Bab 7-10
Bab 7-10
Gemuruh aspirasi dan kepentingan politik yang demikian sebe-narnya adalah hal lumrah di
negara-negara yang makin berkembangpengalaman politiknya, begitu di Amerika Serikat,
juga di Eropa dan dinegara-negara di Asia selain Indonesia.
Menurut pengalaman Indonesia, soal perubahan UUD itu masihdianggap sebagai terobosan
luar biasa, karena bangsa ini belumbanyak mengalami yang namanya amandemen terhadap
pasal-pasalUUD.Yang pernah itu, ialah pindah total dari satu perumahan UUD keUUD
lainnya, yakni dari UUD 1945 ke Konstitusi RIS 1949, kemudianke UUDS 1950, lalu
kembali lagi ke UUD 1945, tanpa perubahan padaaspek ideologi dan tujuan nasional. Yang
jelas sebagai perubahan itu,ialah mengenai sistem pemerintahan (presidensial atau
ministerial),dan mengenai susunan negara, yakni negara kesatuan ataukah negaraserikat.
Sedang mengenai bentuk negara adalah tetap bertahan denganbentuk "republik", semenjak
tahun 1945 sampai sekarang.
Menanggapi gemuruh tuntutan perubahan UUD itu, saya inginkemukakan 2 (dua) buah
pertanyaan yang berbeda stellingnya, yaitu:
Adapun UU tentang referendum produk rejim Orde Baru adalahketentuan hukum yang
mengamankan kebijakan politis agar peluangyang dibuka oleh pasal 37 UUD 1945 itu tidak
dapat dipergunakan,karena peraturan referendum itu cukup ketat, mulai dari pengha-dangan
agar usul untuk mengagendakan perubahan itu gagal masukmenjadi acara rapat-rapat di MPR
dan juga jangan sampai sesuatuusul perubahan itu disetujui oleh MPR.
Setelah jelas tentang persoalan pertama bahwa UUD itu dapatdan boleh diubah serta ada
dasar hukumnya.Persoalan kedua apakahmemang sudah cukup alasan politis dalam arti telah
adanya kepen-tingan nasional yang dinilai cukup urgen untuk merubah UUD itu.
Kepentingan nasional yang bernuansa kebijakan politis inimasih dapat dipilah sebagai
berikut:
Timur yang bergabung melalui perantaraan oleh Pemerintah RIS, untuk kemudian masuk
ke dalam RI Kesatuan di bawah UUDS 1950. Amerika Serikat menjadi negara serikat
(USA) adalah lebih dulu Malaysia menjadi negara serikat didorong oleh kepentingan
penguasa setelah mengalami buruk baik dan model konfederasi (confederation).penguasa
feudal yang ingin melanjutkan sistem monarki di negaranya. Jerman menjadi Federasi
adalah produk pengalaman politik seusai
Perang Dunia, dan setelah mengalami pahit getir pernahnya terbelah menjadi Jerman
Timur dan Jerman Barat sebagai efek bipolarisme. Pokoknya masing-masing federasi
berdasarkan pengalaman sebelumnya, yang akhirnya pilihan itu secara internal dari pihak
bangsa itu
sendiri, bukan diintrodusir oleh bangsa lain dari luar. Disimpulkan dari contoh-contoh
perbandingan itu, ada dua syarat yang menonjol, yaitu:
1. Hasrat berfederasi (negara serikat) itu muncul secara internal dan merupakan
kesepakatan dan konsensus nasional.
2. Hasrat berfederasi itu muncul berkat pengalaman yang cukup lama dan matang dan
akhirnya menjatuhkan pilihan kepada pola
federasi sebagai pola yang dinilai bangsa itu sebagai yang terbaik dan menjanjikan
kebahagiaan dan kesejahteraan. Adalah menjadi catatan, bahwa sampai sekarang ini
perihal
"persatuan" sebagai asas kenegaraan dan "negara kesatuan" sebagai pola struktur
organisasi kenegaraan, masih tetap menjadi bahan diskusi.
Saya ingin menyatakan pandangan ke depan, bahwa apakah bangsa ini akan tiba juga
pada susunan negara serikat itu, seyogianya lebih dulu mematangkan pengalaman dengan
jalan menerapkan lebih dulu secara tuntas (completely, kaaffah) semua prinsip-prinsip
bernegara
sebagai negara kesatuan itu, termasuk hubungan yang wajar, adil dan demokratis antara
kekuasaan Pihak Pusat dan Daerah, perimbangan keuangan di antara keduanya dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya, dengan perlindungan hak-hak asasi yang benar-benar
solid, penegakan hukum yang serius oleh semua aparat dan masyarakat sendiri, dan
Sebagai akibat dari terpasungnya nilai-nilai dan asas-asas demokrasi di berbagai bidang
kehidupan bernegara itu, maka lewat gerakan
yang digelar sebagai reformasi, bangsa ini melakukan sikap banting setir dan ingin
merombak total sistem kenegaraan itu melalui perubahan UUD.
