita L, Memobilisasi Masyarakat Bagi Perlindungan Dan Rehabilitasi Anak Jalanan, Perwakilan Regional Childhope Asia Philipina.

Karya Ilmiah Akhir, Thesis dan Disertasi :


Adi, Isbandi Rukminto. 1999, Social Work Macro Intervention, Street Childrens Problem and The Open House For Street Children in Jakarta, School of Social Work, Faculty of Art and Social Sciences, University of New South Wales. Harjanto S, Hari. 1998, Pemberdayaan Anak Jalanan Di Kecamatan Majalaya Kabupaten Dati II Bandung, Karya Almiah Akhir, STKS Bandung. Kartika, Tuti. 1997, Anak Jalanan Dan Model Penanganannya, Tesis Program Magister , Program Studi Sosiologi, Kekhususan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Universitas Indonesia, Jakarta. Wibawa, Dhevi Setia. 2000, Anak Jalanan Pun punya Waktu Luang Studi tentang Leisure pada anak jalanan di Jakarta, Tesis Program Pasca Sarjana, Bidang Ilmu Sosial, Kekhususan Sosiologi, Universitas Indonesia, Jakarta.

Konvensi, Keputusan dan Undang-undang :


Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 23/HUK/1996 Tentang Pola DasarPembangunan Kesejahteraan Sosial. Unicef, Convention On The Right Of The Child. (Konvensi Hak-hak Anak) Undang-undang No 4. 1979, Tentang Kesejahteraan Anak. Undang-undang No 23 Tahun 2005 Tentang Perlindungan Anak.

BIODATA PENULIS : Hari Harjanto Setiawan, adalah Kandidat Peneliti Pusat Penelitian Dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI. Tulisan ini mengambil sebagian data dari tesis yang telah disesuaikan.

53

IMPLEMENTASI PENDEKATAN PENGORGANISASIAN MASYARAKAT FEMINIS ISLAMIS DALAM MEMERANGI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DI INDONESIA
Sebuah Kajian Kualitatif
Dorita Setiawan Everything changes, what does not change is the change it self(anonimous)

ABSTRAK
Pendekatan pengorganisasian masyarakat, pada dunia Barat, telah menjadi salah satu cara dalam memerangi kekerasan terhadap perempuan (violence against women). Kombinasi antara pendekatan yang berdasarkan teori feminis dan pengorganisasian masyarakat ini telah menjadi salah satu cara yang dikenal dalam mengatasi beberapa masalah sosial, lebih khusus, pendekatan ini terbukti pula menjadi salah satu cara yang paling efektif dalam memerangi isu-isu gender, khususnya kekerasan terhadap perempuan. Dalam pekerjaan sosial, masyarakat adalah salah satu elemen terpenting dalam agenda perubahan, masyarakat adalah objek sekaligus subjek akan suatu perubahan; masyarakat adalah sumber kekuatan terpenting yang harus tetap diperhatikan. Dalam lapangan pekerjaan sosial, masyarakat disebut juga dengan level mezo atau level tengah yang berada di antara level mikro (individu) atau yang bersifat klinis dan makro yang lebih bersifat kebijakan. Dengan kata lain pendekatan terhadap masyarakat adalah jembatan yang begitu penting dalam sebuah perubahan mikro dan makro dalam pendekatan yang lebih luas dan komprehensif.

Kata kunci : masyarakat, pengorganisasian masyarakat, feminisme, kekerasan perempuan, pemberdayaan

I.
A.

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Pengorganisasian masyarakat dalam tradisi bangsa Indonesia sudah ada sejak lama dikenal dengan tradisi gotong-royong atau pela gandong pada masyarakat Indonesia Timur. Ini artinya dalam tradisi Indonesia telah ada budaya kebersamaan dalam memecahkan masalah, dengan usaha kolektif. Dalam beberapa kasus personal, ternyata lebih efektif diatasi dengan cara bersama. Tetapi kini tidak dapat disangkal, budaya individualis yang kian banyak dianut orang baik di komunitas urban, juga masyarakat rural membawa masalah sosial yang semakin kompleks. Permasalahan tersebut membutuhkan tidak hanya pendekatan personal, tapi juga organisasional. Bila ditelusuri lebih jauh, hal ini lebih disebabkan oleh ketiadaan informasi akan aksi dan respon yang dapat dilakukan. Contohnya saja pada kasus kekerasan pada perempuan, khususnya pada

KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), dimana terjadi ketidakacuhan terhadap persoalan ini. Masih banyak kalangan yang menganggap bahwa KDRT adalah isu privat yang tidak dapat dicampur tangani. Banyak yang tidak tahu bahwa kekerasan semacam ini dapat dilaporkan kepada pihak yang berwenang. Ini terbukti dengan banyaknya laporan KDRT akut atau yang telah berujung kerusakan badan fatal, hingga kematian.1 Dalam pekerjaan sosial, dari level makro hingga level mikro, upaya untuk memecahkan masalah tersebut harus dilakukan secara komprehensif. Pendekatan mikro, mezo dan makro adalah usaha yang saling terkait satu dengan yang lain. Artinya seorang pekerja sosial yang kompeten, harus mampu menguasai semua tingkat keterampilan, baik dari pendekatan mikro seperti konseling hingga advokasi yang lebih banyak ditemukan pada tingkat makro.2 Pada kasus kekerasan terhadap perempuan secara umum, pendekatan berlapis (makro, mezo dan mikro) menjadi pilihan solusi yang tidak terelakan.

54

Implementasi Pendekatan Pengorganisasian Masyarakat Feminis Islamis

(Dorita Setiawan)

Karena nyata bahwa kasus ini bukanlah kasus ekslusif milik perempuan, tetapi masyarakat secara menyeluruh. Mengacu pada pernyataan yang terkenal dari kaum feminis bahwa personal is political yang tidak lain menyatakan bahwa apa yang dirasakan perempuan secara personal adalah masalah politis. Sebenarnya pandangan ini berlaku pada semua manusia secara umum yang mengalami kekerasan. Kekerasan adalah kekerasan. Alasan mengapa perempuan yang diprioritaskan, bukan berdasarkan posisi perempuan yang lebih penting pada masyarakat, dan menomor duakan yang lain,tetapi lebih pada bukti faktual dan sejarah. Dalam lintasan sejarah, perempuan adalah salah satu kelompok yang paling dirugikan dan menjadi korban dalam masalah sosial dan mereka dianggap sebagai warga kelas dua. 3 Selanjutnya, kaitan dengan usaha memerangi kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, khususnya sekitar penerapan teori feminis pada isu gender ini -bila disampaikan langsung demikian- akan memiliki banyak tantangan dan penolakan dari masyarakat umum. Kata feminis itu sendiri seperti menjadi momok tersendiri di beberapa kalangan di Indonesia. Pandangan seperti ini terjadi karena akses informasi yang kurang tentang feminisme. Ketakutan akan segala macam yang berbau Barat mengundang stigma tersendiri terhadap feminisme, seperti adanya stigma yang mengatakan bahwa feminisme adalah paham Barat yang memusuhi laki-laki. Ini tentu saja tidak tepat. Perlu dipahami bahwa menurut pandangan pribadi saya, dengan tidak bermaksud menomorduakan pendekatan lain yang juga penting saya melihat bahwa pendekatan feminisme adalah salah satu kaca mata penting yang harus dipakai dalam melihat sebuah masalah lebih urut. Memahami hal di atas, penyesuaian dan adaptasi pendekatan pengorganisasian masyarakat feminis dalam konteks yang lebih lokal menjadi hal yang harus dilakukan agar mudah dipahami dan mendekati sasaran. Dalam hal ini, karena konteks yang saya miliki, saya akan mencoba untuk mengkaji lebih jauh kemungkinan yang ada dalam mengembangkan pendekatan ini dengan pemahaman yang berdasar dengan teori keIslaman. Untuk ini saya mengambil tema,

pendekatan pengorganisasian masyarakat feminis Islamis dalam memerangi isu kekerasan terhadap wanita. Tentu saja pendekatan ini sama sekali tidak baru karena terbukti adanya ikatan yang kuat antara pengorganisasian masyarakat dan spiritualitas. 4 Alasan mengapa saya lebih memilih teori keIslaman, adalah salah satu cara saya dalam mengaplikasikan teori feminisme yang saya pahami dengan konteks saya sendiri, Indonesia dan juga muslim. Di Indonesia, sejarah telah banyak mencatat adanya beberapa gerakan perempuan Islam yang memerangi isu-isu gender termasuk di dalamnya kekerasan terhadap perempuan. Contohnya, gerakan perempuan pada beberapa organisasi Islam seperti Muhammadiyah (Aisiyah) dan NU.5 Kini, tentu saja masih banyak lagi organisasi perempuan yang ada seperti dari kalangan cendekia dan lembaga keIslaman yang muncul, seperti adanya komisi perempuan di sebagian besar organisasi masyarakat dan juga di lembaga pemerintahan, namun seperti yang dapat diduga, jumlah yang banyak dan dianggap telah mewakili, tetap saja belum mampu memenuhi tuntutan masalah perempuan karena begitu banyak terjadi di tengah masyarakat Indonesia. Namun, everything counts atau apapun yang terjadi menjadi penting yang artinya ini adalah awal yang baik dari sebuah perubahan yang besar dan bertahap. Lebih lanjut, seperti yang saya telah bahas sebelumnya, tema feminisme ini saya angkat karena dalam masyarakat, teori feminisme masih berada di dalam tataran ideologi. Kesulitan bertambah ketika kemudian teori ini masih begitu kental diasumsikan sebagai nilai Barat. Alih-alih diterima, yang terjadi kemudian adalah penolakan atas pendekatan ala kebarat-baratan nya. Ditambah lagi dengan adanya ketakutan akan ancaman wanita sebagai penjajah baru. Pada tahap personal saya menyangkal asumsi seperti ini dan secara akademis juga merasa tertantang untuk membuktikan bahwa anggapan ini salah besar. Ditambah lagi dengan adanya kesalahpahaman akan emansipasi perempuan yang begitu menakutkan bagi sebagian besar masyarakat. Semua tantangan ini tidak mesti harus dihadapi dengan frontal, namun perlu juga menggunakan paham ini

55

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 54-70

dengan cara yang lebih lembut lebih mengena pada masalah yang tengah dipersoalkan. Selain itu kita harus memilih definisi secara umum tentang kekerasan terhadap perempuan. Untuk memperjelas, bentuk kekerasan dapat didefiniskan secara umum sebagai segala bentuk kekerasan fisik, psikologis atau emosional yang dialami oleh perempuan karena ia memiliki jenis kelamin perempuan. Bentuk kekerasan ini terjadi baik pada kawasan pribadi atau publik.6 Kini, kekerasan perempuan telah banyak mengisi agenda pergerakan sosial di seluruh dunia; kekerasan perempuan adalah salah satu tema penting dalam penghapusan kekerasan global yang terjadi di muka bumi ini.7 Perhatian ini bukan berarti menafikan kekerasan yang terjadi selain terhadap perempuan. Pilihan terhadap kekerasan perempuan ini lebih karena kekerasan terhadap perempuan memiliki sisisisi lain yang banyak tidak disadari oleh masyarakat umum. Banyaknya konstruksi sosial dan stigma yang dialamatkan pada diri seorang perempuan. Pendapat yang mengatakan bahwa perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi, karena kawasan perempuan hanya akan berkisar pada sumur, kasur dan dapur, adalah salah satu yang masih bnayak ditemukan dalam masyarakat. Isu kekerasan ini mendunia seiring dengan semakin banyak terjadi kasus kekerasan yang ada di masyarakat, dari ranah domestik hingga pada kawasan publik.8 Banyak studi yang dilakukan yang menunjukan bahwa masyarakat dalam hal ini adalah bagian terpenting dalam melakukan usaha memerangi kekerasan yang terjadi. Masyarakat biasanya adalah saksi first hand, di sisi lain sebenarnya masyarakat juga dapat dimaksimalkan sebagai penolong pertama ketika kekerasan ini terjadi, Dalam tulisan ini saya akan secara spesifik membahas bagaimana pentingnya orientasi kemasyarakatan pada praktek pekerjaan sosial. Tulisan ini juga mengkaji lebih jauh tentang bagaimana pengorganisasian masyarakat dilakukan dalam konteks kekerasan terhadap perempuan. Lebih spesifik lagi saya akan membahas lebih jauh tentang pendekatan pengorganisasian yang feminis (feminist community approach) dan bagaimana kompromi

yang dilakukan ketika harus berhadapan dengan nilai keIslaman. B. Tujuan

Tulisan ini diharapkan untuk memberikan pemahaman penting tentang teori feminisme yang ada di dalam teori pengorganisasian masyarakat. Hal lain yang didiskusikan disini adalah apa saja elemen yang paling penting dalam pengorganisasian masyarakat serta isuisu apa saja yang dapat diangkat dan ditemukan solusinya dengan pengorganisasian masyarakat. Pada dasarnya teori feminisme bukan saja melulu milik perempuan tetapi lebih pada nilai dasar akan persamaan hak bagi setiap manusia tanpa mengenal jenis kelaminnya tetapi lebih pada sisi kemanusiaan itu sendiri. Kekerasan perempuan hanyalah salah contoh isu yang dipergunakan penulis agar lebih mudah memberikan contoh aplikasi akan pendekatan pengorganisasian masyarakat ini. Makalah ini pun tidak mendetail membahas tentang kekerasan perempuan, lebih lanjut penulis akan menulis kekerasan perempuan ini di dalam kerangka pemilihan isu yang dapat dipergunakan dalam penerapan teori pengorganisasian masyarakat yang feminis Islamis.

