Anda di halaman 1dari 32

BAHAN AJAR

HUKUM APARTEMEN

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM S-1


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2023
PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan
berkat dan karuniaNya sehingga penulisan Bahan Ajar Apartment Law ini dapat
penulis selesaiakan. Maksud ditulisnya Bahan Ajar ini adalah untuk membantu
mahasiswa dalam pengusaan materi perkuliahan Apartment Law. Bahan Ajar ini
hanya merupakan salah satu sumber dalam mempelajari Apartment Law, dan
karena itu untuk memperkaya pemahaman Apartment Law, mahasiswa sangat
disarankan untuk mempelajari bahan-bahan dari kepustakaan yang disarankan
dalam Bahan Ajar ini.

ii
DAFTAR ISI

JUDUL i
PRAKATA ii
DAFTAR ISI iii
PENDAHULUAN iv
A Deskripsi Mata Kuliah iv
B Capaian Pembelajaran iv
C Identitas Dosen v
MATERI 1 PERKEMBANGAN APARTEMEN DI INDONESIA 1
1 Tempat Tinggal Layak dan Sehat: bagian HAM 2
2 Apartemen Sebagi Salah Satu Solusi Pemenuhan Kebutuhan 4
Perumahan
MATERI 2 SUMBER HUKUM APARTEMEN DI INDONESIA 8
1 Sumber Hukum Materiil 8
2 Sumber Hukum Formil 8
MATERI 3 HUKUM APARTEMEN BAGIAN HUKUM KONDOMINIUM 12
1 Apartemen: Bagian Hukum Kondominium 12
2 Konsep-konsep Dasar Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun 14
3 Asas-asas Pemisahan dalam Hukum Tanah 16
4 Asas-asas Pemisahan dalam Hukum Apartemen 17
MATERI 4 PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN 20
1 Jenis rumah susun dan pelaku pembangunan rumah susun 21
2 Tanah untuk pembangunan rumah susun 22
3 Penyediaan tanah untuk pembangunan rumah susun 22
MATERI 5 TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAN PERHIMPUNAN 23
PENGHUNI
1 Tanggung Jawab Pemerintah 23
2 Pengelolaan dan Perhimpunan Penghuni 24

DAFTAR PUSTAKA 26

iii
PENDAHULUAN

A. DESKRIPSI MATA KULIAH


Mata kuliah ini membahas tentang sejarah perkembangan apartemen, konsepsi hak
milik bersama, pengertian tanah bersama, bagian bersama dan benda bersama,
perbandingan kondominium, apartemen dan rusun, sumber hukum
apartemen/rusun, asas pemisahan dalam hukum apartemen, pembangunan
apartemen, tata cara penerbitan Hak Milik Satuan Rumah Susun (Sarusun),
penjualan dan pemilikan sarusun, penjaminan hutang atas sarusun, dan organisasi
dalam hunian apartemen sehingga mahasiswa mampu memecahkan masalah yang
berkaitan dengan apartemen secara penuh tanggungjawab, peduli, dan adil.

B. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Capaian pembelajaran terdiri atas capaian pembelajaran lulusan dan capaian
pembelajaran mata kuliah. Capaian pembelajaran lulusan yang dibebankan kepada
mata kuliah Apartment Law adalah sebagai berikut:
S6 Bekerjasama dan memiliki kepekaan sosial serta kepedulian terhadap
masyarakat dan lingkungan
P2 Menguasai pengetahuan dan kemahiran berpikir yuridik yang diperlihatkan
melalui kemampuan menganalisis dan membangun argumentasi atau
penalaran hukum dalam rangka menemukan dan menerapkan hukum untuk
memecahkan kasus kasus hukum
KU5 Mampu mengambil keputusan secara tepat dalam konteks penyelesaian
masalah di bidang keahliannya berdasarkan hasil analisis informasi dan data
KK3 Pada bidang kajian hukum perdata, mampu menganalisis dan menerapkan
dasar-dasar keahlian hukum perdata dalam menyelesaikan berbagai
permasalahan di masyarakat
Capaian pembelajaran mata kuliah (CPMK) Apartment Law meliputi:
CPMK 1: Mampu menjelaskan perkembangan apartemen secara umum dan
perkembangan apartemen/rumah susun di Indonesia
CPMK 2: Menguasai sumber sumber hukum apartemen
CPMK 3. Menguasai konsep kepemilikan bersama dan asas pemisahan dalam
hukum apartemen sebagai landasan menerapkan dan mengambil
keputusan secara tepat dalam menyelesaikan masalah agraria
CPMK 4. Menguasai konsep pembangunan rumah susun dari aspek tanah dan
bangunannya sebagai landasan menerapkan dan mengambil
keputusan secara tepat dalam menyelesaikan masalah agraria
CPMK 5. Menguasai konsep kepemilikan, peralihan hak dan penjaminan Hak
Milik Satuan Rumah Susun sebagai landasan menerapkan dan
mengambil keputusan secara tepat dalam menyelesaikan masalah
agraria

iv
CPMK 6. Menguasai konsep penghunian dan pengelolaan apartemen sebagai
landasan menerapkan dan mengambil keputusan secara tepat dalam
menyelesaikan masalah agraria

C. IDENTITAS DOSEN
1 Nama Lengkap : Dr. Suhadi, S.H., M.Si.
2 Jenis Kelamin : Laki-laki
3 Jabatan Fungsional : Lektor Kepala
4 NIP : 196711161993091001
5 NIDN : 0016116703
6 Tempat dan Tanggal Lahir : Pati, 16 November 1967
7 E-mail : suhadi@mail.unnes.ac.id
8 Nomor Telepon : 08112992967
9 Alamat Kantor : Gd. K Fakultas Hukum Universitas
Negeri Semarang Kampus Sekaran
Gunungpati Semarang
10 Nomor Telepon/Fax : 0248507891/0248507891
11 Mata Kuliah yang Diampu : Hukum Agraria/Agrarian Law
Hukum Apartemen/Apartment Law
Perolehan Hak Atas Tanah
Hukum Tata Ruang dan Tata Guna
Tanah
Hukum Lingkungan
12 ID Scopus :
13 ID Google Scholar : MfgNopcAAAAJ
14 ID Sinta : 5980595

v
MATERI 1
PERKEMBANGAN APARTEMEN DI INDONESIA

A. Pendahuluan
Pada bab ini dibahas tentang perkembangan apartemen di Indonesia dan di
negara lain. Apartemen di Indonesia merupakan hal yang relative baru apabila
dibandingkan dengan negara lain. Hal ini dapat dipahami karena ketersediaan tanah
di Indonesia pada masa itu dirasa masih cukup, namun seiring dengan
meningkatnya permintaan rumah akibat terjadinya ledakan penduduk, kebutuhan
untuk membangun apartemen semakin kuat. Bab ini menguraikan tentang kondisi
tersebut yang diawali dengan menyajikan latar filosofis, sosiologis, dan yuridis
tentang kebutuhan tempat tinggal.

B. Capaian Pembelajaran
Mampu menjelaskan perkembangan apartemen secara umum dan
perkembangan apartemen/rumah susun di Indonesia

C. Sub Capaian Pembelajaran


1. Tempat tinggal baik dan sehat merupakan hak azasi manusia
2. Realitas permukiman dan perumahan di Indonesia
3. Rumah susun sebagai salah satu solusi problem permukiman dan
perumahan di Indonesia

