Anda di halaman 1dari 14

JURNAL PEMBELAJARAN TUTORIAL 1.

1 BLOK 13 KELOMPOK H

Nama Blok : 13 (Neurobehavior)


Koordinator Blok : dr. Inke Kusumastuti, M. Biomed, Sp. KJ
Mata Kuliah : Tutorial 1.1/ Neurobehavior
Dosen Tutor : dr. M. Hasan, M. Kes., Sp. OT
Tanggal Kegiatan : 22 Agustus 2022
SKENARIO 1 BLOK 13
Gelandangan Tertabrak Motor

A. Skenario
Seorang laki-laki gelandangan berusia sekitar 60 tahun dibawa polisi ke IGD RS karena dikatakan
tertabrak motor di jalan 2 jam yang lalu. Tidak ada saksi yang melihat kejadian dan polisi tidak tahu
pasti detail kecelakaan tersebut.
Pada pemeriksaan didapatkan pasien dengan tampilan kotor, pakaian compang-camping, celana
basah dan bau pesing. Selama pemeriksaan pasien beberapa kali berteriak “Sakit! Beraninya keroyokan!
Semua mukuli saya!” sambil memegang kepalanya. Pasien juga berkata-kata kotor dan memaki-maki.
Pasien meronta-ronta saat dipegangi untuk diikat kaki dan tangannya di tempat tidur oleh perawat dan
petugas keamanan. Meski berteriak dan meronta-ronta, mata pasien cenderung menutup seperti sedang
mengantuk. Pasien hanya membuka mata bila dipegangi dengan kuat atau diberi rangsangan nyeri dan
tidak menjawab saat ditanya.
Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan TD 180/110 mmHg, HR 96x/menit, RR 20x/menit, Suhu
38,7OC. Pemeriksaan kepala menunjukkan adanya konjungtiva anemis, hematoma berdiameter 5x3cm di
pelipis kanan. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan BUN 40 mg/dL dan SC 8 mg/dL. Dokter IGD
kemudian berkonsultasi dengan dokter spesialis untuk menanyakan apakah pasien membutuhkan
pemeriksaan CT scan kepala atau analisis LCS. Selain itu, ia juga menghubungi beberapa pihak untuk
mengkoordinasikan pembiayaan dan administrasi penanganan pasien ini.

B. Klarifikasi Istilah
1. Konjungtiva anemis
Nicholas Jirezra Gianevan 202010101139
Konjungtiva sendiri adalah selaput bening yang menutupi bagian putih mata (sklera) dan bagian
dalam kelopak mata. Anemis adalah Terlalu sedikitnya sel darah merah sehat karena kadar zat besi
terlalu sedikit dalam tubuh. Sehingga konjungtiva anemis menyebabkan pucat pada konjungtiva
seseorang.

Philip Simon Mardame Marbun 202010101113


Merupakan sebuah kondisi dimana konjungtiva pada kelopak mata yang seharusnya berwarna
kemerahan mengalami perubahan warna menjadi pucat. Ini merupakan salah satu tanda diagnosis
anemia. Tetapi bukan berarti ketika seseorang mengalami konjungtiva anemis dapat langsung
didiagnosa dengan anemia,perlu dilakukan pemeriksaan fisik lain dan juga pemeriksaan laboratorium
untuk memastikan.
Sheth, T. N., N. K. Choudhry, M. Bowes, dan A. S. Detsky. 1997. The relation of conjunctival pallor
to the presence of anemia. JGIM. 12

2. Hematoma
Ghaiska Najma Amnur 202010101109
Hematoma adalah kumpulan dari ekstravasasi darah yang terjadi akibat trauma atau external forces,
hematoma bisa terjadi di pembuluh darah apapun, termasuk vena, arteri, dan kapiler

Pandego Wahyu Dirgantara 202010101143


Pengumpulan setempat ekstravasasi darah, biasanya membeku di dalam organ, ruang, atau jaringan.
Contoh: Subdural Heatoma bekuan darah massif di bawah dura meter, menyebabkan gejala-gejala
neurologic akibat penekanannya pada otak. Pada scenario didapati hematoma 5x3 di pelipis kanan,
curiga cedera otak dan memerlukan pemeriksaan lanjutan seperti AVPU / GCS.

