Anda di halaman 1dari 30

BAB VII

MENGAPA UNDANG-UNDANG DASARPERLU DIUBAH19

A. Masalah Yuridis dan Politis

Akhir-akhir ini, terutama di era reformasi masyarakat bergemuruhmenggaungkan tuntutan


perubahan UUD 1945, dengan berbagaiargumentasi. Ada alasan substansial, ada historis, ada
juridis, adaalasan politik, dan alasan lain-lain. Pokoknya masing-masing menurutversinya,
baik versi yang sifatnya individual maupun menurut kepen-tingan kelompok politik.

Gemuruh aspirasi dan kepentingan politik yang demikian sebe-narnya adalah hal lumrah di
negara-negara yang makin berkembangpengalaman politiknya, begitu di Amerika Serikat,
juga di Eropa dan dinegara-negara di Asia selain Indonesia.

Menurut pengalaman Indonesia, soal perubahan UUD itu masihdianggap sebagai terobosan
luar biasa, karena bangsa ini belumbanyak mengalami yang namanya amandemen terhadap
pasal-pasalUUD.Yang pernah itu, ialah pindah total dari satu perumahan UUD keUUD
lainnya, yakni dari UUD 1945 ke Konstitusi RIS 1949, kemudianke UUDS 1950, lalu
kembali lagi ke UUD 1945, tanpa perubahan padaaspek ideologi dan tujuan nasional. Yang
jelas sebagai perubahan itu,ialah mengenai sistem pemerintahan (presidensial atau
ministerial),dan mengenai susunan negara, yakni negara kesatuan ataukah negaraserikat.
Sedang mengenai bentuk negara adalah tetap bertahan denganbentuk "republik", semenjak
tahun 1945 sampai sekarang.

Menanggapi gemuruh tuntutan perubahan UUD itu, saya inginkemukakan 2 (dua) buah
pertanyaan yang berbeda stellingnya, yaitu:

1. Apakah boleh atau dapatkah UUD 1945 itu diubah?

2. Apakah perlu UUD 1945 itudiubah?

Pertanyaan yang pertama, adalah pertanyaan juridis (masalahhukum),yang mempertanyakan,


apakah ada dasar hukum untukmerubah UUD itu, sedangkan pertanyaan yang kedua adalah
perta-nyaan politis, yang mempertanyakan apakah dinilai ada kepentingannasional untuk
merubah UUD itu.
Untuk pertanyaan yang pertama, jawabannya ialah bahwa UUD1945 itu boleh dan dapat
diubah, dasar hukumnya ialah pasal 37 UUD1945 itu.Justru pasal 37 ini memberikan dua
macam quorum, pertamaquorum untuk dapat dimulainya sidang MPR untuk membahas
masalahperubahannya, dan yang kedua ialah quorum untuk mengambil kepu-tusan buat
menetapkan materi perubahan itu sendiri di era OrdeBaru dan Era Reformasi.

Adapun UU tentang referendum produk rejim Orde Baru adalahketentuan hukum yang
mengamankan kebijakan politis agar peluangyang dibuka oleh pasal 37 UUD 1945 itu tidak
dapat dipergunakan,karena peraturan referendum itu cukup ketat, mulai dari pengha-dangan
agar usul untuk mengagendakan perubahan itu gagal masukmenjadi acara rapat-rapat di MPR
dan juga jangan sampai sesuatuusul perubahan itu disetujui oleh MPR.

Di era reformasi ini,perundang-undangan yang mengatur kehi-dupan politik telah direvisi,


bahkan suara-suara menuntut revisi UUD1945 makin santer adanya.

Setelah jelas tentang persoalan pertama bahwa UUD itu dapatdan boleh diubah serta ada
dasar hukumnya.Persoalan kedua apakahmemang sudah cukup alasan politis dalam arti telah
adanya kepen-tingan nasional yang dinilai cukup urgen untuk merubah UUD itu.

Kepentingan nasional yang bernuansa kebijakan politis inimasih dapat dipilah sebagai
berikut:

1. Kepentingan mengenai susunan negara dan bentuk pemerin-tahannya, antara lain


keinginan politik, apakah negara tetapdengan susunan negara kesatuan
(eenhedsstaat,Unitarian state),dan ingin merubah negara serikat (federal state,
federatiestaat).
2. Kepentingan mengenai lembaga-lembaga negara yang seyo-gianya adalah dan dinilai
lebih tepat untuk distrukturkan untukmemikul beban-beban pemerintahan, diperingkat
Pusat maupunDaerah.
3. Kepentingan mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajibankonstitusional warga
negara, rakyat negara dan pendu-duk negara, dalam hubungan antarsesama warga itu,
dan atauantara warga dan pihak Pemerintah, yang bermakna perlindunganhak-hak
asasi warga sekaligus pembatasan kekuatan Pemerintahagar tidak menjurus ke sistem
diktator atau pemerintahan otoriter. Kepentingan-kepentingan itu dapat dikualifikasi
sebagai bersifatnasional jika didukung oleh aspirasi mayoritas warga negara ini.

B. Negara Kesatuan atau Negara Serikat


Sampai hari ini, masalah ini masih menjadi bahan dispute, hujjah,dan perdebatan,
masing-masing menurut argumentasinya. Diperde-batkan, oleh satu pandangan bahwa
sila persatuan dalam Pancasilatidak mengharuskan adanya susunan negara kesatuan,
karena soalpersatuan adalah soal prinsip atau asas bernegara,berbangsa,
danbermasyarakat, sedangkan soal negara kesatuan adalah soal pilihanatau opsi mengenai
format struktur organisasi kenegaraan itu. Pihak ini, mendasarkan pendapatnya pula,
bahwa kita pernahdengan negara serikat di zaman RIS toh juga dengan ideologi Panca-
sila yang mengenal asas persatuan ini. Tapi mungkin pihak ini lupabahwa pola RIS ini
adalah pola yang diintrodusir siasat politik Belandauntuk mengamankan negara-negara
bagian bekas bikinannya yangsemula adalah anggota-anggota BFO (Bijeenkomst Voor
FederalOverleg) di bawah pengaruh dan kepentingan Nederland.Ternyatapola RISinipun
hanya berusia lebih kurang delapan bulan (antara 27Desember 1949 sampai 17 Agustus
1950) dan bahwa banyak negara-negara bagian itu menggabungkan diri langsung kembali
kepada RIyang waktu itu merupakan salah satu dari negara-negara bagian didalam RIS
itu, kecuali Negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia

Timur yang bergabung melalui perantaraan oleh Pemerintah RIS, untuk kemudian masuk
ke dalam RI Kesatuan di bawah UUDS 1950. Amerika Serikat menjadi negara serikat
(USA) adalah lebih dulu Malaysia menjadi negara serikat didorong oleh kepentingan
penguasa setelah mengalami buruk baik dan model konfederasi (confederation).penguasa
feudal yang ingin melanjutkan sistem monarki di negaranya. Jerman menjadi Federasi
adalah produk pengalaman politik seusai

Perang Dunia, dan setelah mengalami pahit getir pernahnya terbelah menjadi Jerman
Timur dan Jerman Barat sebagai efek bipolarisme. Pokoknya masing-masing federasi
berdasarkan pengalaman sebelumnya, yang akhirnya pilihan itu secara internal dari pihak
bangsa itu

sendiri, bukan diintrodusir oleh bangsa lain dari luar. Disimpulkan dari contoh-contoh
perbandingan itu, ada dua syarat yang menonjol, yaitu:

1. Hasrat berfederasi (negara serikat) itu muncul secara internal dan merupakan
kesepakatan dan konsensus nasional.

2. Hasrat berfederasi itu muncul berkat pengalaman yang cukup lama dan matang dan
akhirnya menjatuhkan pilihan kepada pola
federasi sebagai pola yang dinilai bangsa itu sebagai yang terbaik dan menjanjikan
kebahagiaan dan kesejahteraan. Adalah menjadi catatan, bahwa sampai sekarang ini
perihal

"persatuan" sebagai asas kenegaraan dan "negara kesatuan" sebagai pola struktur
organisasi kenegaraan, masih tetap menjadi bahan diskusi.

Saya ingin menyatakan pandangan ke depan, bahwa apakah bangsa ini akan tiba juga
pada susunan negara serikat itu, seyogianya lebih dulu mematangkan pengalaman dengan
jalan menerapkan lebih dulu secara tuntas (completely, kaaffah) semua prinsip-prinsip
bernegara

sebagai negara kesatuan itu, termasuk hubungan yang wajar, adil dan demokratis antara
kekuasaan Pihak Pusat dan Daerah, perimbangan keuangan di antara keduanya dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya, dengan perlindungan hak-hak asasi yang benar-benar
solid, penegakan hukum yang serius oleh semua aparat dan masyarakat sendiri, dan

terhindarnya kekuasaan absolut, diktator, dan otoriter. Diharapkan, tidak berulang


pengalaman yang lalu, di mana terjadi pergeseran dari bentuk republik menjadi monarki
terselubung, yang mengakibatkan tidak ada praktek kesungguhan menegakkan dan
mengamalkan prinsip-prinsip yang sesungguhnya dari model negara kesatuan, negara
hukum yang demokratis sesuai dengan tuntutan UUD 1945 itu .

