Anda di halaman 1dari 94

PENGARUH PEMBERIAN FORMULASI SALEP EKSTRAK DAUN

BAKAU (Rhizophora apiculata) TERHADAP PENYEMBUHAN


LUKA SAYAT PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
GALUR SPRAGUE DAWLEY

(Skripsi)

Oleh

MADE AYU WARDINA


1918031005

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2023
PENGARUH PEMBERIAN FORMULASI SALEP EKSTRAK DAUN
BAKAU (Rhizophora apiculata) TERHADAP PENYEMBUHAN
LUKA SAYAT PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
GALUR SPRAGUE DAWLEY

Oleh
Made Ayu Wardina

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
SARJANA FARMASI

Pada

Program Studi Farmasi


Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2023
RIWAYAT HIDUP

Made Ayu Wardina lahir di Lampung Timur pada tanggal 12 Januari 2001. Penulis
lahir dari pasangan Bapak Made Suwardana dan Ibu Putu Darmi dan merupakan
anak kedua dari tiga bersaudara yakni, I Wayan Angga Wardika, S.Tr.P dan Ni
Komang Putri Ayu. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SDN 3
Segalamider sejak tahun 2007 kemudian melanjutkan pendidikan menengah
pertama di SMPN 7 Bandar Lampung pada tahun 2013, dan menempuh pendidikan
di SMAN 7 Bandar Lampung pada tahun 2016 hinga 2019.

Pada tahun 2019, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran


Universitas Lampung Prodi Farmasi melalui Jalur Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Penulis aktif dalam kegiatan mahasiswa di
tahun pertama hingga tahun ketiga. Penulis pernah tergabung dalam
keorganisasian Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung sebagai Sekretaris Dinas Hubungan Luar dan organisasi
Himpunan Mahasiswa Farmasi (Himafarsi) Unila sebagai Wakil Kepala
Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia. Penulis juga pernah menjadi
asisten dosen Farmasetika dan asisten dosen Teknologi Formulasi. Selama menjadi
mahasiswa penulis juga aktif dalam mengikuti berbagai rangkaian kepanitiaan di
kampus. Pada semester akhir, penulis memfokuskan diri pada skripsi dan
akademik untuk kelulusan dan lanjut studi profesi apoteker.
SANWACANA

Segala puja puji syukur penulis sampaikan kepada Tuhan yang maha Esa atas
rahmat, nikmat, dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Pengaruh Pemberian Formulasi Salep Ekstrak Daun Bakau (Rhizophora
apiculata) terhadap Penyembuhan Luka Sayat pada Tikus Putih Galur
Sprague dawley”. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan
dukungan, bimbingan, masukan, bantuan, dorongan, saran, dan kritik dari berbagai
pihak. Dengan ini penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Lusmeilia Afriani, D.E.A., I.P.M. selaku Rektor Universitas
Lampung.
2. Prof. Dr. Dyah Wulan Sumekar Rengganis Wardani, SKM., M.Kes selaku
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
3. dr. Oktafany, S.Ked., M.Pd.Ked selaku Kepala Jurusan Farmasi Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung.
4. Dr. Si. dr. Syazili Mustofa, M.Biomed selaku pembimbing utama yang
terhormat dan inspiratif yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan
pikiran dalam memberikan arahan, masukan, saran, dan motivasi kepada
penulis. Terima kasih atas arahan, kesabaran, bimbingan, bantuan, dan ilmu
yang telah diberikan dalam proses penyusunan skripsi ini serta selama
penulis menempuh Pendidikan Farmasi di Universitas Lampung.
5. Ibu Andi Nafisah Tendri Adjeng M, M.Sc selaku pembimbing kedua yang
terhormat dan inspiratif yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan
pikiran serta memberikan arahan, masukan, saran, dorongan, semangat,
optimism, dan motivasi kepada penulis. Terima kasih atas keceriaan,
perhatian, empati, kesabaran, arahan, bimbingan dan ilmu yang telah
diberikan dalam proses penyusunan skripsi ini serta selama penulis
menempuh pendidikan Farmasi di Universitas Lampung.
6. Guru besar yang terhormat dan inspiratif, Prof. Dr. dr. Asep Sukohar,
M.Kes., Sp.KKLP selaku pembahas yang telah bersedia meluangkan
waktu, tenaga, dan pikiran dalam memberikan arahan, masukan, saran, dan
motivasi kepada penulis. Terima kasih atas ilmu berharga yang telah
diberikan selama penulis menjadi mahasiswi Farmasi Unila serta pada
proses penyusunan skripsi ini.
7. Dosen Pembimbing Akademik, Bapak apt. Muhammad Iqbal, S.Farm.,
M.Sc. Terima kasih telah membantu dan membimbing dengan sepenuh hati
selama proses penulis menempuh Pendidikan S1 Farmasi di Universitas
Lampung
8. Para dosen Fakultas Kedokteran Universitas Lampung yang tidak bisa
disebutkan satu persatu. Terima kasih atas ilmu yang telah diberikan baik
didalam kelas maupun diluar kelas.
9. Para dosen dan praktisi Farmasi Universitas Lampung. Terima kasih atas
keceriaan, motivasi, semangat, dan saran yang diberikan. Terima kasih atas
ilmu yang telah diberikan baik didalam kelas maupun diluar kelas. Terima
kasih atas pengalaman dan pembelajaran yang diberikan baik yang
didengar, dilihat, maupun yang dialami penulis pribadi. Terima kasih
kepada para dosen yang telah memberikan ‘warna’ terhadap kehidupan dan
proses pendewasaan penulis selama menjadi mahasiswi angkatan pertama
di Farmasi Unila.
10. Bunda dan Ayah yang tiada henti-hentinya mendukung penuh baik secara
materil maupun moril serta mendoakan apapun hal terbaik yang ayu pilih.
Memberikan motivasi, semangat, pantang menyerah, kesabaran, dan segala
nilai-nilai kehidupan yang tak ternilai. Menunjukkan cinta kasih sayang
dengan caranya yang tidak pernah ditemui yang serupa dipenjuru manapun.
Terima kasih ayah dan bunda telah menjadi panutan yang sangat baik.
Terima kasih juga telah mendukung penuh atas penyelesaian skripsi ini
dalam membantu selama proses penelitian. Bunda yang tidak pernah lelah
mengingatkan dan ayah yang ikut langsung membantu dalam merawat dan
dalam pengambilan dokumentasi luka sayat pada tikus putih untuk
penelitian skripsi ini.
11. Kakak Angga, kakak laki-laki kebanggaan yang telah membantu,
mendukung, mendoakan, serta menjaga dengan caranya. Semoga selalu
bahagia, sukses, dan selalu didekatkan dengan orang-orang baik.
12. Uti adik kebanggaan yang dengan sabar ikut membantu dalam hal apapun
termasuk selama proses penelitian skripsi serta memberikan semangat
dengan keceriaannya. Semoga sukses dan bahagia kedepannya.
13. Mba gusti the one and only kakak ipar sekaligus mba terbaik sepanjang
masa. Terima kasih telah menjadi tempat cerita, curhat, dan keluh kesah
yang sangat baik. Terima kasih untuk selalu mendukung, mengerti, serta
membantu dengan sabar kepada peneliti dalam berbagai hal termasuk pada
proses penelitian dan penyelesaian skripsi. Semoga segera diberikan
momongan dan bahagia selalu.
14. Lelaki yang bertemu di tahun 2019, satu almamater, satu fakultas, Dzakwan
Cedri Ketierteu. Terima kasih yang sebesar-besarnya telah menemani dan
memberikan dukungan terbaiknya, mengerahkan tenaga, pikiran, dan
waktunya untuk membantu banyak hal. Terima kasih untuk selalu menjadi
pendengar yang baik. Terima kasih atas kesabaran, inisiatif, keceriaan dan
kerendahan hatinya. Meskipun berharap berakhir bahagia, tapi
bagaimanapun ujung cerita ini, terima kasih telah berada disisi, menemani,
berdiskusi, bertukar pikiran dan memberikan warna dalam kehidupan dan
dalam proses pendewasaan yang berarti.
15. Putu Ari adik sepupu baik yang pengertian dan telah ikut membantu dengan
senang hati pada saat proses anastesi tikus untuk penyelesaian penelitian
skripsi ini.
16. Keluarga besar yang turut serta memberikan doa yang terbaik dan
memberikan semangat
17. Teman-teman terbaik “kalbe” yaitu era, cici acol, kak nanda, cindy, nauli,
farras, lyan, dan fredison. Terima kasih atas kebersamaan, keceriaan,
pengalaman, cerita, dan ‘warna-warni’nya selama di Farmasi Unila. Terima
kasih atas kesabaran, pengertian, dan selalu menerima kepada penulis
selama ini. Terima kasih telah menemani proses pendewasaan dan
pembelajaran selama menempuh Pendidikan S1.
18. Teman-teman L19AND lainnya, afna, neysha, winda, kak rila, luhut,
nungky, regi, arini, kak zay, nana, eka, zeta, khalim, vira, denia, sekar, ergi,
vadi, nara, dan tasya. Terima kasih atas kebersamaan, keceriaan, sinisme,
penolakan, bantuan, semangat dan segala ups and down serta pembelajaran
dan pengalaman dalam bersosial di S1 Farmasi Unila. Angkatan pertama
Farmasi ‘LIGAND is LEGEND’.
19. Para civitas, admin prodi Farmasi, bagian akademik, bagian keuangan,
pranata laboratorium, bagian umum, dan penjaga gedung FK Unila yang
telah membantu, mendengarkan, dan berusaha memberikan yang terbaik.
20. Teman-teman Himafarsi Unila khususnya PSDM Himafarsi Unila. Terima
kasih atas pengalaman, kebersamaan, dan pembelajarannya.
21. Teman-teman BEM FK Unila kabinet Dhinakara. Terima kasih atas
pengalaman, cerita, dan pembelajarannya serta kebersamaan semu-nya.
22. Adik-adik DPA PULMO, fityah, shafira, amira, elmira, karelin, nindi,
nindia, alief, sulthan, maulana.
23. Teman-teman PSPD 2019 “L19AMENTUM” yang tidak bisa disebutkan
satu persatu. Terima kasih atas pengalaman, cerita, dan pembelajarannya
serta kebersamaan semu-nya.
24. Teman-teman Farmasi Angkatan 2020, 2021, dan 2022.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak sekali kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
bersifat membangun demi perbaikan penulis kedepannya. Terakhir, penulis
berharap skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, 9 Februari 2023


Penulis

Made Ayu Wardina


ABSTRAK
PENGARUH PEMBERIAN FORMULASI SALEP EKSTRAK DAUN
BAKAU (Rhizophora apiculata) TERHADAP PENYEMBUHAN
LUKA SAYAT PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
GALUR SPRAGUE DAWLEY

Oleh

Made Ayu Wardina

Latar Belakang: Rhizophora apiculata memiliki efek antiinflamasi, analgetik,


antioksidan dan antibakteri diduga membantu proses penyembuhan luka. Perlu
dikembangkan lebih lanjut potensi ekstrak daun Rhizophora apiculata yang
diformulasikan dalam bentuk salep terhadap penyembuhan luka sayat.
Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian salep ekstrak daun Rhizophora
apiculata terhadap penyembuhan luka sayat pada tikus putih galur Sprague dawley
Metode: Eksperimental pendekatan Post Test Only Control Group Design. Salep
dibuat dengan variasi konsentrasi ekstrak daun Rhizophora apiculata 20%, 30%,
40%, dan basis salep. Salep diamati pengaruhnya terhadap penyembuhan luka sayat
pada tikus putih jantan galur Sprague dawley selama 14 hari. Data diuji statistik
menggunakan uji one way ANOVA dan uji Kruskal wallis dan uji post hoc.
Hasil: Salep ekstrak daun Rhizophora apiculata memiliki efek terhadap
penyusutan panjang luka sayat pada fase proliferasi. Pengamatan infeksi lokal dan
reaksi alergi berdasarkan skor Nagaoka pada salep ekstrak daun R. apiculata tidak
berbeda bermakna dengan kontrol normal dan kontrol positif. Konsentrasi 30% dan
40% memiliki pengaruh penyembuhan luka yang sama baik dengan obat luka sayat
standar (oxoferin) dan formula optimum yaitu konsentrasi 30%.
Simpulan: Salep ekstrak daun Rhizophora apiculata memiliki pengaruh terhadap
percepatan penyembuhan luka sayat pada tikus putih galur Sprague dawley.
Kata kunci: bakau, Rhizophora apiculata, salep, luka sayat
ABSTRACT
EFFECT OF MANGROVE LEAF EXTRACT OINTMENT
FORMULATION (Rhizophora apiculata) ON WOUND
HEALING IN WHITE RATS (Rattus norvegicus)
SPRAGUE DAWLEY STRAIN

By

Made Ayu Wardina

Background: Rhizophora apiculata has anti-inflammatory, analgesic,


antioxidant and antibacterial effects which are thought to help the wound healing
process. It is necessary to further develop the potential of Rhizophora apiculata
leaf extract which is formulated in the form of an ointment for healing cuts.
Objective: To determine the effect of giving Rhizophora apiculata leaf extract
ointment on wound healing in Sprague dawley white rats
Method: Experimental approach to Post Test Only Control Group Design.
Ointments were made with various concentrations of Rhizophora apiculata leaf
extract 20%, 30%, 40%, and an ointment base. The ointment was observed for its
effect on wound healing in male white rats of Sprague dawley strain for 14 days.
Data were statistically tested using one way ANOVA test and Kruskal wallis test
and post hoc test.
Results: Rhizophora apiculata leaf extract ointment has an effect on shrinking
the length of the incision in the proliferative phase. Observation of local
infections and allergic reactions based on the Nagaoka score on R. apiculata leaf
extract ointment was not significantly different from normal controls and positive
controls. Concentrations of 30% and 40% have the same wound healing effect as
standard wound medicine (oxoferin) and the optimum formula is a concentration
of 30%.
Conclusion: Rhizophora apiculata leaf extract ointment has an effect on
accelerating wound healing in Sprague dawley white rats.
Keywords: mangroves, Rhizophora apiculata, ointment, cuts
i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI .......................................................................................................... i


DAFTAR TABEL ................................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ v

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1


1.1. Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................... 4
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 5
1.3.1. Tujuan Umum .......................................................................................... 5
1.3.2. Tujuan Khusus ......................................................................................... 5
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 5
1.4.1. Manfaat Teoritis ....................................................................................... 5
1.4.2. Manfaat Bagi Peneliti .............................................................................. 6
1.4.3. Manfaat Praktis ........................................................................................ 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 7


2.1. Kulit ................................................................................................................ 7
2.1.1. Struktur Kulit ........................................................................................... 7
2.1.2. Fungsi Kulit ........................................................................................... 13
2.2. Luka .............................................................................................................. 16
2.2.1. Epidemiologi .......................................................................................... 16
2.2.2. Jenis-jenis luka ....................................................................................... 17
2.2.3. Mekanisme Penyembuhan Luka ............................................................ 20
2.2.4. Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka .................................. 23
2.2.5. Jenis Penyembuhan luka ........................................................................ 24
2.2.6. Perawatan Luka ...................................................................................... 26
2.2.7. Komplikasi Luka .................................................................................... 29
2.3. Tanaman Bakau (Rhizophora apiculata) ...................................................... 29
2.3.1. Klasifikasi Bakau (Rhizophora apiculata)............................................. 30
ii

2.3.2. Anatomi dan Morfologi Bakau (Rhizophora apiculata) ....................... 30


2.3.3. Kandungan dan Manfaat Bakau (Rhizophora apiculata) ..................... 36
2.3.4. Efek Farmakologis Bakau (Rhizophora apiculata) .............................. 35
2.4. Ekstraksi Tanaman Obat ............................................................................... 37
2.5. Salep ............................................................................................................. 40
2.5.1. Definisi dan Klasifikasi Salep ................................................................ 40
2.5.2. Keuntungan dan Kerugian Salep............................................................ 43
2.5.3. Mekanisme Penetrasi Salep .................................................................. 43
2.5.4. Cara Pembuatan Salep ........................................................................... 44
2.5.5. Evaluasi Sediaan Salep ......................................................................... 45
2.6. Gambaran Umum Hewan Coba .................................................................... 48
2.7. Kerangka Penelitian ...................................................................................... 50
2.7.1. Kerangka Teori ...................................................................................... 50
2.7.2. Kerangka Konsep ................................................................................... 52
2.8. Hipotesis ....................................................................................................... 53

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 54


3.1. Desain Penelitian ........................................................................................... 54
3.2. Tempat dan Waktu ........................................................................................ 55
3.3. Populasi dan Sampel...................................................................................... 55
3.3.1. Populasi Penelitian ................................................................................. 55
3.3.2. Sampel Penelitian................................................................................... 55
3.4. Alat dan Bahan Penelitian ............................................................................. 58
3.4.1. Alat ......................................................................................................... 58
3.4.2. Bahan .................................................................................................... 58
3.5. Prosedur Penelitian ........................................................................................ 59
3.5.1. Adaptasi Tikus ....................................................................................... 59
3.5.2. Pembuatan Ekstrak Daun Rhizophora apiculata ................................... 59
3.5.3. Uji Skrining Fitokimia ........................................................................... 60
3.5.4. Formulasi Salep Ekstrak Daun Rhizophora apiculata ........................... 61
3.5.5. Evaluasi Formulasi Salep Ekstrak Daun Rhizophora apiculata ............. 62
3.5.6. Pembuatan Luka Sayat ........................................................................... 63
3.5.7. Observasi Luka Sayat............................................................................. 64
3.6. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional ............................................. 64
3.6.1. Identifikasi Variabel............................................................................... 64
iii

3.6.2. Definisi Operasional Variabel ................................................................ 65


3.7. Analisis Data ................................................................................................. 67
3.8. Etika Penelitian .............................................................................................. 68

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 69


4.1. Hasil ............................................................................................................... 69
4.1.1. Uji Skrinning Fitokimia Ekstrak Daun Rhizophora apiculata .............. 69
4.1.2. Evaluasi Salep Ekstrak Daun Rhizophora apiculata ............................. 70
4.1.3. Rerata Perbedaan Panjang Luka Sayat................................................... 74
4.1.4. Lama Penyembuhan Luka Sayat ............................................................ 80
4.1.5. Rerata Perbedaan Penyusutan Panjang Luka Sayat Per Hari ................. 82
4.1.6. Skor Penilaian Penyembuhan Luka Sayat Secara Makroskopis
Berdasarkan Modifikasi Nagaoka ......................................................... 84
4.2. Pembahasan ................................................................................................... 89

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 100


5.1. Simpulan ...................................................................................................... 100
5.2. Saran ............................................................................................................ 101

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 102


iv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Formulasi Salep Ekstrak Daun Rhizophora apiculata ..................................... 62