3. Analisis LCS
Luthfiyyah Nuur Haniifah 202010101038
Liquor Cerebrospinalis (LCS) adalah cairan jernih yang menyelimuti susunan saraf pusat
yang menggenangi otak dan medula spinalis. Fungsi utama LCS adalah sebagai alat pelindung bila
terjadi hantaman keras pada tengkorak yang dapat menyebabkan cedera berat. Liquor
cerebrospinalis juga dapat digunakan untuk menentukan penyebab penyakit yang menyerang
susunan saraf pusat.
Analisis LCS dapat membantu untuk menetapkan diagnosis. Perubahan karakteristik pada
LCS, seperti kadar leukosit, protein, glukosa, serta penampakan makroskopisnya dapat memberikan
gambaran mengenai penyakit yang diderita pasien. Medianya bisa menggunakan kultur dan
pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) juga dapat dilakukan pada LCS untuk
mengidentifikasi patogen penyebab penyakit. Diagnosis yang pasti sebelum memulai terapi,
mengakibatkan pemberian obat dapat dilakukan dengan tepat untuk mencegah adanya efek samping
obat yang tidak perlu.

Terang Sakti Anjaningrat 192010101007


Fungsi Cairan Otak :
● Pelindung mekanik terhadap trauma eksterna
● Pengatur volume intra cranial (Monro Kellie)
● Media nutrisi (glukosa + amino acid)
● Saluran ekskretorik untuk metabolit jaringan syaraf (otak tidak punya sistem limfatik)

Apa aja yang diperiksa dari LCS?


● Mikroskopis dan makroskopis
● Makroskopis ⇒ Appearancenya dan dapat diperiksa juga bersamaan dengan tekanan

intrakranialnya

● Mikroskopis ⇒ Jumlah leukosit dan jenisnya àapakah didominasi netrofil, limfosit (virus)

atau eosinophil (tanda infeksi parasite)


● Pemeriksaan kimia

C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana interpretasi pemeriksaan tampilan pasien (tampilan kotor, pakaian compang, camping,
celana basah, dan bau pesing)?
Kusnul Amalia 18201010115
● Celana basah dan bau pesing → gangguan dalam berkemih/gangguan dalam sistem urin

yang menyebabkan kesulitan dalam BAK, biasanya karena kelemahan otot-otot kandung

kemih à sering disebut sebagai inkontinensia urin.


Ciri-ciri penyebab inkontinensia urin biasanya terlihat dari urin yang sering kali keluar tidak
terkendali tanpa dikehendaki atau disadari sehingga menimbulkan masalah fisik (ulkus
dekubitus akibat kulit lembab) dan psikososial (higiene, isolasi sosial, depresi), serta
mengakibatkan penurunan kualitas hidup. Contohnya dalam scenario adalah tampilan kotor
dan tiba-tiba saja celananya sudah basah serta berbau pesing).
Inkontinensia urin sering ditemukan pada pasien geriatri (pasien sudah berusia 60 tahun),
namun usia lanjut bukanlah penyebab inkontinensia urin.
● Secara psikologis, tampilan kotor, pakaian compang-camping, celana basah dan bau pesing
ini dapat dikaitkan dengan adanya gangguan mental organic berupa demensia.
Demensia, dimana terdapat gangguan fungsi luhur kortikal yang multiple, termasuk
didalamnya: daya ingat, daya pikir, orientasi, daya tangkap, berhitung kemampuan belajar,
berbahasa dan daya nilai yang sampai mengganggu kegiatan harian seseorang seperti: mandi,
berpakaian, makan, kebersihan diri, BAK dan BAB.
1. F00 Demensia Alzheimer
2. F01 Demensia vascular
3. F02 Dementia YDT (Yang Di Tentukan) → specified
4. F03 Dementia YTT (Yang Tidak Tergolongkan) → unspecified: perubahan kepribadian,