Sebagai akibat dari terpasungnya nilai-nilai dan asas-asas demokrasi di berbagai bidang
kehidupan bernegara itu, maka lewat gerakan

yang digelar sebagai reformasi, bangsa ini melakukan sikap banting setir dan ingin
merombak total sistem kenegaraan itu melalui perubahan UUD.

Sekiranya sejak dini, secara konsekuen dilaksanakan prinsip- prinsip negara kesatuan
sebagai republik yang demokratis dengan sistem pemerintahan presidensial itu, saya
yakin tidak akan seperti sekarang ini gencarnya gempuran terhadap UUD itu, dan
sebenarnya

yang seharusnya menjadi sasaran gempuran itu adalah manusia penguasa yang tadinya
menyerimpungkan pelaksanaan UUD itu, bukan UUD itu sendiri. Saya menilai bahwa
budaya politik yang mendasari pelaksanaan sistem pemerintahan itu, termasuk cara kerja
birokrasinya, tidak konsisten menurut stipulasi dan amanat kerakyatan yang dikehendaki
UUD itu. Dengan kata lain, paradigma-paradigma yang hakiki yang dianut UUD itu
sendiri tidak konsekuen dijalankan, padahal UUD 1945 itu sendiri mempunyai anutan
paradigma kerakyatan dan kemanusiaan yang menuntut rasa tanggung jawab antarsesama
warga bangsa ini dan juga tanggung jawab kepada Tuhan. Jika bangsa ini masih sudi
dengan pikiran lebih jernih mencoba ulang pelaksanaan yang benar-benar konsisten dan
konsekuen semua nilai-nilai filosofis, semua prinsip pemerintahan menurut UUD itu
secara

tuntas, mudah-mudahan pengalaman-pengalaman yang cukup matang itulah akan


menjawab secara tepat, apakah UUD 1945 itu secara menyeluruh dan apakah pola negara
kesatuan itu secara khusus, masih dinilai dan dipandang sesuai untuk dilanjutkan atau
tidak.

Tanpa kematangan pengalaman seperti itu lebih dulu, saya khawatir bangsa ini akan terus
berputar-putar dalam metode uji coba dan gonta-ganti UUD, gonta-ganti model
pemerintahan dan birokrasinya, gonta-ganti sistem pemerintahan daerahnya, dan tidak
kunjung berhasil meletakkan dasar yang benar-benar ampuh, pasti dan teruji untuk
mengembangkan kehidupan bernegara selanjutnya, yang akan diwariskan kepada
generasi penerus kita.

Saya tidak apriori, dan tidak berpretensi untuk mengkramatkan atau mendewa-dewakan
UUD, karena justru saya berprinsip bahwa UUD-lah sebagai alat dan instrumen bagi
manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya, bukan manusia dikorbankan untuk
supremasi dan pengkramatan UUD. Soal yang pokok, ialah apakah sudah benar-benar
tuntas pelaksanaan UUD itu selama waktu yang lalu ini, atau manusia-manusia
penguasanya yang menyerimpungkan pelaksanaan UUD itulah yang layak dituding,
bukan UUD-nya.

Atau bangsa ini mungkin memiliki "budaya politik lekas bosan terhadap sesuatu pola atau
konsep, dan cenderung gonta-ganti konsep, sebelum tuntas merealisir konsep yang
diberlakukannya sendiri".

Amerika Serikat sudah lebih dari 200 tahun (bicentennial) dengan UUD-nya,
diterapkannya sesuai dengan tuntutan perkembangan, diamandirnya sesuai selera politik
bangsa itu dari masa ke masa, tetapi dengan syarat berlakunya pengalaman praktek
kenegaraan yang benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip utama dalam UUD mereka,
dalam kurun waktu yang lama, dengan pengalaman yang cukup matang, pendidikan dan
kesadaran politik yang secara merata serta keyakinan akan fungsi yang hakiki dari
konstitusinya, baik dikalangan penguasa maupun rakyatnya. Begitulah pola
perkembangan konstitusionalisme yang berjalan di Amerika Serikat itu, sebagai sampel,
terlepas dari setuju atau tidaknya kita terhadap nilai-nilai budaya politik yang mereka
anut.

Konstitusionalisme yang saya maksud, bukanlah "konstitusi" an-sih, tetapi tekanannya


ialah pada ism, isme, paham dan pandangan serta aspirasi kenegaraan yang meliputi
semua dimensi kenegaraan, baik yang filosofis, maupun struktur organisasinya dan ide
serta tujuan operasional kehidupan bernegara itu.

c. Indonesia Kedepan: Mencari Format Konstitusionalisme yang Pasti


Jika tidak keliru menilai situasi masa kini, saya melihat bahwa bangsa Indonesia itu
sedang tercari-cari kembali suatu format konstitusionalisme bagi dirinya sendiri,
untuk ditetapkan dan dikembangkan buat masa yang akan datang, sebagai landasan
konstitusional kehidupan bernegara. Yang menjadi sasaran utama perhatian saya itu,
ialah apakah sudah terpenuhi lebih dulu kedua syarat yang saya kemukakan semula,
yakni telah cukupnya pengalaman yang matang dan kesadaran politik yang memadai
untuk mengadakan perubahan, dan supaya upaya perubahan itu murni lahirnya dari
kemauan politik bangsa ini secara internal tanpa pengaruh politik dari luar, dan ini
adalah ratio intelektualitasnya. Namun demikian terlepas dari terpenuhi atau tidak dua
syarat yang saya kemukakan di atas, terutama cukup tidaknya pengalaman
yang matang dan cukup meyakinkan itu, ternyata di era reformasi masyarakat politik
di tanah air telah menuntut dengan gigih akan adanya amandemen terhadap UUD
1945, dan ini merupakan realitas sosial politik.
Dengan bermodal realitas politik ini sebagai dasar sosio-politik untuk keabsahan
tindak perubahan/amandemen UUD 1945, MPR RI dengan Panitia Ad Hoc I-nya
telah berupaya menghimpun input bagi rancangan perubahan/amandemen itu. Dalam
pengalaman saya sendiri, bersama rekan-rekan di Asosiasi Dosen Hukum Tata
Negara, di sela-sela kegiatan Seminar Hukum Nasional di Jakarta 1999, telah
berupaya menyampaikan masukan kepada Panitia Ad Hoc ini, yang intinya:
1. Supaya berhati-hati dan teliti menggarap soal perubahan UUD ini
karena masalahnya sangat fundamental dan menyangkut hari depan bangsa dan
negara.
2. Supaya dalam perubahan itu, ditekankan penegakan supremasi hukum di semua
bidang berikut perlindungan terhadap hak-hak asasi.
3. Supaya dipertegas lagi batas-batas kewenangan eksekutif khususnya Presiden
supaya tidak menjurus kepada pemerintahan dictator dan otoriter, dengan
memberdayakan lembaga-lembaga negara lain menurut kewenangan
konstitusionalnya masing-masing buat mengontrol kebijakan dan tindakan Presiden
dan aparat eksekutif dalam pimpinannya.
4. Perihal pemerintahan daerah, supaya lebih dikonkritkan aturan
konstitusionalnya, yang mengacu pada aspirasi politik yang menhendaki otonomi
yang seluas-luasnya dengan perimbangan kekuasaan dan perimbangan keuangan yang
mendukung pengembangan otonomi yang luas itu, dalam konteks negara kesatuan
Republik Indonesia, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.Saya tidak terlalu yakin
akan mudahnya mencapai national consensus mengenai perubahan ataupun
amandemen UUD ini, baik mengenai hal-hal yang sifatnya substasial maupun
prosedural. Namun sebagai realitas sosial politik, yang tidak dapat dipungkiri
keberadaannya, terlepas dari tingkat kematangan pengalaman dan kesadaran politik
masyarakatnya, penguasaan basic knowledge mengenai hakikat konstitusi dan segala
konsekuensinya, tuntutan politis inikiranya harus disahuti dan direalisir melalui upaya
yang cermat dan teliti, dengan pandangan konseptual strategis dengan pendekatan
kesisteman, dalam konteks negara dan masyarakat yang pluralis heterogin .
Akhirnya saya menyimpulkan bahwa ternyata tuntutan perubahan
UUD 1945 ini sudah demikian kuatnya, dan seyogianya disahuti, sesuai
dengan tingkat pengalaman bernegara dan kesadaran politik yang umumnya dimiliki
oleh bangsa ini, yang seyogianya dilakukan secara bertahap sesuai dengan tingkat
tahapan pengalaman dan kesadaran bernegara, dengan kata lain, sesuai dengan tingkat
perkembangan konstitusionalisme yang dimiliki bangsa ini. Sisi lain tahapan itu, ialah
tingkat desakan kepentingan nasional dari 3 (tiga) macam pokok kepentingan yang
saya kemukakan di atas, dikaitkan dengan 4 (empat) pokok himbauan dari Asosiasi
HukumTata Negara yang disebut-sebut di atas.

BAB VIII
DPRD SEBAGAI FUNGSIONARIS LEGISLATIF DAN SEBAGAI
KOMPON SUPRA STRUKTUR POLITIK

Pada umumnya semua badan perwakilan rakyat (Parlemen, DPR , DPRD) mempunyai dua
pokok fungsi utama, yaitu:

1. fungsi legislatif (perundang-undangan, maksudnya pembuatan peraturan); dan

2. fungsi ontrol (yakni pengawasan terhadap kinerja eksekutif) Menurut teori yang secara
umum dijumpai mengenai ketatanegaraan, yang termasuk fungsi, tugas dan kewenangan di
bidang legislative itu ialah:

a. hak inisiatif (prakarsa);

b. hak amandemen (usul perubahan peraturan); dan

c. hak budget (anggaran).