Sekiranya sejak dini, secara konsekuen dilaksanakan prinsip- prinsip negara kesatuan
sebagai republik yang demokratis dengan sistem pemerintahan presidensial itu, saya
yakin tidak akan seperti sekarang ini gencarnya gempuran terhadap UUD itu, dan
sebenarnya
yang seharusnya menjadi sasaran gempuran itu adalah manusia penguasa yang tadinya
menyerimpungkan pelaksanaan UUD itu, bukan UUD itu sendiri. Saya menilai bahwa
budaya politik yang mendasari pelaksanaan sistem pemerintahan itu, termasuk cara kerja
birokrasinya, tidak konsisten menurut stipulasi dan amanat kerakyatan yang dikehendaki
UUD itu. Dengan kata lain, paradigma-paradigma yang hakiki yang dianut UUD itu
sendiri tidak konsekuen dijalankan, padahal UUD 1945 itu sendiri mempunyai anutan
paradigma kerakyatan dan kemanusiaan yang menuntut rasa tanggung jawab antarsesama
warga bangsa ini dan juga tanggung jawab kepada Tuhan. Jika bangsa ini masih sudi
dengan pikiran lebih jernih mencoba ulang pelaksanaan yang benar-benar konsisten dan
konsekuen semua nilai-nilai filosofis, semua prinsip pemerintahan menurut UUD itu
secara
Tanpa kematangan pengalaman seperti itu lebih dulu, saya khawatir bangsa ini akan terus
berputar-putar dalam metode uji coba dan gonta-ganti UUD, gonta-ganti model
pemerintahan dan birokrasinya, gonta-ganti sistem pemerintahan daerahnya, dan tidak
kunjung berhasil meletakkan dasar yang benar-benar ampuh, pasti dan teruji untuk
mengembangkan kehidupan bernegara selanjutnya, yang akan diwariskan kepada
generasi penerus kita.
Saya tidak apriori, dan tidak berpretensi untuk mengkramatkan atau mendewa-dewakan
UUD, karena justru saya berprinsip bahwa UUD-lah sebagai alat dan instrumen bagi
manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya, bukan manusia dikorbankan untuk
supremasi dan pengkramatan UUD. Soal yang pokok, ialah apakah sudah benar-benar
tuntas pelaksanaan UUD itu selama waktu yang lalu ini, atau manusia-manusia
penguasanya yang menyerimpungkan pelaksanaan UUD itulah yang layak dituding,
bukan UUD-nya.
Atau bangsa ini mungkin memiliki "budaya politik lekas bosan terhadap sesuatu pola atau
konsep, dan cenderung gonta-ganti konsep, sebelum tuntas merealisir konsep yang
diberlakukannya sendiri".
Amerika Serikat sudah lebih dari 200 tahun (bicentennial) dengan UUD-nya,
diterapkannya sesuai dengan tuntutan perkembangan, diamandirnya sesuai selera politik
bangsa itu dari masa ke masa, tetapi dengan syarat berlakunya pengalaman praktek
kenegaraan yang benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip utama dalam UUD mereka,
dalam kurun waktu yang lama, dengan pengalaman yang cukup matang, pendidikan dan
kesadaran politik yang secara merata serta keyakinan akan fungsi yang hakiki dari
konstitusinya, baik dikalangan penguasa maupun rakyatnya. Begitulah pola
perkembangan konstitusionalisme yang berjalan di Amerika Serikat itu, sebagai sampel,
terlepas dari setuju atau tidaknya kita terhadap nilai-nilai budaya politik yang mereka
anut.
BAB VIII
DPRD SEBAGAI FUNGSIONARIS LEGISLATIF DAN SEBAGAI
KOMPON SUPRA STRUKTUR POLITIK
Pada umumnya semua badan perwakilan rakyat (Parlemen, DPR , DPRD) mempunyai dua
pokok fungsi utama, yaitu:
2. fungsi ontrol (yakni pengawasan terhadap kinerja eksekutif) Menurut teori yang secara
umum dijumpai mengenai ketatanegaraan, yang termasuk fungsi, tugas dan kewenangan di
bidang legislative itu ialah:
Sedangkan yang termasuk dalam fungsi, tugas dan kewenangan kontrol ialah:
a. hak petisi (hak perorangan anggota untuk mengajukan pertanyaa kepada pihak eksekutif);
c. hak enquette (angket, hak menyebar pertanyaan angket kepada Puolik untuk mengetahui
pendapat mereka mengenai sesuat kebijakan dan tindakan eksekutif).