perilaku, & mood; halusinasi, waham, gangguan tidur

Pandego Wahyu Dirgantara 202010101143


Pada skenario disebutkan pasien tampak tampilan kotor, pakaian compang camping, celana
basah, dan bau pesing. Dapat dicurigai ada kemungkinan pasien mengalami kemunduran dalam
pengurusan diri. Bisa menjadi penanda bahwa pasien mengalami gangguan jiwa. Pada ppdgj
dijelaskan konsep gangguan jiwa salah satunya timbul "disabilitas" (disability) ketidakmampuan
dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan
kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, dll). Pakaian compang-camping kan
tidak mungkin terjadi langsung ya, pasti dalam jangka waktu yang lama. Jadi bisa muncul dugaan
pasien ini memang sudah mengalami gangguan jiwa sebelumnya.
Kemudian pada permasalahan celana basah dan bau pesing, Refleks berkemih pada manusia
diatur oleh sistem saraf pusat (medula spinalis dan korteks otak) dan sistem saraf perifer (sistem
saraf parasimpatis). Meskipun diatur oleh sistem saraf otonom, namun refleks ini dapat ditahan
secara sadar. Ini bisa saja terjadi gangguan kontrol miksi pasca kecelakaan karena mungkin saja ada
trauma otak sehingga mekanisme inhibisi miksi nya terganggu, sehingga pasiennya ngompol
(inkontinensia).

2. Mengapa pasien berteriak sambil memegangi kepalanya?


Brilliantara Buaji 202010101074
Pasien berteriak sambil memegangi kepala mungkin diakibatkan oleh gangguan perilaku pada
pasien. Salah satu penyebab gangguan perilaku adalah skizofrenia. Skizofrenia dapat menyebabkan
gangguan perilaku seperti ketakutan berlebih (paranoid) yang tampak pada pasien. Penyebab dari
skizofrenia terdapat 3 kemungkinan, di antaranya:
● Kegagalan fungsi pengolahan neurotransmitter akibat kehilangan responsivitas terhadap
neurotransmitter
● Rangsangan berlebihan dari neuron penyekresi dopamine di pusat perilaku otak (lobus

frontalis, sistem limbik). Letak neuron di tegmentum ventral mesensefalon, medial dan

superior dari substansia nigra ⇒ dopaminergic mesolimbic ⇒ rangsangan berlebih pada

hipokampus, hipotalamus, dan amigdala sehingga menyebabkan gangguan perilaku

tampak pada pasien

● Abnormalitas fungsi pada pengatur perilaku limbik (hipotalamus, hipokampus, amigdala)

⇒ Penyebab dari abnormalitas fungsi dapat berupa trauma otak

Putri Ayu Ardiani 202010101032


● Kemungkinan ada trauma kepala akibat kecelakaan yang dialami. Pasien merasa kesakitan
sambil memegangi kepalanya. Nyeri kepala pasca-trauma dapat mengarah ke perdarahan
subarachnoid, hematoma subdural, hematoma epidural, perdarahan intraserebral, diseksi
arteri (karotis atau vertebra), sindrom post concussion (Sindrom post concussion adalah
kumpulan gejala yang terdiri atas nyeri kepala, pusing (dizziness), iritabilitas, mudah lelah,
ansietas, gangguan memori, menurunnya konsentrasi dan insomnia, yang merupakan sekuele
setelah cedera kepala ringan tertutup). Oleh karena itu untuk memastikannya, perlu dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut berupa CT-scan untuk menentukan apakah ada perdarahan atau
tidak dan menentukan letak sumber perdarahan
● Jika ada trauma pada kepala ⇒ kita juga bisa mencurigai adanya cedera otak (gegar otak)

⇒ kemudian kita evaluasi pasien menggunakan skala GCS (Glasgow Coma Scale) untuk

menentukan derajat cedera otak.