Sedangkan yang termasuk dalam fungsi, tugas dan kewenangan kontrol ialah:

a. hak petisi (hak perorangan anggota untuk mengajukan pertanyaa kepada pihak eksekutif);

b. hak interpellasi (hak untuk minta pertanggungjawaban piha eksekutif); dan

c. hak enquette (angket, hak menyebar pertanyaan angket kepada Puolik untuk mengetahui
pendapat mereka mengenai sesuat kebijakan dan tindakan eksekutif).

Demikian menurut teori yang Umum.

Tetapi dalam praktek, tidak selalu demikian tata kewenangan perwakilan rakyat itu .
Buktinya, pasal 12 PP No. 1 Tahun 2001 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD,
menyebutkan hak-hak itu berturut-turut sebagai berikut :

a. meminta pertanggungjawaban Gubernur, Bupati, dan Walikota;

b. meminta keterangan kepada Pemerintah Daerah;

c. mengadakan penyelidikan;

d. mengadakan perubahan atas Rancangan Peraturan Daerah;

e. mengajukan pernyataan pendapat;

f. mengajukan Rancangan Peraturan Daerah;


9. menentukan Anggaran Belanja DPRD sebagai kesatuan dalam APBD; dan

h. menetapkan Peraturan Tata Tertib DPRD.

Terlepas dari persoalan adanya beda antara teori dan praktek itu, namun salah satu fungsi
utama anggota DPRD itu ialah sebagai legislator. Itu berarti berfungsi dalam hal pembuatan
peraturan

hukum (lege, legal) pada tingkat pemerintahan daerah. Judul makalah ini membatasi paparan
di sini mengenai fungsi legislatif saja. Namun demikian, meskipun UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, tidak lagi mengikutsertakan DPRD sebagai bagian dalam
pengertian Pemerintahan Daerah (sebagaimana dianut dalam UU No. 5 Tahun 1974), tokoh
DPR itu adalah merupakan subsistem dalam Pemerintahan Daerah. Sebelum uraian lebih
lanjut, ada baiknya dijelaskan lebih dulu makna "Pemerintah" dan "Pemerintahan" menurut
teori ketatanegaraan.

Ada 3 (tiga) macam makna Pemerintah, yaitu:

1. Pemerintah dalam arti keseluruhan lembaga kekuasaan yang ada dalam negara, berarti
meliputi badan legislatif, eksekutif, yudikatif, konsultatif, dan akuntantif;

2. Pemerintah dalam arti eksekutif saja, misalnya Presiden di negara republik, Raja di negara
monarki, berikut semua apparat eksekutifnya baik di Pusat maupun Daerah;

3. Pemerintah dalam arti top - administrator saja, yaitu Presiden dan Raja. Adapun
"Pemerintahan", itu bermakna mekanisme pelaksanaan kekuasaan yang terselenggara atas
kerja sama semua lembaga dan aparat kekuasaan dalam negara itu (machinery of state), di
mana pihak perwakilan rakyat pun turut termasuk (DPR, DPRD).

Atas dasar pengertian yang demikian, maka DPRD sebagai salah satu lembaga
penyelenggara pemerintahan di Daerah, meskipun tidak dianggap lagi merupakan bagian dari
Pemerintah Daerah, toh tetap turut bertanggung jawab secara politis atas penyelenggaraan

pemerintahan Daerahnya.

Oleh karena itu tidak mengherankan, kalau tudingan, demonstrasi dan unjuk rasa, bukan
hanya dihadapkan kepada pihak eksekutif, tetapi juga kepada DPRD. Bahkan dapat
dikatakan, bahwa DPRD itu turut memikul tanggung jawab moral politik atas berhasil
tidaknya jalannya pemerintahan di Daerah. Yang demikian adalah logis, karena DPRD itu
turut aktif merencanakan dan menyusun Rencana Strategi (Renstra) dan Program
Pembangunan Daerah (Propeda) dan juga menyusun dan mengesahkan APBD, yang
semuanya itu akan melibatkan pikulan beban bagi rakyat melalui berbagai pungutan di
Daerah, berupa pajak, retribusi, dan sebagainya.

Itu sebabnya, maka sering timbul semacam kontradiksi dan kon-

troversi, bahwa di satu sisi DPRD sering menggugat eksekutif, mengapa pelayanannya
kurang memihak kepada kepentingan kesejahteraan rakyat, sedangkan di sisi lain para
anggota DPRD itu menuntut supaya anggaran untuk honorarium mereka ditingkatkan. Dalam
hal seperti

ini, patut dipertanyakan, apakah sudah seimbang antarjasa – politis yang mereka berikan
sebagai wakil rakyat dan frekuensi kehadirannya dalam rapat-rapat DPRD, dibandingkan
dengan nilai materil yang dite- rimanya setiap bulan, yang tadinya ditarik dari Rakyat melalui
RAPBD. Dalam hubungan yang demikianlah, kelihatan bagaimana DPRD itu merupakan
salah satu subsistem dalam konteks "Pemerintahan di Daerah", di mana DPRD itu kait-
mengait dengan pihak subsistem lainnya, yakni pihak Eksekutif dan Rakyat. Tegasnya, dalam
sistem

pemerintahan daerah" itu, yang berlakon bukan hanya DPR dan Eksekutif, tetapi juga turut
pihak Rakyat sebagai subsistemnya. Tanpa rakyat, tidak ada arti DPRD dan Bupati sebagai
pimpinan Eksekutif .

A. DPRD Sebagai Komponen Supra Struktur Politik


Masyarakat politik (politic society) yang melibatkan diri dalam politik (political life)
itu, terdiri dari supra struktur dan infra struktur.

Di supra struktur (tataran atas masyarakat politik) itu, ialah mereka yang berada di
semua lembaga kekuasaan pemerintahan, sedangkan yang di infra strukturnya ialah
mereka yang berada di Partai-partai Politik (Parpol) dan Organisasi Massa (LSM,
NGO). Mungkin saja seseorang menduduki dua strata itu sekaligus, baik di supra
maupun di infra strukturnya. Yang menjadi fokus dalam wacana ini, ialah posisi dan
fungsi mereka yang duduk di DPRD sebagai figur yang berada di supra struktur
masyarakat politik itu, berikut dengan peranannya sebagai legislator, yang turut
berperan dalam penerbitan Peraturan Daerah (Perda).
Dalam posisi seperti ini, bagaimanapun negosiasi dan tawar- menawar yang mungkin
terjadi antara DPRD dan eksekutif, namun selaku wakil rakyat yang kepentingannya
mereka wakili dan salurkan, harus berpegang teguh pada prinsip bahwa mereka harus
memainkan peranan ganda sekaligus, yakni:
♦ Meramu aspirasi rakyat, baik secara songsong bola ataupun jemput bola (menunggu
rakyat datang mengunjungi DPRD atau langsung dialog dengan rakyat).
♦ Menyalurkan aspirasi rakyat ke forum-forum yang ada di DPRD, yaitu: Rapat
Komisi, Rapat Panitia Musyawarah, Rapat Pansus, Rapat Panitia Anggaran, Rapat
Paripurna, dan Pertemuan antara Legislatif dengan Eksekutif dan berusaha sedapat
mungkin agar Perda-Perda yang diterbitkan benar-benar menggambarkan tersalurnya
aspirasi rakyat itu.

Disinilah persamaan peranan wakil rakyat itu dengan kaum jurnalis/wartawan, yang
di satu sisi mencatat getaran hati Nurani masyarakat kemudian menyuarakannya
kepada semua pihak yang terkait lewat forum mass-medianya. Dalam konteks
"jalannya pemerintahan", DPRD itu bekerja sama dengan mitranya pihak Eksekutif.
Yang dimaksud dengan sejajar dan menjadi mitra bagi Eksekutif ialah bahwa DPRD
dan Pemerintah Daerah memiliki tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan
Pemerintahan Daerah, yang efisien, dan transparan dalam rangka memberikan pela-
yanan sebaik-baiknya kepada masyarakat demi terjaminnya produktivitas dan
kesejahteraan masyarakat di daerah (lihat Penjelasan Pasal 3 avat (2) PP No. 1 Tahun
2001 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).
Di antara beberapa kata kunci dalam Penjelasan itu, ada dua yang utama yaitu: a)
pelayanan dan b) kesejahteraan masyarakat. Pada pihak eksekutif pun terdapat tugas-
tugas yang demikian, tetapi masing-masing eksekutif dan legislatif menurut posisi dan
fungsinya. Pihak DPRD dalam tahapan perumusan kebijakan publiknya (public
Dolicy making) lewat Pembahasan Ranperda hingga gol menjadiPerda, sedangkan
pihak eksekutif terutama pada tahapan aplikasinya. Kalau akhir-akhir ini, terutama
yang namanya "era reformasi" dengan eforia demokrasinya masyarakat makin gencar
menuding dan memperbincangkan clea government (pemerintah yang bersih) dan
good governance (pemerintahan yang baik) maka tudingan itu bukan
hanya tertuju kepada pihak eksekutif saja, tetapi juga terhadap DPRD sebagai pihak
legislatif. Terlebih-lebih lagi, jika diingat latar belakang sejarah munculnya
reformasi sekitar tahun 1998, di saat-saat gencarnya teriakan agar di semua lin
kekuasaan memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, dan supaya forum
perwakilan rakyat ditempati oleh tokoh- tokoh yang populis, kiranya dapatlah
dipahami peranan legislatif yang bagaimana yang diidam-idamkan oleh rakyat sejak
semula reformasi itu.