II. PENDEKATAN PENGORGANISASIAN MASYARAKAT YANG FEMINIS ISLAMIS A . Mengembangkan Orientasi Kemasyarakatan
Agar lebih efektif, pekerja sosial butuh pemahaman konseptual akan apa yang dimaksudkan dengan masyarakat. Dia juga perlu tahu cara bagaimana menerapkan teori ke dalam sebuah praktek profesional. Tentu saja salah satu cara memahami hal tersebut adalah dengan memahami pengalaman diri sendiri sebagai bagian dari masyarakat.9 Selanjutnya, pandangan umum akan masyarakat atau komunitas ini dicapai lewat sebuah kajian dari berbagai ilmu sosial, seperti, antropologi, sosiologi, ilmu politik dan ekonomi. Pengalaman yang ada dari berbagai bidang

56

Implementasi Pendekatan Pengorganisasian Masyarakat Feminis Islamis

(Dorita Setiawan)

ini memberikan satu dasar pemahaman akan sebuah komunitas atau masyarakat. Mengingat banyaknya definisi tentang komunitas itu, dan bagaimana manusia terafiliasi ke dalam satu masyarakat, maka akan dijelaskan tiga dimensi dalam membentuk sebuah masyarakat : 1. 2. 3. Sebuah unit fungsi ruang dalam memenuhi kebutuhan Sebuah unit akan interaksi sosial terpola. Sebuah unit simbolis atas sebuah identitas kolektif.10

peran komunitas yang berbeda, memobilisasi masyarakat juga sarana yang ada di masyarakat itu sendiri.11 Pandangan feminis pada tulisan ini khususnya digunakan sebagai perekat dan dasar penghapus diskriminasi atas dasar jenis kelamin yang dapat menghalangi partisipasi warga masyarakat dalam usaha bersama pengorganisasian masyarakat. Ini diterapkan karena pada intinya usaha pekerja sosial dan mandat feminisme serupa dalam menimbulkan, menjaga dan meningkatkan fungsi sosial individu, keluarga juga masyarakat. Dalam melakukan ini pekerja sosial memberikan intervensi dan perhatian pada lingkungan sosial dan individu serta hubungan interaksi keduanya.12 Dengan kata lain praktek yang ada pada level makro dan mikro membutuhkan pekerja sosial yang memahami masyarakat sebagai elemen penting dalam lingkungan sosial. Pengetahuan akan komunitas dibutuhkan untuk melihat dampak lingkungan akan perkembangan individu-individu yang ada sebagai anggota masyarakat. Pekerja sosial harus dapat mengetahui tentang resources atau sarana yang ada di dalam masyarakat juga mengenali kondisi masyarakat yang mungkin membatasi kesempatan anggota masyarakat untuk berpartisipasi pada proses sosial; banyak interaksi sosial justru terjadi di luar unit keluarga yaitu masyarakat dimana manusia melakukan rutinitas sehari-hari mereka. Oleh karena itu menurut Fellin praktek yang kompeten tergantung pada pengetahuan pekerja sosial akan struktur, fungsi dan proses perubahan yang terjadi pada komunitas tertentu.13 B. Pandangan Feminis pada Pengorganisasian Masyarakat

Dalam beberapa hal, biasanya, komunitas yang berdasarkan lokalitas memiliki semua dimensi ini. Ini termasuk kampung, desa, kota dimana manusia tinggal. Umumnya satu komunitas kecil merupakan bagian dari komunitas besar. Misalnya, di Indonesia, ada tingkat komunitas yang dikelompokan sesuai dengan sistem pemerintahan dari RT hingga tingkat provinsi. Selanjutnya ada juga komunitas yang dilihat bukan dari mana mereka tinggal, tapi lebih pada adanya kepentingan bersama yang dianut. Seperti komunitas yang terbentuk berdasarkan agama, kelas sosial, gaya hidup, ideologi, orientasi seksual dan lain sebagainya. Seringkali terjadi overlap antara masyarakat yang berdasarkan tempat tinggal juga pada masyarakat yang terbentuk atas dasar kepentingan. Sedang masyarakat yang dimaksudkan di dalam tulisan ini lebih pada kebersamaan tempat tinggal, namun masyarakat berdasarkan kepentingan bersama juga mendapatkan perhatian yang besar , karena disini dibahas juga tentang masyarakat Islam yang memiliki kedua elemen tersebut. Pemahaman kedua bentuk besar komunitas ini penting untuk praktek pada tingkat makro dan mikro pada intervensi pekerjaan sosial. Praktek pada tingkat makro ternyata melibatkan peran profesional pada pengembangan masyarakat, perencanaan sosial, aksi sosial, administrasi kesejahteraan sosial, pengembangkan kebijakan sosial, juga evaluasi program sosial. Karena kesemuanya membutuhkan cara-cara misalnya bagaimana cara menyatukan kelompok yang berbeda di tengah masyarakat atau bagaimana caranya membantu masyarakat untuk dapat meningkatkan kapasitas dalam melaksanakan

Telah disebutkan di atas, bahwa, kombinasi pendekatan feminis dan pengorganisasian masyarakat terbukti telah menjadi salah satu cara paling efektif dalam mengatasi isu-isu gender, khususnya kekerasan perempuan. 14 Heise menyatakan bahwa pergerakan feminis melawan kekerasan perempuan harus diawali dengan pergerakan dari masyarakat itu sendiri, namun hal ini mungkin akan menemui kesulitan tersendiri apalagi melihat masyarakat umum yang masih begitu percaya akan nilai partiarki dan

57

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 54-70

tradisional, dengan didukung oleh tokoh dan pemerintahan yang belum melihat akan kepentingan isu perempuan ini.15 Menurut Torczyner, dasar awal ini sangat penting dalam memulai sebuah pergerakan grassroots. Hal ini disebut dengan seleksi isu. Yang pertama harus diperhatikan adalah bagaimana memastikan bahwa masalah yang diusung dalam pengorganisasian masyarakat atau usaha bersama adalah masalah yang nyata dan dirasakan oleh sejumlah orang yang ada pada sebuah masyarakat.16 Analisa kebutuhan menjadi begitu penting untuk melihat seberapa banyak yang merasakan masalah itu dan berapa orang yang ingin terlibat dalam usaha bersama mengatasinya. Artinya, masalah ini terletak pada bagaimana mereka yang ada di lapangan khususnya untuk melakukan ini secara langsung dengan melakukan penyadaran terhadap masyarakat. Aktifisme feminis dan feminisme menjunjung apa yang dinamakan dengan aksi demokratis dengan partisipasi penuh semua anggota masyarakat. Dengan kata lain, Feminisme dan pergerakannya lebih menitikberatkan pada peningkatan kondisi manusia pada umumnya, perempuan pada khususnya lewat aksi-aksi demokratis. Tentu saja pendekatan ini menggunakan pendekatan yang berbeda tergantung pada konteks yang berlaku. Feminisme adalah teori besar yang menggunakan pendekatan yang berbeda yang diadaptasikan pada konteks yang berbeda.Feminisme tidak menawarkan satu formula manjur bagi semua penyakit namun lebih pada satu titik semangat yang sama tergantung pada latar belakang teoritikal dan eksperiensal dari berbagai tuntutan pergerakan feminis yang sama sekali berbeda. Merujuk pada Joseph et al. yang menangkap dengan jelas esensi pengorganisasian feminis yang lebih berdasarkan pada kerangka kerja yang demokratis dan humanis.17 Tekanan yang penting di sini adalah karakter yang berbeda dan unik dari konteks satu dan konteks lainya. Yang terpenting adalah bagaimana pendekatan pengorganisasian feminis ini dapat memiliki dampak pada perempuan. Pada saat bersamaan pemberdayaan juga hal yang tidak dapat dipisahkan. Kontribusi yang diberikan perempuan dalam proses ini lebih dilihat dari

kekuatan bukan kekurangan dari segi fungsi, peran dan pengalaman. Pertimbangan ini tentu saja tidak melupakan keterbatasan yang ada, dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Kesempatan pun harus diberikan kepada siapapun dengan kapabilitas dan kemampuan yang diperlukan, bukan dibedakan dari jenis kelamin, kelas sosial dan etnis. Pandangan ini selanjutnya adalah dengan melihat bagaimana proses seleksi masalah itu berjalan, bagaimana proses masalah itu dipecahkan, apa saja hal yang dibutuhkan yang harus dipenuhi, taktik dan strategi apa yang digunakan dan tujuan seperti apa yang ingin dicapai. Terlepas dari teori yang berbeda pada pendekatan feminis itu sendiri, Guiterrez dan Lewis melanjutkan adanya karakteristik umum pada pengorganisasian masyarakat feminis. Beberapa hal penting dalam proses ini, pertama, adalah bagaimana lensa gender dipergunakan untuk menganalisa masalah yang ada di masyarakat.18 Pergerakan feminis melihat perempuan sebagai bagian terpenting yang ada pada suatu masyarakat. Ini lebih didasarkan pada bagaimana seksisme banyak menjadi sebab dan akar masalah dari problem yang terjadi di masyarakat, khususnya masalah kekerasan terhadap perempuan. Kedua proses dari praktik yang dilakukan. Joseph berpendapat bahwa di dalam pengorganisasian masyarakat yang feminis, proses harus melibatkan perempuan di dalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasinya.19 Pengorganisasian masyarakat yang feminis berpendapat bahwa perempuan harus diberikan kesempatan agar suara dan pendapat mereka didengar dan diberdayakan dalam prosesnya. Kolektifitas persamaan gender dan nilai dijaga di dalam proses yang ada. Oleh karena itu pemberdayaan dalam proses penyadaran (conciousness raising) menjadi elemen kunci dalam pengorganisasian masyarakat feminis. Menurut Torzyner, pemberdayaan pada umumnya terkait dengan proses dimana seseorang atau sekelompok orang mendapatkan pengaruh dan kemandirian yang lebih besar lewat kekuatan-kekuatan yang berdampak pada hidupnya.20 Pemberdayaan atau empowerment ini terjadi pada tingkat personal apabila kita merasa memiliki kontrol yang lebih pada hidup dan pilihan-pilihan yang ada di dalam kehidupan kita. Pemberdayaan atau

58

Implementasi Pendekatan Pengorganisasian Masyarakat Feminis Islamis

(Dorita Setiawan)

empowerment terjadi pada tingkat komunitas ketika sekelompok orang mengorganisir diri mereka sendiri dalam mengembangkan layanan baru atau perubahan hukum dan merasakan keterlibatan yang signifikan dalam kehidupan bermasyarakat. Pemberdayaan terjadi pada sebuah institusi ketika institusi ini lebih reflektif akan kebutuhan, budaya, dan preferensi sebuah masyarakat dimana ia berada. Lebih luas lagi empowerment secara politis terjadi bila publik figur atau tokoh masyarakat atau pekerja sosial, khususnya, bertanggungjawab akan tugas dan mandat yang ditugaskan pada mereka. Mereka juga membuat keputusan yang merefleksikan kebutuhan nyata dari masyarakat. Pemberdayaan pada masyarakat grassroots membentuk sebuah basis pengorganisasian masyarakat yang penting. Hal ini dicapai dengan partipasi langsung dari masyarakat, khususnya bagi mereka yang merasa bahwa masalah itu tereskpresikan ke dalam sebuah bentuk organisasi. Artinya, keikutsertaan dan keterlibatan perempuan yang dimaksudkan di dalam teori feminis disini adalah adanya relasi kuasa yang setara antar pembuat keputusan. Relasi kuasa ini berdampak pada kehidupan perempuan sehari-hari, dengan proses pemberdayaan empowerment- ini dari ranah personal, komunal dan politikal, perempuan akan mampu memainkan peranan yang lebih besar dalam memberikan kontribusi untuk perubahan sosial. Usaha penyadaran dan pemberian informasi akan situasi dan fakta yang ada di sekitar perempuan akan dapat menghubungkan perempuan terhadap pengalaman mereka sebagai pengalaman personal kepada isu yang lebih politis. Contohnya, dengan pemberian informasi yang cukup, bagaimana pengalaman kekerasan yang dialami seorang perempuan secara personal akan menjadi isu politis apabila ternyata mereka mengetahui bahwa kekerasan bukanlah masalah privasi belaka, melainkan sebuah pelanggaran hukum yang harus ditindak secara tegas. Dengan ini perempuan akan mendapatkan masalah yang mereka hadapi ke dalam gambaran yang lebih luas dan mereka akan merasa sebagai bagian dari usaha pengentasan masalah yang mereka hadapi dengan solusi yang lebih tepat dan dipertimbangkan secara kolektif.

Disini pengorganisasian masyarakat feminis adalah salah satu penerapan akan teori pengorganisasian masyarakat yang berusaha memahami dinamika sebuah masyarakat Indonesia yang terdiri dari banyak perempuan. Sesungguhnya pergerakan feminis akan berbeda sesuai dengan latar belakang agama, pendidikan, ekonomi dan letak geografis dimana teori ini diterapkan. Dengan kata lain, feminisme adalah fenomena global dan terekspresikan unik pada setiap kultur dan budaya yang ada di seluruh dunia. Namun tentu saja ada tujuan umum yang sama dari kesemuanya yaitu menghapuskan kekuasaan hirarkis pada proses pembuatan keputusan, agar setiap orang menyadari bahwa mereka dapat memberikan kontribusi pada sebuah organisasi dengan cara apapun yang dapat mereka lakukan. Karena pengorganisasian masyarakat feminis bertujuan untuk menghapuskan seksisme, rasisme dan bentuk diskriminasi dan tekanan lainnya dengan proses pemberdayaan.21 Teori dan pendekatan pada aktifisme feminis memiliki keserupaan pada pengorganisasian masyarakat, yang akan lebih lanjut dibahas pada bahasan berikutnya. Secara keseluruhan semuanya berkomitmen dalam mengusung tanggungjawab kolektif, bekerjasama bukan berkompetisi, bekerja dengan dan pemberdayaan kelompok dan berusaha melakukan perubahan sosial.22 C. Pendekatan-Pendekekatan Pengorganisasian Masyarakat

Menurut Brager, pengorganisasian masyarakat adalah satu metode pekerjaan sosial dalam pendekatan pada isu kolektif. Tidak ada definisi akurat dan persis akan pengorganisasian masyarakat, ini dikarenakan banyaknya macam, tingkat dan perbedaan praktek yang ada di lapangan.23 Seperti yang ada pada pendekatan pengorganisasian masyarakat feminis, pengorganisasian masyarakat memberikan sebuah kerangka dalam memahami bagaimana individu, kelompok dan kebersamaan saling terkait. Pengorganisasian masyarakat memandang masalah personal sebagai sebuah masalah politis. Baik teori feminis maupun teori pengorganisasian secara

