Anda di halaman 1dari 43

IMPLEMENTASI ASAS KONTRADIKTUR DELIMITASI DALAM

PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP (PTSL) DI KABUPATEN


SLEMAN

PROPOSAL TESIS

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan


Mencapai Gelar Magister Kenotariatan

Oleh
DIAN PATARIDA S.
NIM S352108019

MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2023
IMPLEMENTASI ASAS KONTRADIKTUR DELIMITASI DALAM
PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP (PTSL) DI KABUPATEN
SLEMAN

PROPOSAL TESIS

Oleh:
DIAN PATARIDA S.
NIM S352108019

Nama Tanda Tangan

Pembimbing

Pembimbing I: Prof. Dr. I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani S.H., M.M..
NIP. 197210082005012001

Tanggal :

Pembimbing II: Prof. Dr. Lego Karjoko S.H., M.H.


NIP. 196305191988031001

Tanggal :

Telah dinyatakan memenuhi syarat


pada tanggal

Kepala Program Magister


Kenotariatan UNS

Dr. Hari Purwadi S.H., M.Hum.


NIP. 196412012005011001

i
PERNYATAAN KEASLIAN PROPOSAL TESIS

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa:

1. Proposal Tesis yang berjudul: “Implementasi Asas Kontradiktur Delimitasi


Dalam Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) Di Kabupaten Sleman” ini
adalah karya penelitian saya sendiri dan tidak terdapat karya ilmiah yang pernah
diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya
atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis
dengan acuan yang disebutkan sumbernya, baik dalam naskah karangan dan daftar
pustaka. Apabila ternyata di dalam naskah Proposal Tesis ini dapat dibuktikan terdapat
unsur-unsur plagiasi, maka saya bersedia menerima sanksi, baik Tesis beserta gelar
Magister saya dibatalkan serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Proposal Tesis ini pada jurnal atau forum
ilmiah harus menyertakan tim pembimbing sebagai author dan institusi Fakultas
Hukum UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka
saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.

Surakarta, .............................................
Mahasiswa,

DIAN PATARIDA S.
NIM S352108019

ii
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal tesis yang berjudul
"Implementasi Asas Kontradiktur Delimitasi Dalam Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap (PTSL) Di Kabupaten Sleman".

Adapun tujuan dari penulisan proposal penelitian ini adalah sebagai salah satu
syarat untuk menyelesaikan Pendidikan Magister (S2) Program Studi Kenotariatan,
Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret. Pada kesempatan ini, penulis hendak
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan
moril maupun materiil sehingga proposal penelitian ini dapat selesai.

Meskipun telah berusaha menyelesaikan proposal penelitian ini sebaik


mungkin, penulis menyadari bahwa proposal penelitian ini masih ada kekurangan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca guna menyempurnakan segala kekurangan dalam penyusunan proposal
penelitian ini. Akhir kata, penulis berharap semoga proposal penelitian ini berguna bagi
para pembaca dan pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Yogyakarta, 8 Februari 2023

Peneliti

iii
DAFTAR ISI

PRAKATA ................................................................................................................... iii


DAFTAR ISI ................................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1
B. Kebaruan Penelitian ........................................................................................... 5
C. Rumusan Masalah .............................................................................................. 7
D. Tujuan Penelitian ............................................................................................... 7
E. Manfaat Penelitian ............................................................................................. 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 9
A. Landasan Teori ................................................................................................... 9
B. Kerangka Konseptual ....................................................................................... 10
C. Kerangka Berpikir ............................................................................................ 30
BAB III METODE PENELITIAN.............................................................................. 33
A. Karakteristik Penelitian ................................................................................ 33
B. Pendekatan penelitian ................................................................................... 33
C. Jenis dan Sumber Data (Bahan Hukum) ...................................................... 34
D. Teknik/instrumen Pengumpulan data ........................................................... 35
E. Analisis Data ................................................................................................ 36
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 37

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tanah, dalam kedudukannya sebagai kebutuhan manusia yang paling


penting, berperan penting dalam keberlangsungan hidup umat manusia. Ketika
populasi tumbuh dan permintaan akan tanah kian meningkat sebagai akibat dari
pembangunan, permintaan akan tanah menjadi tidak mencukupi. Mengingat
pentingnya ketersediaan tanah bagi seluruh manusia, maka sudah sewajarnya
hukum mengatur pertanahan secara menyeluruh untuk meminimalisir
terjadinya sengketa tanah dan menjaga keseimbangan antara permintaan dan
ketersediaan tanah. Sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan lalu lintas
sosial ekonomi khususnya dalam bidang pertanahan, perlu diadakan kegiatan
pendaftaran tanah yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum suatu
bidang tanah.
Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUD
1945) sebagai konstitusi negara mengatur bahwa tanah sudah sepatutnya
dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Pasal 33 ayat (3) Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa:
“Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Sebagai pendukung dari amanah dari dasar negara tersebut, digariskanlah
ketentuan-ketentuan dasar pertanahan secara luas dalam suatu undang-undang,
yakni Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok-
Pokok Agraria (selanjutnya disebut juga “UUPA”) yang mengatur subjek
hukum serta hak dan kewajiban yang melekat daripadanya.
Pasal 19 UUPA menegaskan bahwa untuk menjaminkan kepastian
hukum, akan diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik
Indonesia. Pendaftaran itu sendiri meliputi (1) pengukuran, perpetaan, dan

1
2

pembukuan tanah; (2) pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak
tersebut; (3) pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
Agar terciptanya suatu keteraturan dalam pemberian kepastian hukum,
maka pendaftaran tanah itu bukan saja menjadi kewajiban pemerintah, tetapi
juga menjadi kewajiban para pemegang hak atau pemilik tanah yang
bersangkutan. Pendaftaran tanah merupakan pekerjaan masif yang
membutuhkan banyak tenaga ahli, peralatan, serta biaya besar, sehingga apabila
pendaftaran tanah tersebut tidak diwajibkan juga kepada pemegang hak atas
tanah yang bersangkutan, maka suatu kepastian hukum yang diharapkan dari
pendaftaran tanah tersebut tidak akan ada artinya. Tujuan diadakannya
pendaftaran tanah adalah untuk memperoleh kepastian hukum tentang keadaan
barang yang bersangkutan.
Pasal 19 UUPA menginstruksikan kepada pemerintah agar pada seluruh
wilayah Republik Indonesia, diadakan pendaftaran tanah yang bersifat
rechtskadaster. Sejalan dengan itu, pasal 22, 23, dan 38 UUPA mewajibkan
kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk mendaftarkan hak
atas tanahnya agar diperoleh kepastian hak atas tanah tersebut.
Dengan ketentuan Pasal 18 UUPA, berarti pemerintah diperintahkan
untuk mengadakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia. Kemudian guna
merealisasikan ketentuan Pasal 19 UUPA tersebut, pemerintah segera
mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pendaftaran tanah,
yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 juncto Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997.
Pemerintah telah banyak mengeluarkan beragam program sertifikasi
tanah di Indonesia dalam rangka mempercepat terlaksananya pendaftaran
tanah. Program sertifikasi tanah merupakan suatu kegiatan pemerintah
Republik Indonesia dalam melaksanakan pendaftaran tanah pertama kali secara
serentak dan masif di berbagai daerah. Mengatasi kelambanan implementasi
pendaftaran tanah sejak tahun 1960 sampai dengan 2015, maka pada tahun
3