B. Pansus DPRD dan Komponen Eksekutif


Sebagaimana diketahui bersama, bahwa dalam proses penyiapan Ranperda menuju
terbitnya Perda, ada saatnya, di mana pihak Panitia Khusus (Pansus) DPRD akan
berbincang bersama dengan komponen eksekutif untuk mematangkan Rancangan
Perda sebelum di bawa ke forum Rapat Paripurna DPRD. Pada hakikatnya pertemuan
seperti ini, merupakan forum negosiasİ politik dan tawar-menawar (bargaining) di
antara kedua pihak itu, sampai tercapai titik-titik temu pendapat mengenai Ranperda
yang tengah dlbahas, apalagi jika terdapat butir-butir yang krusial (crucial point).

Menurut pengalaman dan pengamatan, di sini sering semacam teruji kemampuan


pihak legislatif di Pansus itu, untuk beradu argumentasi dengan pihak eksekutif.
Kiranya adalah mendekati kebenaran, jika dikatakan, bahwa dalam forum yang
demikian, bahwa kedua belah pihak sama-sama membutuhkan pengetahuan dasar
(basic knowledge) untuk mampu membahas materi Ranperda yang dimaksud,
kalaupun tidak sampai berkadar cukup ilmiah (scientific) setidak tidal nyalah berupa
modal pengetahuan umum (algemeen kennis) yang dianggap relevan dengan pokok
persoalan dan pembahasan. Saran penulis dalam hubungan ini, ialah supaya pihak
DPRD, di
sela-sela kesibukan misinya sehari-hari mengadakan acara berupa penyegaran
(refreshing) dan penataran (upgrading) dengan materi wacana yang relevan dengan
fungsi legislatif para anggota DPRD itu.,Setidak-tidaknya dilakukan sewaktu-waktu
acara pagi berbincang (Coffee morning) seraya membahas masalah yang aktual dan
sedang berkembang di masyarakat termasuk di mass-media.

c. Perlukah Anggota DPRD Memahami Legislative Drafting ?


Mengingat kebutuhan tugas dan fungsinya, menurut pengalaman dan pengamatan,
dipandang perlu bagi kalangan DPRD memahami aspek-aspek legislative drafting itu,
yakni kegiatan pembuatan draft peraturan (misalnya draft atau Ranperda).
Legal drafting (pembuatan draft semua naskah yang bermuatan hukum) adalah luas
cakupannya. Antara lain meliputi pembuatan kontrak perdata dan dagang, penyusunan
tuntutan oleh jaksa, pembelaan oleh pengacara, putusan hukum oleh hakim, akta
notaris, bahkan juga ter- masuk pembuatan surat tanda bukti pembayaran (kuitansi).
Sedangkan yang dimaksud dengan legislative drafting ialahpembuatan draft
peraturan, misalnya RUU, Ranperda, Raperpem (Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Daerah dan Rancangan Peraturan Pemerintah). Memang benar,
bahwa legislative drafting ini adalah salah satu dari kegiatan legal drafting tersebut di
atas, namun yang legislative drafting ialah pembuatan format dan kerangka peraturan
itu, mulai dari judulnya, konsideransnya, diktumnya, dan komponen-komponen
lainnya yang lazim terdapat dalam peraturan hukum. Memang benar juga, kalau
dikatakan bahwa ini adalah urusan pihak birokrat eksekutif, yang biasanya ialah
mereka yang bertugas di Biro-biro Hukum. Benar pula, bahwa tugas pihak politisi di
DPRD, ter-
utama memikirkan apa rumus kebijakan (policy formulation) untuk dituangkan dalam
naskah Perda, lalu mengecek apakah pasal-pasal Perda itu sudah menggambarkan
kemauan politik (political will) dari wakil rakyat ini. Dengan kata lain, urusan tokoh
legislatif itu hanyalah hal yang prinsipil saja, sedangkan urusan yang sifatnya teknis
diserahkan kepada petugas eksekutif. Tapi saya membayangkan pula, alangkah
bijaksana dan terampilnya ibu rumah tangga, kalau selain mampu menggariskan
kebijakan mengenai urusannya di dapur, juga terampil dan cekatan, paling tidak
tahu seluk-beluk resep dan memasak makanan, sehingga kemampuannya tidak hanya
tahu memerintah koki yang tukang masak, tetai juga mampu menilai memahami
seluk-beluk kerja masak itu, sekaligus mampu menegor mana yang salah dan mana
yang tepat untuk dipuji pada masakan si koki.
Dengan kata lain, adalah lebih lengkap dan paripurna, kalua anggota DPRD itu juga
mengetahui seluk-beluk legislative drafting, selain dari mengetahui apa pokok-pokok
kebijakan (polic) yang akan dituangkan dalam Perda yang bersangkutan .

BAB IX
RANCANGAN PERATURAN HUKUM (LEGAL DRAFTING), PERUNDANG-
UNDANGAN (LEGISLATURE) DAN KEBIJAKAN PUBLIK (PUBLIC POLICY)

A. Pengaturan yang Terkoordinir (Coordinated Legislature)

Kemampuan dan koordinasi dalam legal drafting, khususnya dalam mempersiapkan RUU,
perlu mendapat perhatian, karena factor ini adalah menyangkut salah satu fungsi utama
aparatur negara, khususnya aparatur pemerintahan. Hal ini sangat penting mengingat bahwa
kebijaksanaan regulasi dan birokratisasi demikian relevan dan dominan, terlebih-lebih dalam
memasuki era reformasi pemerintahan dan pembangunan. Membicarakan legal drafting
sebenarnya secara langsung ataupun tidak langsung kita juga membicarakan public policy
(kebijakan publik) karena public policy pada umumnya dirumuskan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Demikian antara lain, penulis kutip dan sadur dari Prof. Dr. Awaloedin
Djamin. Prinsip-prinsip yang dianut dalam sistem administrasi pemerintahan RI antara lain
adalah prinsip pembagian habis tugas-tugas pemerintahan dalam Departemen-departemen
dan Lembaga lembaga pemerintah non-Departemen. Yang penting pula adalah prinsip
fungsionalisasi dalam sistem administrasi pemerintahan RI, berarti bahwa masing-masing
Departemen secara fungsional bertugas dan bertanggung jawab atas sebagian tugas pokok
pemerintahan. Misalnya,

Departemen Kesehatan bertugas dan bertanggung jawab secara fungsional di bidang


kesehatan, terlepas dari siapa yang melakukan kegiatan di bidang kesehatan itu. Demikian
pula misalnya Departemen Pendidikan dari Kebudayaan pendidikan dapat dimiliki oleh
Departemen lain bahkan oleh masya- bertanggung jawab di bidang pendidikan, walaupun
lembaga-lembaga rakat (swasta) atau Pemerintah Daerah.

B. Fungsionalisasi Departemen-departemen
Pada umumnya, fungsi utama Departemen, yaitu sebagai
berikut:
a. fungsi pengaturan;
b. fungsi perizinan;
c. fungsi pelaksanaan sendiri tugas pokok;
d. fungsi pengelolaan pemilikan negara yang dipercayakan kepada
Departemen yang bersangkutan;
e . fungsi pengawasan pelaksanaan tugas pokok.
ad. a. fungsi pengaturan atau "regulerende functie", ("regulatory function", atau
"rule making function) yang juga dapat diartikan sebagai "policy making function",
merupakan fungsi utama semua departemen dan mungkin termasuk fungsi
yang paling sukar tapi sangat penting;
ad. b. Fungsi utama ke-2 adalah perizinan. Perizinan pada dasarnya adalah berkaitan
dengan fungsi pengaturan. Tujuannya adalah agar terjamin keadilan, pemerataan dan
pengamanan. Oleh karena itu bagi setiap perizinan harus jelas mekanisme
dan prosedurnya serta pejabat atau unit organisasi mana yang diberi wewenang untuk
mengeluarkan izin tersebut. Dengan alasan kebijaksanaan serta administratif,
seringkali
terdapat prosedur perizinan yang berbelit-belit, menyangkut sampai berpuluh-puluh
instansi. Mengapa terjadi demikian? Karena yang mendapat dan yang memberi izin
umumnya merasa "diuntungkan", maka pejabat atau instansi yang berwenang
mengeluarkan izin dalam praktek sering menjadi lahgunaan kekuasaan (abus de droit,
misbruik van recht) dan "penguasa" dan dapat merupakan kerawanan bagi penya-
birokrasi yang digelimangi suap, sogok, dan sebagainya;
ad. c. Karena sifatnya, maka pejabat-pejabat instansi tertentu diberi tugas dan
tanggung jawab untuk melaksanakan
sendiri tugas pokoknya seperti pemungutan pajak, bea cukai, imigrasi,
pemasyarakatan. dirasakan sebagai wewenang melanggar hak asasi secara
cukai, imigrasi, pemasyarakatan. Wewenang penyidikan yang dirasakan sebagai
wewenang melanggar hak asasi secara legal, hanya diberikan petugas POLRI tertentu
dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang ditentukan oleh undang-undang;

