ID Teori Maqashid Syaraah Perspektif Al Syatibi
ID Teori Maqashid Syaraah Perspektif Al Syatibi
AL-SYATIBI
Moh. Toriquddin
Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
moh.toriquddin@gmail.com
Abstrak
The discourse surrounding the theory maqâshid syarî‟ah is still worth doing it aims
to understand who far Islamic law is in line with the progress of time. Theory
maqâshid syarî‟ah Syathibi globally based on two things: the problems ta'lil (legal
determination based illat), and al-mashâlih wa al-mafâsid (benefit and damage).
Furthermore, he explains how to determine maqâshid with six ways: goals syari'ah
must be in accordance with the Arabic language, commands and prohibitions
syarî‟ah understood as ta'līl (have illat) and ḍahiriyah (text what it is), maqâshid al-
ashliyah (origin destination) wa al-maqâshid al-tabi'iyyah (destination followers),
sukut al-syâri‟ (silence syâri‟), al-istiqra' (theory of induction), looking for clues of
the Companions of the Prophet. For operating of ijtihad al- maqâshidy, Syathibi
requires four conditions as follows: texts and laws depending on the goal, collecting
between kulliyât al-'âmmah and specific arguments, bring benefit and prevent
damage to the absolute and considering the result of a law.
Perbincangan seputar teori maqâshid syarî‟ah hingga kini masih layak untuk
dilakukan hal ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana syariat Islam sejalan
dengan kemajuan zaman. Teori maqâshid syarî‟ah Syathibi secara global didasarkan
pada dua hal yaitu masalah ta‟lil (penetapan hukum berdasarkan illat), dan al-
mashâlih wa al-mafâsid (kemashlahâtan dan kerusakan). Selanjutnya ia menjelaskan
cara untuk mengetahui maqâshid dengan enam cara yaitu: tujuan syariah harus sesuai
dengan bahasa arab, perintah dan larangan syarî‟ah dipahami sebagai ta‟lil
(mempunyai illat) dan dzahiriyah (teks apa adanya), maqâshid al-ashliyah (tujuan
asal) wa al-maqâshid al-tabi'iyyah (tujuan pengikut), sukut al-syâri‟ (diamnya
syâr‟i), al-istiqra‟ (teori induksi), mencari petunjuk para sahabat Nabi. Untuk
operasionalisasi ijtihad al-maqâshidy, Syathibi mensyaratkan empat syarat sebagai
berikut: teks-teks dan hukum tergantung pada tujuannya, mengumpulkan antara
kulliyât al-'âmmah dan dalil-dalil khusus, mendatangkan kemashlahâtan dan
mencegah kerusakan secara mutlak dan mempertimbangkan akibat suatu hukum.
33
34 | de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 1, Juni 2014, hlm. 33-47
muqaddasah (teks-teks suci) dari al-Qur‟an dihubungkan dengan nama sebuah tempat di
dan al-Sunnah yang mutawâtir yang sama Spanyol bagian timur, yaitu Sativa atau
sekali belum dicampuri oleh pemikiran Syatiba (Arab), yang asumsinya al-Syatibi
manusia. Muatan syarî‟ah dalam arti ini lahir atau paling tidak pernah tinggal di sana.
mencakup aqidah, amaliyyah, dan Dia meninggal pada hari Selasa tanggal 8
khuluqiyyah. 2
sya‟ban tahun 790H atau 1388 M dan
Secara terminologi, maqâshid al- dimakamkan di Granada.
syarî‟ah dapat diartikan sebagai nilai dan Ia mengawali pendidikannya dengan
makna yang dijadikan tujuan dan hendak belajar tata bahasa dan sastra Arab kepada
direalisasikan oleh pembuat Syariah (Allah Abu Abd Allah Muhammad bin Ali al-
swt) dibalik pembuatan Syariat dan hukum, Fakhkhar, seorang pakar tata bahasa di
yang diteliti oleh para ulama‟ mujtahid dari Andalusia. Pengalaman tinggal bersama
teks-teks Syariah. 3 Al-Shathibi membagi gurunya sampai dengan tahun 754 H/ 1353 M
maqâshid menjadi dua: tujuan Allah (qashdu dan tentang pelajaran-pelajaran yang
al-Syâri‟) dan tujuan mukallaf (qashdu al- didapatnya terrekam dalam kitab yang
mukallaf). Tujuan Allah (qashdu al- Syâri‟) disusunya yang berjudul al-Ifâdât wa al-Irsyâ
terbagi menjadi empat bagian: Pertama; dât atau Insyâ‟at. Dari kitabnya ini dapat
qashdu al- Syâr‟i fi wadl‟i al-syarî‟ah dilihat bahwa al-Syatibi mengusai ilmu
(tujuan Allah dalam menetapkan hukum). bahasa dan sastra dengan cukup qualified.
Kedua; qashdu al- Syâr‟i fi wadl‟i al- Guru bahasanya yang kedua adalah Abu al-
syarî‟ah li al-ifhâm (tujuan Allah dalam Qasim al-Syarif al-Sabti (760 H/ 1358 M),
menetapkan hukum adalah untuk difahami). ketua hakim di Granada.
Ketiga; qashdu al- Syâr‟i fi wadl‟i al- Mulai belajar fikih pada tahun 754 H/
syarî‟ah li al-taklîf bi muqtadlâha (tujuan 1353 M, al-Syatibi berguru kepada Abu
Allah dalam menetapkan hukum adalah untuk Sa‟adah Ibn Lubb yang kepada orang inilah
ditanggung dengan segala konsekwensinya). hampir seluruh pendidikan ke-fikih-annya
Keempat; qashdu al-Syâr‟i fi dukhûli al- diselesaikan. Ibn Lubb adalah fakih yang
mukallaf tahta ahkâmi al-syarî‟ah (tujuan terkenal di Andalusia dengan tingkat ikhtiyâr,
Allah ketika memasukkan mukallaf pada atau keputusan melalui pilihan dalam fatwa.
hukum syarî‟ah). Sedangkan yang Sejarah pendidikan al-Syatibi banyak
berhubungan dengan tujuan mukallaf (qashdu diwarnai oleh sarjana-sarjana terkemuka di
al-mukallaf) Shathibi hanya membahas Granada dan para diplomat yang mengunjungi
beberapa masalah saja. Pada tulisan ini Granada. Di antara sarjana tersebut yang perlu
pembahasan akan difokuskan pada teori disebutkan adalah Abu Abd Allah al-Maqqari
maqâshid syarî‟ah menurut al-Syatibi. yang datang ke Granada pada tahun 757 H/
Dengan harapan agar bisa mengetahui 1356 M karena diutus oleh Sultan Banu
karakteristik dan keunikan teori tersebut. Marin sebagai diplomat. Interaksi
intelektualitasnya dengan Maqqari diawali
Biografi al-Syatibi dengan diskursus Razisme dalam ushul fikih
Al-Syatibi adalah filosof hukum Islam Maliki. Maqqari juga orang yang
dari Spanyol yang bermazhab Maliki. Nama mempengaruhinya dalam tasawuf.
lengkapnya, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Dua guru al-Syatibi yang
Muhammad al-Lakhmi al-Syatibi. Tempat memperkenalkannya kepada filsafat, ilmu
dan tanggal lahirnya tidak diketahui secara kalam dan ilmu-ilmu lain yang dikenal dalam
pasti, namun nama al-Syatibi sering klasifikasi ilmu pengetahuan Islam yakni ilmu
pengetahuan tradisional, al-„Ulûm al-
2
Naqliyyah adalah Abu Ali Mansur al-Zawawi
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqāṣid al-Syarī‟ah dan al-Sharif al-Tilimsani (W 771 H/ 1369M).