2. Definisi Operasional ......................................................................................... 66
3. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Daun Rhizophora apiculata ................................ 70
4. Hasil Organoleptis Formula Salep.................................................................... 71
5. Hasil Uji Homogenitas Formula Salep ............................................................. 71
6. Hasil Uji pH Formula Salep ............................................................................. 72
7. Hasil Uji Viskositas Formula Salep ................................................................. 73
8. Rata-Rata Panjang Luka Sayat (mm) ............................................................... 74
9. Presentase Rerata Penyusutan Panjang Luka Sayat ......................................... 76
10. Hasil Uji Post Hoc LSD Presentase Rerata Penyusutan Panjang Luka Sayat
Hari Ke-14 ...................................................................................................... 79
11. Lama Penyembuhan Luka Sayat Pada Tiap Kelompok ................................. 80
12. Hasil Uji Mann Whitney Lama Penyembuhan Luka Sayat ............................ 81
13. Penyusutan Panjang Luka Sayat Per Hari pada Tiap Kelompok ................... 81
14. Hasil Uji Mann Whitney Penyusutan Panjang Luka Sayat Per Hari .............. 83
15. Hasil Skor Penilaian Penyembuhan Luka Secara Makroskopis dengan
Kriteria Modifikasi Nagaoka .......................................................................... 85
16. Gambar Penyembuhan Luka Sayat pada Tiap Kelompok .............................. 87
v

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Lapisan-lapisan dan Apendiks Kulit .................................................................. 7


2. Lapisan Kulit ...................................................................................................... 8
3. Jenis-jenis Luka ................................................................................................ 17
4. Jenis Penyembuhan Luka Primary Intention ................................................... 24
5. Jenis Penyembuhan Luka Secondary Intention ................................................ 25
6. Jenis Penyembuhan Luka Tertiary Intention .................................................... 26
7. Irisan Melintang Daun Rhizophora apiculata .................................................. 32
8. Batang Rhizophora apiculata ........................................................................... 33
9. Akar Rhizophora apiculata .............................................................................. 33
10. Irisan Penampang Melintang Akar Rhizophora apiculata ............................. 34
11. Basis Salep...................................................................................................... 41
12. Kerangka Teori ............................................................................................... 50
13. Kerangka Konsep ........................................................................................... 52
14. Grafik Rata-Rata Panjang Luka Sayat ............................................................ 75
15. Grafik Presentase Rata-Rata Penyusutan Luka Sayat .................................... 76
16. Reaksi Garam Flavilium ................................................................................. 90
17. Reaksi Uji Tanin ............................................................................................. 91
vi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Ethical clearance ............................................................................................ 108


2. Skor Nagaoka ................................................................................................. 109
3. Data Penelitian................................................................................................ 110
4. Hasil Analisis Viskositas Salep ...................................................................... 111
5. Hasil Uji Statistik ........................................................................................... 113
6. Dokumentasi Penelitian .................................................................................. 122
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Luka pada kulit sering terjadi pada aktivitas sehari-hari (Febriana dkk, 2016).
Luka merupakan sebuah cedera yang disebabkan oleh suatu keadaan dimana
kontinuitas jaringan terputus dalam bentuk dan kedalaman yang bervariasi
sesuai dengan benda yang mengenainya (Kartika, 2015; Febriana dkk, 2016).
Luka dapat menyebabkan gangguan pada fungsi dan struktur anatomi tubuh
akibat dari kerusakan jaringan pada kulit manusia yang disebabkan oleh
perubahan kondisi fisiologis, hasil tindakan medis, ataupun kontak dengan
sumber panas seperti bahan kimia, radiasi, air panas, api, dan listrik (Purnama
dkk, 2017).

Prevalensi luka di dunia maupun di Indonesia cukup tinggi. Luka menjadi


salah satu pembunuh utama pada anak-anak di seluruh dunia dan setiap
tahunnya luka menjadi penyebab pada sekitar 950.000 kematian pada anak-
anak dan remaja dibawah 18 tahun. Sebanyak 90% dari semua kasus tersebut
adalah luka yang tidak disengaja. Berdasarkan pendapatan, lebih dari 95% dari
seluruh kematian karena luka pada anak-anak terjadi dengan pendapatan
rendah dan sedang. Berdasarkan data Riskesdas dari Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, prevalensi luka di Indonesia mengalami peningkatan dari
8,2% pada tahun 2013 menjadi 9,2% pada tahun 2018 (Febriana dkk, 2016).

Luka yang tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan terganggunya


proses penyembuhan luka hingga komplikasi. Proses penyembuhan luka yang
terganggu dapat menyebabkan luka menjadi luka kronis atau infeksi. Luka
kronis dapat mempengaruhi pasien kepada komplikasi lebih lanjut seperti
2

cacat, sepsis, kehilangan fungsi, atau amputasi. Secara alami, luka tanpa
komplikasi memiliki proses penyembuhan segera setelah kerusakan jaringan
terjadi oleh keratinosit, fibroblas, sel endotel vaskular, dan sel imun (Grubbs
& Manna 2021). Untuk mencegah komplikasi maka perlu dilakukan
perawatan luka yang baik, selain mencegah komplikasi, perawatan luka yang
baik juga dapat meningkatkan percepatan proses penyembuhan luka (Purnama
dkk, 2017).

Perawatan luka dapat menggunakan obat sintetis dan obat tradisional herbal.
Obat sintetis cenderung memiliki harga yang cukup tinggi dan memiliki efek
samping yang biasanya lebih tinggi daripada obat tradisional herbal (Hakim
dkk 2021; Baehaki dkk, 2019). Obat tradisional dengan bahan alami yang
memiliki kandungan dengan khasiat dalam penyembuhan luka juga dapat
digunakan sebagai perawatan luka. Pengobatan menggunakan tanaman obat
memiliki kelebihan yaitu efek samping yang tidak terlalu tinggi dibandingkan
dengan obat-obatan sintetis atau obat medis (Hakim dkk, 2021). Selain itu,
Obat-obatan jenis ini dapat meminimalisir efek samping, bahkan relatif mudah
didapat dan lebih murah. Oleh karena itu, pengembangan obat-obatan
berbahan dasar alami atau herbal perlu dikembangkan (Baehaki dkk, 2019).
Salah satu yang sedang diteliti di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
bagian Biokimia dan Biologi Molekuler adalah tanaman Rhizophora
apiculata.

Tanaman bakau (Rhizophora apiculata) merupakan salah satu spesies dari


famili Rhizophoraceae yang merupakan salah satu spesies dari tanaman
mangrove (Mustika dkk, 2014). Tanaman bakau (Rhizophora apiculata)
merupakan jenis tanaman yang memiliki kandungan antioksidan (Mustofa
dkk 2019). Spesies Rhizophora merupakan spesies dari tanaman mangrove
yang memiliki sifat farmakologi antibakteri, antijamur, dan antivirus.
Beberapa laporan menyatakan bahwa spesies Rhizophora memiliki potensi
dalam menghambat pertumbuhan bakteri dengan senyawa yang terkandung di
dalamnya (Rahayu dkk, 2019). Tanaman Rhizophora memiliki kandungan
berbagai zat metabolit sekunder seperti diterpenoid, triterpenoid,
3

seskuiterpen, daucosterol, atranorin, palmiton, polifenol, tanin polimer, dan


tanin terhidrolisis. Rhizophora apiculata juga mengandung lyoniresinol-3α-
O-β-arabinopyranoside, lyoniresinol-3α-O-β-rhamnoside, dan afzelechin-3-
O-L-rhamno-pyranoside yang mempunyai aktivitas sebagai antioksidan yang
diuji dengan metode DPPH dan ABTS (Seepana dkk, 2016; Pambudi &
Haryoto, 2022). Berbagai penelitian telah melaporkan bahwa ekstrak tanaman
dengan kandungan senyawa metabolit aktif seperti flavonoid, alkaloid, tanin,
saponin, terpenoid, dan steroid merupakan tanaman dengan aktivitas
farmakologis yang dapat membantu proses penyembuhan luka (Dewi &
Wicaksono, 2020). Berdasarkan peninjauan dari berbagai penelitian dan
literatur diatas terhadap khasiat dari tumbuhan Rhizophora apiculata, maka
ekstrak daun Rhizophora apiculata memiliki potensi dalam pemanfaatannya
di bidang farmasi. Selain itu, tumbuhan ini memiliki penyebaran yang sangat
luas di Indonesia sehingga memiliki peluang besar dalam pengembangan
suatu produk dengan Rhizophora apiculata sebagai bahan dasar dalam
industri kefarmasian (Paputungan dkk, 2014).

Salah satu sediaan topikal farmasi yang dapat digunakan pada penyembuhan
luka sayat yaitu sediaan salep. Salep sebagai sediaan topikal memiliki
kelebihan yaitu sediaan salep dapat digunakan sebagai pelindung dalam
pencegahan kontak antar permukaan kulit dengan rangsang kulit, memiliki
kestabilan yang baik dalam penggunaan dan penyimpanan, mudah
diaplikasikan pada kulit, memiliki daya sebar yang baik sehingga terdistribusi
merata, memiliki daya lekat yang baik pada kulit sehingga penyerapan obat
baik, sebagai efek antiinflamasi yang dapat memberikan kesan menyejukkan
dan sebagai vasokonstriksi, serta memiliki efek proteksi terhadap iritasi
mekanik, panas dan kimia, (Isrofah dkk, 2015; Usha dkk, 2015). Selain itu,
sediaan salep memiliki pengaruh terhadap bioavailabilitas obat topikal karena
memiliki sifat oklusif dari stratum korneum yang dapat meningkatkan
penyerapan obat dikulit dan mempengaruhi distribusi dan partisi obat dari
salep ke kulit (Garg dkk, 2015). Hal tersebut tentu mendukung sediaan salep
sebagai sediaan formulasi dalam penyembuhan luka.
4

Dalam penelitian ini, menggunakan ekstrak daun Rhizophora apiculata


karena memiliki efek antiinflamasi, analgetik, antioksidan dan antibakteri
(Pambudi & Haryoto, 2022) dan diduga dapat membantu proses penyembuhan
luka. Dipilih sediaan salep sebagai basis karena salep memiliki fungsi sebagai
bahan pelumas kulit, pelindung kulit, dan sebagai bahan pembawa obat topikal
(Isrofah dkk, 2015). Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk
mengembangkan lebih lanjut mengenai potensi ekstrak daun Rhizophora
apiculata dengan mempelajari pengaruh pemberian ekstrak daun Rhizophora
apiculata yang diformulasikan dalam bentuk salep terhadap proses
penyembuhan luka sayat pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague
dawley.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah terdapat pengaruh pemberian formulasi salep ekstrak daun


Rhizophora apiculata terhadap percepatan penyembuhan luka sayat pada
tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley?
2. Bagaimana pengaruh salep ekstrak daun bakau (Rhizophora apiculata)
terhadap penyusutan panjang luka sayat sayat pada tikus putih (Rattus
norvegicus) galur Sprague dawley?
3. Bagaimana pengaruh salep ekstrak daun bakau (Rhizophora apiculata)
terhadap lama penyembuhan luka sayat sayat pada tikus putih (Rattus
norvegicus) galur Sprague dawley?
4. Bagaimana skor penilaian penyembuhan luka secara makroskopis dengan
menggunakan kriteria modifikasi Nagaoka sayat pada tikus putih (Rattus
norvegicus) galur Sprague dawley dibandingkan dengan kontrol normal
dan kontrol positif?
5. Bagaimana perbandingan salep ekstrak daun bakau (Rhizophora apiculata)
dengan obat luka sayat standar (oxoferin) sebagai penyembuhan luka sayat
pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley?
5

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh pemberian formulasi salep ekstrak daun Rhizophora


apiculata terhadap percepatan penyembuhan luka sayat pada tikus putih
(Rattus norvegicus) galur Sprague dawley
2. Mengetahui pengaruh salep ekstrak daun bakau (Rhizophora apiculata)
terhadap penyusutan panjang luka sayat pada tikus putih (Rattus
norvegicus) galur Sprague dawley
3. Mengetahui pengaruh salep ekstrak daun bakau (Rhizophora apiculata)
terhadap lama penyembuhan luka sayat sayat pada tikus putih (Rattus
norvegicus) galur Sprague dawley
4. Mengetahui skor penilaian penyembuhan luka secara makroskopis dengan
menggunakan kriteria modifikasi Nagaoka sayat pada tikus putih (Rattus
norvegicus) galur Sprague dawley dibandingkan dengan kontrol normal
dan kontrol positif
5. Mengetahui perbandingan salep ekstrak daun bakau (Rhizophora
apiculata) terhadap obat luka sayat standar (oxoferin) standar sebagai
penyembuhan luka sayat pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur
Sprague dawley.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan oleh peneliti selanjutnya


dalam mengembangkan uji formulasi ekstrak tanaman Rhizophora
apiculata atau dengan bahan lain terhadap penyembuhan luka sayat
atau terhadap aktivitas farmakologis lainnya dari tanaman tersebut.
6

1.4.2. Manfaat bagi Peneliti

Penelitian ini dapat menambah wawasan peneliti dalam bidang


pemanfaatan bahan alam, pembuatan formulasi sediaan farmaseutikal,
serta biokimia dan biologi molekuler farmasi.

1.4.3. Manfaat Praktis

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan kedepannya dapat


mendukung keberadaan tanaman Rhizophora apiculata dalam
pemanfaatannya di bidang industri farmasi dan kesehatan sebagai
pengobatan herbal topikal dalam mengobati luka.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kulit

Salah satu ogan terbesar dari tubuh manusia dan merupakan bagian dari sistem
integumen adalah kulit. Kulit pada manusia tersusun dari tiga lapisan utama
yaitu epidermis, dermis, dan hipodermis (Agarwal & Krishnamurthy, 2022).
Kulit juga tersusun dari empat jaringan dasar yaitu epitel, jaringan ikat,
jaringan otot, dan jaringan saraf (Kalangi, 2013). Selain itu, kulit juga
memiliki kelenjar keringat, folikel rambut, dan sebaseus pada bagian lainnya
dari kulit sebagai pelengkap (Agarwal & Krishnamurthy, 2022).

2.1.1. Struktur Kulit

Kulit tersusun dari tiga lapisan yaitu epidermis, dermis, dan hipodermis
(Kalangi, 2013). Struktur kulit pada manusia ditunjukkan oleh gambar
1.

Gambar 1. Lapisan-lapisan dan apendiks kulit (Kalangi, 2013)


8

Epidermis merupakan lapisan terluar pada kulit yang tersusun dari


jaringan epitel yang bersal dari ektoderm. Pada lapisan epidermis
terdapat batang rambut, pori-pori keringat, reseptor sensorik dan
punggung epidermis. Dermis merupakan lapisan kedua dan berada
dibawah epidermis terdiri dari jaringan ikat agak padat yang berasal dari
mesoderm. Pada lapisan ini terdiri dari lapisan papiler yang tedapat
papilla kulit dan lapisan retikuler yang tersusun dari otot arektor pili,
kelenjar minyak, saluran kelenjar keringat, kelenjar keringat merokrin,
serat saraf sensorik dan folikel rambut. Hipodermis merupakan lapisan
paling bawah pada kulit yang merupakan selapis jaringan ikat longgar
dan terdapat jaringan lemak yaitu jaringan ikat adiposa dan jaringan ikat
areolar (Kalangi, 2013).

2.1.1.1. Epidermis

Epidermis merupakan lapisan terluar pada bagian kulit yang


terdiri dari lima lapisan (Agarwal & Krishnamurthy, 2022;
Suriadi, 2015).

Gambar 2. Lapisan Kulit (Agarwal & Krishnamurthy, 2022)


9

Lapisan epidermis terdiri dari stratum korneum, stratum


lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum
basal. Lapisan dermis merupakan lapisan tebal yang terletak
dibawah epidermis. Lapisan paling bawah merupakan
hipodermis yang terdiri dari jaringan lemak (Agarwal &
Krishnamurthy, 2022). Lapisan tersebut dapat ditunjukkan
pada gambar 2.

Kondisi lingkungan epidermis bergantung pada sifat fisiknya


seperti kehilangan air transepidermal, jumlah sebum yang
dihasilkan, hidrasi epidermis, dan gradien pH antara
permukaan kulit dan bagian dalam tubuh. Hal tersebut
dipengaruhi juga oleh faktor individu seperti usia, ras, area
anatomi kulit, jenis kelamin, intensitas keringa, suhu
lingkungan dan suhu kulit, keseimbangan hormon, musim
dalam setahun, kelembaban udara, dan lain lain (Boer dkk,
2016).

Berikut merupakan penjelasan mengenai lapisan-lapisan pada


epidermis kulit.
1. Stratum basalis
Stratum basalis merupakan lapisan terdekat dengan
dermis dan mengandung melanosit, keratinosit tunggal,
dan sel merkel. Melanosit merupakan sel yang berperan
dalam memproduksi melanin untuk memberikan warna
pada kulit (Agarwal & Krishnamurthy, 2022; Suriadi,
2015). Stratum basalis merupakan sel basal yang
membelah secara terus menerus dan akan matang saat
terdorong keluar atau keatas sehingga menghasilkan sel
skuamosa atau keratinosit. Keratinosit nantinya akan
menghasilkan keratin yang merupakan protein yang
melindungi Sebagian besar struktur kulit, rambut, dan
kuku (Suriadi, 2015; Agarwal & Krishnamurthy, 2022).
10

Lapisan sel skuamosa merupakan lapisan tebal pada


epidermis yang berperan dalam transfer keluar masuknya
zat (Suriadi, 2015). Proliferasi sel pada lapisan ini
memiliki peran dalam regenerasi epitel. Terjadi
peningkatan kecepatan pada pergerakan sel basal keatas
dan regenerasinya dalam keadaan normal apabila kulit
mengalami cedera luka (Kalangi, 2013).

2. Stratum spinosum
Sebagian besar lapisan pada epidermis adalah lapisan
stratum spinosum. Lapisan terdiri dari beberapa lapisan
sel berukuran besar yang berbentuk poligonal dengan inti
lonjong. Lapisan sel ini juga memiliki sitoplasma dengan
warna kebiruan. Sel-sel pada lapisan ini dihubungkan
dengan desmosom, dimana desmosom yang berbentuk
menyerupai duri ini akan membuat sel-sel saling berikatan
atau melekat satu sama lain (Suriadi, 2015; Agarwal &
Krishnamurthy, 2022).

3. Stratum granulosum
Pada lapisan ini, terdapat 3 – 5 lapisan keratinosit dan
mengandung butiran lapisan-membran. Sitoplasma pada
keratinosit terkandung basofilik keratoyalin berukuran
besar, kasar, bentuk tidak beratur, tidak terikat oleh
membran, dan dikelilingi ribosom yang bisa disebut
dengan granula keratohialin (Suriadi, 2015; Kalangi,
2013). Pada lapisan ini terkandung lapisan-lapisan sel
yang mengandung lipid yang memiliki peran sebagai
penghalang tahan air, dimana hal tersebut merupakan
salah satu dari fungsi kulit. (Agarwal & Krishnamurthy,
2022; Suriadi, 2015). Lapisan sel yang mengandung lipid
ini berperan dalam mempercepat kematian sel
dikarenakan kehilangan intinya yang disebabkan sifat
11

kedap air pada lapisan ini yang mencegah sel-sel


menempel pada bagian bawahnya yang berisi cairan
penuh nutrisi (Suriadi, 2015).