ad. d. Milik negara, yang sering ditulis dalam beberapa dokumen dan disebut-sebut di
mass-media adalah yang berbentuk BUMN. Di samping itu yang juga besar
jumlahnya adalah sarana fisik pendidikan dan rumah sakit milik negara yang
dikelola berdasarkan ICW (Undang-undang Perbendaharaan Negara) dan karenanya
semua karyawannya berstatus pegawai negeri sipil. Status sekolah dan rumah sakit
milik negara ini kiranya sudah perlu penelitian dan peninjauan, mengingat banyak
Perguruan Tinggi Negeri dan rumah sakit milik negara yang meminta otonomi agar
dapat dikelola secara swadana. Inventaris lainnya milik Departemen tentunya harus
pula dikelola secara efisien,
karena berasal dari APBN;
ad. e. Yang dimaksud di sini, bukan pengawasan intern, pengawasan fungsional atau
pengawasan melekat, akan tetapi fungsi utama Departemen untuk mengawasi dan
mengevaluasi apakah pelaksanaan tugas pokoknya berjalan seperti yang
direncanakan.

Mengapa harus terkoordinasi?

perinci apakah Departemen yang bersangkutan mencakupi kelima


Setiap Departemen sesuai dengan tugas pokoknya harus mencangkupi kelima fungsi
utama tersebut dan menjabarkannya secara jelas fungsi- fungsi utama mana saja yang
termasuk Departemen itu. Istilah "Departemen" mengandung arti, bahwa pelaksanaan
tugas pemerintahan tidak merupakan pengkotakan, tapi tiap Departemen merupakan
bahagian atau subsistem dari keseluruhan Sistem Pemerintahan Negara, karenanya
tidak dapat berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi.
Sebagai kelanjutan dari prinsip fungsionalisasi, maka perlu adanya koordinasi
vertikal, koordinasi diagonal, dan koordinasi horizontal. KIS, yaitu Koordinasi,
Integrasi, dan Sinkronisasi adalah singkatan untuk mengingatkan para pejabat akan
pentingnya
arti koordinasi fungsional tersebut. Contoh-contoh dari koordinasi diagonal adalah di
bidang perencanaan oleh BAPPENAS, anggaran oleh Departemen Keuangan,
Kepegawaian oleh BAKN, Humas oleh Deppen (ingat Bako Humas) dan legal
drafting oleh Departemen Kehakiman.

C. Legal Drafting
Legal Drafting ialah pembuatan konsep (draft) setiap dokumen yang mempunyai
akibat hukum (legal effect), baik di bidang hukum publik maupun hukum privat.
Adapun legislative drafting, ia termasuk sebagai salah satu bagian (as a part) dalam
kelompok Legal Drafting, yang khusus untuk kegiatan perundang-undang. Sesuai
pula dengan prinsip fungsionalisasi, maka Prakarsa perumusan suatu peraturan
perundang-undangan harus diambil oleh Departemen yang secara fungsional bertugas
di
bidang itu, seperti Departemen P&K di bidang pendidikan, Departemen Kesehatan di
bidang kesehatan dan seterusnya. Departemen yang bersangkutanlah yang mengetahui
tingkat hierarki peraturan perundang-undangan mana yang diperlukan, apakah itu
Peraturan Dirjen, Peraturan Menteri, Keppres, Peraturan Pemerintah atau RUU.
Peraturan Dirjen misalnya, karena ia bersifat teknis, paling kurang memerlukan
koordinasi horizontal. Peraturan Menteri, walaupun wewenang Menteri untuk
mengesahkannya, pada umumnya memerlukan koordinasi horizontal dengan
Departemen atau Lembaga Pemerintah non-Departemen yang ada kaitannya dengan
Peraturan Menteri itu.
Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari peraturan Menteri pada
umumnya memerlukan koordinasi dan konsultasi dengan Departemen lain mengenai
substansi peraturan perundang-undangan itu .
Bila tidak, akan dapat terjadi kesimpangsiuran ataupun tumpang tindih yang
mengakibatkan tidak adanya konsistensi antara kebijakan.. Padahal, harus
diingat bahwa suatu Peraturan Menteri, pada prinsipnya mengikat masyarakat
dan seluruh instansi pemerintah.
Dalam praktek di Indonesia, sering dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB)
antara dua Menteri atau lebih. Sebenarnya seperti diuraikan di atas, suatu Peraturan
Menteri yang dalam perumusannya mengikuti prosedur seperti tersebut terdahulu,
yaitu sudah dikoordinasikan lebih dulu secara intensif dengan Departemen terkait,
maka Peraturan Menteri itu juga mengikat bagi semua Departemen. Atau, bila
substansi yang dicakup lebih luas dari bidang fungsional Menteri yang bersangkutan,
sebaiknya dirumuskan sebagai Keputusan Presiden. Tapi, bila dalam praktek SKB-
SKB ini ada manfaatnya, karena para Menteri yang menandatanganinya merasa ikut
terikat dalam pelak-
sanaannya, kiranya dapat diteruskan hanya dalam hal-hal yang benar- benar
memerlukan keterkaitan antar-Departemen yang bersangkutan. Namun demikian,
masih perlu didiskusikan, apakah masih perlu adanya modal SKB seperti itu.
Peraturan perundang-undangan, terutama RUU yang tidak termasuk ruang lingkup
satu Departemen, dan merupakan RUU yang luas jangkauannya, seperti RUU Kitab
Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) atau RUU KUHPerdata, RUU KUHAP
(dahulu) maka prakarsa perumusannya masuk tanggung jawab
fungsional Departemen Kehakiman.
Menteri Kehakiman dalam perumusannya tentu mengadakan koordinasi dan
konsultasi dengan instansi-instansi yang terkait. Dalam hal ini Departemen
Kehakiman memiliki BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) untuk membantu
Menteri dalam penelitian dan persiapannya. Dalam prosedur penyampaian RUU ke
DPR, setelah
Presiden menandatangani pengantarnya Menteri yang fungsionallah yang
menyampaikan ke DPR dan menyelesaikannya bersama DPR. RUU yang menyangkut
Lembaga Tinggi Negara atau Lembaga non- Departemen, sepanjang mengenai
organisasi dan tata cara kerjanya,
Menpan menyampaikannya ke DPR, seperti RUU tentang Badan Pemeriksaan
Keuangan, RUU Kepegawaian Negeri, dan sebagainya. RUU Kejaksaan, disampaikan
oleh Menteri Kehakiman, karena Kejaksaan Agung sebagai lembaga pemerintah non-
Departemen tidak lazim menyampaikan RUU-nya ke DPR. Demikian pula nanti bila
RUU Kepolisian RI diperbaharui, Menhankamlah yang akan menyampaikan-
nya ke DPR.
Jadi, pada pokoknya prakarsa dan perumusan suatu rencana peraturan perundang-
undangan adalah tugas Menteri yang fungsional membidangi substansi rencana
peraturan perundangan-undangan yang bersangkutan. Sebenarnya, yang dapat
mengeluarkan Peraturan Menteri (yang mengikat rakyat), sesuai UUD 1945, adalah
Menteri yang memimpin Departemen. Menurut Prof. Dr. Awaloedin Djamin, Menko,
Menteri Negara (yang tidak memimpin Departemen), seyogianya tidak mengeluarkan
Peraturan Menteri yang mengikat rakyat. Alasan logisnya menurut pandangan
Awaloedin Djamin ialah, bahwa menteri yang memimpin departemen dengan
perangkat organisasinya juga bertanggung jawab atas keberhasilan pelaksanaan
peraturan Menteri itu. UUD 1945 menyebut Menteri yang memimpin Departemen,
menjalankan kekuasaan pemerintah ("pouvoir executif") dalam praktek. Penentuan
suatu peraturan perundang-undangan berbentuk UU, PP, Keppres atau peraturan
Menteri, tergantung dari ruang lingkup substansi peraturan perundang-undangan dan
tingkat hierarkinya. Misalnya suatu PP atau Keppres merupakan penjabaran suatu
UU,
dan Peraturan Menteri menjabarkan PP atau Keppres. Walaupun semua kita
memaklumi, bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan lebih tinggi, dalam praktek hal ini dapat terjadi lex superior
derogat legi inferiori (minor). ini, adalah mengenai susunan dan sistematika rumusan
rencana Persoalan lain dalam legal drafting khususnya Legislative Drafting peraturan
perundang-undangan, khususnya yang menyangkut konsiderans dan diktum. Pernah
terjadi konsiderans yang Panjang lebar, "Menimbang", "Mengingat", dan sebagainya
sedangkan diktumnya singkat saja.

Secara fungsional, Departemen yang menyiapkan Pedoman atau petunjuk mengenai


susunan dan sistematika rencana peraturan perundang-undangan adalah Departemen
Kehakiman, yaitu Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan. Dalam hal
ini, Departemen Kehakiman secara diagonal mengkoordinir semua Biro atau Bagian
hukum yang terdapat disemua Departemen dan Lembaga Pemerintah non-
Departemen.
Awaloedin Djamin mengulang lagi mengatakan, bahwa legal drafting adalah bagian
yang penting dari fungsi utama Departemen, yang disebut "pengaturan", "regulerende
functie", "regulatory"atau "policy making function", sering juga disebut sebagai "rule
making function".

