Kelompok Kerja
Nasional
Bappeda Fasilitator
Propinsi Propinsi
Kelompok Kerja
kabupaten
Fasilitator
Propinsi
Kalangan birokrat pada masa orde baru yang ingin menunjukkan semangat
penguasa untuk mengatasi masalah sosial sebagai dampak krisis, maka istilah
pemberdayaan didistorsikan sebagai upaya mendorong masyarakat untuk
menggunakan sumber-sumber yang disediakan oleh pemerintah dalam konteks
usaha ekonomi, dan juga ada kecenderungan sebagai suatu usaha menarik simpati
masyarakat bagi kepentingan politik atau elit politik tertentu terutama menjelang
Pemilu. Makna pemberdayaan diwarnai perspektif politik dan ekonomi daripada
perspekstif sosial dan budaya. Hal ini terlihat oleh adanya usaha untuk
memobilisasi masyarakat untuk memanfaatkan sumber yang datang dari atas
6
perindustrian dan koperasi, sedangkan untuk wanita tuna susila setelah digaruk
selanjutnya diseleksi dan dimasukkan ke panti sosial. Selain itu, ada juga daerah
dalam menangani masalah gepeng, dinas sosial melakukan penyuluhan-
penyuluhan bersama dengan orsos lokal serta membuat surat edaran misalkan ke
restoran untuk tidak memberikan uang ke gepeng.
Upaya secara lebih serius menggunakan strategi pemberdayaan masyarakat
dalam mengatasi masalah sosial di daerah, melalui suatu badan yang dibentuk
khusus untuk memberdayakan masyarakat, diberi nama Badan Pemberdayaan
Masyarakat (instruksi dari Departemen Dalam Negeri dan beberapa kota ada yang
merubah Dinas Sosial menjadi BPM atau digabung). Badan ini bekerjasama
dengan LSM dan kelompok-kelompok informal di tingkat lokal memberdayakan
masyarakat.
Pada umumnya, para pengambil keputusan memberi makna pemberdayaan
masyarakat yaitu pada pemberdayaan bidang ekonomi kerakyatan, dengan asumsi
apabila ekonomi meningkat maka kesejahteraan sosial juga akan meningkat.
Dilain pihak pembangunan infrastruktur juga sebagai bagian strategi yang
digunakan dalam penanganan masalah sosial. Ini juga yang diusulkan oleh
kecamatan dalam Rakorbang yang lebih memfokuskan pada pembangunan sarana
seperti jalan, sekolah, pemakaman, dan batas desa atau kelurahan. Adapun
bidang sosial budaya antara lain pemberdayaan sistem sosial budaya lokal, seperti
penguatan majelis taqlim, penyuluhan kenakalan remaja, latihan ketrampilan
remaja serta pembinaan pemuda dan olahraga. Selain itu pemberdayaan lembaga
keagamaan melalui masjid atau mushola dengan adanya gerakan pemberdayaan
umat melalui majelis taqlim atau yang sejenisnya bagi umat beragama selain
Islam.
Ada segelintir pengambil keputusan yang sudah memikirkan perlunya
pendekatan perlindungan HAM (tidak merasa sewenang-wenang atau
berdasarkan hak-hak) dalam penanganan masalah sosial, dengan merujuk
konvensi international seperti CEDAW (the Convention on the Elimination of
Discrimination Against Woman) dan Konvensi Hak Anak.
Berdasarkan temuan lapangan tersebut, nampak bahwa konsep
pemberdayaan karena sedang populer, maka dipakai begitu saja tanpa dipahami
hakekat dari konsep tersebut. Oleh karena itu, penggunaan istilah pemberdayaan
hanya merupakan “bungkus” dari suatu struktur program yang tidak berubah dari
kondisi sebelum penggunaan istilah pemberdayaan. Dengan kata lain
“pemberdayaan” hanya merupakan “kulit” saja dari suatu program.