Menurut al-Shatibi, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo
Persada, 1996), h. 61.
Abu Ali Mansur al-Zawawi datang ke
3
Jasser Auda, Fiqh al- Maqāṣid Ināṭat al-Ahkām bi Granada pada tahun 753 H/ 1352 M. Namun,
Maqāṣidihā, (Herndon: IIIT, 2007), h. 15. karena sering berdebat dengan ahli-ahli
hukum di Granada, akhirnya pada tahun 765
Moh. Toriquddin, Teori Maqâshid Syarî’ah Perspektif Al-Syatibi…| 35
H/1363 M, ia dideportasi dari Andalusia. Al- Hal ini dibuktikan dengan adanya teks-teks
Sharif al-Tilimsani adalah ilmuwan yang yang mengandung arti dishariatkannya hukum
kritis terhadap faham Razi. karena ada illat-nya, baik secara global
Pola pikir radikal dan fatwa-fatwa maupun parsial. Contoh ta‟lîl secara global
kontroversial al-Syatibi membuatnya ِ اك إِالَّر ْحمةً لِّلْعال
adalah firman Allah: َم ْي َن
diposisikan sebagai oposisi kekuasaan oleh
َ َ َ َ َ{ َوماَ أ َْر َس لْن
para fuqaha yang mayoritas pro kekuasaan. }Aku tidak mengutusmu kecuali untuk
5
yaitu (a) Untuk memahami hukum dan kemudian dibahas panjang lebar oleh
tujuan-tujuannya, seseorang harus memahami Syathibi. Menurutnya, dengan adanya taklîf,
bahasa Arab karena al-Qur‟an diturunkan Syâri‟ tidak bermaksud menimbulkan
dengan menggunakan bahasa Arab. (b) Orang masyaqqat bagi pelakunya (mukallaf) akan
Arab lebih bisa memahami mashlahât tetapi sebaliknya di balik itu ada manfaat
ketimbang orang non Arab.9 tersendiri bagi mukallaf.11 Dalam masalah
agama misalnya, ketika ada kewajiban jihad,
Qashdu al- Syâr’i fi wadl’i al-syarî’ah li al- maka sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk
taklîf bi muqtadlâha menceburkan diri dalam kebinasaan, tetapi
Bagian ini dimaksudkan bahwa untuk kemashlahâtan manusia itu sendiri
maksud Syâri’ dalam menentukan shari‟at yaitu sebagai wasîlah amar ma‟ruf nahi al-
adalah untuk dilaksanakan sesuai dengan munkar. Demikian pula dengan hukum
yang dituntut-Nya. Masalah yang dibahas potong tangan bagi pencuri, tidak
dalam bagian ini ada 12 masalah, namun dimaksudkan untuk merusak anggota badan
semuanya mengacu kepada dua masalah akan tetapi demi terpeliharanya harta orang
pokok yaitu: Pertama, taklîf yang di luar lain.
kemampuan manusia (al-taklîf bimâ lâ Apabila dalam taklîf ada masyaqqat,
yuthaq). Pembahasan ini tidak akan dibahas maka sesungguhnya ia bukanlah masyaqqat
lebih jauh karena sebagaimana telah diketahui tapi kulfah, sesuatu yang tidak mungkin dapat
bersama bahwa tidaklah dianggap taklîf dipisahkan dari kegiatan manusia
apabila berada di luar batas kemampuan sebagaimana dalam kacamata adat, orang
manusia. Dalam hal ini Syathibi mengatakan: yang memikul barang atau bekerja siang
“Setiap taklîf yang di luar batas kemampuan malam untuk mencari kehidupan tidak
manusia, maka secara syar‟i taklîf itu tidak dipandang sebagai masyaqqat, tetapi sebagai
sah meskipun akal membolehkannya”.10 salah satu keharusan dan kelaziman untuk
Apabila dalam teks syar‟i ada redaksi mencari nafkah. Demikian juga halnya
yang mengisyaratkan perbuatan di luar dengan masalah ibadah. Masyaqqat seperti ini
kemampuan manusia, maka harus dilihat pada menurut Syathibi disebut masyaqqat
konteks, unsur-unsur lain atau redaksi mu‟tâdah karena dapat diterima dan
sebelumnya. Misalnya, firman Allah: َوالَ تَ ُموْ تُ َّن dilaksanakan oleh anggota badan dan
َ ْ“ ِالَّ َو َ ْ ُ ْ ُ ْ ِ ُموDan janganlah kalian mati karenanya dalam syara‟ tidak dipandang
kecuali dalam keadaan muslim”. Ayat ini sebagai masyaqqat12.
bukan berarti larangan untuk mati karena Sesuatu dipandang sebagai masyaqqat
mencegah kematian adalah di luar batas adalah apa yang disebut Syathibi dengan
kemampuan manusia. Maksud larangan ini masyaqqat ghair mu‟tâdah atau ghair
adalah larangan untuk memisahkan antara „âdiyyah yaitu masyaqqat yang tidak lazim
keislaman dengan kehidupan di dunia ini dan tidak dapat dilaksanakan atau apabila
karena datangnya kematian tidak ada dilaksanakan akan menimbulkan kesulitan
seorangpun yang mengetahui. Begitu juga dan kesempitan. Misalnya, keharusan
dengan sabda Nabi: ْ َ ْ َ“ الَتJanganlah kamu berpuasa bagi orang sakit dan orang jompo.
marah” tidak berarti melarang marah, karena Semua ini adalah masyaqqat ghair mu‟tâdah
marah adalah tabiat manusia yang tidak yang dikecam oleh Islam. Untuk mengatasi
mungkin dapat dihindari. Akan tetapi masyaqqat ini, Islam memberikan jalan keluar
maksudnya adalah agar sedapat mungkin melalui rukhsah atau keringanan.13
menahan diri ketika marah atau menghindari
hal-hal yang mengakibatkan marah. Qashdu al-Syâr’i fi dukhûli al-mukallaf
Kedua, taklîf yang di dalamnya tahta ahkâmi al-syarî’ah
terdapat masyaqqat (kesulitan) (al- taklîf bimâ
fīhi masyaqqah). Persoalan inilah yang
11
Imam Syathibi, al-Muwâfaqât, h. 93.
9 12
Ahmad al-Raisuni, Nadariyât al- Maqāṣid… h. 120. Imam Syathibi, al-Muwâfaqât, h. 94.