D. Public Policy

"Public Policy" sebagai mata kuliah di Perguruan Tinggi masih termasuk langka dan
baru di Indonesia. Mata pelajaran ini umumnya diajarkan pada jurusan Administrasi
Negara di Strata Fakultas (S1). Ada juga diajarkan di Strata Magister (S2) misalnya di
Program PWD (perencanaan/pengembangan Wilayah & Pedesaan). Public Policy di-
terjemahkan sebagai kebijakan publik atau kebijakan negara. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa public policy digunakan untuk memecahkan masalah "public
affairs", sedangkan studi (antardisiplin) untuk menemukan alternatif kebijaksanaan
terbaik guna
mengatasi permasalahan yang dihadapi agar dicapai tujuan yang diinginkan, disebut
"policy analysis".
Di negara-negara maju banyak terdapat pusat-pusat policy studies, yang mempelajari
bagaimana suatu kebijakan dilahirkan dan membantu dalam policy making pada
umumnya atau mempelajari suatu kebijakan tertentu, termasuk masalah-masalahnya,
instansi- instansi mana yang seharusnya terlibat, dan sebagainya. Dalam uraian
singkat ini, tidak akan dibahas sejarah perkembangan public policy ataupun
bermacam model pembuatan kebijakan publik, akan tetapi menguraikan kaitan
kebijakan publik dengan legal drafting dan "rule making process" pada umumnya.
Hogwood dan Gun dalam "Policy Analysis for the Real World" mengelompokkan
pengertian istilah "policy" ke dalam sepuluh pengertian yaitu :
1) policy as label for a field of activity;
2) policy as an expression of general purpose or desired state of
affairs;
3) policy as a specific proposal;
4) policy as decision of government;
5) policy as formal authorization;
6) policy as programme;
7) policy as output;
8) policy as outcome;
9) policy as theory or model;
10) policy as process.
Ke dalam pengertian ad 2, termasuk pernyataan pejabat pemerintah yang merupakan
harapan atau kehendak, seperti disiplin nasional, menciptakan aparatur pemerintah
yang cakap, bersih dan berwibawa dan sebagainya. Pernyataan-pernyataan seperti itu
bila tidak ada follow-up operasionalnya, lebih merupakan "retorika" daripada
Kenyataan .
Juga sering adanya "statement" pejabat pemerintah ataupun melalui kampanye
Pemilu/Pilkada mengenai gagasan "terapi atau obat" dari sesuatu, tanpa jelas ada
masalahnya, apakah sistem yang berlaku salah, atau penjabarannya yang tidak tepat.
Statement seperti inipun dapat membingungkan masyarakat.
Yang dikemukakan dalam tulisan Prof. Awaloedin Djamin adalah "policy as a
process", karena kaitannya dengan "legal drafting" khususnya Legislative Drafting.
Pusat perhatian (focus) di sini diberikan pada tahap-tahap yang dilalui oleh kebijakan
itu.
Pada umumnya tahap-tahap kebijakan mencakupi isu-isu atau masalah, yang
memerlukan penelitian (policy research) untuk pemecahan masalah tersebut. Bila
sudah jelas alternatif yang dianggap tepat untuk pemecahan masalah itu, maka
kebijakan dirumuskan (policy formulation). Selanjutnya bentuk kebijakan ditentukan,
tertulis
atau tidak serta tingkatannya dalam peraturan perundang-undangan.
Pada umumnya, kebijakan publik, karena mengikat rakyat banyak, dirumuskan secara
tertulis, dan karena itu berbentuk peraturan perundang-undangan. Tingkat hierarkinya
menentukan pejabat mana yang secara resmi memutus rumusan kebijakan (policy
decision. Bila telah merupakan kebijakan resmi, maka pelaksanaan dimulai
(policy implementation). Seharusnya beberapa waktu setelah pelaksanaan kebijakan
berjalan, diadakan pengawasan, monitoring dan evaluasi (MONEVA) dampak
kebijakan (policy evaluation) dan bila perlu kebijakan itu di revisi atau diakhiri
keberlakuannya. Policy making process, policy implementation, dan policy evaluation
memang masih relatif baru sekali di Indonesia, walaupun telah dilakukan
secara lebih teratur semenjak tahun 1960-an. Tentu terdapat perbedaan dalam proses
mempersiapkan GBHN (dulu), sekarang RPJPN, RPJMD (Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional, dan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah),
UU, PP, Keppres, Peraturan Menteri, Peraturan Dirjen serta Perda tingkat Provinsi
dan Perda tingkat Kabupaten/Kota. Sama dengan peraturan perundang-undangan,
kebijakan publik, sekali diputus, maka ia mengikat obyek ataupun subyek kebijak-
sanaan itu.
Dalam negara demokrasi, pemerintah tidak boleh bersikap "lebih mengetahui
kebutuhan dan masalah masyarakat", dengan membuat kebijakan tanpa mendengar
masyarakat yang bersangkutan. Praktek ini dapat disebut "benevoleitt autocracy".
Pemerintah negara demokrasi sebelum merumuskan suatu kebijakan, mendengar lebih
dahulu aspirasi obyek yang akan dicakup kebijakan tersebut. Juga konsultasi dengan
instansi terkait, perlu diadakan karena akan ikut terlibat dalam pelaksanaannya.
Seperti diuraikan terdahulu, Lemhanas (Lembaga Ketahanan Nasional) dalam
bukunya "Stratifikasi Kebijaksanaan Nasional" membagi tingkat-tingkat kebijakan
nasional dalam negara kita sebagai berikut:
1) Kebijakan Puncak
Kebijakan Puncak adalah kebijaksanaan publik tertinggi yang dulu sebelum
amandemen UUD, dilakukan MPR dengan hasil yang dirumuskan dalam bentuk
TAP-TAP MPR termasuk GBHN; Dokumen Kebijakan Politis ini di Era
Pemerintahan Orde Baru, dimulai dari GBHN tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993,
dan akhirnya GBHN tahun 1999. Sesudah itu Haluan Negara, dirumuskan dalam
bentuk RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional), sebagai hasil
kesepakatan politis antara Presiden dan DPR, sekaligus mengadopsi Misi dan Visi
Presiden;
2) Kebijakan Umum
Undang-Undang Nomor 10 dan seterusnya;
3) Kebijakan Khusus
Wewenang pembuatan kebijakan khusus ini terletak pada Menteri (yang secara
fungsional membidanginya) berdasarkan dan sesua dengan kebijakan pada tingkat di
atasnya. Hasilnya dirumuskan dalam bentuk peraturan Menteri, Keputusan Menteri
atau Instruksi Menteri. Dalam keadaan tertentu dapat dikeluarkan Surat Edaran
Menteri;
4) Kebijakan Teknis
Meliputi penggarisan dalam suatu sektor dari kebijakan khusus Departemen yang
bersangkutan dan teknik untuk mengimplementasikan rencana, program dan kegiatan
dari Direktorat Jenderal yang bersangkutan.

Seperti diuraikan di atas, ditingkat daerah dikenal 2 macam kekuasaan untuk


membuat kebijaksanaan:
a. Penentuan kebijakan mengenai pelaksanaan/penjabaran kebijakan Pemerintah Pusat
adalah Gubernur dalam kedudukannya sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Provinsi
(Kabupaten dan kota adalah Bupati dan Walikota). Bentuk kebijakannya adalah
Keputusan dan Instruksi Gubernur untuk Provinsi dan Keputusan dan Instruksi Bupati
atau Walikota untuk Kabupaten dan Kota;
b. Penentuan kebijaksanaan Pemerintah Daerah (otonom), wewenangnya terletak pada
Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD. Perumusan hasil kebijakan tersebut
diterbitkan sebagai kebijakan Daerah dalam bentuk Peraturan Daerah Tingkat
Provinsi, Kabupaten, dan Kota.