Program-program pemberdayaan masyarakat dilakukan atas inisiatif
pemerintah (pusat, propinsi dan kota) cenderung dirancang dengan pola seragam
dan bersifat intsruksi dari atas yang harus dilaksanakan sesuai dengan Petunjuk
Pelaksanaan (JUKLAK) dan Petunjuk Teknis (JUKNIS), yang mencantumkan
kriteria persyaratan sasaran penerima layanan yang ketat. Masyarakat dalam hal
ini lebih sebagai objek pembangunan dan pelaksana program yang telah dirancang
sebelumnya oleh pemerintah. Pola Inpres Desa Tertinggal (IDT), Takesra atau
Kukesra, Kelompok Usaha Bersama, Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga
(UP2K), Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Program Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan (P2KP); merupakan contoh nyata dari strategi
10
Keterangan : hasil PRA dengan informan : ketua RT, ketua Al Hidayah CC, tokoh agama,
3 orang remaja mesjid, 2 orang ibu-ibu kompleks perumahan Pekayon
Waktu : 9 juli, 15 Agustus, 23 September 1999
Tabel 1. Potensi Majelis Taklim, Yayasan atau Orsos, Pesantren dan Panti
Asuhan di Kota Bekasi, tahun 1998
responden sebanyak 25 (dua puluh lima) orang; (2) Petugas Pengumpul Dana,
yang terdiri atas Ketua RT, Dasa Wisma, Karang taruna dan Unsur lainnya,
dengan jumlah total responden sebanyak 25 (dua puluh lima) orang; dan (3)
Warga masyarakat yang dijadikan tokoh dan bisa baca tulis, dengan jumlah total
responden sebanyak 50 (lima puluh) orang. Secara keseluruhan jumlah responden
yang memberikan informasi sebanyak 3648 orang. Beberapa informasi dari hasil
penelitian tersebut menarik untuk ditelaah untuk menjelaskan potensi sosial
budaya masyarakat Jawa Barat yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber
pembangunan kesejahteraan sosial.
Hasil penelitian tentang penerapan nilai-nilai budaya sunda dalam kehidupan
bermasyarakat (budaya rereongan) dapat terlihat dalam bentuk : (1) kerjasama;
(2) musyawarah; (3) kerukunan; (4) gotong royong; dan (5) kesetiakawanan
sosial/ saling tolong menolong antar anggota masyarakat. Adanya perubahan
sosial yang begitu pesat dalam dekade akhir-akhir ini, mengakibatkan adanya
pergeseran nilai budaya masyarakat; sebagai dampak dari kemajuan ekonomi,
teknologi, dan informasi. Pertumbuhan ekonomi nasional yang begitu tinggi
dengan pusat pertumbuhan di Propinsi Jawa Barat, berpengaruh terhadap
perubahan sosial dan budaya masyarakat. Muncul masyarakat yang heterogen
sebagai akibat dari mobilitas penduduk yang tinggi dari propinsi lain, maupun
imbasan penduduk dari ibukota DKI Jakarta. Nilai-nilai kesetiakawanan sosial di
daerah-daerah yang pesat pertumbuhan ekonominya (khususnya wilayah Botabek,
wilayah Priangan dan wilayah Cirebon) mengalami penurunan dan kurang lagi
dirasakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Di wilayah Botabek, Priangan dan Cirebon; hal tersebut sudah kurang
dirasakan lagi oleh masyarakat (berdasarkan ukuran indeks budaya = 0,48 atau
48%). Kondisi ini berbeda dengan wilayah Jawa Barat bagian selatan, masyarakat
menilai budaya rereongan tersebut masih kuat dirasakan dalam kehidupan sehari-
hari (indeks budaya = 0,79 atau 79%). Indeks budaya tersebut dihitung dalam
skala 0 s.d 1 (ranting scale), dengan ketentuan semakin mendekati 1 maka
semakin kuat penerapan nilai-nilai budaya sunda dalam kehidupan bermasyarakat
yang ditanyakan kepada responden; sedangkan semakin mendekati 0 maka
semakin berkurang penerapan nilai-nilai budaya sunda dalam kehidupan
bermasyarakat.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa wilayah yang aktivitas dan
pertumbuhan ekonominya tinggi, maka budaya rereongan semakin rendah.