10 13
Imam Syathibi, al-Muwâfaqât fī Usul al-Syarīah, Juz http://islamlib.com/id/artikel/bapak-maqasid-al-
I, (Beirut: Dar al-Kutûb al-„Ilmiyyah, t.th.), h. 82. syariah-pertama (diakses 14 Juni 2014)
Moh. Toriquddin, Teori Maqâshid Syarî’ah Perspektif Al-Syatibi…| 37
Pembahasan bagian terakhir ini shari‟ah?”. Menurut Abdullah Bin Daraz ada
merupakan pembahasan paling panjang dua jawaban pertama adalah untuk
mencakup 20 masalah, yang semuanya meletakkan aturan yang bisa mengantarkan
mengacu kepada pertanyaan: “Mengapa manusia pada kebahagian dunia dan akhirat
mukallaf melaksanakan hukum syari‟ah?”. bagi orang yang menjalankannya, dan kedua
Abdullah Bin Daraz meringkas menjadi dua seseorang dituntut untuk masuk pada aturan
jawaban pertama dan ke dua. Pertama adalah dan mentaatinya bukan mentaati hawa
untuk meletakkan aturan yang bisa nafsunya.
mengantarkan manusia pada kebahagian
dunia dan akhirat bagi orang yang Qashdu al-Mukallaf (Tujuan Mukallaf)
menjalankannya. Dan yang ke dua seseorang Pada bagian ini terdapat 12 masalah
dituntut untuk masuk pada aturan dan namun hanya beberapa masalah saja yang
mentaatinya bukan mentaati hawa nafsunya. dibahas. Masalah pertama membahas
Pada akhir jawabannya Syathibi beberapa hal seperti urgensi niat, tujuan
menambahkan bahwa tujuan syar‟i dari ibadah terealisasi dalam tasarufât (beberapa
peletakan syariah adalah untuk mengeluarkan perbuatan), beberapa hal tentang ibadah dan
mukallaf dari tuntutan dan keinginan hawa adat. Tujuan seseorang dalam melakukan
nafsunya sehingga ia menjadi seorang hamba suatu perbuatan menentukan perbuatannya itu
yang ikhtiyâran di samping juga sebagai benar atau batal termasuk ibadah atau riya‟,
hamba Allah yang idṭirâran.14 Untuk itu, fardu atau nâfilah, menjadikan orang tersebut
setiap perbuatan yang mengikuti hawa nafsu, beriman atau kufur seperti sujud kepada Allah
maka ia batal dan tidak ada manfa‟atnya. atau pada selain Allah. Selanjutnya suatu
Karena setiap amal harus ada tendensi dan perbuatan ketika berhubungan dengan suatu
motifasi yang melatar belakanginya. Jika tujuan maka ia akan berhubungan juga
tendensi tersebut tidak berdasarkan hukum dengan hukum taklîf, jika suatu perbuatan
syara‟ maka ia adalah berdasarkan hawa tidak ada tujuannya maka ia tidak ada
nafsu.15 hubungannya dengan taklîf seperti orang
Singkatnya qashdu al-Syâr‟i terbagi tidur, orang lalai, dan orang gila.
menjadi empat yaitu: pertama, Qashdu al- Masalah kedua dan ketiga adalah
Syâr‟i fi wadl‟i al-syarî‟ah adalah untuk tujuan mukallaf dalam beramal harus sesuai
untuk kemashlahâtan hamba di dunia dan dengan tujuan Syâri‟ dalam menetapkan
akhirat. Kedua, Qashdu al- Syâr‟i fi wadl‟i syariah. Ketika syariah tujuannya adalah
al-syarî‟ah li al-ifhâm dengan cara untuk kemashlahâtan hamba , maka seorang
memahami bahasa Arab karena al-Qur‟an mukallaf dalam perbuatannya dituntut sesuai
diturunkan dengan menggunakan bahasa dengan syariah. Begitu juga tujuan Syâri‟
Arab, dan Orang Arab lebih bisa memahami adalah menjaga darûriyât, hâjiyat,dan
mashlahât ketimbang orang non Arab. tahsîniyât, yang dibebankan kepada hamba.
Ketiga, qashdu al- Syâr‟i fi wadl‟i al- Maka dari itu, manusia dituntut untuk
syarî‟ah li al-taklîf bi muqtadlâha, dalam hal menjalankan ketiganya karena segala
ini yang dibahas ada 12 masalah, namun perbuatan tergantung kepada niatnya.
semuanya mengacu kepada dua masalah Selanjutnya bahwa manusia adalah sebagai
pokok yaitu: (a) taklîf yang di luar khalifah (pengganti) Allah dalam jiwa,
kemampuan manusia (al- taklîf bimâ lâ keluarga, dan hartanya dan segala apa yang
yutaq). (b) taklîf yang di dalamnya terdapat ada pada kekuasaannya, maka ia dituntut
masyaqqat (kesulitan) (al- taklîf bimâ fīhi untuk menjalankan posisi Dzat yang
masyaqqat). Keempat, qashdu al-Syâr‟i fi digantikan; dengan menjalankan hukum dan
dukhûli al-mukallaf tahta ahkâmi al- syarî‟ah, tujuan sesuai dengan kehendak-Nya.
pembahasan ini mencakup 20 masalah yang Masalah yang keempat adalah
semuanya mengacu kepada pertanyaan: kesesuaian dan pertentangan antara mukallaf
“Mengapa mukallaf melaksanakan hukum dengan Syari‟, serta hukum dari segala
kondisi sebagai berikut: Pertama, mukallaf
14
Imam Syathibi, al-Muwâfaqât, h. 128. sesuai dengan Syari‟ baik dari segi tujuan
15
Ahmad al-Raisuni, Nadariyât al- Maqāṣid…, h.127.
38 | de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 1, Juni 2014, hlm. 33-47
adalah kesesuaian dan pertentangan antara Para ulama berbeda pendapat tentang
mukallaf dan Syari‟ serta hukum dari segala ta‟lil hukum dengan menggunakan mashâlih
kondisi tersebut. Masalah kelima adalah ada antara yang mengakui dan tidak mengakui
tidaknya pertentangan antara ke-mashlahât-an ta‟lîl menjadi empat kelompok sebagai
dan ke-mafsadât-an pribadi atau orang lain berikut: Pertama, mengingkari ta‟lîl hukum
dengan menjaga ada tidaknya suatu tujuan. dengan mashâlih, konsekwensi logisnya
Mendatangkan maslahah atau adalah mereka meninggalkan qiyâs, istihsân,
menolak mafsadah ketika dimungkinkan maslahah mursalah, sad al-dzarâi‟ dan lain-
terbagai menjadi dua yaitu: pertama, jika hal lain dari dalil-dalil yang kembali pada ta‟lîl
tersebut tidak membahayakan orang lain, ahkâm, mereka cukup mengambil teks saja
kedua, jika membahayakan orang lain yang jika tidak ditemukan dalam teks maka mereka
meliputi: (a) Orang yang tersebut bertujuan mengambil hukum dengan cara istihsân.
untuk membahayakan orang lain; (b) Tidak Konsekwensi keingkaran ini mengakibatkan
bertujuan membahayakan orang lain yang penetapan hukum-hukum cabang fiqh
dalam ini terbagi mejadi: (1) Bahaya tersebut bertentangan dengan tujuan Syâri‟. Mereka
bersifat umum; (2) Bahaya itu bersifat khusus adalah kelompok dzâhiriyyah.
yang meliputi: (i) Orang tersebut akan Kedua, tujuan Syâri‟ adalah melihat
mendatangkan bahaya kepada orang lain arti suatu lafad, yang mana teks dipahami dari
sementara ia sendiri membutuhkan. (ii) Tidak arti secara mutlak. Jika suatu teks
menimbulkan bahaya yaitu terdiri dari: (ii.a) bertentangan dengan arti secara teori (ma‟na
perbuatan itu mendatangkan mafsadah al-nadzârî), maka teks tersebut tidak
secara pasti; (ii.b) jarang mendatangkan digunakan dan didahulukan arti secara teori.
mafsadah; (ii.c) perbuatan yang sering Mereka ini sebagian dari kelompok
mendatangkan bahaya, baik secara mayorita Hanafiyah, juga termasuk Najmuddin al-Tûfi
maupun tidak secara mayoritas. dari kalangan Hanabilah. Ketiga, kelompok
ini menggunakan teks dan ma‟na secara
Dasar-Dasar Teori Syathibi bersamaan dengan tanpa memberatkan salah
Masalah Ta’lil (Penetapan Hukum satunya. Mereka adalah Malikiyah,
Berdasarkan illat) Hanafiyah, dan sebagian Hanabilah.
