Anda di halaman 1dari 41

1

Pemberdayaan Pranata Sosial:


Pengalaman Empiris

Oleh : Harry Hikmat

Kebijakan dan Program Penanganan Kemiskinan

Upaya penanganan masalah kemiskinan dalam situasi krisis secara nasional


telah dilaksanakan melalui program Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net
atau SSN) dan Program Kompensasi (Compesantory Program atau CP), yang
dipadukan dengan program penanganan kemiskinan atau Poverty Alleviation
(PA).

Pada prinsipnya, program JPS bertujuan untuk membantu penduduk miskin


agar tidak menjadi sangat terpuruk dan agar bisa hidup layak, sedangkan
Program Kompensasi atau CP bersifat jangka pendek, dan bertujuan untuk
menolong penduduk yang terkena dampak krisis sementara akibat kebijakan
penyesuaian struktural ekonomi (economic structural adjusment) yang juga
berlangsung secara bersamaan, seperti pekerja yang terkena pemutusan
hubungan kerja (Haryono, 1998: 23).

JPS masuk ke Indonesia termasuk kedalam paket program strategi


penyesuaian struktural atau Structure Adjusment Programme (SAP) yang
dibiayai oleh lembaga internasional seperti International Monetary Fund (IMF)
dan the World Bank, bergandengan dengan pinjaman yang akan dikucurkan.
Salah satu dari pelaksanaan program JPS yaitu kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah melalui Dinas Sosial yaitu Program Pemberdayaan Masyarakat
melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Tujuan program ini yaitu untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dikategorikan miskin. Namun
demikian, KUBE yang tersebar di setiap kecamatan lebih diutamakan kegiatan
yang bersifat ekonomi produktif dan masyarakat baru terlibat secara nyata pada
tahap pelaksanaan program atau pada saat dana untuk modal usaha sudah
diterima. Untuk tahap perencanaan dan evaluasi dilaksanakan oleh penanggung
jawab program, yaitu aparat Dinas Sosial. Program ini merupakan program
rintisan dalam pengembangan koperasi bagi usaha kecil dan menengah. Koperasi
Unit Desa (KUD).
Berdasarkan penelitian Harry (2002) di Kota Bekasi dengan melakukan
dialog dan penemuan bersama dengan pengelola program (pimpinan proyek) dan
pejabat teknis yang terkait (Kasubdit dan kepala seksi) diketahui ciri-ciri program
pemberdayaan yang diprakarsai pemerintah, yaitu:
(1) Program pemberdayaan masyarakat yang dimaksud merupakan program pusat
yang telah lama dirintis oleh Departemen Sosial. Kebijakan otonomi daerah
telah mendorong Dinas Sosial untuk mengadopsi program tersebut yang
disesuaikan dengan kondisi lokal.
2

(2) Jangkauan pelayanan program hanya mencakup antara 2 sampai 5 % dari


masyarakat miskin yang membutuhkan untuk setiap kecamatan.
(3) Struktur dan mekanisme program telah diatur dalam Petunjuk Pelaksanaan dan
Petunjuk Teknis dengan landasan formal Surat Keputusan Gubernur dan
Keputusan Menteri Sosial. Juklak dan Juknis ini merupakan acuan utama
pelaksana program di daerah dan sifatnya mengikat.
(4) Keterlibatan masyarakat terbatas dalam pelaksanaan, sedangkan tahap
perencanaan dan evaluasi dari Petugas Sosial Kecamatan (PSK) dan aparat
Dinas Sosial
(5) Sumber daya manusia mengandalkan Petugas Sosial Kecamatan (PSK)
sebagai supervisor dan pelaksana teknis di lapangan, terutama dalam
melaksanakan tugas pendampingan atau intervensi sosial. Sebanyak 3
kecamatan, PSK dibantu oleh Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) yang
merupakan relawan sosial bentukan pemerintah.
(6) Pengendalian program ditinjau dari pencapaian target administratif berupa
pengembalian modal bergulir dan belum ada mekanisme pemantauan
pencapaian aspek-aspek fungsional yang menunjukkan perkembangan
keberdayaan masyarakat dalam mengatasi masalah sosial dan kemiskinan di
lingkungannya.
(7) Dalam perkembangan dua tahun terakhir banyak menghadapi masalah, seperti
dana tidak digulirkan oleh kelompok, terjadinya penyalahgunaan uang modal,
bantuan tidak sampai kepada khalayak sasaran, pemaksaan jenis usaha
ekonomi.
Berdasarkan kasus tersebut, pelaksanaan program JPS dihadapkan pada
kenyataan adanya keterbatasan kemampuan keuangan negara pada satu sisi dan
besarnya masalah yang harus ditangani pada sisi lainnya.
Di pihak lain program-program penanganan masalah kemiskinan nampaknya
tidak dapat menahan laju marginalisasi komunitas sangat miskin (komunitas yang
tinggal di daerah ilegal, slum area, gelandangan pengemis), bahkan diantaranya
ada yang mengalami kesulitan akses terhadap program yang mengatasnamakan
“pemberdayaan masyarakat”, seperti terhadap program JPS dan Program
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP).
Kesulitan akses adalah karena komunitas tersebut tidak mempunyai KTP dan
Kartu Keluarga serta tidak tercatat dalam daftar penduduk di RT, RW atau
Kelurahan. Kejelasan status penduduk tersebut merupakan persyaratan untuk
akses pada program pemberdayaan masyarakat. Keberadaan mereka bahkan tidak
diakui oleh pengurus RT atau RW setempat. Kondisi ini menunjukkan bahwa
komunitas sangat miskin semakin terpinggirkan bukan hanya dari sisi kepemilikan
aset tanah, tetapi juga mereka tidak dapat terlibat dalam proses pembangunan di
sekitarnya, termasuk hak mereka untuk bisa akses terhadap sistem pelayanan
sosial dasar.
Dalam kondisi demikian, berbagai upaya yang sama dilakukan juga oleh
Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Sosial, dunia usaha dan masyarakat
untuk menangani masalah kemiskinan dan menanggulangi dampak sosial krisis
ekonomi. Program Pemulihan Keberdayaan Masyarakat (PKM) merupakan
program yang dikelola oleh jaringan LSM atas dukungan teknis dan keuangan dari
3

Bank Dunia, UNDP, UNICEF, ADB dan lain-lain; dengan menggunakan


mekanisme langsung disalurkan melalui LSM dan dipimpin masyarakat madani.
PKM ditujukan untuk membantu masyarakat yang paling parah terkena dampak
krisis sosial ekonomi dengan menyalurkan berbagai sumber daya guna
mendukung lembaga atau kelompok swadaya masyarakat yang melaksanakan
proyek bantuan tersebut (Bambang, 1998:90). Program ini dikelola oleh 27 LSM
dengan sasaran lokasi tersebar di 26 propinsi dan kegiatan utama yaitu
pemberdayaan masyarakat miskin.
Berbeda dengan struktur dan mekanisme program pemberdayaan yang
diprakarsai pemerintah, maka program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan
oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada umumnya dapat melepaskan
diri dari keterikatan kepada struktur organisasi pemerintah secara vertikal maupun
wilayah administrasi, sehingga LSM dapat mengembangkan masyarakat
disesuaikan dengan kebutuhan aktual masyarakat.
Pada Diagram 1 disajikan tentang struktur organisasi program pemulihan
keberdayaan masyarakat, sedangkan pada Diagram 2 disajikan mekanisme
penyaluran dana Program Pemulihan Keberdayaan Masyrakat. Kedua gambar
tersebut menunjukkan bahwa pendelegasian wewenang kepada masyarakat,
khususnya kelompok swadaya masyarakat diberikan untuk mengelola program
pemberdayaan masyarakat dan menggunakan sumber dana yang tersedia dari luar.
Sumber dana yang disalurkan diharapkan dapat langsung sampai kepada
kelompok swadaya masyarakat. Sementara itu, peran pihak eksternal lebih
bertumpu kepada fasilitator dalam pemberdayaan masyarakat. Informasi dari
tenaga sukarela atau pendamping LSM, diketahui bahwa teknik pemberdayaan
masyarakat berbasiskan pendekatan partisipatif, terutama menggunakan teknik-
teknik Participatory Rural/ Urban Appraisal.

Makna Pemberdayaan, Strategi Program dan Keberdayaan Masyarakat

Di tengah gencarnya kebijakan dan upaya penanggulangan dampak sosial dari


krisis ekonomi sejak tahun 1997 pada berbagai sektor pembangunan, sering
terungkap kata-kata dan istilah-istilah, yang arti-hakikinya agak berbeda dari apa
yang dimaksud oleh para ahli atau ilmuwan. Kadang-kadang terselip distorsi
atau penyelewengan terhadap arti sebenarnya. Ini sering terjadi apabila kata-kata
asing yang dipergunakan. Salah satu contoh yang menarik adalah penggunaan
istilah empowerment atau diterjemahkan secara bebas menjadi pemberdayaan.
4

Bappenas Dewan Pengarah Konsorsium Nasional


Nasional Masyarakat Madani

Kelompok Kerja
Nasional

Bappeda Fasilitator
Propinsi Propinsi

Bappeda Dewan Pengarah Konsorsium


Kota atau Kabupaten Masyarakat Madani
Kabupaten

Kelompok Kerja
kabupaten

Fasilitator
Propinsi

Kelompok-kelompok Swadaya Masyarakat

Diagram 1. Struktur Organisasi Program Pemulihan Keberdayaan


Masyarakat
Sumber : Bambang Ismawan, 1998. Dari Social Safety Net ke Social
Security, dalam Prosiding “Social Safety Net”. Jakarta : LIPI
5

Diagram 2. Mekanisme penyaluran dana Program Pemulihan


Keberdayaan Masyarakat
Sumber : Bambang Ismawan, 1998. Dari Social Safety Net ke Social Security,
dalam Prosiding “Social Safety Net”. Jakarta : LIPI

Kalangan birokrat pada masa orde baru yang ingin menunjukkan semangat
penguasa untuk mengatasi masalah sosial sebagai dampak krisis, maka istilah
pemberdayaan didistorsikan sebagai upaya mendorong masyarakat untuk
menggunakan sumber-sumber yang disediakan oleh pemerintah dalam konteks
usaha ekonomi, dan juga ada kecenderungan sebagai suatu usaha menarik simpati
masyarakat bagi kepentingan politik atau elit politik tertentu terutama menjelang
Pemilu. Makna pemberdayaan diwarnai perspektif politik dan ekonomi daripada
perspekstif sosial dan budaya. Hal ini terlihat oleh adanya usaha untuk
memobilisasi masyarakat untuk memanfaatkan sumber yang datang dari atas
6

untuk kepentingan politik tertentu dan mempertahankan keberhasilan


pertumbuhan ekonomi, dengan kurang memberikan peluang agar inisiatif tumbuh
dari masyarakat atau menumbuhkembangkan perilaku sosial masyarakat untuk
didukung melalui pengayaan orientasi, motivasi dan perluasan mantra
pengambilan keputusan oleh masyarakat itu sendiri, serta peningkatan
aksesibilitas masyarakat terhadap sumber kehidupan.
Pemberdayaan pada masa lalu lebih diartikan sebagai cara untuk mencapai
tujuan eksternal golongan atau kelompok penguasa, bukan sebagai tujuan
internal dalam mencapai ketahanan sosial, partisipasi dan kepercayaan diri
dalam menghadapi situasi krisis. Selain itu, orientasi pada pencapaian target
kuantitatif dari proyek (fisik dan administratif) lebih dominan daripada orientasi
pada pencapaian target fungsional melalui proses pemberdayaan yang sebenarnya.
Hal ini merupakan suatu contoh kekacauan peristilahan atau semantic confusion,
sebab secara ilmiah-objektif dan bersandarkan kepada sumber-sumber referensi
ilmiah, maka pemberdayaan berdasarkan perspektif ilmu-ilmu sosial adalah
menampilkan peran-peran aktif dan kolaboratif antara masyarakat dan mitranya.
Secara paradoks, memberdayakan sistem lain, atau secara paternalistik
melimpahkan kekuatan (power) kepada orang lain dapat juga berarti
memberdayakan mereka.
Sejak pegawai negeri tahun 2000 ditetapkan harus netral, maka kondisi ini
dapat memberikan peluang pemaknaan pemberdayaan secara lebih proporsional
sesuai dengan hakekatnya.
Memberikan kekuatan (power) akan menghasilkan hirarkhi kekuatan dan
ketiadaan kekuatan. seperti yang dikemukakan oleh Simon (1990:23), yang
secara jelas menyatakan bahwa:
Pemberdayaan adalah suatu aktivitas refleksif, suatu proses yang mampu
diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subjek yang mencari
kekuatan atau penentuan diri sendiri (self-determination). Sementara
proses lainnya hanya dengan memberikan iklim, hubungan, sumber-sumber
dan alat-alat prosedural yang melaluinya masyarakat dapat meningkatkan
kehidupannya. Pemberdayaan merupakan sistem yang berinteraksi dengan
lingkungan sosial dan fisik. bukan merupakan upaya pemaksaan kehendak,
proses yang dipaksakan, kegiatan untuk kepentingan pemrakarsa dari luar,
keterlibatan dalam kegiatan tertentu saja, dan makna-makna lain yang tidak
sesuai dengan pendelegasian kekuasaan atau kekuatan sesuai potensi yang
dimiliki masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi
rakyat, tetapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga dirinya,
terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Pemberdayaan sebagai konsep sosial
budaya yang implementatif dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat, tidak
saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga nilai
tambah sosial dan nilai tambah budaya.
Pemberdayaan masyarakat telah menjadi konsep yang banyak dipakai oleh
para pengambil keputusan untuk menunjukkan bahwa ada perubahan tujuan
program pembangunan yang lebih berpihak kepada rakyat. Hasil penelaahan
dokumen kebijakan, program dan proyek-proyek pembangunan di sektor sosial
7

dan ekonomi banyak mencantumkan istilah pemberdayaan masyarakat,


pemberdayaan rakyat, pemberdayaan daerah, pemberdayaan kelompok. Istilah
pemberdayaan juga ditujukan pada kelompok sasaran tertentu, seperti
pemberdayaan fakir miskin, pemberdayaan anak, pemberdayaan keluarga.
Dalam Rencana Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial, yang dijadikan
landasan dalam perencanaan pembangunan kesejahteraan sosial, secara nyata
telah mencantumkan istilah pemberdayaan masyarakat sebagai strategi dalam
pembangunan, seperti yang tercantum sebagai berikut :
Strategi dalam upaya mencapai tujuan dan sasaran serta kebijakan yang
telah ditetapkan yaitu :
(1) Pemberdayaan: peningkatan profesionalisme dan kinerja aparatur dan
pelaku pembangunan kesejahteraan sosial untuk memberikan
kepercayaan dan peluang kepada masyarakat, Organisasi Sosial, LSM,
dunia usaha dan penyandang masalah sosial dalam mencegah dan
mengatasi masalah yang ada di lingkungannya serta merealisasikan
aspirasi dan harapan mereka dalam mewujudkan kualitas hidup dan
kesejahteraan sosialnya;
(2) Kemitraan: kerjasama, kepedulian, kesetaraan, kebersamaan,
kolaborasi dan pelaksanaan jaringan kerja yang menumbuh
kembangkan kemanfaatan timbal balik antara pihak-pihak yang
bermitra dan mengoptimalkan pelayanan-pelayanan yang bersifat
terpadu;
(3) Partisipasi: prakarsa, peranan dan keterlibatan semua pihak pelaku
pembangunan dan penerima pelayanan, lingkungan sosial dan
penyedia pelayanan dalam pengambilan keputusan, perumusan
rencana, pelaksanaan kegiatan dan pemantauan pelaksanaan serta
melakukan pilihan terbaik untuk peningkatan kesejahteraan sosial.