Adanya disparitas ekonomi regional di wilayah Jawa Barat, cenderung
mempengaruhi terjadinya inkonsistensi antara pertumbuhan ekonomi dengan
penerapan nilai budaya rereongan dalam pembangunan kesejahteraan sosial
dewasa ini. Gambaran adanya hubungan negatif antara tingkat aktivitas ekonomi
yang didasarkan atas indikator Distribusi PDRB dengan indeks budaya dapat
dilihat pada diagram berikut ini :
18
90
80
81 83
70 78
73
60
50 58 59 57
40
30
20 27
22 24
3
10
11
6 7
0
Banten Botabek Sukab. Bdg. Raya Pri. Timur Cirebon Purwasuka
Gambar 2 . Distribusi PDRB (%) dan Indeks Budaya (%) di Propinsi Jawa Barat
(Sumber : PDRB : Susenas 1994; Indeks Budaya : Hasil Penelitian (N) = 3648 orang)
68 32
Faktor penghambat
Indeks Pengaruh
Kurang penyuluhan 3,94 tinggi
Kurang jelas cara 1,90 rendah
pengumpulan dana
Perilaku petugas 1,20 rendah
pengumpul dana
Kondisi geografis sulit 3,71 tinggi
Kurangnya Informasi 3,77 tinggi
penggunaan dana
Pergeseran nilai budaya 3,96 tinggi
Berkembang pemukiman 2,81 cukup
baru
Berkembang daerah 2,91 cukup
industri
Kurang pemahaman 4,12 sangat tinggi
budaya rereongan
Kurang tepat waktu 3 Cukup
pengumpulan dana
Di Propinsi Bali sejak lama dikenal daerah atau desa yang menggunakan
sistem banjar. Potensi yang dimiliki yaitu tersedianya bangunan bale banjar,
tempat warga banjar mengadakan musyawarah dan kegiatan-kegiatan
kemasyarakatannya lainnya. Bale banjar tersebut merupakan pusat kegiatan
masyarakat, dan pada umumnya terletak di tengah-tengah perumahan warga
banjarnya. Adanya penamaan desa atau kelurahan bagi satu kesatuan
komunitas di Bali tidak menjadi masalah yang berarti dapat merusak sistem sosial
budaya setempat, karena desa disesuaikan dengan banjar yang ada. Sistem banjar
ini sampai saat ini masih bertahan, karena beberapa faktor pendukung seperti
kesesuaian dengan sistem kekerabatan pratrilineal yang mengikat orang Bali
berdasarkan prinsip keturunan, adanya kesatuan adat dan upacara-upara
keagamaan yang keramat. Walaupun demikian sistem banjar ini tidak tertutup
bagi warga pendatang atau terbuka bagi warga yang lahir di banjar yang lain.
Semua itu merupakan satu kesatuan kehidupan yang harmonis.
Pola kepemimpinan di desa-desa Bali juga menarik untuk dikaji, karena
kepala desa/ kelurahan pada umumnya adalah tokoh masyarakat yang juga telah
dikenal sebagai kepala banjar atau disebut kliang. Jika ada yang menjadi kepala
banjar bukan sebagai kepala kelurahan, terjadi di kelurahan-kelurahan yang telah
berkembang menjadi pusat kota, seperti yang terjadi di Denpasar.
Masyarakat sangat menghormati kewenangan kliang dalam mengatur
kegiatan kemasyarakatan, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan hukum adat
tanah, masalah pertanian dan irigasi (menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan
administrasi sistem subak), masalah ketersediaan pangan, penanganan masalah-
masalah sosial, dll. Dalam hal sistem subak, kewenangan pengelolaan diatur
tersendiri oleh klian subak, karena pengaturan subak belum tentu satu banjar.