D. Media Pembelajaran
Pembelajaran menggunakan Elena dan Google Classroom

1
E. Materi
1. Tempat Tinggal Layak dan Sehat: bagian HAM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
hukum tertinggi, norma dasar dan norma sumber dari semua hukum yang
berlaku dalam negara Indonesia, berisikan pola dasar dalam kehidupan
bernegara di Indonesia. Alinea IV Pembukaan UUD 1945 antara lain
menegaskan bahwa salah satu tujuan nasional negara Indonesia adalah
memajukan kesejahteraan umum Kesejahteraan umum yang dimaksudkan
adalah kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, yang didalamnya terkandung
maksud terpenuhinya kebutuhan materiil dan spirituil rakyat Indonesia. Salah
satu unsur pokok kesejahteraan rakyat adalah terpenuhinya kebutuhan
perumahan yang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap warga negara
Indonesia dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai
manusia.
Rumusan tujuan nasional sebagaimana terdapat dalam Alinea IV
Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
tersebut di atas secara tersirat mengamanatkan bahwa tempat tinggal sebagai
salah satu kebutuhan dasar rakyat harus dapat terpenuhi. Dalam rangka
memenuhi kebutuhan tempat tinggal bagi seluruh rakyatnya, pemerintah
berkewajiban untuk melaksanakan dan meningkatkan pembangunan
perumahan dan permukiman sehingga rakyat dapat hidup dalam perumahan
dan pemukiman yang layak dalam lingkungan sehat dan teratur. Perumahan dan
permukiman yang layak dalam lingkungan sehat dan teratur diharapkan akan
memberikan kontribusi pada terciptanya kualitas kehidupan masyarakat.
Pasal 28H ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir dan
batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat.
Undang Undang Dasar memasukkan kebutuhan untuk bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat sebagai salah satu hak yang
dijamin konstitusi karena tempat tinggal mempunyai peran strategis dalam
pembentukan watak dan kepribadian bangsa serta sebagai salah satu upaya
membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif
Terpenuhinya kebutuhan perumahan bagi seluruh rakyat merupakan
salah satu hal penting dalam kehidupan suatu negara. Bahkan, menurut
Bambang Panudju (1996:16), pemenuhan kebutuhan perumahan merupakan
salah satu indikator kemampuan suatu negara dalam memenuhi kebutuhan
pokok penduduknya. Kondisi fasilitas hunian atau perumahan penduduk yang
tidak memadai atau tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang sangat
diperlukan penduduk untuk menopang hidupnya, biasanya merupakan pertanda
dari kekacauan ekonomi maupun politik yang tengah dihadapi masyarakat,
sehingga setiap negara berusaha memenuhi kebutuhan perumahan bagi
penduduknya melalui berbagai konsep, sumber dan cara pendekatan.

2
2. Apartemen Sebagi Salah Satu Solusi Pemenuhan Kebutuhan Perumahan
Kota-kota besar di Indonesia dewasa ini kondisinya juga tidak jauh
berbeda dari kondisi kota-kota besar di Asia Tenggara sebagaimana
digambarkan oleh Taylor. Pertambahan penduduk kota-kota besar di Indonesia,
baik karena pertumbuhan penduduk alami maupun karena urbanisasi, berakibat
semakin meningkatnya kebutuhan perumahan perkotaan. Data Statistik
Indonesia memperlihatkan jumlah penduduk Indonesia selama kurun waktu
1980-1990 mengalami penambahan dari 147,5 juta jiwa menjadi 179,4 juta
jiwa. Untuk daerah perkotaan, pada tahun 1980-1990 jumlah penduduknya
meningkat sekitar 5,4 % per tahun jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
pertambahan penduduk Indonesia secara nasional yang hanya sekitar 2 %.
Pesatnya pertambahan penduduk perkotaan secara alamiah
mengakibatkan permintaan rumah sebagai kebutuhan tempat tinggal semakin
meningkat pula dari waktu ke waktu. Ketidaksesuaian antara jumlah rumah
dengan permintaan rumah menyebabkan sebagian penduduk perkotaan,
terutama penduduk berpenghasilan rendah hidup dalam perkampungan padat
penduduk dan bahkan perkampungan kumuh liar. Menurut Haryoto
Kusnoputranto, pesatnya perkembangan daerah perkotaan terutama di kota-
kota besar, yang belum dapat diimbangi dengan kemampuan penyediaan daerah
pemukiman oleh pihak pemerintah kota menimbulkan berbagai masalah,
seperti: (1) kondisi perumahan dan lingkungan kurang memenuhi syarat-syarat
sebagai suatu lingkungan tempat tinggal, (2) sulitnya tanah serta mahalnya
tanah yang sesuai dengan peruntukannya, dan (3) kurangnya kemampuan
masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah dan sedang untuk
membiayai pembangunan rumah maupun lingkungan yang layak (1998: 74)
Pemukiman kumuh kategori slums maupun sguatters settlement, kini
masih menjadi fenomena dan persoalan tersendiri bagi kota-kota besar di
banyak negara, termasuk di Indonesia. Dalam rangka membenahi pemukiman
kumuh tersebut, Pemerintah Indonesia telah menempuh sejumlah upaya antara
lain dengan program peremajaan kota (urban renewal). Peningkatan mutu
lingkungan dalam peremajaan kota dimaksudkan untuk memperbaiki tatanan
sosial ekonomi di kawasan yang bersangkutan, supaya tatanan sosial ekonomi
yang baru dapat lebih mampu menunjang pengembangan wilayah kota lainnya.
Program peremajaan kota juga dimaksudkan untuk menekan pertumbuhan
kawasan kumuh, sehingga peremajaan kota (urban renewal) dalam konteks ini
sering diartikan sebagai peremajaan pemukiman kumuh (squatters settlement
renewal). Istilah urban renewal dan squatters settlement renewal merupakan
istilah dalam disiplin planologi untuk menggambarkan perubahan dan
perbaikan kondisi pemukiman kumuh.
Dewasa ini, program peremajaan kota dapat dikelompokkan menjadi
dua macam, yaitu program perbaikan kampung dan program pembangunan
rumah susun. Program perbaikan kampung dilakukan dengan membenahi
lingkungan pemukiman kumuh dengan meningkatkan sarana dan prasarana

3
untuk meningkatkan mutu perumahan dan lingkungannya, sedangkan program
pembangunan rumah susun dilakukan dengan membongkar pemukiman
kumuh, dan selanjutnya di tempat itu pula dibangun pemukiman baru dengan
arah vertikal dalam bentuk rumah susun.
Dalam rangka memperbaiki lingkungan pemukiman kumuh dan
menyediakan perumahan dan permukiman yang layak, sehat, dan teratur,
Pemerintah Kota Semarang juga menempuh kebijakan membangun rumah
susun, salah satu diantaranya adalah Rumah susun Pekunden. Rumah susun
Pekunden merupakan bentuk urban renewal dari pemukiman kumuh Pekunden.
Rumah susun Pekunden merupakan rumah susun yang dibangun pertama kali
di Kota Semarang sebagai pilot project pembangunan rumah susun di Jawa
Tengah.
Pembangunan rumah susun di banyak negara umumnya dimaksudkan
sebagai upaya pemenuhan kebutuhan perumahan perkotaan (Eko Budihardjo,
1998:154-161). Di Indonesia, pembangunan rumah susun selain untuk
memenuhi kebutuhan perumahan perkotaan khususnya bagi masyarakat
berpenghasilan rendah, juga dimaksudkan untuk mengurangi kekumuhan
perkotaan sebagai akibat adanya pemukiman atau perkampungan kumuh. Hal
ini dapat dilihat dari rumusan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985
tentang Rumah Susun, yang menyebutkan bahwa pembangunan rumah susun
bertujuan untuk:
a. memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama
golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang menjamin
kepastian hukum dalam pemanfaatannya;
b. meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan
memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan
pemukiman yang lengkap, serasi dan seimbang;
c. memenuhi kebutuhan untuk kepentingan lainnya yang berguna bagi
kehidupan masyarakat dengan tetap mengutamakan terpenuhinya kebutuhan
perumahan yang layak bagi rakyat sebagaimana huruf a di atas.
Secara lebih khusus, rumah susun yang dibangun di atas tanah negara
yang peruntukan utamanya ditujukan kepada masyarakat berpenghasilan
rendah, sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Peremajaan Permukiman Kumuh yang berada di atas Tanah Negara bertujuan
untuk:
1. meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan, harkat, derajat dan
martabat masyarakat penghuni pemukiman kumuh, terutama masyarakat
berpenghasilan rendah dengan memperoleh perumahan yang layak dalam
lingkungan permukiman yang sehat dan teratur;
2. mewujudkan kawasan kota yang ditata secara lebih baik sesuai dengan
fungsinya sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang kota yang
bersangkutan;