4. Stratum lusidum
Lapisan ini memiliki fungsi untuk menahan gesekan dan
tekanan dari luar dan hanya ada pada bagian tubuh yang
banyak menahan beban dan bersentuhan seperti telapak
kaki, telapak tangan, tumit, serta pangkal kaki untuk
menahan gesekan dan tekanan dari luar (Suriadi, 2015).
Lapisan ini tersusun dari keratinosit mati (Agarwal &
Krishnamurthy, 2022). Sel pada lapisan ini berbentuk
kubus dan poligonal gepeng dengan inti pada bagian
tengahnya dan bersifat tembus cahaya dan agak
eosinofilik (Kalangi, 2013; Suriadi, 2015). Pada lapisan
ini tidak terdapat organel namun terdapat sedikit
desmosom yang bertautan dengan berkas-berkas serat
pada sitoplasmanya (Kalangi, 2013; Suriadi, 2015).
Melalui serat-serat tersebutlah seluruh permukaan sel
saling menempel erat (Suriadi, 2015).

5. Stratum korneum
Lapisan ini merupakan lapisan terluar dari epidermis yang
befungsi sebagai pelindung (Agarwal & Krishnamurthy,
2022). Sitoplasma pada lapisan ini digantikan oleh keratin
(Kalangi, 2013). Lapisan ini terdiri atas 10 – 30 lapisan
tipis yang melepaskan sel keratinosit mati, berbentuk
pipih, dan tidak memiliki inti (Suriadi, 2015; Kalangi,
2013). Pergantian sel biasanya terjadi setiap 28 – 30 hari
pada remaja hingga dewasa dan 45 – 50 hari pada dewasa
yang hingga lanjut usia (Suriadi, 2015). Pada permukaan
lapisan ini terdapat sel yang berbentuk seperti tanduk yang
terdehidrasi dan selalu terkelupas akibat kehilangan
12

desmosom (Kalangi, 2013; Suriadi, 2015). Lapisan ini


berperan sebagai pengatur kehilangan air dengan
mencegah penguapan cairan (Agarwal & Krishnamurthy,
2022).

2.1.1.2. Dermis

Lapisan setelah epidermis pada kulit yaitu dermis. Lapisan ini


merupakan lapisan tebal yang terdiri dari jaringan ikat yang
mengandung kolagen dan elastin yang berperan pada kekuatan
serta fleksibilitas kulit (Agarwal & Krishnamurthy, 2022;
Suriadi, 2015). Menurut Suriadi (2015), ketebalan lapisan ini
berkisar 0.25 – 2.55 mm dimana ketebalan tersebut merupakan
4x lipat dari lapisan epidermis. Lapisan dermis juga terdapat
ujung saraf, pembuluh darah, folikel rambut, kelenjar keringat,
dan kelenjar sebasea (Agarwal & Krishnamurthy, 2022).

Lapisan dermis terbagi menjadi dua lapisan dengan pembatas


yang tidak tegas (Suriadi, 2015; Kalangi, 2013). Lapisan
tersebut yaitu stratum papilaris yang berbatasan dengan
epidermis seperti tonjolan kecil atau jari (Agarwal &
Krishnamurthy, 2022; Suriadi, 2015; Kalangi, 2013). Lapisan
yang kedua yaitu stratum retikularis yang terletak pada area
bawah dermis dibagian bawah dan tebal (Agarwal &
Krishnamurthy, 2022; Suriadi, 2015; Kalangi, 2013). Menurut
Suriadi (2015), lapisan dermis memiliki fungsi utama yaitu
sebagai pengatur suhu dan menyuplai darah kaya nutrisi
kepada lapisan epidermis dan sebagian besar pasokan air tubuh
disimpan di dalam lapisan dermis.
13

2.1.1.3. Hipodermis

Lapisan hipodermis merupakan lapisan subukutan yang


terletak dibawah stratum retikularis (Agarwal &
Krishnamurthy, 2022; Kalangi, 2013). Lapisan ini Sebagian
besarnya terdiri dari jaringan adiposa dikarenakan
mengandung sel lemak (Agarwal & Krishnamurthy, 2022;
Kalangi, 2013). Lapisan ini memiliki sel lemak yang lebih
banyak dari lapisan dermis yang mengumpul dibagian tubuh
tertentu. Lemak subkutan tidak ditemukan pada jaringan
subkutan kelopak mata dan penis namun terdapat lemak
subkutan hingga ketebalan 3 cm pada paha, bokong, dan
abdomen (Kalangi, 2013).
Hipodermis berperan sebagai isolator sekaligus
mempertahankan suhu panas tubuh, sebagai shock-absorber,
dan sebagai pelindung organ dalam dari benturan. Lapisan ini
juga menyimpan lemak yang dapat digunakan sebagai
cadangan energi bagi tubuh (Suriadi, 2015).

2.1.2. Fungsi Kulit

Kulit memiliki fungsi yaitu sebagai berikut.


a. Sensasi
Kulit memiliki banyak jenis reseptor sehingga dapat merasakan
lingkungan eksternal dengan menerima sinyal sentuhan, nyeri,
tekanan, suhu, dan getaran (Agarwal & Krishnamurthy, 2022;
Suriadi, 2015). Hal ini dikarenakan disk merkel pada lapisan
epidermis terhubung dengan sel-sel saraf di dermis tepatnya pada
stratum papilaris untuk mengidentifikasi bentuk dan tekstur dari
benda yang bersentuhan dengan kulit (Suriadi, 2015; Kalangi,
2013).
14

b. Perlindungan
Kulit berperan sebagai pelindung dan penghalang dari sinar UV,
pathogen, stress kimia, dan stress termal (Agarwal &
Krishnamurthy, 2022; Suriadi, 2015). Mekanisme perlindungan ini
adalah lapisan epidermis mengandung keratinosit mati yang
tangguh dan berlapis-lapis sehingga pathogen tidak dapat
memasuki tubuh melalui kulit yang utuh dan normal. Hal inilah
yang menjelaskan bahwa apabila kulit mengalami cedera luka perlu
dibersihkan dan menutupi luka dengan perban untuk mencegah
infeksi (Suriadi, 2015).

c. Termoregulasi
Kelenjar keringat pada kulit berperan dalam membantu
mempertahankan homeostasis suhu tubuh (Agarwal &
Krishnamurthy, 2022). Kelenjar menghasilkan keringat yang
mengeluarkan air kepermukaan tubuh yang mudah menguap.
Penguapan keringat yang mengandung panas ini akan
mendinginkan permukaan tubuh. Panas dapat terpancar keluar dari
tubuh karena darah mengangkut panas melalui tubuh kemudian
menarik panas dari inti tubuh dan membawanya ke kulit (Suriadi,
2015).

d. Metabolisme
Pada lapisan hipodermis, jaringan adiposa memiliki peran penting
dalam sintesis vitamin D dan penyimpanan lipid (Agarwal &
Krishnamurthy, 2022). Menurut Suriadi (2015), lapisan stratum
basal dan stratum spinosum mengandung 7-dehydrocholesterol
yang akan bertransformasi menjadi vitamin D3 dengan bantuan
sinar UV, yang kemudian diubah oleh ginjal menjadi bentuk aktif
dari vitamin D yaitu calcitrol (Suriadi, 2015)..
15

e. Keratinisasi
Keratinisasi merupakan proses akumulasi keratin dalam keratinosit
yang tujuan akhirnya keratinosit mati akan membentuk lapisan
yang datar, keras, dan saling terikat erat dan membentuk
penghalang untuk melindungi jaringan yang berada dibawahnya
(Suriadi, 2015).

f. Warna kulit
Warna kulit dihasilkan dari tiga pigmen yaitu melanin, karoten, dan
hemoglobin. Melanin merupakan pigmen coklat yang dihasilkan
oleh melanosit sebagai pelindung dari radiasi sinar UV. Karoten
merupakan pigmen yang menghasilkan warna kuning pada kulit.
Hemoglobin merupakan pigmen merah yang akan terlihat
mencolok pada manusia dengan sedikit melanin (Suriadi, 2015).

g. Ekskresi
Keringat yang dikeluarkan oleh kelenjar ekrin sudoriferous selain
sebagai pengatur homeostasis suhu untuk mendinginkan tubuh,
juga mengeluarkan produk-produk sampah dari tubuh. Keringat
biasanya mengandung Sebagian besar air dengan banyak elektrolit,
dan sejumlah kecil prosuk sisa metabolism seperti asam laktat,
asam urat, amonia, dan urea (Suriadi, 2015).

Berdasarkan Boer dkk (2016), kulit merupakan organ tubuh sebagai


penghalang antara tubuh manusia dengan lingkungan luar yang
melindungi tubuh terhadap fisik eksogen dan faktor kimia serta sebagai
bagian yang mengambil peran dalam proses metabolisme. Kulit dengan
strukturnya yang kompleks serta karakteristik fisikokimianya
membuatnya memiliki peran sebagai lini pertama yang efektif terhadap
faktor eksogen, membantu menjaga homeostasis tubuh, dan menjadi
bagian dalam proses imunologi (Boer dkk, 2016).
16

2.2. Luka

Luka adalah sebuah peristiwa hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh
yang disebabkan oleh kontak fisika, hasil dari tindakan medis, maupun
perubahan kondisi fisiologis (Febriana dkk, 2016; Purnama dkk, 2017). Pada
umumnya, tubuh secara alami akan melakukan proses penyembuhan luka
melalui kegiatan bioseluler dan biokimia yang terjadi secara
berkesinambungan (Purnama dkk, 2017).

2.2.1. Epidemiologi

Pada tahun 2014, luka akut mengakibatkan 17,2 juta kunjungan rumah
sakit. Sebagian besar (57,8%) dari kunjungan ini terjadi di lingkungan
rawat jalan dan 42,2% terjadi di lingkungan rawat inap. Data
pemulangan rumah sakit yang diperoleh dari Proyek Biaya dan
Pemanfaatan Kesehatan dari rawat inap rumah sakit dan kunjungan
gawat darurat mengidentifikasi bahwa hampir setengah juta pasien
dirawat karena luka bakar pada tahun 2011. Luka lecet merupakan jenis
luka tertinggi yang dialami penduduk Indonesia yaitu sebanyak 70,9%
dan diikuti oleh luka robek sebesar 23,2%. Sebanyak 40,9% luka
diketahui penyebabnya yaitu akibat dari terjatuh dan 40,6% disebabkan
oleh kecelakaan motor. Penyebab lain yaitu dapat berupa benda tajam
atau tumpul (7,3%), transportasi darat lain (7,1%), dan kejatuhan
(2,5%). Serangkaian tindakan untuk mencegah terjadinya trauma atau
injury pada kulit dan membran mukosa jaringan lain akibat adanya
trauma, fraktur, dan luka operasi yang dapat merusak permukaan kulit
adalah tindakan perawatan luka. Secara umum, perawatan luka masih
dilakukan secara sederhana dan harus menyesuaikan kondisi luka yang
terjadi serta pada setiap diagnosis luka tidak selalu sama. Perawatan
luka yang optimal berperan penting dalam proses penyembuhan luka
untuk penyembuhan luka yang lebih singkat, menghindari gangguan
maupun masalah yang ditimbulkan akibat luka yang dapat
17

mempengaruhi produktivitas kerja dan pengeluaran biaya dalam proses


penyembuhan luka (Wintoko & Yadika, 2020).

2.2.2. Jenis-Jenis Luka

Secara umum, luka diklasifikasikan menjadi dua yaitu luka akut dan
luka kronis. Jenis-jenis luka dapat dilihat pada gambar 3.

Jenis-Jenis Luka

Luka Kronis Luka Akut

1. Ulkus Vena 1. Lecet atau Goresan


2. Ulkus 2. Avulsi atau Kontusio
Diabetikum 3. Luka Sayat
3. Ulkus Dekubitus 4. Laserasi
4. Luka Iskemik 5. Luka Radiasi atau Bisul

Gambar 3. Jenis-Jenis Luka (Maqsood, 2018)

Jenis-jenis luka yaitu terdiri dari luka kronis dan luka akut. Luka kronis
terbagi menjadi empat kategori yaitu ulkus vena, ulkus diabetikum,
ulkus dekubitus, dan luka iskemik. Luka akut terbagi menjadi lima
kategori yaitu lecet atau goresan, avulsi atau kontusio, luka sayat atau
luka terpotong, laserasi, dan luka radiasi atau bisul (Maqsood, 2018).
Berikut merupakan penjelasan mengenai jenis-jenis luka.

1. Luka Kronis
Luka kronis merupakan luka dengan gangguan metabolism
sebagai penyebabnya. Luka jenis ini memerlukan banyak waktu
untuk sembuh berbeda dengan luka akut yang mampu sembuh
dalam waktu yang seimbang dan lebih singkat. Luka kronis
mengalami kekurangan keseimbangan dalam produksi dan
18

degradasi sel dan ECM, misalnya kolagen. Secara umum, luka ini
diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu sebagai berikut
(Maqsood, 2018).

a. Ulkus vena atau vaskular


Ulkus vena atau vaskular merupakan bentuk luka kronis yang
terjadi di esktremitas bawah yaitu kaki. Proses inflamasi yang
melibatkan aktivasi leukosit, kerusakan endotel, agregasi
trombosit dan intraseluler utama merupakan biasanya terjadi
pada usia tua karena kondisi obesitas, cedera sebelumnya atau
trombosis vena dalam (Maqsood, 2018).

b. Ulkus diabetikum
Ulkus diabetikum merupakan bentuk luka kronis yang
disebabkan karena kondisi diabetes. Kondisi diabetes
berpengaruh terhadap terganggunya sistem kekebalan dan
menyebabkan kondisi neuropati terjadi. Pada kondisi ini, tubuh
gagal untuk mencegah infeksi dan luka kecilpun dapat menjadi
luka kronis (Maqsood, 2018).

c. Ulkus dekubitus
Ulkus dekubitus atau bisa juga disebut luka tekan merupakan
bentuk lain dari luka kronis yang biasanya terjadi pada orang
yang memiliki kondisi lumpuh. Kondisi imobilitas tubuh
dalam kelumpuhan menyebabkan jaringan menjadi iskemik
karena tekanan pada jaringan menjadi lebih besar daripada di
kapiler dan aliran darah menjadi terbatas pada jaringan tertentu
terutama pada otot (Maqsood, 2018).

d. Luka iskemik
Luka iskemik merupakan luka kronis yang disebabkan oleh
pembatasan suplai darah ke jaringan yang mengakibatkan
19

kekurangan oksigen dan glukosa yang dibutuhkan untuk


metabolisme sel (Maqsood, 2018).

2. Luka Akut
Luka akut merupakan luka yang disebabkan oleh faktor
lingkungan yang melibatkan cedera traumatis. Luka akut memiliki
keseimbangan produksi dan degradasi sel dan ECM yang tepat dan
akurat sehingga luka jenis ini dapat sembuh secara alamiah dan
tersistematis. Luka jenis ini juga cenderung sembuh lebih cepat
dibandingkan luka kronis. Klasifikasi dari luka akut berdasarkan
jenis faktor lingkungan yang terlibat dalam cedera adalah sebagai
berikut (Maqsood, 2018).
a. Lecet atau goresan
Luka jenis ini merupakan luka yang disebabkan oleh faktor
lingkungan yaitu gesekan kulit dengan permukaan yang kasar
seperti luka bakar akibat tali dan lutut yang terkilir.
b. Avulsi atau kontusio
Avulsi atau kontusio merupakan luka yang disebabkan oleh
pukulan paksa pada tubuh atau penarikan pada bagian tubuh.
Contoh dari luka ini yaitu patah tulang karena menendang bola,
kehilangan gigi permanen, dan lain lain.
c. Luka terpotong atau luka sayat
Luka jenis ini merupakan luka yang disebabkan oleh benda
berat yang menimpa seseorang sehingga menjepit bagian tubuh
atau pada bagian tubuh teriris oleh benda tajam. Jenis luka ini
mungkin superfisial atau merusak epidermis atau struktur
internal seperti dermi dan bagian hypodermis pada kulit
masing-masing. Contoh dari luka ini yaitu kulit teriris pisau,
kulit tertusuk paku, dan lain lain.
d. Laserasi
Luka jenis ini merupakan luka yang terjadi akibat adanya
faktor internal atau eksternal dengan kekuatan yang luar biasa
20

terhadap bagian tubuh yang menyebabkan robeknya struktur


tubuh. Contoh dari luka ini yaitu seperti melahirkan, luka
akibat tinjuan, dan lain lain.
e. Rudal
Luka jenis ini merupakan luka yang terjadi akibat benda
berkecepatan tinggi seperti peluru yang mampu menembus
bagian tubuh atau biasa disebut luka tembak.
f. Luka radiasi atau bisul
Luka jenis ini merupakan luka yang disebabkan oleh efek akut
atau kronis dari radiasi pengion. Cedera ini melibatkan kulit,
jaringan lunak dibawahnya, dan bahkan struktur dalam seperti
tulang (Maqsood, 2018).

2.2.3. Mekanisme Penyembuhan Luka

Proses penyembuhan luka terdiri dari empat tahap yaitu hemostasis,


inflamasi, proliferasi, dan remodelling jaringan atau resolusi dimana
seluruh tahapan tersebut terintegrasi dan tumpang tindih (Suriadi,
2015). Berikut merupakan penjelasan mengenai tahapan dari proses
penyembuhan luka yang terdiri dari hemostasis, inflamasi, proliferasi,
dan remodelling.
1. Hemostasis
Fase awal penyembuhan luka dimulai dari penyempitan otonom
pembuluh darah sebagai respon terhadap cedera kemudian diikuti
dengan relaksasi otot pembuluh darah dan pelepasan trombosit
yang bertindak menghentikan pembuluh darah yang rusak.
Trombosit mengeluarkan zat vasokonstriksi dan memiliki peran
utama dalam pembentukan bekuan pada pembuluh darah yang
rusak dengan mekanisme yaitu trombosit melakukan agregasi dan
menempel pada kolagen yang terkena. Trombosit juga merangsang
kaskade pembekuan intrinsik melalui produksi trombin yang
kemudian fibrinogen akan mulai membentuk fibrin (Suriadi, 2015).
21

Kerusakan pada endotelium vaskular membawa darah kepada area


luka cedera. Trombosit yang diaktifkan selanjutnya mengikat
kolagen yang terpapar yang merangsang pelepasan dari berbagai
faktor pertumbuhan, mediator inflamasi dan juga sitokin. Setelah
jalur koagulasi diaktifkan maka bekuan fibrin akan membentuk
segel untuk mencegah kehilangan darah lebih lanjut. Sitokin dalam
hal ini berfungsi sebagai kemotaksis, epitelisasi, angiogenesis, dan
matriks ekstraseluler. (Grubbs & Manna, 2021). Hemostasis terjadi
dalam beberapa menit setelah luka cedera namun apabila terjadi
masalah pembekuan yang membuat gagalnya pembekuan, maka
proses hemostasispun akan terganggu atau melambat (Suriadi,
2015).

2. Tahap inflamasi
Tahap ini biasanya berlangsung sampai 4 hari pasca cedera dan
ditandai dengan munculnya eritema, pembengkakan, dan panas
serta sering dikaitkan dengan nyeri (Suriadi, 2015). Pada tahap ini
yang bertindak sebagai garis pertahanan pertama adalah neutrofil
dimana neutrofil dibantu dengan sel mast akan memfagositosis
debris dan mikroorganisme. Pada tahap ini fibrin kemudian akan
pecah dan menarik sel berikutnya yang akan terlibat pada proses
inflamasi. Kemudian, sel monosit akan berubah menjadi makrofag
sebagai garis pertahanan kedua dan akan memfagositosis patogen
dan membersihkan sisa-sisa sel yang telah terpecah. Makrofag juga
akan mengeluarkan berbagai sitokin inflamasi seperti TNFβ,
TRAF6, dan IL-1 Kinase serta faktor pertumbuhan untuk
mengarahkan kepada tahap berikutnya. (Suriadi, 2015; Grubbs &
Manna, 2021; Palmieri dkk, 2017).