2016 pendaftaran tanah diakselerasi melalui program PTSL dengan landasan


hukum Permen ATR/Ka BPN 28/2016. Berbagai kendala awal diatasi melalui
Permen ATR/Ka BPN 6/2018. Target PTSL adalah pendaftaran 126 juta bidang
tanah pada tahun 2025 dengan produk berupa Peta Bidang Tanah (PBT)
maupun Sertifikat Hak Atas Tanah (SHAT). Sampai dengan 1 September 2022
telah terdaftar 94,2 juta bidang tanah (74,8 %) dan 79,4 juta bidang tanah telah
bersertifikat (Thea, 2022)
Salah satu prasyarat yang dimunculkan dalam penguatan suatu status
pendaftaran tanah, ialah Asas Kontradiktur Delimitasi. Asas Contradictoire
Delimitatie dalam Pendaftaran Tanah menjadikan prinsip musyawarah mufakat
yang terkandung dalam sila ke-4 Pancasila sebagai landasan dalam
penerapannya di masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya
sengketa dan konflik pertanahan yang akan terjadi dikemudian hari. Dengan
demikian sebelum dilaksanakannya pengukuran adalah hal yang wajib untuk
dipenuhinya asas Contradictoire Delimitatie, jika tidak demikian maka
kelanjutan dari proses pendaftaran tanah akan sia-sia. Pengukuran tidak dapat
dilaksanakan, demikian juga pembuatan peta-peta serta pembukuan tanah,
terlebih pemberian surat tanda bukti hak tentu tidak akan diperbolehkan.
Meskipun masalah kepemilikan tanah telah diatur sedemikian rupa, namun
masih saja terdapat permasalahan-permasalahan yang terjadi di lapangan
seperti tumpang tindih atau overlapping batas bidang tanah akibat tidak
jelasnya batas bidang tanah yang disebabkan pemilik bidang tanah tidak
memelihara batas bidang tanahnya dengan baik.
Selain masalah tumpang tindih batas bidang tanah, pada kenyataannya
di lapangan asas Kontradiktur Delimitasi belum dapat berjalan dengan baik.
Hal ini disebabkan karena adanya perselisihan internal antara pemilik tanah
dengan para pemilik tanah yang berbatasan. Perselisihan ini mengakibatkan
pihak yang berbatasan menolak untuk hadir pada saat pelaksanaan penetapan
batas serta menolak menandatangani surat pernyataan batasan dan Daftar Isian
201 yang diperoleh dari Kantor Pertanahan. Dengan terjadinya penolakan
4

tersebut proses pengukuran tidak dapat terlaksana dengan baik, karena tidak
ditemukan kata sepakat antara kedua belah pihak. Ketidaksepakatan terhadap
batas bidang tanah tersebut mengakibatkan proses pendaftaran tanah menjadi
terhambat. Di samping itu, pada setiap penetapan batas di lapangan seharusnya
dihadiri oleh pemilik tanah dan para pemilik tanah yang berbatasan. Namun ada
kalanya pihak yang tanahnya berbatasan tidak dapat hadir karena tinggal di luar
kota atau bahkan di luar negeri. Pemilik tanah tidak dapat menghubungi pihak
yang berbatasan, sementara aparat desa pun juga tidak mengetahui secara pasti
batas tanah tersebut. Hal ini juga menghalangi penerapan asas Kontradiktur
Delimitasi yang seharusnya dilaksanakan demi terwujudnya kepastian hukum
dari suatu bidang tanah (Anggono, 2019).
Permasalahan lain yang juga terjadi pada saat penetapan batas
dilapangan, yaitu kedua belah pihak hadir bersama-sama menetapkan batas.
Akan tetapi pada saat penetapan batas antara kedua belah pihak tidak terjadi
kata sepakat mengenai batas bidang tanah. Kedua belah pihak tidak ada yang
mau mengalah satu sama lain. Dengan situasi tersebut maka asas Kontradiktur
Delimitasi tidak dapat terlaksana sehingga proses pendaftaran tanah sistematis
lengkap menjadi terhambat.
Dalam perkembangannya, Pelaksanaan PTSL selalu dimutakhirkan
mengikuti dengan perkembangan zaman. Seiring dengan berkembangnya
teknologi yang semakin pesat pemerintah, dalam hal ini Kementerian
ATR/BPN, berinovasi untuk melakukan penetapan batas yang memanfaatkan
teknologi digital sehingga terjadi beberapa perubahan dalam peraturan
pelaksanaan penetapan batas dalam yang berbasis Asas Kontradiktur
Delimitasi. Pemanfaatan teknologi digital semakin meningkatkan urgensi untuk
meneliti pelaksanaan penetapan batas dalam Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap (PTSL) di suatu lokasi.
Menurut penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Hanida Gayuh
Saenadi pada tahun 2018, pada Kabupaten Sleman, sisa bidang tanah yang
belum terdaftar kurang lebih 30% dan diharapkan dapat diselesaikan
5

secepatnya dengan program Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah


Sistematis Lengkap. Akan tetapi masih terdapat beberapa kendala dalam
pelaksanaannya di lapangan. Kendala yang dominan adalah terbatasnya tenaga
pelaksana dan terbatasnya waktu yang ditentukan. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor, salah satunya ialah karena dalam kenyataannya, pelaksanaan
PTSL di Sleman pada tahun tersebut terlambat daripada yang dijadwalkan pada
awal tahun. Kurangnya kesadaran Masyarakat dalam Melengkapi Persyaratan
Administrasi, termasuk surat pernyataan batasan yang seharusnya dilengkapi
terlebih dahulu sebelum pengukuran juga memperlamban serangkaian kegiatan
dari Pelaksanaan PTSL di Kabupaten Sleman (Saena, 2018). Menanggapi hal
itu, penulis tertarik untuk mengangkat judul tesis “Implementasi Asas
Kontradiktur Delimitasi Dalam Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL)
Di Kabupaten Sleman”.

B. Kebaruan Penelitian

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, berikut beberapa


penelitian terdahulu yang penulis anggap relevan dengan penulisan tesis ini:

No. Judul Penelitian, Persamaan Perbedaan Kebaharuan


pengarang, dan
tahun penulisan
1. Tesis yang di tulis Topik Lokasi Penelitian ini akan
oleh Rudy Patar pembahasan penelitian dilakukan dengan
Purwanto Purba, sama-sama tersebut adalah menganalisis
pada tahun 2020 menganalisis Pada Kantor penerapan Asas
yang berjudul Penerapan Asas Pertanahan Kota Kontradiktur
“Penerapan Asas Kontradiktur Medan, Delimitasi pada
Kontradiktur Delimitasi Dalam beberapa Pendaftaran Tanah
6

Delimitasi Dalam Rangka regulasi masih Sistematis Lengkap


Rangka Pendaftaran Pendaftaran memakai di lokasi yang
Tanah Sistematis Tanah Sistematis petunjuk teknis berbeda dan
Lengkap (Studi Pada Lengkap lama menggunakan
Kantor Pertanahan petunjuk teknis
Kota Medan)” terbaru.
2. Tesis yang di tulis Topik Metode Penelitian ini akan
oleh Deriska pembahasan penelitian adalah berfokus pada
Wulanda Putri, pada sama-sama metode analisis penerapan
tahun 2021 yang membahas penelitian Asas Kontradiktur
berjudul Pelaksanaan Asas empiris, topik Delimitasi dalam
“Pelaksanaan Kontradiktur pembahasan Pendaftaran Tanah
Pendaftaran Tanah Delimitasi Dalam tidak berfokus Sistematis Lengkap
Sistematis Lengkap Pendaftaran pada
(PTSL) Di Tanah Sistematis Pelaksanaaan
Kabupaten Bengkulu Lengkap Asas
Tengah Perspektif Kontradiktur
Hukum Delimitasi saja.
Islam”
3. Skripsi yang ditulis Topik Lokasi Penelitian ini akan
oleh Firda pembahasan penelitian dilakukan dengan
Rahmalinda pada sama-sama tersebut adalah menganalisis
tahun 2022 yang membahas Pada Kantor penerapan Asas
berjudul “Penerapan Pelaksanaan Asas Pertanahan Kontradiktur
Asas Kontradiktur Kontradiktur Kabupaten Pati Delimitasi pada
Delimitasi Pada Delimitasi Dalam Pendaftaran Tanah
Pelaksanaan Pendaftaran Sistematis Lengkap
Program Pendaftaran Tanah Sistematis di lokasi yang
Tanah Sistematis Lengkap berbeda.
7

Lengkap Di
Kabupaten Pati”

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan


sebagai berikut:
1. Apakah peraturan perundang-undangan sudah dapat mewujudkan Asas
Kontradiktur Delimitasi dalam Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
(PTSL)?
2. Apakah pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di
Kabupaten Sleman sudah berdasarkan Asas Kontradiktur Delimitasi?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:


1. Tujuan Subyektif
Tujuan subyektif dalam penelitian ini adalah untuk memenuhi Sebagian
persyaratan mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Program Magister
Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
2. Tujuan Obyektif
Tujuan obyektif dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui dan memahami apakah peraturan perundang-undangan
sudah dapat mewujudkan Asas Kontradiktur Delimitasi dalam Pendaftaran
Tanah Sistematis Lengkap (PTSL)
b. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah pelaksanaan Pendaftaran
Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Kabupaten Sleman sudah
berlandaskan Asas Kontradiktur Delimitasi
8