Namun demikian, makna pemberdayaan dan implikasinya terhadap proses


pelaksanaan program yang menggunakan strategi pemberdayaan belum
sepenuhnya dipahami. Hal ini dapat diketahui dari hasil wawancara terhadap para
pengambil keputusan dari tingkat nasional sampai tingkat kecamatan. Beberapa
informasi diperoleh dari hasil diskusi kelompok terarah dan pertemuan nasional
dalam rangka forum konsultasi Exit Strategy JPS antara Pusat dan Daerah Jawa
Barat di Bandung yang difasilitasi oleh Bappenas bulan Agustus 2002.
Makna pemberdayaan bagi kalangan pemerintah dapat diidentifikasi sebagai
berikut:
(1) “upaya pembinaan”, bahwa masyarakat untuk mencapai kesejahteraannya
harus dibina karena mereka dalam kondisi tidak mampu. “Pembinaan”
menjadikan program pemberdayaan tetap dalam kerangka ada pembina dan
ada yang dibina. Hal ini berimplikasi adanya hubungan patron klien,
hubungan atas bawah, hubungan penguasa dan yang dikuasai. Salah satu
pernyataan dikemukakan oleh salah seorang kepala bagian di lingkungan
Badan Perencanaan Pembangunan Kota (BAPPEKO) :
8

“pembinaan penduduk miskin dilakukan dengan pemberian modal usaha


agar mereka dapat meningkatkan usahanya. Kami sebagai pembina
berusaha agar bantuan modal usaha itu dapat tepat sasaran”
(2) “upaya pemberian bantuan sosial”, bahwa masyarakat harus dibantu karena
ketidakpunyaan sumber untuk kehidupannya. Bantuan sosial ini ibarat
“sinterkelas” yang dapat menyelesaikan masalah dengan sesaat dan seolah-
olah tugas yang memberikan bantuan selesai, ketika bantuan itu sudah
diberikan kepada klien. Gugatan terhadap upaya-upaya yang seperti ini sudah
mulai nampak. Salah seorang mantan pejabat dari Kantor Menko Kesra
menyatakan :
“JPS itu jangan seperti pemadam kebakaran, bantuan yang diberikan perlu
dipikirkan keberlanjutannya” (SY : 28 atau 2 atau 2002)
(3) “upaya rehabilitasi sosial”, bahwa masyarakat harus direhabilitasi karena
telah mengalami “cacat” secara sosial dalam kehidupannya. Pandangan
bahwa penyandang masalah sosial dan fakir miskin adalah kelompok yang
telah memberikan aib bagi wilayah pembangunan, sehingga mereka harus
direhabilitasi. Konsep ini nampak ketika sasaran program dikategorikan pada
tuna sosial, seperti gelandangan pengemis, tuna susila, anak jalanan dan
keluarganya. Pemberdayaan diartikan sebagai proses pemulihan (rehabilitasi)
agar mereka dapat kembali pada norma-norma yang berlaku umum di
masyarakat.
(4) “upaya penertiban”, bahwa masyarakat harus ditertibkan karena telah
mengganggu keindahan dan kenyamanan kota. Komunitas yang tinggal di
daerah kumuh harus ditertibkan, karena tinggal di tanah ilegal dan tidak perlu
dianggap atau diakui sebagai warga setempat (dicatat oleh RT)
(5) “upaya pengembangan”, bahwa masyarakat miskin harus dikembangkan
karena ketertinggalan dalam kehidupannya. Makna pengembangan
menunjukkan bahwa ada power, kemampuan, keahlian yang dimiliki
pemrakarsa program dan masyarakat dalam keadaan “kecil” sehingga harus
dibesarkan.
(6) “upaya peningkatan”, bahwa masyarakat harus ditingkatkan kesejahteraannya
karena dalam kondisi di bawah taraf kesejahteraan masyarakat pada
umumnya. Makna ditingkatkan diwarnai oleh ukuran-ukuran kesejahteraan
masyarakat yang ditentukan oleh pembuat program (services provider).
Muncul istilah dibawah batas ambang garis kemiskinan atas dasar indikator
tertentu.
Strategi yang dominan yang banyak digunakan pada umumnya berupa bantuan
sosial yang diberikan oleh kantor sosial melalui bantuan langsung yang diberikan
oleh pegawai Kantor Sosial atau Petugas Sosial Kecamatan.
Selain bantuan sosial, cara-cara represif juga masih dominan digunakan,
terutama dalam mengatasi masalah ketunasosialan. Cara mengatasi masalah
gelandang pengemis dan tuna susila dilakukan razia dengan melibatkan tim
gabungan lintas sektor, termasuk dinas sosial. Model ‘penggarukan’ tersebut pada
umumnya tidak ditindaklanjuti dengan pembinaan lanjutan, karena keterbatasan
fasilitas pelayanan sosial. Dalam penanganan masalah gepeng setelah digaruk,
selanjutnya diberikan latihan keterampilan bekerja sama dengan Dinas
9

perindustrian dan koperasi, sedangkan untuk wanita tuna susila setelah digaruk
selanjutnya diseleksi dan dimasukkan ke panti sosial. Selain itu, ada juga daerah
dalam menangani masalah gepeng, dinas sosial melakukan penyuluhan-
penyuluhan bersama dengan orsos lokal serta membuat surat edaran misalkan ke
restoran untuk tidak memberikan uang ke gepeng.
Upaya secara lebih serius menggunakan strategi pemberdayaan masyarakat
dalam mengatasi masalah sosial di daerah, melalui suatu badan yang dibentuk
khusus untuk memberdayakan masyarakat, diberi nama Badan Pemberdayaan
Masyarakat (instruksi dari Departemen Dalam Negeri dan beberapa kota ada yang
merubah Dinas Sosial menjadi BPM atau digabung). Badan ini bekerjasama
dengan LSM dan kelompok-kelompok informal di tingkat lokal memberdayakan
masyarakat.
Pada umumnya, para pengambil keputusan memberi makna pemberdayaan
masyarakat yaitu pada pemberdayaan bidang ekonomi kerakyatan, dengan asumsi
apabila ekonomi meningkat maka kesejahteraan sosial juga akan meningkat.
Dilain pihak pembangunan infrastruktur juga sebagai bagian strategi yang
digunakan dalam penanganan masalah sosial. Ini juga yang diusulkan oleh
kecamatan dalam Rakorbang yang lebih memfokuskan pada pembangunan sarana
seperti jalan, sekolah, pemakaman, dan batas desa atau kelurahan. Adapun
bidang sosial budaya antara lain pemberdayaan sistem sosial budaya lokal, seperti
penguatan majelis taqlim, penyuluhan kenakalan remaja, latihan ketrampilan
remaja serta pembinaan pemuda dan olahraga. Selain itu pemberdayaan lembaga
keagamaan melalui masjid atau mushola dengan adanya gerakan pemberdayaan
umat melalui majelis taqlim atau yang sejenisnya bagi umat beragama selain
Islam.
Ada segelintir pengambil keputusan yang sudah memikirkan perlunya
pendekatan perlindungan HAM (tidak merasa sewenang-wenang atau
berdasarkan hak-hak) dalam penanganan masalah sosial, dengan merujuk
konvensi international seperti CEDAW (the Convention on the Elimination of
Discrimination Against Woman) dan Konvensi Hak Anak.
Berdasarkan temuan lapangan tersebut, nampak bahwa konsep
pemberdayaan karena sedang populer, maka dipakai begitu saja tanpa dipahami
hakekat dari konsep tersebut. Oleh karena itu, penggunaan istilah pemberdayaan
hanya merupakan “bungkus” dari suatu struktur program yang tidak berubah dari
kondisi sebelum penggunaan istilah pemberdayaan. Dengan kata lain
“pemberdayaan” hanya merupakan “kulit” saja dari suatu program.
Program-program pemberdayaan masyarakat dilakukan atas inisiatif
pemerintah (pusat, propinsi dan kota) cenderung dirancang dengan pola seragam
dan bersifat intsruksi dari atas yang harus dilaksanakan sesuai dengan Petunjuk
Pelaksanaan (JUKLAK) dan Petunjuk Teknis (JUKNIS), yang mencantumkan
kriteria persyaratan sasaran penerima layanan yang ketat. Masyarakat dalam hal
ini lebih sebagai objek pembangunan dan pelaksana program yang telah dirancang
sebelumnya oleh pemerintah. Pola Inpres Desa Tertinggal (IDT), Takesra atau
Kukesra, Kelompok Usaha Bersama, Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga
(UP2K), Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Program Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan (P2KP); merupakan contoh nyata dari strategi
10

pembangunan yang diseragamkan dari Sabang sampai Merauke tanpa


memperhatikan kondisi real permasalahan yang dialami oleh penduduk miskin
dan keanekaragaman sistem sosial budaya di Indonesia.
Berbagai laporan evaluasi dari program pembangunan tersebut hasilnya semu
dan kurang menunjukkan kondisi nyata yang sebenarnya terjadi di masyarakat,
dan akhirnya keberhasilan pembangunan pun akhirnya penuh dengan manipulasi
data untuk menyenangkan pihak pemrakarsa program dari pemerintah.
Berdasarkan informasi tersebut, maka nampak bahwa pemberdayaan
masyarakat hanya semu, dalam arti tidak sesuai dengan makna dan konsekuensi
logis dalam prosesnya. Merujuk pada perkembangan kajian tentang konsep
pemberdayaan secara global, ternyata para pakar di World Bank (dalam
http:\worldbank.org) berpendapat bahwa makna pemberdayaan dapat berbeda-
beda dan tergantung pada konteks sosial politik.

The term empowerment has different meanings in different social and


political contexts, and does not translate easily into all languages. An
exploration of local terms for empowerment around the world always leads to
lively discussion. Local terms associated with empowerment include: self-
strength, control, self-power, self-reliance, own choice, life of dignity in
accordance with one's values, capable of fighting for one's rights,
independence, own decision making, being free, awakening, and capability.
Empowerment is of intrinsic value. It also has instrumental value.
Empowerment is relevant at the individual and collective level. It can be used
to characterize relations within households or between poor people and other
actors at the global level. Hence, there are obviously many possible
definitions of empowerment

Pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi


rakyat, tetapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga dirinya,
terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Pemberdayaan sebagai konsep sosial
budaya yang implementatif dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat, tidak
saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga nilai
tambah sosial dan nilai tambah budaya.
Kajian strategis pemberdayaan masyarakat, baik ekonomi, sosial, budaya dan
politik menjadi penting sebagai input untuk reformulasi pembangunan yang
berpusat pada rakyat, yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk
membangun secara partisipatif. Dalam pembangunan partisipatif, pemberdayaan
merupakan salah satu strategi yang dianggap tepat jika elemen-elemen makro
dikondisikan sedemikian rupa agar esensi pemberdayaan tidak menjadi terdistorsi.
Kusnaka Adimihardja & Harry Hikmat (2000:11) menjelaskan sebagai berikut:
Latar belakang pemikiran partisipasi yaitu program atau proyek atau
kegiatan pembangunan masyarakat yang datang dari atas atau dari luar
komunitas sering gagal dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal.
Praktisi pembangunan juga sering mengalami frustasi terhadap kegagalan
program tersebut. Oleh karena itu, reorientasi ulang terhadap strategi
pembangunan masyarakat muncul dengan lebih mengedepankan partisipasi
11

dan pemberdayaan masyarakat sebagai strategi dalam pembangunan


masyarakat.

Prinsip pembangunan yang partisipatif menegaskan bahwa rakyat harus


menjadi pelaku utama dalam pembangunan. Hal ini membutuhkan kajian strategis
tentang restrukturisasi sistem sosial pada tingkat mikro, mezzo dan makro;
sehingga masyarakat lokal dapat mengembangkan potensi tanpa adanya hambatan
eksternal pada struktur mezzo dan makro. Struktur mezzo yang dimaksud dapat
berupa struktur pemerintah regional setingkat Kabupaten atau Kota dan Propinsi;
sedangkan struktur makro dapat berupa struktur pemerintah pusat atau nasional.
Pola kebijakan yang selama ini dilaksanakan lebih kuat datang dari atas ke bawah
daripada dari bawah ke atas.

Fakta-fakta Empiris Pemberdayaan Pranata Sosial

1. Kasus Al-Hidayah Community Centre dan Yarstra di Kota Bekasi

Suatu upaya pemberdayaan masyarakat telah dilaksanakan oleh Al-Hidayah


Community Centre, berlokasi di Pondok Pekayon Indah, Kelurahan Pekayon Jaya,
Kecamatan Bekasi Selatan. Berdasarkan hasil PRA diketahui bahwa dimensi
peran aktif masyarakat atau partisipasi terkesan cukup menonjol dalam seluruh
rangkaian kegiatan mereka, mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi.
Ciri utama dalam pelaksanaan kegiatan yaitu penggunaan metode Participatory
Rural Apprasial (PRA). Selain itu, pemberdayaan pranata sosial juga mewarnai
kelembagaan kegiatan yang dibangun oleh tokoh masyarakat.
Kasus daerah pekayon Jaya menunjukkan bahwa marginalisasi penduduk asli
Kota Bekasi terjadi dan sekarang hidup sebagai pemulung, gelandang dan
pengemis serta anak-anaknya menjadi anak-anak jalanan. Upaya yang dilakukan
masyarakat kompleks perumahan yang bekerjasama dengan masyarakat kampung
asli melalui Al-Hidayah merupakan wujud kepedulian masyarakat dalam
memberdayakan penduduk miskin. Upaya tersebut tumbuh dari bawah dan
merupakan inisiatif masyarakat kompleks dan kampung. Cikal bakal kegiatan dari
sosialisasi konsep infaq dan sodaqoh yang dilakukan oleh tokoh masyarakat
setempat dan mendapat respons positif dari penduduk kompleks serta didukung
oleh penduduk kampung Pekayon Jaya
Pada mulanya Al-Hidayah sebagai usaha sederhana untuk membantu
menyerasikan hubungan bertetangga antara penduduk pendatang dengan
penduduk asli yang bermukim di Kelurahan pekayon Jaya (Amrullah, 1988).
Disamping itu, juga bertujuan untuk penyantunan anak dan orang tua atau lanjut
usia yang terlantar yang tinggal di sekitar lokasi, yang dikenal sebagai kelompok
masyarakat pemulung (lampak) yang bekerja dari kegiatan memungut barang-
barang bekas.
Tujuan penyantunan anak dan orang tua itu berkembang pesat dengan sifat
keterpaduan yang memungkinkan pendekatan pelayanan sosial dengan kegiatan
ekonomi produktif sebagai upaya mengiringinya. Berbagai kegiatan yang
12

dilaksanakan, yaitu : peternakan lele, peternakan ayam, warung alat-alat tulis,


bantuan modal bagi tukang sayur dan pedagang kecil. Adapun kegiatan sosial
yaitu kelompok bermain, bantuan beasiswa, santunan bagi anak terlantar,
santunan bagi orang tua atau lanjut usia terlantar. Selain itu, kegiatan keagamaan
yang merupakan basis aktivitas pemberdayaan masyarakat dilakukan dalam
bentuk kegiatan pengajian anak-anak, remaja dan dewasa yang diselenggarakan
setiap hari dari pagi hingga sore hari. Adapun kegiatan penunjang lain
diselenggarakan kegiatan olah raga terutama sepak bola dan volly ball yang
bertempat di depan Musholla.
Keseluruhan kegiatan tersebut berpusat di Al-Hidayah Community Centre
dengan sifat pelayanan terbuka bagi siapa saja yang membutuhkan dan siapa saja
masyarakat sekitar dapat berperan aktif sesuai dengan kemampuan dan tanggung
jawab sebagai anggota masyarakat. Dari tahun ke tahun, partisipasi dari anggota
masyarakat semakin meningkat, seperti yang ditunjukan pada Gambar 1 tentang
perkembangan koaktualisasi eksistensi komunitas lokal dan kompleks perumahan.