Sel monosit pada manusia merupakan tempat microRNA


diekspresikan, yang diaktifkan oleh berbagai sitokin pro inflamasi
dan endotoksin mikroba. Contohnya yaitu (miR)-146 yang
diinduksi oleh NFβ dan berperan untuk mengatur respon imun
22

bawaan seperti sitokin pensinyalan reseptor dalam monosit, TNFβ,


TRAF6, dan IL-1 Kinase (Palmieri dkk, 2017). Makrofag sangat
penting untuk proses penyembuhan luka. Apabila terjadi
penghambatan pada fungsi makrofag maka hal tersebut akan
mengganggu proses penyembuhan luka dan memperlambat proses
penyembuhan luka. Dengan adanya mekanisme ini, fase inflamasi
membuat dasar luka yang bersih sebagai dasar dari mekanisme
perbaikan yang lebih lanjut (Grubbs & Manna, 2021).

3. Tahap proliferasi (granulasi dan kontraksi)


Pada fase ini terjadi selama 3 – 21 hari pasca cedera. Proses
penyembuhan luka pada tahap ini siap untuk membangun kerangka
jaringan baru. Tahap ini melibatkan sel fibroblas untuk
mengeluarkan kerangka kolagen untuk regenerasi kulit lebih lanjut
dan ada juga yang bertanggung jawab untuk kontraksi luka. Pada
fase awal dari tahap ini, sel fibroblas bersama dengan growth factor
yang diturunkan dari trombosit akan produksi kolagen tipe III dan
angiogenesis. Angiogenesis yang distimulasi oleh Vascular
Endothelium Growth Factor (VEGF) melibatkan berbagai tahapan
seperti vasodilatasi, degradasi basement membran, migrasi sel
endotel dan proliferasi sel endotel. Diikuti dengan terjadinya
pembentukan pembuluh kapiler, sel endotelium dalam hal ini
bercabang dari pembuluh yang sudah ada sebelumnya dan diakhiri
dengan membentuk pondasi membran baru pada matriks
ekstraseluler. Saat aliran darah mulai dapat kembali ke area
tersebut, saturasi oksigen menjadi normal serta terjadi penurunan
pada kadar NO dan Vascular Endothelium Growth Factor (VEGF)
untuk memperlambat proses angiogenesis agar produksi kolagen
tidak berlebih dan tidak terjadi pembentukan kolagen yang
abnormal. Kemudian luka akan diisi dengan jaringan granulasi
dengan tampilan granular merah yang berisi pembuluh darah baru,
kolagen, dan fibroblas. Selanjutnya, keratinosit berperan untuk
23

epitelisasi yang kemudian akan membentuk lapisan luar pelindung


atau stratum korneum. Jaringan granulasi ini sangat penting untuk
ke tahap penyembuhan luka selanjutnya (Suriadi, 2015; Grubbs &
Manna, 2021; Destri dkk, 2017).

4. Tahap remodelling (pematangan)


Durasi dari tahap ini bergantung pada faktor usia, jenis luka,
kedalaman luka, lokasi luka, serta lama tahap inflamasi sehingga
dapat berlangsung hingga 2 tahun. Berawal dari kolagen tipe III
digantikan oleh kolagen tipe I dan ditata ulang sehingga lebih stabil
dan kekuatan jaringan meningkat. Selama tahap ini, bekas luka
menjadi lunak, merata, dan mengalami perubahan warna.
Vaskularisasi pada tahap ini berkurang dan fibroblas meninggalkan
area luka. Perlu diketahui bahwa jaringan granulasi pada tahap
sebelumnya hanya memiliki kekuatan kulit sekitar 80%
dibandingkan sebelum mengalami luka (Suriadi, 2015).

2.2.4. Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka

Menurut Semer (2013), pada proses penyembuhan luka memiliki


berbagai faktor yang pengaruhnya dapat menghambat penyembuhan
luka yaitu sebagai berikut.
a. Perawatan yang kurang baik
Perawatan yang kurang baik dapat mempengaruhi proses
penyembuhan luka menjadi lebih lambat dan rentan akan terjadinya
infeksi pada luka.
b. Osteomyelitis kronis
Osteomyelitis kronis merupakan infeksi di tulang yang dapat
mencegah penyembuhan jaringan lunak dan tulang dan
menyebabkan morbiditas pasien yang menderita patah tulang
terbuka.
24

c. Malnutrisi
Vitamin A, vitamin C, zat besi, dan zink merupakan nutrisi penting
untuk proses penyembuhan luka. Pasien dengan kondisi malnutrisi
dapat mempengaruhi proses waktu penyembuhan luka
d. Diabetes
Pasien dengan penyakit diabetes memiliki penyembuhan yang
lambat akibat dari kadar gula darah dalam tubuh.
e. Radiasi
Luka pada area yang terkena radiasi akan memerlukan waktu yang
panjang untuk proses penyembuhan.

2.2.5. Jenis Penyembuhan Luka

Proses penyembuhan luka dapat dijelaskan berdasarkan jenis


penutupan pada penyembuhan luka yang dijelaskan sebagai berikut
(Maryunani, 2015).

a. Primary Intention
Jenis penutupan luka ini biasanya terjadi pada luka dengan
kedalaman hingga lapisan epidermis, dermis, dan fasia namun tidak
mengenai otot (Maryunani, 2015).

Hecting

Epidermis

Dermis

Fasia
Gambar 4. Jenis Penyembuhan Luka Primary Intention yang dilakukan
dengan Tindakan menjahit, staples, dan perekat (Maryunani, 2015)

Luka dengan kedalaman ini ditutup dengan tindakan menjahit,


staples, dan perekat (Gambar 4). Biasanya penyembuhan luka jenis
ini dapat sembuh dengan cepat, kejadian infeksi termasuk kategori
25

jarang dan jaringan granulasi serta jaringan parut pada


penyembuhan ini sangat sedikit. Contoh dari jenis ini yaitu luka
insisi bedah (Maryunani, 2015).

b. Secondary Intention
Jenis penyembuhan luka ini biasanya terjadi pada luka dengan
kedalaman epidermis atau bagian atas dari dermis. Jenis
penyembuhan luka ini dapat ditunjukkan pada gambar 5
(Maryunani, 2015).

Jaringan Granulasi

Epidermis

Dermis

Fasia

Gambar 5. Jenis Penyembuhan Luka Secondary Intention (Maryunani, 2015)

Jenis penyembuhan luka ini dilakukan dengan cara dibiarkan


terbuka agar terjadi penyembuhan luka melalui deposisi jaringan
granulasi (Gambar 5). Biasanya penyembuhan luka jenis ini
memiliki waktu penyembuhan yang lambat, infeksi sering
ditemukan, dan jaringan granulasi serta jaringan parut sangat
banyak. Contoh dari jenis penyembuhan ini yaitu ulkus kaki
(Maryunani, 2015).

c. Tertiary Intention
Jenis penyembuhan luka ini biasanya pada luka dengan kedalaman
hingga lapisan epidermis, dermis, dan fasia namun tidak mengenai
otot. Jenis penyembuhan luka ini ditunjukkan pada gambar 6
(Maryunani, 2015).
26

Jaringan Granulasi

Epidermis

Dermis

Fasia

Gambar 6. Jenis Penyembuhan Luka Tertiary Intention (Maryunani, 2015)

Jenis penyembuhan luka ini dilakukan dengan tindakan yaitu


dibiarkan sengaja terbuka untuk mengupayakan debridement atau
penurunan edema sampai kondisi luka tertutup sempurna (Gambar
6). Biasanya jenis penyembuhan ini berlangsung lambat, infeksi
dapat sering ditemukan, dan jaringan granulasi serta jaringan parut
pada jenis ini banyak. Contoh dari jenis penyembuhan luka ini yaitu
luka insisi terbuka (Maryunani, 2015).

2.2.6. Perawatan Luka

Pembalutan (dressing) luka merupakan salah satu upaya perawatan


luka untuk melindungi luka dari trauma dan infeksi. Pembalutan luka
yang optimal yaitu dengan menjaga lingkungan luka yang lembab dan
bersih, mencegah tekanan dan trauma mekanis, menstimulasi
pemulihan, dan mengurangi edema (Wintoko & Yadika, 2020).

Menurut Maryunani (2015), perawatan luka dapat dilakukan dengan


dressing primer dan dressing sekunder yang terdiri dari sebagai berikut.
1. Dressing sekunder
Dressing sekunder terdiri dari kassa dan transparan film atau alat
yang dapat membalut luka. Contoh dari dressing sekunder yaitu
sebagai berikut.
a. Guaze atau kassa kering
Guaze atau kassa kering merupakan jenis balutan yang tersusus
material katun, rayon, dan/atau polyster. Balutan kassa yang
27

dalam bentuk bersih dapat menyerap eksudat pada luka yang


terinfeksi serta dapat digunakan pada luka berongga
b. Kassa anti lengket
Balutan ini berbahan rayon sintesis dengan lapisan non woven
pada atasnya sehingga bakteri tidak dapat masuk dan eksudat
tidak dapat tembus.
c. Balutan kering anti lengket yang dilapisi transparan film
Balutan ini terdiri dari transparan film polyster perforasi
melekat dengan absorben bahan katun dan digunakan sebagai
lapisan kontak dengan balutan pelindung.
d. Balutan pasca operasi
Balutan dengan jenis balutan steril ini biasa digunakan untuk
luka dengan eksudat sedikit dengan tujuan memudahkan
aktivitas pasien seperti mandi.
e. Transparan film
Balutan dengan jenis ini biasa digunakan untuk melindungi luka
dari air, bakteri, jamur, dan tetap menjaga sirkulasi udara
disekitar luka (Maryunani, 2015).

2. Dressing primer
Dressing primer terdiri dari hidrogel, kalsium alginat, foam,
hidrokoloid, hidroselulosa dan obat-obatan lainnya yang berperan
sebagai pengobatan topikal pada luka. Contoh dari dressing primer
yaitu sebagai berikut (Maryunani, 2015).
a. Hidrogel
Hidrogel dapat membantu proses peluruhan jaringan yang telah
mati pada pasien. Secara umum hidrogel terdiri dari dua jenis
yaitu hidrogel dressing dan amorphous gel yang biasa
digunakan untuk luka nekrotik permukaan dan luka bakar
derajat II.
28

b. Kalsium alginat
Kalsium alginat memiliki daya larut yang tinggi serta dapat
menggantikan ion-ion yang hilang pada luka serta mampu
menyerap jumlah cairan yang cukup banyak pada luka. Balutan
dengan jenis ini biasa digunakan pada luka decubitus, luka
superfisial dan luka bakar derajat I dan II.
c. Hidroselulosa
Balutan yang terbuat dari selulosa ini memiliki daya serap
cairan yang tinggi, mampu mengikat bakteri kedalam seratnya
dan mempertahankan cairan luka yang sedang atau banyak.
Baluan jenis ini biasa digunakan pada luka kaki, luka tekan
stadium I, II, luka DM, luka bedah, luka traumatik, dan
penyerapan cairan pada luka kanker.
d. Hidrokoloid
Balutan ini terdiri dari sodium karboksimetilselulosa, pectin,
gelatin, elastomer, dan poliuretan film. Balutan ini umumnya
digunakan untuk luka lembab dengan tujuan melindungi luka
dari kontaminasi lingkungan yang dapat menyebabkan infeksi.
Namun balutan ini kurang efektif pada luka dengan banyak
cairan.
e. Foam
Balutan ini tersusun dari polymer yang mengandung sel-sel
berlubang kecil dan mampu menahan cairan serta menariknya
dari dasar luka sehingga balutan ini sering digunakan pada luka
berair atau basah
f. Balutan hidrofobik
Balutan ini sering digunakan karena mampu secara cepat
membersihkan cairan luka, pus, debris serta mampu
mengangkat bakteri dan jamur. Umumnya balutan ini
digunakan pada luka post operasi, luka berongga, luka trauma,
dan berbagai luka kronik (Maryunani, 2015).
29

2.2.7. Komplikasi Luka

Komplikasi yang dapat timbul pada luka apabila tidak mendapati


perawatan luka yang tepat yaitu infeksi, hematoma, perdarahan,
seroma, dehiscence, eviscerasi, keloid, dan jaringan parut hipotrofik
(Febriana dkk, 2016). Infeksi oleh bakteri pada luka mampu
menghambat penyembuhan luka pada kulit pada pasien penyakit
metabolik kronik dengan atau tanpa mengalami komplikasi. Beberapa
bakteri tersebut yaitu Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes,
Acinetobacter sp., Pseudomonas sp. (Sayogo dkk, 2017). Hematoma
merupakan kumpulan ekstravasasi darah yang cukup besar yang
disebabkan adanya trauma sehingga menimbulkan massa yang dapat
teraba atau benjolan (Djati & Dewi, 2018). Seroma merupakan
terjadinya pengumpulan cairan serous pada subkutus dan merupakan
salah satu komplikasi pascaoperasi (Setiawan dkk, 2014). Dehiscence
merupakan terjadinya lubang akibat lepasnya lapisan luka operasi yang
dapat terjadi sebagian, dipermukaan, atau diseluruh lapisan. Eviscerasi
alat viscera keluar dari tubuh melalui suatu insisi bedah (Febriana dkk,
2016). Jaringan parut hipertrofik atau keloid dan jaringan parut
hipotrofik merupakan ketidakseimbangan antara pembentukan kolagen
dan pemecahannya oleh enzim. Jaringan parut hipertrofik atau keloid
terjadi akibat kolagen yang terbentuk melebihi degradasinya sedangkan
jaringan parut hipotrofik terjadi akibat pemecahan lebih tinggi dari
pembentukan. Komplikasi yang sering terjadi pada luka akut adalah
luka terbuka atau dehiscence (Murwaningsih & Waluyo, 2021).

2.3. Tanaman Bakau (Rhizophora apiculata)

Bakau (Rhizophora apiculata) adalah salah satu spesies dari famili


Rhizophoraceae dimana bakau minyak merupakan salah satu spesies dari
hutan mangrove (Mustika dkk, 2014). Rhizophora apiculata tumbuh subur di
daerah muara sungai dengan lumpur, lembut, memiliki akar tunjang, memiliki
30

susunan tunggal dan bersilangan pada daunnya serta bentuk daunnya elips
menyempit dengan panjang kisaran 9 – 18 cm. Bunga pada tanaman bakau
minyak selalu kembar dan memiliki panjang kelopak hingga 12 – 14 mm,
lebar kelopaknya 9 – 10 mm dan memiliki warna jingga kekuningan, buah
bakau minyak memiliki panjang 25 – 30 cm, tanaman ini berwarna coklat,
kulit dari tanaman ini kasar, dan tanaman ini biasanya berbunga pada bulan
April – Oktober (Syahrial, 2018). Menurut Rahayu dkk (2019), Spesies
Rhizophora termasuk mangrove sejati yang berada pada zona lebih kearah
darat atau zona tengah yang akar atau batangnya tergenang oleh air payau.

2.3.1. Klasifikasi Bakau (Rhizophora apiculata)

Klasifikasi dari tanaman bakau (Rhizophora apiculata) menurut Hadi


dkk (2016), adalah sebagai berikut.

Kingdom : Plantae
Divisi : Magnolophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Myrtales
Famili : Rhizophoraceae
Genus : Rhizophora
Spesies : Rhizophora apiculata

2.3.2. Anatomi dan Morfologi Bakau (Rhizophora apiculata)

Tanaman bakau (Rhizophora apiculata) memiliki akar tunjang,


berwarna keputih-putihan pada daerah yang tidak dekat dengan
permukaan tanah, memiliki daun berwarna hijau tua yang terletak
sejajar antara satu dengan yang lain. Bunga pada tanaman bakau
minyak memiliki susunan cyme dengan kelopak berjumlah 4 dan
berukuran 1-2 cm. Buah tanaman bakau minyak berwarna cokelat tua
31

dengan ukuran 20 – 25 cm dan diameter 1,3 – 1,7 cm. Tanaman bakau


minyak juga memiliki batang yang berbentuk bulat dan berwarna
kecokelatan (Dewi & Usman, 2016)

Menurut Hadi dkk (2016), bakau minyak (Rhizophora apiculata) rata-


rata memiliki tinggi mencapai 15 meter pada tanaman dewasa.
Tanaman ini dapat tumbuh dihampir seluruh daerah pasang surut.
Tanaman ini merupakan salah satu tanaman mangrove yang tumbuh
pada daerah dengan lumur yang agak keras dan dangkal namun
tergenang air (Hadi dkk, 2016).

2.3.2.1. Daun Bakau (Rhizophora apiculata)

Rhizophora apiculata merupakan salah satu spesies pohon


tanaman mangrove. Memiliki tangkai daun berwarna coklat
keputihan dengan Panjang berkisar 10 – 50 cm. Daun
Rhizophora apiculata berbentuk memanjang lonjong dengan
panjang berkisar 3 – 13 cm dan lebar berkisar 1 – 6 cm. Pada
pangkal helaian daun berbentuk baji tidak bertoreh. Daun R.
apiculata tidak bertepi, tepi daun rata, serta ujung meruncing
dan berduri. Pada setiap ujung tangkai daun memiliki kuncup
yang memanjang keatas dan memiliki warna merah atau hijau
yang disebut stipula. Pada permukaan bawah tulang daun
berwarna kemerahan dengan tangkai yang pendek (Poomzhil,
2014). Menurut Mustika dkk (2014), jenis daun R. apiculata
adalah oposit dan pada permukaan bawah daunnya berwarna
hijau kekuningan karena memiliki jenis bibit vivipar. Bentuk
daun R. apiculata yang cenderung lebih kecil menjadi ciri khas
dari R. apiculata dari jenis bakau lainnya. Penampang
melintang dari daun R. apiculata ditunjukkan pada gambar 7.
32

Gambar 7. Irisan Melintang Daun Rhizophora apiculata.


A. Irisan epidermis atas dan bawah daun. B. Irisan pada Ibu Tulang
Daun (Hadi dkk, 2016)

Daun R. apiculata apabila dilihat secara penampang melintang


maka terdiri atas jaringan epidermis atas, jaringan palisade,
jaringan spons dan jaringan epidermis bawah. Diantara jaringan
palisade dan spons terdapat jaringan mesofil yang terdiri dari
xylem dan floem yang berfungsi sebagai berkas pengangkut.
Diantara sel epidermis bawah daun R. apiculata terdapat
stomata dengan tipe parasitik dimana tipe stomata ini memiliki
sel tetangga dua, bidang persekutuan segaris dengan celah
stomata (Hadi dkk, 2016).

2.3.2.2. Batang Bakau (Rhizophora apiculata)

R. apiculata memiliki batang pokok berkayu kerasa dengan


diameter mencapai 50 cm pada batang tua dan memiliki kulit
kayu yang berwarna abu-abu tua (Hadi dkk, 2016). Menurut
Mustika dkk (2014), tanaman bakau minyak berbatang kayu
yang sangat keras dan cepat tumbuh (fast-growing mangroove)
dengan tinggi mencapai 15 meter. Anatomi batang bakau
minyak ditunjukkan pada gambar 8.
33

Gambar 8. Batang Rhizophora apiculata.