4
3. mendorong penggunaan tanah yang lebih efisien, meningkatkan tertib
bangunan, memudahkan penyediaan prasarana dan fasilitas lingkungan
pemukiman yang diperlukan serta mengurangi gap atau kesenjangan
kesejahteraan penghuni dari berbagai kawasan di daerah perkotaan.
Semarang, sebagai kotra metropolitan juga menghadapi persolaan
pemukiman. Data monografi Badan Pusat Statistik Kota Semarang 1999,
menunjukkan jenis bangunan rumah penduduk di Kota Semarang pada tahun
1999 cukup bervariasi, yaitu: gedung permanen, sebagian gedung, dari
papan/kayu, dari bambu atau lainnya. Sekitar 35% rumah rumah jenis
bangunannya bukan gedung permanen. Apabila jenis bangunan rumah
penduduk dijadikan salah satu tolok ukur tingkat kesejahteraan penduduk,
maka dapat dikatakan lebih dari sepertiga penduduk Kota Semarang berada
pada tataran belum sejahtera.
Kebijakan pemukiman di Kota Semarang antara lain dilakukan
melalui kebijakan wilayah pengembangan (development area). Kota Semarang
dibagi menjadi empat wilayah pengembangan, yakni Wilayah Pengembangan
I, II, III, dan IV (Pemerintah Daerah Kotamadya daerah Tingkat II Semarang,
1996: 5-6).
Wilayah pengembangan I, meliputi wilayah Kota Lama dan Kecamatan
Genuk difungsikan sebagai pusat kegiatan pelayanan umum: perkantoran,
perbelanjaan, transportasi pergudangan, dan perumahan dengan kepadatan
bangunan tinggi. Wilayah pengembangan II meliputi Kecamatan Tugu dan
sebagian Kecamatan Genuk difungsikan sebagai sub urban, dikembangkan
sebagai kawasan rekreasi pantai dan permukiman dengan kepadatan bangunan
rendah. Wilayah pengembangan III, meliputi wilayah Kota Semarang Lama
dan wilayah Kota Semarang bagian selatan, difungsikan sebagai sub urban,
dikembangkan sebagai kawasan jasa, perkantoran, kesehatan, dan permukiman
dengan kepadatan sedang sampai tinggi. Wilayah Pengembangan IV,
merupakan wilayah sub urban dikembangkan sebagai daerah cadangan untuk
pengembangan agraris, perkebunan, peternakan, dan permukiman dengan
kepadatan bangunan rendah sampai sedang (Pemerintah Daerah Kotamadya
daerah Tingkat II Semarang, 1996: 5-6)
Sebagaimana kota-kota besar lainnya di Indonesia, Kota Semarang yang
tumbuh menjadi kota metropolitan juga menghadapi permasalahan terdapatnya
kawasan pemukiman kumuh. Suatu pemukiman dikatakan sebagai pemukiman
kumuh atau tidak dapat dilihat dari kualitas lingkungan dan masyarakatnya.
Secara umum (Prajitno, 1992: 30) pemukiman kumuh ditandai oleh
ketidakjelasan status dan rendahnya kualitas prasarana dan sarana permukiman
antara lain berupa tanah, bangunan rumah, prasarana lingkungan, sarana
lingkungan dan sistem penghunian. Menurut Kantor Menteri Negara
Perumahan Rakyat, ciri-ciri lingkungan perumahan kumuh (Prajitno, 1990: 30)
adalah:

5
1. Tanah tempat berdirinya lingkungan kumuh dapat berupa tanah negara,
tanah instansi, tanah perorangan atau Badan Hukum dan tanah Yayasan;
2. Penghuni lingkungan kumuh dapat terdiri dari pemilik tanah dan
bangunan, pemilik bangunan di atas tanah sewa, penyewa bangunan
termasuk tanahnya, atau pemilik/penyewa bangunan yang didirikan tanpa
seijin pemegang hak atas tanahnya;
3. Penggunaan bangunannya dapat untuk tempat hunian, tempat usaha atau
campuran;
4. Peruntukan penggunaan tanahnya menurut rencana kota dapat untuk
perumahan, jalur pengaman atau keperluan lainnya;
5. Prasarana lingkungan biasanya kurang dan tidak memenuhi persyaratan
teknis dan kesehatan;
6. Fasilitas lingkungannya biasanya tidak ada atau tidak lengkap
7. Kondisi bangunannya padat sampai sangat padat dan tidak atau kurang
memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan dengan tata letak yang tidak
teratur.
Berdasar pada pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa ciri-ciri yang
melekat pada pemukiman kumuh adalah pemukiman memiliki kepadatan
hunian tinggi, kondisi bangunan tidak teratur, prasarana dan sarana lingkungan
kurang memadai, dan sebagian besar penghuninya berpenghaslan rendah.
Lingkungan pemukiman kumuh di Kota Semarang, secara garis besar dapat
diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu: (1) lingkungan perumahan kumuh
berada di lokasi sangat strategis dalam mendukung fungsi kota, yang menurut
rencana kota dapat dibangun bangunan komersial untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat secara baik, (2) lingkungan perumahan kumuh yang
lokasinya kurang strategis dalam mendukung fungsi kota dan memberikan
pelayanan kepada masyarakat kota, walaupun menurut rencana kota dapat
dibangun bangunan komersial, namun kurang memiliki nilai komersial, dan (3)
lingkungan perumahan kumuh berada pada lokasi berbahaya, yang menurut
rencana kota berada pada jalur pengaman seperti pada bantaran sungai, jalur
tegangan tinggi, jalur kereta api, dan lain-lain (Pemerintah Kotamadya Daerah
Tingkat II Semarang, 1996: 8).
Lingkungan pemukiman kumuh di Kota Semarang sebagian telah
diremajakan yaitu lingkungan pemukiman kumuh Pekunden dan Bandarharjo.
Pada kedua lingkungan pemukiman kumuh tersebut telah dibangun rumah
susun. Rumah susun merupakan istilah bermakna sama dengan flats atau multi-
store housing. Rumah susun dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu
rumah susun bertangga (walk up flats) dan rumah susun berlif. Rumah susun
bertangga umumnya terdiri dari 4 lantai, sedangkan rumah susun berlif terdiri
dari 4-8 lantai atau lebih (Budiharjo: 1988: 199). Rumah susun Pekunden dan
Rumah susun Bandarharjo di Kota Semarang termasuk rumah susun klasifikasi
pertama yaitu rumah susun bertangga.

6
F. Bacaan Pengayaan
Untuk memperkaya pemahaman mahasiswa terhadap bahan pada Bab
ini, mahasiswa diharuskan membaca:
1. Suhadi. 2017. Aspek Hukum dan Sosial Rumah Susun. Semarang: Bpfh
UNNES
2. Ridwan Halim, 1995,Sendi-Sendi Hukum Hak Milik, Kondominium,
Rumah Susun dan Sari-Sari Hukum Benda, Doa dan Karma, Jakarta.
3. , 1990, Hukum Kondominium dalam Tanya Jawab,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
4. Komar Andasasmita, 1986, Hukum Apartemen-Rumah Susun, Ikatan
Notaris Indonesia, Komisariat Daerah Jawa Barat, Bandung

7
MATERI 2
SUMBER HUKUM APARTEMEN DI INDONESIA

A. Pendahuluan
Pada bab ini dibahas tentang sumber hukum apartemen. Sumber hukum apartemen
dapat dibagi menjadi dua yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formil.
Sumbert hukum materiil merupakan sumber hukum yang melihat hal-hal apa yang
akhirnya mendorong perlunya hukum apartemen, sedangkan hukum apartemen
formil menunjuk kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur atau
berkaitan dengan apartemen.

B. Capaian Pembelajaran
Menguasai sumber sumber hukum apartemen

C. Sub Capaian Pembelajaran


1. Menguasai sumber hukum materiil Apartmen Law
2. Menguasai sumber hukum formil Apartment Law

D. Media Pembelajaran
Pembelajaran menggunakan Elena dan Google Classroom

E. Materi
1. Sumber Hukum Materiil
Ridwan Halim (1995: 122) berpendapat bahwa sumber-sumber Hukum
Kondominium dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang menjadi penimbul
Hukum Kondominium, atau segala sesuatu yang menyebabkan adanya atau
timbulnya Hukum Kondominium. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa sumber-
sumber hukum kondominium dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu sumber
sumber hukum (secara) material dan sumber-sumber hukum (secara) formal.