Kata تعليلberasal dari kata علdan اعتل Kelompok ini mengakui adanya penetapan
illat berdasarkan kemashlahâtan (ta‟lîl al-
isim fail-nya adalah عليل اي مريضartinya sakit. maslahiy), tidak mewajibkan Allah untuk
Illat adalah sakit secara menyeluruh. Seperti memberikan maslahah (kebaikan) kepada
dikatakan i‟talla ketika seseorang perpegang hamba, tetapi lebih disebabkan oleh karunia
pada suatu hujjah dan juga kata i‟lâlât al- dan kebesaran-Nya. Jika terjadi kontradiksi
fuqahâ‟ dan i‟tilâlâtuhum adalah hujjah antara teks dan akal maka untuk memahami
mereka. Secara istilah ahli debat تعليلdari علل tujuan teks tersebut harus diserahkan kepada
Allah. Inilah mazhab moderat yang dilakukan
الشيئyang artinya menetapkan illat dengan oleh para ilmuwan yang dengan cara ini
dalil, juga dimaksudkan mengambil dalil tujuan shariah dapat diketahui.
dengan illat terhadap sesuatu yang Keempat, kelompok ini mengatakan
mempunyai illat. Sedangkan تع يلmenurut bahwa maqâshid atau mashâlih bukan
ulama‟ usul terdapat dua ungkapan: Pertama, merupakan illat hukum akan tetapi ia hanya
hukum-hukum Allah ditetapkan untuk merupakan tanda-tanda suatu hukum. Mereka
merealisasikan kemashlahâtan hamba baik ini adalah Shafi‟iyah, dan sebagian dari
untuk masa sekarang atau masa depan. kelompok Hanafiyah. Sementara al-Amadi
Kedua, menjelaskan illat-illat hukum menegaskan bahwa ta‟lîl (menjadikan illat
shar‟iyyah dan cara mengeluarkan hukum hukum) dengan hanya tanda-tanda saja tidak
dengan melalui metode illat. 17 diperbolehkan. Hendaknya illat adalah
sesuatu yang mencakup hikmah yang layak
17
Abd. Qadir bin Hirzi Allah, Dawâbit I‟tibâr al- dijadikan tujuan Syari‟ dalam penetapan
Maqâsid fī Mahâl al-Ijtihâd wa atharuhâ al-Fiqhiy,
(Riyâd: Maktabah al-Rushd, 2007), h. 85-86.
40 | de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 1, Juni 2014, hlm. 33-47
hukum.18 Menurut Syathibi bahwa semua Qadir bin Hirzi Allah menegaskan bahwa
hukum syara‟ bertujuan untuk kemashlahâtan ta‟lîl hukum-hukum syar‟iyyah dengan
hamba. Semua pembebanan hukum (taklîf) mashâlih merupakan karakteristik dari
ada kalanya untuk mencegah kerusakan atau penetapan hukum itu sendiri. Yaitu dengan
untuk mendatangkan kemashlahâtan atau diberikannya kelonggaran dari segi redaksi
untuk keduanya secara bersamaan. Asal bahasa agar orang Islam berijtihad dalam
dalam masalah adat dan muamalah adalah ada menjelaskan maksudnya dan merealisasikan
illat-nya dan mempunyai tujuan tertentu. serta menjaga maksud tersebut dari seorang
Sedangkan asal dalam masalah ibadah adalah mukallaf. Maksud ini merupakan rûh dan
bersifat ta‟abbudy dan tidak mempunyai rasionalisasi dari suatu teks. Jika tidak
illat.19 demikian maka penetapan suatu hukum langit
Namun demikian Syathibi mengakui yang tanpa tujuan merupakan sesuatu yang
bahwa ibadah-ibadah itu mu‟allalat mustahil.
(mempunyai illat) baik secara asal maupun Dengan demikian ta‟lil akan
secara global. Walaupun secara terperinci memperluas cakrawala fiqh Islam dan
masalah-masalah ibadah tidak mempunyai memberikan pengaruh besar dalam
illat. Ia mengatakan: telah diketahui bahwa menghasilkan kaidah-kaidah fiqh yang
ibadah-ibadah disyariatkan adalah untuk mencakup beberapa masalah. Jika tidak ada
kemashlahâtan hamba baik di dunia maupun ta‟lil al-nusus (pencarian illat dalam teks)
akhirat secara global, walaupun tidak serta hubungan antara cabang-cabang dengan
diketahui kemashlahâtannya secara satu pengikat yang mengumpulkan dalam satu
20
terperinci. Al-Syathibi mencontohkan illat yang di-istinbat-kan dari teks-teks
tentang tujuan shalat dan faidahnya secara umum, atau dengan satu illat khusus dari teks
syara‟, bahwa tujuan awal dari shalat adalah khusus, maka fiqh Islam tidak bisa mencakup
tunduk kepada Allah, ikhlas menghadap, bermacam-macam kejadian baru. Dengan
merendahkan diri, serta mengingat Allah.21 demikian maka tujuannya hanya satu yaitu
Kemudian ia menyebutkan tujuan yang mengetahui tujuan Syâri‟ dari beberapa teks.24
mengikuti pada tujuan awal, yaitu mencegah Singkatnya Syathibi membagi
keji dan munkar, mencari rizki, suksesnya pendapat yang setuju dan tidak terhadap ta‟lil
semua kebutuhan, selamat mendapatkan surga hukum dengan menggunakan mashâlih
dan mendapatkan posisi yang mulia di sisi menjadi empat kelompok. Pertama,
Allah.22 mengingkari ta‟lil hukum dengan mashâlih.
Sejalan dengan Syathibi adalah Dalam hal ini mereka hanya mengambil teks,
Muhammad Abd. Al-„Ati Muhammad „Ali kemudian jika tidak ditemukan dalam teks,
yang menyatakan bahwa Allah mensyariatkan maka baru mengambil hukum dengan cara
hukum-hukumnya untuk tujuan yang luhur istishâb. Kedua, tujuan Syâri‟ adalah melihat
yaitu mendatangkan kemashlahâtan bagi pada arti suatu lafad, yang mana teks tidak
manusia dan mencegah kerusakan. Allah dianggap kecuali dengan arti secara mutlak.
menjelaskan hal-hal yang merusak dan Jika suatu teks bertentangan dengan arti teori
menganjurkan untuk menjahuinya dan juga (ma‟na al-nadzârî), maka teks tersebut tidak
menjelaskan kemashlahâtan serta digunakan dan didahulukan arti teori. Ketiga,
23
menganjurkan untuk melakukannya. Abd. menggunakan teks dan ma‟na secara
bersamaan dengan tanpa memberatkan salah
18 satunya. Keempat, maqâshid atau mashâlih
Abd. Qadir bin Hirzi Allah, Dawâbit I‟tibâr… h. 87-
88. bukan merupakan illat hukum akan tetapi
19
Ahmad al-Raisuni, Nadariyât al-Maqâsid…, h. 170- hanya tanda-tanda suatu hukum.