A. Morfologi Batang. B. Penampang Melintang Batang (Hadi dkk, 2016).

Batang Rhizophora apiculata secara penampang melintang


dapat dilihat pada gambar 8. Batang R. apiculata memiliki
jaringan yang terdiri atas epidermis, hipodermis, korteks,
endodermis, xylem, floem, dan empulur. Pada lapisan epidermis
terdapat stomata (Hadi dkk, 2016).

2.3.2.3. Akar Bakau (Rhizophora apiculata)

Tanaman bakau minyak memiliki akar nafas (Mustika dkk,


2014). Menurut Hadi dkk (2016), sistem perakaran tersebut
merupakan akar nafas dengan cabang-cabang yang keluar dari
batang. Hal ini dapat dilihat pada gambar 9.

Gambar 9. Akar Rhizophora apiculata (Hadi dkk, 2016).


34

Akar R. apiculata apabila dilihat secara penampang melintang


terdapat jaringan dengan susunan dari dalam ke luar berkas
pengangkut (xylem dan floem), jaringan palisade dengan
kloroplas, hipodermis berwarna hijau, dan epidermis akar (Hadi
dkk, 2016). Irisan penampang melintang akar R. apiculata
ditunjukkan pada gambar 10.

Gambar 10. Irisan Penampang Melintang Akar Rhizophora apiculata


(Hadi dkk, 2016).

Epidermis yang merupakan jaringan terluar akar merupakan


selapis sel yang menyelimuti permukaan akar. Sementara
selapis sel yang berukuran lebih besar dari epidermis
merupakan jaringan hipodermis. Jaringan palisade dengan
kloroplast pada akar R. apiculata berfungsi untuk membantu
proses fotosintesis karena posisi dari akar yang becabang dari
batang utama atau disebut akar nafas. Bagian terdalam pada
jaringan akar R. apiculata terdapat berkas pengangkut yaitu
xylem dan floem yang berupa sel-sel kecil dan padat (Hadi dkk,
2016).
35

2.3.3. Kandungan dan Manfaat Bakau (Rhizophora apiculata)

Menurut Hadi dkk (2016), senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, dan


tanin berada di hampir seluruh bagian tanaman Rhizophora sp. Alkaloid
memiliki sifat toksik terhadap bakteri dan virus dan senyawa saponin
memiliki aktivitas sebagai antimikroba karena dapat merusak membran
sitoplasma dan membunuh sel mikroba.

Tanaman R. apiculata memiliki kandungan senyawa metabolit yaitu


alkaloid, flavonoid, fenol, saponin, steroid, dan terpenoid. Ekstrak
ethanol batang R. apiculata mengandung lyoniresinol-3α-O-β-
arabinopyranoside, lyoniresinol-3α-O-β-rhamnoside, dan afzelechin-
3-O-L-rhamno-pyranoside yang mempunyai aktivitas sebagai
antioksidan. Selain itu, senyawa tanin juga berpotensi sebagai
antibakteri (Pambudi & Haryoto, 2022).

2.3.4. Efek Farmakologis Bakau (Rhizophora apiculata)

Senyawa aktif flavonoid, tanin, saponin, steroid, alkaloid, dan terpenoid


pada tanaman herbal biasanya memiliki aktivitas penyembuhan luka
(Dewi & Wicaksono, 2020). Penurunan periode epitelisasi,
peningkatan deposisi kolagen, terbentuknya jaringan granulasi, serta
meningkatnya laju kontraksi luka merupakan aktivitas dari senyawa
flavonoid yang dapat mempercepat proses penyembuhan luka.
Senyawa alkaloid memiliki fungsi sebagai astringen dan antimikroba
yang dapat membantu proses reepitelisasi jaringan yang terluka akibat
dari tingginya kematangan jaringan kolagen pada area luka sehingga
enzim hidroksiprolin berproduksi dan bobot jaringan granulasi kering
meningkat. Pada senyawa tanin dapat berperan sebagai antiseptik
dengan melindungi pembentukan jaringan yang baru dari infeksi.
Selain itu, senyawa tanin yang tergolong dalam senyawa polifenol ini
dapat menghentikan perdarahan dengan mengendapkan protein darah.
36

Senyawa saponin menghasilkan sapogenin yang berfungsi


menghambat produksi jaringan luka yang berlebihan pada tahap awal
perbaikan jaringan. Selain itu, sapogenin juga dapat membantu proses
reepitelisasi seperti alkaloid (Hakim dkk, 2021).

Menurut Dewi & Wicaksono (2020), berdasarkan berbagai laporan


penelitian mengenai ektsrak tanaman yang dapat membantu
penyembuhan luka disimpulkan bahwa mekanisme aktivitas
penyembuhan luka dari berbagai senyawa metabolit sekunder adalah
sebagai berikut.
1. Flavonoid memiliki mekanisme aktivitas penyembuhan luka
berupa efek perlindungan pada jaringan tubuh, sebagai antioksidan
yang dapat menurunkan jumlah lipid peroksidasi sehingga terjadi
penurunan nekrosis pada sel. Flavonoid juga meningkatkan proses
reepitelisasi, serta sebagai astringen dan antimikroba (Dewi &
Wicaksono, 2020).
2. Alkaloid memiliki mekanisme aktivitas penyembuhan luka dengan
merusak susunan peptidoglikan dinding sel bakteri (Dewi &
Wicaksono, 2020).
3. Saponin dapat mempercepat aktivitas hemolitik serta dapat
meningkatkan kemampuan reseptor TGF-β berikatan kuat dengan
fibroblas sebagai sumber jaringan granulasi luka untuk menjadi
aktif dan memicu agar berproliferasi dan bermigrasi hal ini
merupakan bagian dari tahap proliferasi pada proses penyembuhan
luka (Dewi & Wicaksono, 2020; Martin & Nunan, 2015).
4. Tanin memiliki peran penting dalam proses transkripsi dan
translasi pada vascular endothelial growth factor (VEGF) yang
secara kompleks memiliki pengaruh terhadap semua tahap
penyembuhan luka termasuk fase inflamasi, reepitelisasi dan
pembentukan granulasi jaringan. Selain itu, tanin juga dapat
meningkatkan pembentukan sikatriks dan kontraksi luka, serta
sebagai antiinflamasi dengan menghambat respon neutrofil dan
37

makrofag dan sebagai antimikroba dalam meningkatkan laju


proses epitelisasi (Dewi & Wicaksono, 2020; Destri dkk, 2017).
Pada penelitian yang dilakukan Mahmudah dkk (2021),
menunjukkan bahwa kadar tanin 139,5 mg dalam tiap gram ekstrak
daun ciplukan (Physalis angulata L.) memiliki efektivitas dalam
menyembuhkan luka sayat pada kelinci jantan galur wistar
(Mahmudah dkk, 2021).
5. Terpenoid dapat mencegah terjadinya nekrosis pada sel dan
meningkatkan laju vaskularisasi sehingga terjadi penurunan
peroksidasi lipid, serta sebagai astringen dan antimikroba (Dewi &
Wicaksono, 2020).
6. Steroid dapat meningkatkan kecepatan pembentukan epitelisasi
pada tahap proliferasi (Dewi & Wicaksono, 2020).

2.4. Ekstraksi Tanaman Obat

Ekstraksi merupakan metode yang digunakan untuk memperoleh penemuan


obat tradisional. Ekstraksi merupakan langkah awal dalam pemisahan
senyawa metabolit sekunder dari tanamannya. Pemilihan pada metode ini
bergantung pada sifat dari bahan baku dan senyawa yang terkandung yang
akan diisolasi (Mukhriani, 2014; Zhang dkk, 2018). Menurut Mukhriani
(2014), menentukan target ekstraksi terlebih dahulu diperlukan sebelum
memilih metode ekstraksi. Target ekstraksi dapat berupa senyawa bioaktif
yang tidak diketahui, senyawa yang diketahui ada pada suatu organisme,
ataupun sekelompok senyawa dalam suatu organisme yang berhubungan
secara struktural (Mukhriani, 2014).

Ekstraksi secara sederhana meliputi tahapan yaitu sebagai berikut (Zhang dkk,
2018).
1. Pelarut menembus ke dalam matriks padat
2. Zat kemudian terlarut dalam pelarut
3. Zat terlarut kemudian keluar dari matriks padat
38

4. Zat terlarut yang diekstraksi kemudian dikumpulkan

Proses ekstraksi dari bahan tumbuhan meliputi sebagai berikut (Mukhriani,


2014).
1. Pengelompokan bagian tumbuhan (daun, batang, akar, dll),
pengeringan dan penggilingan bagian tumbuhan
2. Pemilihan pelarut
3. Pelarut polar terdiri dari air, etanol, metanol dan lain-lain
4. Pelarut semipolar terdiri dari etil asetat, diklorometan, dan sebagainya
5. Pelarut nonpolar terdiri dari n-heksan, kloroform, petrileum eter, dan
lain-lain.

Jenis jenis metode ektsraksi yang dapat digunakan adalah sebagai berikut.
1. Maserasi
Maserasi merupakan metode ekstraksi yang paling sederhana namun
memiliki kekurangan yaitu memerlukan waktu yang cukup lama dan
efisiensi ekstraksi rendah (Zheng dkk, 2018). Metode ini dilakukan
dengan memasukkan bagian tanaman yang sudah dihaluskan untuk
meningkatkan luas permukaan yang tepat dan kemudian dicampurkan
dengan pelarut yang sesuai ke dalam wadah inert atau bejana yang
tertutup rapat pada suhu kamar. Kemudian setelah proses selesai,
pelarut dipisahkan dari sampel dengan dilakukan penyaringan.

Kekurangan dari metode ini ialah memerlukan pelarut yang cukup


banyak dan besar kemungkinan beberapa senyawa hilang, dan
beberapa senyawa mungkin saja sulit diekstraksi dengan suhu kamar.
Namun metode ini dapat menghindari terjadinya kerusakan senyawa-
senyawa yang memiliki sifat termolabil (Mukhriani, 2014; Srivastava,
2021).

2. Ultrasound – Assisted Solvent Extraction


Metode maserasi menggunakan bantuan ultrasound. Metode ini
dilakukan dengan mengisi serbuk sampel kedalam wadah yang
39

kemudian ditempatkan dalam wadah ultrasound untuk memberikan


tekanan mekanik pada sel sampai menghasilkan rongga pada sampel.
Keuntungan dari metode ini ialah waktu ekstraksi yang efektif,
penggunaan pelarut sedikit, serta membutuhkan suhu rendah. Selain
itu, metode ini juga dapat dilakukan untuk ekstraksi senyawa yang
bersifat termolabil dan senyawa yang tidak stabil (Mukhriani, 2014;
Zhang, 2018).

3. Perkolasi
Perkolasi merupakan metode ekstraksi yang lebih efisien
dibandingkan maserasi karena merupakan proses yang berkelanjutan
dimana pelarut jenuh digantikan oleh pelarut baru secara terus-
menerus (Zhang, 2018). Pada metode ini, serbuk sampel dibasahi
secara perlahan kedalam sebuah perkolator dan pelarut ditambahkan
dari bagian atas serbuk sampel dan dibiarkan menetes perlahan ke
bagian bawah (Mukhriani, 2014). Proses ini diulang dua hingga tiga
kali untuk mendapatkan senyawa metabolit yang optimal dari tanaman
(Srivastava, 2021). Metode ini memiliki kekurangan yaitu apabila
sampel dalam perkolator tidak homogen maka pelarut sulit
menjangkau seluruh area dan metode ini membutuhkan banyak pelarut
dan membutuhkan waktu yang cukup lama (Mukhriani, 2014).

4. Refluks dan destilasi uap


Ekstraksi metode ini lebih efisien dibandingkan dengan maserasi
ataupun perkolasi karena memerlukan waktu ekstraksi serta jumlah
pelarut yang lebih sedikit (Zhang dkk, 2018). Prosedur ekstraksi ini
juga ramah lingkungan karena tidak memerlukan pelarut organik dan
esktraksi dapat dilakukan sebelum tanaman terdehidrasi (Srivastava,
2021). Namun kekurangan dari metode ini yaitu kurang cocok pada
senyawa yang bersifat termolabil karena akan terdegradasi
(Mukhriani, 2014).
40

Pada metode ini, sampel dimasukkan bersama dengan pelarut kedalam


labu yang terhubung dengan kondensor. Kemudian pelarut dipanaskan
hingga mencapai titik didih dan uap akan terkondensasi dan kembali
ke dalam labu. Dalam proses pendinginan tidak langsung, air akan
mengembunkan uap air dan campuran minyak dan campuran kental
terpisah dari kondensor dimana minyak bersama dengan senyawa
bioaktif akan terpisah dari air (Mukhriani, 2014; Srivastava, 2021).

5. Sokletasi
Pada metode ini, serbuk sampel ditempatkan dalam sarung selulosa
atau kertas saring dalam klonsong yang ditempatkan diatas labu dan
dibawah kondensor. Kemudian pelarut yang sesuai dimasukkan
kedalam labu dengan suhu penangas diatur dibawah suhu refluks.
Kelebihan dari metode ini adalah tidak membutuhkan banyak pelarut
dan tidak memerlukan waktu yang cukup lama serta proses ekstraksi
kontinyu. Namun metode ini kurang cocok pada senyawa yang besifat
termolabil karena dapat terdegradasi akibat dari ekstrak yang diperoleh
terus-menerus berada pada titik didihnya (Mukhriani, 2014; Zhang
dkk, 2018).

2.5. Salep

2.5.1. Definisi dan Klasifikasi Salep

Berdasarkan Farmakope Indonesia V (2014), Salep adalah sediaan


setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput
lendir. Dasar salep yang digunakan sebagai pembawa dibagi dalam empat
kelompok: dasar salep senyawa hidrokarbon, dasar salep serap, dasar
salep yang dapat dicuci dengan air, dasar salep larut dalam air. Setiap
salep obat menggunakan salah satu dasar salep tersebut. Salep dapat
ditunjukkan pada gambar 11.
41

Gambar 11. Basis Salep (Dokumentasi Pribadi)

Basis salep biasanya memiliki sifat anhidrat dan pada umumnya


mengandung satu atau lebih obat dalam suspensi atau larutan atau
dispersi (Usha dkk, 2015). Salep merupakan sediaan semipadat yang
homogen, kental, dan digunakan secara topikal pada berbagai permukaan
tubuh seperti kulit atau selaput lendir (Garg dkk, 2015).

Salep berdasarkan konsistensinya diklasifikasikan sebagai berikut


(Murtini, 2016).
1. Unguenta
Salep yang memiliki konsistensi, seperti mentega tidak mencair pada
suhu biasa, tetapi mudah dioleskan tanpa memakai tenaga.
2. Krim
adalah salep yang banyak mengandung air, mudah diserap kulit.
Suatu tipe yang dapat dicuci dengan air.
3. Pasta
Merupakan salep dengan kandungan lebih dari 50% zat padat
(serbuk) berupa suatu salep tebal karena merupakan
penutup/pelindung pada bagian kulit yang diaplikasikan.
42

4. Cerata
Adalah salep berlemak yang mengandung persentase tinggi lilin
(wax) yang tinggi sehingga memiliki konsistensi yang lebih keras
(ceratum labiale).
5. Jelly
Adalah salep yang lebih halus, umumnya cair, dan sedikit
mengandung sedikit atau tidak mengandung lilin yang digunakan
terutama pada membrane mukosa sebagai pelicin atau basis. Biasanya
terdiri dari minyak dan lemak dengan titik lebur rendah.

Berdasarkan sifat farmakologi dan penetrasinya, salep diklasifikasikan


sebagai berikut.
1. Salep epidermik
Dimaksudkan untuk bekerja pada bagian epidermis (Usha dkk, 2015).
Memiliki fungsi hanya untuk menghasilkan efek lokal dan
melindungi kulit karena bahan obat tidak diabsorbsi. Salep jenis ini
kadang-kadang ditambahkan antiseptik, astringen untuk meredakan
rangsangan dan dasar salep yang cocok pada jenis ini adalah
hidrokarbon (Murtini, 2016).

2. Salep endodermik
Dimaksudkan untuk bekerja pada lapisan jaringan kulit yang lebih
dalam (Usha dkk, 2015). Dimana bahan obat pada salep jenis ini
dimaksudkan untuk menembus kedalam namun tidak melalui kulit
dan terabsorbsi sebagian. Salep jenis ini biasanya digunakan untuk
melunakkan kulit atau selaput lendir diberikan lokal iritan. Dasar
salep yang cocok untuk salep jenis ini adalah minyak lemak (Murtini,
2016).

3. Salep diadermik
Dimaksudkan untuk menembus dalam dan melepaskan obat-obatan
dalam cairan tubuh (sirkulasi sistemik) (Usha dkk, 2015). Salep jenis
ini diabsorbsi seluruhnya. Dasar salep yang baik pada jenis salep ini
43

adalah adeps lanae dan oleum cacao. Contoh salep jenis seperti salep
dengan kandungan senyawa merkuri, iodida, Belaladonae (Murtini,
2016).

Berdasarkan dasar salep, maka salep diklasifikasikan sebagai berikut.


1. Salep hidrofobik
yaitu salep-salep dengan bahan dasar berlemak, misalnya: campuran
dari lemak-lemak, minyak lemak, malam yang tak tercuci dengan air.
2. Salep hidrofilik
Salep hidrofilik merupakan jenis minyak dalam air (o/w). biasanya
mudah dihapus dengan air, tidak berminyak dan tidak lengket (Garg
dkk, 2015). Salep ini merupakan salep yang kuat menarik air dan
seperti dasar hidrofobik namun memiliki konsistensi yang lebih
lembek (Murtini, 2016).

2.5.2. Keuntungan dan Kerugian Salep

Keuntungan dari sediaan salep yaitu salep memiliki sifat sebagai


pelembab pada kulit dan baik untuk kulit kering, serta memiliki risiko
sensitisasi yang rendah karena memiliki sedikit bahan minyak atau lemak
dan memiliki risiko iritasi yang rendah, dan stabil dalam penyimpanan
(Garg dkk, 2015). Keuntungan salep lainnya yaitu memiliki kemampuan
dalam menyegel kelembaban secara efektif dan mudah diaplikasikan
(Mioni J, 2016). Salep dapat bertindak lebih cepat dan memiliki efek
samping lebih terbatas pada reaksi lokal daripada efek sistemik
(Deslendes dkk, 2019). Keuntungan dari salep adalah salep memiliki efek
lokal yang spesifik pada daerah yang terkena yang menghindari paparan
obat pada target yang tidak diperlukan sehingga memiliki efek samping
yang kecil, sebagai sediaan yang tidak melalui metabolisme lintas
pertama, dan secara kimiawi lebih stabil dan mudah ditangani
dibandingkan bentuk sediaan cair (Usha dkk, 2015).
44

Kerugian dari sediaan salep adalah sediaan ini dapat menimbulkan noda
dan kurang secara estetika pada kosmetik karena berminyak, akurasi
dosis pada sediaan ini ditentukan pada keseragaman jumlah yang akan
diterapkan, tidak dapat diformulasikan tanpa pengawet dikarenakan basis
emulsi dapat terkontaminasi dengan jamur sehingga terkadang dapat
mengalami perubahan warna secara bertahap (Usha dkk, 2015). Kerugian
lainnya dari sediaan salep adalah dapat menimbulkan dosis yang lebih
bervariasi (Aulton, 2018).