8
Sumber-sumber hukum kondominium secara material ialah pada
dasarnya segala keadaan kehidupan umum atau pukul rata dari masyarakat luas
yang dalam kenyataannya membuktikan bahwa hukum kondominium itu perlu
segera di susun, dibentuk dan diberlakukan untuk mengatur keadaan pemilikan
dari objek-objek yang menjadi pemenuh keperluan hidup masyarakat yang
termasuk dalam tingkatan primer namun persediannya dapat dikatakan sudah
sangat terbatas, misalkan bangunan rumah ataupun tempat usaha, tanah yang
akan dijadikan lahan tempat mendirikan bangunan tersebut dan sebagainya,
agar penggunaan dan pemilikan benda-benda pemenuh keperluan itu dapat
berjalan seefisien, seoptimal dan seefektif mungkin.
Pembangunan rumah susun di banyak negara umumnya dimaksudkan
sebagai upaya pemenuhan kebutuhan perumahan perkotaan (Eko Budihardjo,
1998:154-161). Di Indonesia, pembangunan rumah susun selain untuk
memenuhi kebutuhan perumahan perkotaan khususnya bagi masyarakat
berpenghasilan rendah, juga dimaksudkan untuk mengurangi kekumuhan
perkotaan sebagai akibat adanya pemukiman atau perkampungan kumuh. Hal
ini dapat dilihat dari rumusan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985
tentang Rumah Susun, yang menyebutkan bahwa pembangunan rumah susun
bertujuan untuk:memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat,
terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang menjamin
kepastian hukum dalam pemanfaatannya; meningkatkan daya guna dan hasil
guna tanah di daerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya
alam dan menciptakan lingkungan pemukiman yang lengkap, serasi dan
seimbang; memenuhi kebutuhan untuk kepentingan lainnya yang berguna bagi
kehidupan masyarakat dengan tetap mengutamakan terpenuhinya kebutuhan
perumahan yang layak bagi rakyat sebagaimana huruf a di atas.
Secara lebih khusus, rumah susun yang dibangun di atas tanah negara
yang peruntukan utamanya ditujukan kepada masyarakat berpenghasilan
rendah, sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Peremajaan Permukiman Kumuh yang berada di atas Tanah Negara bertujuan
untuk: meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan, harkat, derajat dan
martabat masyarakat penghuni pemukiman kumuh, terutama masyarakat
berpenghasilan rendah dengan memperoleh perumahan yang layak dalam
lingkungan permukiman yang sehat dan teratur; mewujudkan kawasan kota
yang ditata secara lebih baik sesuai dengan fungsinya sebagaimana ditetapkan
dalam rencana tata ruang kota yang bersangkutan; mendorong penggunaan
tanah yang lebih efisien, meningkatkan tertib bangunan, memudahkan
penyediaan prasarana dan fasilitas lingkungan pemukiman yang diperlukan
serta mengurangi gap atau kesenjangan kesejahteraan penghuni dari berbagai
kawasan di daerah perkotaan.

9
2. Sumber Hukum Formil
Sumber hukum kondominium (secara) formal ialah pada dasarnya
segala bentuk (forma) dari peraturan perundang-undangan yang isinya memuat
ketentuan-ketentuan hukum kondominium sebagai hukum yang berlaku secara
umum, apakah itu dalam bentuk undang-undang, ataukah kebiasaan-kebiasaan
yang telah dibentuk isinya sebagai suatu peraturan hukum yang berlaku ataukah
sebagai suatu jurisprudensi, ataukah dalam bentuk suatu traktat ataupun
doktrin. Dengan belajar dari pengalaman negara-negara lain, pembangunan
rumah susun akhirnya menjadi sebuah pilihan Pemerintah Indonesia dalam
memenuhi kebutuhan perumahan perkotaan. Hal ini tampak dari konsideran
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun, yang
menyatakan:
bahwa dalam rangka peningkatan daya guna dan hasil guna tanah bagi
pembangunan perumahan dan untuk lebih meningkatkan kualitas lingkungan
pemukiman terutama di daerah-daerah yang berpenduduk padat tetapi hanya
tersedia luas tanah yang terbatas, dirasakan perlu untuk membangun
perumahan dengan sistem lebih dari satu lantai, yang dibagi atas bagian-
bagian yang dimiliki bersama dan satuan-satuan yang masing-masing dapat
dimiliki secara terpisah untuk dihuni, dengan memperhatikan faktor sosial
budaya yang hidup dalam masyarakat.

Pembangunan rumah susun di Indonesia, merupakan salah satu bentuk


penataan lingkungan pemukiman perkotaaan yang kondisinya sangat merosot
(kumuh), dengan cara membongkar pemukiman lama dan menggantinya
dengan pemukiman baru (urban renewal). Pemukiman baru sebagai bentuk
peremajaan kota dibangun dalam arah vertikal dalam model rumah susun. Hal
penting yang perlu mendapat perhatian dalam pembangunan rumah susun di
Indonesia adalah perlunya memperhatikan faktor sosial budaya yang hidup
dalam masyarakat. Hal ini membuktikan adanya kesadaran sekaligus
pengakuan dari pembentuk undang-undang bahwa pembangunan rumah susun
tidak dapat dilakukan secara sembarangan melainkan harus penuh kehati-
hatian, mengingat pada umumnya masyarakat Indonesia telah terbiasa hidup
dalam hunian berstruktur horisontal.
Pembangunan rumah susun di Indonesia diatur melalui sejumlah
peraturan perundang-undangan seperti: Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985
tentang Rumah Susun, Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang
Rumah Susun. Secara khusus, pembangunan rumah susun yang dimaksudkan
sebagai upaya peremajaan pemukiman kumuh diatur lebih lanjut oleh Instruksi
Presiden Nomor 5 Tahun 1990 tentang Peremajaan Lingkungan Pemukiman
Kumuh yang berada di atas Tanah Negara.
Pembangunan Rumah susun Pekunden merupakan salah satu upaya
peremajaan lingkungan pemukiman kumuh di Kota Semarang, yang dibangun
di atas tanah seluas 4000 M2. Pembangunannya diawali pada bulan Desember

10
1991, selesai Maret 1992, mulai dihuni tanggal 26 September 1992 dan
diresmikan penggunaannya oleh Presiden Republik Indonesia tanggal 24
Oktober 1992. Dengan demikian, dilihat dari waktu pembangunannya, Rumah
Susun Pekunden merupakan pilot project pembangunan rumah susun di
Semarang dan bahkan di Jawa Tengah.
Sebagai contoh, pembangunan rumah susun Pekunden merupakan
upaya urban renewal yang dilakukan terhadap pemukiman kumuh Pekunden.
Sebagai sebuah urban renewal, pembangunan Rumah susun Pekunden
berlindung pada Inpres Nomor 5 Tahun 1990 tentang Peremajaan Lingkungan
Pemukiman Kumuh yang berada di atas Tanah Negara. Pada waktu Rumah
susun Pekunden dibangun, Peraturan Daerah Kota Semarang tentang rumah
susun belum ada. Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa pembangunan
Rumah susun Pekunden merupakan realisasi dari sebuah Instruksi Presiden.
Pembangunan Rumah susun Pekunden didasarkan atas perintah
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah dalam rangka mewujudkan
penataan hunian kumuh yang salah satu diantaranya diwujudkan dalam bentuk
rumah susun. Perintah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I mengacu kepada
Instruksi Presiden No. 5 Tahun 1990, yang antara lain ditujukan kepada
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Melalui Instruksi Presiden No. 5 Tahun
1990, Presiden menginstruksikan kepada Menteri Perumahan Rakyat, Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas, Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Pekerjaan Umum, Menteri Sosial, Menteri Keuangan, Kepala BPN, para
Gubernur Kepala Daaerah Tingkat I dan para Bupati atau Walikota untuk
melaksanakan peremajaan pemukiman kumuh di daerah perkotaan, terutama
yang berada di atas tanah negara di seluruh Indonesia. Dalam rangka
peremajaan pemukiman kumuh di Kota Semarang, Surat Menteri Perumahan
Rakyat No. 444/UM 0102/AII/XI/90 tanggal 21 Nopember 1990 tentang
Peremajaan Lingkungan Kumuh di Kota Semarang, merupakan pijakan yang
diperhatikan oleh Pemerintah Kota Semarang. Surat Menpera tersebut pada
intinya menyatakan bahwa lingkungan pemukiman kumuh di Kota Semarang
yang akan di tata terlebih dahulu adalah kawasan di Kelurahan Pekunden dan
Sekayu
Pembangunan rumah susun Pekunden melibatkan berbagai pihak, baik
pemerintah maupun swasta. Unsur pemerintah yang terlibat dalam
pembangunan Rumah susun Pekunden adalah Pemerintah Kotamadya Daerah
Tingkat II Semarang, Gubernur KDH Tingkat I Jawa Tengah, Menteri Dalam
Negeri, Menteri Perumahan Rakyat. Selain itu, pembangunan Rumah susun
Pekunden juga melibatkan pihak swasta seperti PT. Setia Bakti Maya Persada,
PT. Strubent Utama, dan PT. Tiga Jaya

11
MATERI 3
HUKUM APARTEMEN BAGIAN HUKUM KONDOMINIUM

A. Pendahuluan
Pada bab ini dibahas tentang hukum apartemen sebagai bagian dari hukum
kondominium. Ini berarti cakupan hukum apartemen lebih sempit dibandingkan
dengan hukum kondominium. Selain rumah susun, bangunan-bangunan yang
merupakan objek hokum kondominium adalah bangunan tempat tinggal tidak
bertingkat/tidak bersusun, dan juga tempat-tempat usaha yang struktur dan sistem
pembangunannya terbentuk dalam satu persatuan secara bertingkat/bersusun
ataupun tidak bertingkat/tidak bersusun.