● COR (Ringan) : GCS 14-15
● COS (Sedang) : GCS 9-13
● COB (Berat) : GCS 3-8
● Adanya trauma kepala pada pasien juga merupakan salah satu penyebab delirium

3. Bagaimana interpretasi GCS pasien berdasarkan penjelasan di skenario?


Shinta Ahmada Rahmaputri 202010101013
Pada skenario dikatakan bahwa pasien hanya membuka mata bila dipegang dengan kuat atau diberi
rangsangan nyeri dan tidak menjawab saat ditanya. Pasien juga meronta – ronta saat dipegangi untuk
diikat kaki dan tangannya. Pada penjelasan tersebut, bisa diinterpretasikan untuk menilai kesadaran
(GCS). Dimana dilakukan penilaian kesadaran karena pasien dicurigai adanya trauma kepala dimana
pada pemeriksaan fisik didapatkan hematom diameter 5x3 cm di pelipis kanan.
GCS : Glasgow Coma Scale
E : eye (respon membuka mata) → 2 (buka mata dengan rangsang nyeri)
Pada penjelasan pasien hanya membuka mata bila dipegang dengan kuat atau diberi rangsangan
nyeri.

V : verbal (respon verbal) → 2 (mengerang)


Pada penjelasan pasien tidak menjawab saat ditanya dan hanya meronta – ronta saat dipegangi untuk
diikat kaki dan tangannya.

M : motoric (respon motorik) → 4 (menarik ekstremitas menjauhi nyeri)

Pada penjelasan pasien meronta – ronta saat dipegangi untuk diikat kaki dan tangannya. Bisa
diasumsikan bahwa pasien menarik kaki dan tangannya menjauhi rangsangan nyeri yang diberikan.
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) :
● COR (cedera otak ringan) → 14-15

● COS (cedera otak sedang) → 9-13

● COB (cedera otak berat) → 3-8

Jadi, GCS : 8 → COB (cedera otak berat) → karena pada GCS diklasifikasi menjadi COB

sebaiknya dilakukan CT Scan sebagai pemeriksaan lanjutan terkait intracranial bleeding yang

terjadi pada pasien.

4. Bagaimana interpretasi pemeriksaan tanda vital?


Nafisah Hani Asyifah Rahma 202010101155
1. TD 180/110 mmHg Bisa terjadi hipertensi (peningkatan MAP) akibat cushing reflex
2. HR 96 x/menit HR masih stabil, tetapi perlu observasi bisa saja sewaktu-waktu mengalami
bradikardi.
3. RR 20 x/menit RR dbn. Perlu dievaluasi jenis pola napas. Pada kondisi cushing reflex, napas
ireguler.
4. Suhu 38,7 oC Febris. Bisa terjadi akibat infeksi (sebelumnya) atau peningkatan ICP
menyebabkan kompresi Hypothalamus Disregulasi suhu tubuh (Neurogenic Fever)

Cushing Triad - Hipertensi (peningkatan MAP) - Bradikardi - Irreguler Respiration

5. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik pada kepala?