E. Manfaat Penelitian

Penulisan ini diharapkan memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara
praktis.
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, tulisan tesis ini diharapkan mampu memberikan informasi,
menambah wawasan dan pengetahuan, serta dapat memberi manfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan perihal pengaturan mengenai Pendaftaran
Tanah Sistematis Lengkap (PTSL)

2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat agar
membantu dan memberi masukan bagi masyarakat dan pemerintah untuk
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dalam mengimplementasikan
Asas Kontradiktur Delimitasi pada PTSL di Kabupaten Sleman.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

Kerangka teori umumnya berisikan prinsip-prinsip yang mempengaruhi


dalam pembahasan. Prinsip-prinsip teori itu berguna untuk membantu
gambaran dan langkah kerja. Kerangka teori akan membantu penulis dalam
membahas permasalahan, dan akan menggambarkan interior sebuah penulisan
(Arifin, 2010).
Penemuan teori dapat diperoleh dari banyak sumber, baik teori yang
dikemukakan para ahli, maupun yang telah dirumuskan ke dalam peraturan
perundang-undangan, khususnya peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang asas kontradiktur delimitasi, yakni Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah
Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun
2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.
Dalam rangka penemuan jawaban atas permasalahan yang telah
dirumuskan sebelumnya dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan teori
kontekstual yang menekankan pendekatan teoretik dalam kajian tesis ini. Teori
yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah Teori Sistem
Hukum menurut Lon Fuller.
Melalui bukunya yang berjudul “The Morality of Law”, Lon Fuller
menjelaskan bahwa ada delapan asas yang harus dipenuhi oleh hukum. Apabila
delapan asas tersebut tidak terpenuh, maka hukum yang hadir akan gagal untuk
kemudian dapat disebut sebagai hukum, atau dapat dikatakan bahwa dalam
hukum harus ada kepastian hukum. Delapan prinsip legalitas yang harus
ditunjukkan dalam membuat hukum menurut Lon Fuller ialah (Fuller, 1964):
1. Harus ada peraturannya terlebih dahulu

9
10

2. Peraturan itu harus diumumkan secara layak supaya orang dapat


mengetahui norma-norma tersebut serta dapat memakainya sebagai
pedoman perilakunya dalam suatu masyarakat.
3. Peraturan itu tidak boleh berlaku surut. Memperbolehkan aturan yang
berlaku surut akan merusak integritas aturan yang ditujukan untuk
berlaku pada masa yang akan datang.
4. Perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci, ia harus
dapat dimengerti oleh masyarakat luas.
5. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin
6. Di antara sesama peraturan tidak boleh saling bertentangan satu dengan
yang lain atau saling berkontradiksi satu sama lain.
7. Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah.
Kebiasaan sering mengubah aturan akan menyebabkan orang
kehilangan orientasi dari hukum.
8. Harus dapat kesesuaian atau kecocokan antar tindakan-tindakan nyata
dengan peraturan-peraturan yang telah dibuat sebelumnya, atau harus
adanya kesesuaian antara Das Sollen dan Das Sein.

Dari kedelapan asas yang dikemukakan oleh Lon Fuller tersebut, dapat
disimpulkan bahwa harus ada kepastian di antara peraturan serta pelaksanaan
hukum tersebut, dengan begitu hukum positif dapat dijalankan apabila telah
memasuki ke ranah perilaku, aksi, serta faktor yang dapat memengaruhi
bagaimana hukum itu berjalan.

B. Kerangka Konseptual

1. Pendaftaran Tanah
a. Pengertian dan Landasan Hukum

Boedi Harsono berpendapat bahwa pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian


kegiatan yang dilakukan oleh negara/pemerintah secara terus menerus dan
11

teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-


tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan,
dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan
kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda buktinya dan
pemeliharaannya (Harsono, 2008). Demi mewujudkan kepastian hukum hak
atas tanah, maka berdasarkan instruksi dari UUPA, diadakanlah pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia baik yang diprakarsai oleh
pemerintah maupun berdasarkan inisiatif individu masyarakat itu sendiri.
Karena pada dasarnya pendaftaran tanah dilakukan untuk menjamin kepastian
hukum, pendaftaran tanah diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan baik
masyarakat maupun pemerintah. Pendaftaran tanah dalam rangka menjamin
kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah merupakan kegiatan yang
bersifat rechtskadaster, bentuk kegiatannya antara lain meliputi: Pengukuran,
perpetaan (lebih tepat pemetaan), dan pembukuan tanah; Pendaftaran hak-hak
tersebut; dan Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.

Dasar hukum pendaftaran tanah dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 19


UUPA yang berbunyi demikian:

(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah, diadakan


pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini, meliputi:
a. Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan.
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat.
(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara
dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial-ekonomi serta
kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri
Agraria.
(4) Dalam peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan
dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan
bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-
biaya tersebut.
12

Mendukung undang-undang itu, dilahirkanlah Peraturan Pemerintah seperti


yang dimaksudkan dalam pasal tersebut. Lahirnya Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah adalah sebagai penyempurna dari
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang sebelumnya telah berlaku
sekaligus juga sebagai landasan hukum bagi pemerintah Indonesia dalam
rangka melaksanakan pendaftaran tanah di Indonesia.

Pasal 1 angka 1 PP No. 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa Pendaftaran tanah


ialah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus
menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan,
pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam
bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun,
termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-
bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun
serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Pendaftaran tanah juga dapat disebut dengan istilah legal cadaster bahwa
pendaftaran tanah yang dimaksud merupakan suatu rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan
teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar,
mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk
pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada
haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya (Handoko, 2014).

b. Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia

Sistem pendaftaran tanah di Indonesia dalam praktiknya lebih dikenal dengan


sistem publikasi, kegiatannya berupa penyajian data yang dihimpun secara
terbuka bagi umum di kantor pertanahan berupa daftar-daftar dan peta-peta
13

sebagai informasi bagi umum yang akan melakukan perbuatan hukum


mengenai tanah yang terdaftar. Hal ini didasarkan pada dasarnya merujuk pada
salah satu perintah UUPA adalah untuk melaksanakan kegiatan pendaftaran
tanah yang akan menghasilkan tanda bukti hak atas tanah yang disebut
sertipikat.

Untuk melaksanakan pendaftaran tanah tersebut maka dibebankan kepada


pemerintah sebagai petugasnya dan para pemilik tanah berkewajiban untuk
mendaftarkan hak atas tanah yang dikuasai/dimilikinya. Produk akhir dari
rangkaian kegiatan pendaftaran tanah adalah sertipikat yang berisikan muatan
kepastian hukum akan jenis hak atas tanahnya, subyek haknya dan obyek
haknya yang sifatnya lebih konkrit.

Menurut Boedi Harsono, ada 2 (dua) macam sistem pendaftaran tanah yaitu
sistem pendaftaran akta (registration of deeds) dan sistem pendaftaran hak
(registration of titles). Dalam sistem pendaftaran hak, setiap penciptaan hak
baru dan perbuatan-perbuatan hukum yang menimbulkan perubahan, kemudian
juga harus dibuktikan dengan suatu akta. Tetapi dalam penyelenggaraan
pendaftarannya, bukan aktanya yang didaftar, melainkan haknya yang
diciptakan dan perubahan-perubahannya kemudian. Akta hanya merupakan
sumber datanya. Sistem pendaftaran hak tampak dengan adanya Buku Tanah
sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan
disajikan serta diterbitkannya sertipikat sebagai surat tanda bukti hak atas tanah
yang didaftar (Santoso, 2011).

Secara umum, dikenal 2 (dua) macam sistem publikasi yaitu sistem publikasi
positif dan sistem publikasi negatif (Harsono, 2005). Sistem pendaftaran tanah
di Indonesia menurut PP No. 24 Tahun 1997 menggunakan sistem pendaftaran
tanah publikasi negatif bertendensi positif. Maksud dari sistem publikasi
negatif bertendensi positif adalah sistem pendaftaran tanah ini menggunakan
sistem pendaftaran hak (sistem Torrens/registration of titles), tetapi sistem
publikasinya belum dapat positif murni. Hal ini dikarenakan, data fisik dan data
14

yuridis dalam sertifikat tanah belum pasti benar, meskipun harus diterima oleh
Pengadilan sebagai data yang benar selama tidak ada alat pembuktian yang
membuktikan sebaliknya (Apriani & Bur, 2020).