Tetapi dalam praktek, tidak selalu demikian tata kewenangan perwakilan rakyat itu .
Buktinya, pasal 12 PP No. 1 Tahun 2001 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD,
menyebutkan hak-hak itu berturut-turut sebagai berikut :
c. mengadakan penyelidikan;
Terlepas dari persoalan adanya beda antara teori dan praktek itu, namun salah satu fungsi
utama anggota DPRD itu ialah sebagai legislator. Itu berarti berfungsi dalam hal pembuatan
peraturan
hukum (lege, legal) pada tingkat pemerintahan daerah. Judul makalah ini membatasi paparan
di sini mengenai fungsi legislatif saja. Namun demikian, meskipun UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, tidak lagi mengikutsertakan DPRD sebagai bagian dalam
pengertian Pemerintahan Daerah (sebagaimana dianut dalam UU No. 5 Tahun 1974), tokoh
DPR itu adalah merupakan subsistem dalam Pemerintahan Daerah. Sebelum uraian lebih
lanjut, ada baiknya dijelaskan lebih dulu makna "Pemerintah" dan "Pemerintahan" menurut
teori ketatanegaraan.
1. Pemerintah dalam arti keseluruhan lembaga kekuasaan yang ada dalam negara, berarti
meliputi badan legislatif, eksekutif, yudikatif, konsultatif, dan akuntantif;
2. Pemerintah dalam arti eksekutif saja, misalnya Presiden di negara republik, Raja di negara
monarki, berikut semua apparat eksekutifnya baik di Pusat maupun Daerah;
3. Pemerintah dalam arti top - administrator saja, yaitu Presiden dan Raja. Adapun
"Pemerintahan", itu bermakna mekanisme pelaksanaan kekuasaan yang terselenggara atas
kerja sama semua lembaga dan aparat kekuasaan dalam negara itu (machinery of state), di
mana pihak perwakilan rakyat pun turut termasuk (DPR, DPRD).
Atas dasar pengertian yang demikian, maka DPRD sebagai salah satu lembaga
penyelenggara pemerintahan di Daerah, meskipun tidak dianggap lagi merupakan bagian dari
Pemerintah Daerah, toh tetap turut bertanggung jawab secara politis atas penyelenggaraan
pemerintahan Daerahnya.
Oleh karena itu tidak mengherankan, kalau tudingan, demonstrasi dan unjuk rasa, bukan
hanya dihadapkan kepada pihak eksekutif, tetapi juga kepada DPRD. Bahkan dapat
dikatakan, bahwa DPRD itu turut memikul tanggung jawab moral politik atas berhasil
tidaknya jalannya pemerintahan di Daerah. Yang demikian adalah logis, karena DPRD itu
turut aktif merencanakan dan menyusun Rencana Strategi (Renstra) dan Program
Pembangunan Daerah (Propeda) dan juga menyusun dan mengesahkan APBD, yang
semuanya itu akan melibatkan pikulan beban bagi rakyat melalui berbagai pungutan di
Daerah, berupa pajak, retribusi, dan sebagainya.
troversi, bahwa di satu sisi DPRD sering menggugat eksekutif, mengapa pelayanannya
kurang memihak kepada kepentingan kesejahteraan rakyat, sedangkan di sisi lain para
anggota DPRD itu menuntut supaya anggaran untuk honorarium mereka ditingkatkan. Dalam
hal seperti
ini, patut dipertanyakan, apakah sudah seimbang antarjasa – politis yang mereka berikan
sebagai wakil rakyat dan frekuensi kehadirannya dalam rapat-rapat DPRD, dibandingkan
dengan nilai materil yang dite- rimanya setiap bulan, yang tadinya ditarik dari Rakyat melalui
RAPBD. Dalam hubungan yang demikianlah, kelihatan bagaimana DPRD itu merupakan
salah satu subsistem dalam konteks "Pemerintahan di Daerah", di mana DPRD itu kait-
mengait dengan pihak subsistem lainnya, yakni pihak Eksekutif dan Rakyat. Tegasnya, dalam
sistem
pemerintahan daerah" itu, yang berlakon bukan hanya DPR dan Eksekutif, tetapi juga turut
pihak Rakyat sebagai subsistemnya. Tanpa rakyat, tidak ada arti DPRD dan Bupati sebagai
pimpinan Eksekutif .