59

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 54-70

umum memandang sama bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah masalah kolektif. Karena keduanya memandang bahwa kekerasan perempuan harus dipandang sebagai masalah yang ada di masyarakat. Proses bagaimana melakukan ini dinamakan dengan sosialisasi.24 Namun sebelum kita melakukan sosialisasi masalah ke dalam masyarakat tentunya kita harus mengetahui seleksi masalah, seperti yang telah disebutkan pada bagian awal tulisan ini, salah satu yang terpenting dari pemilihan masalah adalah masalah yang akan diangkat haruslah masalah yang nyata dihadapi oleh masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat banyak isu-isu yang potensial, oleh karena itu, masalah seperti apa yang harus dipilih? Dengan sarana dan prasarana yang terbatas, kita tidak dapat mengatasi semua masalah yang ada. Salah satu langkah penting yang dapat dilakukan, misalnya dengan mendengarkan apa yang diinginkan masyarakat dan memberdayakan mereka untuk mengambil keputusan. Hal-hal tersebut adalah beberapa cara yang bisa dilakukan di dalam pengorganisasian masyarakat. Ada beberapa prinsip dasar dalam melakukan seleksi masalah ini : pertama, problem yang dirasakan harus nyata dan dirasakan oleh sejumlah besar anggota masyarakat. Ini dapat dilakukan dengan cara memetakan masalah dan memastikan jumlah orang yang ingin terlibat. Kedua, masalah yang ada dengan sendirinya membutuhkan solusi kolektif. Beberapa masalah penting yang ada di masyarakat yang sulit diatasi dengan solusi kolektif, khusus untuk kekerasan terhadap perempuan. Banyaknya kasus kekerasan ini yang dianggap privat dan pribadi mengakibatkan seringnya kasus kekerasan yang tidak dapat diidentifikasi, lalu menumpuk dan menjadi fenomena yang begitu mengerikan. Sekedar untuk mengkontekstualisasikan masalah kekerasan terhadap perempuan ini telah lama disembunyikan dari muka umum, namun terjadi setiap hari. Contohnya saja, dalam waktu 5 jam saja, menurut Wahjana, Indonesia mencatat paling tidak satu kasus pemerkosaan, dan banyaknya kasus ini dilakukan oleh orang yang dikenal dari teman, pacar, hingga keluarga kandung pun menjadi

pelaku akan peristiwa pemerkosaan yang dialami perempuan setiap harinya.25 Belum lagi pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum masyarakat kepada perempuan. Alasan akan tindak negatif ini sederhana saja, karena target adalah perempuan. Fakta yang terjadi adalah banyak masyarakat yang membiarkan bahkan menyetujuinya lewat diam atau lebih buruk lagi, lewat adat, norma dan perangkat hukum yang tetap melakukan diskriminasi-diskriminasi terhadap perempuan. 26 Oleh karena itu masalah kekerasan terhadap perempuan adalah masalah bersama yang membutuhkan solusi bersama. Ketiga, masalah ini dapat dijelaskan; karena pada dasarnya setiap masalah adalah kompleks, oleh karena itu masalah harus dapat dijelaskan dengan sederhana dan singkat, karena tanpa itu masalah tidak akan dapat menarik perhatian dan dukungan masyarakat. Khusus untuk masalah kekerasan terhadap perempuan ini, akan lebih mudah bagi pekerja sosial untuk dapat menjelaskan masalah kekerasan ini kepada masyarakat dengan contoh dan kasus yang terjadi di tengah masyarakat itu sendiri. Selanjutnya melakukan refleksi pada masyarakat dan sekali lagi melakukan sosialisasi akan pentingnya masalah kekerasan terhadap perempuan. Ketiga cara ini adalah beberapa dari banyak hal yang dapat dilakukan dalam melakukan seleksi masalah yang ada di masyarakat. Namun yang paling penting dari usaha ini adalah melakukan sosialisasi dan penyadaran isu kekerasan ini. Pada bentuk idealnya, pengorganisasian masyarakat adalah satu cara agar semua anggota masyarakat dapat terlibat, karena pengorganisasian masyarakat harus bersifat inklusif. 27 Teori pengorganisasian masyarakat feminis juga menekankan pentingnya membangun kekuatan hubungan dan dinamika internal masyarakat sebelum melakukan aksi yang lebih eksternal.28 Dalam kajian feminisme, ini yang disebut dengan sisterhood atau persaudaraan perempuan.29 Ini adalah sebuah konsep dasar perekat perempuan pada perjuangan akan cita-cita yang sama. Salah satu mekanisme yang kuat dalam melakukan usaha penyadaran adalah lewat media. 30 Media sebagai salah satu cara masyarakat dalam mengakses informasi.

60

Implementasi Pendekatan Pengorganisasian Masyarakat Feminis Islamis

(Dorita Setiawan)

Media adalah cara yang efektif dalam menyampaikan pesan-pesan sosial. Hal ini bisa dilakukan dengan menerbitkan selembaran, poster dan spanduk. Contoh menarik yang ada di Indonesia adalah dengan layanan iklan masyarakat yang dilakukan oleh tokoh masyarakat, selebritis atau publik figur yang dianggap berpengaruh dalam membentuk opini publik. Untuk kasus kekerasan terhadap perempuan, cara ini adalah yang penting dilakukan. Untuk mempersingkat, pendekatan pengorganisasian masyarakat ini, ada dua dimensi penting: pertama, proses pendekatan pengorganisasian masyarakat yang terdiri dari mengenal masyarakat, outreach atau bersentuhan dengan masyarakat, dan sosialisasi. Sedangkan pada dimensi strategi hanya ada dua elemen yang penting yaitu bekerja melalui dan dengan media. Kedua, bekerja dengan pemerintah atau tokoh setempat. Tentu saja pengorganisasian masyarakat tentu saja bukan fenomena baru di Indonesia. Artinya, hal ini tentu saja mungkin diaplikasikan pada konteks Indonesia. Mungkin isu kekerasan terhadap perempuan dengan pendekatan feminislah yang baru dan perlu disosialisasikan dengan giat oleh pekerja lapangan. Ini tantangan dan pekerjaan baru, namun tentu saja mungkin dilakukan. D. Feminisme Islam

masyarakat nilai sebenarnya Al-Quran bukan pada makna yang diterjemahkan oleh orangorang yang berbeda dengan kepentingannya masing-masing. Dari perspektif Barat, feminisme Islam ini dapat diterima pada tahun 1990an, tetapi masih banyak yang menolak istilah feminisme Islam. Banyak kaum feminis yang sekular percaya bahwa Islam tidak dapat digabungkan pada feminisme, karena mereka percaya bahwa ini hanya kepanjangan tangan dari dominasi partiarki yang kental dalam dunia Islam. Tetapi feminisme Islam ini dapat dijadikan cara untuk membentuk solidaritas dengan perempuan lain agar dapat mempromosikan kekuatan global untuk kemerdekaan perempuan dengan caranya tersendiri, dengan mengenal dan memahami perbedaan dan berusaha menemukan persamaan yang ada untuk dapat melakukan perubahan. Feminisme adalah sebuah ide dimana perempuan dapat berdiri sendiri dengan penuh percaya diri, harga diri dan persamaannya sebagai perempuan, terlepas dari perbedaan etnis dan negara. Yang perlu dilakukan disini adalah dengan menciptakan dialog antara kedua kubu yang bertentangan ini. Nighat Gandhi sebagai aktifis hak perempuan berpendapat bahwa feminisme Islam adalah respon perempuan muslim kepada kekerasan yang semakin marak di tengah masyarakat mereka.32 Ia memandang bahwa gerakan ini adalah salah satu usaha pencarian solusi dalam membawa perempuan muslim pada perjuangan akan hak mereka sebagai manusia. Jadi isu ini, bukan melulu milik perempuan. Identitas Islam digunakan sebagai titik awal perjuangan, karena dari sana perempuan muslim dapat ke luar dari ketidakadilan, ketidakacuhan juga harga diri yang telah dikelasduakan untuk akhirnya dapat bergabung dengan yang lain dalam usaha global dalam membentuk keadilan sosial juga dunia yang setara. Untuk dapat bekerja dalam konteks ini adalah dengan memahami berbagai tradisi Islam yang sangat berpengaruh di dalam masyarakat. Menurut Al Faruqi ada beberapa hal yang harus dipahami, salah satunya adalah, sistem keluarga besar, yang banyak memainkan peranan penting di dalam sebagian besar kehidupan perempuan muslim. Keluarga besar

Feminisme Islam sebagai sebuah istilah yang muncul di Mesir ketika banyak diskusi yang membahas tentang persamaan dan keadilan bagi perempuan dalam menggunakan pendekatan yang Qurani dan teks agama lainnya pada tahun 1980-an.31 Badran berpendapat bahwa feminisme Islam adalah penerapan teks keagamaan yang menjunjung tinggi nilai persamaan antara pria dan perempuan pada kehidupan seharihari. Feminisme Islam berusaha untuk mendekonstruksikan interpretasi Al-Quran yang partiarkis dari makna sebenarnya yang bebas dari kepentingan politis manapun dalam rangka untuk menunjukan makna yang sebenar dari AlQuran sebagai kitab suci. Pada kenyataannya, Feminisme Islamis dapat diawali dengan cara mempromosikan juga mensosialisasikan kepada

61

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 54-70

seperti ini mengikat anggota keluarganya lebih jauh dari sebuah keluarga kecil inti dari segi psikologis, sosial, ekonomi bahkan politik. Ini didukung pula dengan teks agama akan tanggungjawab yang harus diemban di dalam sebuah keluarga besar, seperti hak waris yang telah ditentukan, dukungan, dan saling ketergantungan yang erat pada sebuah keluarga besar.33 Sebuah tradisi Islam yang penting bagi sebagian besar muslim lainnya adalah perhatian yang besar akan komunitas dan skala masyarakat yang lebih besar. Pandangan individualisme Barat bukan hal yang mudah diterima bagi sebagian besar perempuan muslim. Oleh karena itu feminisme yang tidak dapat memahami konteks Islam seperti ini akan gagal mendapatkan tempatnya di hati masyarakat Islam. Ini juga yang memperkuat pentingnya pendekatan yang lebih komunal dalam kekerasan terhadap perempuan ini. D. Islam, Feminisme dan Pengorganisasian Masyarakat

bagaimana sejarah pengorganisasian masyarakat yang moderen di Amerika Utara juga berawal dari kegiatan kemasyarakatan keberagamaan pada gereja, sinagog dan tempat peribadatan lainnya. 36 Dalam pengorganisasian masyarakat ini, agama dapat dijadikan alat dalam melibatkan keanggotaan seseorang di dalam masyarakatnya (Shaheed, 1995). Kombinasi akan dua pendekatan ini menunjukan bahwa aktifisme sebenarnya dapat berjalan beriringan dengan spiritualitas dan agama seperti apa yang pernah terjadi di masa lalu.

III. KONTEKS INDONESIA


A. Penerapan Feminis Islam di Indonesia pada Organisasi Masyarakat Perempuan di Indonesia

Spiritualitas dan Pengorganisasian Masyarakat feminis memiliki keterkaitan yang kuat, walaupun banyak yang melihat hal ini sebagai sesuatu yang terpisah. Bagaimanapun sejarah menunjukan bahwa kedua pendekatan ini tidak dapat dipisahkan. Menurut Shaheed, seorang aktifis feminis Islam, berpendapat bahwa, salah satu faktor agama yang membedakan dengan yang lain adalah kapasitasnya dalam memberikan afirmasi diri pada tingkat psikologis seseorang juga pada tingkat kolektifitas seseorang. Lewat ritual dan praktek keagamaan yang ada, agama memberikan rasa keterlibatan dan kepemilikan atas sesuatu yang tidak dapat diberikan hal lain.34 Pada konteks Amerika Utara, hubungan antara organisasi masyarakat feminis dan spiritualitas telah dicatat oleh Todd.35 Ia melihat bahwa ketika banyak dari kita yang bekerja pada bidang yang sekular, jelas bahwa sisi keagamaan dan spiritualitas telah membentuk cara bagaimana kita melakukan sesuatu di lapangan. Apa yang kita lakukan sebenarnya mencerminkan dan terkait dengan pengalaman spiritualias kita; juga sisi sosial ketika bekerja dengan masyarakat serta pekerjaan sosial yang kita geluti. Todd juga menambahkan

Pada konteks keindonesiaan, pengorganisasian masyarakat sangat terkait erat dengan NGO atau organisasi non pemerintah. Sebuah diskursus yang memiliki ciri khas kultur dan sejarah tersendiri di Indonesia.37 Begitu juga pada pergerakan organisasi perempuan di Indonesia. Pergerakan perempuan di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan menjadi bagian dari perjuangan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Khususnya pada masa melawan penjajahan belanda ada beberapa pahlawan wanita yang menjadi tokoh penting seperti Cut Nyak Dien (1908), Martha Christina Tiahahu (1818) juga Nyai Ageng Serang (1928) dan masih banyak lagi.38 Dalam konteks pengorganisasian masyarakat akan feminisme, gerakan perempuan di Indonesia pada masa awal ini belum terlihat. Organisasi perempuan dengan agenda gender muncul sekitar tahun 1990-1998. ada tiga faktor besar yang memiliki kontribusi besar terhadap munculnya pergerakan perempuan ini, khusunya organisasi feminis islam, pertama, pengaruh yang besar dari pelatihan dan seminar bertemakan gender dengan skala nasional yang dilakukan oleh aktifis perempuan di Indonesia. Mereka yang mengikuti pelatihan ini berbagi pengalaman dan akhirnya terinspirasi untuk mengorganisasikan diri mereka untuk mengangkat tema-tema perempuan.39 Kedua, adanya perkembangan akan diskusi feminis

62

Implementasi Pendekatan Pengorganisasian Masyarakat Feminis Islamis

(Dorita Setiawan)

yang mulai melirik pendekatan religi, agar perempuan di Indonesia dapat dengan mudah menerima ide feminisme yang berdasarkan agama dan kepercayaan yang mereka anut. Pada pergerakan ini para aktifis perempuan berusaha menjawab pertanyaan seputar perempuan yang berdasarkan pandangan religi. Pergerakan ini terbukti sukses dengan banyak tumbuhnya organisasi perempuan yang mengangkat isu gender namun tetap bercirikan Feminisme Islam.40 Berdasarkan observasi yang saya lakukan di lapangan, Rifka Annisa women crisis center adalah salah satu organisasi perempuan yang sesuai dengan pembahasan yang saya maksud. Rifka Annisa WCC adalah sebuah organisasi non pemerintah, yang dibangun hampir 13 tahun silam dengan tema besar penghapusan akan kekerasan terhadap wanita. Feminisme Islam itu sendiri tidak begitu jelas nampak pada program-program yang mereka miliki. Namun pada salah satu bookletnya, Rifka Annisa WCC dengan jelas menggambarkan kerangka feminisme islam pada pembahasan tentang persamaan gender dengan sudut pandang agama islam. Pada salah satu bookletnya Rifka Annisa WCC, contohnya, berusaha menggambarkan relasi antara suami dan istri yang memiliki kekuasaan yang sama dengan menggunakan teks suci. Rifka Annisa memandang bahwa pengorganisasian masyarakat feminis Islam begitu penting dalam memberikan kerangka ideologi yang dapat merespon kebutuhan perempuan Indonesia dalam memerangi kekerasan terhadap perempuan.41 Di masyarakat ada juga usaha-usaha baru yang dilakukan untuk mengangkat tema gender khususnya kekerasan ke permukaan, salah satunya dengan menggunakan kelompok majlis talim untuk melakukan sosialisasi terhadap perilaku kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat. Usaha mengkaitkan teks suci tentang kesetaraan gender dengan realita yang ada di tengah masyarakat, terbukti ampuh dalam melakukan usaha penyadaran seputar isu-isu kekerasan.42