B. Capaian Pembelajaran
Menguasai konsep kepemilikan bersama dan asas pemisahan dalam hukum
apartemen
C. Sub Capaian Pembelajaran
1. Menguasai konsep dasar apartemen sebagai bagian kondominium
2. Menguasai konsep kepemlikan bersama terikat dan bebas

D. Media Pembelajaran
Pembelajaran menggunakan Elena dan Google Classroom

E. Materi
1. Apartemen: Bagian Hukum Kondominium
Rumah susun merupakan salah satu macam di antara bangunan-bangunan
kondominium atau bangunan-bangunan yang sistem pemilikannya secara
kondominium. Rumah susun merupakan objek hokum kondominium yang berupa
tempat tinggal yang struktur dan sistem pembangunannya terbentuk dalam satu
persatuan secara bertingkat/bersusun. Selain rumah susun, bangunan-bangunan

12
yang merupakan objek hokum kondominium adalah bangunan tempat tinggal tidak
bertingkat/tidak bersusun, dan juga tempat-tempat usaha yang struktur dan sistem
pembangunannya terbentuk dalam satu persatuan secara bertingkat/bersusun
ataupun tidak bertingkat/tidak bersusun (Ridwan Halim, 1995). Lebih lanjut
Ridwan Halim menjelaskan bahwa Hukum rumah susun merupakan salah satu
bagian dari Hukum Kondominium yang sangat atau paling menonjol. Rumah susun
yang merupakan salah satu obyek hokum kondominium, secara skematis disajikan
pada bagan di bawah ini (ridwan Halim, 1995: 198).

Bangunan-bangunan (objek hokum)


kondominium

Tempat Tinggal Tempat Usaha

Bertingkat / Tidak Bertingkat / Tidak


bersusun bertingkat bersusun bertingkat
(Rumah susun) /tidak /tidak bersusun
bersusun

Bagan 1. Bangunan-bangunan objek Hukum Kondominium

Pembangunan rumah susun dapat dikatakan sudah menjadi pilihan terbanyak dari
pemerintah Negara-negara yang berpenduduk padat baik di Negara maju maupun
Negara berkembang. Khusus bagi Negara-negara berkembang, pola-pola
pembangunan rumah susun semakin menjadi pilihan kebijakan pemerintah karena:
1. keperluan akan rumah selalu dan selama-lamanya merupakan keperluan primer
bagi siapa saja dan di mana saja.
2. lahan/tanah yang tersedia untuk pembangunan sudah kian pula terbatas
3. tingkat pukul rata pendapatan perkapita masyarakat Negara bewrkembang yang
masih rendah sangat memperkecil kemungkinan warga measyarakat untuk
dapat memiliki rumah-rumah yang berharga cukup tinggi
4. keadaan kehidupan masyarakat Negara-negara berkembang yang umumnya
mayoritas terdiri dari kaum ekonomi lemah, sudah terbiasa berada dalam
suasana kebersamaan dalam iklim sambat sinambat dan gotong royong.

13
2. Konsep-konsep Dasar Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
Salah satu hal yang mendorong lahirnya konsep pembangunan rumah
susun adalah efisiensi penggunaan tanah. Pembangunan perumahan senantiasa
memerlukan tanah sebagai basis kegiatannya. Sementara itu luas tanah yang
tersedia untuk pembangunan perumahan semakin terbatas.
Dalam rangka mencapai efisiensi penggunaan tanh tersebut, sistem
pembangunan rumah susun menggunakan sistem condominium, yaitu suatu sistem
pemilikan perseorangan dan hak bersama. Konsep dasar yang melandasi sistem
condominium berpangkal pada teori-teori tentang pemilikan suatu benda, yang
lazim dikenal dengan istilah pemilikan bersama.
Dalam pemilikan bersama atas suatu benda/bangunan pada pokoknya
dikenal dua bentuk pemilikan, yaitu pemilikan bersama yang terikat (gebonden
mede eigendom) dan pemilikan bersama yang bebas (vrije mede eigendom). Dalam
pemilikan bersama yang terikat, dasar utamanya adalah ikatan hokum yang terlebih
dahulu ada di antara para pemilik benda bersamanya, misalnya pemilikan bersama
yang terikat pada harta perkawinan, atau terikat pada harta peninggalan. Para
pemilik bersama (mede eigendom) tidak dapat bebas memindahkan haknya kepada
orang lain tanpa persetujuan mede eigenaar lainnya, atau selama isteri masih dalam
ikatan perkawinan tidak dimungkinkan mengadakan pemisahan dan pembagian
harta perkawinan. Pada pemilikan bersama yang bebas (vrije mede eigendom),
antara para pemilik bersama tidak terdapat ikatan hokum terlebih dahulu, selain
dari pada hak bersama menjadi pemilik dari suatu benda. Dalam pemilikan bersama
semacam ini ada kehendak untuk bersama-sama menjadi pemilik atas suatu benda,
untuk digunakan bersama. Bentuk pemilikan bersama yang bebas inilah yang
menurut Hukum Romawi disebut condominium.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah
susun mengatur bahwa sebagai bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam
suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara
fungsional dalam arah horisontal maupun vertikal, rumah susun terdiri atas satuan-
satuan rumah susun yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, terutama untuk hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama dan tanah
bersama.
Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa dalam rumah susun ada
satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah
yang diberi sebutan satuan rumah susun (sarusun), yang jelas batasnya, ukuran dan
luasnya. Selain sarusun, ada bagian bersama dari bangunan tersebut serta benda
bersama dan tanah bersama yang diatasnya didirikan rumah susun, yang karena
sifat dan fungsinya harus digunakan dan dinikmati bersama dan tidak dapat dimiliki
secara perseorangan. Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki
secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan
sarusun. Contoh: pondasi, kolom, balok, dinding, lantai, atap, talang air, tangga,
lift, selasar, saluran-saluran, pipa-pipa, jaingan-jaringan listrik, gas, dan
telekomunikasi serta ruang untuk umum. Benda bersama adalah benda yang bukan

14
merupakan bagian rusun, tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk
pemakaian bersama, contoh: tanaman, bangunan pertamanan, bangunan sarana
sosial, tempat iabdah, tempat bermain, tempat parkir, yang sifatnya terpisah dari
struktur bangunan rusun. Tanah bersama adalah sebidang tanah yang digunakan
atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang diatasnya berdiri rusun dan
ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin bangunan.
Menurut Ridwan Halim (1995: 203) hukum apartemen dalam
perbandingan dengan hukum rumah susun
No Rumah Susun Apartemen
A Sesuai dng istilahnya, rusun Istilahnya “apart”artinya terpisah
selalu berupa & berfungsi sbg shg apartemen scr harfiah berarti
rumah→hanya digunakan u/ ruang2 yg terpisah-pisah, apartemen
rumah tinggal tdk menyatakan
fungsinya→apartemen tdk hanya
sebagai rumah tinggal namun bisa
juga u/ tmp usaha/perkantoran
B Rusun jelas merupakan Apartemen belum tentu rusun
apartemen
C Pemilik satuan rusun Pemilik (satuan) apartemen
memegang/mpy HM atas memegang/mpy hak apartemen
satuan rumah susun
D Menurut hukum Rusun, HM Menurut H. apartemen, hak
sarusun menempatkan si apartemen yg dipegang oleh pemilik
pemilik / si pemegang hak tsb satuan apartemen tsb tdk
sebagai pemilik dari fisik menempatkan si pemilik tsb sbg
satuan rumah susunnya itu pemilik dari fisik satuan
sendiri apartemennya tsb, melainkan hanya
sbg pemilik dari hak atas apartemen
saja. Sedangkan hak apartemen ialah
hak untuk menggunakan satuan
apartemen tertentu scr optimal bagi
kepentingan si pemegang hak itu
sendiri, berhubung satuan
apartemennya sudah terpisah sari
satuan2 apartemen lainnya
E Tiap pemilik satuan rusun Tiap pemilik satuan apartemen
memegang tanda bukti hak memegang tanda bukti hak berupa
berupa sertifikat HM atas akta pemisahan satuan
satuan rumah susun apartemennya. Dng akta pemisahan
Disamping sertifikat,hak itulah mk timbul peranan (hak,
termasuk, buku tanah, surat kewajiban, & kekuasaan),
ukur, GS kedudukannya sbg pemilik hak