Mochammad Dyan Tambora Sudibyo 202010101118
● Konjungtiva anemis: konjungtiva berwarna pucat karena tidak teraliri darah dengan
sempurna, bisa jadi disebabkan karena kehilangan darah akibat kecelakaan
● Hematoma berdiameter 5x3 cm di pelipis kanan: munculnya benjolan atau kulit menjadi
berwarna merah keunguan dengan diameter 5x3 cm yang tampak di area pelipis kanan pasien

6. Bagaimana interpretasi pemeriksaan laboratorium?


Luthfiyyah Nuur Haniifah 202010101038
Dari hasil pemeriksaan laboratorium pada skenario di atas, didapatkan untuk hasil BUN 40
mg/dL dan SC 8 mg/dL Untuk nilai BUN (Blood Urea Nitrogen), yaitu 40 mg/dL yang menunjukkan
bahwa kadar ureumnya tinggi, yang bisa dilihat dari batas normal kadar ureum khususnya untuk pria
dewasa adalah 8–24 mg/dL. Dan untuk SC (kadar kreatinin), yaitu 8 mg/dL, menunjukkan bahwa
kadar kreatininnya tinggi yang bisa dilihat dari kadar kreatinin normal dalam darah pada orang
dewasa terutama pada laki-laki adalah sekitar 0,6–1,2 mg/dL.
Interpretasi dari hasil laboratorium, karena hasil BUN dan kreatininnya tinggi, kemungkinan
terjadi kerusakan pada ginjal pasien. Kemungkinan pertama adalah AKI (Acute Kidney Injury) yang
berkaitan dengan traumatic brain injury dan kemungkinan yang kedua adalah pada pasien bisa juga
terjadi CKD (Chronic Kidney Disease) yang di mana ada kemungkinan pasien telah mengalami
CKD sebelum kecelakaan dan hal ini didasari dengan status kesehatan pasien sebagai gelandangan.

7. Mengapa dokter IGD berkonsultasi dengan dokter spesialis untuk menanyakan apakah pasien
membutuhkan pemeriksaan CT scan kepala atau analisis LCS? Bagaimana indikasinya?
Putri Ayu Ardiani 202010101032
Pasien dengan nyeri kepala hebat (pada scenario ditujukan pasien teriak kesakitan sambal
memgangi kepalanya) tiba-tiba (thunderclap headache), perlu menjalani pemeriksaan CT-scan untuk
mendeteksi perdarahan subarachnoid atau perdarahan intraserebral. Bila ditemukan perdarahan
subaraknoid, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan menggunakan CT angiography untuk mencari
aneurisma. Bila CT-scan non-kontras menunjukkan hasil negatif, dapat dilakukan pungsi lumbal
dalam 48 jam untuk mengeksklusi kemungkinan perdarahan subaraknoid. LCS (Liquor Cerebro-
Spinal) terletak di subarchnoid yang diproduksi oleh plexus choroideus.
CT-scan juga dapat mendeteksi berbagai perdarahan intrakranial lainnya. CT-scan otak juga
berperan untuk mendeteksi lesi massa atau hidrosefalus, dan untuk mendeteksi apakah pungsi lumbal
aman dilakukan. Sebagian besar tumor intrakranial yang dapat menyebabkan nyeri kepala dapat
dideteksi dengan CT-scan nonkontras, karena telah tumbuh cukup besar dan atau menunjukkan efek
desak ruang disertai edema peri-tumoral. CT-scan lanjutan dengan kontras dapat mengkonfirmasi
keberadaan tumor tersebut. Lumbal Pungsi : Prosedur pengambilan CSF dengan indikasi:
● Meningeal infection
● Subarachnoid Hemorrhage
● Primer/metastatic malignancy
● Demyelinating disease
Lokasi Pungsi : antara vert. L 3,4 dan 5 (Setinggi krista Iliac Crest)

8. Bagaimana prosedur CT scan kepala?


Nicholas Jirezra Gianevan 202010101139
● Memasukkan cairan kontras lewat pembuluh darah pada lengan atau lewat oral jika
pemeriksaan membutuhkan cairan tersebut.
● Pasien berbaring pada meja pemeriksaan yang akan masuk ke mesin pemindai.
● Operator berada dalam ruang terpisah, tapi masih bisa berkomunikasi dengan pasien.
● Selagi pemindai berputar, sinar-X akan melalui tubuh selama beberapa saat.
● Pemindai mendeteksi gambar dari organ tubuh yang menyerap sinar-X, lalu mengirimnya ke
komputer. Komputer kemudian mengolahnya menjadi gambar untuk interpretasi.
● Pasien tak boleh bergerak selama prosedur. Pasien mungkin harus beberapa kali menahan
napas dalam pemeriksaan.
● Jika sudah ada hasil yang memadai, operator menghentikan prosedur dan membantu pasien
bangkit dari meja periksa.