171. Menurut Syathibi bahwa semua
20
Imam Syathibi, al-Muwafaqât fī Ushûl al-Sharī‟ah, hukum syara‟ bertujuan untuk kemashlahâtan
Juz I, (Beirut: Dâr al-Kutûb al-„Ilmiyyah, t.th), h. 201. hamba. Semua taklîf ada kalanya untuk
21
Imam Syathibi, al-Muwafaqât… h. 399.
22
Ahmad al-Raisuni, Nadariyât al-Maqâsid… h. 174.
23 24
Muhammad „Abd. al-„Ati Muhammad „Ali, Al- Abd. Qadir bin Hirzi Allah, Dawâbit I‟tibâr al-
Maqasid al-Shar‟iyyah wa Atharuhâ fī al-fiqh al- Maqâsid fī Mahâl al-Ijtihâd wa Atharuhâ al-Fiqhiy
Islamiy, (Kairo: Dâr al-Hadith, 2007), h. 122. …h. 88-89.
Moh. Toriquddin, Teori Maqâshid Syarî’ah Perspektif Al-Syatibi…| 41
mencegah kerusakan atau untuk manfaat. Dengan syarat bahwa faidah itu
mendatangkan kemashlahâtan atau untuk tidak melebihi dan hubungan antara keduanya
keduanya secara bersamaan. Ia mengakui merupakan hubungan yang râjih atau
bahwa ibadah-ibadah itu mu‟allalat meyakinkan dari segi rasio dan penelitian.26
(mempunyai illat) baik secara asal maupun Hakikat mashlahât adalah segala
secara global. Walaupun secara terperinci kenikmatan dan kesenangan baik bersifat
masalah-masalah ibadah tidak mempunyai jasmani atau ruhani, secara akal maupun jiwa.
illat. Sedangkan hakikat mafsadât adalah segala
rasa sakit dan siksaan, baik bersifat jasmani
Al-Mashâlih wa al - Mafâsid maupun ruhani, akal maupun jiwa. Akan
(Kemashlahâtan dan Kerusakan) tetapi terkadang dalam satu masalah terdapat
Mashlahât secara wazan seperti kata mashlahât dan mafsadât. Pada mulanya
manfaat, ia adalah masdar yang berarti mashlahât secara cepat akan tetapi pada
kebaikan. Segala sesuatu yang terdapat akhirnya terdapat mafsadât atau sebaliknya.
manfaat di dalamnya baik dengan cara Terkadang mashlahât bagi seseorang tetapi
mendatangkan dan menghasilkan seperti mafsadât bagi orang lain. Syâri‟ ketika
menghasilkan faidah dan kenikmatan, atau memerintahkan suatu mashlahât yang
dengan cara menolak dan menjaga seperti bercampur mafsadât, sesungguhnya tujuanya
menjauhkan bahaya dan rasa sakit, ini semua bukanlah mafsadât itu. Begitu pula ketika
layak dinamakan mashlahât. Mashlahât melarang sesuatu mafsadât yang bercampur
menurut istilah ulama‟ syariah Islamiyah mashlahât hakikatnya bukanlah melarang ke-
adalah manfaat yang dituju oleh Syari‟ untuk mashlahât-an itu. Singkatnya mashlahât yang
hamba-hambanya dalam menjaga agama, dianggap secara syara‟ adalah mashlahât
jiwa, akal, keturunan, harta. Manfaat adalah yang murni tanpa bercampur dengan mafsadât
kenikmatan, atau sesuatu yang bisa baik sedikit maupun banyak. Dari sini maka
mendatangkan kenikmatan, dan menolak rasa muncullah pembagian mashlahât di kalangan
sakit atau yang bisa mendatangkan rasa ahli usul, menjadi tiga bagian yaitu:
sakit.25 mashlahât mu‟tabarah, mashlahât mulghah,
Selanjutnya al-Buthi menjelaskan dan mashlahât mursalah. Dan syari‟ah hanya
bahwa tidak dipertentangkan secara fitrah menjaga bentuk mashlahât yang pertama
manusia motif dari semua perbuatan dan yaitu mashlahât mu‟tabarah.27
pekerjaan secara keseluruhan adalah untuk Dalam meng-ilgha‟ beberapa
mendapatkan kemanfaatan bagi diri secara mashlahât tujuannya adalah untuk menjaga
khusus maupun bagi orang lain secara umum. mashlahât. Pada dasarnya menjaga mashlahât
Islam adalah agama fitrah yang mana Allah adalah yang asal sedangkan meng- ilgha‟
menetapkan hukum-hukum adalah untuk hanyalah pada masalah-masalah dan orang
kemanfaatan hamba. Fitrah juga sebagai tertentu. Dalam ilgha‟ ini, dimaksudkan untuk
dasar untuk semua akhlak dan keutamaan menjaga mashlahât seseorang dan orang lain.
bagi hambanya. Manusia sepakat bahwa jalan Sedangkan apa yang hilang dari mashlahât
menuju kemanfaatan hukumnya juga mulghah, hakikatnya tidak hilang sama sekali,
bermanfaat, dan syarat manfaat beserta akan tetapi untuk mendapatkan mashlahât
wasîlah-nya (jalannya) hendaknya tidak yang lebih besar. Sedangkan mashlahât
diikuti dengan kadar bahaya yang sama atau mursalah, bukanlah mashlahât yang yang
bahkan melebihi manfaat tersebut. dibiarkan dan didiamkan. Maksudnya ia
Sebagaimana disyaratkan, hubungan wasilah bukanlah mashlahât yang dibiarkan secara
dengan manfaat bisa mendatangkan mutlak, akan tetapi ia dibiarkan dalam arti
prasangka yang kuat (keyakinan). Wasâil tidak ada teks juz‟i secara khusus. Dengan
yang membahayakan mempunyai dampak
bahaya, walaupun ia mempunyai fâidah dan
26
Muhammad Saīd Ramdân al-Bûtiy, Dawbit al-
25
Muhammad Saīd Ramdân al-Bûtiy, Dawâbit al- Maslahat… h. 27-28.
27
Maslahat fī al-Syarīah al-Islâmiyyah, (Beirut: Ahmad al-Raisuni, Nadariyât al-Maqâsid…h. 212-
Muassasah al-Risalah, 2001), h. 27. 213
42 | de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 1, Juni 2014, hlm. 33-47
demikian, seungguhnya tidak ada yang banyak nama, banyak nama disebut dengan
namanya mashlahât mursalah.28 satu nama.30
Intinya yang dimaksud mashlahât
adalah segala sesuatu yang terdapat manfaat
Perintah dan larangan syari’ah dipahami
di dalamnya baik dengan cara mendatangkan,
sebagai ta’lîl (mempunyai illat) dan
atau dengan cara menolak dan menjaga. Jalan
dahiriyah (teks apa adanya)
menuju kemanfaatan hukumnya juga
Kata perintah dan larangan ketika
bermanfaat, dan syarat manfaat dan wasilah-
berada pada awal kalimat secara jelas
nya (jalannya) hendaknya tidak disertai
menunjukkan pada tujuan syâri‟, perintah-
dengan kadar bahaya yang sama atau bahkan
perintah bertujuan dilaksanakannya hal yang
melebihi manfaat tersebut. Hakikat mashlahât
diperintahkan. Dilakukannya perintah
adalah segala kenikmatan baik bersifat
merupakan tujuan syâri‟, yang akan
jasmani atau ruhani, secara akal maupun jiwa.