Keterangan : hasil PRA dengan informan : ketua RT, ketua Al Hidayah CC, tokoh agama,
3 orang remaja mesjid, 2 orang ibu-ibu kompleks perumahan Pekayon
Waktu : 9 juli, 15 Agustus, 23 September 1999

Gambar 3 Perkembangan koaktualisasi eksistensi komunitas lokal dan


kompleks perumahan
13

Solidaritas dari masyarakat mengatasi masalah sosial di lingkungannya


tumbuh sedemikian rupa, walaupun penduduk yang tinggal di Perumahan
Pekayon Jaya merupakan penduduk pendatang dari berbagai propinsi di
Indonesia, seperti dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Utara, Kalimantan dan
beberapa propinsi lainnya. Terbangunnya komunitas yang saling membantu
diduga disebabkan para penduduk pendatang masih membawa sistem sosial
budaya daerahnya masing-masing, seperti nilai-nilai agama, gotong royong,
musyawarah dan adat istiadat yang memiliki kesamaan universal dan telah
menjadi kekuatan (modal sosial) dalam membangun masyarakat.
Seperti halnya kasus Al Hidayah, keberadaan majelis taklim, yayasan sosial
atau organisasi sosial, panti asuhan, dan pesantren di Kota Bekasi merupakan
potensi / modal sosial dalam mengatasi masalah kemiskinan.

Tabel 1. Potensi Majelis Taklim, Yayasan atau Orsos, Pesantren dan Panti
Asuhan di Kota Bekasi, tahun 1998

Kecamatan Majelis Yayasan Pesantren Panti


Taklim atau Asuhan
Orsos
Pondok Gede 126 1 4 4
Pwk. Jati Sampurna 30 - 2 1
Jati Asih 74 5 2 4
Bantar Gebang 35 - 4 1
Bekasi Timur 184 4 1 2
Bekasi Selatan 44 4 1 8
Bekasi Barat 80 - 1 -
Bekasi Utara 98 4 2 1
Jumlah 671 18 17 21
Sumber : Kotamadya Bekasi dalam angka tahun 1998, BPS Kota
Bekasi 1999

Hal ini tampak dari jangkauan lembaga tradisional atau lembaga


berbasiskan agama yang cukup luas. Majelis Taklim sebanyak 671 buah mampu
melibatkan sekitar 1500 umat untuk mengikuti berbagai kegiatan majelis taklim.
Pondok pesantren sebanyak 17 buah memiliki sekitar 235 orang sebagai kyai atau
Ustadz dan 10.935 santri. Yayasan Anak asuh non Panti sebanyak 18 buah
melayani sebanyak 1.809 anak, sedangkan dari 21 panti asuhan mampu melayani
1.556 anak asuh. Jika potensi sosial tersebut dioptimalkan untuk mengatasi
masalah sosial dan kemiskinan, maka Kota Bekasi dapat mengalami percepatan
yang berarti dalam mengatasi masalah kemiskinan dan sosial lainnya. Hal ini
terbukti sebanyak 10 Majelis Taklim sejak tahun 1998 telah mengembangkan
program pemberdayaan umat (masyarakat) yang kurang mampu atau miskin dan
dinilai berhasil oleh Pemda Kota Bekasi.
Gerakan pemberdayaan masyarakat melalui LSM seperti kasus tersebut yang
telah tumbuh kembang di masyarakat sejak tahun 1998 telah menjadi salah satu
prioritas program pembangunan di Kota Bekasi. Selain dari tujuan untuk
14

meningkatkan ketahanan sosial masyarakat, juga untuk peningkatan taraf


kesejahteraan masyarakat terutama penduduk miskin melalui program
pemberdayaan ekonomi telah mulai dilakukan.
Yayasan Rakyat Sejahtera (YARSTRA) bekerjasama dengan Pemerintah
Daerah Kota Bekasi dan Kantor Departemen Koperasi melihat potensi tersebut
dan mengembangkan program pemberdayaan ekonomi melalui Majelis Taklim.
Hal ini merujuk pada keberhasilan 10 majelis taklim di Kota Bekasi sebelumnya
yang sudah memiliki program pemberdayaan umat, termasuk Al Hidayah
diantaranya.
Strategi yang dikembangkan yaitu melembagakan kegiatan saling membantu
antara penduduk yang mampu dengan penduduk kampung dalam mengatasi
masalah sosial di lingkungannya. Yarstra juga telah memulai kegiatan melalui
pengembangan Modal Duafa di Jl. Kartini untuk membantu 20 orang penduduk
miskin atau duafa melalui kegiatan simpan pinjam dan pengembangan usaha
ekonomi produktif. Model-model pemberdayaan tersebut memiliki prospek
sebagai model pembangunan yang berbasiskan pada masyarakat. Pesantren,
majelis taklim, yayasan sosial juga merintis kegiatan serupa itu.

Tumbuh kembangnya LSM atau Orsos yang memiliki berbagai program


perintisannya di masyarakat merupakan gejala yang menarik. Program-
program perintisan tersebut bertolak dari prinsip keswadayaan-namun juga
terkandung usaha untuk mengisi dimensi sosial dengan ikhtiar
mengembangkan setiap potensi lokal yang tersedia. Prinsip ini sangat penting
utamanya untuk mendorong timbulnya otoaktivitas dan kreativitas
masyarakat (Amrullah, 1998:3)

2. Kasus Rereongan Sarupi di Propinsi Jawa Barat

Di Propinsi Jawa Barat, sejak lama telah dikenal nilai-nilai budaya


(khususnya Sunda) yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, untuk
mengatasi masalah kemiskinan dan permasalahan sosial lainnya. Perilaku
prososial yang telah lama dikenal diwujudkan dalam falsafah “Silih Asih, Silih
Asah dan Silih Asuh”. Secara harfiah artinya : saling mengasihi, saling
memberikan pengetahuan dan saling mengasuh, diantara warga masyarakat; baik
dalam kehidupan keluarga, tetangga, kelompok maupun dalam kehidupan
bermasyarakat. Dengan demikian, walaupun situasi kemiskinan tersebut menimpa
sebagian penduduk pedesaan yang pekerjaan utamanya pada sektor pertanian,
namun mereka masih tetap dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya,
meskipun dalam kondisi yang kurang memadai.
Nilai-nilai budaya tersebut tercermin dalam berbagai adat/ kebiasaan
masyarakat, pergaulan sehari-hari, dan dalam bentuk peribahasa atau “babasan”,
antara lain : (a) sabilulungan dasar gotong royong; (b) sareundeuk saigel sabobot
sapihanean; (c) nulung kanu butuh, nalang kanu susah; (d) silih asih, silih asah,
silih asuh; (e) gemah ripah repeh rapih
15

Berdasarkan babasan tersebut, beberapa perilaku sosial yang khas berlaku


pada masyarakat Jawa Barat, antara lain :
1. Kerjasama yang harmonis dalam mengerjakan kegiatan pembangunan sosial
dan gotong royong dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan di lingkungan
tempat tinggal dengan prinsip sabilulungan dasar gotong royong; yang terlihat
dalam kegiatan kerja bakti untuk membangun sarana prasarana sosial (misal :
perbaikan saluran air, pembangunan mesjid, pembangunan jembatan,
pembangunan MCK) yang dibutuhkan masyarakat dan berbagai kegiatan
bersama lainnya dalam menghadapi perayaan hari kemerdekaan atau hari-
hari besar lainnya.
2. Musyawarah dalam memecahkan masalah kemasyarakatan; yang terlihat dari
rapat-rapat atau pengajian (sering disebut minggonan) antar warga. tokoh
agama, tokoh masyarakat, dan aparat desa/kelurahan; untuk mendiskusikan
kegiatan keagamaan dan menyelesaikan berbagai masalah kemasyarakatan
dengan prinsip silih asih, silih asah, silih asuh. Biasanya pada akhir
pertemuan selalu dirumuskan hasil musyawarah atas dasar sumbangan
pemikiran dari warga masyarakat yang hadir.
3. Saling menolong antar tetangga (kesetiakawanan sosial); yang terlihat dari
spontanitas masyarakat dalam menolong anggota masyarakat lainnya yang
terkena musibah (misal : sakit, meninggal, kecelakaan, kendaraan mogok, dll)
atau dalam membantu perayaan khitanan, perkawinan, membangun rumah,
dll. Adanya lumbung desa, arisan keluarga, jimpitan, dana kematian/
kesehatan, dana modal bergulir, dan kegiatan sosial lainnya; merupakan
perwujudan bersama dalam nulung kanu butuh, nalang kanu susah.
4. Saling mengingatkan jika tetangga melakukan kegiatan yang merugikan
masyarakat dan adanya kerukunan antar tetangga (sareundeuk saigel sabobot
sapihanean)
Perilaku sosial tersebut merupakan ciri khas masyarakat Jawa Barat, untuk
mewujudkan masyarakat yang gemah ripah repeh rapih, walaupun falsafah nilai
budayanya dapat juga berlaku universal bagi masyarakat di propinsi lain di
Indonesia.
Dari banyak adat istiadat yang ada di masyarakat, ada satu kegiatan
masyarakat yang dikenal sekitar tahun 1940-an yang merupakan wujud nyata dari
kepedulian masyarakat dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Kegiatan
masyarakat tersebut dikenal sebagai kegiatan “beas perelek’ (mengumpulkan
beras sekitar satu sendok/canting) setiap bulan yang dikumpulkan di lumbung
desa. Hasil pengumpulan beras tersebut digunakan untuk menghadapi musim
paceklik, menolong anggota masyarakat yang termasuk fakir miskin, mengatasi
kelaparan dan permasalahan sosial lainnya yang membutuhkan dana/sarana yang
siap pakai.
Pemerintah Propinsi Jawa Barat sangat menyadari bahwa di Jawa Barat masih
cukup banyak masalah pembangunan kesejahteraan sosial dengan segala
implikasinya. Atas dasar itu, maka lahir Instruksi Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Jawa Barat Nomor 2 Tahun 1995 tentang Peningkatan Kepedulian dan
Peranserta Masyarakat dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial, yaitu dengan
mengambil langkah-langkah kongkrit kearah pelestarian sikap hidup yang
16

berazaskan kebersamaan dan gotong royong serta sekaligus meningkatkan


kepedulian dan peran serta masyarakat dalam pembangunan sebagai perwujudan
sikap hidup masyarakat tersebut melalui suatu gerakan yang disebut Gerakan
Rereongan Sarupi (seratus rupiah untuk setiap Kepala Keluarga/Umpi). untuk
bersama-sama Pemerintah melaksanakan pembangunan dibidang usaha-usaha
kesejahteraan sosial dalam rangka percepatan pemerataan pembangunan.
Gerakan Rereongan Sarupi bertujuan memupuk dan melestarikan sikap hidup
masyarakat Jawa Barat yang berazaskan kebersamaan, solidaritas, dan gotong
royong, sekaligus menggerakkan potensi dominan tersebut dalam bentuk nyata
yaitu membantu Pemerintah dibidang pembangunan khususnya dalam usaha-
usaha kesejahteraan sosial yang prioritasnya ditentukan oleh Bupati/Walikota atas
usul masyarakat yang dikoordinasikan oleh LKMD dan Camat di wilayahnya
masing-masing.
Pengelolaan dana dari masyarakat tersebut dilakukan oleh suatu Badan
Hukum yaitu Yayasan sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 6 tahun
1974 dan Pasal 13 Keputusan Menteri Sosial Nomor 40/Huk/Kep/X/1980, yang
pembentukkannya dilakukan oleh Pemerintah Kota/ Kabupaten. Sebutan Yayasan
adalah Yayasan Rereongan yang dapat dirangkaikan dengan motto juang masing-
masing daerah. Yayasan Rereongan bergerak dalam usaha-usaha kesejahteraan
sosial yang meliputi pembangunan fisik di bidang pendidikan, kesehatan, dan
usaha-usaha kesejahteraan sosial lainnya.
Keterlibatan masyarakat dalam Program Rereongan Sarupi, dapat merupakan
potensi yang sangat mendukung untuk dapat menanggulangi masalah kemiskinan,
masalah sosial dan pembangunan kesejahteraan sosial. Pemerintah akan
memperoleh mitra kerja yang secara efektif mungkin dapat memberikan
kontribusi yang besar dalam investasi pembangunan sosial di masa yang akan
datang. Gerakan Rereongan Sarupi secara efektif telah dilaksanakan sejak Januari
1995. Sampai dengan bulan Agustus 1997, terkumpul sebanyak 16 milyar rupiah
dari 24 Kab./ Kota atau sekitar 9% dari dana APBD untuk sektor sosial budaya.
Dana tersebut dikelola oleh Yayasan yang ada di masing-masing Kab/Kota.
Untuk mengetahui perkembangan hasil Gerakan Rereongan Sarupi telah
dilaksanakan kegiatan penelitian evaluasi yang dilaksanakan oleh Harry Hikmat
dan Yusman Iskandar bersama-sama dengan tim evaluasi Pemda Tingkat I jawa
Barat. Tujuan evaluasi ini yaitu untuk menilai tingkat efektivitas Gerakan
Rereongan Sarupi dalam meningkatkan kepedulian sosial dalam pembangunan
kesejahteraan sosial dan melestarikan sikap hidup masyarakat yang berazaskan
kebersamaan. solidaritas, dan gotong royong. Populasi sasaran penelitian adalah
seluruh Kabupaten/ Kota di Propinsi Jawa Barat. Untuk kepentingan evaluasi
Gerakan Rereongan Sarupi, dengan adanya keterbatasan biaya, tenaga, dan waktu,
maka penelitian dilakukan dengan metode pengumpulan data secara survai.
Secara keseluruhan unit analisis penelitian adalah organisasi Yayasan Rereongan
Sarupi di setiap Kabupaten/ Kota. Setiap Kab/ Kota diwakili oleh 2 (dua)
Kecamatan yang termasuk pada kategori pelaksanaan Gerakan Rereongan Sarupi
berkembang dan maju.
Sasaran penelitian setiap Kecamatan, sebagai berikut : (1) Pemerintah
Wilayah Kecamatan, Instansi Terkait dan Kepala Desa/Kelurahan, dengan jumlah
17

responden sebanyak 25 (dua puluh lima) orang; (2) Petugas Pengumpul Dana,
yang terdiri atas Ketua RT, Dasa Wisma, Karang taruna dan Unsur lainnya,
dengan jumlah total responden sebanyak 25 (dua puluh lima) orang; dan (3)
Warga masyarakat yang dijadikan tokoh dan bisa baca tulis, dengan jumlah total
responden sebanyak 50 (lima puluh) orang. Secara keseluruhan jumlah responden
yang memberikan informasi sebanyak 3648 orang. Beberapa informasi dari hasil
penelitian tersebut menarik untuk ditelaah untuk menjelaskan potensi sosial
budaya masyarakat Jawa Barat yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber
pembangunan kesejahteraan sosial.
Hasil penelitian tentang penerapan nilai-nilai budaya sunda dalam kehidupan
bermasyarakat (budaya rereongan) dapat terlihat dalam bentuk : (1) kerjasama;
(2) musyawarah; (3) kerukunan; (4) gotong royong; dan (5) kesetiakawanan
sosial/ saling tolong menolong antar anggota masyarakat. Adanya perubahan
sosial yang begitu pesat dalam dekade akhir-akhir ini, mengakibatkan adanya
pergeseran nilai budaya masyarakat; sebagai dampak dari kemajuan ekonomi,
teknologi, dan informasi. Pertumbuhan ekonomi nasional yang begitu tinggi
dengan pusat pertumbuhan di Propinsi Jawa Barat, berpengaruh terhadap
perubahan sosial dan budaya masyarakat. Muncul masyarakat yang heterogen
sebagai akibat dari mobilitas penduduk yang tinggi dari propinsi lain, maupun
imbasan penduduk dari ibukota DKI Jakarta. Nilai-nilai kesetiakawanan sosial di
daerah-daerah yang pesat pertumbuhan ekonominya (khususnya wilayah Botabek,
wilayah Priangan dan wilayah Cirebon) mengalami penurunan dan kurang lagi
dirasakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Di wilayah Botabek, Priangan dan Cirebon; hal tersebut sudah kurang
dirasakan lagi oleh masyarakat (berdasarkan ukuran indeks budaya = 0,48 atau
48%). Kondisi ini berbeda dengan wilayah Jawa Barat bagian selatan, masyarakat
menilai budaya rereongan tersebut masih kuat dirasakan dalam kehidupan sehari-
hari (indeks budaya = 0,79 atau 79%). Indeks budaya tersebut dihitung dalam
skala 0 s.d 1 (ranting scale), dengan ketentuan semakin mendekati 1 maka
semakin kuat penerapan nilai-nilai budaya sunda dalam kehidupan bermasyarakat
yang ditanyakan kepada responden; sedangkan semakin mendekati 0 maka
semakin berkurang penerapan nilai-nilai budaya sunda dalam kehidupan
bermasyarakat.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa wilayah yang aktivitas dan
pertumbuhan ekonominya tinggi, maka budaya rereongan semakin rendah.
Adanya disparitas ekonomi regional di wilayah Jawa Barat, cenderung
mempengaruhi terjadinya inkonsistensi antara pertumbuhan ekonomi dengan
penerapan nilai budaya rereongan dalam pembangunan kesejahteraan sosial
dewasa ini. Gambaran adanya hubungan negatif antara tingkat aktivitas ekonomi
yang didasarkan atas indikator Distribusi PDRB dengan indeks budaya dapat
dilihat pada diagram berikut ini :
18