Semenjak tahun 1966, Indonesia telah mengusahakan melaksanakan amanat


konstitusi secara murni dan konsekuen. Peran MPR selaku Lembaga Tertinggi untuk
menetapkan GBHN telah praktis Pemerintah melalui Wanhankamnas (Dewan
Pertaberjalan sejak Pemilu 1971 sampai 1999, dengan pertimbangan hanan Keamanan
Nasional) membantu merumuskan bahan GBHN dengan mengikutsertakan semua
instansi pemerintah, Universitas Negeri dan Swasta, orpol dan ormas
Menurut mekanisme dan prosedur yang berlaku di Era Pemerintah Orde Baru itu,
segera setelah GBHN ditetapkan MPR, Presiden mempersiapkan Repelita Nasional
dan
menetapkannya dengan Keputusan Presiden. Sebagai penjabaran Repelita, setiap
tahun Pemerintah mengajukan RAPBN kepada DPR. Dan sebagai penjabarannya kita
semua mengetahui praktek penyampaian DIP oleh Menteri-menteri kepada Daerah-
daerah.
Inilah "policy process" menurut hierarki kelembagaan dan tata urut peraturan
perundang-undangan.
Mungkin ada yang mempertanyakan, kenapa GBHN yang ditetapkan oleh MPR,
sedangkan penjabaran pertamanya yaitu Repelita berupa Keppres, sedangkan
penjabaran berikutnya dalam RAPBN adalah dengan Undang-undang? Perlu
dimaklumi, masalah prosedur bila Repelita juga diajukan ke DPR untuk jadi UU,
yaitu
antara lain adalah waktu yang tersedia antara penetapan GBHN dan RAPBN.
Yang juga sukar adalah waktu untuk merumuskan Repelita serta pembahasan agar
kesesuaian materi GBHN dan Repelita ditingkat DPR tentu akan tidak mudah. Selain
itu, bukankah Presiden diberi mandat oleh MPR untuk melaksanakan GBHN selaku
Mandataris? Dalam sistem konstitusi kita, keberhasilan Presiden diukur dari
keberhasilannya melaksanakan GBHN. Demikianlah pada garis besarnya proses
penetapan garis kebijakan (policy formulation) di masa Orde Baru it

BAB X

GEJOLAK PERDA DI ERA REFORMASI22 (BEBERAPA KASUS


PENYIMPANGAN DALAM TINDAK PERUNDANG- UNDANGAN DI
DAERAH)

Gejolak Perda yang penulis maksud di sini adalah kerancuan - kerancuan yang terjadi di awal
reformasi, khususnya dalam proses pergantian Undang-Undang yang mengatur perihal
Pemerintahan dan Otonomi Daerah, di awal tahun 2000-an.

Terjangkalnya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah berikut PP No. 45


Tahun 1992 tentang pelaksanaan otonomi Daerah dengan peletakkan titik berat otonomi di
tingkat II, berlanjut pada terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
disekitar masa itu tuntutan perluasan otonomi dan urusan-urusan rumah tangga untuk daerah
itu, sedemikian meluapnya, seolah-olah dengan perluasan kewenangan daerah yang demikian
akan rampung dan nyamanlah persoalan demokrasi pemerintahan di Daerah. Bahkan timbul
fenomena politis-administratif, bahwa kepala-kepal daerah di tingkat II (kabupaten & kota)
itu tampil sebagai raja-raj kecil di daerahnya dan menganggap tidak ada lagi sedikit pun
hubunga hierarkis-subardinatif antara mereka dengan Gubernur Provinsi baik gubernur itu,
baik sebagai organ dan adat Pemerintah Pusat di Daera maupun sebagai kepala Daerah
Otonom.

Dalam konteks situasi yang demikian itulah ngawurnya pengertian bahkan latahnya tindak-
tanduk kepala-kepala Daerah tingkat II di daerah. Ada yang bertindak langsung berurusan
dengan pihak Departemen Dalam Negeri tanpa konsultasi lebih dulu dengan Gubernurnya,

ada yang mengganti plakat gedung-gedung aset provinsi di daerahny lalu menggantinya
dengan plakat atas nama Pemerintah Kabupaten.

,
.

22. Dimuat di surat kabar Harian ANALISA Medan 18 Agustus 2004.

Dalam situasi runyam seperti itulah maksudnya Perda-Perda di tingkat II, yang menyimpang
dari acuan-acuan dasar hukum dan kebijakan yang seharusnya, diukur menurut tata
perundang-undangan yang seharusnya dipatuhi Daerah-daerah itu.

A. Perda yang Dibatalkan Mendagri


Dari rekapitulasi Perda yang disusun Direktorat Pendapatan Daerah di jajaran
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (2001-2003) tercatat 22
Perda tentang Pungutan Daerah yang dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri
(Mendagri). Dilihat dari sudut daerah asalnya, Perda-perda ini berasal dari
Kabupaten Bengkulu, Pasaman, Bondowoso, Aceh Timur, Riau, Aceh,
Singkil, Kota Samarinda, Kabupaten Sanggau, Ketapang, Berau, Bima, dan
Kabupaten Kuningan.
Materi Perda-Perda tersebut ialah tentang retribusi kartu ternak, retribusi pemeriksaan
kesehatan hewan ternak, izin pengeluaran ternak keluar Kabupaten, pajak produksi
minyak sawit pasar, retribusi produksi kayu atas izin pemanfaatan hasil hutan kayu
pada tanah milik, retribusi izin kepemilikan gergaji rantai, retribusi asal komoditas,
retribusi identitas tanah, retribusi hasil usaha perkebunan, retribusi kebersihan-
pemeliharaan jalan, retribusi izin dispensasi penggunaan jalan bagi kendaraan
bermotor, penerimaan sumbangan pihak ketiga kepada pemerintah, sumbangan wajib
pengusaha perkebunan kepada pemerintah kabupaten, retribusi peredaran kayu dan
hasil hutan ikutan, tentang pengelolaan hasil hutan, pengelolaan dan sarang
burung walet, pajak hasil pengeluaran hasil bumi, hutan, laut, perindustrian, hewan
dan hasil alam lainnya, retribusi bongkar atau muatbarang, dan retribusi pelayanan
pengelolaan kayu.
Perlu dikemukakan di sini, bahwa pembatalan Perda oleh Mendagri itu, adalah
berdasarkan rekomendasi dari Menteri Keuangan, Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral, Menteri Kehutanan, dan ada juga berdasarkan rekomendasi putusan
Mahkamah Agung.
B. Yang Ditegur dan yang Dibatalkan Mendagri

Di antara Perda-Perda itu ada yang diberi teguran oleh Mendagri misalnya terhadap
Perda Kab. Deli Serdang No. 27 Tahun 2000 tentang Pajak Produksi Hawil
Perkebunan Negara/Daerah, Perusahaan Perkebunan Swasta dan Perkebunan Rakyat,
Perda Kab. Karo No. 6 Tahun 2001 tentang retribusi pengawasan dan pemeriksaan
kualitas air, Perda Kab. Tohasa No. 16 Tahun 2001 tentang pemberian sum-
bangan pihak ketiga kepada pemerintah Kabupaten, Perda Kab. Deli Serdang No. 28
Tahun 2000 dengan judul yang sama, Perda Kab. Asahan No. 29 Tahun 2002 tentang
Sumbangan Wajib Perusahaan Perkebunan Negara/Daerah dan Swasta, Perda Kab.
Karo No. 24tTahun 2001 tentang Pajak Usaha Pemanfaatan Hasil Bumi, Perda
Kab. Tapsel No. 11 Tahun 2001 tentang Retribusi Lalu Lintas Produksi Hasil
Tanaman Perkebunan dan Hortikultura, Perda Kab. Simalungun No. 28 Tahun 2001
tentang Retribusi Lalu Lintas Produksi Perikanan dan Peternakan, Perda Kab. Karo
No. 41 Tahun 2001 tentang Retribusi Pemanfaatan Kayu Pada Tanah Milik, demikian
juga dengan judul yang bersamaan yakni Perda Simalungun No. 16 Tahun 2001,
Perda Kab. Simalungun No. 15 Tahun 2001 tentang Retribusi Pemungutan
Hasil Hutan Non Kayu selanjutnya berturut-turut Perda Kab. Simalungun
No. 24 Tahun 2001 tentang Retribusi Pembinaan, Pengawasan, dan Pengendakian
Industri, Perda No. 22 Tahun 2001 tentang Retribusi Tanda Daftar Gudang, Perda No.
26 Tahun 2001 tentang Retribusi Izin Pendirian Depot Lokal Stasiun Pengungsian
Bahan Bakar Minyak untuk Umum, Pemasaran Bahan Bakar Khusus, Perda No. 33
Tahun 2001 tentang Retribusi Izin Usaha Media Film, Video dan Sejenisnya,
Media Luar Ruang, Media Elektronik, Seterusnya Perda Kab. Tapsel No. 18 Tahun
2001 tentang Retribusi Izin Usaha Industri, Perdagangan, dan Gudang, Perda Kab.
Tapanuli Utara No. 26 Tahun 2001 tentang Retribusi Izin Bongkar Muat Barang
Dagangan, dan Perda Kota Binjai No. 17 Tahun 2001 tentang Retribusi Wajib
Pendaftaran dan Pemeriksaan Kendaraan Tidak Bermotor.

C .Alasan Pembatalan

Mengenai Perda tentang Pajak Produksi Hasil Tanaman Perkebunan Negara/Daerah, Swasta
dan Perkebunan Rakyat alasan pembatalannya ialah bahwa pengenaan pajak atas produks
Tertentu oleh Pemerintah Daerah akan merintangi arus sumber daya ekonomi antardaerah
maupun kegiatan impor ekspor. Pada prinsipny hasil perusahaan perkebunan dan pertanian
telah diperhitungka dalam pengenaan pajak tersebut akan tumpang tindih dengan pajak Pusat.

Khusus mengenai Perda Kab. Aceh Timur No. 17 Tahun 2001 tentang Retribusi Hasil Usaha
Perkebunan, alasan pembatalannya ialah bahwa pengenaan retribusi hail usaha perkebunan
tersebut bersifat pajak, sebab tidak ada jasa yang disediakan oleh Daerah, dan bahwa
pengendalian oleh Daerah tidak diperlukan karena tidak ad aspek kepentingan umum yang
perlu dilindungi. Khusus mengenai Perda Kab. Tobasa No. 16 Tahun 2001 tentang
Pemberian Sumbangan Pihak Ketiga kepada Pemerintah, demikian juga Perda Kab. Deli
Serdang No. 28 Tahun 2000 dengan judul yan sama, alasan pembatalannya oleh Mendagri
ialah bahwa pungutan dalam bentuk sumbangan ini, bertentangan dengan kepentingan umum
karena seharusnya sumbangan tersebut bersifat sukarela dan tidak ada unsur paksaan.