9. Bagaimana prosedur analisis LCS?


Philip Simon Mardame Marbun 202010101113
Proses pengambilan LCS untuk menganalisis LCS dilakukan dengan pungsi lumbal.
Pungsi lumbal dilakukan dalam beberapa tahap:
1. Anamnesis pasien untuk menghindari pasien dengan kontraindikasi mutlak dilakukannya
pungsi lumbal yaitu:
a. Hidrosefalus obstruksi non-komunikata
b. Pasien dalam terapi antikoagulan
c. Infeksi lokal pada kulit di sekitar lokasi pungsi lumbal dilakukan
d. Jumlah platelet kurang dari 20000 cu/mm
2. Pasien diberikan edukasi dan dipersiapkan untuk melakukan pungsi lumbal,jika pasien
mengalami penyakit metabolic tertentu harus dilakukan puasa yang sesuai sebelum memulai
pungsi lumbal
3. Menyiapkan alat dan bahan untuk melakukan pungsi lumbal diantaranya spinal needle 22-
24G, manometer,tabung pengumpul,anestesi,dan kit penutup luka
4. Pasien diposisikan lateral decubitus ataupun duduk membungkuk untuk mengekspos tulang
punggung
5. Pasien diberikan anestesi pada daerah dekat tempat penusukan
6. Penusukan umumnya dilakukan pada daerah antara L3 dan L4
7. Penusukan dilakukan hingga mencapai ruang subarachnoid dengan merasakan hilangnya
tahanan pada jarum
8. Stylet jarum dikeluarkan tanpa melakukan penarikan cairan pada ruang subarachnoid karena
dapat merusak serabut saraf pada spinal
9. Jika akan melakukan pengukuran tekanan intra kranial pasangkan manometer
10. Kumpulkan tetesan pada tabung pengumpul untuk dilakukan pemeriksaan selanjutnya
11. Jarum dicabut lalu dipasangkan kit penutup luka kemudian pasien diperintahkan untuk
berbaring telungkup selama minimal 2 jam
12. Kontrol jika pasien mengalami komplikasi seperti sakit kepala ataupun perdarahan

Hrishi, A. P. dan M. Sethuraman. 2019. Cerebrospinal fluid ( csf ) analysis and interpretation in
neurocritical care for acute neurological conditions. 2–6.

10. Apa diagnosis dan diagnosis banding pasien tersebut?


Ghaiska Najma Amnur 202010101109
aksis 1 : F00 gangguan mental organik
aksis 2 : F60.7 gangguan kepribadian dependen
aksis 3 : ada penyakit metabolik
aksis 4 : masalah psikososial dan lingkungan lain
aksis 5 : Gaf scale 30 (saat masuk rs)