90

80
81 83
70 78
73
60

50 58 59 57

40

30

20 27
22 24
3
10
11
6 7
0
Banten Botabek Sukab. Bdg. Raya Pri. Timur Cirebon Purwasuka

PDRB Indeks Budaya

Gambar 2 . Distribusi PDRB (%) dan Indeks Budaya (%) di Propinsi Jawa Barat
(Sumber : PDRB : Susenas 1994; Indeks Budaya : Hasil Penelitian (N) = 3648 orang)

Hasil pengujian koefisien korelasi Spearman (rs) diperoleh informasi bahwa


ada hubungan negatif yang nyata antara persentase distribusi PDRB dengan
Indeks Budaya masyarakat di Jawa Barat (rs=-0,67; p = 0,0003). Informasi ini
penting untuk menganalisa lebih lanjut jika ada Kab./ Kota yang kurang berhasil
dalam mencanangkan Gerakan Rereongan Sarupi. Ciri masyarakat yang aktivitas
perekonomiannya sangat maju, terutama di perkotaan, cenderung memiliki ciri
solidaritas sosial yang mekanistik, karena masyarakat semakin heterogen. Ikatan
profesi cenderung lebih kuat daripada ikatan komunal di masyarakat. Karena itu,
beberapa Kab./ Kota, khususnya di wilayah Botabek, ada yang menggunakan
strategi pemberdayaan antar profesi pekerjaan dalam menyukseskan Gerakan
Rereongan Sarupi.
Dalam meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dan upaya untuk
mempercepatkan kemajuan pembangunan kesejahteraan sosial, sesuai dengan
peraturan dan kesepakatan bersama di masyarakat, telah dilaksanakan kegiatan
pengumpulan berbagai jenis dana masyarakat setiap bulan di tingkat Rukun
Tetangga/ Rukun Warga.
Kegiatan pengumpulan dana tersebut antara lain dana kebersihan/sampah,
dana keamanan, dana kematian, dana pendukung kegiatan PKK, dan dana lainnya
yang dikumpulkan secara insidentil (misal : sumbangan HUT RI atau perayaan
hari besar lainnya). Kegiatan pengumpulan dana tersebut merupakan tradisi
masyarakat dan merupakan suatu upaya menggali potensi masyarakat yang
ditujukan untuk mengatasi permasalahan kesejahteraan sosial dalam lingkup
terbatas (tingkat Rukun Tetangga atau Rukun Warga).
Adanya Gerakan Rereongan Sarupi, diarahkan untuk meningkatkan
kepedulian masyarakat dalam pembangunan kesejahteraan sosial dalam lingkup
dan peran masyarakat yang lebih luas. Dalam penelitian tersebut diungkapkan
keikutsertaan masyarakat dalam memberikan sumbangan untuk berbagai kegiatan
di atas, dengan tujuan ingin diketahui persentase besarnya dana yang
19

dikeluarkan/disumbangkan masyarakat untuk mendukung Gerakan Rereongan


Sarupi dibandingkan dengan besarnya dana yang dikeluarkan untuk mendukung
kegiatan kemasyarakatan lainnya (kebersihan, keamanan, kegiatan PKK, Karang
Taruna, Dana Kematian, dan sebagainya).

68 32

Dana lain Rereongan Sarupi

Gambar 4. Persentase besarnya dana Rereongan Sarupi dibandingkan


dana masyarakat lainnya (Jumlah responden : 3648 responden)

Rata-rata persentase dana yang dikeluarkan untuk Rereongan Sarupi sebanyak


32 % dari keseluruhan dana yang dikeluarkan oleh masyarakat, dengan interval
antara 10 % sampai dengan 65 %. Nilai rupiah sumbangan masyarakat untuk
rereongan setiap bulan berkisar antara 100 rupiah sampai dengan 10.000 rupiah
(tidak termasuk sumbangan spontan para pengusaha seperti yang terjadi di
Kabupaten Bogor). Hal ini menunjukkan bahwa besarnya sumbangan masyarakat
tidak terbatas sebesar 100 rupiah, tetapi ada yang lebih dari 100 rupiah. Sebanyak
48 % responden termasuk anggota masyarakat yang menyumbangkan setiap
bulannya lebih dari 100 rupiah.
Secara keseluruhan, ada kecenderungan bahwa semakin tinggi status sosial
ekonomi masyarakat, semakin besar nilai sumbangannya, baik untuk Rereongan
Sarupi maupun untuk dana kemasyarakatan lainnya. Hasil pengujian koefisien
korelasi Spearman (rs) diperoleh informasi bahwa ada hubungan positif yang
nyata antara status sosial elonomi dengan besarnya nilai sumbangan (rs=-0,58; p =
0,001). Namun demikian, belum semua lapisan masyarakat dapat terjangkau
Gerakan Rereongan Sarupi. Munculnya pemukiman-pemukiman baru di kota-kota
besar dan wilayah industri di Jawa Barat, yang pada umumnya merupakan
masyarakat pendatang (urbanisan), mempengaruhi target pencapaian
pengumpulan dana di setiap Kab./ Kota. Petugas pengumpul dana mengalami
kesulitan untuk dapat menjangkau kelompok masyarakat yang termasuk kelas
menengah ke atas.
Dari penelitian dengan responden aparat Pemda Kota/ Kab. (N=25 orang)
diperoleh informasi bahwa pengumpulan dana yang belum mencapai target
merupakan unsur dominan yang menyebabkan Gerakan Rereongan Sarupi
dianggap kurang berhasil di setiap Kab./ Kota di Jawa Barat (40%). Pada
umumnya (80%) berpendapat bahwa kelompok warga masyarakat menengah ke
atas (terutama para pengusaha) masih belum optimal terjangkau oleh Gerakan
20

Rereongan Sarupi. Sehingga diperlukan strategi dan intervensi khusus untuk


menjangkau lapisan masyarakat tersebut.
Menurut informasi dari pengurus Yayasan Rereongan, masih terdapat
berbagai kendala dalam pengumpulan dana, antara lain kurang serasinya antar
pengumpulan dana masyarakat di tingkat rukun tetangga. Hal ini dibuktikan
lebih lanjut melalui survai, yang hasilnya menunjukkan bahwa sebagian terbesar
(52 %) kegiatan pengumpulan dana masyarakat dilakukan oleh petugas yang
tidak sama, masing-masing jenis pengumpulan dana waktunya berbeda, ada
bulan-bulan tertentu dana yang dikeluarkan lebih besar dari bulan-bulan lainnya
(misal menjelang HUT RI), dan tidak semua penggunaan dana diketahui oleh
masyarakat (kurang transparan). Kondisi tersebut cenderung mempengaruhi
naik-turunnya perkembangan hasil pengumpulan dana Rereongan Sarupi di
setiap wilayah.
Dari hasil penelitian juga diperoleh informasi bahwa responden menyatakan
sangat setuju (indeks > 4.0) tentang Gerakan Rereongan Sarupi, khususnya
tentang tujuan, pengelolaan oleh Yayasan dan besarnya uang 100 rupiah per
bulan. Hal -hal yang tidak disetujui oleh responden yaitu tentang kemungkinan
uang yang dikumpulkan lebih dari 100 rupiah dan pengumpulannya per triwulan.
Secara keseluruhan, masyarakat pada umumnya (77%) menyatakan setuju tentang
mekanisme pengumpulan dana yang diberlakukan sekarang, jika akan ada
perubahan lebih diarahkan pada upaya untuk menginternalisasikan nilai budaya
rereongan dalam setiap unsur yang terkait dalam mekanisme pengumpulan dana
yang sekarang berjalan.
Suatu upaya yang terorganisir di Kabupaten Bogor dengan peran Bupati dan
Aparat Kecamatan yang tinggi di samping peran Pengurus Yayasan; patut
dipertimbangkan dan dijadikan contoh sebagai suatu strategi pengumpulan dana
yang dapat menjangkau lapisan masyarakat menengah ke atas, khususnya para
pengusaha. Para pengusaha, sedemikian rupa dilibatkan dalam acara pengguliran
dana Rereongan Sarupi dan sekaligus dimintakan partisipasinya. Pada
hakekatnya, upaya tersebut didasarkan pada upaya meningkatkan rasa memiliki
dan kebanggaan terhadap Gerakan Rereongan Sarupi pada semua lapisan
masyarakat tanpa terkecuali, sebagai upaya untuk melestarikan budaya khas
masyarakat Jawa Barat.
Hal yang dianggap penting yang perlu diungkapkan dari hasil penelitian yaitu
bidang pembangunan kesejahteraan sosial yang dibiayai oleh dana rereongan
Sarupi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa untuk program-program
kependidikan yang bersifat non fisik memperoleh pembiayaan dari Yayasan
Rereongan sebanyak 60%, seperti bantuan beasiswa anak sekolah dan honorarium
guru honorer. Adapun untuk pembangunan/perbaikan sarana fisik pendidikan,
seperti rehabilitasi bangunan sebanyak 40%. Adapun untuk program kesehatan,
sebagai terbesar (60%) diberikan kepada pembangunan/perbaikan sanitasi
lingkungan, seperti pembangunan MCK, plesterisasi dan lain-lain. Sisanya (40%)
diberikan kepada bantuan biaya kesehatan bagi masyarakat yang tidak/kurang
mampu. Selanjutnya untuk program kesejahteraan sosial, sebagian terbesar
diberikan kepada rehabilitasi rumah jompo dan keluarga miskin (60%). dan
21

sisanya diberikan kepada program anak asuh (20%) dan program-program


kepemudaan (20%).
Dari hasil penelitian, ada kecenderungan bahwa sistem perencanaan untuk
pengguliran dana Rereongan Sarupi belum didasarkan atas model perencanaan
sosial yang memperhitungkan secara optimal indikator-indikator sosial, terutama
untuk menentukan skala prioritas secara makro dari pembangunan kesejahteraan
sosial. Dalam hal ini, hubungan antara skala prioritas dan peruntukkan dana tidak
berarti menghilangkan prinsip pemberdayaan masyarakat dalam mengajukan
usulan proyek pembangunan kesejahteraan sosial yang dibiayai dari dana
Rereongan Sarupi, namun pengurus Yayasan maupun Aparat Pemda Tingkat II,
serta instansi terkait; berkewajiban untuk selalu mendiskusikan target kemajuan
sosial yang akan dicapai untuk perencanaan jangka pendek maupun jangka
panjang. Hal ini berkaitan erat dengan dengan perlu model perencanaan
pembangunan kesejahteraan sosial yang berbasiskan pada pemberdayaan
masyarakat, yang dijadikan acuan untuk penentuan prioritas yang dibantu dari
dana Rereongan Sarupi
Mengacu pada hasil penelitian tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa
masyarakat tertarik terhadap Gerakan Rereongan Sarupi yang telah dikelola secara
sungguh-sungguh oleh pemerintah bersama Yayasan Rereongan Sarupi dan pihak-
pihak lain yang terkait, serta adanya kejelasaan manfaatnya dari pengumpulan
dana masyarakat yang dikumpulkan secara sukarela. Hal-hal yang cenderung
dipersepsi negatif oleh masyarakat, yaitu berkaitan dengan belum lancarnya
pengumpulan dana berikut peruntukkannya kembali ke masyarakat, serta nilai
nominal peruntukkan dana yang kembali ke masyarakat dianggap kurang
mencukupi biaya yang dibutuhkan untuk proyek-proyek pembangunan yang
diusulkan. Selain itu, masyarakat masih menilai bahwa pelaksanaan Gerakan
Rereongan Sarupi masih kurang tertib, kurang jelas mekanisme pengguliran dana,
diragukan kejujuran pengelola, diragukan kemampuan mengelola dana, kurang
terbuka dalam penggunaan dana dan dilaksanakan dengan kondisi antara instruksi
dan sukarela.
Gerakan Rereongan Sarupi pada hakekat merupakan wujud keikhlasan
masyarakat dalam berperan serta menangani masalah-masalah kesejahteraan
sosial, serta mengandung makna ibadah atau amal jariah. Namun demikian,
kadangkala dalam pelaksanaannya ada unsur-unsur yang terkait ‘terlampau
bersemangat’ untuk menyukseskan Gerakan Rereongan Sarupi, sehingga memberi
kesan dana yang dikumpulkan merupakan instruksi dari atasan kepada
masyarakat. Dalam hal ini, beberapa Kab./ Kota yang melihat kecenderungan
tersebut terjadi, telah berupaya untuk kembali mengkampanyekan makna filosofis
yang terkandung dari Gerakan Rereongan Sarupi, antara lain dengan melibatkan
secara aktif ulama/tokoh agama dalam memberikan penyuluhan tentang makna
Gerakan Rereongan Sarupi ditinjau dari pandangan Agama. Sudah tentu ini
merupakan langkah strategis dalam memberdayakan masyarakat agar berlangsung
terus dan menuju kearah kemampanan. Akhirnya tiga unsur penting dari
masyarakat, yaitu: (1) tokoh masyarakat; (2) tokoh agama; dan (3) pimpinan
pemerintahan; jika berperan aktif saling bahu-membahu menggalakkan terus
22

Gerakan Rereongan Sarupi, akan sangat mempengaruhi keberhasilan dari Gerakan


Rereongan Sarupi di Jawa Barat.
Jika mengacu pada budaya rereongan dalam pelaksanaan proyek
pembangunan kesejahteraan sosial, maka unsur partisipasi aktif menentukan
keberhasilan dari proyek pembangunan tersebut. Dari hasil penelitian diperoleh
informasi bahwa keterlibatan masyarakat dalam Gerakan Rereongan Sarupi,
relatif terbatas sebagai penyumbang uang 100 rupiah atau lebih, namun untuk
kegiatan rereongan lainnya yang merupakan wujud gotong royong reraltif masih
kurang. Hal ini dikhawatirkan dapat mempengaruhi rasa memiliki dari Gerakan
Rereongan Sarupi di masa yang akan datang. Karena itu upaya untuk
menciptakan kondisi yang kondusif agar masyarakat merasa memiliki dan bangga
terhadap Gerakan Rereongan Sarupi menjadi sangat penting. Dalam hal ini peran
instansi pembina masih perlu ditingkatkan. Kabupaten Tasikmalaya, mungkin
dapat menjadi contoh yang baik bagi kab/ kota yang lain, sehubungan dengan
pelibatan masyarakat secara aktif pada setiap langkah operasional Yayasan
Rereongan Sarupi.
Untuk mengetahui faktor-faktor tertentu yang dirasakan responden dapat
mempengaruhi keberhasilan atau kekurang-berhasilan dari Gerakan Rereongan
Sarupi, disajikan pada tabel berikuit ini.
Tabel 1. Faktor-faktor penghambat yang mempengaruhi kekurangberhasilan Gerakan Rereongan
Sarupi menurut responden masyarakat, pengumpul dana dan aparat pemerintah (N=3648)

Faktor penghambat
Indeks Pengaruh
Kurang penyuluhan 3,94 tinggi
Kurang jelas cara 1,90 rendah
pengumpulan dana
Perilaku petugas 1,20 rendah
pengumpul dana
Kondisi geografis sulit 3,71 tinggi
Kurangnya Informasi 3,77 tinggi
penggunaan dana
Pergeseran nilai budaya 3,96 tinggi
Berkembang pemukiman 2,81 cukup
baru
Berkembang daerah 2,91 cukup
industri
Kurang pemahaman 4,12 sangat tinggi
budaya rereongan
Kurang tepat waktu 3 Cukup
pengumpulan dana

Berdasarkan tabel di atas, beberapa faktor kritis yang mempengaruhi


kekurang berhasilan Gerakan Reregongan Sarupi di suatu wilayah, yaitu :
1. kurangnya pemahaman tentang budaya rereongan;
23

2. adanya pergeseran nilai budaya;


3. kurangnya penyuluhan sosial;
4. kurangnya informasi penggunaan dana;
5. adanya hambatan geografis dalam pelaksanaan pengumpulan dana;
6. kinerja yayasan yang belum optimal dan masih menghadapi masalah-masalah
organisasi secara internal;
7. kurang dukungan aparat Pemda Tk II dan instansi terkait;
8. upaya pelembagaan kembali budaya rereongan cenderung memobilisasi yang
bersifat instruktif daripada melalui peningkatan kepedulian dan peran serta
masyarakat (pemberdayaan).
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat
untuk mempercepat pemerataan pembangunan, mengatasi masalah kemiskinan,
dan meningkatkan kualitas hidup penduduk. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut
“Gerakan Rereongan Sarupi” menjadi sangat penting sebagai suatu alternatif
dalam strategi pemerataan pembangunan yang berbasiskan masyarakat
(Comunity Base Development) sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar
penduduk (basic needs) melalui strategi pemberdayaan masyarakat
(empowerment).