Dalam satu subak dapat terjadi merupakan gabungan dari beberapa banjar.
Walaupun kewenangan pengelolaan tidak diatur sama oleh satu pimpinan
masyarakat, namun antara klian subak dan klian banjar terdapat hubungan yang
harmonis yang diikat oleh kesamaan adat istiadat.
Organisasi kemasyarakatan lainnya yang potensial dalam pembangunan
masyarakat, yaitu seka. Seka truna, misalnya merupakan perkumpulan pemuda
yang memiliki kegiatan olah raga, tari, seni lukis, seni patung, dan lain-lain. Para
pemuda itu juga aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan lainnya, misalnya
dalam upacara-upacara keagamaan dan gotong royong membangun fasilitas
sosial. Ikatan antar pemuda tersebut jauh lebih kuat dari pada ikatan pemuda yang
dibentuk pemerintah, yaitu Karang Taruna. Seka-seka truna dibeberapa wilayah
di Bali tidak mempersoalkan kehadiran karang taruna, bahkan yang dimaksud
karang taruna di Bali disebut seka truna itu. Namun demikian seperti halnya klian
banjar hubungannya dengan kepala kelurahan, maka seka truna juga ada yang
berbeda dengan karang taruna. Kondisi ini, merupakan gejala bahwa perubahan
sosial yang dibawa pemerintah yang cenderung top down seringkali setelah
dimasyarakat harus diformat sama dengan sistem yang sama juga dan tidak
sensitif terhadap keanekaragaman budaya lokal yang sebenarnya sudah memiliki
28
pranata sosial kebudayaan yang esensinya sama dengan yang dimaksud dari pihak
pemerintah.
Keberadaan dan terpeliharanya pranata sosial yang berbasiskan adat istiadat
inilah yang membuat masyarakat Bali terkenal dengan kegiatan gotong
royongnya. Sistem gotong royong masyarakat Bali berlaku dalam berbagai
kegiatan, seperti ngoupin, ngedeng, dan ngayang.
Ngoupin merupakan kegiatan gotong royong dalam kegiatan bertani
(menanam, menyiangi, memanen), membangun rumah warga dan fasilitas air
bersih (sumur), perayaan perkawinan, upacara-upacara keluarga (khususnya
kematian). Saling membantu antar keluarga dalam berbagai kegiatan merupakan
ciri khas masyarakat Bali. Namun demikian, seiring dengan perubahan jaman dan
modernisasi, sistem ini mulai pudar terutama di daerah perkotaan. Model
pengupahan tenaga kerja, sistem borongan membangun rumah, pengairan dengan
sistem ledeng (PAM), kehadiran perusahan jasa katering untuk kegiatan
perkawinan, dll.; telah merubah sistem gotong royong tersebut. Solidaritas antar
warga mulai pudar digantikan dengan sistem kontraktual atas dasar kesepakatan
harga, kesepakatan pekerjaan yang akan dihasilkan, sistem pembayaran dalam
menggunakan jasa, dan berlakunya mekanisme pasar yang bersifat mekanistik dan
didasarkan atas untung rugi.
Hal sama juga terjadi pada ngedeng, yang dulunya merupakan sarana untuk
menghubungkan antar seka. Misalnya, jika ada upacara perkawinan, maka seka
truna dan seka gamelan akan bergabung untuk mememeriahkan upacara tersebut.
Kondisi ini sudah berubah, terutama di perkotaan; karena antar seka sudah berlaku
sistem pembayaran jual beli jasa. Hal ini tidak berarti tidak boleh dilakukan,
namun ngedeng harus tetap dipelihara sebagai salah satu potensi budaya
masyarakat Bali dan jangan sampai kehilangan esensinya dalam kehidupan
bermasyarakat akibat hubungan yang bersifat materialistis.