IV. METODOLOGI
A. Disain Studi Metode yang digunakan dalam pembahasan ini adalah kajian teoritis berupa studi pustaka tentang pendapat, pemikiran dan teori feminis akan pengorganisasian masyarakat, teori feminisme Islam dan kombinasi antar elemen di atas. Di samping itu tentu saja akan ada analisa riil tentang persoalan yang ada dalam pengorganisasian masyarakat dan isu yang muncul berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis selama mengajar, belajar dan aktif dalam lapangan pengorganisasian masyarakat. Data sekunder dijadikan sumber data dalam mendalami kajian yang dibahas di dalam tulisan ini sumber datanya adalah artikel pada jurnal, koran, periodikal, selembaran, flyers, booklet,disertasi dan laporan tahunan). Selain itu data juga diambil dengan menggunakan pedoman interview semi-terstruktur. Ada tujuh informan kunci yang diwawancara secara individu. Pertanyaan yang ditanyakan terkait dengan impelemntasi teori feminis Islam dalam pengorganisasian Masyarakat di Indonesia lewat NGO yang ada di Indonesia. Metode ini digunakan karena kajian yang diangkat dalam makalah ini adalah isu yang begitu besar, sehingga metode kualitatif seperti ini sangat tepat. B. Sampel

Sampel dipilih berdasarkan keinginan informan dan menggunakan teknik sampling non-random terencana (purposeful non-random sampling techniques). Kedua cara di atas sesuai dengan kajian penelitian kuliatatif.43 Newman menambahkan bahwa teknik seperti ini berdasarkan pemikiran bahwa setiap informan bisa memberikan informasi yang mendalam tentang kajian yang sedang dipelajari dan dengan menggunakan teknik ini informan dapat memberikan variabilitas data yang memang dibutuhkan dalam kajian kualitatif seperti yang diusung dalam tulisan ini. Sampling convience ini juga dipilih karena kesediaan informan, cara ini tentunya menawarkan sampel yang cepat dan mudah untuk membahas pertanyaan yang memang sangat spesifik.44 Informan yang

63

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 54-70

bersedia untuk diwawancara adalah dua staff NGO di Jakarta, 2 staff NGO di Yogyakarta, Seorang Konsultan gender di McGill-Indonesian Project, dua orang peneliti dari PPIM (Pusat Pengembangan Islam dan Masyarakat. Kedua Informan di Yogyakarta dipilih berdasarkan rekomendasi dari pusat studi wanita UIN syarif Hidayatullah ketika membaca kajian pustaka yang telah saya tulois, sedangkan semua yang dijakarta dipilih berdasarkan rekomendasi konsultan gender di McGill-Indonesian Project. Wawancara dilakukan dengan mendatangi langsung mereka, kontak melalui surat elektronik dilakukan untuk memastikan kebersediaan mereka untuk diwawancara. Kontak sudah dibangun dua bulan sebelum wawancara kualitatif dilakukan. C. Keterbatasan Studi Namun, tentunya studi ini memiliki beberapa keterbatasan yaitu terbatasnya jumlah informan yang dapat diwawancarai sehingga data yang didapat tidak bisa dijadikan pandangan umum. Akan sangat ideal bila wawancara dilakukan dengan beberapa informan sehingga data dapat menjadi lebih luas. Namun karena kekurangan dana hal ini tidak dapat dilakukan. Waktu juga menjadi keterbatasan, karena studi ini hanya dilakukan dalam kurun waktu dua minggu, sehingga banyak sekali informasi detail yang tidak bisa dikumpulkan.

V.
A.

ANALISA TEMUAN
Gambaran Impelentasi Pendekatan Pengorganisasian Masyarakat Feminis Islamis dalam Memerangi Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia

Pengorganisasian Masyarakat di Indonesia terimpelentasikan lewat banyaknya networking yang dibangun dalam memerangi kekerasan perempuan di Indonesia dan juga cara bagaimana pelyanan yang ada diberikan kepada perempuan Indonesia. Ada beberapa temuan yang merefleksikan hal ini : 1. Apa yang dimaksud dengan Feminisme ? Wawancara yang dilakukan oleh para informan mengatakan bahwa feminisme di Indonesia tergambarkan

dengan berbagai cara yang berbeda. Salah satu staff NGO perempuan di Yogyakarta mengatakan bahwa kata Feminisme itu tidak bisa dibahasakan dengan kata feminisme langsung namun dengan menggunakan bahasa lain seperti kesetaraan gender. Namun, walaupun keseganan ini muncuk, mereka merasa bahwa feminisme adalah kerangka penting dalam memahami isu perempuan. Seperti yang dikatakan di bawah ini : Saya rasa feminisme memiliki wajah yang berbeda. Perbedaan ini berdasarkan dari banyak hal, .. ekonomi..agama.. pendidikan... yang seperti yang bikin beda. Dengan hal ini.. cara satu orang mengartikan feminisme tentu saja berbeda dibandingkan dengan orang lain... nah Islam disini adalah salah satu latar belakang perempuan Indonesia (Informan 3) Senada dengan informan sebelumnya, salah satu informan mengatakan : Namanya Feminisme itu kan konsep yang sangat besar.. jadi sangat wajar bila orang menggunakan konteks dimana berada, untuk memahami.. apalagi Feminisme.. Indonesia itu kan orang masih banyak enggan.. apa ya.. rada ragu-ragu menggunakannnya.. karena masyarakat sudah takut bila mendengar kata feminisme .. jadi bahasanya yah.. diubah jadi kesetaraan gender.. masih ok lah.. yang penting kan pesan yang ingin disampaikan .. sampai.. gitu lho.. (Informan 4) Menurut salah satu Booklet pada Rifka Annisa45, sebuah LSM perempuan di Yogya, feminisme menolak ketidak-adilan gender dan mendukung kese-taraan gender. Feminisme membantu perempuan untuk memahami tekanan yang dialami oleh perempuan dan mencari solusi yang tepat sesuai dengan kontek dan situasi yang mereka hadapi. Yang diterapkan di salah satu daerah di Indonesia, mungkin tidak dapat dilakukan di daerah lain, meskipun masih di Indonesia. Feminisme melihat relasi gender antara perempuan dan laki-laki. Dengan feminisme juga, perempuan dapat memahami masalah yang dipahami oleh perempuan lain.

64

Implementasi Pendekatan Pengorganisasian Masyarakat Feminis Islamis

(Dorita Setiawan)

Seorang Konsultan gender di McGill-Indonesian Project dan seorang Peneliti di PPIM mengrekspresikan pandangan yang lebih kuat tentang feminisme dibandingkan dengan informan sebelumnya, Saya pikir belum tepat bila Indonesia menggunakan kesetaraan gender, karena begitu banyak isu perempuan akibat subordinasi yang terjadi di Indonesia... ini bila kita bandingkan dengan masalah yang dihadapi laki-laki.. oleh karena itu feminisme harus dibahasakan secara eksplisit dalam pergerakan perempuan di Indonesia (informan 1) Saya rasa feminisme harus tetap menjadi bendera. Jangan takut kalau masyarakat belum siap.. masyarakat akan menerima atau tidak.. cepat atau lambat mereka akan menerimanya (informan 2) 2. Apakah feminisme bertolak belakang dengan Budaya Indonesia ? Menurut Rifka, 46 feminisme tidak bertolak belakang dengan budaya Indonesia. Sebenarnya, feminisme berasal dari barat dan banyak orang berpikir bahwa feminime merefleksikan budaya. Namun bagi wanita, yang menjadi inti dari feminisme bukan darimana ideologi itu berasal karena feminisme menyorot permasalahan perempuan. Singkatnya, feminisme tidak berseberangan dengan budaya Indonesia karena mendukung kesetaraan gender. Feminisme dan Budaya Indonesia bisa dan mampu untuk berjalan beriringan. Satu informan menyetujui pandangan ini, namun ia merasa masih banyak masyarakat Indonesia yang menganut budaya partiarki : Kita semua tahu bahwa budaya Indonesia menghargai perempuan dan laki-laki.. namun ada banyak tradisi yang ada pada masyarakat yang secara tidak sadar melakukan subordinasi yang meminggirkan kaum perempuan, contohnya banyak perempuan pemimpin di Indonesia yang diragukan kemampuannya, hanya karena ia berpenampilan baik.. apalagi kalau sudah cantik.. jadi pemimpin... masih banyak orang yang mikir bahwa pasti pemimpin ini ada apa-apanya... (informan

7) 3. Apakah Feminisme berseberangan dengan Islam ? Sebagian besar informan menyatakan setuju bahwa Islam beriringan dengan Feminisme, ditambah dengan agenda feminisme yang memang mempromosikan kesetaraan antara lakilaki dan perempuan. Namun salah satu informan, yang menjadi direktur salah satu LSM perempuan di Jakarta mengutarakan bahwa sangat sulit untuk penganut Muslim untuk mengakui nilai barat, seperti feminime : Ada beberapa praktek dalam Islam yang sangat partiarki. Namun disini yang harus kita lakukan adalah berhati-hati.. karena saya yakin itu bukan Islam (karena tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah Nabi), namun banyak orang yang sudah begitu lama melakukan praktek ini dan menjadi tradisi. Seperti contohnya kawin paksa pada beberapa masyarakat di Indonesia... banyak orang yang memandang itu sebagai bagian dari tradisi Islam... saya tidak tau.. mungkin mbak lebih tau mana yang Islamis mana yang tidak.. namun intinya kita harus hati-hati... dan tentunya bijaksana.. feminisme disini hadir dan menjadi kerangka penting untuk melihat masalah seperti ini.. namun karena feminisme bukan dari Islam.. banyak Muslim yang takut menggunakan ide ini (Informan 6) Adakah Pengorganisasian Masyarakat Feminis Islamis dalam memerangi kekerasan Perempuan di Indonesia ? Ada banyak LSM perempuan yang menggunakan bahasa Arab, yang notabene Islam (paling tidak di Indonesia), sebagai strategi untuk menarik perhatian publik seperti Rifka Annisa di Yogya (yang berarti teman perempuan). Strategi lain yang digunakan adalah dengan menggunakan Organisasi Masyarakat Islam dalam memerangi isu perempuan seperti Aisyiyah untuk Muhammadiyah, Fatayat dan Muslimat pada Nahdatul Ulama atau NU.

4.

65

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 54-70

Salah satu Informan peneliti dan juga pengajar mengutarakan pesan yang sama : ... kalau ditanya seperti itu.. banyak lah.. banyak sekali pergerakan perempuan yang bernafaskan (menggunakan) bendera agama... kegiatannya itu banyak.. dari pelatihan.. tulisan.. jurnal.. seperti ketika isu poligami marak di Indonesia. Pergerakan perempuan di Indonesia hadir dengan menggunakan bahasa agama.. bahkan pakai alQuran segala.. itu kan bagus.. dan tentu saja lebih efektif.. yang saya ingat kok.. Rifka Annisa.. ini adalah salah satu contoh paling baik.. kalau anda menanyakan pertanyaan ini... karena mereka itu inklusif.. karena mereka membuka pelayanannya untuk semua orang (informan 5). Informan yang lain juga menyetujui hal ini : Yang saya paling suka adalah.. mereka menggunakan bahasa agama.. sehingga orang lebih mendengarkan.. dan akhirnya orang juga percaya.. simpel saja.. karena orang lebih mengerti dan lebih connect aja.. itu bagus kan (Informan 2) Dalam salah satu bookletnya, Rifka Annisa juga menggambarkan kerangka Feminis Islamis dalam diskusinya tentang kesetaraan gender di Islam, khususnya tentang masalah hubungan suami istri. Mereka berpendapat walaupun benar dalam Al-Quran, tuhan menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama, namun pada kenyataan sehari-hari, interpretasi partiarkis yang masih sering dipakai. Contohnya adalah pendapat yang menyatakan bahwa perempuan tidak seharusnya mening-galkan rumah untuk melakukan kerja sebagai bentuk aktualisasi diri adalah salah satu misinterpretasi nilai islami yang tentu saja hal ini mensubordinasi perempuan. Rifka Annisa menekankan bahwa menghormati perempuan adalah dengan menjamin kebebasan mereka untuk menentukan pilihan dan perempuan harus terlibat dan diikutsertakan di dalam proses pembuatan keputusan.

Walaupun kekerasan terhadap perempuan adalah masalah yang begitu meluas, bagi beberapa masyarakat, mengutarakan masalah kepada publik adalah ide yang sangat revolusioner. Oleh karena itu pendidikan dan sosialisasi harus tetap menjadi agenda utama, tentu saja hal ini dilakukan dengan tetap mengindahkan pendekatan yang sensitif dengan pertimbangan kebutuhan dan nilai lokal.47 Di banyak daerah di Indonesia, ada banyak kelompok pengajian perempuan yang biasa disebut dengan Majlis Talim, sosialisasi dan pendidikan kesetaraan gender dapat dilakukan lewat organisasi semacam ini. Nilai keislaman dapat dijadikan pendekatan yang dapat menarik perhatian publik. Laki-laki dalam hal ini juga harus dapat diikutsertakan, karena bagaimanapun isu perempuan bukan hanya milik perempuan, namun juga laki-laki. Perubahan sosial harus melibatkan semua anggota masyarakat, karena perubahan itu penting dan bagi semua anggota masyarakat baik laki-laki maupun perempuan.