Dalam penjelasan PP 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa pendaftaran tanah


berdasarkan perintah UUPA tidak menganut sistem publikasi positif (sistem
positif) dimana kebenaran data yang disajikan dijamin sepenuhnya, melainkan
sistem yang dianut adalah sistem publikasi negatif (sistem negatif). Pada sistem
negatif, pemerintah tidak menjamin sepenuhnya atas kebenaran data yang
disajikan, namun demikian tidak berarti bahwa pendaftaran tanah di Indonesia
adalah sistem negatif murni atau yang lebih akrab dikenal dengan istilah sistem
pendaftaran stelsel negarif bertendensi positif. Ini artinya segala apa yang
tercantum dalam buku tanah dan sertipikat hak atas tanah berlaku sebagai tanda
bukti yang kuat sampai dapat dibuktikan suatu keadaan sebaliknya (tidak
benar). Pembuktian ketidakbenaran data sebagaimana dimaksud dalam sistem
pendaftaran stelsel negatif bertendensi positif memiliki batasan waktu bagi
pihak lain yang berkeberatan atas suatu hak yang dipegang oleh pemegang hak
atas tanah, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 32 ayat (2) PP 24 Tahun 1997.

c. Asas, Tujuan dan Objek Pendaftaran Tanah

Asas merupakan prinsip dasar yang menjadi dasar pijakan dalam bersikap atau
melakukan suatu hal tertentu. Asas kerap ditafsirkan sebagai sebuah prinsip
yang disusun menjadi suatu mekanisme dalam mencapai suatu maksud dan
tujuan. Demikian halnya dengan pendaftaran tanah, terdapat asas atau prinsip
dalam melakukan tahapan-tahapan pendaftaran tanah.

Pasal 2 PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tegas menyebutkan


bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman,
terjangkau, mutakhir dan terbuka. Pada penjelasan PP 24 Tahun 1997 dimaksud
dijelaskan asas-asas dalam pendaftaran tanah.
15

a. Asas Sederhana; dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-


ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh
pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah. 39
b. Asas Aman; dimaksudkan untuk menunjukkan, bahwa pendaftaran tanah
perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat
memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuannya pendaftaran tanah itu
sendiri.

c. Asas Terjangkau; dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang


memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan
golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka
penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang
memerlukan.

d. Asas Mutakhir; dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam


pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang
tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti
kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di
kemudian hari.

e. Asas Terbuka; Asas mutakhir menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah


secara terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di
Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan, dan
masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap
saat. Untuk itulah diberlakukan pula asas terbuka. Asas ini dimaksudkan agar
masyarakat dapat mengetahui atau memperoleh keterangan mengenai data fisik
dan data yuridis yang benar setiap saat di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

Menurut Soedikno Mertokusumo sebagaimana dikutip oleh Urip Santoso,


pendaftaran tanah mengenal 2 (dua) macam asas yaitu (Santoso, 2011):

a. Asas Specialiteit (Asas Spesialitas)


16

Asas Specialiteit memberikan data fisik mengenai letak tanah, letak batas-
batasnya dan luas bidang tanahnya.

b. Asas Openbaarheid (asas Publisitas)

Asas Openbaarheid memberikan data yuridis mengenai orang-orang yang


menjadi pemegang hak, apa nama hak atas tanah serta bagaimana terjadinya
peralihan dan pembebanannya. Asas spesialitas dan asas publisitas ini dimuat
dalam suatu daftar guna dapat diketahui secara mudah oleh siapa saja yang
ingin mengetahuinya, sehingga siapa saja yang ingin mengetahui data-data baik
fisik maupun yuridis atas tanah itu tidak perlu lagi mengadakan penyelidikan
langsung ke lokasi tanah yang bersangkutan karena segala data-data tersebut
dengan mudah dapat diperoleh di Kantor Pertanahan.

Sedangkan menurut Pasal 9 PP No. 24 Tahun 1997, yang menjadi objek


pendaftaran tanah antara lain ialah:

• Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan dan hak pakai;
• Tanah hak pengelolaan;
• Tanah wakaf;
• Hak milik atas satuan rumah susun;
• Hak tanggungan;
• Tanah negara.

a. Mekanisme Pendaftaran Tanah


Kegiatan pendaftaran tanah dalam Pasal 19 Ayat (2) UUPA dijabarkan
lebih lanjut dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997,
yaitu:
1. Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali (Opzet atau Initial
Registration).

Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran


tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang
belum didaftar berdasarkan Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah
17

Nomor 24 Tahun 1997 (Sihombing, 2005). Pendaftaran tanah


pertama kali juga diartikan sebagai pendaftaran terhadap atas
tanah-tanah yang belum dilekati suatu hak (belum bersertifikat).
Pasal 11 PP No. 24 Tahun 1997 pendaftaran tanah pertama kali
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara sporadis dan
sistematis. Pendaftaran tanah pertama kali secara sporadis adalah
pendaftaran tanah yang dilaksanakan atas inisiatif perorangan,
dilakukan atas permintaan pihak yang berkepentingan dengan
biaya-biaya yang ditanggung oleh pemohon hak secara pribadi.
Pendaftaran tanah pertama kali secara sistematis adalah
Pendaftaran tanah yang didasarkan pada suatu rencana kerja dan
dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh
Menteri/Kepada Badan Pertahanan Nasional. Pelaksanaan
kegiatan pendaftaran tanah dilaksanakan atas inisiatif pemerintah
secara sistemik disertai dengan pembiayaan oleh pemerintah
(Ramadhani, 2019).

Rangkaian kegiatan pendaftaran tanah pertama kali berdasarkan


Pasal 12 ayat (1) PP 24 Tahun 1997 meliputi; 1) pengumpulan dan
pengolahan data fisik; 2) pembuktian hak dan pembukuannya; 3)
penerbitan sertipikat; 4) penyajian data fisik dan data yuridis; 5)
penyimpanan daftar umum dan dokumen.

2. Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah

Pemeliharaan data pendaftaran tanah merupakan bagian kedua


dari kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan ketentuan Pasal 11
PP 24 Tahun 1997. Pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah
pendaftaran pencatatan terhadap perbuatan ataupun peristiwa
hukum yang terjadi di atas tanah-tanah yang telah dilekati suatu
hak (sudah bersertifikat), meliputi; Pendaftaran Peralihan Hak,
18

Pendaftaran Pembebanan Hak, Pendaftaran Perubahan Data


Pendaftaran Tanah, dan Penerbitan Sertifikat Pengganti.

Kegiatan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah diharuskan


validitas data yang mutakhir (data yang sama dengan di lapangan).
Sebab-sebab terjadi perubahan data fisik dan data yuridis
dicatatkan dalam sertifikat hak atas tanah dan buku tanah.
Pemeliharaan data pendaftaran tanah dapat terjadi baik
disebabkan oleh perbuatan hukum maupun adanya peristiwa
hukum yang dibuktikan dengan surat maupun akta autentik
sebagai alas haknya.

b. Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL)


Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) pada dasarnya
merupakan salah satu bentuk kegiatan pendaftaran tanah pertama kali yang
dilakukan secara sistematis sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (1)
PP 24 Tahun 1997. PTSL adalah kegiatan Pendaftaran Tanah untuk pertama
kali yang dilakukan secara serentak bagi semua objek Pendaftaran Tanah di
seluruh wilayah Republik Indonesia dalam satu wilayah desa/kelurahan
atau nama lainnya yang setingkat dengan itu, yang meliputi pengumpulan
data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa objek Pendaftaran
Tanah untuk keperluan pendaftarannya. PTSL pertama sekali
diperkenalkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional (Kemen ATR/BPN) pada awal tahun 2017 dengan
dasar hukumnya pertama sekali dilandaskan pada Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Ka. Badan Pertanahan Nasional (Permen
ATR/Ka.BPN) Nomor 35 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Selang setahun kemudian dasar
hukum pelaksanaan PTSL diubah dengan Permen ATR/Ka. BPN Nomor 1
Tahun 2017 tentang Perubahan Peraturan Menteri Agraria dan Tata
19