3. Kasus penanganan anak terlantar di Kabupaten Tanah Datar, Propinsi


Sumatra Barat

Program pemberdayaan masyarakat dalam penanganan anak terlantar urgen


untuk dilaksanakan dengan pertimbangan meningkatnya jumlah anak terlantar dan
keluarga miskin, sedangkan potensi masyarakat yang bersumber dari sistem sosial
budaya setempat masih dapat dibangkitkan untuk masa yang akan datang. Prinsip
dasar program pemberdayaan masyarakat ini untuk memberikan kepercayaan
terhadap kemampuan masyarakat agar dapat mengatasi masalah keterlantaran
anak pada khususnya dan permasalahan-permasalahan sosial pada umumnya
dengan inisiatif dan kekuatan sendiri.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat diarahkan kepada upaya untuk
mendorong dan memobilisasi sumber-sumber sosial sehingga masyarakat dapat
menyatakan kebutuhan-kebutuhannya, menyampaikan pendapat-pendapatnya dan
dapat menggali serta memanfaatkan sumber-sumber lokal yang tersedia. Dengan
demikian masyarakat dapat terlibat aktif dalam penanganan masalah mulai dari
identifikasi masalah sampai dengan menikmati hasilnya.
Pengertian masyarakat (society) mengacu kepada sekelompok orang yang
belajar hidup dan bekerja bersama. Dari sudut pandangan sistem, masyarakat
merupakan suatu ‘holon’ (suatu konsep yang menyatakan bahwa sistem dapat
dipandang sebagai unit yang berdiri sendiri, tetapi juga sekaligus dapat dipandang
sebagai bagian dari sistem yang lebih besar atau sebagai sub sistem). Dalam
kaitannya dengan konsep masyarakat semacam itu, pengertian kebudayaan
mengacu kepada tatacara kehidupan yang dianut atau diikuti oleh kelompok
orang disebut masyarakat. Ini menunjukkan kebudayaan sebagai faktor yang
mengikat atau mempersatukan kehidupan manusia dalam kelompok yang disebut
24

masyarakat. Dalam konsep kebudayaan tercakup adat-istiadat, nilai-nilai, moral,


peralatan (tools) dan teknik-teknik.
Gejala peningkatan anak terlantar di Kabupaten Tanah Datar, menunjukkan
adanya permasalahan setidak-tidaknya pada tingkat masyarakat. Data tahun 1999
dari Dinas Sosial setempat tercatat 3.984 anak terlantar yang berasal dari keluarga
miskin, dengan kondisi drop-out dari SD (34,24%), diantaranya mengalami kasus
gizi buruk sebanyak 918 anak. Dibandingkan dengan jumlah anak terlantar tahun
sebelumnya meningkat sebanyak 17 % dan merupakan peningkatan tertinggi
dibandingkan dengan Kabupaten Solok dan Padang Panjang. Sementara ratio anak
terlantar dengan panti sosial hanya 1 : 398, jauh dari kebutuhan masyarakat sekitar
1: 30.
Jika dikaitkan dengan potensi yang dimiliki, maka keberadaan lembaga-
lembaga adat (Julo-julo, Bunda Kanduang, Tungku Tigo Sajarangan yaitu Ninik
Mamak, Cerdik Pandai dan Alim Ulama, dll), telah lama dikenal sebagai lembaga
masyarakat yang mengatasi berbagai masalah kemasyarakatan. Terungkapnya
permasalahan keterlantaran anak dan masalah kemiskinan di Kabupaten Tanah
Datar dalam suatu forum nasional tentang Social Sector Strategy and Capacity
Building (S3CB) bulan Agustus 1999; ternyata cukup mengejutkan semua pihak
terutama bagi perwakilan peserta (Bappeda, Pemda, Tokoh Masyarakat) dari
Sumatra Barat. Pada umumnya mereka tidak yakin masalah itu telah terjadi,
karena hal tersebut merupakan hal yang memalukan daerahnya yang selama ini
dibanggakan sebagai daerah yang sejahtera.
Saat ini struktur dan keorganisasian kebudayaan masyarakat nampak kurang
berfungsi lagi, yang dapat ditunjukkan dengan meningkatnya kebutuhan
pelayanan penanganan anak terlantar melalui sistem panti, selain ada indikasi juga
meningkatnya perceraian dan keluarga miskin. Berdasarkan laporan Dinas Sosial
setempat, tercatat 43,57% anak terlantar yang bekerja membantu orang tuanya dan
hal ini dikhawatirkan terjadinya eksploitasi anak. Kondisi ini bertolak-belakang
dengan citra Kabupaten Tanah Datar ini yang dikenal sebagai pusat adat budaya
Minangkabau yang disebut “Pusek Jalo Pumpunan Ikan” yang mempunyai makna
bahwa semua persoalan Nagari dapat dipecahkan melalui musyawarah maupun
mufakat yang berpusat pada Ninik Mamak, Cerdik Pandai dan Alim Ulama, yang
selanjutnya pemecahan masalah akan dilaksanakan oleh masyarakat itu sendiri
tanpa perlu bantuan dari luar terlampau jauh. Kondisi ini menunjukkan bahwa
masalah-masalah sosial tidak lagi menjadi masalah masyarakat lokal, tetapi telah
berubah menjadi masalah institusi sosial yang didirikan pemerintah atau lebih
luas lagi menjadi masalah departemen teknis atau dinas sosial. Dilain pihak, pola
penanganan masalah anak terlantar yang dikembangkan pemerintah terlampau
sentralistik dan kurang melibatkan peran aktif masyarakat. Hal ini disebabkan
sistem panti yang dibentuk lebih mengarah kepada organisasi tertutup (closed
system) dan cenderung eksklusif keberadaannya ditengah-tengah kehidupan
masyarakat.
Struktur atau keorganisasian suatu kebudayaan tidaklah statis, melainkan
dalam keadaan berubah-ubah secara terus menerus (dinamis). Jadi teori evolusi
juga berlaku bagi kebudayaan. Organisasi sosial dari suatu kebudayaan yang
sedang berevolusi itu mengarah pada dasarnya mengarah menjadi semakin
25

kompleks. Ini disebabkan semakin kompleks dan meningkatnya volume relasi


antara berbagai unsur kebudayaan tersebut. Oleh karena itu kebudayaan “Pusek
Jalo Pumpunan Ikan” yang dikatakan sebagai sedang dalam keadaan ‘stagnasi’
menunjukkan interelasi yang relatif statis, dan interaksi antara berbagai unsurnya
relatif tidak berubah-ubah, harus diingat bahwa sebenarnya tidak ada sistem yang
benar-benar statis atau sama sekali tidak berubah. Jadi kebudayaan tersebut tetap
harus diposisikan dengan potensi yang dapat dijadikan sumber sosial dalam
mengatasi masalah-masalah sosial.
Sementara kebudayaan menjadi semakin komplek dan berdiferensiasi, maka
demikian juga sistem pengasuhan anak di dalam keluarga ini, sehingga munculnya
berbagai lembaga pelayanan (lembaga sosial) mempunyai tujuan untuk menjawab
masalah-masalah atau kebutuhan-kebutuhan yang dihadapi keluarga dalam
pengasuhan anak. Sebagai contoh: dengan tuntutan mobilitas yang semakin besar
dalam sistem ekonomi dewasa ini, maka peranan keluarga besar (extended
family) menjadi semakin berkurang dan gejala seperti diikuti pula oleh semakin
nyatanya kebutuhan akan pelayanan-pelayanan panti asuhan anak, penitipan anak
(day care services), taman kanak-kanak, pramusiwi (baby sister), pramuwisma
dan sebagainya.
Sebaliknya dengan bermunculan institusi sosial baru seperti Panti Asuhan
Anak Terlantar, maka gejala ini pun diikuti dengan perubahan-perubahan di dalam
keluarga-keluarga sendiri, meskipun perubahan-perubahan yang dimaksud tidak
selalu (dan tidak perlu) berkaitan dengan keruntuhan keluarga. Dengan kata lain
eksistensi keluarga serta fungsi-fungsinya tetap bertahan, meski di luar tumbuh
institusi-institusi baru yang berkaitan dengan pengasuhan anak. Tumbuhnya
sistem pelayanan baru tersebut berkaitan dengan kesadaran untuk memberikan
jawaban secara lebih tepat terhadap tuntutan-tuntutan yang timbul dari perubahan-
perubahan di dalam keluarga serta terhadap nilai-nilai yang semakin kompleks di
dalam suatu kebudayaan.
Semua kebudayaan sebagai sistem sosial selalu memiliki organisasi, dalam
arti bahwa kebudayaan tersebut bisa jadi dalam keadaan terorganisasi (organized),
sedang dalam proses pengorganisasian, atau mungkin sedang dalam keadaan
disorganisasi (disorganized). Penulis berpendapat ada kecenderungan kebudayaan
lokal dalam mengatasi masalah sosial yang terjadi di Kabupaten Tanah Datar
dalam keadaan stagnasi dan disorganisasi. Untuk itu diperlukan reaktualisasi
kebudayaan masyarakat setempat melalui strategi pemberdayaan institusi tradisi
dalam mengatasi masalah-masalah sosial, termasuk masalah keterlantaran anak.
Namun bagaimana pun dan pada saat kapan pun dimensi organisasi ini selalu
ada di dalam setiap kebudayaan. Pengertian organisasi di sini bukanlah
pengertian formal, melainkan mengacu kepada struktur suatu sistem sosial. Suatu
kebudayaan selalu memiliki struktur atau dalam keadaan terstruktur, dalam arti
bahwa di dalam setiap kebudayaan selalu ada sistem unsur-unsur yang saling
berinteraksi, dan jika terjadi perubahan pada salah satu unsur atau pola relasi
tertentu, maka perubahan tersebut akan mempengaruhi perubahan pada unsur-
unsur lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu,
pemberdayaan masyarakat yang dimaksud tidak hanya ditujukan secara langsung
mengatasi masalah sosial, tetapi sekaligus sebagai strategi dalam melakukan
26

perubahan struktur masyarakat atau mengaktualisasi kebudayaan masyarakat


sesuai dengan struktur masyarakat yang belaku.
Dimensi kebudayaan yang akhir-akhir ini mendapat perhatian agak mendalam
adalah aspek kewilayahan (territoriality) hubungannya dengan kebijakan
desentralisasi. Konsep ini mengacu kepada kecenderungan manusia di dalam
setiap sistem sosialnya untuk memperoleh dan memelihara wilayah atau
territorynya. Ada ahli-ahli yang mengartikan territory sebagai keruangan
(spacial), sedang beberapa ahli lainnya mengaitkan konsep ini dengan aspek-
aspek interaksional. Sebab itu dapat disimpulkan bahwa konsep kewilayahan
mengacu kepada kecenderungan manusia untuk mengadakan batasan mengenai
wilayah keruangan (spacial)nya maupun wilayah interaksionalnya. Dalam kaitan
dengan pemberdayaan masyarakat, maka isu kampanye tentang potensi
kebudayaan Minangkabau yang dimiliki harus dikaitkan dengan aspek
kewilayahan Kabupaten Tanah Datar untuk menumbuhkan kembali kebanggaan
dan rasa memilki kembali.
Langkah awal yang perlu dilaksanakan yaitu menyadarkan atau
mengingatkan kembali masyarakat terhadap berbagai masalah kemasyarakatan
atau disebut melakukan konsientisasi terhadap masyarakat untuk kembali
memberikan respons dan sensitif terhadap adanya masalah-masalah sosial
dilingkungannya (retrospektif pengalaman kemasyarakatan). Dalam kondisi
masyarakat sadar akan masalah dan potensi kebudayaan yang dimiliki, maka
proses pemecahan masalah melalui pemberdayaan dapat dilakukan yang akhirnya
diharapkan terjadinya aktualisasi eksistensi budaya lokal dalam mengatasi
masalah keterlantaran anak dan masalah sosial lainnya.
Tujuan kegiatan pemberdayaan masyarakat tersebut yaitu: (a) meningkatkan
kesadaran masyarakat terhadap pemenuhan hak-hak anak oleh dan dari
masyarakat; (b) mendorong dan memberi peluang masyarakat untuk
meningkatkan perlindungan sosial hak-hak anak; (c) pemberdayaan keluarga dan
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan anak; (d) Memelihara dan melestarikan
nilai-nilai agama, adat istiadat setempat.
Adapun kegiatan pemberdayaan masyarakat yang sesuai dengan sistem sosial
budaya setempat antara lain:
a. Mengembangkan kegiatan julo dalam pengembangan usaha ekonomi
b. Mengembangkan kegiatan remaja mesjid untuk mensosialisasikan hak anak
c. Melakukan musyawarah tokoh-tokoh masyarakat/ adat yaitu KAN (Kerapan
Adat Nagari), Ninik Mamak, Bundo Kanduang, Datuak, Alim Ulama; untuk
meningkatkan fungsi dan peran Tigo Tungku Sajarangan,
d. Meningkatkan akses keluarga miskin terhadap “Lumbung Pitih Nagari” dan
“Bareh Pinjik (Simpanan Bajapuik)” dengan mengangkat isu masalah-
masalah sosial pada “Pusek Jalo Pumpunan Ikan”
e. Membangun Balariung Nagari agar dapat menjadi pusat dalam
pengembangan masyarakat (community centre) atau “Pusek Jalo Pumpunan
Ikan”
27