VI. PENUTUP
Setelah kita membahas tentang teori serta kenyataan yang ada, kita dapat melihat bahwa pendekatan pengorganisasian masyarakat yang feminis juga Islamis dapat diterapkan ke dalam komunitas Islam karena pendekatan ini dapat memahami realitas unik yang ada di tengah masyarakat Indonesia. Untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan, kita harus dapat bekerja dari konteks lokal agar usaha yang kita lakukan dapat diterima, paling tidak, dipahami oleh masyarakat. Di Indonesia, saya melihat potensi yang begitu besar dari perempuan Indonesia dalam memerangi kekerasan terhadap perempuan dengan melibatkan mereka pada proses pembuatan keputusan. Hal ini bisa diawali dengan memasukan agenda isu perempuan pada organisasi perempuan keIslaman, dari organisasi politik hingga majlis talim, misalnya, karena ini dapat membentuk kekuatan yang ada di luar rumah.48

66

Implementasi Pendekatan Pengorganisasian Masyarakat Feminis Islamis

(Dorita Setiawan)

Usaha yang dilakukan dalam pemberdayaan wanita ini harus dapat memastikan hak yang sama pada konteks religius dan sosial. Ini penting untuk memberikan pengertian pada

perempuan Indonesia bahwa kekerasan adalah masalah bersama, juga masalah internasional dan harus diikuti dengan kesadaran penuh akan hak mereka sebagai perempuan.

DAFTAR PUSTAKA
Adamson, A, et al., 1998, The Ideology of womens movement. In Feminist organizing for change, the contemporary womens movement in Canada, Toronto; Oxford Al- Faruqi,L.L., Islamic Traditions and the Feminist Movement: Confrontation or Cooperation?, http//www.jannah.org/sisters/feminism.html Badran,M., Islamic Feminism means justice to women, retrieved april 22 2003, dari http:// www.milligazzette.com/archivs/2004/16-31Jan04-Prin-Edition/1631200425.htm Brager, George, Harry Specht dan James Torzyner, Community Organizing, (New York, Columbia University Press, 1987) Breton, Margaret On the Meaning of Empowerment and Empowerment Oriented Social Work Practice, Social Work with Groups,( vol. 17 (3), 1994) Campbell,John., Prevention of wife battering : Insights from cultural analysis. Response to the Victimization of Women and Children, (1992), 14 (3) Dorfman, Rachelle, Ph.D., 1996, Chapter 3 : Roles and Practice Settings.; Clinical Social Work; Definition, Practice and Vision.; New York : Brunner-Mazel Publishers Eldridge, O.J., 1995, Self Reliance, participation and democracy : Core concepts and values of Indonesian Non-Government Organisatios, Non-Government Organisations and Democratic Participation in Indonesia; New York, Oxford University Press Fellin,P 1999, Developing Community Orientation, in Community and the Social Worker, Itasaca. F.E. ., Peacock Publishers Gandhi,N., In the Shadow of Inequality in the Hindu, 19 Oktober 2003, http://www.countercurrents.org/ gender-gandhi191003.htm George, Dan., Excerpts from Vis-a-Vis : A National Newsletter on Family Violence, (Canadian Councel on Social Development, 1992), chap. 11. Guiterrez,Louise, E.A. Lewis, A Feminist Perspective on Organizing with Women of Color. In Rivera, FG., Erlich, JL., (Eds.), Community Organizing in a Diverse Society, (Toronto, Allyn and Bacon, 1996) Hardcastle,D.A., S. Wenocur. & P Powers, The Concept of Community in Social Work Practice. In .R. Community Practice. Theories and Skills for Social Workers, (New York : Oxford University Press, 1996). Heise, Lori, 1996, Violence Against Women: Global Organizing for Change, In Future Intervention with Battered Women and Their Families; Newbury Park : Sage Publications, Inc hooks, Bell, Feminist theory : From Margin to Center, In Feminist Movement to End Violence, (Boston : South End Press, 1984) chap. 9 Mizrahi. Joseph, B, T Peterson & F. Sugarman. Womens Perspectives on Community Organizing: A Feminist Synthesis of Theory and Practice. Dipresentasikan pada the Annual Program Meeting of the Council on Social Work Education (Chicago, Maret, 1989) Muchtar, Damayanti, 1999, The Rise of the Indonesian Womens Movement in the New Order State, A thesis submitted for the degree of Master of Philosophy of Murdoch University, Western Australia

67

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 54-70

Newman, W.L., 2003, Social Work Research Methods, qualitative and quantitative approaches, Boston; Pearson Shaheed,F 1995, Networking for change: The role of women in initiating dialogue on womens issues, ., in faith and freedom, womens human rights in the Moslems world. New York; Syracuse University Press Suryochondro, S., 1995, Timbulnya Pergerakan Gerakan Wanita di Indonesia pada Kajian Wanita dalam Pembangunan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia Todd, Sarah, Feminist Community Organizing: The Spectre of the Sacred and the Secular, Retrieved 13 June 2004 from http://www.fsw.ucalgary.ca/currents/articles/articles/todd/main.htm Torczyner, James, Globalization, Inequality and Peace Building: What Social Work Can do, Special Issue: Canadian Social Work volume 2 (1), (Summer, 2000) Torczyner, James, 2003, Issue Selection in Community Organization Practice in the Advanced Seminar in Empowerment Practice, Montreal, Eastman Wahjana, Jajang, Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia, retrieved 14 Juli 2004 pada http:// www.rnw.nl/ranesi/html/anak_jalanan.html Williams, O., Group Work with American African Men who Batter : Towards More ethnically sensitive practice. Journal of Comparative Studies, 25 (1). Yuarsi, S et. Al, 2002, Menggagas Tempat yang Aman bagi Perempuan, Yogyakarta, Kerjasama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada dengan Ford Foundation 10 Tahun WCC Rifka Annisa, Kompas 1 Agustus 2003. Catatan Kaki : 1 Yuarsi, S et. Al, Menggagas Tempat yang Aman bagi Perempuan, (Yogyakarta, Kerjasama pusat studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada dengan Ford Foundation, 2002), hal 1-9 2 Margaret Breton, On the Meaning of Empowerment and Empowerment Oriented Social Work Practice, Social Work with Groups,( vol. 17 (3), 1994), hal 24 3 Bell hooks. Feminist theory : From Margin to Center, In Feminist Movement to End Violence, (Boston: South End Press, 1984) chap. 9 hal. 117-131. 4 Sarah Todd, Feminist Community Organizing: The Spectre of the Sacred and the Secular, Retrieved 13 June 2004 from http://www.fsw.ucalgary.ca/currents/articles/articles/todd/main.htm 5 Damayanti Muchtar, The Rise of the Indonesian Womens Movement in the New Order State, A thesis submitted for the degree of Master of Philosophy of Murdoch University, Western Australia (1999), hal. 35-37. 6 Yuarsi, S et. Al, Menggagas Tempat yang Aman bagi Perempuan, (Yogyakarta, Kerjasama pusat studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada dengan Ford Foundation, 2002), hal 1-9 7 Lori Heise, Violence Against Women: Global Organizing for Change, In Future Intervention with Battered Women and Their Families (Newbury Park : Sage Publications, Inc, 1996), hal. 7 8 Jajang Wahjana. Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia, retrieved 14 Juli 2004 pada http:// www.rnw.nl/ranesi/html/anak_jalanan.html 9 P Fellin, Developing Community Orientation, in Community and the Social Worker, (Itasaca. F.E. . Peacock Publishers, 1999) hal. 1-5. 10 D.A. Hardcastle, S. Wenocur. & P Powers, The Concept of Community in Social Work Practice. In .R. Community Practice. Theories and Skills for Social Workers, (New York : Oxford University Press,

68

Implementasi Pendekatan Pengorganisasian Masyarakat Feminis Islamis

(Dorita Setiawan)

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31

1996). Hal. 97 George Brager, Harry Specht dan James Torzyner, Community Organizing, (New York, Columbia University Press, 1987) hal. 53 Rachelle A. Dorfman, Ph.D., Chapter 3 : Roles and Practice Settings.; Clinical Social Work; Definition, Practice and Vision.; (New York : Brunner-Mazel Publishers,1996) hal 41-54. P Fellin, Developing Community Orientation, in Community and the Social Worker, (Itasaca. F.E. . Peacock Publishers, 1999) hal. 1-5. Louise Guiterrez, E.A. Lewis, A Feminist Perspective on Organizing with Women of Color. In Rivera, FG., Erlich, JL., (Eds.), Community Organizing in a Diverse Society, (Toronto, Allyn and Bacon, 1996) hal. 7-33 Lori Heise, Violence Against Women: Global Organizing for Change, In Future Intervention with Battered Women and Their Families (Newbury Park : Sage Publications, Inc, 1996), hal. 11 James Torczyner, Globalization, Inequality and Peace Building: What Social Work Can do, Special Issue: Canadian Social Work volume 2 (1), (Summer, 2000) hal 125. Joseph. B. Mizrahi.T Peterson & F Sugarman. Womens Perspectives on Community Organizing: A . Feminist Synthesis of Theory and Practice. Dipresentasikan pada the Annual Program Meeting of the Council on Social Work Education (Chicago, Maret, 1989). Louise Guiterrez, E.A. Lewis, A Feminist Perspective on Organizing with Women of Color. In Rivera, FG., Erlich, JL., (Eds.), Community Organizing in a Diverse Society, (Toronto, Allyn and Bacon, 1996) hal. 7-33 Joseph. B. Mizrahi T Peterson & F. Sugarman. Womens Perspectives on Community Organizing: A Feminist Synthesis of Theory and Practice. Dipresentasikan pada the Annual Program Meeting of the Council on Social Work Education (Chicago, Maret, 1989). James Torczyner, Issue Selection in Community Organization Practice in the Advanced Seminar in Empowerment Practice, (Montreal, Eastman, 2003) hal. 13 Louise Guiterrez, E.A. Lewis, A Feminist Perspective on Organizing with Women of Color. In Rivera, FG., Erlich, JL., (Eds.), Community Organizing in a Diverse Society, (Toronto, Allyn and Bacon, 1996) hal. 7-33. Joseph. B. Mizrahi T Peterson & F. Sugarman. Womens Perspectives on Community Organizing: A Feminist Synthesis of Theory and Practice. Dipresentasikan pada the Annual Program Meeting of the Council on Social Work Education (Chicago, Maret, 1989). George Brager, Harry Specht dan James Torzyner, Community Organizing, (New York, Columbia University Press, 1987) hal. 60 James Torczyner, Issue Selection in Community Organization Practice in the Advanced Seminar in Empowerment Practice, (Montreal, Eastman, 2003) hal. 13 Jajang Wahjana. Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia, retrieved 14 Juli 2004 pada http:// www.rnw.nl/ranesi/html/anak_jalanan.html Lori Heise. International Diensions of Violence Against Women, Response to the Victimization of Women and Children, (New York : Sage Publications, 1989) Chap. 12 (1), hal. 3-11 James Torczyner, Issue Selection in Community Organization Practice in the Advanced Seminar in Empowerment Practice, (Montreal, Eastman, 2003) hal. 13 Sarah Todd, Feminist Community Organizing: The Spectre of the Sacred and the Secular, Retrieved 13 June 2004 from http://www.fsw.ucalgary.ca/currents/articles/articles/todd/main.htm N. Adamson, et al., The Ideology of womens movement. In Feminist organizing for change, the contemporary womens movement in Canada, (Toronto, Oxford, 1988) hal. 199-227. Dan George. Excerpts from Vis-a-Vis : A National Newsletter on Family Violence, (Canadian Councel on Social Development, 1992), chap. 11, hal. 4. M. Badran, Islamic Feminism means justice to women, retrieved april 22 2003, dari http:// www.milligazzette.com/archivs/2004/16-31Jan04-Prin-Edition/1631200425.htm

69

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 54-70

32

33

34

35

36 37

38

39

40 41 42 43

44

45

46 47

48

Nighat Gandhi, In the Shadow of Inequality in the Hindu, 19 Oktober 2003, http:// www.countercurrents.org/gender-gandhi191003.htm L. L. Al- Faruqi, Islamic Traditions and the Feminist Movement: Confrontation or Cooperation?, http/ /www.jannah.org/sisters/feminism.html F Shaheed, Networking for change: The role of women in initiating dialogue on womens issues, in . faith and freedom, womens human rights in the Moslems world (New York, Syracuse University Press, 1995). Hal. 12. Sarah Todd, Feminist Community Organizing: The Spectre of the Sacred and the Secular, Retrieved 13 June 2004 from http://www.fsw.ucalgary.ca/currents/articles/articles/todd/main.htm Ibid O.J. Eldridge, Self Reliance, participation and democracy : Core concepts and values of Indonesian Non-Government Organisatios, Non-Government Organisations and Democratic Participation in Indonesia (New York, Oxford University Press, 1995). Hal. 12. S. Suryochondro, S., Timbulnya Pergerakan Gerakan Wanita di Indonesia pada Kajian Wanita dalam Pembangunan, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1995), hal 5. Damayanti, Muchtar, The Rise of the Indonesian Womens Movement in the New Order State, A thesis submitted for the degree of Master of Philosophy of Murdoch University, Western Australia (1999), hal. 35-37. Ibid 10 Tahun WCC Rifka Annisa, Kompas 1 Agustus 2003. Laporan Tahunan desa Binaan bojong Indah, tahun 2005, IISEP . W.L. Newman, Social Work Research Methods, qualitative and quantitative approaches, (Boston:Pearson,2003) Hal 210 W.L. Newman, Social Work Research Methods, qualitative and quantitative approaches, (Boston:Pearson,2003) Hal 210 Rifka Annisa Women Crisis Center, Mengorganisasikan diri menghentikan kekerasan membangun pusat krisis berbasis komunitas, (Yogyakarta, WCC Rifka Annisa & AusAid,2002) Ibid O. Williams, Group Work with American African Men who Batter : Towards More ethnically sensitive practice. Journal of Comparative Studies, 25 (1). Hal 91-103 John Campbell, Prevention of wife battering : Insights from cultural analysis. Response to the Victimization of Women and Children, (1992), 14 (3) hal. 18-24.

BIODATA PENULIS : Dorita Setiawan, penulis adalah Alumnus School of Social Work, McGill University, Montreal,Quebec, Canada, tahun 2004. Sekarang aktif sebagai staf pengajar Program Kesejahteraan Sosial di Universitas Islam Negeri Jakarta.