Sistem ngayah atau ngayang, juga mengalami pergeseran makna. Ngayah
sekarang ini lebih diartikan kegiatan gotong royong untuk kepentingan
pemerintah, lebih khususnya lagi dimanfaatkan untuk kepentingan partai politik
tertentu. Istilah kerja bakti yang digunakan untuk memobilisasi masyarakat
menjadi campur baur dengan sistem ngayah yang dimaksud masyarakat Bali. Bagi
masyarakat bali, ngayah tumbuh untuk kegiatan gotong royong membangun kuil
atau pure. Kesadaran masyarakat secara spontan muncul bila ada kegiatan
pembangunan sarana keagamaan. Potensi ini tidak salah dimanfaatkan oleh
pemerintah dalam kegiatan kerja bakti, dengan cara-cara yang tetap peka terhadap
budaya lokal. Adanya kepentingan tertentu yang bernuansa politis dan ketakutan
aparat terhadap pimpinan yang lebih atas, justru merusak institusi tradisi
masyarakat Bali yang sudah lama tumbuh dan terpelihara oleh masyarakat Bali itu
sendiri. Tokoh-tokoh masyarakat Bali yang masih kuat menjaga sistem sosial
budaya lokal, sangat kecewa dengan adanya upaya mempolitisir sistem sosial
budaya mereka yang sudah terpelihara secara turun temurun. Adanya gerakan
reformasi di segala bidang pasca krisis, diharapkan menyadarkan semua pihak
bahwa ngayah harus dikembalikan untuk kepentingan masyarakat.
Dibandingkan dengan propinsi-propinsi lain di Indonesia, maka kebudayaan
Bali masih relatif terpelihara, dalam beberapa segi kehidupan, antara adat istiadat,
29
keagamaan dan perilaku sosial budaya terdapat hubungan yang masih harmonis,
didukung dengan pengembangan pariwisata yang juga berbasiskan potensi budaya
setempat. Kondisi ini yang merupakan faktor pendukung Propinsi bali
menyatakan bahwa tidak ada masyarakat termasuk kategori Pra Sejahtera
(kategori kemiskinan dari Meko Kesra dan Taskin). Terlepas dari akurat tidaknya
data tersebut, namun kondisi objektif di masyarakat masih dapat
dipertanggungjawabkan terutama dari ukuran terpenuhinya kebutuhan dasar
minimal (subsistence level). Hal-hal yang mengkhawatirkan, justru adanya gejala
degradasi moral kalangan remaja (misal : mabuk-mabukan, kehidupan seks bebas,
homoseksual, dll.) akibat pengaruh budaya asing. Dalam hal ini pendekatan
agama akan merupakan potensi yang dioptimalkan dalam menangkal pengaruh
budaya asing ke masyarakat Bali, terutama pengaruh terhadap kalangan remaja.
Analisis Kritis
pinjaman luar negeri, seperti sumber untuk Program Jaring Pengaman Sosial
(JPS) yang merupakan dana pinjaman dari IMF. Menghadapi kondisi demikian,
maka strategi pembangunan sosial secara struktural harus mengalami perubahan
dari pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dan pemerataan ke arah
pembangunan yang berpusat pada rakyat dengan memberikan peran yang lebih
besar pada masyarakat untuk membangun dirinya atas dasar kekuatan yang
dimilikinya. Sementara itu pemerintah bertanggung jawab untuk menciptakan
peluang dan kondisi yang kondusif bagi tumbuh-kembangnya peran serta
masyarakat. Dalam hal ini pemberdayaan merupakan salah satu strategi dalam
pembangunan yang berpusat pada rakyat.