mendatangkan ke-mashlahât-an secara
Sedangkan hakikat mafsadât adalah segala
langsung maupun tidak langsung yang
rasa sakit dan siksaan, baik bersifat jasmani
dikehendaki Allah. Larangan-larangan
maupun ruhani, akal maupun jiwa. Mashlahât
bertujuan mencegah hal-hal yang dilarang.
yang dianggap secara syara‟ adalah
Tidak melakukan larangan merupakan tujuan
mashlahât yang murni tanpa bercampur
syara‟ yang akan mencegah kerusakan baik
dengan mafsadât baik sedikit maupun banyak.
secara langsung maupun tidak langsung bagi
mukallaf.31 Hal ini adalah sesuatu yang umum
Cara-cara Mengetahui Maqâshid
dan jelas bagi orang yang hanya berpegang
Harus sesuai dengan Bahasa Arab
pada perintah dan larangan sebagai tujuan
Al-Qur‟an diturunkan keseluruhan
syara‟ dengan tanpa melihat illat. Jika melihat
dengan menggunakan bahasa Arab, maka
pada illat hukum dan mashlahât hukum,
untuk memahaminya harus menggunakan
maka hal ini merupakan asal syar‟i.32
bahasa Arab. Dengan demikian jika ingin
Illat dan mashlahât suatu hukum
memahaminya maka harus memahami bahasa
tergantung pada perintah dan larangan,
Arab, metode bahasa Arab, karena bahasa
karenanya berpegang pada perintah dan
Arab adalah penterjemah tujuan-tujuan Syâri‟.
larangan bisa merealisasikan tujuan syariat.
Syariah tidak akan bisa difahami dengan baik
Demikian ini bukan berarti tidak mengikuti
kecuali oleh orang yang faham bahasa Arab.
illat dalam dzâhir teks suatu hukum dalam
Sejauh mana seseorang memahami bahasa
menentukan tujuan shariat. Karenanya
Arab, sejauh itu pula pemahaman mereka
apabila illat telah diketahui, maka ia harus
terhadap syariah. Jika seseorang mumpuni
diikuti. Dimana ada illat maka di situlah
dalam bahasa Arab, maka ia akan lebih bisa
subtansi suatu hukum ditemukan sebagai
menemukan tujuan-tujuan syariah dengan
konsekwensi dari perintah dan larangan. Jika
benar.29
illat tidak diketahui, maka tidak boleh
Dalam menggunakan lafad arab
memutuskan bahwa tujuan Syâri‟ begini dan
terkadang yang dimaksud adalah dahir teks
begitu. Al-Syathibi menegaskan perlunya
dan kadang yang dimaksud „âm pada satu sisi
menghargai dzâhir teks dan tidak
dan khâs pada sisi yang lain, „âm yang
mengabaikannya, akan tetapi dengan tanpa
dimaksud khâs, dzâhir tujuannya bukan
berlebihan, dan tidak mengingkari illat dan
dzâhir. Semua itu bisa diketahui dari
maslahât yang tetap.33
permulaan kalam, tengah atau akhirnya. Atau
berbicara dengan sesuatu yang diketahui
dengan arti sebagaimana juga diketahui
dengan isyarât, sesuatu dinamai dengan
30
Muhammad „Abd. al-„Ati Muhammad „Ali, Al-
Maqâsid al-Syar‟iyyah…h. 60.
31
Muhammad Bakr Ismail Habib, Al-Maqâsid al-
Syar‟iyyah al-Islâmiyyah….h. 120.
32
Imam Syathibi, al-Muwafaqât fī Ushûl al-Syarī‟ah,
28
Ahmad al-Raisuni, Nadariyât al-Maqâsid…h. 214 Juz II, h. 393.
29 33
Imam Syathibi, Al-Muwafaqât, Juz I, h. 44 Ahmad al-Raisuni, Nadariyat Al-Maqâsid…h. 244.
Moh. Toriquddin, Teori Maqâshid Syarî’ah Perspektif Al-Syatibi…| 43
Dalam istilah ilmu hukum Islam, istiqra‟ Diantara cara untuk mengetahui tujuan
(induksi) adalah sebuah metode pengambilan syariah adalah dengan cara mencari petunjuk
kesimpulan umum yang dihasilkan oleh fakta- dan mengikuti para sahabat dalam memahami
fakta khusus yang digunakan oleh ahli-ahli hukum-hukum dalam al-Qur‟an dan Hadits,
Fiqih untuk menetapkan suatu hukum, metode serta menerapkannya dalam kehidupan nyata.
ini tertuang dalam usul fiqh, dan qowâid al- Hal ini dilakukan karena kekuatan iman
fiqhiyah yang pernah diapliasikan oleh Imam mereka dan mereka sezaman dengan turunya
al-Syafi‟i dalam menentukan durasi waktu al-Qur‟an, melihat langsung apa yang
menstruasi bagi wanita. dilakukan oleh Rasulullah SAW, pemahaman
Menurut ahli mantiq, istiqra‟ adalah yang mendalam tentang Islam, jernihnya hati,
menarik kesimpulan umum berdasarkan tunduk, ikhlas pada agama Islam dan taat
karakterisik satuan-satuannya. Definisi yang pada Rasulullah SAW.42
serupa juga dikemukakan oleh Ibnu Sina (w. Dari pemaparan di atas bisa
428 H/1037 M) dengan menyatakan, jika disimpulkan bahwa cara untuk mengetahui
kesimpulan itu didasarkan pada kesamaan maqâshid adalah dengan beberapa cara
karakteristik semua satuannya disebut istiqra‟ berikut: Pertama, mengetahui bahasa Arab
tâm (induksi sempurna) dan jika didasarkan karena al-Qur‟an diturunkan keseluruhan
pada kesamaan karakteristik mayoritas dengan menggunakan bahasa Arab, dan
satuannya disebut istiqra‟ masyhur atau syariah tidak akan bisa difahami dengan baik
istiqra‟ nâqis (induksi tidak sempurna).39 kecuali oleh orang yang faham bahasa Arab.
Istiqra‟ bisa dilakukan dengan dua Kedua, perintah dan larangan syari‟ah harus
cara yaitu: (1) Istiqra‟ (induksi) pada teks- dipahami sebagai ta‟lil (mempunyai illat) dan
teks shar‟iyyah untuk dicari tujuan umum dari dahiriyah (teks apa adanya). Al-Syathibi
teks tersebut. Istiqra‟ semacam ini akan menegaskan perlunya menghargai dzâhir teks
menghasilkan dalil pasti (qat‟i) secara mutlak. dan tidak mengabaikannya, akan tetapi secara
(2) Istiqra‟ (induksi) terhadap arti-arti teks berlebihan, serta tidak mengingkari illat dan
dan illat-illat hukum, yang demikian ini mashlahât yang tetap. Ketiga, harus
seperti mutawâtir ma‟nawī.40 membedakan antara maqâshid al-ashliyah
Dasar-dasar dan premis yang (tujuan asal) dan maqâshid al-tabi‟iyyah
dibangun oleh ushul fiqh harus bersifat pasti (tujuan pengikut) karena semua hukum-
(qat‟i) dan tidak diterima jika bersifat hukum syara‟ mempunyai tujuan utama dan
perkiraan (dzan). Karena premis-premis tujuan pengikut terhadap tujuan utama
syariah tidak hanya didasarkan pada satu dalil tersebut serta menyempurnakan tujuan
akan tetapi pada sekumpulan dalil-dalil yang dimaksud. Dengan mengetahui tujuan utama
mengindikasikan satu arti sehingga bersifat dan tujuan pengikut maka kita akan bisa
pasti. Mayoritas yang dapat dijadikan menggolongkan mana hukum yang bersifat
pegangan dalam syariah adalah sesuatu yang darûriyat, hajiyât dan kamaliyât.