Ruang/BPN Nomor 35 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan


Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Tidak lama setelah itu Permen
ATR/Ka.BPN Nomor 1 Tahun 2017 dicabut dan diberlakukan Permen
ATR/Ka.BPN Nomor 12 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap sedangkan beberapa ketentuan
Peraturan Menteri ATR/Ka BPN Nomor 35 Tahun 2016 masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Permen ATR/Ka.BPN Nomor
12 Tahun 2017.
Pada tahun 2018 Kementrian ATR/BPN kembali memperbaharui
payung hukum PTSL dengan menerbitkan Permen ATR/Ka.BPN Nomor 6
Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Saat ini yang
menjadi dasar hukum pelaksanaan PTSL adalah Permen ATR/Ka.BPN
Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Oleh
karenanya pengaplikasian PTSL secara teknis mesti didasarkan pada
ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Permen ATR/Ka.BPN Nomor
6 Tahun 2018 sebagaimana dimaksud di atas. Selain peraturan sebagaimana
dijelaskan di atas, pelaksanaan PTSL juga didasarkan pada dasar hukum
lainnya, yaitu;
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok Pokok Agraria;
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik;
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik;
4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial;
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah;
6. Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015 tentang
Kementerian Agraria dan Tata Ruang;
20

7. Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan


Pertanahan Nasional;
8. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah;
9. Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2021 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri
Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah
10. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2015 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional;
11. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 33 Tahun 2016 tentang Surveyor
Kadaster Berlisensi;
Objek pendaftaran tanah dalam kegiatan PTSL dilaksanakan terhadap
seluruh bidang tanah sebagai objek pendaftaran tanah yang berada di
seluruh wilayah Republik Indonesia. Meliputi, seluruh bidang tanah tanpa
terkecuali, baik bidang tanah yang belum ada hak atas tanahnya maupun
bidang tanah hak yang memiliki hak dalam rangka memperbaiki kualitas
data pendaftaran tanah. Objek PTSL sebagaimana dimaksud termasuk
bidang tanah yang sudah ada tanda batasnya maupun yang akan ditetapkan
tanda batasnya dalam pelaksanaan kegiatan PTSL.
Tahapan kegiatan dalam pelaksanaan PTSL yaitu sebagai berikut:
a. Perencanaan
21

Tahap perencanaan dilakukan dengan penentuan lokasi PTSL agar


memperhitungkan seluruh faktor yang menghambat dan mendukung
kelancaran kegiatan PTSL dengan memperhatikan ketentuan bahwa;
Apabila dimungkinkan penyebaran penetapan lokasi PTSL
dikonsentrasikan ke beberapa Desa/Kelurahan/Kecamatan; Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dapat melakukan
perubahan usulan penetapan lokasi penyebaran target PTSL yang
diusulkan oleh Kepala Kantor Pertanahan, apabila pada tingkat
Desa/Kelurahan/Kecamatan terjadi perubahan lokasi penyebaran target
PTSL yang dikonsentrasikan pada beberapa Kabupaten/Kota dalam
satu provinsi; Apabila dibutuhkan Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional dapat memobilisasi sumber daya manusia antar
Kabupaten/Kota di wilayah kerjanya sesuai kebutuhan.
b. Penetapan Lokasi
Kegiatan penetapan lokasi agar dilampirkan Peta Lokasi yang dipakai
sebagai Peta Kerja bagi pengumpul data fisik dan pengumpul data
yuridis. Peta Kerja memuat bidang-bidang tanah baik yang terdaftar
maupun belum terdaftar yang dilengkapi dengan identifikasi bidang-
bidang tanah. Peta Kerja dipakai sebagai dasar bersama bagi pengumpul
data fisik dan data yuridis dalam melakukan integrasi data fisik dan data
yuridis.
c. Persiapan
Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan PTSL Kepala Kantor
Pertanahan menyiapkan hal-hal seperti: Sarana dan prasarana
pelaksanaan kegiatan PTSL; Sumber daya manusia; Kebutuhan
transportasi; Koordinasi dengan aparat pemerintah lainnya; dan Alokasi
anggaran. Selain hal tersebut, Kepala Kantor Pertanahan juga haus
melakukan identifikasi tentang: Potensi K4 (berasal dari bidang-bidang
tanah terdaftar dengan kualitas data KW 4, KW 5 dan KW 6) dan
22

Potensi K1, K2 dan K3 berasal dari bidang-bidang tanah yang belum


terdaftar.
d. Pembentukan Dan Penetapan Panitia Ajudikasi PTSL dan Satuan Tugas
Selain ketentuan secara umum tentang Panitia Ajudikasi dan Satgas
Yuridis sebagaimana diatur dalam Permen ATR/BPN Nomor 6 Tahun
2018, maka ada beberapa ketentuan teknis yang diatur lain dalam
Petunjuk Teknis Bidang Yuridis sebagaimana disebutkan dalam
Petunjuk Teknis Bidang Yuridis Nomor : 1/Juknis-
100.HK.02.01/I/2022 Tahun 2022 tentang Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap.
e. Penyuluhan
Secara teknis Penyuluhan dilakukan kepada masyarakat, baik yang
sudah maupun belum memiliki sertipikat yang ada dalam 1 (satu)
Desa/Kelurahan yang ditetapkan sebagai lokasi PTSL. Penyuluhan
dapat dilakukan kepada aparat Desa/Kelurahan/ Kecamatan/Pemerintah
Daerah/aparat penegak hukum baik TNI maupun Polri dan Kejaksaan
serta tokoh-tokoh masyarakat yang ada. Penyuluhan kepada masyarakat
dapat melibatkan aparat Desa/Kelurahan/Kecamatan/ Pemerintah
Daerah/aparat penegak hukum baik TNI maupun Polri dan Kejaksaan
serta tokoh-tokoh masyarakat yang ada. Penyuluhan dapat dilakukan
lebih dari 1 (satu) kali dengan ketentuan peserta penyuluhan yang
berbeda.
f. Pengumpulan Data Yuridis untuk pembuktian hak
Pelaksana kegiatan PTSL dalam melakukan penelitian data yuridis
untuk pembuktian hak dilaksanakan sebatas pada kebenaran formal,
sedangkan kebenaran materiil akan menjadi tanggung jawab peserta
PTSL. Dalam hal bukti kepemilikan tanah yang diberikan dari peserta
tidak lengkap atau tidak ada sama sekali, maka dapat dilengkapi dan
dibuktikan dengan surat pernyataan tentang kepemilikan dan/atau
penguasaan fisik bidang tanah dengan itikad baik oleh peserta PTSL.
23

Penggunaan surat pernyataan sebagai alat bukti dalam rangka


pelaksanaan kegiatan PTSL, digunakan setelah dapat memastikan
bahwa keadaan alat buktinya yang diberikan ternyata tidak lengkap atau
tidak ada sama sekali (alternatif terakhir). Penggunaan surat pernyataan
sebagai alat bukti dalam rangka pelaksanaan kegiatan PTSL yang
sebelumnya menggunakan 1 (satu) format Surat Pernyataan Penguasaan
Fisik Bidang Tanah berdasarkan ketentuan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran VI Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran
Tanah Sistematis Lengkap, sedangkan surat pernyataan yang ada dalam
Petunjuk Teknis Bidang Yuridis PTSL ini terdapat penambahan muatan
materi sebagaimana ditentukan dalam petunjuk teknis bidang yuridis
tersebut di atas.
g. Pengumuman Data Fisik dan Data Yuridis Serta Pengesahannya
Rekapitulasi data yuridis yang sudah dituangkan di dalam Risalah
Penelitian Data Yuridis (DI 201) mengenai bidang-bidang tanah yang
sudah dipetakan, dimasukkan dalam Daftar Data Fisik dan Data Yuridis
Bidang Tanah. Untuk memenuhi asas publisitas dalam pembuktian
kepemilikan tanah, maka data fisik dan data yuridis bidang tanah serta
peta bidang-bidang tanah diumumkan dengan menggunakan format
Pengumuman Data Fisik dan Data Yuridis (DI 201 B). Proses
pengumuman data fisik dan data yuridis diberikan selama 14 (empat
belas) hari kalender yang dilaksanakan di Kantor Panitia Ajudikasi
PTSL dan Kantor Kepala Desa/Kelurahan bagi peserta PTSL yang telah
memenuhi kelengkapan data fisik dan data yuridis.
h. Penegasan Konversi, Pengakuan Hak dan Pemberian Hak Penegasan
Konversi
Tahap dilakukan apabila alat bukti kepemilikan lengkap. Pengakuan
Hak dilakukan apabila alat bukti kepemilikan dan/atau penguasaan
tidak lengkap/tidak ada sama sekali. Sedangkan Pemberian Hak
24