Mochammad Dyan Tambora Sudibyo 202010101118


Cedera otak traumatik dimana penyebab paling umumnya adalah karena kecelakaan

11. Bagaimana tatalaksana yang bisa dilakukan kepada pasien?


Shinta Ahmada Rahmaputri 202010101013

Tatalaksana cedera otak berat


● Pastikan jalan napas clear, berikan oksigenasi 100% dan jangan banyak memanipulasi gerakan
leher sebelum cedera cervical dapat disingkirkan
● Head up 30 derajat
● Berikan cairan secukupnya (normal saline) untuk resusitasi pasien
● Periksa TTV, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain, GCS, dan pemeriksaan
midbrain secara periodik
● Berikan obat – obatan analgesik (acetaminophen, ibuprofen untuk nyeri ringan dan sedang) bila
didapatkan keluhan nyeri
● Berikan obat – obatan anti muntah (metoclopramide atau ondansetron) dan anti ulkus gastritis
(ranitidin atau omeprazole) jika pasien muntah
● Berikan cairan hipertonik (mannitol 20%), bila tampak edema atau cedera yang tidak operable
pada CT scan. Mannitol dapat diberikan sebagai bolus 0,5 – 1 gr/kgBB pada keadaan tertentu,
atau dosis kecil berulang, misalnya 4-6 x 100 cc mannitol 20% dalam 24 jam
● Berikan phenytoin (PHT) profilaksis pada pasien dengan resiko tinggi kejang dengan dosis 300
mg/hari atau 5-10 mg/kgBB/hari selama 10 hari. Bila telah terjadi kejang, PHT diberikan
sebagai terapi
● Jika terdapat indikasi operasi berdasarkan temuan CT scan berupa hemorrhage ⇒ trepanasi
● Pemasangan ICP monitor pada pasien dengan temuan CT scan kepala abnormal (hematoma,
contusion edema serebri, atau penyempitan sisterna basalis)

Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan
survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan
exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya
dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder
dan mencegah homeostasis otak (Ariwibowo, 2008).

Secondary survey → pemeriksaan status generalis : inspeksi, perkusi, palpasi, auskultasi,

pemeriksaan khusus untuk menentukan kelainan patologis dengan metode :


● Dari ujung rambut sampai ujung kaki
● Per organ B1-B6 (Breath, Blod, Brain, Bowel, Bladder, Bone)

Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat yaitu,
amnesia post traumatica jelas (lebih dari 1 jam), riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit),
penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala sedang hingga berat, Intoksikasi alkohol atau obat,
fraktura tengkorak, kebocoran CSF, otorrhea atau rhinorrhea, cedera penyerta yang jelas, CT scan
abnormal (Ghazali, 2007).
Indikasi tindakan operatif → jika volume massa hematom mencapai lebih dari 40 ml di

daerah supratentorial atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial, kondisi pasien yang semula

sadar semakin memburuk secara klinis, terdapat tanda fokal neurologis semakin berat, terjadi

gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat, terdapat pendorongan garis tengah

sampai lebih dari 3 mm, terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg, terjadi

penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan, dan terdapat gejala akan

terjadinya herniasi otak/ terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis (Bernath, 2009).

Kusnul Amalia 182010101150


1. Terapi
a. Farmakoterapi

i.
ii. Tangani kondisi medis umum dan keluhan terkait penggunaan zat
b. Terapi kejang listrik (TKL)/electroconvulsive therapy (ECT)
c. Psikoedukasi
d. Psikoterapi
TRAUMA KAPITIS – HEMATOMA SUBDURAL – CEDERA OTAK BERAT (GCS 8)
Tatalaksana Awal (di Ruang Gawat Darurat)
1. Survei Primer, untuk menstabilkan kondisi pasien:
a. Airway (jalan nafas)
i. Pastikan tidak ada benda asing atau cairan yang menghalangi jalan napas
ii. Melakukan intubasi + control ventilasi → head tilt, chin lift, jaw thrust, mayo

(awas cedera servikal → ada? Pasang collar brace)


b. Breathing (pernafasan): Berikan 02 dengan target saturasi 02 >92%, cek gerakan dada
(simetris, flail chest, jejas, frekuensi napas)
c. Circulation: Nadi, Tekanan darah , Akral, Capillary Refill Time (>2s)
i. Berikan cairan isotonis berupa NaCl 0,9%, RL, koloid /darah IV. Hindari cairan
hipotonis. Pertahankan tekanan darah sistolik >90 mmHg.
ii. Bila kejang → diazepam 10mg IV

2. Survei sekunder, dilakukan setelah pasien stabil: Head to Toe Examination (kepala, leher,

thorax, abdomen dan ekstremitas) → GCS? Lihat masuk dalam Cedera Otak
Ringan/Sedang/Berat
a. Pemeriksaan laboratorium (DL, BGA, GDA, cross match) dan radiologi → CT-scan

kepala tanpa kontras (pilihan). Jika tidak ada, dapat dilakukan foto polos kepala posisi

anterior posterior (AP), lateral, dan tangensial.