bersifat umum dan pasti. Al-Syathibi Keempat, memahami sukût al-Syâri‟
menjelaskan bahwa dalil-dalil yang dijadikan (diamnya Syâri‟), karena dengan memahami
pegangan adalah dalil induksi dari beberapa diamnya Syâri‟ akan bisa mengetahui
dalil yang bersifat persangkaan (dzanniyah) penunjukan terhadap suatu hukum tertentu.
sehingga terhimpun satu arti yang pada Artinya diam adalah suatu metode penjelasan
akhirnya memberikan pengertian yang pasti.41 hukum syar‟i, dari situlah tujuan syariah
ditetapkan dengan cara mencari illat, hikmah,
Mencari Petunjuk dari Para Sahabat istiqra‟ atau maqâm. Kelima, dengan
menggunakan teori al-istiqra‟ (teori induksi),
yaitu sebuah metode pemikiran yang bertolak
39
http://dodi- dari suatu kekhususan menuju pada yang
rasionalqolbi.blogspot.com/2010/06/seputar-metode- umum, kadang-kadang juga bertolak dari
istiqra.html (diakses 4-7-2013)
40
Muhammad Bakr Ismail Habib, Al-Maqâsid al- yang kurang umum menuju pada yang lebih
Syarīah al-Islâmiyyah ….h. 160.
41 42
Imam Syathibi, al-Muwafaqât fī Ushûl al-Syarī‟ah, Muhammad „Abd. al-„Ati Muhammad „Ali, Al-
Juz I, 36-37. Maqâsid al-Syar‟iyyah …h. 61.
Moh. Toriquddin, Teori Maqâshid Syarî’ah Perspektif Al-Syatibi…| 45
umum. Dalam istilah ilmu hukum Islam, mayoritas penduduk Madinah. Jika suatu
istiqra‟ (induksi) adalah sebuah metode daerah makanan pokoknya selain yang
pengambilan kesimpulan umum yang tersebut diatas, maka ia diwajibkan membayar
dihasilkan oleh fakta-fakta khusus yang satu sha‟ dari makanan pokok mereka. Begitu
digunakan oleh ahli-ahli fiqih untuk juga tentang hukum ber-istinja‟ (bersuci)
menetapkan suatu hukum. Teori ini terbagi dengan menggunakan benda selain batu,
menjadi dua yaitu istiqra‟ tâm dan istiqra‟ seperti kain perca, kapas, sutera adalah lebih
nâqis. Istiqra‟ bisa dilakukan dengan dua cara baik dan lebih diperbolehkan dari pada batu.
yaitu: (1) Istiqra‟ (induksi) pada teks-teks Begitu juga mencampurkan debu dalam
shar‟iyyah untuk dicari tujuan umum dari teks mencuci air liur anjing, Asynân (jenis
tersebut. (2) Istiqra‟ (induksi) terhadap arti- tumbuhan yang berfungsi untuk sabun) lebih
arti teks dan illat-illat hukum. Keenam, baik dari pada debu. Semua ini adalah
mencari petunjuk dari para Sahabat, hal ini merupakan tujuan Syâri‟ dan tercapainya
dilakukan karena kekuatan iman mereka dan tujuan dengan lebih baik.44
mereka sezaman dengan turunya al-Qur‟an,
melihat langsung apa yang dilakukan oleh Mengumpulkan antara Kulliyât al-‘Ammah
Rasulullah SAW pemahaman yang mendalam dan Dalil-dalil Khusus
tentang Islam, jernihnya hati, tunduk, ikhlas Yang dimaksud dengan kulliyât
pada agama Islam dan taat pada Rasulullah al‟Ammah adalah globalisasi teks (kulliyât al-
SAW. nasiyyah) dan globalisasi induksi (kulliyât al-
istiqrâiyyah). Globalisasi teks adalah teks-
Operasionalisasi Ijtihad al-Maqâshidy teks al-qur‟an dan sunnah yang sahih, seperti:
Teks-teks dan hukum tergantung pada وإذا حكمتم،{إ ّن اهلل يأمركم أن تؤدوا األمانات إلي أهلها
tujuannya (al-Nuṣuṣ wa al-Ahkâm bi
Maqâshidiha) {وال تزر،} {أوفوا بالعقود،}بين الناس أن تحكموا بالعدل
Adanya Teks-teks dan hukum-hukum {إ ّن اهلل كتب،} {ال ضرر وال ضرار،}وازرة وزرأخرى
hendaknya diambil dari tujuan-tujuannya
tidak hanya berhenti pada dzâhir teks dan {إني حرمت الظلم على نفسي،}اإلحسان على كل شيء
lafadz serta redaksinya. Hal ini didasarkan
) (إنّما األعمال بالنيات،} فال تظالموا،وجعلته بينكم محرما
pada masalah ta‟lil, yaitu adanya teks-teks
syariah dan hukum-hukumnya bertujuan
untuk kemashlahâtan hamba. Hendaknya Sedangkan globalisasi induksi adalah
tidak mengabaikan tujuan tersebut ketika dengan metode induksi dari beberapa teks dan
menetapkan suatu hukum dan ketika melihat hukum parsial, seperti menjaga darûriyat,
teks. Contoh dari poin ini adalah barang siapa hajiyât dan tahsiniyât, seluruh maqâshid
yang berkewajiban membayar zakat, jika ia syarî‟ah secara umum, dan kaidah-kaidah
membayar zakatnya dengan cara memenuhi fiqh secara global seperti: al-darûrât tubîhu
tujuan zakat maka ia diperbolehkan. Jika al-mahdurât, al-masyaqqatu tajlibu al-taisīr.
dalam uang dirham ada kewajiban zakat, Yang dimaksud dengan dalil-dalil khusus atau
kemudian dibayar dengan gandum atau yang dalil-dalil parsial adalah dalil-dalil khusus
lainnya sebagai gantinya maka diperbolehkan. tentang masalah-masalah tertentu, seperti ayat
Karena tujuan dari teks zakat untuk yang menunjukkan ini atau hadits yang
memenuhi kekurangan orang fakir dan menunjukkan hukum tentang masalah si fulan
dengan membayar menggunakan gandum atau qiyas secara juz‟i.
telah memenuhi kebutuhannya.43 Seorang mujtahid harus
Ibnu Qayyim dalam beberapa mempertimbangkan dalil-dalil parsial untuk
ijtihadnya mendasarkan pada tujuan syariah menghadirkan kulliyât al-syarî‟ah dan tujuan-
menurutnya, bahwa nabi telah mewajibkan tujuan syariah secara umum, dan kaidah-
zakat fitrah satu sha‟ dari kurma, kismis, atau kaidahnya yang global. Ia harus
tepung, yang merupakan makanan pokok menggabungkan keduanya dalam satu wadah,
dan suatu hukum diputuskan berdasarkan
43 44
Ahmad al-Raisuni, Nadariyât al-Maqâsid…h. 295. Ahmad al-Raisuni, Nadariyât al-Maqâsid…h. 296.