4. Kasus Sistem Banjar di Propinsi Bali

Di Propinsi Bali sejak lama dikenal daerah atau desa yang menggunakan
sistem banjar. Potensi yang dimiliki yaitu tersedianya bangunan bale banjar,
tempat warga banjar mengadakan musyawarah dan kegiatan-kegiatan
kemasyarakatannya lainnya. Bale banjar tersebut merupakan pusat kegiatan
masyarakat, dan pada umumnya terletak di tengah-tengah perumahan warga
banjarnya. Adanya penamaan desa atau kelurahan bagi satu kesatuan
komunitas di Bali tidak menjadi masalah yang berarti dapat merusak sistem sosial
budaya setempat, karena desa disesuaikan dengan banjar yang ada. Sistem banjar
ini sampai saat ini masih bertahan, karena beberapa faktor pendukung seperti
kesesuaian dengan sistem kekerabatan pratrilineal yang mengikat orang Bali
berdasarkan prinsip keturunan, adanya kesatuan adat dan upacara-upara
keagamaan yang keramat. Walaupun demikian sistem banjar ini tidak tertutup
bagi warga pendatang atau terbuka bagi warga yang lahir di banjar yang lain.
Semua itu merupakan satu kesatuan kehidupan yang harmonis.
Pola kepemimpinan di desa-desa Bali juga menarik untuk dikaji, karena
kepala desa/ kelurahan pada umumnya adalah tokoh masyarakat yang juga telah
dikenal sebagai kepala banjar atau disebut kliang. Jika ada yang menjadi kepala
banjar bukan sebagai kepala kelurahan, terjadi di kelurahan-kelurahan yang telah
berkembang menjadi pusat kota, seperti yang terjadi di Denpasar.
Masyarakat sangat menghormati kewenangan kliang dalam mengatur
kegiatan kemasyarakatan, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan hukum adat
tanah, masalah pertanian dan irigasi (menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan
administrasi sistem subak), masalah ketersediaan pangan, penanganan masalah-
masalah sosial, dll. Dalam hal sistem subak, kewenangan pengelolaan diatur
tersendiri oleh klian subak, karena pengaturan subak belum tentu satu banjar.
Dalam satu subak dapat terjadi merupakan gabungan dari beberapa banjar.
Walaupun kewenangan pengelolaan tidak diatur sama oleh satu pimpinan
masyarakat, namun antara klian subak dan klian banjar terdapat hubungan yang
harmonis yang diikat oleh kesamaan adat istiadat.
Organisasi kemasyarakatan lainnya yang potensial dalam pembangunan
masyarakat, yaitu seka. Seka truna, misalnya merupakan perkumpulan pemuda
yang memiliki kegiatan olah raga, tari, seni lukis, seni patung, dan lain-lain. Para
pemuda itu juga aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan lainnya, misalnya
dalam upacara-upacara keagamaan dan gotong royong membangun fasilitas
sosial. Ikatan antar pemuda tersebut jauh lebih kuat dari pada ikatan pemuda yang
dibentuk pemerintah, yaitu Karang Taruna. Seka-seka truna dibeberapa wilayah
di Bali tidak mempersoalkan kehadiran karang taruna, bahkan yang dimaksud
karang taruna di Bali disebut seka truna itu. Namun demikian seperti halnya klian
banjar hubungannya dengan kepala kelurahan, maka seka truna juga ada yang
berbeda dengan karang taruna. Kondisi ini, merupakan gejala bahwa perubahan
sosial yang dibawa pemerintah yang cenderung top down seringkali setelah
dimasyarakat harus diformat sama dengan sistem yang sama juga dan tidak
sensitif terhadap keanekaragaman budaya lokal yang sebenarnya sudah memiliki
28

pranata sosial kebudayaan yang esensinya sama dengan yang dimaksud dari pihak
pemerintah.
Keberadaan dan terpeliharanya pranata sosial yang berbasiskan adat istiadat
inilah yang membuat masyarakat Bali terkenal dengan kegiatan gotong
royongnya. Sistem gotong royong masyarakat Bali berlaku dalam berbagai
kegiatan, seperti ngoupin, ngedeng, dan ngayang.
Ngoupin merupakan kegiatan gotong royong dalam kegiatan bertani
(menanam, menyiangi, memanen), membangun rumah warga dan fasilitas air
bersih (sumur), perayaan perkawinan, upacara-upacara keluarga (khususnya
kematian). Saling membantu antar keluarga dalam berbagai kegiatan merupakan
ciri khas masyarakat Bali. Namun demikian, seiring dengan perubahan jaman dan
modernisasi, sistem ini mulai pudar terutama di daerah perkotaan. Model
pengupahan tenaga kerja, sistem borongan membangun rumah, pengairan dengan
sistem ledeng (PAM), kehadiran perusahan jasa katering untuk kegiatan
perkawinan, dll.; telah merubah sistem gotong royong tersebut. Solidaritas antar
warga mulai pudar digantikan dengan sistem kontraktual atas dasar kesepakatan
harga, kesepakatan pekerjaan yang akan dihasilkan, sistem pembayaran dalam
menggunakan jasa, dan berlakunya mekanisme pasar yang bersifat mekanistik dan
didasarkan atas untung rugi.
Hal sama juga terjadi pada ngedeng, yang dulunya merupakan sarana untuk
menghubungkan antar seka. Misalnya, jika ada upacara perkawinan, maka seka
truna dan seka gamelan akan bergabung untuk mememeriahkan upacara tersebut.
Kondisi ini sudah berubah, terutama di perkotaan; karena antar seka sudah berlaku
sistem pembayaran jual beli jasa. Hal ini tidak berarti tidak boleh dilakukan,
namun ngedeng harus tetap dipelihara sebagai salah satu potensi budaya
masyarakat Bali dan jangan sampai kehilangan esensinya dalam kehidupan
bermasyarakat akibat hubungan yang bersifat materialistis.
Sistem ngayah atau ngayang, juga mengalami pergeseran makna. Ngayah
sekarang ini lebih diartikan kegiatan gotong royong untuk kepentingan
pemerintah, lebih khususnya lagi dimanfaatkan untuk kepentingan partai politik
tertentu. Istilah kerja bakti yang digunakan untuk memobilisasi masyarakat
menjadi campur baur dengan sistem ngayah yang dimaksud masyarakat Bali. Bagi
masyarakat bali, ngayah tumbuh untuk kegiatan gotong royong membangun kuil
atau pure. Kesadaran masyarakat secara spontan muncul bila ada kegiatan
pembangunan sarana keagamaan. Potensi ini tidak salah dimanfaatkan oleh
pemerintah dalam kegiatan kerja bakti, dengan cara-cara yang tetap peka terhadap
budaya lokal. Adanya kepentingan tertentu yang bernuansa politis dan ketakutan
aparat terhadap pimpinan yang lebih atas, justru merusak institusi tradisi
masyarakat Bali yang sudah lama tumbuh dan terpelihara oleh masyarakat Bali itu
sendiri. Tokoh-tokoh masyarakat Bali yang masih kuat menjaga sistem sosial
budaya lokal, sangat kecewa dengan adanya upaya mempolitisir sistem sosial
budaya mereka yang sudah terpelihara secara turun temurun. Adanya gerakan
reformasi di segala bidang pasca krisis, diharapkan menyadarkan semua pihak
bahwa ngayah harus dikembalikan untuk kepentingan masyarakat.
Dibandingkan dengan propinsi-propinsi lain di Indonesia, maka kebudayaan
Bali masih relatif terpelihara, dalam beberapa segi kehidupan, antara adat istiadat,
29

keagamaan dan perilaku sosial budaya terdapat hubungan yang masih harmonis,
didukung dengan pengembangan pariwisata yang juga berbasiskan potensi budaya
setempat. Kondisi ini yang merupakan faktor pendukung Propinsi bali
menyatakan bahwa tidak ada masyarakat termasuk kategori Pra Sejahtera
(kategori kemiskinan dari Meko Kesra dan Taskin). Terlepas dari akurat tidaknya
data tersebut, namun kondisi objektif di masyarakat masih dapat
dipertanggungjawabkan terutama dari ukuran terpenuhinya kebutuhan dasar
minimal (subsistence level). Hal-hal yang mengkhawatirkan, justru adanya gejala
degradasi moral kalangan remaja (misal : mabuk-mabukan, kehidupan seks bebas,
homoseksual, dll.) akibat pengaruh budaya asing. Dalam hal ini pendekatan
agama akan merupakan potensi yang dioptimalkan dalam menangkal pengaruh
budaya asing ke masyarakat Bali, terutama pengaruh terhadap kalangan remaja.

5. Kasus Urban Poor Concorsium (UPC) di DKI

Pemberdayaan masyarakat dan advokasi hak-hak masyarakat dilakukan juga


oleh Urban Poor Concorsium (UPC) yang mempunyai program di wilayah DKI
Jakarta sejak tahun 1997. Dasar pemikiran program memandang masalah
kemiskinan perkotaan adalah fenomena serius, terlihat dari semakin banyaknya
permasalahan sosial, ekonomi, dan politik yang ditimbulkannya.
Di Indonesia, kemiskinan perkotaan tergambar secara jelas pada kehidupan
rakyat yang tinggal di kampung-kampung miskin. Menurut pandangan para
pengurus UPC, rakyat miskin di kota mengalami kemiskinan yang majemuk :
(1) Kemiskinan subsistence, karena rendahnya pendapatan, tak terpenuhinya
kebutuhan sandang, pangan, papan, dan kebutuhan dasar lainnya.
(2) Kemiskinan perlindungan karena meluasnya budaya kekerasan dan sistem
pelayanan kesehatan yang tidak memadai.
(3) Kemiskinan afeksi, karena adanya penindasan, pola hubungan eksploitatif
antar manusia dan manusia dengan alam.
(4) Kemiskinan pemahaman, karena kualitas pendidikan yang rendah.
(5) Kemiskinan partisipasi, karena adanya diskriminasi dan peminggiran rakyat
dari proses pengambilan keputusan.
(6) Kemiskinan identitas, karena dipaksakannya nilai-nilai asing terhadap budaya
lokal, dan karena migrasi terpaksa.
Kesadaran akan kompleksitas permasalahan kemiskinan perkotaan mendorong
sejumlah organisasi non pemerintah (ornop), organisasi setingkat komunitas dan
individu pada tahun1997 membentuk satu wadah dengan nama UPC (Urban Poor
Consortium) atau Konsorsium Kemiskinan Kota. UPC adalah forum kerja
dengan pengorganisasian yang lentur dan terbuka. Forum Anggota merupakan
badan pengambil keputusan tertinggi. Pelaksanaan program melibatkan para
anggota sesuai keahliannya, dan dikoordinasikan oleh sekretariat. Anggota UPC :
NGO atau CBO : Bakti Pertiwi, LBH-APIK, LBH Jakarta, Tri Giri Asih,
Kembang Pola, Yayasan Dinamika Indonesia, SEBAJA (Serikat Becak Jakarta),
UPC Network dan perorangan atau individual (17 orang). Yayasan Dinamika
30

Indonesia merupakan anggota jaringan UPC yang mempunyai program


pemberdayaan rakyat miskin kota yang tersebar di wilayah kota.
UPC adalah organisasi non pemerintah yang bekerja bersama dengan
komunitas majemuk marjinal perkotaan dengan holistik dan partisipatoris, dan
menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama. Karena itu, masyarakat
marjinal perkotaan adalah subyek dan stakeholder utama yang memiliki akses dan
kontrol atas semua kegiatan yang dilaksanakan.
Tujuan UPC bekerja bersama rakyat miskin kota agar tumbuh organisasi
rakyat yang kuat, yang dapat memperjuangkan hak atas kualitas hidup yang layak
dan terhormat, hak mendapatkan tanah, rumah, dan lingkungan yang sehat serta
hak menentukan nasib dan masa depan sendiri. Sasaran utama adalah rakyat
miskin kota dan komunitas marjinal. Adapun strategi utama yang digunakan
dalam pelaksanaan program yaitu : (1) penumbuhan kesadaran kritis rakyat
melalui penyebarluasan informasi; dan (2) mendorong tindakan kolektif,
khususnya membuka ruang kesadaran politis dan kehendak untuk berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan publik. Program pokok yang dilaksanakan UPC
meliputi :
(1) Penyebarluasan informasi dan penumbuhan media ekspresi rakyat dengan
sarana mutli media.
(2) Advokasi.
(3) Penumbuhan organisasi tingkat basis.
(4) Pengembangan jaringan kerja antar kampung miskin dan kelompok-kelompok
rakyat miskin kota.
(5) Pemenuhan kebutuhan praktis komunitas atau kegiatan ekonomi, kesehatan,
pendidikan, dan perbaikan pemukiman
Mereka memberikan makna terhadap program sebagai upaya untuk
memperjuangkan hak-hak rakyat miskin kota, yang secara sistematis mereka
mengalami pemiskinan dan marginalisasi akibat kebijakan pembangunan yang
keliru dan tidak berpihak pada rakyat. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya
persoalan akses rakyat miskin kota terhadap pelayanan sosial dasar yang semakin
sulit, namun mereka seringkali menjadi korban penggusuran paksa dan tindak
kekerasan aparat pemerintah, karena ketiadaan hak kepemilikan atas tanah dan
rumah. Di lain pihak adanya tindakan represif yang dilakukan aparat pemerintah,
mengakibatkan mereka kehilangan harta bendanya dan anak-anaknya semakin
terlantar dan akhirnya mereka menjadi anak-anak jalanan bersama orang tuanya
yang hidup menjadi pengemis.
Atas dasar kondisi tersebut maka UPC melakukan upaya-upaya
pemberdayaan rakyat miskin kota dan sekaligus melakukan advokasi terus
menerus kepada pejabat pemerintah agar dalam perumusan kebijakan dan
pelaksanaannnya benar-benar berpihak pada rakyat miskin.
31

Analisis Kritis

Pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial dengan pendekatan


desentralisasi dengan mengoptimalkan modal sosial nampaknya akan banyak
berperan dalam era otonomi daerah. Pemerintah bersama masyarakat terutama
pilar terdepan (relawan sosial atau Pekerja Sosial Masyarakat, tokoh masyarakat,
tokoh agama) akan diharapkan semakin berperan dalam pelaksanaan
pembangunan kesejahteraan sosial. Untuk itu strategi pemberdayaan masyarakat
dalam penanganan masalah sosial menjadi dominan digunakan oleh daerah,
karena peran pusat telah semakin berkurang. Namun demikian berbagai upaya
yang lebih mengedepankan pendekatan perlindungan HAM nampaknya perlu
dikaji secara lebih serius untuk dilaksanakan, dan hal ini membutuhkan peran
pemerintah yang cukup signifikan terutama dalam merumuskan kebijakan dan
mengalokasi sumber-sumber pembangunan kesejahteraan sosial dalam
pemenuhan kebutuhan dasar penyandang masalah sosial.
Di Indonesia sejak lama telah dikenal nilai-nilai budaya yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam mengatasi masalah kemiskinan dan
permasalahan sosial lainnya. Nilai-nilai budaya tersebut tercermin dalam berbagai
adat atau kebiasaan masyarakat dan dalam pergaulan sehari-hari. Perilaku sosial
tersebut dapat menjadi ciri khas masyarakat, walaupun falsafah nilai budayanya
dapat juga berlaku universal bagi masyarakat di berbagai propinsi di Indonesia.
Perubahan sosial yang begitu pesat dalam dekade akhir-akhir ini,
mengakibatkan adanya pergeseran nilai budaya masyarakat; sebagai dampak
dari kemajuan ekonomi, teknologi, dan informasi. Pertumbuhan ekonomi nasional
yang begitu tinggi berpengaruh terhadap perubahan sosial dan budaya
masyarakat. Muncul masyarakat yang heterogen sebagai akibat dari mobilitas
penduduk yang tinggi dari propinsi lain. Nilai-nilai kesetiakawanan sosial di
daerah-daerah yang pesat pertumbuhan ekonominya atau dapat disebut juga
daerah perkotaan mengalami penurunan dan kurang lagi dirasakan oleh
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Ciri masyarakat yang aktivitas
perekonomiannya sangat maju, terutama di perkotaan, cenderung memiliki ciri
solidaritas sosial yang mekanik. Ikatan profesi cenderung lebih kuat daripada
ikatan komunal di masyarakat.
Dalam kurun waktu lima tahun ke depan diprediksikan Indonesia masih berada
dalam kondisi rentan untuk krisis kembali yang dapat mengakibatkan bangsa
Indonesia mengalami keterpurukan yang semakin mendalam. Tampaknya sangat
tidak diharapkan, jika krisis kembali datang, akibatnya masyarakat semakin tidak
berdaya dan rentan terhadap timbulnya berbagai kerusuhan sosial, penjarahan,
tindak kejahatan atau perilaku menyimpang lainnya. Selain itu kelompok yang
semakin sengsara, miskin, terbelakang, kelaparan, kekurangan gizi dan berbagai
kondisi rawan lainnya akan meningkat dan berdampak menurunnya fungsi-fungsi
sosial di masyarakat.
Dalam menghadapi situasi demikian, suatu kenyataan dilematis harus dihadapi
yaitu keterbatasan kemampuan keuangan negara pada satu sisi dan besarnya
permasalahan yang harus ditangani pada sisi lainnya. Kalaupun ada peningkatan
anggaran, bukan bersumber dari pendapatan nasional tetapi tergantung pada
32

