Puji syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah
ini dapat selesai tepat waktu.
- Tim Penulis -
1
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2
PENDAHULUAN
1
Hadikusuma Hilman, 2004, Pengantar Antropologi Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti. Hlm 4.
2
Hadikusuma Hilman, 2004, Pengantar Antropologi Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti. Hlm 5.
3
1.3 Tujuan
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
"Denda adat adalah warisan nenek moyang bagi kami orang Papua yang
tinggal di wilayah pegunungan. Denda adat ini adalah merupakan kesalahan dari
keluarga kami karena dengan tidak sengaja menghilangkan nyawa orang dan kami
harus bertanggung jawab sesuai permintaan keluarga korban," ujar Kamal
menirukan pesan tokoh adat suku Amugme.
Selanjutnya, polisi dan tokoh suku Amugme serta suku Dani meminta baik
pelaku dan keluarga korban tidak memiliki rasa dendam karena proses hukum
sudah berjalan. Baik pelaku dan keluarga korban pun menyepakati permintaan itu.
6
dibandingkan dengan norma-norma hukum yang ideal dan yang eksplisit
dianggap masih tetap berlaku.3
Begitu pula yang akan dibahas dalam kasus ini, bahwa bagaimana perilaku
masyarakat atau reaksi masyarakat di Timika dalam menindaklanjuti pelaku
tindak pidana laka lantas yang menyebabkan kematian pada korban, yang akan
penulis ulas lebih lanjut di bagian analisis kasus.
Analisis Kasus
7
c. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian perkara;
d. mengolah tempat kejadian perkara;
e. mengatur kelancaran arus Lalu Lintas;
f. mengamankan barang bukti; dan
g. melakukan penyidikan perkara.
Melalui kronologis peristiwa yang terjadi dalam kasus tersebut, kecelakaan
lalu lintas tersebut mengakibatkan meninggalnya seseorang. Dengan demikian,
berlakulah ketentuan Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ;
“Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Denda yang dimaksudkan dalam pasal tersebut bukanlah jumlah ganti rugi
yang diperoleh oleh keluarga/ahli waris korban, melainkan denda sebagai sanksi
pidana yang harus dibayarkan kepada negara dalam hal ini diwakili oleh
pengadilan, sebagai hukuman atas tindak pidana tertentu.
Untuk ahli waris korban, Pasal 235 UU LLLAJ menentukan bahwa jika
korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas baik kecelakaan lalu lintas
ringan, sedang maupun berat, pihak yang menyebabkan kecelakaan wajib
memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan
dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara
pidana.
Jumlah ganti kerugian yang harus dibayarkan oleh pihak yang
menyebabkan terjadinya kecelakaan ditentukan berdasarkan putusan pengadilan
(lihat Pasal 236 ayat (1) UU LLAJ). Ayat (2) Kewajiban mengganti kerugian
tersebut pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229
ayat (1) dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di
antara para pihak yang terlibat.
8
Maka berdasarkan pemaparan pasal yang berlaku dalam hukum positif
tersebut diatas, penulis berpendapat bahwa penerapan hukum adat berupa
pembayaran santunan dan ganti rugi kepada korban tindak pidana lalu lintas yang
meninggal dunia di wilayah Timika hakikatnya tidak bertentangan dengan jiwa
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
yang memiliki wawasan sosiologis hukum progresif, nilai keagamaan,
kemasyarakatan dan adat istiadat. Mengingat bahwa eksistensi hukum adat dan
lembaga adat masih diakui di Indonesia berdasarkan pasal 2 aturan peralihan
UUD 1945.
Terutama bersesuaian dengan ketentuan Pasal 235 ayat (1) UU No. 22
Tahun 2009 yang menentukan : “Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan
Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi,
pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib “memberikan bantuan
kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman
dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana”.
Namun, yang menjadi sorotan penulis disini adalah jumlah nominal dari
pembayaran santunan dan ganti rugi dari hukum adat yang diterapkan, tidaklah
dirinci uang 2 milyar itu untuk apa saja. Mengingat bahwa yang dihilangkan
adalah nyawa yang tentunya tidaklah bisa diukur dengan uang.
Upaya mengakomadasi pengakuan nilai-nilai pluralisme hukum adat
dalam proses penegakan hukum tindak pidana lalu lintas ke depan, memerlukan
pengkajian dan pengaturan lebih lanjut ke dalam Peraturan Daerah Provinsi,
Kabupaten/Kota, sesuai amanah Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang menentukan
: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang”.
BAB III
PENUTUP
9
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
10
Hadikusuma, Hilman, 2004, Pengantar Antropologi Hukum, Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Website :
https://news.detik.com/berita/d-3664612/tabrak-warga-di-timika-hingga-
tewas-yahya-didenda-rp-2-miliar (diakses 8 September 2019)
hukumonline.com (diakses 8 September 2019)
Undang-undang :
11