46 | de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 1, Juni 2014, hlm. 33-47
kedua unsur tersebut yaitu dalil-dalil global orang tersebut belum sampai pada tingkatan
dan dalil-dalil parsial.45 seorang mujtahid.
Melihat akibat-akibat dari perbuatan
Jalbu al-Mashâlih wa Dar’u al-Mafâsid hukum merupakan tujuan syariat, baik
(Mendatangkan Kemashlahâtan dan perbuatan itu sesuai dengan syara‟ atau tidak.
Mencegah Kerusakan) secara Mutlak Seorang mujtahid tidak akan memberikan
Dimana saja kemashlahâtan bisa hukum pada perbuatan mukallaf kecuali
terealisasikan, maka harus diusahakan untuk setelah mempertimbangkan akibat-akibat
merealisasikan dan menjaganya. Begitu juga hukum dari perbuatan tersebut. Ijtihad
jika kerusakan bisa terjadi maka harus semacam ini memerlukan keahlian khusus
diusahakan untuk mencegah dan menutup pada diri seorang mujtahid. Seorang mujtahid
jalannya, walaupun tidak ada teks secara dianggap tidak cukup jika hanya seorang ahli
khusus. Kiranya sudah cukup adanya teks- hukum yang mahir terhadap teks-teks syariah
teks secara umum yang men-support untuk secara rinci akan tetapi ia juga dituntut mahir
berbuat kebaikan, kemanfaatan, kebaikan. terhadap karakteristik dan rahasia kejiwaan
Begitu juga teks-teks umum yang mencela manusia dan ilmu kemasyarakatan.48
kerusakan dan larangan berbuat jelek dan Untuk mengoperasionalkan ijtihad
membahayakan orang lain. Dan cukup berdasarkan maqâshid ada empat cara yaitu:
kiranya kesepakatan ulama‟ bahwa tujuan Pertama, memahami tujuan dari teks-teks
umum dari syariah adalah mendatangkan ke- dan hukum. Hal ini didasarkan pada masalah
mashlahât-an dan mencegah kerusakan baik ta‟lil, yaitu adanya teks-teks syariah dan
di dunia maupun akhirat.46 hukum-hukumnya bertujuan untuk
Menurut Syathibi setiap dasar syara‟ kemashlahâtan hamba. Hendaknya tidak
yang tidak didukung oleh teks tertentu, dan ia mengabaikan tujuan tersebut ketika
sesuai dengan semangat syara‟ serta menetapkan suatu hukum dan ketika melihat
disimpulkan dari dalil-dalil syara‟ maka teks; Kedua, mengumpulkan antara kulliyât
hukumnya sah untuk dijadikan referensi. al-„âmmah dan dalil-dalil khusus. Yang
Kemudian ia mencontohkan dengan berdalil dimaksud kulliyât al-„âmmah adalah
mursal, dan istihsân yang keduanya adalah globalisasi teks (kulliyât al-nasiyyah) dan
untuk menjaga maslahah. Menjaga globalisasi induksi (kulliyât al-istiqrâiyyah).
kemashlahâtan jika mashlahât tersebut Yang dimaksud dalil-dalil khusus atau dalil-
haqîqiyah (mashlahât yang benar-benar dalil parsial adalah dalil-dalil khusus tentang
mashlahât) yang sesuai dengan tujuan syara‟ masalah-masalah tertentu. Ketiga, seorang
maka ia merupakan dasar yang qat‟i yang mujtahid harus mempertimbangkan dalil-dalil
harus dijadikan pijakan hukum.47 parsial untuk menghadirkan kulliyât al-
syarî‟ah dan tujuan-tujuan syariah secara
Mempertimbangkan Akibat Suatu Hukum umum, serta kaidah-kaidahnya yang global. Ia
(I’tibâr al-Maâlât) harus menggabungkan keduanya dalam satu
Seorang mujtahid ketika berijtihad wadah, suatu hukum diputuskan berdasarkan
hendaknya mempertimbangkan akibat dari kedua unsur tersebut yaitu dalil-dalil global
suatu hukum tersebut, memprediksi akibat dan dalil-dalil parsial.
hukum dan fatwa-fatwanya, dan tidak Keempat, dengan cara jalbu al-
beranggapan bahwa tugasnya hanyalah mashâlih wa dar‟u al-mafâsid (mendatangkan
menetapkan hukum saja. Akan tetapi tugas kemashlahâtan dan mencegah kerusakan). Di
seorang mujtahid adalah menentukan hukum mana saja kemashlahâtan bisa terealisasikan,
dalam satu perbuatan dan memprediksikan maka harus diusahakan untuk merealisasikan
akibat-akibat yang ditimbulkan dari hukum dan menjaganya. Jika kerusakan mungkin
tersebut. Jika ia tidak melakukan hal itu maka terjadi maka harus diusahakan untuk
mencegah dan menutup jalannya, walaupun
45
Ahmad al-Raisuni, Nadariyât al-Maqâsid… h. 300. tidak ada teks secara khusus. Menjaga
46
Ahmad al-Raisuni, Nadariyât al-Maqâsid… h. 304
47
Imam Syathibi, al-Muwafaqât fī Ushûl al-Syarī‟ah,
48
Juz I, h. 39 Ahmad al-Raisuni, Nadariyât al-Maqâsid…h. 311.
Moh. Toriquddin, Teori Maqâshid Syarî’ah Perspektif Al-Syatibi…| 47
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an Karim Mawardi, Ahmad Imam. Fiqh Minoritas
Al-Bûtiy, Muhammad Saīd Ramdan. Dawâbit Fiqh Aqalliyât dan Evolusi Maqâshid
al-Mashlahât fī al-Sharīah al- al-Sharī‟ah Dari Konsep ke
Islâmiyyah, Beirut: Muassasah al- Pendekatan, Yogyakarta: LKiS, 2010.
Risalah, 2001. Muhammad „Ali, Muhammad „Abd. al-„Âti.
Al-Raisuni, Ahmad Nadariyât al-Maqâshid al-Maqâshid al-Shar‟iyyah wa atharuhâ
„Inda al-Imâm al-Shâthibi, Beirut: fī al-fiqh al-Islamiy, Kairo: Dar al-
Muassasah al-Jami‟ah, 1992. Hadith, 2007.Syathibi, al-Muwâfaqât fi
Auda, Jasser. Fiqh al- Maqâshid Ināṭat al- Usul al-Shariah, Juz I, Beirut: Dar al-
Ahkām bi Maqâshidihā, Herndon: Kutu>b al-„Ilmiyyah, t.th.
IIIT.2007.
Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqâshid Shrī‟ah Internet
Menurut al-Shatibi, Jakarta: Pt. Raja http://dodi-
Grafindo Persada, 1996. rasionalqolbi.blogspot.com/2010/06/sep
Bin Hirzi Allah, Abd. Qadir Dawâbit I‟tibâr utar-metode-istiqra.html.
al-Maqâshid fī Mahâl al-Ijtihâd wa http://islamlib.com/id/artikel/bapak-maqasid-
atharuhâ al-Fiqhiy, Riyâd: Maktabah al-syariah-pertama.
al-Rushd, 2007. http://kunakaabir.blogspot.com/2007/09/ima
Habib, Muhammad Bakr Ismail. Maqâshid m-syatibi.html.
al-al-Islâmiyah Ta‟sīlan wa Taf‟īlan,
Makkah: Dar al-Tībah al-Khadrâ‟,
2006.