Di supra struktur (tataran atas masyarakat politik) itu, ialah mereka yang berada di
semua lembaga kekuasaan pemerintahan, sedangkan yang di infra strukturnya ialah
mereka yang berada di Partai-partai Politik (Parpol) dan Organisasi Massa (LSM,
NGO). Mungkin saja seseorang menduduki dua strata itu sekaligus, baik di supra
maupun di infra strukturnya. Yang menjadi fokus dalam wacana ini, ialah posisi dan
fungsi mereka yang duduk di DPRD sebagai figur yang berada di supra struktur
masyarakat politik itu, berikut dengan peranannya sebagai legislator, yang turut
berperan dalam penerbitan Peraturan Daerah (Perda).
Dalam posisi seperti ini, bagaimanapun negosiasi dan tawar- menawar yang mungkin
terjadi antara DPRD dan eksekutif, namun selaku wakil rakyat yang kepentingannya
mereka wakili dan salurkan, harus berpegang teguh pada prinsip bahwa mereka harus
memainkan peranan ganda sekaligus, yakni:
♦ Meramu aspirasi rakyat, baik secara songsong bola ataupun jemput bola (menunggu
rakyat datang mengunjungi DPRD atau langsung dialog dengan rakyat).
♦ Menyalurkan aspirasi rakyat ke forum-forum yang ada di DPRD, yaitu: Rapat
Komisi, Rapat Panitia Musyawarah, Rapat Pansus, Rapat Panitia Anggaran, Rapat
Paripurna, dan Pertemuan antara Legislatif dengan Eksekutif dan berusaha sedapat
mungkin agar Perda-Perda yang diterbitkan benar-benar menggambarkan tersalurnya
aspirasi rakyat itu.
Disinilah persamaan peranan wakil rakyat itu dengan kaum jurnalis/wartawan, yang
di satu sisi mencatat getaran hati Nurani masyarakat kemudian menyuarakannya
kepada semua pihak yang terkait lewat forum mass-medianya. Dalam konteks
"jalannya pemerintahan", DPRD itu bekerja sama dengan mitranya pihak Eksekutif.
Yang dimaksud dengan sejajar dan menjadi mitra bagi Eksekutif ialah bahwa DPRD
dan Pemerintah Daerah memiliki tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan
Pemerintahan Daerah, yang efisien, dan transparan dalam rangka memberikan pela-
yanan sebaik-baiknya kepada masyarakat demi terjaminnya produktivitas dan
kesejahteraan masyarakat di daerah (lihat Penjelasan Pasal 3 avat (2) PP No. 1 Tahun
2001 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).
Di antara beberapa kata kunci dalam Penjelasan itu, ada dua yang utama yaitu: a)
pelayanan dan b) kesejahteraan masyarakat. Pada pihak eksekutif pun terdapat tugas-
tugas yang demikian, tetapi masing-masing eksekutif dan legislatif menurut posisi dan
fungsinya. Pihak DPRD dalam tahapan perumusan kebijakan publiknya (public
Dolicy making) lewat Pembahasan Ranperda hingga gol menjadiPerda, sedangkan
pihak eksekutif terutama pada tahapan aplikasinya. Kalau akhir-akhir ini, terutama
yang namanya "era reformasi" dengan eforia demokrasinya masyarakat makin gencar
menuding dan memperbincangkan clea government (pemerintah yang bersih) dan
good governance (pemerintahan yang baik) maka tudingan itu bukan
hanya tertuju kepada pihak eksekutif saja, tetapi juga terhadap DPRD sebagai pihak
legislatif. Terlebih-lebih lagi, jika diingat latar belakang sejarah munculnya
reformasi sekitar tahun 1998, di saat-saat gencarnya teriakan agar di semua lin
kekuasaan memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, dan supaya forum
perwakilan rakyat ditempati oleh tokoh- tokoh yang populis, kiranya dapatlah
dipahami peranan legislatif yang bagaimana yang diidam-idamkan oleh rakyat sejak
semula reformasi itu.