70

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP PRESTASI KERJA PEGAWAI PUSDIKLAT PEGAWAI DEPARTEMEN SOSIAL RI
Surya Wijaya, Sumardjo, Pang S. Asngari

ABSTRAK
Penelitian yang dilaksanakan di Pusdiklat Pegawai Departemen Sosial ini meliputi (1) seberapa jauh aspek kepemimpinan berpengaruh terhadap prestasi kerja pegawai, (2) seberapa jauh motivasi kerja pegawai berpengaruh terhadap prestasi kerjanya. Populasi penelitian ini berjumlah 70 orang, dengan acak sederhana diambil sebanyak 60 orang pegawai untuk dijadikan responden penelitian. Hasil penelitian menunjukkan (1) Motivasi bekerja pegawai pusdiklat belum optimal dalam mendorong pegawai lain untuk bekerja lebih baik, (2) Prestasi kerja di Pudiklat belum maksimal, karena konsistensi dan perilaku bekerja yang belum sesuai, (3) Prinsip dalam kepemimpinan yang terdiri dari keberhasilan dalam sebuah proses, pengetahuan, kemampuan dalam bertindak, kemampuan dalam memandu dan mendorong seluruh pegawai pusdiklat untuk meningkatkan motivasi pegawai, (4) Karakteristik pegawai yang homogen, mempengaruhi motivasi pegawai, (5) Budaya kerja yaitu nilai, kepercayaan serta merit system membawa efek dalam meningkatkan motivasi kerja, (6) Motivasi pegawai Pusdiklat kurang kuat, sehingga berpengaruh terhadap prestasi kerja. Dari hasil penelitian tersebut, disarankan (1) Mengembangkan motivasi intrisnik dan ekstrinsik kepemimpinana dan budaya kerja yang efektif, (2) Budaya kerja, khususnya pada peningkatan sikap, kepercayaan, dan merit sistem.

Key word : Kepemimpinan, Motivasi, Prestasi Kerja

I.

PENDAHULUAN

Berdasarkan pengamatan sementara, prestasi kerja pegawai pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Pegawai Departemen Sosial secara umum dapat dikategorikan masih belum maksimal. Hal ini ditandai dengan belum berkembangnya nilai-nilai budaya kerja secara konsisten yang dapat merubah sikap dan perilaku sumber daya manusia untuk mencapai produktivitas kerja lebih tinggi dalam menghadapi tantangan masa depan. Penilaian prestasi kerja pegawai ini mutlak harus dilakukan karena untuk mengetahui seorang pegawai memiliki prestasi kerja atau tidak dan sekaligus dapat mengetahui kelebihan-kelebihan maupun kekurangankekurangan yang dimilikinya. Bagi pegawai yang memiliki prestasi kerja yang tinggi, memungkinkan dirinya untuk diberikan promosi, sebaliknya pegawai yang prestasinya rendah dapat diperbaiki prestasi kerjanya dengan memindahkan kejabatan atau posisi yang

sesuai dengan kecakapannya ataupun melalui pendidikan dan latihan dalam rangka pengembangan pegawai. Diduga ada masalah-masalah di sekitar kinerja ini, yang ditandai dengan kurangnya konsistensi antara tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh pimpinan dalam rangka mencapai tujuan, visi dan misi organisasi, dan didukung komunikasi yang ada di lingkungan kerja organisasi untuk mensosialisasikan program/kegiatan belumlah tersosialisasi secara baik.

II. MASALAH PENELITIAN


Setiap dan semua organisasi apapun jenisnya pasti memiliki dan memerlukan seorang pimpinan tertinggi (pimpinan puncak) dan/atau manajer tertinggi (top manager) yang harus menjalankan kegiatan kepemimpinan (leadership) dan/atau manajemen (management) bagi keseluruhan organisasi sebagai satu kesatuan (Nawawi, 2003: 18).

71

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 71-81

Robbins (1992 : 354) mengatakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi suatu kelompok ke arah pencapaian (tujuan). Pendapat ini memandang semua anggota kelompok/organisasi sebagai satu kesatuan, sehingga kepemimpinan diberi makna sebagai kemampuan mempengaruhi semua anggota kelompok/organisasi agar bersedia melakukan kegiatan/bekerja untuk mencapai tujuan kelompok/organisasi. Schifrman dan Kanuk (1992) mendefinisikan motivasi sebagai daya gerak dalam diri individu yang mendorongnya untuk melakukan tindakan yang disebabkan oleh adanya tegangan yang diakibatkan oleh belum terpenuhinya suatu kebutuhan. Motivasi terdiri atas motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah dorongan yang berasal dari dalam diri seseorang. Selanjutnya motivasi ekstrinsik adalah dorongan dari luar diri seseorang sehingga melakukan sesuatu hal (Reece dan Brandt, 1981: 126). Menurut Nawawi (2003), Penilaian Kinerja (Job Performance Appraisal) yang disebut juga Penilaian Prestasi Kerja, Penilaian Karya atau Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan adalah salah satu kegiatan manajemen sumber daya manusia. Penilaian Kinerja/Prestasi Kerja pegawai juga diartikan sebagai proses pengamatan (observasi) terhadap pelaksanaan pekerjaan seseorang karyawan/anggota organisasi atau tim (team) kerja. Nantinya dari hasil observasi itu dilakukan pengukuran yang dinyatakan dalam bentuk skor atau nilai yang menunjukkan kelemahan/kekurangan atau kelebihan serta keberhasilan atau kegagalan seorang karyawan/anggota organisasi dalam melaksanakan pekerjaan/tugas pokoknya. Berpijak pada konsep di atas, maka indikator kinerja tidak saja dari aspek inputs, outputs, tapi juga sampai pada outcomes. Benefit dan impact dari kegiatan organisasi publik.

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab masalah-masalah berikut: (1) seberapa jauh aspek kepemimpinan, berpengaruh terhadap prestasi kerja pegawai; (2) seberapa jauh motivasi kerja pegawai berpengaruh terhadap prestasi kerjanya. Berdasarkan pada masalah di atas, maka tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) menganalisis pengaruh kepemimpinan terhadap prestasi kerja pegawai; (2) menganalisis pengaruh motivasi kerja terhadap prestasi kerja pegawai.

III. METODE PENELITIAN


Penelitian ini dilaksanakan di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Departemen Sosial RI di Jl. Margaguna Raya No.1 Jakarta Selatan, selama tiga bulan sejak Bulan Januari 2006 hingga Bulan Maret 2006. Populasi penelitian ini adalah pegawai Pusdiklat Pegawai Departemen Sosial. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive, dengan pertimbangan bahwa Departemen Sosial pernah mengalami rekonstruksi kelembagaan termasuk pergantian kepemimpinan, sehingga penting untuk dianalisis pengaruh kepemimpinan terhadap prestasi kerja pegawai. Populasi penelitian ini berjumlah 70 orang, dengan acak sederhana diambil sebanyak 60 orang pegawai untuk dijadikan responden penelitian, karena 10 orang pegawai lainnya tengah mengikuti tugas belajar untuk program S1 S3. Penelitian ini tergolong penelitian eksplanatori dengan menganalisis pengaruh kepemimpinan dan motivasi kerja terhadap prestasi kerja pegawai. Terdapat tiga peubah/variabel yaitu variabel tak bebas berupa prestasi kerja pegawai dan variabel bebas yang berupa kepemimpinan dan motivasi kerja pegawai. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan meliputi data yang berhubungan dengan variabel utama seperti karakteristik pegawai, kepemipinan, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai. Data sekunder yang dikumpulkan berupa data penunjang seperti struktur organisasi, aturan-aturan organisasi, surat-surat keputusan dalam organisasi dan data lain yang mendukung penelitian ini.

72

Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Kerja

(Surya Wijaya, Sumardjo, Pang S. Asngari)

KERANGKA BERPIKIR
X.1. Kepemimpinan X.1.1. Menantang Proses X.1.2. Mengilhamkan Wawasan Bersama X.1.3. Memungkinkan Orang Lain Bertindak X.1.4. Menjadi Petunjuk Jalan X.1.5. Membesarkan Hati

Y. Prestasi Kerja

X.2. Motivasi Kerja X.2.1. Motivasi Instrinsik X.2.2. Motivasi ekstrinsik

Gambar 1. Kerangka Berpikir Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Kerja Terhadap Prestasi Kerja Pegawai Pusdiklat Pegawai Departemen Sosial RI.

Hipotesis Penelitian H1: Terdapat pengaruh yang nyata antara aspek kepemimpinan terhadap motivasi kerja pegawai. H2: Terdapat pengaruh yang nyata antara motivasi kerja terhadap prestasi kerja pegawai.

Rata-rata umur responden adalah 46 tahun dengan kisaran 28 65 tahun. Sebesar 40 persen tergolong berusia antara 38-47 tahun. Sekitar tujuh tahun ke depan terdapat 16 orang pegawai akan pensiun, terdiri dari sebanyak 6 orang pejabat fungsional, dan 10 orang diluar pejabat fungsional. Tingkat pendidikan formal responden sebagian besar (60 persen) pegawai telah berpendidikan So - S1. Pendidikan merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan, ini berarti pegawai Pusdiklat Pegawai Depsos berpeluang memahami dengan baik tugas-tugas pokok yang harus dilaksanakannya. Sebagian besar responden (50 persen pegawai) berada pada Golongan III. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden telah mencapai jenjang hierarkhi kepegawaian yang juga tergolong tinggi. (Tabel 1)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Gambaran Umum Responden Pegawai yang menjadi responden sejumlah 60 orang, terdiri dari jabatan fungsional 20 orang (33,3 persen), jabatan struktural 10 orang (16,7 persen) dan staff sebanyak 30 orang (50 persen). Sebanyak 60 pegawai dijadikan responden dalam penelitian ini. Secara rinci menurut umur, pendidikan, pangkat/golongan, dan masa kerja disajikan pada Tabel 1.

73

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 71-81

Tabel 1. Karakteristik responden


No Karakteristik Pegawai Umur Klasifikasi 28-37 th 38-47 th 48-57 th 58-67 th < SLTA S0 S1 S2 S3 Gol I Gol II Gol III Gol IV 1-11 th 12-22 th 23-33 th 34-44 th Fungsional 0 4 10 6 0 16 3 1 0 0 1 19 0 5 10 5 Jabatan Struktural 1 4 5 0 0 5 4 1 0 0 6 4 1 5 4 0 Staff 9 16 5 0 15 15 0 0 0 7 23 0 4 18 8 0 Jumlah Orang (%) 10 16,7 24 40,0 20 33,3 6 10,0 15 25,0 36 60,0 7 11,7 2 3,3 0 0 7 11,7 30 50,0 23 38,3 5 8,3 28 46,7 22 36,7 5 8,3

Pendidikan

Pangkat/ Golongan

Masa Kerja

Rata-rata responden telah bekerja selama 20 tahun dengan kisaran 1 44 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa Pegawai Pusdiklat Depsos telah memiliki pengalaman yang cukup lama dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaan di bidang tugas pokoknya. Berdasarkan distribusi responden terlihat bahwa sebesar 46,7 persen pegawai memiliki masa kerja dari 12 sampai dengan 22 tahun. B. Kepemimpinan di Pusdiklat Pegawai Departemen Sosial

petunjuk jalan dan membesarkan hati para follower-nya. Hasil penelitian disajikan pada Tabel 2. 1. Menantang Proses Sebagian besar pegawai (50 persen) menyatakan bahwa pimpinan yang ada tergolong kurang berani menantang proses. Hal ini berarti bahwa para pemimpin masih kurang berani mengkritisi dari kebiasaan dan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Selain itu, para pimpinan relatif kurang berani mengambil risiko untuk melakukan inovasi dan upaya menemukan cara baru yang lebih baik untuk melakukan perubahan-perubahan di Lembaga ini. (Tabel 2).
Jumlah Orang (%) 30 50,0 29 48,3 1 1,7 33 55,0 22 36,7 5 8,3 22 36,7 24 40,0 14 23,3 10 16,7 45 75,0 5 8,3 20 33,3 25 41,7 15 25,0

Kepemimpinan yang dianalisis terdiri dari kemampuan pemimpin dalam: menantang proses, mengilhamkan wawasan bersama, memungkinkan orang lain bertindak, menjadi

Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan penilaian terhadap faktor-faktor kepemimpinan


No 1 X1 Prinsip-prinsip Kepemimpinan X11 Menantang proses Klasifikasi Rendah (skor 15-20) Sedang (skor 21-26) Tinggi (skor 27-32) Rendah (skor 11-16) Sedang (skor 17-22) Tinggi (skor 23-28) Rendah (skor 11-15) Sedang (skor 16-20) Tinggi (skor 21-25) Rendah (skor 8-13) Sedang (skor 14-19) Tinggi (skor 20-25) Rendah (skor 104-141) Sedang (skor 142-179) Tinggi (skor 180-217)

X12 Mengilhamkan wawasan bersama X13 Memungkinkan orang lain bertindak X!4 Menjadi petunjuk jalan

X15 Membesarkan Hati

74

Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Kerja

(Surya Wijaya, Sumardjo, Pang S. Asngari)

2.

Mengilhamkan Wawasan Bersama Para pemimpin yang ada di Pusdiklat Pegawai Depsos dalam hal menghadirkan wawasan bersama tergolong dalam kategori rendah hal tersebut terlihat dari (55 persen) pegawai. Hal ini mengindikasikan bahwa para pimpinan di Pusdiklat Pegawai Depsos kurang mampu untuk memahami kebutuhan, impian, harapan dan aspirasi para pegawai yang dipimpinnya. Memungkinkan Orang Lain Bertindak Para pemimpin yang ada di Pusdiklat Pegawai Depsos tergolong cukup baik dalam memberikan kepercayaan atau pendelegasian wewenang kepada para pegawainya untuk melaksanakan tugastugas sesuai unit kerjanya masing-masing tanpa melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan (40 persen pegawai). Hal ini berarti para pemimpin Pusdiklat Pegawai Depsos cukup memberikan kebebasan kepada bawahannya untuk mengeluarkan ide, pendapat/gagasan demi kemajuan organisasi. Selain itu data ini mengindikasikan bahwa para pimpinan yang ada di Pusdiklat Pegawai Depsos tergolong cukup dalam membuat

bawahannya. Hal tersebut terlihat dari kenyataan di lapangan bahwa para pimpinan memiliki cukup keperdulian terhadap masalah-masalah yang dihadapi para bawahannya dan tetap konsisten pada keputusan yang telah menjadi kesepakatan bersama. 5. Membesarkan Hati Membesarkan hati adalah pimpinan untuk menghargai setiap usaha individu dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Sebesar (33,3 persen) pegawai masih merasa bahwa para pemimpin di Pusdiklat Pegawai Depsos tergolong kurang mampu membesarkan hati para bawahannya. Hal ini terlihat dari belum optimalnya usaha pimpinan untuk menunjukkan kepada staff bagaimana mereka mampu menghadapi masalah dan rintangan yang dihadapi, serta pimpinan mau memberikan pengakuan atas keberhasilan baik secara individu maupun kelompok. Budaya Organisasi

3.

C.