2.5.3. Mekanisme Penetrasi Salep

Lapisan Stratum korneum pada kulit mengandung keratin dan bersifat


membran semi permeabel sehingga obat berpenetrasi secara difusi pasif
melalui membran tersebut. Jumlah obat yang berpenetrasi melintasi kulit
bergantung pada gradient konsentrasi obat dan koefisien partisi bahan
aktif (Murtini, 2016).

Mekanisme penetrasi terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut (Murtini,


2016).
1. Absorbsi Trans-epidermal
Jalur absorbsi melintasi lapisan epidermal sebagai jalur utama.
Lapisan penunjang absorbsi ini adalah stratum korneum. Apabila
stratum korneum mengalami kerusakan atau perubahan maka akan
memperbesar laju difusi suatu bahan obat karena adanya perubahan
permeabilitas (Murtini, 2016).

2. Absorbsi Trans-Appendageal
Pada absorbsi ini, jalur masuknya obat melalui folikel rambut dan
kelenjar keringat karena adanya pori-pori sehingga obat berpenitrasi.
Faktor utama yang dapat mempengaruhi absorbsi perkutan dari suatu
obat adalah sifat fisiko-kimia obat, kondisi fisiologis kulit, adanya
uap air, dan sifat pembawa (Murtini, 2016).
45

2.5.4. Cara Pembuatan Salep

Peraturan pembuatan salep menurut Murtini (2016), adalah sebagai


berikut.
1. Peraturan pertama yaitu zat-zat yang dapat larut dalam campuran
lemak dilarutkan ke dalamnya jika perlu dilakukan dengan
pemanasan rendah
2. Peraturan kedua yaitu bahan bahan yang larut dalam air dilarutkan
lebih dahulu dalam air dengan ketentuan jumlah air yang digunakan
dapat diserap seluruhnya oleh basis salep
3. Peraturan ketiga yaitu bahan-bahan yang sukar atau hanya sebagian
larut dalam lemak dan air harus diserbukkan terlebih dahulu
kemudian dilakukan pengayakan dengan pengayak no.60
4. Peraturan keempat yaitu campuran salep yang dibuat dengan cara
dicairkan harus digerus, bahan-bahan yang ikut dilebur, dan
penimbangannya harus dilebihkan 10-20% untuk mencegah
kekurangan bobot.

Cara pengemasan salep kedalam tube menurut Murtini (2016), yaitu


sebagai berikut.
1. Kertas perkamen yang berisi salep yang telah di buat digulung bentuk
silinder dengan diameter lebih kecil dari tube
2. Buka penutup tube agar udara keluar kemudian kertas perkamen
tersebut dimasukkan kedalam bagian ujung bawah tube yang terbuka
3. Ujung kertas dipegang dengan satu tangan sambal menekan dengan
spatula yang berat ke arah tutup tube sampai penuh dan menarik
perlahan kertas perkamen tersebut dan dilepaskan. Ratakan
permukaan salep dengan spatula, jarak setengah inci dari bawah
4. Bagian bawah tube yang disisakan kemudian dilipat 2 x 1/8 inci dan
dibuat dari ujung bawah tube yang dipipihkan.
46

2.5.5. Evaluasi Sediaan Salep

Evaluasi sediaan salep menurut Mahato & Narang (2018) adalah sebagai
berikut.
1. Stabilitas fisik seperti homogenitas dan penampilan warna
2. Identitas obat, kemurnian, kandungan, dan keseragaman kandungan
3. Laju pelepasan obat menggunakan uji in vitro
4. Viskositas formulasi
5. Isi minimum dalam wadah dan volume atau dosis yang dapat
diterima.

Evaluasi sediaan salep menurut Adejare (2021) adalah sebagai berikut.


1. Sifat organoleptik
Penampilan, pengemasan, perubahan warna, pemisahan fase, klaim
label, dan kristalisasi
2. Identifikasi
Identifikasi obat yang ada menggunakan teknik seperti IR, NIR dan
spektroskopi
3. pH
Biasanya pH harus berada pada kisaran 4.5 – 6.5
4. Viskositas
Dilakukan dibawah suhu dan laju geser yang terkontrol untuk
menghindari variasi dalam penilaian. Berbagai viskometer komersial
tersedia seperti viskometer rotasi Brookfield dab viskometer kerucut
dan pelat Ferranti-Shirley.
5. Ukuran partikel zat aktif
Variasi ukuran partikel zat aktif tersuspensi secara langsung
mempegaruhi kinerjanya baik secara in vitro maupun in vivo
6. Ukuran globul dari fase terdispersi
Distribusi yang luas dalam ukuran globul akan mempengaruhi
stabilitas emulsi
47

7. Kadar air
Ditentukan menggunakan metode titrimetri menggunakan pereaksi
Karl Fischer

Tes berikut ditentukan untuk evaluasi salep menurut (Usha dkk, 2015):
1. Uji variasi berat
Pilih sampel dari 10 wadah yang diisi dan hilangkan label yang dapat
mengubah berat selama pengeluaran isi dari wadah. Bersihkan dan
keringkan bagian luar wadah dengan cara yang sesuai dan timbang
satu per satu. Keluarkan isi dari setiap wadah dengan memotong
bukaan dan cuci dengan pelarut yang sesuai, berhati-hatilah untuk
mempertahankan penutup dan bagian lain dari setiap wadah.
Keringkan dan timbang kembali setiap wadah kosong bersama
dengan bagian-bagiannya yang sesuai. Selisih berat adalah berat
bersih isi masing-masing wadah. Rata-rata berat bersih isi 10 wadah
tidak kurang dari jumlah yang tertera pada etiket dan berat bersih isi
setiap wadah tidak kurang dari 90% dari jumlah berlabel, bila jumlah
etiket lebih dari 60 gram tetapi tidak lebih dari 150 gram. Jika
persyaratan tidak terpenuhi, tentukan berat bersih isi 20 kontainer
tambahan. Berat rata-rata isi dari 30 wadah tidak kurang dari jumlah
yang tertera pada etiket dan berat bersih isi tidak lebih dari satu wadah
dari 30 wadah tidak kurang dari 90% dari jumlah yang tertera pada
etiket, dimana jumlah yang tertera pada etiket adalah 191gram atau
kurang dan tidak kurang dari 95% dari jumlah yang tertera pada label,
dimana jumlah yang tertera pada label lebih dari 60 gram tetapi tidak
lebih dari 150 gram.
2. Konsistensi
Harus halus, tidak ada partikel padat.
3. Identifikasi kandungan aktif
Hangatkan larutan jenuh dalam air dengan larutan Silver Amonium
Nitrat dalam tabung reaksi. Logam Perak diendapkan sebagai cermin
di sisi tabung.
48

4. Uji kandungan aktif


Misalnya: Salep salisilat. Larutkan 10 gram dalam campuran 20 ml
alkohol (95%) yang sebelumnya dinetralkan menjadi larutan merah
fenol dan 20 ml eter dan titrasi dengan NaOH 0,1N menggunakan
larutan merah fenol sebagai indikator.1ml NaOH 0,1N = 0,01381
gram asam salisilat.
5. Titik lebur
Tidak kurang dari 11℃.
6. Kelarutan
Harus larut dalam 9 bagian air dan 17 bagian didih air, larut dengan
alkohol, dengan pelarut seperti asether, kloroform atau dengan
minyak atsiri.

2.6. Gambaran Umum Hewan Coba

Pada penelitian kesehatan yang memerlukan uji kelayakan atau keamanan pada
suatu bahan obat dan penelitian mengenai suatu penyakit biasanya
menggunakan hewan percobaan sebagai objek dari penelitian tersebut
(Tolistiawati dkk, 2014). Hewan coba merupakan hewan yang dipilih
berdasarkan standar yang diperlukan dan digunakan pada penelitian biologis
dan biomedis yang biasanya digunakan untuk memahami mekanisme dasar
dari suatu penyakit dan menemukan metode untuk mencegah, mengobati suatu
penyakit, dan mendiagnosis (Nugroho dkk, 2018; Rosidah dkk, 2020). Tikus
sebagai hewan coba biasanya digunakan pada penelitian karena memiliki siklus
hidup yang pendek, perawatan serta pemeliharaannya relatif murah dan mudah,
dan terdapat database dalam menginterpretasikan data yang relevan pada
manusia (Rosidah dkk, 2020).

Menurut Rosidah dkk (2020), Tikus sebagai hewan model pada suatu
penelitian harus memenuhi persyaratan tertentu yaitu berat badan merata, jenis
kelamin tertentu, rentang usia yang tidak jauh berbeda, fisik yang sehat
dicirikan dengan mata yang cerah, aktivitias motorik normal, galur yang sama,
49

bulu tidak berdiri dan harus disesuaikan dengan tujuan penelitian sebagai
contoh jika peneliti ingin meneliti obat-obatan hormonal wanita maka jenis
kelamin tikus yang digunakan betina. Tikus putih (Rattus novergicus) memiliki
beberapa galur laboratorium yang pada umumnya digunakan sebagai hewan
coba penelitian yaitu galur Sprague-dawley, wistar, biobreeding, long-evans,
zucker, shaking rat Kawasaki, hairless, dan Royal College of Surgeons.

Tikus Sprague dawley merupakan tikus yang dikembangbiakan pertama kali


oleh Robert Worthington Dawley pada tahun 1925 di Universitas Wisconsin.
Tikus galur Sprague dawley dapat memiliki usia hingga 3,5 tahun dan memiliki
berat badan berkisar 250 – 300 gram pada tikus betina dewasa dan 450-520
gram pada tikus jantan dewasa (Rosidah dkk, 2020).

Keturunan Sprague-dawley secara luas digunakan sebagai pengembangan


hewan model dari kondisi manusia dengan suatu penyakit seperti diabetes,
penyakit kardiovaskular, obesitas, dan kanker (Brower dkk, 2015). Tikus putih
Sprague dawley dapat dipelihara di dalam sebuah kotak plastik dengan ukuran
30 cm x 20 cm x 20 cm dengan penutup kawat yang diberikan botol minum
dibagian atasnya. Didalamnya, berisikan serutan kayu atau sekam hingga
mencapai ketebalan 2 cm sebagai alas tikus. Sekam atau serutan kayu dapat
diganti dan kendang dapat dicuci selama dua kali dalam seminggu. Tikus ini
diberikan makan dan minum setiap hari dan ditempatkan pada ruangan dengan
suhu berkisar antara 26°C – 27°C (Nugroho dkk, 2018).
50

2.7. Kerangka Penelitian

2.7.1. Kerangka Teori

LUKA

Jenis-Jenis Komplikasi
Luka Luka Tanaman
Herbal
Luka Luka Infeksi Hematoma
Kronis Akut
• Flavonoid
Ulkus Lecet atau Perdarahan Seroma • Steroid
Ulkus Vena Diabetikum Avulsi • Alkaloid
Goresan
• Saponin
Eviscerasi Dehiscence • Tanin
Rudal Laserasi
Ulkus Luka • Terpenoid
Dekubitus Iskemik

Luka
Luka Jaringan
Terpotong Keloid Parut
Radiasi atau Luka
atau Bisul Hipotrofik
sayat
• Antimikroba
• Antiinflamasi
• Antioksidan
• Astringen
Faktor yang Jenis Mekanisme
Perawatan Luka Mempengaruhi
dengan dressing Penyembuhan Penyembuhan
Penyembuhan Luka Luka
Luka

Dressing Hemostasis
Sekunder Primary
Perawatan
yang kurang Intention
Dressing baik Inflamasi
Primer
Secondary
Malnutrisi Intention Proliferasi

Tertiary Remodelling
Diabetes Invention

Radiasi

: terdiri dari
: aktivitas

Gambar 12. Kerangka Teori

Luka merupakan peristiwa hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang
disebabkan oleh kontak fisika, hasil dari tindakan medis, maupun perubahan
51

kondisi fisiologis (Febriana dkk, 2016; Purnama dkk, 2017). Jenis-jenis luka
terdiri dari luka akut dan luka kronis. Luka kronis merupakan merupakan luka
dengan gangguan metabolisme sebagai penyebabnya serta memerlukan waktu
yang lama untuk proses penyembuhan. Kategori luka kronis yaitu terdiri dari
ulkus vena, ulkus diabetikum, ulkus dekubitus, dan luka iskemik (Maqsood,
2018). Luka akut merupakan luka yang disebabkan oleh faktor lingkungan
yang melibatkan cedera traumatis dan memiliki keseimbangan produksi dan
degradasi sel yang dapat sembuh secara alamiah dan tersistematis sehingga
memiliki proses penyembuhan yang lebih cepat dibanding luka kronis
(Maqsood, 2018). Komplikasi yang dapat timbul pada luka apabila tidak
mendapati perawatan luka yang tepat yaitu infeksi, hematoma, perdarahan,
seroma, dehiscence, eviscerasi, keloid, dan jaringan parut hipotrofik (Febriana
dkk, 2016). Mekanisme penyembuhan luka secara berurutan yaitu tahap
hemostasis, tahap inflamasi, tahap proliferasi, dan Remodelling (Suriadi,
2015; Grubbs & Manna, 2021). Jenis-jenis penyembuhan luka terdiri dari tiga
kategori yaitu Primary intention, secondary intention, dan tertiary intention
(Semer, 2013). Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka
yaitu perawatan yang kurang baik, malnutrisi, diabetes, dan radiasi
(Maryunani, 2015). Perawatan luka dapat dilakukan dengan pembalutan atau
dressing yang terbagi menjadi dressing sekunder seperti film dan kassa serta
dressing primer seperti hidrofobik, hidrogel, hidroselulosa, hidrokoloid, foam,
kalsium alginat, dan obat-obatan luka (Maryunani, 2015). Tanaman herbal
yang dalam penelitian ini digunakan Rhizophora apiculata merupakan
tanaman mangrove yang tumbuh di Indonesia. Daun pada tanaman ini
mengandung senyawa metabolik yang terdiri dari flavonoid, tanin, saponin,
steroid, alkaloid, dan terpenoid dimana senyawa tersebut memiliki aktivitas
antimikroba, astringen, antiinflamasi, dan antioksidan yang secara efek
farmakologisnya memiliki aktivitas dalam mekanisme proses penyembuhan
luka (Pambudi & Haryoto, 2022; Dewi & Wicaksono, 2020). Diagram
kerangka teori dapat ditunjukkan pada gambar 12.
52

2.7.2. Kerangka Konsep

Salep Ekstrak Daun Bakau (Rhizophora apiculata)

Aquadest Kelompok 1
(Kontrol Normal)
Lama
Basis Kelompok 2 penyembuh-
Salep (Plasebo) an luka sayat
pada tikus
Oxoferin Kelompok 3
(Kontrol Positif)
Panjang luka
Dosis II Kelompok 4 sayat pada
20% tikus

Dosis III Kelompok 5


Skor
30%
Nagaoka

Dosis III
Kelompok 6
40%

Variabel Variabel dependen


Independen
Gambar 13. Kerangka Konsep

Variabel dependen pada penelitian ini adalah lama penyembuhan luka


sayat pada tikus putih galur Sprague dawley, panjang luka sayat pada
tikus putih galur Sprague dawley, dan skor penyembuhan luka secara
makroskopis dengan modifikasi Nagaoka yang datanya diperoleh dari
hasil pengamatan pada tiap kelompok kontrol (1, 2 dan 3) dan
kelompok perlakuan (4, 5, dan 6). Variabel independen pada penelitian
ini adalah kelompok kontrol normal atau kelompok 1 yaitu pemberian
aquadest, kelompok plasebo atau kelompok 2 yaitu pemberian basis
salep, kelompok 3 yang merupakan kelompok kontrol positif yaitu
53

pemberian oxoferin, kelompok 4 dengan dosis salep ekstrak daun R.


apiculata 20%, kelompok 5 dengan dosis salep ekstrak daun R.
apiculata 30%, kelompok 6 dengan dosis salep ekstrak daun R.
apiculata 40%, dan. Kerangka konsep penelitian ini dapat ditunjukkan
pada gambar 13.

2.8. Hipotesis

1. H0: Tidak terdapat pengaruh pemberian salep ekstrak daun Rhizophora


apiculata terhadap penyembuhan luka sayat tikus putih (Rattus norvegicus)
galur Sprague dawley.
2. Ha: Terdapat pengaruh pemberian salep ekstrak daun Rhizophora apiculata
terhadap penyembuhan luka sayat tikus putih (Rattus norvegicus) galur
Sprague dawley.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan metode


rancangan lengkap dengan pendekatan Post Test Only Control Group
Design. Penelitian ini menggunakan tikus putih (Rattus norvegicus)
jantan galur Sprague dawley yang dipilih secara acak (Mustofa dkk,
2020).

3.2. Tempat dan Waktu

Penelitian ini akan dilakukan di Fakultas Kedokteran dan Fakultas


Matematika dan Pengetahuan Alam Universitas Lampung. Pemeliharaan
tikus dan pemberian intervensi dilakukan di Animal House Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung. Pembuatan ekstrak daun Rhizophora
apiculata akan dibuat di Laboratorium Biokimia dan Biologi Molekuler
Fakultas Kedokteran dan Laboratorium Kimia Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung. Pembuatan formulasi
salep ekstrak Rhizophora apiculata dilakukan di Laboratorium
Farmasetika Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
55

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus)


jantan galur Sprague dawley.

3.3.2. Sampel Penelitian

Pada penelitian ini, sampel dibagi menjadi enam kelompok


perlakuan, tiga kelompok control groups yaitu kontrol positif,
plasebo, dan kontrol normal dan dengan tiga kelompok lainnya
adalah experimental groups.

3.3.2.1. Besar Sampel

Besar sampel penelitian dapat dihitung dengan


menggunakan rumus yaitu sebagai berikut.

Federer. (n – 1)(k – 1) ≥ 15

Keterangan: k = jumlah kelompok percobaan


n = jumlah sampel tiap kelompok
Penelitian ini menggunakan enam kelompok perlakuan
sehingga perhitungan sampel pada penelitian ini adalah
sebagai berikut.
(n – 1)(k – 1) ≥ 15
(n – 1)(6 – 1) ≥ 15
(n – 1) 5 ≥ 15
5n – 5 ≥ 15
5n ≥ 20
n ≥ 20/5
n≥4
56

Berdasarkan perhitungan diatas, maka didapatkan sampel


pada setiap kelompok percobaan adalah 5 ekor dan jumlah
kelompok perlakuan yang digunakan adalah enam
kelompok, sehingga penelitian ini membutuhkan 30 ekor
tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague
dawley dari populasi yang ada ditambah dengan populasi
drop out sebanyak 20% maka ditambahkan 1 tikus
cadangan pada setiap kelompok perlakuan sehingga hasil
akhir total membutuhkan 36 ekor tikus putih (Rattus
norvegicus) jantan galur Sprague dawley.