dilakukan apabila status tanahnya adalah tanah negara. Pemberian hak


atas tanah Negara dapat diberikan dengan berpedoman pada Pasal 26
huruf c dan Pasal 27 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2018 jo Pasal 66 Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997.
i. Penyelesaian Kegiatan PTSL
Penyelesaian Kegiatan PTSL di kelompokkan menjadi sebuah
Klusterisasi atau pengelompokan jenis keluaran/output/hasil kegiatan
PTSL berdasarkan hasil penelitian terhadap data/ dokumen fisik dan
yuridis yang terdiri dari Kluster 1 (K1), Kluster 2 (K2), Kluster 3 (K3)
dan Kluster 4 (K4).
j. Pendokumentasian dan Penyerahan Hasil Kegiatan
Panitia Ajudikasi PTSL melakukan pengumpulan, pengelompokan,
pengolahan, penyimpanan, dan penyerahan data PTSL yang meliputi:
Dokumen data yuridis yang terdiri dari identitas pemegang hak, alas
hak/surat pernyataan, berita acara yang dibuat panitia, bukti
pengumuman, berita acara pengesahan data fisik dan data yuridis serta
penetapan keputusan pemberian hak atas tanah; Dokumen data fisik
yang terdiri dari data pengukuran dan perhitungan hasil pengukuran,
Surat Ukur, Gambar Ukur dan Peta Bidang Tanah; Daftar Isian
pendaftaran tanah dan hak atas tanah; Buku Tanah; Sertipikat hak atas
tanah; Bukti-bukti administrasi keuangan; dan Data administrasi
lainnya.
k. Pelaporan
Pelaporan hasil kegiatan PTSL dilaksanakan pada saat: Khusus untuk
pengumpulan data yuridis, dilaporkan juga saat pelaksanaan PTSL
berjalan yang dilakukan secara berkala yaitu harian, mingguan dan
bulanan; Terjadi permasalahan dalam pelaksanaan kegiatan PTSL;
Pelaporan pada saat terjadi permasalahan dalam pelaksanaan kegiatan
25

PTSL dilakukan oleh Ketua Panitia Ajudikasi PTSL kepada Kepala


Kantor Pertanahan c.q. Direktur Jenderal Hubungan Hukum
Keagrariaan dan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional.
PTSL dilaksanakan oleh Panitia Ajudikasi yang ditunjuk dan diangkat
berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan terdiri atas:
a. Ketua merangkap anggota, yang dijabat oleh pegawai Kantor
Pertanahan;
b. Wakil Ketua bidang fisik merangkap anggota, yang dijabat oleh
pegawai Kantor Pertanahan yang memahami urusan infrastruktur
pertanahan;
c. Wakil Ketua bidang yuridis merangkap anggota, yang dijabat oleh
pegawai Kantor Pertanahan yang memahami urusan hubungan hukum
pertanahan;
d. Sekretaris, yang dijabat oleh pegawai Kantor Pertanahan;
e. Kepala Desa/Kelurahan setempat atau Pamong Desa/Kelurahan yang
ditunjuknya; dan
f. Anggota dari unsur Kantor Pertanahan, sesuai kebutuhan
Panitia Ajudikasi PTSL sebagaimana disebutkan di atas dibantu oleh
Satgas Fisik, Satgas Yuridis dan Satgas Administrasi.

2. Asas Kontradiktur Delimitasi.


a. Pengertian

Asas kontradiktur delimitasi ini wajib dilaksanakan oleh pemohon (pemilik


tanah) sebelum petugas ukur Badan Pertanahan Nasional melakukan
pengukuran, dengan mendatangkan pihak-pihak yang berbatasan dengan tanah
pemilik tanah dan pemohon juga menunjukkan batas-batas tanahnya sekaligus
memasang tanda-tanda batas pada batas yang telah disepakati. Dengan
diberlakukannya asas ini maka proses penetapan batas bidang tanah harus dapat
26

dibuktikan dengan adanya Surat Pernyataan yang ditanda tangani pemilik tanah
dan pemilik tanah yang berbatasan dan oleh Kepala Desa /Kelurahan.

Asas kontradiktur delimitasi ini wajib dilaksanakan oleh pemohon (pemilik


tanah) sebelum petugas ukur Badan Pertanahan Nasional melakukan
pengukuran, dengan mendatangkan pihak-pihak yang berbatasan dengan tanah
pemilik tanah dan pemohon juga menunjukkan batas-batas tanahnya sekaligus
memasang tanda-tanda batas pada batas yang telah disepakati. Dengan
diberlakukannya asas ini maka proses penetapan batas bidang tanah harus dapat
dibuktikan dengan adanya Surat Pernyataan yang ditandatangani pemilik tanah
dan pemilik tanah yang berbatasan dan oleh Kepala Desa /Kelurahan.

Asas ini dilaksanakan dalam setiap pendaftaran tanah agar bidang tanah yang
sudah diukur dan dipetakan dengan tujuan di kemudian hari tidak terjadi
perselisihan atau sengketa mengenai batas-batasnya sehingga tanah tersebut
aman dari sanggahan mengenai batas-batas yang telah ditetapkan. Hal ini tentu
dapat terwujud bila dalam pelaksanaan pengukuran pemilik bidang tanah yang
berbatasan hadir di lokasi pengukuran atau terjadi kesepakatan dalam
pemasangan tanda batas.

Asas kontradiktur delimitasi ini dapat dibuktikan dengan cara menandatangani


Surat Pernyataan oleh pemilik tanah dan para pemilik tanah yang berbatasan
dari sebelah utara, sebelah timur, sebelah selatan, sebelah barat dan oleh Kepala
Desa /Kelurahan. Pada saat yang sama kontradiktur ini disepakati pula pada
Daftar Isian 201 yang disediakan oleh Kantor Pertanahan, bukti tertulis ini
menjadi syarat untuk mengajukan pengukuran atau penetapan batas bidang
tanah tersebut ke Kantor Pertanahan dan, Kantor Pertanahan tidak akan
menerima permohonan pengukuran jika patok tanda batas yang dipasang belum
memenuhi asas kontradiktur, seperti patok yang terbuat dari pipa besi / pipa
paralon / kayu / tugu beton / atau tembok (Arianto, 2019).
27

Penerapan Asas kontradiktur delimitasi tentunya akan berjalan lancar apabila


pada saat pelaksanaan pengukuran batas-batas bidang tanah, pihak-pihak terkait
dapat hadir di lokasi tercapai kata sepakat antara pemilik bidang tanah yang
bersebelahan mengenai batas-batas dimaksud. Selain itu dengan kepatuhan
terhadap asas ini maka secara tidak langsung akan menjadi antisipasi terhadap
sengketa dan konflik karena batas bidang tanah pada sertipikat dibangun atas
dasar keputusan yang disepakati bersama oleh pihak-pihak yang
berkepentingan tanpa ada paksaan dan tekanan dari luar. Keputusan yang
diambil harus melalui jalan musyawarah yang menjamin bahwa keputusan yang
diambil cukup adil dan bijaksana serta tidak menimbulkan kerugian bagi salah
satu pihak.