Budaya organisasi yang dianalisis dalam penelitian ini terdiri atas: value, belief, dan sistem merit. Hasil penelitian disajikan pada Tabel 3.
Jumlah Orang (%) 26 43,3 31 51,7 3 25,0 35 58,3 22 36,7 3 5,0 24 40,0 31 51,7 5 8,3

Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan budaya organisasi


No 1 Budaya Organisasi Nilai (Value) Kategori Tidak jelas (skor 8-12) Kurang Jelas (skor 13-17) Jelas (skor 18-22) Tidak yakin (skor (8-10) Kurang yakin (skor 11-13) Yakin (skor 14-16) Tidak baik (skor 7-12) Kurang baik (skor 13-18) Baik (skor 19-34)

Kepercayaan (Belief) Sistem Merit

bawahannya merasa memiliki kesempatan, mampu, dan memiliki keyakinan untuk berkarya dalam bidang tugasnya. 4. Menjadi Petunjuk Jalan Sebagian besar (75 persen) pegawai menyatakan bahwa para pemimpin yang ada di Pusdiklat Pegawai Depsos tergolong cukup baik dalam memberikan petunjuk jalan (arahan) bagi para

1.

Nilai (Value) Value adalah nilai-nilai yang ada dan berkembang dalam organisasi seperti inisiatif individu, toleran terhadap tindakan yang berisiko dan pengarahan yang ditaati oleh seluruh pegawai. Nilai ini dimanifestasikan dalam bentuk normanorma/aturan-aturan. Norma adalah pedoman perilaku standar yang dapat diterima oleh orang-orang yang ada

75

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 71-81

dalam organisasi. Nilai yang dianut masing-masing organisasi berbeda-beda. Nilai adalah suatu ketentuan mana yang baik dilakukan dan mana yang tidak baik dilakukan. Bila tidak ada nilai dan norma yang jelas maka kehidupan organisasi akan kacau balau. Sebagian 43,3 persen pegawai menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada dalam organisasi Pusdiklat Pegawai Depsos tergolong tidak jelas. Hal ini berimplikasi perlunya sosialisasi nilai bagi mereka yang masih merasa belum jelas. 2. Kepercayaan (Belief) Keyakinan adalah segala sesuatu yang dianggap benar oleh sistem sosial. Keyakinan tertentu harus dimiliki oleh anggota-anggota yang ada dalam organisasi. Sedapat mungkin organisasi direkatkan dalam keyakinan yang sama. Keyakinan berfungsi sebagai perekat sistem sosial. Makin banyak keyakinan bersama dalam suatu organisasi, maka semakin kompak organisasi tersebut. Kenyataannya sebagian besar (58,3 persen) pegawai masih tergolong tidak memiliki keyakinan terhadap sesuatu yang dianggap benar oleh orang-orang yang ada dalam organisasi. Sistem Merit (Merit System) Sistem merit di Pusdiklat Pegawai Depsos masih dinilai tak baik oleh sebanyak (40,0 persen) pegawai. Hal ini menunjukkan bahwa belum berjalannya secara baik mekanisme pengangkatan seseorang untuk menduduki jabatan

berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh sistem merit tersebut. Pengangkatan seseorang untuk menduduki suatu jabatan tertentu di dasarkan atas kecakapan dan kemampuan dengan melalui uji kepatutan/kelayakan. Selain itu diperlukan persyaratan lain seperti berdasarkan pada Daftar Urut Kepangkatan (DUK) yang sudah menjadi suatu ketentuan. Bukan didasari atas keinginan pimpinan atau dengan cara KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) sehingga seseorang yang diangkat dalam suatu jabatan tertentu benar-benar telah melalui seleksi yang ketat. Dengan demikian diharapkan yang bersangkutan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik, sehingga memberikan kontribusi terhadap kemajuan organisasi. D. Motivasi Kerja

3.

Motivasi kerja adalah sesuatu dorongan yang ada dalam diri seseorang untuk bertindak atau berbuat sesuatu, karena ada hal-hal yang ingin ia peroleh dengan tindakan tersebut. Dalam penelitian ini yang dianalisis dalam motivasi kerja adalah motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Tidak ada satupun staff yang memiliki motivasi kerja yang baik. Hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian dan penghargaan yang diberikan pimpinan kepada staffnya. Data ini mengindikasikan bahwa pimpinan harus lebih memberikan perhatian yang lebih pada staffnya agar dapat menumbuhkan motivasinya untuk bekerja lebih baik dengan cara menerapkan sistem ganjaran dan hukuman yang tegas. Hasil penelitian disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Distribusi responden berdasarkan motivasi kerja


No 1 X2 Motivasi Kerja X21 Motivasi Intrinsik X22 Motivasi Ekstrinsik X1 Motivasi Kerja Klasifikasi Tidak termotivasi (skor 15-21) Kurang termotivasi (skor 22-28) Termotivasi (skor 29-35) Tidak termotivasi(Skor 15-25) Kurang termotivasi(skor 26-36) Termotivasi(skor 37-47) Tidak termotivasi (Skor 30-45) Kurang termotivasi (skor 46-61) Termotivasi (skor 62-87) Jabatan (%) Fungsional Struktural 25,0 10,0 70,0 90,0 5,0 0,0 25,0 10,0 70,0 80,0 5,0 10,0 15,0 10,0 80,0 80,0 5,0 10,0 Staff 20,0 80,0 0,0 20,0 76,7 3,3 20,0 80,0 0,0 Jumlah Orang (%) 12 20,0 47 78,3 1 1,7 12 20,0 45 75,0 3 5,0 10 16,7 48 80,0 2 3,3

76

Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Kerja

(Surya Wijaya, Sumardjo, Pang S. Asngari)

1.

Motivasi Intrinsik Motivasi intrinsik adalah dorongan yang tumbuh dalam diri pegawai Pusdiklat Pegawai Depsos untuk bekerja. Pegawai Pusdiklat Pegawai Depsos relatif masih kurang memiliki motivasi intrinsik untuk bekerja (78,3 persen) pegawai. Hal ini menunjukkan bahwa keinginan untuk bekerja sudah berasal dari dalam dirinya sehingga hal ini dapat dijadikan nilai positif bagi para pimpinan yang ada untuk mencapai prestasi kerja yang lebih baik. Apabila dianalisis berdasarkan jabatan, pada masing-masing jabatan baik struktural, fungsional maupun staff, motivasi kerja masih perlu untuk ditingkatkan karena seluruhnya berada pada kategori cukup termotivasi, khususnya motivasi instrinsik pada jabatan struktural.

mendorong untuk bekerja lebih baik. Hal lain yang bisa mendorong juga karena adanya imbalan yang ditawarkan bagi pegawai yang berprestasi. Hukuman yang ketat terhadap para pegawai yang melanggar aturan juga menjadi dorongan untuk bekerja lebih baik. E. Prestasi Kerja

Prestasi kerja yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi konsistensi bekerja dan perilaku pegawai dalam bekerja. Prestasi kerja staff lebih baik dibandingkan dengan pegawai struktural dan fungsional. Hal ini disebabkan karena staff terikat oleh perintah atasan dan aturan-aturan yang mewajibkan para staff untuk bekerja lebih baik. Disamping itu, staff tidak memiliki kewenangan yang lebih dibandingkan dengan pegawai struktural dan fungsional. Hasil penelitian disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Distribusi responden berdasarkan prestasi kerja


No 1 YPrestasi Kerja Y1 Konsistensi Bekerja Klasifikasi Tidak konsisten (Skor 5-10) Kurang konsisten (skor 11-16) Konsisten (skor 17-22) Tidak baik (Skor 12-16) Kurang baik (skor 17-21) Baik (skor 22-26) Rendah (Skor 22-27) Sedang (skor 28-33) Tinggi (skor 34-39) Fungsional 65,0 35,0 0,0 35,0 45,0 20,0 20,0 70,0 10,0 Jabatan (%) Struktural 80,0 10,0 10,0 0,0 60,0 40,0 10,0 80,0 10,0 Staff 13,3 56,7 30,0 3,3 80,0 16,7 6,7 56,7 36,6 Jumlah Orang (%) 25 25 10 8 39 13 7 39 14 41,7 41,7 16,6 13,6 65,0 21,7 11,7 65,0 23,3

Y2 Perilaku bekerja

Y Prestasi Kerja

2.

Motivasi Ekstrinsik Dorongan yang berasal dari luar diri responden untuk bekerja juga tergolong relatif masih kurang termotivasi (75,0 persen) pegawai. Dorongan untuk bekerja lebih baik berasal dari aturan-aturan yang ada dalam organisasi. Selain itu peran pimpinan juga menentukan dorongan untuk bekerja sesuai dengan unit kerjanya. Pegawai menyadari bahwa lingkungan tempat bekerja yang kondusif juga

1.

Konsistensi Bekerja Konsistensi bekerja adalah ketekunan/ketahanan bekerja di dalam bidang tugas yang dibebankan kepada pegawai tersebut. Tingkat konsistensi bekerja pegawai berada pada kategori 16,6 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pegawai yang ada di Pusdiklat Pegawai Depsos masih kurang memiliki kedisiplinan untuk bekerja, terutama dalam kehadiran dan melaksanakan tugas-tugas rutin. Oleh

77

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 71-81

sebab itu diperlukan seorang pimpinan yang dapat memacu motivasi pegawai dalam bekerja yang lebih konsisten. Dilihat berdasarkan pada jabatan maka para staff memiliki tingkat konsistensi bekerja yang lebih baik dibandingkan dengan para pegawai yang menduduki jabatan fungsional dan struktural. Hal ini disebabkan karena pegawai tunduk dan segan (takut) pada atasan dan peraturan yang berlaku. Pegawai yang menduduki jabatan struktural merasa memiliki power untuk berbuat sesuai dengan keinginannya. Apalagi pada jabatan fungsional, individu dituntut untuk bekerja secara mandiri tanpa harus tergantung pada perintah atasan, sehingga ia sendiri yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan kebutuhannya.

dan staff. Hal ini disebabkan karena jabatan struktural dianggap memiliki lahan basah banyak aktivitas yang mendapatkan imbalan materi yang lebih baik dibandingkan dengan jabatan fungsional dan staff. F. Pengaruh Kepemimpinan terhadap Motivasi Kerja

Terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel kepemimpinan menantang proses dengan motivasi kerja. Semakin sering pemimpin berani menantang proses yang berjalan secara alami, maka para bawahan akan berusaha terus untuk mengikuti pimpinannya sehingga timbul dorongan untuk menunjukkan prestasi kerja yang lebih baik. (Tabel 6)

Tabel 6. Pengaruh prinsip-prinsip kepemimpinan terhadap motivasi kerja


No 1 2 3 4 5 Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Menantang Proses Mengilhamkan wawasan bersama Memungkinkan orang lain bertindak Menjadi petunjuk jalan Membesarkan hati Motivasi Kerja Koefisien regresi Nilai-p 0,600** 0,000 0,651** 0,000 0,701** 0,000 0,606** 0,000 0,649** 0,000

Keterangan: n = 60 orang; nilai-p = peluang kesalahan (galat) ** Berpengaruh sangat nyata pada = 0,01 * Berpengaruh nyata pada = 0,05

2.

Perilaku Bekerja Perilaku bekerja pegawai tergolong masih kurang baik hal tersebut terlihat pada (65,0 persen) pegawai. Ini berarti prioritas masalah di luar kedinasan menjadi yang lebih utama dibandingkan masalah-masalah pekerjaan yang menjadi tugas pokok dan fungsinya. Walaupun sudah adanya terjalin hubungan kerjasama dengan pimpinan, sesama pegawai, maupun dengan bawahannya, tetapi hal ini perlu untuk terus ditingkatkan, pada taraf yang lebih baik lagi. Dilihat berdasarkan jabatan maka pegawai yang menduduki jabatan struktural menunjukkan perilaku bekerja yang paling baik (40 persen) dibandingkan dengan jabatan fungsional

Pengaruh variabel mengilhamkan wawasan bersama terhadap motivasi kerja menunjukkan angka 0,651 dengan taraf signifikansi sangat nyata (a = 0,01). Semakin sering pimpinan memberikan petunjuk atau instruksi atau menginternalisasikan tugas-tugas yang ada di dalam unit kerja masing-masing maka motivasi itu akan meningkat. Paling tidak staff akan mengetahui atau menguasai hal-hal yang seharusnya ia lakukan. Hal ini terjadi karena setiap staff mengetahui hal-hal yang seharusnya ia lakukan. Selain itu, setiap staff juga akan mengetahui hal-hal yang akan ia dapatkan dari yang telah ia kerjakan. Hal ini akan memperjelas tugas-tugas dan peranan masing-masing staff pada unit kerjanya. Terdapat pengaruh yang signifikan variabel kepemimpinan memungkinkan orang lain bertindak dengan motivasi kerja. Semakin

78

Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Kerja

(Surya Wijaya, Sumardjo, Pang S. Asngari)

sering kesempatan yang diberikan pimpinan kepada staffnya untuk melaksanakan tugas, maka semakin tinggi motivasi kerja staff untuk melaksanakan pekerjaan. Selain itu, pimpinan yang mampu membuat staffnya merasa mampu dan yakin dapat melaksanakan pekerjaan akan meningkatkan motivasi kerjanya. Hubungan yang yang terjalin berdasarkan kepercayaan dan keyakinan antara pimpinan dan staffnya akan semakin meningkatnya motivasi kerja staff. Menjadi petunjuk jalan juga berpengaruh secara signifikan dengan motivasi kerja. Apabila seorang pemimpin sering menyalahkan staff dalam pelaksanaan tugas-tugasnya maka dapat menurunkan motivasi kerja staff yang bersangkutan. Sebaliknya, apabila pimpinan sering memberikan arahan atau pencerahan

Variabel kepemimpinan membesarkan hati berpengaruh secara sangat nyata dengan motivasi kerja. Hal ini berarti pimpinan akan dapat meningkatkan motivasi kerja staffnya jika mampu membesarkan hati staffnya. Apabila pimpinan sering memberikan pengakuan (recognation) terhadap keberhasilan kerja staff maka hal ini dapat menumbuhkan motivasi kerja para bawahannya dan pada akhirnya pada prestasi kerjanya. G. Pengaruh Karakteristik Pegawai terhadap Motivasi Kerja Tidak terdapat pengaruh yang nyata antara variabel karakteristik pegawai dengan motivasi kerja dapat dilihat pada tabel 7. Hal ini terjadi karena karakteristik pengawai yang relatif homogen.