Berkaitan dengan hal tersebut beberapa hal yang membutuhkan pengkajian
mendalam adalah belajar dari pengalaman (retrospeksi) dengan mengambil butir-
butir kebijakan atau program atau kegiatan yang memberikan manfaat dan tidak
mengulangi lagi kesalahan yang tidak diharapkan sesuai dengan esensi dari
reformasi dalam pembangunan sosial; mengoptimalkan sumber daya yang ada dan
tidak bertumpu pada sumber APBN dan Pinjaman Luar Negeri, tetapi sumber
daya masyarakat melalui penciptaan mekanisme pemberdayaan yang tepat;
memantapkan program atau proyek atau kegiatan yang berbasiskan masyarakat
dan telah memberikan manfaat langsung bagi masyarakat; melakukan berbagai
penyempurnaan kebijakan dan program yang sesuai dengan harapan masyarakat
dan kondisi krisis; dan melakukan berbagai program terobosan dan inovasi.
Upaya yang bersifat strategis diarahkan pada pemberdayaan masyarakat
sebagai strategi dalam pembangunan partisipatif atau pembangunan yang
berpusat pada rakyat sebagai salah satu wujud nyata program penyelamatan dan
pemulihan dan sebagai landasan untuk mencapai kembali taraf kesejahteraan
masyarakat yang pernah dialami sebelum masa krisis.
Peningkatan kemitraan dengan infra struktur sosial seperti Lembaga-lembaga
Adat, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Sosial, dunia usaha dan
masyarakat, kearah terwujudnya hubungan kemitraan yang harmonis dan serasi
dengan Pemerintah dalam pembangunan sosial. Masyarakat sebagai sumber
sosial diharapkan akan semakin mengambil peran sebagai subjek pembangunan.
Sejalan dengan perkembangan kemampuan masyarakat dalam pembangunan,
maka ‘campur tangan’ pemerintah baik di pusat maupun di daerah diharapkan
akan menjadi seminimal mungkin dan diupayakan untuk makin menumbuhkan
peran aktif masyarakat seluas mungkin. Dalam kaitan ini kegiatan pembangunan
yang dapat dilakukan oleh masyarakat harus diserahkan dan diselenggarakan
sendiri oleh masyarakat lokal. Apabila belum dapat dilakukan oleh masyarakat
maka dibantu pelaksanaannya dengan didampingi oleh pekerja sosial atau tenaga
profesional yang berperan sebagai fasilitator, dinamisator dan peran lain dalam
pemberdayaan masyarakat. Restrukturisasi peran pelaku pembangunan pada
tingkat mikro, menengah dan makro menjadi penting untuk segera dilaksanakan.
Pendekatan berbasiskan komunitas ini merupakan pendekatan yang bersifat
komprehensif yang diarahkan pada pemberdayaan keluarga miskin melalui
pendekatan partisipatoris yang melibatkan seluruh komponen komunitas.
Pendekatan ini diarahkan untuk mempersatukan seluruh segmen komunitas dalam
33
Kesimpulan
KEPUSTAKAAN
ESCAP. 1999. HRD Course for Poverty Alleviation. Bangkok : HRD Division.
Harry Hikmat dan Jusman Iskandar. 1995. Evaluasi Program Rereongan Sarupi
di Propinsi Jawa Barat. Bandung : Pemda Tk I Jawa Barat.
Haryono Suyono, 1998. Jaringan Pemberdayaan Sosial – Social Safety Net dalam
Pembangunan Keluarga Sejahtera
41
Makmur & Harry. 2001. Evaluasi Program Jaring Pengaman Sosial. Jakarta :
Yashinta & Bappenas.
Onny S.P. dan A.M.W. Pranarka (ed). 1996. Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan
dan Implementasi. Jakarta: CSIS.
Yulfita Rahardjo, 1998. Social Safety Net dalam Perspektif Nasional dalam
Yulfita Rahardjo & Ingrid Kolb-Hindarmanto (ed.). Prosiding “Social Safety
Net”: Pengembangan, Konsep dan Aplikasinya. Jakarta : PPT LIPI &
UNICEF.