pinjaman luar negeri, seperti sumber untuk Program Jaring Pengaman Sosial
(JPS) yang merupakan dana pinjaman dari IMF. Menghadapi kondisi demikian,
maka strategi pembangunan sosial secara struktural harus mengalami perubahan
dari pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dan pemerataan ke arah
pembangunan yang berpusat pada rakyat dengan memberikan peran yang lebih
besar pada masyarakat untuk membangun dirinya atas dasar kekuatan yang
dimilikinya. Sementara itu pemerintah bertanggung jawab untuk menciptakan
peluang dan kondisi yang kondusif bagi tumbuh-kembangnya peran serta
masyarakat. Dalam hal ini pemberdayaan merupakan salah satu strategi dalam
pembangunan yang berpusat pada rakyat.
Berkaitan dengan hal tersebut beberapa hal yang membutuhkan pengkajian
mendalam adalah belajar dari pengalaman (retrospeksi) dengan mengambil butir-
butir kebijakan atau program atau kegiatan yang memberikan manfaat dan tidak
mengulangi lagi kesalahan yang tidak diharapkan sesuai dengan esensi dari
reformasi dalam pembangunan sosial; mengoptimalkan sumber daya yang ada dan
tidak bertumpu pada sumber APBN dan Pinjaman Luar Negeri, tetapi sumber
daya masyarakat melalui penciptaan mekanisme pemberdayaan yang tepat;
memantapkan program atau proyek atau kegiatan yang berbasiskan masyarakat
dan telah memberikan manfaat langsung bagi masyarakat; melakukan berbagai
penyempurnaan kebijakan dan program yang sesuai dengan harapan masyarakat
dan kondisi krisis; dan melakukan berbagai program terobosan dan inovasi.
Upaya yang bersifat strategis diarahkan pada pemberdayaan masyarakat
sebagai strategi dalam pembangunan partisipatif atau pembangunan yang
berpusat pada rakyat sebagai salah satu wujud nyata program penyelamatan dan
pemulihan dan sebagai landasan untuk mencapai kembali taraf kesejahteraan
masyarakat yang pernah dialami sebelum masa krisis.
Peningkatan kemitraan dengan infra struktur sosial seperti Lembaga-lembaga
Adat, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Sosial, dunia usaha dan
masyarakat, kearah terwujudnya hubungan kemitraan yang harmonis dan serasi
dengan Pemerintah dalam pembangunan sosial. Masyarakat sebagai sumber
sosial diharapkan akan semakin mengambil peran sebagai subjek pembangunan.
Sejalan dengan perkembangan kemampuan masyarakat dalam pembangunan,
maka ‘campur tangan’ pemerintah baik di pusat maupun di daerah diharapkan
akan menjadi seminimal mungkin dan diupayakan untuk makin menumbuhkan
peran aktif masyarakat seluas mungkin. Dalam kaitan ini kegiatan pembangunan
yang dapat dilakukan oleh masyarakat harus diserahkan dan diselenggarakan
sendiri oleh masyarakat lokal. Apabila belum dapat dilakukan oleh masyarakat
maka dibantu pelaksanaannya dengan didampingi oleh pekerja sosial atau tenaga
profesional yang berperan sebagai fasilitator, dinamisator dan peran lain dalam
pemberdayaan masyarakat. Restrukturisasi peran pelaku pembangunan pada
tingkat mikro, menengah dan makro menjadi penting untuk segera dilaksanakan.
Pendekatan berbasiskan komunitas ini merupakan pendekatan yang bersifat
komprehensif yang diarahkan pada pemberdayaan keluarga miskin melalui
pendekatan partisipatoris yang melibatkan seluruh komponen komunitas.
Pendekatan ini diarahkan untuk mempersatukan seluruh segmen komunitas dalam
33

mengatasi permasalahan sosial di lingkungannya, termasuk masalah yang dialami


anak jalanan, masalah kemiskinan dan masalah lingkungan.
Pada umumnya LSM yang melaksanakan pendekatan ini mempunyai tujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan komunitas melalui aktivitas
pembelajaran, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat sehingga dapat
memenuhi kebutuhannya, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan untuk
memperbaiki kualitas hidup (pendidikan, pendapatan, kesehatan, lingkungan,
religi, seni dan budaya), dan membentuk ketahanan sosial anggota komunitas
untuk kelangsungan pembangunan pada tingkat komunitas dan pembangunan
seluruh masyarakat. Sasarannya adalah seluruh anggota masyarakat dalam satu
kesatuan komunitas lokal.
Kegiatan yang dilaksanakan ditentukan oleh anggota komunitas itu sendiri
sesuai dengan hasil identifikasi permasalahan dan kebutuhan. Oleh karena itu
strategi pemberdayaan masyarakat secara partispatif menjadi dominan digunakan.
Teknik-teknik partisipatif seperti Participatory Urban Appraisal (PUA)
digunakan untuk yang menekankan pada proses dialog, penemuan dan
pengembangan bersama. Secara umum komponen program yang dikelola LSM
terdiri atas: pendidikan, keterampilan kerja, pelayanan informasi, rekreasi,
kesehatan dan sanitasi lingkungan, perbaikan kualitas hidup, religi dan aktualisasi
budaya lokal.
Berdasarkan uraian tersebut program-program pemberdayaan yang
diprakarsai pemerintah dan LSM yang sama-sama mengaku mengggunakan
strategi pemberdayaan masyarakat, tetapi pada tahap pelaksanaan menjadi sangat
berbeda, termasuk elemen-elemen yang mempengaruhinya, karena struktur dan
mekanisme kedua program tersebut tampak berbeda.
Dengan demikian, istilah pemberdayaan masyarakat telah digunakan secara
luas oleh berbagai lapisan masyarakat, seperti oleh pembuat kebijakan, kalangan
praktisi pelaksana program atau proyek, petugas sosial, dan kelompok
profesional. Berbagai aktivitas yang menamakan gerakan, program, proyek dan
kegiatan pemberdayaan telah dilaksanakan oleh pemerintah secara nasional;
antara lain : Program Inpres Desa Tertinggal, Program Takesra atau Kukesra,
Program Kelompok Usaha Bersama (KUBE), Program Kridit Lunak, Program
Jaring Pengaman Sosial, dan Program Penanganan Kemiskinan di Perkotaan
(P2KP). Di daerah, gerakan pemberdayaan juga telah dicanangkan oleh
pemerintah, seperti Gerakan Rereongan Sarupi di Jawa Barat; dan Program
Keberdayaan Masyarakat yang dilaksanakan oleh LSM dalam penanganan
masalah kemiskinan di perdesaan dan perkotaan.
Demikian juga oleh lembaga donor, seperti UNICEF dan UNDP juga telah
mendukung program-program participatory community empowerment melalui
LSM yang ditujukan bagi kelompok masyarakat miskin dan rentan (vulnerable
group). Secara internasional, World Bank dan Asian Development Bank dalam
memberikan dukungan dana bagi program pengembangan masyarakat (community
development) juga telah menekankan pentingnya partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat sejak tahun 1990-an. Kalangan ilmuwan dari perguruan tinggi juga
telah mendiskusikan konsep pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perpektif
ilmu-ilmu sosial ekonomi, budaya dan politik.
34

Model pembangunan yang berpusat pada rakyat lebih menekankan kepada


pemberdayaan (empowerment), yang memandang inisiatif kreatif dari rakyat
sebagai sumber daya pembangunan utama dan memandang kesejahteraan material
dan spiritual mereka sebagai tujuan yang dicapai oleh proses pembangunan.
Pemberdayaan menurut McArdle (1989) diartikan sebagai proses
pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara konsekuen melaksanakan
keputusan tersebut. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif melalui
kemandiriannya termasuk diberdayakan, bahkan mungkin lebih diberdayakan
melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, ketrampilan serta
sumber lainnya, dalam rangka mencapai tujuan mereka sendiri tanpa tergantung
pertolongan dari hubungan eksternal. Namun demikian, McArdle
mengimplikasikan hal tersebut bukan untuk mencapai tujuan, melainkan
pentingnya proses dalam pengambilan keputusan.
Partisipasi merupakan komponen penting didalam kemandirian dan proses
pemberdayaan (Craig and Mayo, 1995). Sebaiknya orang-orang terlibat dalam
proses tersebut sehingga mereka lebih memperhatikan hidupnya, untuk
memperoleh rasa percaya diri, serta memiliki rasa harga diri dan pengetahuan
untuk mengembangkan keahlian baru. Prosesnya secara kumulatif, semakin
banyak keterampilan, semakin bisa seseorang itu untuk mampu berpartisipasi,
juga semakin banyak yang diperolehnya.
Dilain pihak, sistem sosial budaya yang beragam sebagai potensi dalam
pembangunan masyarakat kurang dimanfaatkan secara optimal, sehingga
masyarakat cenderung kurang responss dan kreatif dalam membangun dirinya
atau mengalami ketidakberdayaan (powerless) dalam menghadapi perubahan dan
masalah sosial yang ditimbulkan akibat adanya krisis ekonomi.
Berdasarkan hasil kajian penulis tentang potensi yang dimiliki masyarakat
Jawa Barat, Bali dan Sumatra Barat (khususnya Kodya Tanah Datar), seperti :
gotong royong dan kesetiakawanan sosial, jika digerakkan dan digugah secara
sunggguh-sungguh, merupakan sumber daya bagi penanganan masalah
kemiskinan dan permasalahan sosial lainnya.
Bentuk program yang sudah ada, yang telah menjadi ciri khas pembangunan
sosial di Jawa Barat, seperti : Gerakan Rereongan Sarumpi, Gerakan Rereongan
Sapujaga dan Santri Raksa Desa; dengan ditindaklanjuti menjadi suatu paket
program yang berisi kegiatan secara terpadu dapat menjadi model program
penanganan masalah sosial dan kemiskinan serta peningkatan kualitas hidup
masyarakat di Jawa Barat. Demikian juga dengan sistem Banjar di Bali dan Pusek
Jalo Pumpunan Ikan di Kodya Tanah Datar, merupakan sumber daya lokal yang
tidak dapat diabaikan begitu saja dalam pemberdayaan masyarakat untuk
penanganan masalah kemiskinan dan masalah sosial lainnya.
Keanekaragaman sistem sosial budaya di Indonesia telah dikenal lama,
namun cenderung diabaikan dan mulai dilupakan oleh sebagian masyarakat
termasuk kalangan pemerintah yang telah melakukan perencanaan program
pembangunan dari atas dengan menggunakan pola penyeragaman strategi
pembangunan masyarakat.
Program penanganan masalah kemiskinan yang berasal dari pemerintah,
walaupun mengatasnamakan dan menggunakan strategi pemberdayaan
35

masyarakat, tampaknya tidak mempertimbangkan potensi masyarakat yang


bersumber dari sistem sosial budaya setempat. Program dirancang dan
dilaksanakan tanpa memberikan kepercayaan terhadap kemampuan masyarakat
agar dapat mengatasi masalah sosial di lingkungannya dengan inisiatif dan
kekuatan sendiri. Hal ini berbeda dengan program yang berasal dari LSM, yang
cenderung masih memberikan peluang besar bagi pendayagunaan potensi lokal,
seperti yang dilakukan oleh Al Hidayah Learing Centre, Urban Poor Consortium
dan Yayasan Rakyat Sejahtera. Hakekat dari kegiatan pemberdayaan yang
mendayagunakan potensi dan sumber lokal menurut Harry (2001: 162-163) yaitu:

Kegiatan pemberdayaan masyarakat diarahkan kepada upaya untuk


mendorong dan memobilisasi sumber-sumber sosial sehingga masyarakat
dapat menyatakan kebutuhan-kebutuhannya, menyampaikan pendapat-
pendapatnya dan dapat menggali serta memanfaatkan sumber-sumber lokal
yang tersedia. Dengan demikian masyarakat dapat terlibat aktif dalam
penanganan masalah mulai dari identifikasi masalah sampai dengan
menikmati hasilnya. Pengertian masyarakat (society) mengacu kepada
sekelompok orang yang belajar hidup dan bekerja bersama. Dari sudut
pandangan sistem, masyarakat merupakan suatu ‘holon’ (suatu konsep yang
menyatakan bahwa sistem dapat dipandang sebagai unit yang berdiri sendiri,
tetapi juga sekaligus dapat dipandang sebagai bagian dari sistem yang lebih
besar atau sebagai sub sistem).

Terjadinya ketidakberdayaan komunitas lokal, dapat merefleksikan adanya


sistem komunitas yang merupakan bagian dari sistem yang lebih besar. Dalam
keadaan sistem masyarakat yang lebih besar mengabaikan potensi yang tersedia di
dalam komunitas, sama juga dengan membuat keseimbangan sistem sosial
tersebut menjadi terganggu atau tidak membuat sistem sosial tersebut menjadi
stabil.
Pada dasarnya keberadaan orang-orang yang tinggal di pinggiran kompleks
membentuk suatu komunitas, seperti di Pekayon Jaya Bekasi, masih dijiwai oleh
nilai-nilai budaya di lingkungannya. Demikian juga komunitas yang tinggal di
kompleks perumahan, walaupun mereka berasal dari daerah yang berbeda,
cenderung masih memiliki nilai-nilai budaya universal yang mengikat kehidupan
mereka. Tatacara kehidupan yang dianut atau diikuti oleh kelompok orang yang
disebut komunitas menunjukkan kebudayaan sebagai faktor yang mengikat atau
mempersatukan kehidupan manusia dalam kelompok yang disebut komunitas
lokal dan komunitas kompleks perumahan.
Adat-istiadat, nilai-nilai dan moral sebenarnya merupakan potensi yang
seharus disadari dalam setiap kegiatan pemberdayaan. Keberhasilan Alhidayah
Learning Centre, yang memadukan nilai-nilai budaya kedua komunitas (pinggiran
dan kompleks perumahan) untuk membangkitkan nilai solidaritas, saling
membantu, saling menjaga ketertiban dan saling menyayangi; ternyata membuat
hubungan antara komunitas lokal yang tinggal di pinggiran dengan komunitas
kompleks perumahan menjadi mutualisme simbiosis atau hubungan yang saling
menguntungkan. Gejala ini sudah mulai nampak di Perumahan Wisma Asri
36