● EDH → Biconvex / Lenticular / Cembung

● SDH → Konkaf / Cekung / Bulan sabit

● SAH → Mengisi gyrus tepi


b. Penentuan apakah pasien harus menjalani operasi, dirawat di ruang rawat intensif, ruang
rawat biasa, atau boleh rawat jalan

12. Bagaimana koordinasi pembiayaan dan administrasi penanganan pasien?


Terang Sakti Anjaringrat 192010101007

https://sippn.menpan.go.id/pelayanan-publik/lampung/kabupaten-pesisir-barat/dinas-sosial/
pelayanan-penanganan-gelandangan-dan-pengemis

● Ada MoU dengan dinsos


● Jika Gelandangan dan Pengemis memiliki keluarga, maka ;
○ Dinas Sosial menindaklanjuti serta koordinasi dengan instansi terkait
○ Dinas Sosial mengantarkan pemeriksaan kesehatan gelandangan dan pengemis dari
RSUD/RSJ bahwa pasien sudah sehat dan sembuh
○ Menjemput pasien gelandangan dan pengemis dari puskesmas RSUD/RSJ
○ Memotivasi dan mengantar pasien gelandangan dan pengemis ke keluarga agar
dirawat keluarganya.
● Jika gelandangan dan pengemis tidak memiliki keluarga maka dihubungi keluarganya

Brilliantara Buaji 202010101074


Koordinasi pembiayaan dan administrasi dalam penanganan pasien dilakukan oleh tiga lembaga,
yaitu BPJS Kesehatan, Jasa Raharja, dan Kepolisian. Alur koordinasi pembiayaan dimulai dengan
petugas rumah sakit melakukan input data di aplikasi yang terintegrasi dengan ketiga lembaga
tersebut. Ketika data telah diinput oleh petugas RS, maka pengajuan klaim dapat masuk ke dalam
data BPJS Kesehatan, kemudian diteruskan dan divalidasi oleh Jasa Raharja sebagai lembaga
asuransi kesehatan dan Kepolisian sebagai pihak yang memberikan bukti bahwa telah terjadi laka
lantas. Setelah proses administrasi selesai, maka Jasa Raharja dapat mencairkan dana asuransi
sehingga pihak RS mendapatkan dana asuransi dari Jasa Raharja melalui BPJS Kesehatan.

D. Learning Objective
1. Neuroanatomi SSP (makro dan mikro)
2. Histologi SSP
3. Fisiologi SSP
a. Refleks
b. Sistem Motorik
c. Fungsi Luhur
4. Patologi
a. Trauma Kapitis
b. Hematoma (EDH, SDH, SAH, ICH)
c. Fraktur Basis Cranii
d. Cerebrovascular accident
e. Skizofrenia
f. Bell’s palsy
g. Gangguan Mental Organik
h. Gangguan Waham
i. Gangguan Psikotik
j. Encephalopathy Hipertensi
k. Infark Cerebri
l. Psikotik Akut
m. Skizoafektif
5. Manajemen kejiwaan segala aspek
6. Medikolegal pasien trauma kepala
Dosen Pengampu Mahasiswa

dr. M. Hasan, M. Kes., Sp. OT


Brilliantara Buaji

Wakil Dekan 1 Koordinator Blok

dr. Ancah Caesarina N.M., Ph.D. dr. Inke Kusumastuti, M. Biomed, Sp. KJ

Anda mungkin juga menyukai