Mengenai Perda Tobasa No. 6 Tahun 2001 tentang Retribus Pengawasan dan Pemeriksaan
Kualitas Air, alasan pembatalannya ialah bahwa pengenaan retribusi terhadap pengamanan,
pengawasan dan pemeriksaan air bersifat pajak, karena penetapan tarif didasarkan pada
pemakaian air, bukan atas dasar biaya pemeriksaan.
Selanjutnya dikatakan, bahwa pemakaian air oleh perusahaan telah dikenaka pajak yakni
pajak pengambilan dan pemanfaatan air bahwa tanah dan air permukaan yang hasilnya dapat
dipergunakan untuk membiayai kegiatan pengawasan dan pemeriksaan kualitas air , sehingga
tidak perlu dikenakan pungutan tersendiri

d. Butiran Kajian Pertimbangan Pihak Departemen Keuangan: Kasus


di Sektor Ketenagakerjaan
Rekomendasi dari pihak Depertemen terkait mengemukakan hail untuk tiap sektor
dan menjadi bahan pertimbangan bagi pihak kajian Mendagri sebelum pembatalan
Perda. Dalam rekapitulasi Perda berkasus itu misalnya Perda Kab. Dairi No. 05 Tahun
2002 tentang ketenagakerjaan yang mewajibkan adanya. izin
Penyediaan dan pengaruh tenaga kerja dari Bupati, oleh Menteri Keuangan sebagai
pemberi kepada Pasal 25 A rekomendasi kepada Mendagri, merujuk ayat (2) UU No.
34 Tahun 2000 tentang Perubahan UU No. 18 Tahun 1997 perihal Retribusi Daerah
juncto Pasal 17 ayat (2) PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, hingga
direko-
mendasikan untuk dibatalkan, karena bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Di samping itu, disebut juga: Konvensi ILO No. 88
tentang
Lembaga Pelayanan Penetapan Tenaga Kerja yang sudah diratifikasi pihak Indonesia
melalui Keppres No. 36 Tahun 2002, juga merujuk kepada UU No. 22 Tahun 195
tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan juga kepada UU No. 12 Tahun 1964
dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja, PP No. 92 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Peneri-
maan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. Pengalaman seperti kasus Kab. Dairi itu, paten Mamuju (Perda No. 9
dialami juga oleh Kabu- Tahun 2002), Kota Manado dengan Perda No. 16 Tahun
2002, Kab. Bekasi dengan Perda No. 5 Tahun 2001, Perda Kota Bontang No. 6 Tahun
2001, Perda Kab. Sukohardjo No. 32 2001, dan lain-lain, yang pada umumnya
diterbitkan
di era reformasi, eforia demokrasi dan otonomi daerah. Dari keseluruhan survei dan
kajian kami mengenai gejolak Perda dan gonjang-ganjing otonomi daerah, penulis
ingin menyarankan kepada semua pihak terutama pejabat di pemerintahan daerah
sebagai berikut:
SARAN :
Pertama : apa pun yang terjadi mengenai reformasi dan eforia demokrasi, supaya
dipahami benar-benar baik konsepsional maupun operasional mengenai asas
desentralisasi dan hakikat otonomi daerah dan kaitannya dengan dekonsentralisasi
dan dengan asas (tugas pembantuan). Mash terngiang medebewind seorang wakil
rakyat di DPRD di telinga saya pertanyaan "Pak Solly, mengapa disebut Sekwilda,
bukan Sekda?" Itu berarti tokoh menjadi wakil rakyat daerah itu yang sudah duduk
tidak mengerti seluk beluk hukum dan terminologi yang bertalian dengan
pemerintahan daerah, serta di koridor mana ia duduk berfungsi. Maka tidak
mengherankan kalau dalam praktek, misalnya dalam dialog dengan pihak eksekutif,
tokoh legislatif itu kadang-kadang kurang nyalinya berhadapan dengan pihak
eksekutif yang sudah sejak lama meniti karir di pemerintahan, sejak staf Pak Camat
hingga Kepala
Dinas di Provinsi, sejak APDN hingga Sespanas, dengan "jam terbang" yang cukup
tinggi, baik dari segi pengalaman maupun Pendidikan (Experience and Education),
terlepas dari soal adanya cacat kepegawaian dalam conduite staat-nya.
Kedua ; supaya menyesuaikan sikap kebijakan dengan tuntutan reformasi yang ingin
berorientasi dan berpihak kepada kepentingan kesejahteraan dan rakyat banyak di
bawah sana, tidak sekedar Mengonggokkan pungutan retribusi untuk
membengkakkan PAD, yang ujung-ujungnya meningkatkan biaya rutin, termasuk
semua yang
berjenis "honorarium dan biaya ekstra lainnya".
Ketiga : bila perlu, hendaknya lembaga legislatif maupun eksekutif, supaya tidak
segan-segan dan malu-malu minta pendapat
dan advice kepada pihak teoritisi ataupun praktisi, yang diperkirakan lebih tahu
seluk beluk kebijakan dan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah.
Keempat : jika hendak mengadakan studi banding ke mana pun, kuasai lebih dulu
butir-butir pengetahuan minimal yang bertalian dengan apa yang mau
distudibandingkan itu, supaya bobot "studinya" lebih tinggi dari bobot "tournya",.
Bab khusus mengenai gejolak ini dengan sengaja penulis kemukakan, sebagai bukti
konkrit kesemrawutan situasi ketika itu.Ini bukan berarti penulis tidak menyetujui
diluaskannya kewenangan otonomi daerah, justru itulah yang penulis setujui, dan
yang
penulis maksud sebagai salah satu upaya pendemokrasian pemerintahan di daerah, di
samping berlakunya kewenangan dan wibawa (machtengezag) Pemerintah Pusat di
daerah, tetapi penulis berprinsip supaya semuanya harus berjalan proporsional dan
menurut aturan yang disepakati secara nasional. 23 Semenjak awal reformasi di
kalangan yang berpikir lebih rasional sudah mencuat pertanyaan, apakah reformasi ini
benar-benar bukan sekedar menumbangkan pimpinan rejim yang sedang berkuasa
otoriter atau akan berlanjut dengan perbaikan total sistem kekuasaan dan
pemerintahan yang tadinya dinilai tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan
cenderung sentralistis.Sewaktu eforia demokrasi itu melumer hingga ke sendi-sendi
pemerintahan di daerah, kemudian dijungkirkannya UU No. 5 Tahun 1974 lalu tampil
U baru No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah berikut UU No. 25 Tahun
1999 tentang hubungan keuangan antara pusat dan daerah, kelihatan para Pemerintah
Daerah
Kabupaten dan Kota kebanyakan bertindak dengan gaya baru seakan-akan ber-
ada dalam sistem manajemen tapa koordinasi dengan pemerintahan
daerah lainnya satu sama lain, vinsi, baik antarkabupaten/kota dengan pro tidak
mengenal koordinasi. padahal dalam setiap sistem manajemen omong kosong
jika Yang paling parah keadaannya ialah bahwa merasa enggan berposisi subordinasi
Kabupaten/kota itu padahal masih berlaku dalam hubungan dengan provinsi dasar
hukum yang memposisikan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk
mengkoordinir Kabupaten/Kota. Mereka lupa bahwa hakikat "'Otonomi dalam
kesatuan" tiada lain ialah "Kemandirian konteks Negara punya kewenangan-
kewenangan untuk mengatur dan Yang Integral" yang berarti mengurus rumah

23. Justru proporsionalitas inilah yang penulis kemukakan dalam Disertasi di tahun 1983 supaya
serentak dua prinsip, yaitu a) supaya berlangsungnya kewenangan dan Pusat di Daerah sekaligus
dengan b) berlangsungnya wibawa Pemerintah ole Pemerintah Daerah dengan urusan rumah tangga
pendemokrasian pemerintahan otonom daerah yang diperluas.
tangga daerahnya sendiri, tetapi senantiasa terikat secara integral. dalam sistem
kekuasaan dalam negara kesatuan. Akhirnya muncul sinisme mengatakan bahwa
pemerintahan Kabupaten/Kota itu sudah menampilkan dirinya sebagai Raja-Raja kecil
didaerah. Padahal pola hubungan yang perlu dikembangkan secara bijaksana,
meskipun
bobot subordinasi mengecil karena diluaskannya kewenangan otonomi, namun
koordinasi sebagai salah satu unsur dan fungi manajemen pemerintahan di daerah,
tidaklah mungkin dihapuskan sama sekali. Mengapa aspek ini didahulukan menonjol
dalam tulisan ini. Sebabnya jalan setelah melihat kondisi perundang-undangan di
daerah, khususnya kebijakan dalam rangka produksi Peraturan Daerah (Perda)
terbukti sudah kebablasan bahkan ngawur dari aturan main yang layak
di sebuah negara kesatuan.

Anda mungkin juga menyukai