15
apartemen, yakni yg berarti hak u/
menggunakan satuan apartemennya
scr optimal & terpisah dari satuan
apartemen yg lain
f Penghuni rusun diwajibkan u/ Para pemilik satuan apartemen
membentuk perhimpunan diwajibkan u/ membentuk
penghuni yg berkedudukan perhimpunan pemilik yg tugas
sbg badan utmanya ialah u/ melaksanakan adm
hukum→berdasarkan pengelolaan & sekaligus jg
keputusan rapat u/ membentuk pengawasan benda bersama u/ kep.
& menunjuk badan pengelola Mereka tsb sendiri.

g Pengurusan perhimpunan Pengurusann perhimpunan


penghuni dilaksanakan oleh penghuni dilaksanakan o/ pegawai
para anggota lembaga tsb adm yg berdasarkan kep rapat para
sendiri berdasarkan kep. pemilik satuan apartemen dapat
Rapat mereka sendiri, shg dipilih & diangkat administratur
kepengurusan lembaga ini tdk pengganti yg berasal dari org luar,
dapat dipegang oleh orang dlm arti bukan dari pemilik ataupun
luar penghuni apartemen setempat

3. Asas-asas Pemisahan dalam Hukum Tanah


Sebagaimana telah dikenal selama ini, ada dua macam asas pemisahan
dalam hukum tanah, yaitu asas pemisahan vertical dan asas pemisahan
horizontal.
Asas pemisahan vertical adalah suatu asas yang membagi membatasi
dan memisahkan pemilikan tanah dalam bidang-0bidangh atau persil-persilnya
secara vertical, sehingga hal ini mengandung arti bahwasannya:
a. Pemilik sebidang tanah adalah juga pemilik dari segala sesuatu baik
yang terkandung di dalam tanah itu sendiri ataupun yang ada/berdiri
di atas tanah tersebut. Misalnya bangunan-bangunan ataupun
tumbuh-tumbnuhan yang ada di atas tanah itu.
b. Karena itu, dalam asas pemisahan ini tidak dimungkinkan seseorang
atau suatu pihak melakukan penumpangan di atas tanah orang lain,
baik apakah penumpangan tersebut berupa penumpangan
pembuatan/pendirian bangunan ataupun penanaman tumbuh-
tumbuhan/pepohonan
c. Dengan kata lain, pemilik dari sebidang tanah atau sepersil tanah
tertentu sudahlah jelas status diri dan haknya, yakni sebagai pemilik
penuh yang berhak atas segala seuatu yang berkenaan dengan
sebidang tanah atau persil tanah mi,liknya tersebut serta segala
seuatu yang ada pada tanah tersebut.

16
Sebagai contoh dari system atau stelsel hukum yang menggunakan atau
mengenal asas pemisahan vertical dalam hukum tanahnya adalah KUHPerdata
Belanda yang juga dianut dalam KUHPerdata (BW)
Asas pemisahan horizontal (Ridwan halim, 1995: 178) ialah suatu asas
yang membagi, membatasi dan memisahkan pemilikan atas sebidang atanh
berikut segala sesuatu yang berkenaan dengan tanah tersebut secara horizontal,
sehingga hal ini membawa akibat hukum bahwasannya:
a. Belum tentu pemilik sebidang tanah itu adalah juga pemilik dari
segala tanaman atau bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut
dan demikian pula sebaliknya, belum tentu juga pemilik segala
tanaman atau bangunan yang berdiri di atas sebidang tanah adalah
juga pemilik dari tanah yang bersangkutan beserta dengan segala
isinya yang terkandung di dalamnya.
b. Karena itu, dalam asas pemisahan horizontal ini sangat
dimungkinkan seseorang atau suatu pihak melakukan penumpangan
di atas tanah orang lain,. Baik penumpangan itu berupa
penumpangan pendirian rumah/bangunan ataupun berupa
penumpangann tanaman atau pepohonan atau tumbuhan tertentu.
c. Dengan kata lain, pemilik dari sebidang tanah atau sepersil tanahn
tertentu belum tentu adalah juga pemilik dari segala sesuatu yang
ada di atas tanah tersebut.

4. Asas-asas Pemisahan dalam Hukum Apartemen


"Rumah Susun" adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun
dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan
secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertical dan merupakan
satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian-
bersama, benda-bersama dan tanahbersama. "Satuan rumah susun" adalah
rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah
sebagai tempat hunian, yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.
"Lingkungan" adalah sebidang tanah dengan batas-batas yang jelas yang di
atasnya dibangun rumah susun termasuk prasarana dan fasifitasnya, yang
secara keseluruhan merupakan kesatuan tempat pemukiman.
"Bagian-bersama" adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara
tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-
satuan rumah susun. Sebagai contoh, bagian-bersama adalah antara lain :
pondasi, kolom, balok, dinding, lantai, atap, talang air, tangga, lift, selasar,
saluran- saluran, pipa-pipa, jaringan-jaringan listrik, gas, dan telekomunikasi
serta ruang untuk umum.
"Benda-bersama" adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah
susun, tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian
bersama. Sebagai contoh, benda bersama adalah antara lain : tanaman,

17
bangunan pertamanan, bangunan sarana sosial, tempat ibadah, tempat bermain,
tempat parkir, yang sifatnya terpisah dari struktur bangunan rumah susun.
"Tanah-bersama" adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak
bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri rumah susun dan
ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin bangunan.
Sejalan dengan arah kebijaksanaan umum tersebut, maka di daerah
pekotaan yang berpenduduk padat sedangkan tanah yang tersedia sangat
terbatas, perlu dikembangkan pembangunan perumahan dan pemukiman dalam
bentuk rumah susun yang lengkap, seimbang, dan serasi dengan
lingkungannya. Pengertian Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat
yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal dan arah vertikal
yang terbagi dalam satu-satuan yang masing-masing jelasbatas-batasnya,
ukuran dan luasnya, dan dapat dimiliki dan dihuni secara terpisah. Selain
satuan-satuan yang penggunaannya terpisah, ada bagianbersama dari bangunan
tersebut serta benda-bersama dan tanah-bersama yang di atasnya didirikan
rumah susun, yang karena sifat dan fungsinya harus digunakan dan dinikmati
bersama dan tidak dapat dimiliki secara perseorangan. Hak pemilikan atas
satuan rumah susun merupakan kelembagaan hukum baru, yang perlu diatur
dengan undang-undang, dengan memberikan jaminan kepastian hukum kepada
masyarakat Indonesia.
Dengan undang-undang ini diciptakan dasar hukum hak milik atas
satuan rumah susun, yang meliputi:
a. hak pemilikan perseorangan atas satuan-satuan rumah susun yang
digunakan secara terpisah;
b. hak bersama atas bagian-bagian dari bangunan rumah susun;
c. hak bersama atas benda-benda;
d. hak bersama atas tanah. yang semuanya merupakan satu kesatuan hak
yang secara fungsional tidak terpisahkan.