3.3.2.2. Kelompok Sampel

Pada penelitian ini menggunakan 30 ekor tikus putih


(Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley menjadi
enam kelompok yaitu kontrol normal (K1), plasebo (K2),
kontrol positif (K3), perlakuan I (K4), perlakuan II (K5),
dan perlakuan III (K6). Sampel yang digunakan pada tiap
percobaan sebanyak 5 ekor. Sehingga pada penelitian ini
digunakan 30 ekor dan dibagi menjadi enam kelompok
secara acak.

a. Kelompok 1 (K1): 5 ekor tikus putih yang diberikan


luka sayat, kemudian pada luka diberi aquadest sebagai
kontrol normal
b. Kelompok 2 (K2): 5 ekor tikus putih yang diberikan
luka sayat, kemudian pada luka diberi basis salep
sebagai plasebo
c. Kelompok 3 (K3): 5 ekor tikus putih yang diberikan
luka sayat dan diberikan oxoferin
57

d. Kelompok 4 (K4): 5 ekor tikus putih yang diberikan


luka sayat dan diberikan salep ekstrak daun Rhizophora
apiculata dengan konsentrasi sebesar 20%
e. Kelompok 5 (K5): 5 ekor tikus putih yang diberikan
luka sayat dan diberikan salep ekstrak daun Rhizophora
apiculata dengan konsentrasi sebesar 30%
f. Kelompok 6 (K6): 5 ekor tikus putih yang diberikan
luka sayat dan diberikan salep ekstrak daun Rhizophora
apiculata dengan konsentrasi sebesar 40%

3.3.2.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria Inklusi
Karakteristik umum dari subjek penelitian pada
penelitian ini adalah sebagai berikut.
a) Tikus putih (Rattus norvegicus) dengan galur
Sprague dawley
b) Jenis kelamin tikus putih jantan
c) Usia tikus putih dua bulan
d) Tikus putih sehat atau normal ditandai dengan
gerak-gerakan tikus putih seperti makan, minum,
tidak terdapat luka atau cacat tubuh
e) Bobot badan tikus putih 230-270 gram.

2. Kriteria Eksklusi
Sebagian dari subjek yang tidak memenuhi kriteria
inklusi pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
a) Tikus putih sakit yang ditandai dengan peningkatan
porfirin (pewarnaan merah di sekitar mata dan
hidung), peningkatan bersin dan lendir dari hidung,
bernafas lebih cepat dan lebih keras, makan lebih
sedikit dari biasanya, terdapat benjolan di tubuh,
58

rambut rontok, menggaruk sepanjang waktu,


terdapat luka atau cacat tubuh, peningkatan suara
snuffling di hidung dan saluran pernapasan bagian
atas, kurang aktif dari biasanya, dan lesu
b) Tikus putih mati

3.4. Alat dan Bahan Penelitian

3.4.1. Alat

Adapun peralatan yang digunakan dalam melaksanakan penelitian ini


adalah handscoon, gunting, blender atau chopper, plastik wrap,
alumunium foil, timbangan analitik, waterbath, corong bruncher,
bejana, rotary evaporator, sudip, sendok tanduk, cawan porselen,
spatula, beaker glass, kaca arloji, coverglass, pH meter, viskometer
tabung reaksi, timbangan analitik, kertas perkamen, tube, penjepit, lap
pembersih, silet cukur, pisau bedah, kamera, pipet tetes, jangka
sorong, kandang, tempat makan dan minum tikus putih, masker, gelas
ukur, kapas alkohol, batang pengaduk, kertas label, spuit, dan alat tulis.

3.4.2. Bahan

Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun


Rhizophora apiculata, tikus putih, ethanol 95%, pakan tikus, air
mineral, aquadest, adeps lanae, cera alba, vaselin album, stearil
alkohol, propil paraben, oleum rosae, etil asetat, asam asetat anhidrat,
asam sulfat pekat, HCl, FeCl3 , dan sekam kandang tikus.
59

3.5. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian ini terdiri dari adaptasi tikus, pembuatan ekstrak daun
Rhizophora apiculata, uji skrining fitokimia, formulasi salep ekstrak daun
Rhizophora apiculata, evaluasi salep ekstrak daun Rhizophora apiculata,
pembuatan luka sayat, dan perawatan luka sayat.

3.5.1. Adaptasi Tikus

Tikus dengan jumlah 30 ekor dibagi menjadi enam kelompok yang


terdiri dari lima ekor pada masing-masing kelompok dan diletakkan
pada enam kandang yang berbeda. Tikus akan melalui masa adaptasi
selama 7 hari sebelum perlakuan dimulai. Selama masa adaptasi tikus
diperlakukan dengan baik, diberi makan berupa pelet dan air minum
serta dilakukan pengukuran berat badan tikus sebelum perlakuan.

3.5.2. Pembuatan Ekstrak Daun Rhizophora apiculata

Daun bakau (Rhizophora apiculata) sebanyak 600 gram dicuci dengan


air untuk menghilangkan debu dan kotoran yang menempel.
Kemudian keringkan dibawah sinar matahari secara tidak langsung.
Setelah kering kemudian dihaluskan ke dalam mesin penggiling
hingga menjadi serbuk yang disebut serbuk simplisia. Serbuk simplisia
daun bakau (Rhizophora apiculata) kemudian direndam di dalam
pelarut ethanol 95% sebanyak 1.500 ml sambil sesekali diaduk dan
kemudian didiamkan selama 18 jam di suhu ruang dan terhindar dari
cahaya. Hasil campuran dengan pelarut ethanol 95% disaring dengan
kertas saring untuk mendapatkan filtrat. Filtrat yang diperoleh
kemudian diuapkan dengan rotary evaporator 40℃ hingga diperoleh
ekstrak kental (Mustofa dkk, 2019; Kurniawaty dkk, 2022; Mustofa
dkk, 2018).
60

3.5.3. Uji Skrining Fitokimia

Uji skrining fitokimia dilakukan dengan menguji senyawa metabolik


yaitu tanin, flavonoid, alkaloid, saponin, terpenoid dan steroid yang
dilakukan sebagai berikut (Muthmainnah, 2017).
1. Identifikasi Flavonoid
Ekstrak sebanyak 1 gram dimasukkan kedalam tabung reaksi lalu
ditambahkan HCl kemudian dipanaskan selama 15 menit diatas
penangas air. Positif flavonoid apabila terbentuk warna merah,
kuning atau jingga (Adjeng dkk, 2019).

2. Identifikasi Tanin
Ekstrak sebanyak 1 gram dimasukkan kedalam tabung reaksi
kemudian ditambahkan 10 ml air panas lalu didihkan selama 5
menit. Kemudian filtratnya ditambahkan FeCl3 sebanyak 3-4 tetes.
Positif adanya tanin katekol ditandai dengan perubahan warna
hijau biru (hijau-hitam) dan positif adanya tanin pirogalol ditandai
dengan perubahan warna menjadi biru hitam (Muthmainnah,
2017).

3. Identifikasi Alkaloid
Ekstrak sebanyak 2 gram dimasukkan kedalam tabung reaksi dan
ditetesi HCl 2 N sebanyak 5 ml lalu dipanaskan. Kemudian
didinginkan lalu dibagi menjadi 3 tabung reaksi yang masing-
masing tabung reaksi sebanyak 1 ml. ditambahkan pereaksi pada
tiap tabung. Positif mengandung alkaloid apabila membentuk
endapan putih atau kuning pada tabung dengan pereaksi Mayer.
Positif mengandung alkaloid jika terbentuk endapan jingga pada
tabung dengan pereaksi Dragendrof (Muthmainnah, 2017).

4. Identifikasi Saponin
Ekstrak sebanyak 1 gram dimasukkan kedalam tabung reaksi dan
ditambahkan air panas sebanyak 10 ml, kemudian didinginkan lalu
61

dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Apabila terbentuk buih setinggi


1 – 10 cm tidak kurang 10 menit dan pada penambahan 1 tetes HCl
2 N buih tidak hilang, maka positif mengandung saponin
(Muthmainnah, 2017).

5. Identifikasi Terpenoid dan Steroid


Ekstrak sebanyak 2 gram dimasukkan kedalam tabung reaksi dan
ditambahkan etil asetat sebanyak 2 ml lalu dikocok. Lapisan etil
asetat kemudian diambil dan ditetesi pada plat tetes lalu dibiarkan
hingga kering. Setelah kering, ditambahkan 2 tetes asam asetat
anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Positif mengandung
terpenoid apabila terbentuk warna merah atau kuning dan positif
mengandung steroid apabil terbentuk warna hijau (Muthmainnah,
2017).

3.5.4. Formulasi Salep Ekstrak Daun Rhizophora apiculata

Pada penelitian ini salep dibuat ke dalam empat formula dengan variasi
dosis ekstrak ethanol daun Rhizophora apiculata dengan konsentrasi
20%, 30%, 40%, dan basis salep. Formula dari salep ekstrak daun
Rhizophora apiculata ditunjukkan pada tabel 1.

Tabel 1. Formulasi Salep Ekstrak Daun Rhizophora apiculata


No Nama Bahan Formula Formula Formula Basis
20% (g) 30% (g) 40% (g) (g)
1. Ekstrak Ethanol Daun 5 7.5 10 -
Rhizophora apiculata
2. Adeps Lanae 0.625 0.625 0.625 0.625
3. Stearil Alkohol 0.625 0.625 0.625 0.625
4. Cera alba 1.7 1.7 1.7 1.7
5. Propil Paraben 0,016 0,016 0,016 0,016
6. Oleum Rosae 0,016 0,016 0,016 0,016
7. Vaselin Album 17.018 14.518 12.018 22.018
Total 25 25 25 25
Sumber: Zukhri dkk, 2018
62

Cara pembuatan salep ekstrak daun bakau (Rhizophora apiculata)


diawali dengan menimbang masing-masing bahan sesuai dengan
perhitungan formula pada tabel 1. Selanjutnya, dimasukkan cera alba,
vaselin album, stearil alkohol, dan adeps lanae ke dalam gelas beaker
dan dileburkan diatas penangas air sambil diaduk menggunakan
batang pengaduk. Kemudian setelah semua bahan tersebut meleleh,
tunggu hingga sedikit dingin sambil diaduk. Kemudian ditambahkan
ekstrak etanol daun bakau (Rhizophora apiculata), propil paraben, dan
oleum rosae sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga homogen dan
menjadi massa setengah padat. Setelah homogen, keluarkan salep dari
gelas beaker, lalu ditimbang sebanyak 25 gram dan dimasukkan
kedalam wadah yang tertutup rapat dan terhindar dari cahaya yaitu
tube lalu berikan label (Sari & Maulidya, 2016).

3.5.5. Evaluasi Salep Ekstrak Daun Rhizophora apiculata

Uji stabilitas fisik salep ini dilakukan dengan beberapa pengujian dan
pengamatan yaitu sebagai berikut (Sari dan Maulidya, 2016).
1. Pemeriksaan organoleptis
Pengamatan dilakukan secara visual terhadap bentuk, bau, dan
warna (Sari dan Maulidya, 2016).
2. Pemeriksaan pH
Dilakukan dengan menggunakan alat pH meter yang dicelupkan
kedalam 0,5 gram salep yang diencerkan dengan aquadest
sebanyak 5 ml (Sari dan Maulidya, 2016).
3. Pemeriksaan homogenitas
Salep ditimbang 0,1 gram kemudian diletakkan diatas kaca objek
lalu digoreskan dengan coverglass sehingga membentuk
permukaan yang rata kemudian ditutup dengan coverglass. Salep
yang homogen ditandai dengan tidak terdapat gumpalan, struktur
yang rata, dan warna yang seragam (Sari dan Maulidya, 2016).
63

4. Uji Viskositas
Viskositas salep diukur menggunakan viskometer rotasi dengan
memasukkan 10 gram salep ke dalam pot, kemudian dipasang
spindle no.64 dan dijalankan. Hasil viskositas dicatat setelahnya
jarum viskometer menunjukkan angka yang stabil setelah lima
putaran (Maesaroh dkk, 2020).

3.5.6. Pembuatan Luka Sayat

Pembuatan luka sayat pada tikus dimulai dengan melakukan


pencukuran rambut pada bagian area perlukaan dengan luas area luka
sayat yang diinginkan dengan tujuan untuk mempermudah pada saat
melukai, pemberian perlakuan, dan pengamatan. Setelah dicukur,
kemudian melakukan prosedur anastesi untuk tindakan bedah
superfisial menggunakan kombinasi ketamin 75 mg/kgBB dan
acepromacine 2,5mg/kgBB secara intra peritoneal agar tikus tidak
merasakan sakit dan mengurangi pergerakan dari tikus. Kemudian
tunggu 5 – 10 menit hingga obat bius bereaksi. Kemudian dilakukan
pemasangan perlak sebagai alasnya dibawah tikus yang akan dilukai.
Setelah itu dilakukan disinfeksi pada area kulit yang akan dilakukan
perlukaan dengan alkohol 70%. Kemudian luka sayat dibuat pada
punggung tikus dengan kedalaman 2 mm dan panjang 2 cm hingga ke
lapisan dermis yang ditandai dengan keluarnya darah. Kemudian
dilakukan pembersihan dengan cara dialiri dengan aquadest pada
bagian luka hingga pendarahan berhenti (Bawotong 2020; Kurniawaty
dkk, 2022; Yunani dkk, 2015).

3.5.7. Observasi Luka Sayat

Observasi luka sayat dilakukan dengan cara yaitu mencuci tangan dan
memakai sarung tangan sebelum melakukan observasi luka sayat dan
64

memposisikan tikus senyaman mungkin agar memudahkan tindakan


perawatan. Kemudian dilakukan pengecekan keadaan luka dan
memberikan pengobatan pada masing-masing kelompok perlakuan
(Bawotong, 2020). Observasi luka sayat pada kelompok plasebo diberi
aquadest diberikan secara topikal kepada tikus kelompok kontrol
normal (K1). Pemberian basis salep diberikan secara topical pada tikus
kelompok plasebo (K2). Pemberian oxoferin diberikan secara topikal
kepada tikus kelompok kontrol positif (K3) Pemberian salep ekstrak
daun Rhizophora apiculata diberikan secara topikal dengan
konsentrasi 20% kepada tikus putih kelompok perlakuan I (K4).
Pemberian salep ekstrak daun Rhizophora apiculata diberikan secara
topikal dengan konsentrasi 30% kepada tikus kelompok perlakuan II
(K5). Pemberian salep ekstrak daun Rhizophora apiculata diberikan
secara topikal dengan konsentrasi 40% kepada tikus kelompok
perlakuan III (K6). Pengobatan tersebut dilakukan 2 kali sehari dan
diberikan sebanyak 0.2 gram selama 14 hari (Kurniawaty dkk, 2022).

3.6. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel

3.6.1. Identifikasi Variabel

Variabel pada penelitian ini adalah sebagai berikut.


1. Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah tiga taraf salep
ekstrak daun Rhizophora apiculata dengan konsentrasi 20%,
30%, 40%.
2. Variabel Terikat
panjang luka sayat dan lama penyembuhan luka sayat pada
tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley.
65

3.6.2. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional berguna untuk mendefinisikan variabel bebas


maupun terikat secara operasional berdasarkan karakteristik yang diamati
yang memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran
secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena. Definisi operasional
variabel bebas dan terikat pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Definisi Operasional


No. Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional

Variabel Independen
1. Ekstrak daun Ekstrak etanol Pengukuran 20 gram Kategorik
bakau daun bakau ekstrak daun ekstrak daun
(Rhizophora (Rhizophora bakau bakau
apiculata) apiculata) yang Rhizophora (Rhizophora
telah diolah apiculata apiculata)
dengan metode disesuaikan
maserasi dengan dengan
konsentrasi yang konsentrasi dan
telah ditentukan. jumlah yang
dibutuhkan.
2. Salep Ekstrak Ekstrak daun Pengukuran 25 gram salep Kategorik
daun bakau bakau salep ekstrak ekstrak daun
(Rhizophora (Rhizophora daun bakau bakau
apiculata) apiculata) (Rhizophora (Rhizophora
sebagai bahan apiculata) apiculata) pada
aktif yang disesuaikan masing-masing
diformulasikan dengan konsentrasi
menjadi sediaan konsentrasi dan
salep dengan jumlah yang
konsentrasi 20%, dibutuhkan.
30%, dan 40%

3. Oxoferin Oxoferin Pengukuran Oxoferin Kategorik


merupakan obat oxoferin diberikan
dengan kandungan disesuaikan dengan jumlah
tetrachlorodecaoxi dengan dosis pemberian
de yang mampu yang 0,2cc 2 kali
mempercepat dibutuhkan sehari
penyembuhan luka mengguna-kan
dengan spuit
merangsang
pembentukan
jaringan granulasi
(Shahbaz dkk,
2017)
66

4. Aquadest Aquadest adalah Pengukuran Aquadest akan Kategorik


air suling yang aquadest diberikan dosis
bebas dari zat disesuaikan 0,2 cc 2 kali
pengotor sehingga dengan sehari
bersifat murni kebutuhan
dalam
laboratorium
(Khotimah dkk,
2017)

Variabel Dependen
1. Proses Luka dinyatakan Setiap tikus Hasil Numerik
penyembuhan sembuh jika akan dilakukan pengamatan
luka sayat hilangnya eritema, pengukuran dinilai dengan
edema, pus, dan menggunakan penyusutan
tepi luka menutup alat ukur panjang luka
sempurna panjang yaitu yang diukur
(Ramadhan dkk, jangka sorong. dengan satuan
2019) mm.
2. Skoring Penilaian Pengukuran Rata-rata nilai Numerik
Nagaoka menggunakan skor mengguna-kan skor 3-9
makroskopis tabel
Nagaoka modifikasi
berdasarkan lama Nagaoka yang
penyembuhan dapat menilai
(hari), tanda-tanda apakah terdapat
infeksi, dan tanda- infeksi dari
tanda reaksi lokal luka dan ada
(Suarni & Badri, tidaknya reaksi
2016) alergi

3.7. Analisis Data

Data yang sudah diperoleh akan dianalisis secara statistik dengan uji
normalitas data Shapiro Wilk-Test karena jumlah sampel ≤ 50 (p>0,05)
yang dilanjutkan dengan uji homogenitas yaitu uji Levene, jika varians
data terdistribusi normal dan homogen akan dilanjutkan dengan uji
parametrik One Way ANOVA. Namun jika didapatkan distribusi data
tidak normal maka akan digunakan uji nonparametrik Kruskal-Wallis.
Hipotesis dianggap bermakna apabila nilai p<0,05, jika pada uji ANOVA
dihasilkan p<0,05 maka akan dilanjutkan dengan melakukan analisis Post
Hoc LSD, dan jika pada uji Kruskal-Wallis dihasilkan nilai p<0,05 maka
akan dilanjutkan dengan analisis Post Hoc Mann-Whitney (Kurniawaty
dkk, 2022).
67

3.8. Etika Penelitian

Penelitian ini izin etik nomor 3843/UN26.18/PP.05.02.00/2022 dari


Fakultas Kedokteran Universitas Lampung untuk menggunakan 30 ekor
tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley dengan
menerapkan prinsip 3R (Replacement, Reduction, Refinement) sebagai
prinsip etika ketika hendak melakukan penelitian menggunakan hewan
coba. Replacement merupakan upaya menggunakan sistem tidak hidup
sebagai alternatif. Reduction menurunkan jumlah hewan coba yang
digunakan tanpa mengurangi informasi yang berguna. Refinement
merupakan memperlakukan hewan coba secara manusiawi, manajemen
pemeliharaan, dan melakukan modifikasi pemeliharaan serta mengurangi
aspek perlakuan yang dapat menimbulkan rasa sakit atau stress jangka
panjang (Mutiarahmi dkk, 2021; Yurista dkk, 2016).
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Salep ekstrak daun bakau (Rhizophora apiculata) konsentrasi 20%,


30%, dan 40% memiliki pengaruh terhadap percepatan penyembuhan
luka sayat tikus putih galur Sprague dawley.
2. Salep ekstrak daun bakau (Rhizophora apiculata) konsentrasi 20%,
30%, dan 40% memiliki efek terhadap penyusutan panjang luka sayat
tikus putih galur Sprague dawley pada fase proliferasi penyembuhan
luka sayat.
3. Formula optimum sediaan salep ekstrak daun bakau (Rhizophora
apiculata) terhadap lama dan percepatan penyembuhan luka sayat tikus
putih galur Sprague dawley adalah konsentrasi 30%.
4. Pengamatan infeksi lokal dan reaksi alergi berdasarkan skor Nagaoka
pada luka sayat tikus putih terhadap pemberian salep ekstrak daun
bakau (Rhizophora apiculata) tidak berbeda bermakna dengan kontrol
normal dan kontrol positif.
5. Salep ekstrak daun bakau (Rhizophora apiculata) konsentrasi 30% dan
40% memiliki pengaruh penyembuhan luka yang sama baik dengan
obat luka sayat standar (oxoferin) pada tikus putih galur Sprague
dawley.
6. Formula salep ekstrak daun bakau (Rhizophora apiculata) memenuhi
kriteria salep yang baik.
99

5.2 Saran

1. Disarankan dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai salep ekstrak daun


Rhizophora apiculata terhadap percepatan penyembuhan luka sayat dengan
mengamati secara mikroskopis dan jumlah eksudat.
2. Disarankan untuk penelitian lebih lanjut mengenai ekstrak daun
Rhizophora apiculata terhadap percepatan penyembuhan luka sayat dengan
formulasi sediaan lain dengan menganalisa jumlah kadar senyawa aktif
ekstrak daun Rhizophora apiculata terhadap penyembuhan luka sayat.
DAFTAR PUSTAKA

Adjeng ANT, Hairah S, Herman S, Ruslin, Fitrawan LOM, Sartinah A, Ali NFM,
Sabarudin. 2019. Skrining Fitokimia dan Evaluasi Sediaan Sabun Cair
Ekstrak Etanol 96% Kulit Buah Salak Pondoh (Salacca zalacca (Gaertn.)
Voss.) Sebagai Antioksidan. Pharmauho. 5(2): 21-24.