Tabel 7. Pengaruh unsur-unsur karakteristik pegawai terhadap motivasi kerja


No 1 2 3 4 Karakteristik pegawai Umur Pendidikan Pangkat/golongan Masa kerja Motivasi kerja Koefisien regresi Nilai-p -0,126 0,222 0,116 0,953 0,014 0,995 0,318 0,127

Keterangan: n = 60 orang; nilai-p = peluang kesalahan (galat) ** Berpengaruh sangat nyata pada = 0,01 * Berpengaruh nyata pada = 0,05

maka motivasi kerja staffnya akan meningkat. Kenyataan di lapangan sering ditemukan bahwa apabila pimpinan dalam melaksanakan fungsi supervisi (pembinaan) dalam pelaksanaan tugas yang hanya menyalahkan saja akan menurunkan motivasi kerja staffnya. Sebaiknya apabila ditemukan penyimpangan dalam pelaksanaan tugas yang dilakukan bawahannya maka pimpinan tidak boleh menuding secara langsung pada kesalahan bawahannya tetapi seharusnya dapat memberikan solusi cara pemecahan masalah yang sedang dihadapi para bawahannya tersebut. Apabila langsung disalahkan begitu saja maka bawahan akan takut berbuat sehingga akan menurunkan motivasi kerjanya.

H.

Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Motivasi Kerja

Nilai (value) berpengaruh sangat nyata terhadap motivasi kerja. Ini berarti semakin jelas nilai-nilai yang budaya bagi orang-orang yang ada dalam organisasi meningkatkan motivasi kerja pegawai. Hal ini didukung oleh kenyataan di lapangan bahwa nilai-nilai yang dianut seperti: organisasi membutuhkan inovasi yang baru, organisasi mendukung ide-ide baru, organisasi mendukung kreatifitas dari orangorang yang ada dalam organisasi, organisasi mendukung tindakan pegawai yang menginginkan perubahan sistem kerja yang lebih baik dan setiap pegawai diberikan kewenangan tanpa tergantung pada orang lain cukup kuat mempengaruhi motivasi kerja pegawai.

79

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 71-81

Tabel 8. Pengaruh unsur-unsur budaya organisasi terhadap motivasi kerja


No 1 2 3 Budaya Organisasi Nilai (Value) Kepercayaan (belief) Sistem merit (Merit system) Motivasi Kerja Koefisien regresi Nilai-p 0,386** 0,001 0,474** 0,000 0,632** 0,000

Keterangan: n = 60 orang; nilai-p = peluang kesalahan (galat) ** Berpengaruh sangat nyata pada = 0,01 * Berpengaruh nyata pada = 0,05

Kepercayaan (belief) berpengaruh secara sangat nyata terhadap motivasi kerja pegawai. Ini berarti semakin kuat kepercayaan yang dianut organisasi semakin membangkitkan motivasi pegawai. Kepercayaan tadi meliputi: kepercayaan organisasi pada pegawai untuk mengambil bidang pekerjaan yang menjadi tugas pokoknya, kepercayaan organisasi pada pegawai untuk harus mempertanggungjawabkan pekerjaannya, dan kepercayaan organisasi pada pegawai untuk menduduki posisi jabatan harus sesuai kompetensinya. Sistem merit secara sangat nyata berpengaruh terhadap motivasi kerja pegawai. Ini berarti sistem merit dinilai tepat, yang terdiri atas: pengangkatan jabatan berdasarkan

kecakapan yang dimiliki pegawai, kejelasan karir pegawai untuk menduduki suatu jabatan tertentu, prestasi yang luar biasa dari pegawai akan dijadikan dasar dalam pengangkatan suatu jabatan tertentu cukup kuat mempengaruhi motivasi kerja pegawai. I. Pengaruh Motivasi Kerja terhadap Prestasi Kerja

Tidak terdapat pengaruh yang nyata antara variabel motivasi kerja pegawai dengan prestasi kerja. Hal ini disebabkan oleh motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik yang tergolong sedang dan prestasi kerjanya juga tergolong sedang maka belum cukup kuat mengembangkan motivasi kerja berpengaruh secara nyata terhadap prestasi kerja pegawai.

Tabel 9. Pengaruh motivasi kerja dengan prestasi kerja


No 1 2 Motivasi kerja Motivasi Intrinsik Motivasi Ekstrinsik Prestasi kerja Koefisien regresi Nilai-p 0,072 0,293 - 0,057 0,332

Keterangan: n = 60 orang; nilai-p = peluang kesalahan (galat) ** Berpengaruh sangat nyata pada = 0,01 * Berpengaruh nyata pada = 0,05

80

Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Kerja

(Surya Wijaya, Sumardjo, Pang S. Asngari)

V.
A.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka disimpulkan hal-hal sebagai berikut: (1) Motivasi kerja pegawai Pusdiklat Pegawai Depsos pada umumnya relatif belum tinggi hal ini dipengaruhi oleh relatif masih rendahnya penerapan prinsip-prinsip kepemimpinan, juga masih kurang jelasnya unsur-unsur budaya organisasi bagi sebagian pegawai; (2) Prestasi kerja pegawai Pusdiklat Pegawai Depsos pada saat ini masih belum maksimal baik dalam konsistemsi bekerja maupun dalam perilaku bekerja, ini dipengaruhi oleh masih kurang tingginya motivasi kerja baik intrinsik maupun ekstrinsik. Belum tingginya tingkat prestasi ini, disebabkan oleh masih rendahnya kemampuan pimpinan untuk menerapkan prinsip-prinsip kepemimpinan. (3) Karakteristik pegawai tidak terbukti secara nyata mempengaruhi motivasi

kerja pegawai di Pusdiklat Pegawai Depsos karena karakteristik pegawai yang homogen satu dengan lainnya. (4) Budaya organisasi yang terdiri dari nilai (value), keyakinan (belief) dan sistem merit terbukti berpengaruh secara nyata dengan motivasi. (5) Motivasi kerja pegawai Pusdiklat Pegawai Depsos belum cukup kuat untuk mempengaruhi prestasi kerjanya. B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian maka disarankan hal-hal sebagai berikut: (1) Perlu untuk terus mengembangkan motivasi instrinsik dan ekstrinsik melalui penerapan prinsip-prinsip dasar kepemimpinan dan kejelasan budaya organisasi. (2) Perlu diperjelas budaya organisasi terutama menyangkut kejelasan tentang sistem nilai (value), keyakinan (belief) dan di dalam menerapkan sistem merit.

DAFTAR PUSTAKA
Donnely. Ivancevich dan Gibson. 1993. Organisasi dan Manajemen. Perilaku Struktur Proses. Jakarta: Erlangga. Handoko, M, 1992. Motivasi: Daya Penggerak Tingkah Laku. Jogjakarta: Kanisius. Kartono. K, 1991. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Rajawali Pers. Nawawi, H., 2003. Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ndraha, T. 1997. Budaya Organisasi. Jakarta: Rineka Cipta. Posner, Z. Barry, 1999. Leadership The Challenge: Tantangan Kepemimpinan. Alih Bahasa Adiwinoto Anton. Bamtam Centre: Inter Aksara ________, 1987. The Leadership Challenge: How to Get Extraordinary Things Done in Organization. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher. Reece L.B. Brandt R. 1981. Effective Human Relation in Business. Boston: Houghton Miflin Compsny. Robbins P Stephen. 1994. Teori Organisasi. Struktur, Desain dan Aplikasi. Jusuf Udaya Alih Bahasa. . Jakarta: Arcan. ________, 1992. Essentials of Organizational Bahavior. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Ruky, S Achmad. 2004. Sistem Manajemen Kinerja. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

BIODATA PENULIS : 1. 2. 3. Surya Wijaya, Mahasiswa S2 Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sumardjo, Ketua Komisi Pembimbing Pang S. Asngari, Anggota Komisi Pembimbing

81

INDEKS
A
Abepura, 7 Ageng serang, 62 Agim, 8 Air bawah tanah (ABT), 15 Aktifisme feminis, 58 Anderson, 13 Angle, 23 Antiseptic packaging material, 15 Antiseptik, 15 Children on the street, 46 Cianjur, 18 Cijapati, 18 Cimareme, 11 Community based, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52 Community services, 51 Community worker, 47, 51 Complete observer, 24 Conciousness raising, 58 Corporate social responsibility (CSR), 11, 12, 13, 14, 18, 19 Cox (2004:9), 3, 26 Cut Nyak Dien, 62

B
Babbie:1998, 23 Backhoe, 22 Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD), 1, 4, 7 Bandung, 11 Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), 5 Baswir, 1999:72, 1 Batanghari, 33 Bebalok, 40 Belief, 75, 80 Beneficeries, 9 Benefit, 72 Biak Numfor, 7 Blantak, 28 Block grant, 26 Bottom up planning, 6 Boven Digul, 8 Brand image, 14

D Daftar Urut Kepangkatan (DUK), 76 Danim (2002:61), 4 Deforestasi, 22 Deppapre Jayapura, 8 Desentralisasi, 2 Dubois dan Miley:2005, 13

E
Eksploitasi, 11, 22 Ekstrinsik, 72 Elkington, 12 Empowerment, 50, 58, 59 Enabler, 47, 51 Ended, 15 Erupsi, 22 Excavator, 22, 29 Exploratory study, 23 Ezzy, 2002, 23

C
Case study, 23 Center based, 44, 46 Childhope Asia (1990), 47 Children at high risk, 45, 46 Children of the street, 46, 48 Children on fire, 44

F
Faktual, 4 Fasilitator, 1

82

Indeks

Fellin, 57 Feminis, 55, 63 Feminisme, 58, 61, 62, 64, 65 Financial result, 12 First hand, 56 Flow meter, 16 Friedman:1998, 23 Frontal, 55

J
Jambi, 33 Jawa tengah, 21, 22 Jayapura, 7 Job Performance Appraisal, 72

K
Kartasasmita, 1996, 13 Keerom, 7, 8 Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), 54 Kondusif, 77 Konvensional, 3 Kristalisasi, 23 Kurik, 7, 8

G
Good parenting, 50 Grassroots, 58, 59 Gross National Product, 11 Growth oriented strategy, 11 Guiterrez, 58

L H
Hajran, 39, 42 Hazlewood, 2002: 29 Heise, 57 Huda:2004, 21 Human investment, 19 Humanis, 3 Land clearing, 22, 25 Long life corporate, 14 Lusk, 45

M
Magelang, 21, 24 Makro, 54 Mandobo, 8 Marlow, 2001, 23 Martha Christina Tiahahu, 62 Maryatmo, 2005, 21 Max Neef, 3 Maxwell:1996, 23 Mc. Charty:2004, 21 Mc. Laughlin, 3 Merauke, 7, 8 Merauke, 8 Merit system, 76 Mezo, 54 Mikro, 54 Mimika, 8 Misinterpretasi, 66 Moeljarto, 1994, 13 Motivasi ekstrinsik, 80, 81 Motivasi intrinsik, 80, 81

I
Ife, 1995:182, 2 Image, 23 Impact, 72 Income generating, 50, 52 In-depth interview, 23 Inequity, 51 Informan, 1, 4, 14, 64 Injustice, 51 Inklusif, 60 Intangible, 14 Interdisciplinary Triangulation, 23 Interpretasi, 66 Intervensi, 57 Interview guide, 23 Irwanto, 44 Ismawan, 2002, 21

83

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 82-85

Mullaly, 2002:49, 28 Multidimensial, 3 Muskam, 6

N
Narhetali, 3 Nasution:2003, 14, 15 Nawawi: 2003:18, 72 Negative prejudgement, 28 Newman (1997:19), 4 Nighat Gandhi, 61 Non Government Organization (NGO), 3, 62, 64 Non-farm, 40 Nuee ardente, 26 Numfor Timur, 7

Pranaka, 13 Prejudice, 28 Process question, 23 Profit oriented, 29 Program Pengembangan Distrik (PPD), 1, 2, 4, 5, 7, 8, 9 Provider, 3 Pulogadung, 48 Punch, 1994, 23 Purposive, 4

R
Recognation, 79 Reduksi, 4, 15 Reece dan Brandt: 1981:126, 72 Reed 2002, 29 Reliabilitas, 4, 23 Research question, 22 Responden, 40 Rifka Annisa Women Crisis Center, 63, 66 Riverbank, 22 Robbins: 1992:354, 72 Rubin dan Babbie, 2001, 24

O
Observasi, 72 Opportunity cost of education, 36 Opportunity cost, 33 Otonomi daerah, 21 Otonomi khusus, 8 Outcomes, 72 Outreach, 61

S
Sampling convience, 63 Sawmill, 41 Schermerhon (1993), 12 Schifrman dan Kanuk (1992), 72 Seat belt, 14 Self-respect, 3 Sentralisasi, 2 Sentralistik, 21 Setting social, 4 Shaheed, 62 Shareholder, 12 Simpan Pinjam Perempuan (SPP), 5 Sinak, 7 Singleton, 23 Sisterhood, 60 Snel, 2002, 28 Social capital, 14, 19

P
Padaido, 7 Pambudi:2005, 12, 13 Papua, 1, 4 Paradigma, 12 Partiarkis, 66 Partisipatif, 3, 50 Paulo freire, 28 Payne, 1997, 2, 13 Penanggung Jawab Operasional Kegiatan (PJOK), 6 Pendapatan asli daerah (PAD), 21 Personal is political, 54 Perspektif, 2 Piroklastik, 28 Powerlesness, 3

84

Indeks

Social planer, 51 Soetomo, 34 Stakeholder, 12, 13 Stereotype, 28 Straits, 23 Street based, 44, 46 Sudimoro, 22 Suharto (2005), 12 Sukasmanto 2004, 26 Sullivan, 29 Sumodiningrat 1989:120, 1 Surat izin penambangan daerah (SIPD), 22, 24, 25, 26, 29 Surat izin pengambilan air (SIPA), 16 Sustainabilitas ekologi, 22 Sustainable, 50 Sutrisno (2000:185), 2

U
Ultra High Temperature (UHT), 15 Unit Pengelola Keuangan (UPK), 5 Usaha Ekonomi Produktif (UEP), 5 Usman 2004, 21 Utopis, 22

V
Validitas, 4 Value, 75 Violence against women, 54

W
Workshop. 34 Wahyuni, 2006, 11 Wahjana, 60 Waris, 7, 8 Wedhus gembel, 26

T
Tangible, 14 Tanjung Priuk, 48 Tauke, 39 The most affected groups, 26 Todd, 62 Torczyner, 58 Transformasi, 11 Triangulasi, 34 Trickle down effect, 11 Triple bottom line, 12 Trising and Senewo, 24

Y
Yeates, 3

Z
Zastrow (1986), 47 Zikrullah (2000:11), 3

85

Anda mungkin juga menyukai