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, menyebutkan:


(1) Rumah susun hanya dapat dibangun di atas tanah hak milik, hak guna
bangunan, hak pakai atas tanah negara atau hak pengelolaan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Penyelenggara pembangunan yang membangun rumah susun di atas tanah
yang dikuasai dengan hak pengelolaan, wajib menyelesaikan status hak
guna bangunan di atas hak pengelolaan tersebut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebelum menjual satuan rumah susun
yang bersangkutan.
(3) Penyelenggara pembangunan wajib memisahkan rumah susun atas satuan
dan bagian-bersama dalam bentuk gambar dan uraian yang disahkan oleh
instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku yang memberi kejelasan atas:

18
a. batas satuan yang dapat dipergunakan secara terpisah untuk
perseorangan;
b. batas dan uraian atas bagian bersama dan benda bersama yang menjadi
haknya masing-masing satuan;
c. batas dan uraian tanah bersama dan besarnya bagian yang menjadi
haknya masing-masing satuan.
Berdasarkan pada uraian di atas nampak jelas bahwa asas pemisahan
horizontal dan asas pemisahan vertical kedua-duanya dikenal dalam rumah
susun. Asas pemisahan vertical dikenal dalam Hukum rumah susun berhubung
dalam hukum rumah susun dikenal adanya pembagian secara terpisah-pisah
suatu bangunan rumah susun itu dengan tujuan agara tiap=tiap satuan rumah
susun itu dapat dimiliki ataupun dihuni secara tersendiri, terpisah dari satuan-
satuan rumah susun lainnya. Asas pemisahan horizontal dikenal juga dalam
hukum rumah susun berhubung dalam hukum rumah susun dikenal adanya
pemisahan horizontal yang membagi, memisahkan dan membedakan antra
status satuan-satuan rumah susun yang merupakan hak milik pribadi masing-
masing dari pada mede eigenaars dengan tanah di aman gedung rumah susun
mereka itu berdiri yang merupakan hak milik bersama dari para mede eigenaars
tersebut.

19
MATERI 4
PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN

.
A. Pendahuluan
Pada bab ini dibahas tentang pembangunan rumah susun, yang didalamnya dibahas
tentang jenis rumah susun dan pelaku pembangunan rumah susun, hak atas tanah
untuk pembangunan rumah susun, penyediaan tanah untuk pembangunan rumah
susun dan persyaratan pembangunan rumah susun

B. Capaian Pembelajaran
Menguasai konsep pembangunan rumah susun/apartemen

C. Sub Capaian Pembelajaran


3. Menguasai konsep dasar apartemen sebagai bagian kondominium
4. Menguasai konsep kepemlikan bersama terikat dan bebas

D. Media Pembelajaran
Pembelajaran menggunakan Elena dan Google Classroom

E. Materi
1. Jenis Rumah Susun dan Pelaku Pembangunan Rumah Susun
Rumah susun di Indonesia terdiri atas rumah susun umum, rumah susun
khusus, rumah susun negara, dan rumah susun komersial. Rumah susun umum adalah
rumah susun yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi
masyarakat berpenghasilan rendah. Rumah susun khusus adalah rumah susun yang
diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan khusus. Rumah susun negara adalah
rumah susun yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau
hunian, sarana pembinaan keluarga, serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat

20
dan/atau pegawai negeri. Rumah susun komersial adalah rumah susun yang
diselenggarakan untuk mendapatkan keuntungan
Pasal 15 dan 16 Undang Undang Nomor 20 tahun 2011 terkait pembangunan
rumah susun mengatur hal-hal berikut:
a. Pembangunan rumah susun umum, rumah susun khusus, dan rumah susun
negara merupakan tanggung jawab pemerintah.
b. Pembangunan rumah susun umum yang dilaksanakan oleh setiap orang
mendapatkan kemudahan dan/atau bantuan pemerintah.
c. Pembangunan rumah susun umum dan rumah susun khusus dapat dilaksanakan
oleh lembaga nirlaba dan badan usaha.
d. Pembangunan rumah susun komersial dapat dilaksanakan oleh setiap orang
e. Pelaku pembangunan rumah susun komersial wajib menyediakan rumah susun
umum sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari total luas lantai rumah
susun komersial yang dibangun.
f. Kewajiban tersebut dapat dilakukan di luar lokasi kawasan rumah susun
komersial pada kabupaten/kota yang sama.

2. Hak Atas Tanah Untuk Pembangunan Rumah Susun


Pasal 17 Undang Undang Nomor 20 tahun 2011 menegaskan bahwa rumah
susun dapat dibangun di atas tanah:
a. hak milik;
b. hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara;
c. hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan.
d. Selain dibangun di atas tanah HM, HGB, HP atas Tanah Negara, HGB atau
HP di atas HPL, umah susun umum dan/atau rumah susun khusus dapat
dibangun dengan pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah atau.
pendayagunaan tanah wakaf.
Dalam kaitannya dengan tanah untuk pembangunan rumah susun, maka harus
dilihat dan diperhatikan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Undang Undang
Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Berikut
ini akan diuraiakn secara garis besar hak-hak atas tanah yang terkait dengan
pembangunan rumah susun.

3. Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Rumah Susun


Pasal 22 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
menyebutkan bahwa penyediaan tanah untuk pembangunan rumah susun dapat
dilakukan melalui:
a. pemberian hak atas tanah terhadap tanah yang langsung dikuasai
negara;
b. konsolidasi tanah oleh pemilik tanah;
c. peralihan atau pelepasan hak atas tanah oleh pemegang hak atas tanah;
d. pemanfaatan barang milik negara atau barang milik daerah berupa tanah;
e. pendayagunaan tanah wakaf;

21
f. pendayagunaan sebagian tanah negara bekas tanah terlantar
g. pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum.

.
4. Persyaratan Pembangunan Rumah Susun
Pasal 13 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2011 menegaskan bahwa
perencanaan pembangunan rumah susun meliputi:
a. penetapan penyediaan jumlah dan jenis rumah susun;
b. penetapan zonasi pembangunan rumah susun;
c. penetapan lokasi pembangunan rumah susun.
Penetapan penyediaan jumlah dan jenis rumah susun dilakukan
berdasarkan kelompok sasaran, pelaku, dan sumber daya pembangunan yang meliputi
rumah susun umum, rumah susun khusus, rumah susun negara, dan rumah susun
komersial. Penetapan zonasi dan lokasi pembangunan rumah susun harus dilakukan
sesuai dengan ketentuan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. Dalam hal daerah
belum mempunyai rencana tata ruang wilayah, gubernur atau bupati / walikota
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetap-kan zonasi dan lokasi
pembangunan rumah susun umum, rumah susun khusus, dan rumah susun negara
dengan mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Khusus untuk
wilayah Provinsi DKI Jakarta penetapan zonasi dan lokasi pembangunan rumah susun
dilaku-

Persyaratan pembangunan rumah susun meliputi:


a. persyaratan administratif;
b. persyaratan teknis;
c. persyaratan ekologis.
a. Persyaratan Administratif
Persyaratan administratif adalah perizinan yang diperlukan sebagai syarat untuk
melakukan pembangunan rumah susun. Termasuk dalam persyaratan administratif
adalah status hak atas tanah dan izin mendirikan bangunan.
b. Persyaratan Teknis
Persyaratan teknis adalah persyaratan yang berkaitan dengan struktur
bangunan, keamanan dan keselamatan bangunan, kesehatan lingkungan, kenyamanan,
dan lain-lain yang berhubungan dengan rancang bangun, termasuk kelengkapan
prasarana dan fasilitas lingkungan.

c. Persyaratan Ekologis
Persyaratan ekologis adalah persyaratan yang memenuhi analisis dampak
lingkungan dalam hal pembangunan rumah susun. Persyaratan ekologis mencakupi
keserasian dan keseimbangan fungsi lingkungan. Pembangunan rumah susun yang
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan harus dilengkapi persyaratan
analisis dampak lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

22
MATERI 6
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAN PERHIMPUNAN PENGHUNI

A. Pendahuluan
Pada bab ini dibahas tentang tanggung jawab pemerintah dalam pembangunan
apartemen dan perhimpunan penghuni apartemen sebagai badan hukum yang dapat
bertindak ke dalam dan keluar mewakili kepentingan penghuni apartemen.