Pada setiap penetapan batas di lapangan seharusnya dihadiri oleh pemilik tanah
dan para pemilik tanah yang berbatasan. Namun ada kalanya pihak yang
tanahnya berbatasan tidak dapat hadir karena tinggal di luar kota atau bahkan
diluar negeri. Pemilik tanah tidak dapat menghubungi pihak yang berbatasan,
sementara aparat desa pun juga tidak mengetahui secara pasti batas tanah
tersebut. Hal ini juga menghalangi penerapan asas Kontradiktur Delimitasi.
Permasalahan lain yang juga terjadi pada saat penetapan batas di lapangan,
yaitu kedua belah pihak hadir bersama-sama menetapkan batas. Akan tetapi
pada saat penetapan batas antara kedua belah pihak tidak terjadi kata sepakat
mengenai batas bidang tanah. Kedua belah pihak tidak ada yang mau mengalah
satu sama lain. Dengan situasi tersebut maka asas Kontradiktur Delimitasi tidak
dapat terlaksana sehingga proses pendaftaran tanah sistematis lengkap menjadi
terhambat (Arief, 2018). Tidak berjalannya asas ini akan mengakibatkan
banyak terjadi permasalahan/sengketa pertanahan, yang salah satunya
indikator-nya dapat dilihat dari banyaknya permohonan blokir sertipikat tanah
di BPN.

b. Landasan Hukum
28

Ketentuan mengenai pelaksanaan asas contradictoire delimitatie terdapat


dalam yaitu PP 24 Tahun 1997 Pasal 17, 18 dan 19. Ketentuan Pelaksanaan
Pendaftaran Tanah diatur dalam PMNA No. 3 Tahun 1997, asas contradictoire
delimitatie ini wajib dilaksanakan oleh pemohon (pemilik tanah) sebelum
petugas ukur Badan Pertanahan Nasional melakukan pengukuran, dengan
mendatangkan pihak-pihak yang berbatasan langsung dengan tanah yang
dimiliki oleh pemilik tanah, lalu juga menghadirkan perangkat desa dan
pemohon juga menunjukkan batas-batas tanahnya miliknya dan sekaligus
memasang tanda-tanda batas pada batas yang telah disepakati.
Menurut PMNA No. 3 Tahun 1997 pada Pasal 19 disebutkan bahwa
penetapan batas bidang tanah dilakukan oleh Panitia Ajudikasi dalam
pendaftaran tanah secara sistematik, dan oleh Kepala Kantor Pertanahan atau
pegawai kantor pertanahan yang ditugaskan dalam pendaftaran tanah secara
sporadik. Menurut Pasal 18 ayat (1) penetapan batas bidang tanah yang sudah
dipunyai dengan suatu hak yang belum terdaftar atau sudah terdaftar tetapi
belum ada surat ukur/gambar situasinya atau surat ukur/gambar ukur yang
sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sebenarnya, dilakukan oleh Panitia
Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sporadik, berdasarkan penunjukan
batas oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan sedapat mungkin
disetujui oleh para pemegang hak atas tanah yang berbatasan. Pasal 18 ayat (4)
disebutkan bahwa persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)
dituangkan dalam suatu berita acara yang ditandatangani oleh mereka yang
memberikan persetujuan. Selain PP 24 Tahun 1997 yang membahas tentang
penetapan batas bidang tanah, ada juga PMNA No. 3 Tahun 1997 Pasal 57 yang
menyebutkan bahwa apabila pengukuran bidang-bidang tanah dilaksanakan
oleh pegawai BPN, penetapan batas dilakukan oleh Satgas pengukuran dan
pemetaan atas nama Ketua Panitia Ajudikasi. Apabila pengukuran bidang-
bidang tanah dilaksanakan oleh Pihak Ketiga, penetapan batas bidang tanah
dilaksanakan oleh Satgas Pengumpul Data Yuridis atas nama Panitia Ajudikasi.
Menurut PMNA No.3 Tahun 1997 pada Pasal 58 menyebutkan setelah
29

penetapan batas dan pemasangan tanda-tanda batas selesai dilaksanakan, maka


dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah. Sesuai
dengan PP No.24 Tahun 1997, PMNA No.3 tahun 1997 dan Permen ATR/BPN
No.6 Tahun 2018 menyebutkan bahwa Panitia Ajudikasi dibantu oleh Satgas
Fisik, Satgas Yuridis dan Satgas Administrasi (Dedy dkk., 2020).
Pada perkembangannya, PMNA No. 3 Tahun 1997 diperbarui hingga tiga kali.
Perubahan yang ketiga tercantum dalam Peraturan Menteri Agraria Dan Tata
Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2021. Pada perubahan dalam peraturan Menteri ini, di antara Pasal 19
dan Pasal 20 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 19A, Pasal 19B, Pasal 19C
dan Pasal 19D.
Pasal 19A dan Pasal 19B masing-masing berbunyi:
Pasal 19A
(1) Pemasangan tanda batas dilakukan oleh pemohon setelah mendapat
persetujuan pemilik yang berbatasan.
(2) Dalam rangka pemasangan tanda batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pemotretan terhadap tanda batas yang terpasang dengan dilengkapi
keterangan lokasi, koordinat atau geotagging.
(3) Pemasangan tanda batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
pemeliharaannya menjadi tanggung jawab pemohon.
(4) Pemasangan tanda batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan
dalam Surat Pernyataan Pemasangan Tanda Batas dan Persetujuan Pemilik
yang Berbatasan.
(5) Hasil pemotretan tanda batas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Surat
Pernyataan Pemasangan Tanda Batas dan Persetujuan Pemilik yang Berbatasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi syarat kelengkapan berkas
permohonan.
(6) Surat Pernyataan Pemasangan Tanda Batas dan Persetujuan Pemilik yang
Berbatasan dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 19B
(1) Penetapan batas dilakukan oleh petugas ukur berdasarkan Surat Pernyataan
Pemasangan Tanda Batas dan Persetujuan Pemilik yang Berbatasan.
(2) Penetapan batas dilakukan pada lokasi bidang tanah yang akan diukur
dengan ketentuan:
a. petugas ukur membacakan Surat Pernyataan Pemasangan Tanda Batas dan
Persetujuan Pemilik yang Berbatasan di hadapan pemohon atau Pihak Yang
Berkepentingan; dan
30

b. pemohon menunjukkan batas bidang tanah yang dimohon.


(3) Dalam hal penetapan batas dilakukan sekaligus dengan penataan batas maka
hasil penataan batas dituangkan dalam Berita Acara Penataan Batas (d.i. 201A)
yang disetujui oleh Pemegang Hak yang bersangkutan dan pemilik yang
berbatasan.

Berdasarkan Permen ini (Pasal 19A dan 19B), maka penetapan batas dapat
dilakukan oleh petugas ukur jika syarat yang diwajibkan terpenuhi, yaitu adanya
Surat Pernyataan Pemasangan Tanda Batas dan Persetujuan Pemilik yang
Berbatasan. Hasil penetapan batas menjadi bagian dari data di dalam Gambar
Ukur.

C. Kerangka Berpikir
31

PREMIS MAYOR
Asas Kontradiktur Delimitasi,
Aturan Normatif Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap

FAKTA HUKUM
1. Peraturan terkait PTSL yang
terus diperbarui tiap tahun.
Aturan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap 2. Penetapan batas dalam
Pelaksanaan Pendaftaran Tanah
• PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di
Kabupaten Sleman.
• PMNAGR No. 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah dan perubahannya.
• Permen ATR/Kepala BPN No. 6 Tahun
2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap
• Petunjuk Teknis Pendaftaran Tanah PREMIS MINOR
Sistematis Lengkap Nomor 1/Juknis- 1. Apakah peraturan perundang-undangan
100.HK.02.01/I/2022 Tahun 2022. sudah dapat mewujudkan Asas
Kontradiktur Delimitasi dalam
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
(PTSL)?
2. Apakah pelaksanaan Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap (PTSL) di Kabupaten
Sleman sudah berdasarkan Asas
Kontradiktur Delimitasi?

SIMPULAN
1. Peraturan perundang-undangan sudah atau tidak
dapat mewujudkan Asas Kontradiktur Delimitasi
dalam Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
(PTSL)
2. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap (PTSL) di Kabupaten Sleman sudah
atau belum berdasarkan Asas Kontradiktur
Delimitasi
3.
32

Keterangan:

Tujuan utama dari pendaftaran tanah adalah untuk memberikan jaminan kepastian
hukum terhadap hak atas tanah baik subjek dan objeknya. Tujuan ini harus dicapai
dalam setiap kegiatan pendaftaran tanah. Ketika tujuan utama itu tidak terlaksana
secara praktis, maka tidak ada lagi fungsi utama dari pendaftaran tanah. Oleh karena
itu, meskipun dilakukan percepatan pelaksanaan PTSL dengan maksud untuk
menyelesaikan pendaftaran tanah bagi semua bidang tanah di Indonesia pada tahun
2025, seluruh pelaksanaan harus benar-benar terselenggarakan sepatutnya dalam setiap
aturan pelaksanaan PTSL termasuk dalam tahap penetapan batas yang berasaskan
kontradiktur delimitasi. Sehingga produk akhirnya, yakni sertifikat tanah, tidak akan
mengandung potensi untuk dipermasalahkan sebagai alat bukti pemilikan tanah.
Namun demikian, dalam kenyataannya, aturan pelaksanaan perundang-undangan
mengenai PTSL belum sepenuhnya dipatuhi oleh masyarakat dan pihak yang terlibat
dalam pelaksanaan PTSL. Para pejabat dan petugas yang melaksanakan PTSL juga
belum sepenuhnya dalam melaksanakan PTSL sesuai aturan yang menjadi standar
operasional PTSL demi mengejar target penyelesaian PTSL. Oleh sebab itu, penulis
akan memakai Teori, Asas Kontradiktur Delimitasi, serta aturan terkait Pendaftaran
Tanah Sistematis Lengkap yang akan dijadikan pedoman dan alat untuk menganalisis
pelaksanaan penetapan batas dalam PTSL.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Karakteristik Penelitian

Karakteristik penelitian yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah


penelitian doktrinal atau normatif. Menurut Peter Mahmud Marzuki, Semua
penelitian yang berkaitan dengan hukum (legal research) adalah selalu normatif.
Penelitian normatif dapat disebut juga sebagai penelitian doktrinal karena bahan
hukum yang dijadikan referensi adalah bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder (Marzuki, 2011:55-56).