Bekasi yang juga menganggap komunitas lokal pinggiran perumahan merupakan


bagian dari komunitas yang lebih luas, yaitu komunitas Wisma Asri. Sejak tahun
2001, telah dilakukan kegiatan-kegiatan yang dilakukan bersama-sama mereka,
dan dalam perkembangannya terjalin hubungan yang semakin harmonis antara
penghuni kompleks perumahan dan komunitas lokal yang masih tinggal di
pinggiran-pinggiran kompleks perumahan.
Pendekatan pembangunan yang bertumpu pada rakyat mensyaratkan pula
transformasi struktur-struktur yang mensubordinasi dalam ekologi manusia, yang
telah demikian menindas masyarakat. Kondisi yang diperjuangkan adalah
kembalinya fungsi-fungsi masyarakat. Strategi pendekatan ini tidak akan dipakai
tanpa adanya organisasi lokal dan kelompok sejenis atau disebut Organisasi
Berbasis Komunitas atau Community Base Organizations (CBO’s). Karena itu
hal-hal penting yang akan digunakan oleh organisasi seperti itu adalah bukan saja
perubahan legal tetapi juga mobilisasi politik, peningkatan kesadaran, peningkatan
kapasitas, perbaikan manajemen pelayanan sosial dan pendidikan non-formal
melalui organisasi berbasis komunitas. Jika dikaitkan dengan potensi yang
dimiliki di lingkungan kompleks perumahan, maka keberadaan lembaga-lembaga
Majelis Taqlim, Badan Amil Zakat, Yayasan Sosial, Lembaga-lembaga
Pendidikan Agama, Koperasi Simpan Pinjam, telah lama dikenal sebagai CBO’s
yang mengatasi berbagai masalah kemasyarakatan.
Melalui organisasi berbasis komunitas inilah dapat diidentifikasikan
kebutuhan praktis dan strategis melalui cara-cara yang memperkuat organisasi
berbasis komunitas tersebut. Karena itu, penting melakukan kategorisasi
kebutuhan praktis dan strategis masyarakat untuk menghindari waktu sebagai
makro perubahan, karena perubahan jangka pendek belum menjamin transformasi
jangka panjang, dan pemenuhan kebutuhan praktis masyarakat tidak secara
otomatis berarti terpenuhinya kebutuhan strategis masyarakat.
Kebutuhan praktis itu ialah berbagai kebutuhan dasar manusia, sementara itu,
kebutuhan strategis mencakup kemampuan dasar untuk mengakses fasilitas
pelayanan sosial dan pemenuhan hak-hak individu, kelompok dan masyarakat
dalam mencapai kualitas hidup dan kesejahteraan sosial. Cara-cara untuk
memahami kebutuhan praktis dan strategis melalui organisasi lokal yang ada di
lingkungan komunitas dilakukan secara partisipatif. Hal inilah menjadi relevan
digunakan metode Participatory Research Appraisal dalam pemahaman masalah
sosial, potensi, kebutuhan dan membuat perencanaan bersama-sama komunitas
dalam wadah organisasi berbasis komunitas.
Latar belakang pemikiran partisipasi adalah program, proyek, atau kegiatan
pembangunan masyarakat yang datang dari atas atau dari luar komunitas yang
sering gagal dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. Praktisi
pembangunan juga sering mengalami frustasi terhadap kegagalan program
tersebut. Reorientasi ulang terhadap strategi pembangunan masyarakat muncul
dengan lebih mengedepankan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat sebagai
strategi dalam pembangunan masyarakat. Untuk itu diperlukan seperangkat
teknik_teknik yang dapat menciptakan kondisi adanya keberdayaan masyarakat
melalui proses pemberdayaan masyarakat secara partisipatif. Kusnaka dan Harry
(2001:14-15) menyatakan bahwa :
37

Masyarakat sebenarnya memiliki banyak potensi baik dilihat dari sumber-


sumber daya alam, maupun dari sumber-sumber sosial dan budayanya.
Masyarakat memiliki 'kekuatan' yang bila digali dan disalurkan akan
menjadi energi yang besar untuk pengentasan keluarga miskin. Cara
menggali dan mendayagunakan sumber-sumber daya yang ada pada
masyarakat inilah yang menjadi inti dari pemberdayaan masyarakat.

Di dalam pemberdayaan masyarakat yang penting adalah bagaimana


mendudukan masyarakat pada posisi pelaku pembangunan yang aktif, bukan
penerima pasif. Konsep gerakan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan.
mengutamakan inisiatif dan kreasi masyarakat. dengan strategi pokok memberi
kekuatan (power) kepada masyarakat.
Masyarakat yang lebih memahami kebutuhan dan permasalahannya harus
diberdayakan agar mereka lebih mampu mengenali kebutuhan-kebutuhannya.
merumuskan rencana-rencananya serta melaksanakan pembangunan secara
mandiri dan swadaya. Dengan kata lain gerakan pemberdayaan masyarakat
merupakan konsep pembangunan "dari, oleh, dan untuk" masyarakat. Partisipasi
warga masyarakat dalam melaksanakan gerakan pembangunan tersebut harus
selalu ditumbuhkan, didorong dan dikembangkan secara bertahap, ajeg, dan
berkelanjutan.
Jiwa partisipasi, warga masyarakat tersebut adalah semangat solidaritas
sosial, yaitu hubungan sosial yang selalu didasarkan pada perasaan moral
bersama, kepercayaan bersama dan cita-cita bersama.. Seluruh warga masyarakat
harus selalu bekerja lama, bahu membahu, saling membantu dan mempunyai
komitmen moral dan sosial yang tinggi. Sementara itu, untuk memasyarakatkan
gerakan pemberdayaan, ada beberapa aspek dan tingkatan yang perlu
diperhatikan, seperti perumusan konsep, penyusunan model, proses perencanaan,
pelaksanaan gerakan pemberdayaan, pemantauan dan penilaian hasil pelaksanaan
dan pengembangan pelestarian gerakan pemberdayaan.
Saat ini struktur dan keorganisasian organisasi berbasis komunitas dalam
pelaksanaan program penanganan masalah sosial dan kemiskinan cenderung
diabaikan peranannya. Cara-cara yang membuat ketergantungan terhadap sistem
yang diciptakan oleh pemrakarsa program, tidak membuat potensi lokal menjadi
sumber-sumber penyelesaian masalah sosial. Kondisi ini menunjukkan bahwa
masalah-masalah sosial tidak lagi menjadi masalah masyarakat lokal, tetapi telah
berubah menjadi masalah institusi sosial yang didirikan pemerintah atau lebih
luas lagi menjadi masalah departemen teknis atau dinas sosial. Dilain pihak, pola
penanganan masalah sosial yang dikembangkan pemerintah dilakukan dengan
mekanisme sentralistik dan kurang melibatkan peran aktif masyarakat. Hal ini
disebabkan sistem yang dibentuk lebih mengarah kepada organisasi yahng dibuat
oleh pemerintah dan cenderung eksklusif keberadaannya ditengah-tengah
kehidupan masyarakat, seperti membentuk Badan Pemberdayaan Masyarakat,
Program Implementation Unit (PIU), Kelompok Kerja, Forum Pemberdayaan
Rakyat Miskin, Panti Sosial.
Dalam kondisi adanya bentukan organisasi baru dari pemerintah, maka
sistem organisasi berbasis komunitas yang telah mengakar di masyarakat menjadi
38

terpengaruh perkembangannya, bahkan ada diantaranya dalam keadaan stagnasi


dan disorganisasi. Untuk itu diperlukan reaktualisasi peran dan fungsi organisasi
berbasis komunitas setempat melalui strategi pemberdayaan institusi tradisi /
pranata sosial lokal dalam mengatasi masalah-masalah sosial, termasuk masalah
kemiskinan yang melingkup komunitas lokal di sekitar pinggiran kompleks
perumahan.
Namun bagaimana pun dan pada saat kapan pun dimensi organisasi ini selalu
ada di dalam setiap kebudayaan. Pengertian organisasi di sini bukanlah
pengertian formal, melainkan mengacu kepada struktur suatu sistem sosial. Suatu
kebudayaan selalu memiliki struktur atau dalam keadaan terstruktur, dalam arti
bahwa di dalam setiap kebudayaan selalu ada sistem unsur-unsur yang saling
berinteraksi, dan jika terjadi perubahan pada salah satu unsur atau pola relasi
tertentu, maka perubahan tersebut akan mempengaruhi perubahan pada unsur-
unsur lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu,
pemberdayaan masyarakat yang dimaksud tidak hanya ditujukan secara langsung
mengatasi masalah sosial, tetapi sekaligus sebagai strategi dalam melakukan
perubahan struktur masyarakat atau mengaktualisasi sumber daya dan
kebudayaan lokal sesuai dengan struktur masyarakat yang belaku. Dalam
hubungannya dengan penanganan masalah kemiskinan, maka pemberdayaan
organisasi berbasis komunitas yang ada di suatu lingkungan, harus dikaitkan
dengan aspek kewilayahan. Hubungan antara konsep kebudayaan lokal,
desentralisasi dan kewilayahan dijelaskan oleh Harry (2001: 166-167) sebagai
berikut:
Dimensi kebudayaan lokal yang akhir-akhir ini mendapat perhatian agak
mendalam adalah aspek kewilayahan (territoriality) hubungannya dengan
kebijakan desentralisasi. Konsep ini mengacu kepada kecenderungan
manusia di dalam setiap sistem sosialnya untuk memperoleh dan
memelihara wilayah atau territorynya. Ada ahli-ahli yang mengartikan
territory sebagai keruangan (spacial), sedang beberapa ahli lainnya
mengaitkan konsep ini dengan aspek-aspek interaksional. Sebab itu dapat
disimpulkan bahwa konsep kewilayahan mengacu kepada kecenderungan
manusia untuk mengadakan batasan mengenai wilayah keruangan
(spacial)nya maupun wilayah interaksionalnya. Dalam kaitan dengan
pemberdayaan masyarakat, maka isu pemberdayaan organisasi berbasis
komunitas harus dikaitkan dengan aspek kewilayahan di lingkungan
kompleks perumahan.

Langkah awal yang perlu dilaksanakan yaitu menyadarkan atau


mengingatkan kembali masyarakat terhadap berbagai masalah kemasyarakatan
atau disebut melakukan konsientisasi terhadap komunitas di suatu lingkungan
untuk kembali memberikan respons dan sensitif terhadap adanya masalah-masalah
sosial dilingkungannya (retrospektif pengalaman kemasyarakatan) termasuk
menyadari bahwa adanya komunitas miskin yang tinggal di lingkungan sekitar
sebagai bagian dari mereka. Dalam kondisi masyarakat sadar akan masalah dan
potensi sosial yang dimiliki, maka proses pemecahan masalah melalui
pemberdayaan dapat dilakukan yang akhirnya diharapkan terjadinya aktualisasi
39

eksistensi organisasi lokal dalam mengatasi masalah kemiskinan dan masalah


sosial lainnya.
Aktualisasi organisasi berbasis komunitas akan diterima apabila kegiatan
berazaskan partisipatif dengan mengoptimalkan kelembagaan yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat yang turun temurun, artinya warga masyarakat
berpartisipasi dengan cara mereka sendiri mulai dari merencanakan, memutuskan,
melaksanakan, menikmati hasil dan mengevaluasi. Keikutsertaan masyarakat
mulai dari merencanakan sampai menilai hasilnya, akan menentukan keberhasilan
atau diterimanya organisasi berbasis komunitas lokal sebagai suatu institusi sosial
di tingkat meso. Artinya pilihan strategi pemberdayaan komunitas akan lebih tepat
jika diberikan kewenangan kepada organisasi berbasis kemunitas itu sendiri,
bukan diposisikan di tingkat pemerintah lokal (kelurahan, kecamatan atau dinas
yang terkait).

Kesimpulan

Berdasarkan kajian dan pembahasan tersebut, dapat disimpulkan beberapa hal


sebagai berikut:
1. Hakekat masalah kemiskinan, keterlantaran dan masalah sosial lainnya adalah
masalah yang terjadi di dalam lingkungan masyarakat lokal. Untuk itu
penanganan masalah sosial haruslah berbasiskan masyarakat, karena
masyarakat yang paling tahu kondisi permasalahannya. Kecenderungan
penanganan masalah sosial secara sentralistik dan sektoral mengakibatkan
masyarakat semakin tidak peduli terhadap masalah sosial yang berkembang di
lingkungannya.
2. Keanekaragaman sistem sosial budaya di Indonesia harus dipahami sebagai
potensi yang belum optimal dimanfaatkan dalam proses pembangunan
masyarakat, padahal sistem sosial budaya lokal merupakan modal sosial
(social capital) yang telah tumbuh dan berkembang secara turun menurun serta
masih berakar kuat di masyarakat.
3. Aktualisasi sistem sosial budaya lokal menjadi strategis didiskusikan kembali,
ketika Indonesia berada dalam alam demokrasi dan reformasi disegala bidang
pembangunan. Saat bangsa Indonesia mengalami keterpurukan akibat krisis
ekonomi, maka strategi pembangunan yang berpusatkan pada rakyat dengan
sendirinya membutuhkan perubahan dari karitas (charity) atau residual
menjadi pemberdayaan masyarakat.
4. Strategi pemberdayaan masyarakat berbasiskan sistem sosial budaya lokal
perlu diformulasikan secara tepat tanpa harus membuat pola-pola seragam
seperti pada masa orde baru. Jika ada pencanangan penanggulangan masalah
kemiskinan atau masalah sosial, perlu dibatasi sampai tahap mobilisasi sosial
atau penyadaran (konsientisasi) masyarakat. Adapun proses pemberdayaan
masyarakat itu sendiri harus dilimpahkan kepada masyarakat itu sendiri.
Pemerintah dalam hal ini lebih berperan sebagai fasilitator, mediator, sistem
pendukung, pengakses sumber sosial, dan peran-peran lain yang bersifat tidak
langsung (indirect services).
40

5. Strategi pembangunan masyarakat yang sensitif sistem sosial budaya setempat


di Indonesia dengan sendirinya akan beraneka ragam dan hal ini
membutuhkan kesadaran dari pemerintah untuk mereposisi fungsi dan peran
sebagai fasilitator pembangunan.

KEPUSTAKAAN

Craig, G & M. Mayo. 1995. Community Participation and Empowerment: The


Human face of Structural Adjustment or Tools for Demoratic Transformation
in Craig, G & Mayo, M (ed.) 1995. Community Empowerment: A Reader in
Participation and Development. London : Zed Books

Dubois and K. K. Miley. 1996. Social Work, An Empowering Profession. Boston:


Allyn and Bacon.

ESCAP. 1999. HRD Course for Poverty Alleviation. Bangkok : HRD Division.

Hanna, M. G and Robinson, B. 1994. Strategies for Communiy Empowerment:


Direct-Action and Transformative Approaches to Social Change Practice.
New York : The edwin Mellen Press.

Harry Hikmat dan Jusman Iskandar. 1995. Evaluasi Program Rereongan Sarupi
di Propinsi Jawa Barat. Bandung : Pemda Tk I Jawa Barat.

Harry Hikmat. 1995. Paradigma Pembangunan dan Implikasi dalam


Perencanaan Sosial. (tidak dipublikasikan). Jakarta : Universitas Indonesia.

_____________. 1996. Hubungan antara Pertumbuhan ekonomi dengan


Kemajuan Sosial di Propinsi DT I Jawa Barat (tesis). Jakarta : Universitas
Indonesia.

____________ 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung :


Humaniora Utama Press.

____________ 2002. Metode dan Teknik Penelitian, Pemetaan, dan


Pemberdayaan Masyarakat secara Partisipatif. (Makalah untuk pelatihan di
Depdiknas, Dep. Pertambangan dan Energi, Depsos, Pemda Jabar, LSM)

____________ 2002. Ketahanan Sosial : Konsep, Konstruks dan Indikator


(makalah diskusi pakar Depsos)

Haryono Suyono, 1998. Jaringan Pemberdayaan Sosial – Social Safety Net dalam
Pembangunan Keluarga Sejahtera
41

Kusnaka Adimihardja dan Harry Hikmat. 2000. PRA: Participatory Research


Appraisal dalam Pelaksanaan Pengabdian Kepada Masyarakat. Bandung:
Humaniora Utama Press.

MacArdle, J. 1989. Community Development Tools of Trade. Community


Quartely Journal. Vol 16.

Makmur & Harry. 2001. Evaluasi Program Jaring Pengaman Sosial. Jakarta :
Yashinta & Bappenas.

Onny S.P. dan A.M.W. Pranarka (ed). 1996. Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan
dan Implementasi. Jakarta: CSIS.

Pranarka dan Vidhyandika M. 1996. Pemberdayaan, dalam Onny S.P. dan


A.M.W. Pranarka (ed). 1996. Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan
Implementasi. Jakarta: CSIS.

Simon, B.L. 1990. Rethinking Empowerment. Journal of Progressive Human


Services, 1. 27-39.

Sumengen, Harry Hikmat, dan Tumpal. 2003. Perencanaan Partisipatif. Jakarta :


PT. Ciprus.

Yulfita Rahardjo, 1998. Social Safety Net dalam Perspektif Nasional dalam
Yulfita Rahardjo & Ingrid Kolb-Hindarmanto (ed.). Prosiding “Social Safety
Net”: Pengembangan, Konsep dan Aplikasinya. Jakarta : PPT LIPI &
UNICEF.

Anda mungkin juga menyukai