B. Capaian Pembelajaran
Menguasai konsep penghunian dan pengelolaan apartemen

C. Sub Capaian Pembelajaran


1. Tanggung jawab pemerintah
2. Perhimpunan penghuni

D. Media Pembelajaran
Pembelajaran menggunakan Elena dan Google Classroom

E. Materi
1. Tanggung Jawab Pemerintah
Pengaturan dan pembinaan rumah susun merupakan tanggung jawab
dan wewenang Pemerintah. Untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang
setinggi-tingginya, sebagian urusan tersebut dapat diserahkan kepada
Pemerintah Daerah sesuai dengan asas pemerintahan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974. Untuk menggalakkan usaha
pembangunan rumah susun dan memudahkan pihak-pihak yang ingin memiliki
satuan rumah susun; Undangundang ini mengatur kemungkinan untuk
memperoleh kredit konstruksi dan kredit pemilikan rumah dengan
menggunakan lembaga hipotik atau fidusia. Khususnya bagi golongan

23
masyarakat yang berpenghasilan rendah yang ingin memiliki satuan rumah
susun, mendapatkan prioritas dan kemudahan-kemudahan baik langsung
maupun tidak langsung agar harganya dapat terjangkau. Pembangunan rumah
susun memerlukan persyaratan-persyaratan teknis dan administratif yang lebih
berat. Untuk menjamin keselamatan bangunan, keamanan, dan ketenteraman
serta ketertiban penghunian, dan keserasian dengan lingkungan sekitarnya,
maka satuan rumah susun baru dapat dihuni setelah mendapat izin kelayakan
untuk dihuni dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

2. Perhimpunan Penghuni
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah
Susun, menyebutkan pembangunan rumah susun dapat diselenggarakan oleh
Badan Usaha Milik Negara atau Daerah, Koperasi, dan Badan Usaha Milik
Swasta yang bergerak dalam bidang itu serta Swadaya masyarakat. Dalam
kaitannya dengan penyelenggara pembangunan rumha susun (PPRS) ini Boedi
Harsono berpendapat bahwa Badan Usaha Milik Swasta harus merupakan
badan hukum Indonesia, yang bermodal murni nasional atau merupakan usaha
patungan dengan modal asing, sesuai ketentuan mengenai penanaman modal
sasing. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa PPRS harus memenuhi syarat
sebagai subyek hak atas tanah, di atas mana rumah susun yang bersangkutan di
bangun. Hal ini karena PPRS selain akan menjadi pemilik bangunan gedung
yang dibangunnya, ia sejak sebelum rumah susun tersebut dibangun harus
sudah menjadi pemegang hak atas tanah yang bersangkutan
Penghuni satuan rumah susun tidak dapat menghindarkan diri atau
melepaskan kebutuhannya untuk menggunakan bagian-bersama,
bendabersama, dan tanah-bersama, karena kesemuanya merupakan kebutuhan
fungsional yang saling melengkapi. Satuan rumah susun yang merupakan milik
perseorangan dikelolas endiri oleh pemiliknya, sedangkan yang merupakan hak
bersama harus digunakan dan dikelola secara bersama karena menyangkut
kepentingan dan kehidupan orang banyak. Penggunaan dan pengelolaannya
harus diatur dan dilakukan oleh suatu perhimpunan penghuni yang diberi
wewenang dan tanggung jawab. Oleh karena itu penghuni rumah susun wajib
membentuk perhimpunan penghuni, yang mempunyai tugas dan wewenang
mengelola dan memelihara rumah susun beserta lingkungannya, dan
menetapkan peraturan-peraturan mengenai tata tertib penghunian.
Perhimpunan penghuni oleh Undang- undang ini diberi kedudukan sebagai
badan hukum dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, sehingga
dapat bertindak ke luar dan ke dalam atas nama pemilik, dan dengan wewenang
yang dimilikinya dapat mewujudkan ketertiban dan ketenteraman dalam
lingkungan rumah susun. Perhimpunan penghuni dapat membentuk atau
menunjuk badan pengelola yang bertugas untuk menyelenggarakan
pengelolaan yang meliputi pengawasan terhadap penggunaan bagianbersama,

24
benda-bersama, tanah-bersama, dan pemeliharaan serta perbaikannya. Dana
yang dipergunakan untuk membiayai pengelolaan dan pemeliharaan rumah
susun, diperoleh dari pemungutan iuran dari para penghuninya. Pembangunan
rumah susun ditujukan terutama untuk tempat hunian, khususnya bagi golongan
masyarakat yang berpenghasilan rendah. Namun demikian pembangunan
rumah susun harus dapat mewujudkan pemukiman yang lengkap dan
fungsional, sehingga diperlukan adanya bangunan gedung bertingkat lainnya
untuk keperluan bukan hunian yang terutama berguna bagi pengembangan
kehidupan masyarakat ekonomi lemah. Oleh karena itu dalam pembangunan
rumah susun yang digunakan bukan untuk hunian yang fungsinya memberikan
lapangan kehidupan masyarakat, misalnya untuk tempat usaha, pertokoan,
perkantoran, dan sebagainya, ketentuanketentuan dalam Undang-undang ini
diberlakukan dengan penyesuaian menurut kepentingannya. Undang-undang
ini mengatur hal-hal yang bersifat pokok-pokok saja, sedangkan ketentuan
pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lain.
Rumah susun sebagai sebuah perumahan berstruktur vertikal
ternyata memiliki nilai dan norma tersendiri yang berlaku dan mengikat
penghuninya, yang berbeda dengan pemukiman dalam struktur horisontal. Ada
sejumlah hal yang dianggap baik, bermanfaat, dan penting dan karenanya
dijunjung tinggi, dan dihormati dalam kehidupan bersama di rumah susun, yang
berkaitan dengan keamanan, ketertiban, kebersihan, keindahan, kerukunan, dan
kesejahteraan.
Nilai-nilai keamanan, ketertiban, kebersihan, keindahan,
kerukunan, dan kesejahteraan yang masih abstrak tersebut, kemudian
dikonkritkan ke dalam sejumlah norma. Dengan kata lain, norma dalam hunian
rumah susun itu merupakan konkretisasi dari nilai-nilai dalam hunian rumah
susun. Norma-norma hidup dalam hunian rumah susun yang antara lain terdapat
dalam peraturan tata tertib penghuni rumah susun. Peraturan tata tertib
penghuni rumah susun ini, merupakan patokan tingkah laku yang diwajibkan
dan dibenarkan dalam hunian rumah susun. Dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa, peraturan tata tertib merupakan standar untuk bertingkah laku dan di
dalam menilai tingkah laku penghuni rumah susun.

25
DAFTAR PUSTAKA

Budihardjo, Eko. 1990. Pemukiman Kumuh dalam Kaitannya dengan Lapangan Kerja
di Sektor Informal. Semarang: Bappeda Jateng-UNDIP.

----------, 1997. Tata Ruang Perkotaan. Bandung: Alumni.

----------, 1998. “Rumah Susun Delapan Lantai Betulkah Sudah Waktunya” dalam Eko
Budihardjo (Penyunting). Sejumlah Masalah Pemukiman Kota. Bandung:
Alumni. Hlm. 154-161.

Budihardjo, Eko dan Sudanti Hardjohubojo. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan.


Bandung: Alumni.

Direktorat Bina Teknik Direktorat Jendral Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum,
1996. Penjelasan Program Pembangunan Perumahan Permukiman
Perkotaan dan Perdesaan (Pelita VI). Jakarta: Direktorat Bina Teknik.

Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat. 1985. Undang-undang Republik Indonesia


Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun. Jakarta: Kantor Menpera.

Komar Andasasmita, 1986, Hukum Apartemen-Rumah Susun, Ikatan Notaris


Indonesia, Komisariat Daerah Jawa Barat, Bandung

Paguyuban Perkampungan Rumah Susun Pekunden. 2001. Laporan Pengurus PPRSP


Periode III Tahun 1997-2000. Semarang.

Panudju, Bambang. 1999. Pengadaan Perumahan Kota dengan Peran Serta


Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Bandung: Alumni.

Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang. 1993. Laporan Pembangunan


Rumah Susun Pekunden Kecamatan Semarang Timur Kotamadya Semarang.
Semarang. Pemimpin Proyek Pembangunan Rumah susun Pekunden.

----------. 1996. Kebijakan Perumahan dan Permukiman Di Perkotaan Kotamadya


Daerah Tingkat II Semarang. Semarang: Pemda Tk. II Semarang.

Ridwan Halim, 1995,Sendi-Sendi Hukum Hak Milik, Kondominium, Rumah Susun dan
Sari-Sari Hukum Benda, Doa dan Karma, Jakarta.

26
, 1990, Hukum Kondominium dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia,
Jakarta.

Suhadi. 2017. Aspek Hukum dan Sosial Rumah Susun. Semarang: Bpfh UNNES

Taylor, John L. 1995. “Kampung-kampung Miskin dan Tempat Pengelompokan


Penghuni Liar di Kota-kota Asia Tenggara”. Dalam Parsudi Suparlan
(Penyunting). Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hlm. 90-98.

Yudohusodo, Siswono. 1991. Rumah untuk Seluruh Rakyat. Jakarta: Kantor Menteri
Perumahan Rakyat.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan


Pemukiman.

Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1990 tentang Peremajaan Pemukiman Kumuh yang
berada diatas Tanah Negara.

Peraturan Daerah Kotamadya Dati II Semarang Nomor 9 Tahun 1996 tentang Rumah
Susun di Kotamadya Dati II Semarang.

27

Anda mungkin juga menyukai