B. Pendekatan penelitian

Penelitian hukum normatif memiliki beberapa pendekatan. Menurut Peter


Mahmud Marzuki, terdapat lima pendekatan yang dapat digunakan dalam
penelitian ini, yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan
kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan
komparatif (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conseptual
approach) (Marzuki, 2006).
Dalam penelitian hukum ini, peneliti dapat mengidentifikasi bahwa pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan undang-undang yang digunakan, khususnya
undang-undang terkait Pendaftaran Tanah serta Percepatan PTSL. Dalam
menerapkan pendekatan konseptual, peneliti perlu merujuk pada prinsip-prinsip
hukum. Prinsip-prinsip ini dapat ditemukan dalam ajaran-ajaran, maupun
pandangan sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum (Marzuki, 2006).
Dalam hal ini, pendekatan konseptual digunakan karena diperlukannya sebuah
pandangan konseptual baik secara holistik maupun komprehensif yang merujuk
pada doktrin dan pandangan sarjana, terutama pada konsep asas kontradiktur

33
34

delimitasi yang akan digunakan sebagai acuan dalam menilai suatu kebijakan dan
peraturan terkait penetapan batas dalam program PTSL di Kabupaten Sleman.

C. Jenis dan Sumber Data (Bahan Hukum)

Jenis bahan hukum dapat dibagi menjadi bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tertier. Penelitian ini merupakan penelitian yang
berdasarkan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan tertier.
a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif berupa
peraturan perundang-undangan (Marzuki, 2006). Peraturan perundang-undangan
yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan
dengan penelitian yang dilakukan. Bahan Hukum Primer yang dipakai dalam
penelitian ini adalah:

1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


2) Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (UUPA)
3) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
4) PP No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan
Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah
5) Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah
6) Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2021 Tentang Perubahan
Ketiga Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
35

7) Permen ATR/Kepala BPN No. 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah


Sistematis Lengkap
8) Petunjuk Teknis Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Nomor 1/Juknis-
100.HK.02.01/I/2022 Tahun 2022.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang memberikan kejelasan


mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang
digunakan meliputi:

1) Buku-buku yang berkaitan dengan Asas Kontradiktur Delimitasi, Pendaftaran


Tanah, dan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL);

2) Jurnal ilmiah yang berkaitan dengan Asas Kontradiktur Delimitasi, Pendaftaran


Tanah, dan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL);

3) Penelitian berupa skripsi, tesis atau disertasi yang berkaitan dengan penelitian
ini;

4) Makalah, Artikel Ilmiah, Majalah, Laporan Penelitian Hukum;

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang merupakan pelengkap yang sifatnya
memberikan petunjuk atau penjelasan tambahan terhadap bahan hukum primer
dan sekunder. Dalam penelitian ini, bahan hukum tertier yang digunakan penulis
adalah situs web internet yang terkait dengan isu pendaftaran tanah sistematis
lengkap.

D. Teknik/instrumen Pengumpulan data


36

Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum


penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan. Peneliti mengumpulkan bahan
hukum sekunder yang berhubungan dengan masalah yang diteliti yang selanjutnya
dipelajari, diklarifikasi, dan dianalisis sebagai bahan hukum penunjang di dalam
penelitian ini.
Penelitian normatif atau kepustakaan sebenarnya dapat berdiri sendiri tanpa
disertai dengan penelitian lapangan. Penelitian akan tetapi, penelitian kepustakaan
dapat pula menyertakan penelitian lapangan (Mertokusumo, 2020). Untuk
menguatkan pemahaman terhadap maksud dan tujuan aturan perundang-
undangan, aturan kebijakan, atau keputusan yang ada, serta memahami berbagai
kendala yang dihadapi dalam menerapkan asas kontradiktur delimitasi dalam
pelaksanaan PTSL, peneliti juga akan melakukan wawancara dengan para petugas
yang bertugas di wilayah Kabupaten Sleman, seperti:
1) Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran
Tanah, serta Koordinator tugas yang menangani PTSL;
2) Camat dan/atau PPAT di wilayah pelaksanaan PTSL;
3) Lurah Desa pelaksanaan PTSL.

E. Analisis Data

Untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian tesis ini, adapun metode analisis
bahan hukum yang digunakan ialah metode silogisme deduksi dan metode interpretasi.
Metode silogisme deduksi dilakukan dengan cara berfikir pada prinsip-prinsip dasar,
kemudian penelitian menghadirkan objek yang akan diteliti dalam upaya menarik
kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus (Marzuki, 2017). Metode
interpretasi dilakukan untuk memahami makna yang terkandung di dalam teks-teks
hukum dan merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan
mengenai teks Undang-undang agar ruang lingkup kaedah tersebut diterapkan kepada
peristiwanya.
DAFTAR PUSTAKA

Anggono, S. (2019). Pelaksanaan Asas Kontradiktur Delimitasi Dalam Proses


Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (Studi Kasus di Kantor Pertanahan
Kabupaten Boyolali). Dinamika Hukum, 10(1), 203–217.
Apriani, D., & Bur, A. (2020). Kepastian Hukum Dan Perlindungan Hukum Dalam
Sistem Publikasi Pendaftaran Tanah Di Indonesia. Jurnal Bina Mulia Hukum,
5(2), 220–239. https://doi.org/10.23920/jbmh.v5i2.11
Arianto, T. (2019). MODUL TEORI Pendaftaran Tanah. www.stpn.ac.id
Arief, A. (2018). Pelaksanaan Asas Kontradiktur Delimitasi Dalam Proses
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Jurisprudentie, 5, 206–215.
Arifin, Z. (2010). Dasar-Dasar Penulisan Karya Ilmiah. Grasindo.
Dedy, S., Irawan, D., & Wulansari, H. (2020). Pengukuran Pihak Ketiga Pasca Asas
Contradictoire Delimitatie Di Kabupaten Sidoarjo Dan Pasuruan. Dalam Jurnal
Tunas Agraria (Vol. 3, Nomor 2).
Fuller, L. (1964). The Morality of Law. Yale University Press.
Handoko, W. (2014). Kebijakan Hukum Pertanahan Sebuah Refleksi Keadilan
Hukum Progresif. Thafa Media.
Harsono, B. (2005). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Djambatan.
Harsono, B. (2008). Hukum Agraria Indonesia ”Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya". Djambatan.
Marzuki, P. M. (2006). Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group.
Mertokusumo, S. (2020). Penelitian Hukum. Maha Karya Pustaka.
Ramadhani, R. (2019). Buku Ajar: Hukum Agraria (Suatu Pengantar).
Saena, H. (2018). Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) Di
Kabupaten Sleman Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2017. Universitas Islam
Indonesia.
Santoso, U. (2011). Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah. Kencana Prenada
Media.

37
38

Sihombing, B. F. (2005). Evolusi Kebijakan pertanahan dalam Hukum Tanah


Indonesia. Toko Gunung Agung.
Thea, A. (2022, Oktober). Guru Besar UGM Beberkan Persoalan PTSL Terkait
Tanah Ulayat. https://www.hukumonline.com/.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar


Pokok-Pokok Agraria

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak


Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2020 Tentang Badan


Pertanahan Nasional

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun


1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
6 Tahun 2018 Tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2021 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah

Anda mungkin juga menyukai