Agarwal S, Krishnamurthy K. Histology, Skin. 2022. In: StatPearls [Internet].


Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. 99-103

Akasia AI, Putra IDNN, Putra ING. 2021. Skrining Fitokimia Daun Mangrove
Rhizophora mucornata dan Rhizophora apiculata yang Dikoleksi dari
Kawasan Mangrove Desa Tuban, Bali. Journal of Marine Research and
Technology. 4(1):16-22.

Andrie M, Sihombing D. 2017. Efektivitas Sediaan Salep yang Mengandung


Ekstrak Ikan Gabus (Channa striata) pada Proses Penyembuhan Luka Akut
Stadium II Terbuka pada Tikus Jantan Galur Wistar. Pharm Sci Res. 4(2): 88-
101.

Aulton, Michael E, Taylor KMG. 2018. Aulton’s Pharmaseutics: The Design and
Manufacture of Medicines Fifth Edition. Elsevier Ltd. 301-313

Bawotong RA, De Queljoe E, & Mpila DA. 2020. Uji Efektivitas Salep Ekstrak
Daun Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Terhadap Penyembuhan Luka Sayat
Pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Rattus norvegicus). Pharmacon. 9(2):
284.

Baehaki F, & Wahid AA. 2019. Pengaruh Ekstrak Daun Babadotan (Ageratum
conyzoides, L) Terhadap Waktu Pembekuan Darah. Jurnal Kesehatan
Rajawali. 9(2): 14–24.

Binder L, Mazal J, Petz R, Klang V, Valenta C. 2019. The role of viscosity on skin
penetration from cellulose ether‐based hydrogels. Skin Res Technol. 25:725-
734

Boer M, Duchnik E, Maleszka R, & Marchlewicz M. 2016. Structural and


biophysical characteristics of human skin in maintaining proper epidermal
barrier function. Postepy Dermatologi Alergologi. 33(1): 1–5.

Deslendes P, Young S, Pitcher G. 2019. Rapid Medicines Management for


Healthcare Professionals. UK: Willey. 219-303
101

Destri CH, Sudiana IK, Nugraha J. 2017. Potensi Ekstrak Jatropha multifida
Terhadap Ekspresi VEGF Aphthous Ulcer Rat norvegicus. Jurnal SainHealth.
1(2): 5-12.

Dewi AU, & Wicaksono IA. 2020. Review artikel: tanaman herbal yang memiliki
aktivitas penyembuhan luka. Farmaka. 18(2): 213–221.

Dewi ERO, & Usman U. 2016. Uji Fitokimia dan Uji Antibakteri dari Akar
Mangrove Rhizophora apiculata terhadap Bakteri Escherichia coli dan
Staphylococcus aureus. Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals
Conferences. 3(3): 183–193.

Departemen Kesehatan. 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Departemen


Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta. 39-41

Djati FK, Dewi CK. 2018. Laporan Kasus: Tatalaksana Hematoma Akibat Trauma.
Stomatognatic (J.K.G Unej). 15(2): 26-29.

Febriana NA, Fridayanti A, Ibrahim A. 2016. Metabolit Sekunder dan Efek


Penyembuhan Luka Sayat Ekstrak Ethanol Buah Pandan Duri (Pandanus
tectorius Soland) pada Tikus Putih Galur Wistar (Rattus norvegicus). Jurnal
Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia. 303-311.

Garg T, Rath G, Goyal AK. 2015. Comprehensive review on additives of topical


dosage forms for drug delivery. Drug Delivery. 22(8): 969-987.

Grubbs H, Manna B. Wound Physiology. 2022. In: StatPearls [Internet]. Treasure


Island (FL): StatPearls Publishing. 45-59

Hadi AM, & Irawati MH. 2016. Karakteristik Morfo-Anatomi Struktur. 1688–
1692.

Hakim IR, Lestari F, & Priani SE. 2021. Kajian Pustaka Tanaman yang Berpotensi
dalam Penyembuhan Luka Bakar. Prosding Farmasi, 14–20.

Hamijaya L, Prihatiningsih, Widiastuti MG. 2014. Perbedaan Daya Antibakteri


Tetrachlorodecaoxide, Povidon Iodine, dan Hidrogen Peroksida (H2O2)
Terhadap Bakteri Pseudomonas Aeruginosa Secara In Vitro. Jurnal
Kedokteran Gigi. 5(4): 329-335.

Kalangi SJR. 2014. Histofisiologi Kulit. Jurnal Biomedik (Jbm). 5(3): 12–20.

Khotimah H, Anggraeni EW, Setianingsih A. 2017. Karakterisasi Hasil


Pengolahan Air Menggunakan Alat Destilasi. Jurnal Chemurgy. 1(2): 34-38.

Kurniawaty E, Megaputri S, Mustofa S, Rahmanisa S, Audah KA, Andriani S.


2022. Ethanol Extract of Bruguiera gymnorrhiza Mangrove Leaves and
102

Propolis Activity on Macroscopic Healing of Cuts In Vivo. Acta Biochimica


Indonesiana. 5(1): 94.

Maesaroh I, Pratiwi D, Agustin L. 2020. Ointment Formulation and Test


Preparation from Manilkara zapota L. Leaf Extract Using Variation of
Ointment Base as Boils. Indonesian Journal of Pharmaceutics. 2(1): 14-19.

Mahato RI, & Narang AS. 2018. Pharmaceutical Dosage Forms and Drug
Delivery. Edisi 3. CRC Press: USA. 425-427.

Mahmudah BH, Umboro RO, Apriliany F. 2021. Uji Efektivitas Ekstrak Daun
Ciplukan (Physalis angulata L.) terhadap Penyembuhan Luka Sayat Pada
Kelinci Jantan (Oryctolagus cuniculus) Galur Wistar. Cendekia Journal of
Pharmacy. 5(2): 196-205.

Martin P, Nunan L. 2015. Scholarly Review: Cellular and Molecular Mechanisms


of Repair in Acute and Chronic Wound Healing. British Journal of
Dermatology. 173: 370-378.

Maryunani A. 2015. Perawatan Luka Modern (Modern Woundcare). Jakarta: IN


MEDIA. 29-35.

Milasari M, Jamaluddin AW, Adikurniawan YM. 2019. Pengaruh Pemberian Salep


Ekstrak Kunyit Kuning (Curcuma longa linn) Terhadap Penyembuhan Luka
Sayat Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). Jurnal Ilmiah Ibnu Sina. 4(1):
186-202.

Minarno EB. 2015. Skrining Fitokimia dan Kandungan Total Flavonoid pada Buah
Carica pubescens Lenne & K. Koch Di Kawasan Bromo, Cangar, dan Dataran
Tinggi Dieng. EL-Hayah. 5(2): 73-82.

Mioni J. 2016. Fundamental Pharmacology for Pharmacy Technicians. Second


Edition. Cangage Learning: USA. 76-89.

Muhartono, Sukohar AS, Hendra TS, Indri W. 2015. Honey As An Alternative


Healing For Burns On White Rats (Rattus norvegicus) Strain Spraque
Dawley. International Journal of Research Ayurveda & Pharmacy. 6(1): 101-
104.

Mukhriani. 2014. Ekstraksi, Pemisahan Senyawa, dan Identifikasi Senyawa Aktif.


Jurnal Kesehatan. 7(2): 361.

Murtini G. 2016. Farmasetika Dasar. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik


Indonesia. 33-46.

Murwaningsih E, Waluyo A. 2021. Manajemen Perawatan Luka Akut. Journal of


Telenursing (JOTING). 3(2): 546-554.
103

Mustika D, Omo R, & Andi S. 2014. Pertumbuhan Baku Minyak (Rhizophora


apiculata) dipersemaian Mangrove Desa Muara Teluk Naga, Tanggerang,
Banten. Bonorowo Wetlands. 4(2): 108–116.

Mustofa S, Alfa N, Wulan AJ, Rakhmanisa S. 2019. Pengaruh Pemberian Ekstrak


Kulit Batang Bakau Minyak (Rhizophora apiculata) Etanol 95 % terhadap
Arteri Koronaria Tikus Putih (Rattus novergicus) Jantan Galur Sprague
dawley yang Dipaparkan Asap Rokok. Jurnal Kedokteran Unila. 3(1): 28-33.

Mustofa S, Bahagia W, Kurniawaty E, Rahmanisa S, Audah KH. 2018. The effect


of mangrove (Rhizophora apiculata) Bark Extract Ethanol on Histopathology
pancreas of male white rats Sprague dawley strain exposed to Cigarette
Smoke. Acta Biochimia Indonesiana. 1(1):7- 12.

Mustofa S, Anisya V. 2020. Efek Hepatoprotektif Ekstrak Etanol Rhizophora


apiculata Pada Tikus Yang Dipaparkan Asap Rokok. Jurnal Kedokteran
Unila. 4(1): 12-17.

Muthmainah B. 2017. Skrining Fitokimia Senyawa Metabolit Sekunder Dari


Ekstrak Etanol Buah Delima (Punica granatum L.) Dengan Metode Uji
Warna. Media Farmasi. 13(2): 23-28.

Mutiarahmi CN, Hartady T, Lesmana R. 2021. Kajian Pustaka: Penggunaan


Mencit Sebagai Hewan Coba di Laboratorium yang Mengacu pada Prinsip
Kesejahteraan Hewan. Indonesia Medicus Veterinus. 10(1): 134-145.

Nugroho SW, Fauziyah KR, Sajuthi D, & Darusman HS. 2018. Profil Tekanan
Darah Normal Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Wistar dan Sprague-
Dawley. Acta Veterinaria Indonesiana. 6(2): 32–37.

Pambudi DB, Haryoto. 2022. Efektivitas Farmakologi Senyawa Aktif Tumbuhan


Mangrove. Jurnal Ilmiah Kesehatan. 15(1):39–57.

Palmieri B, Vadalà M, & Laurino C. 2017. Review of the molecular mechanisms


in wound healing: new therapeutic targets?. Journal of Wound Care. 26(12):
765–775.

Paputungan F, Yamlean PVY, Citraningtyas G. 2014. Uji Efektifitas Salep Ekstrak


Etanol Daun Bakau Hitam (Rhizophora mucronata Lamk) Dan Pengujian
Terhadap Proses Penyembuhan Luka Punggung Kelinci Yang Diinfeksi
Bakteri Staphylococcus aureus. Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi. 3(1):15-
26.

Parikh R, Bakhshi G, Naik Madhushree, Bhargav G, Jadhav K, Tayade M. 2016.


The Efficacy and Safety of Tetrachlorodecaoxide in Comparison with Super-
oxidised Solution in Wound Healing. Archives of Plastic Surgery. 43(5): 395-
401.
104

Purnama H, Sriwidodo, & Ratnawulan S. 2017. Review Sistematik: Proses


Penyembuhan dan Perawatan Luka. Farmaka. 15(2): 251–256.

Qelina L, Rahmanisa S, Oktarlina RZ. 2021. Pengaruh Pemberian Ekstrak Kulit


Batang Mangrove (Bruguiera gymnorrhiza) Dalam Proses Penyembuhan
Luka Sayat pada Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus) Galur Wistar.
Majority. 10(1): 67-72.

Rahayu S, Rozirwan R, & Purwiyanto AIS. 2019. Daya Hambat Senyawa Bioaktif
Pada Mangrove Rhizophora Sp. Sebagai Antibakteri Dari Perairan Tanjung
Api-Api, Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Sains. 21(3): 151.

Rahmadini NR, Gama SI, Rusli R. 2018. Formulassi Sediaan Salep Ekstrak Kulit
Batang Cadamba (Anthocephalus cadamba Miq.) dan Aktivitas
Antibakterinya Terhadap Staphylococcus aureus. Proceeding of the 8th
Mulawarman Pharmaceutical Conferences. 308-313.

Ramadhan, Andrie M, Taurina W. 2019. Uji Efek Penyembuhan Luka Salep


Kombinasi Ekstrak Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) dan Minyak Cengkeh
(Syzygium aromaticum L.) Konsentrasi 10% pada Tikus Putih Jantan Galur
Wistar Metode Dressing Non Debridement. Jurnal Mahasiswa Farmasi
Fakultas Kedokteran UNTAN. 1-13

Rosidah I, Ningsih S, Renggani TN, Efendi J, & Agustini K. 2020. Profil


Hematologi Tikus (Rattus norvegicus) Galur Sprague-Dawley Jantan Umur 7
Dan 10 Minggu. Jurnal Bioteknologi & Biosains Indonesia (JBBI). 7(1): 136–
145.

Sari A, Maulidya A. 2016. Formulasi Sediaan Salep Ekstrak Etanol Rimpang


Kunyit (Curcuma longa Linn). Jurnal SEL. 3(1): 16-23.

Sayogo W, Widodo ADW, Dachlan YP. 2017. Potensi +Dalethyne Terhadap


Epitelisasi Luka Pada Kulit Tikus Yang Diinfeksi Bakteri Mrsa. Jurnal
Biosains Pascasarjana. 19(1): 68-84.

Seepana R, Perumal K, Kada NM, Chatragadda R, Raju, M., & Annamalai, V.


2016. Evaluation of antimicrobial properties from the mangrove Rhizophora
apiculata and Bruguiera gymnorrhiza of Burmanallah coast, South Andaman,
India. Journal of Coastal Life Medicine. 4(6): 475–478.

Semer N. 2013. Dasar-dasar perawatan luka. Los Angeles: Global-HELP


Organization. 11-15.

Setiawan J, Abdurahman M, Rizki KA. 2014. Efektivitas Pemberian


Metilprednisolon terhadap Pembentukan Seroma Pascaoperasi Mastektomi
Modifikasi Radikal. MKB. 46(2): 88-93.
105

Shahbaz HM, Manzoor A, Ijaz M, Mahmood MS, dkk. 2017. Comparative Wound
Healing Efficacy of Neem Oil, Turmeric and Oxoferin On Full Thickness
Cutaneous Wounds in a Rabbit Model. IOSR Journal of Agriculture and
Veterinary Science. 10(2): 66-71.

Srivastava N, Singh A, Kumari P, Nishad JH, Gautam VS, Yadav M, Bharti, R.,
Kumar D, & Kharwar RN. 2021. Advances in extraction technologies:
isolation and purification of bioactive compounds from biological materials.
In Natural Bioactive Compounds. Elsevier Inc. 29-37.

Suarni E, Badri PRA. 2016. Uji Efektivitas Lendir Bekicot (Achatina Fulica)
Dibandingkan dengan Povidone Iodine 10% terhadap Penyembuhan Luka
Sayat (Vulnus Scissum) pada Mencit (Mus musculus). Syifa MEDIKA Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan. 7(1): 9-15.

Suriadi 2015. Pengkajian Luka dan Penanganannya. Edisi I. Sagung Seto: Jakarta.
11-34.

Syahrial. 2019. Studi Komparatif Morfologi Mangrove Rhizophora apiculata pada


Kawasan Industri Perminyakan dan Kawasan Non Industri Provinsi Riau.
Maspari Journal. 11(1): 31–40.

Tajudin T, Rochmah NN, Fatmala KD, Mubarok A. 2022. Pengaruh Pemberian


Gel Ekstrak Daun Bakau Hitam (Rhizophora mucronata Lamk) dan Ekstrak
Kunyit (Curcuma longa L.) Sebagai Kandidat Penyembuhan Luka Sayat pada
Kelinci. Prosiding Seminar Nasional Diseminasi. 2: 295-303.

Tamuntuan DN, Queljoe ED, Datu OS. 2021. Uji Efektivitas Penyembuhan Luka
Sediaan Salep Ekstrak Rumput Macan (Lantana camara L) Terhadap Luka
Sayat Pada Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus). Pharmacon. 10(3): 1040-
1049.

Tolistiawati I. 2014. Gambaran Kesehatan pada Mencit (Mus musculus) di Instalasi


Hewan Coba. Journal Vektor Penyakit. 8(1): 27-32.

Usha S, Ashish M. 2015. Review On: An Ointment. International Journal of


Pharmacy and Pharmaceutical Research: Human Journals. 4(20): 170-192

Wintoko R, Yadika ADN. 2020. Manajemen Terkini Perawatan Luka. Jurnal


Kedokteran Unila. 4(2): 183-189.

Yurista SR, Ferdian RA, Sargowo D. 2016. Review Article: Principles of the 3Rs
and ARRIVE Guidelines in Animal Research. Jurnal Kardiologi Indonesia.
37(3): 156-163.

Zhang QW, Lin LG, & Ye WC. 2018. Techniques for extraction and isolation of
natural products: A comprehensive review. Chinese Medicine (United
Kingdom), 13(1): 1–26.
106

Zukhri S, Dewi KMS, Hidayati N. 2018. Uji Sifat Fisik dan Antibakteri Salep
Ekstrak Daun Katuk (sauropus androgynus (l) merr.). Jurnal Ilmiah
Kesehatan (JIK). 11(1): 303-312.

Anda mungkin juga menyukai