BAB IX
RANCANGAN PERATURAN HUKUM (LEGAL DRAFTING), PERUNDANG-
UNDANGAN (LEGISLATURE) DAN KEBIJAKAN PUBLIK (PUBLIC POLICY)
Kemampuan dan koordinasi dalam legal drafting, khususnya dalam mempersiapkan RUU,
perlu mendapat perhatian, karena factor ini adalah menyangkut salah satu fungsi utama
aparatur negara, khususnya aparatur pemerintahan. Hal ini sangat penting mengingat bahwa
kebijaksanaan regulasi dan birokratisasi demikian relevan dan dominan, terlebih-lebih dalam
memasuki era reformasi pemerintahan dan pembangunan. Membicarakan legal drafting
sebenarnya secara langsung ataupun tidak langsung kita juga membicarakan public policy
(kebijakan publik) karena public policy pada umumnya dirumuskan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Demikian antara lain, penulis kutip dan sadur dari Prof. Dr. Awaloedin
Djamin. Prinsip-prinsip yang dianut dalam sistem administrasi pemerintahan RI antara lain
adalah prinsip pembagian habis tugas-tugas pemerintahan dalam Departemen-departemen
dan Lembaga lembaga pemerintah non-Departemen. Yang penting pula adalah prinsip
fungsionalisasi dalam sistem administrasi pemerintahan RI, berarti bahwa masing-masing
Departemen secara fungsional bertugas dan bertanggung jawab atas sebagian tugas pokok
pemerintahan. Misalnya,
B. Fungsionalisasi Departemen-departemen
Pada umumnya, fungsi utama Departemen, yaitu sebagai
berikut:
a. fungsi pengaturan;
b. fungsi perizinan;
c. fungsi pelaksanaan sendiri tugas pokok;
d. fungsi pengelolaan pemilikan negara yang dipercayakan kepada
Departemen yang bersangkutan;
e . fungsi pengawasan pelaksanaan tugas pokok.
ad. a. fungsi pengaturan atau "regulerende functie", ("regulatory function", atau
"rule making function) yang juga dapat diartikan sebagai "policy making function",
merupakan fungsi utama semua departemen dan mungkin termasuk fungsi
yang paling sukar tapi sangat penting;
ad. b. Fungsi utama ke-2 adalah perizinan. Perizinan pada dasarnya adalah berkaitan
dengan fungsi pengaturan. Tujuannya adalah agar terjamin keadilan, pemerataan dan
pengamanan. Oleh karena itu bagi setiap perizinan harus jelas mekanisme
dan prosedurnya serta pejabat atau unit organisasi mana yang diberi wewenang untuk
mengeluarkan izin tersebut. Dengan alasan kebijaksanaan serta administratif,
seringkali
terdapat prosedur perizinan yang berbelit-belit, menyangkut sampai berpuluh-puluh
instansi. Mengapa terjadi demikian? Karena yang mendapat dan yang memberi izin
umumnya merasa "diuntungkan", maka pejabat atau instansi yang berwenang
mengeluarkan izin dalam praktek sering menjadi lahgunaan kekuasaan (abus de droit,
misbruik van recht) dan "penguasa" dan dapat merupakan kerawanan bagi penya-
birokrasi yang digelimangi suap, sogok, dan sebagainya;
ad. c. Karena sifatnya, maka pejabat-pejabat instansi tertentu diberi tugas dan
tanggung jawab untuk melaksanakan
sendiri tugas pokoknya seperti pemungutan pajak, bea cukai, imigrasi,
pemasyarakatan. dirasakan sebagai wewenang melanggar hak asasi secara
cukai, imigrasi, pemasyarakatan. Wewenang penyidikan yang dirasakan sebagai
wewenang melanggar hak asasi secara legal, hanya diberikan petugas POLRI tertentu
dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang ditentukan oleh undang-undang;
ad. d. Milik negara, yang sering ditulis dalam beberapa dokumen dan disebut-sebut di
mass-media adalah yang berbentuk BUMN. Di samping itu yang juga besar
jumlahnya adalah sarana fisik pendidikan dan rumah sakit milik negara yang
dikelola berdasarkan ICW (Undang-undang Perbendaharaan Negara) dan karenanya
semua karyawannya berstatus pegawai negeri sipil. Status sekolah dan rumah sakit
milik negara ini kiranya sudah perlu penelitian dan peninjauan, mengingat banyak
Perguruan Tinggi Negeri dan rumah sakit milik negara yang meminta otonomi agar
dapat dikelola secara swadana. Inventaris lainnya milik Departemen tentunya harus
pula dikelola secara efisien,
karena berasal dari APBN;
ad. e. Yang dimaksud di sini, bukan pengawasan intern, pengawasan fungsional atau
pengawasan melekat, akan tetapi fungsi utama Departemen untuk mengawasi dan
mengevaluasi apakah pelaksanaan tugas pokoknya berjalan seperti yang
direncanakan.
C. Legal Drafting
Legal Drafting ialah pembuatan konsep (draft) setiap dokumen yang mempunyai
akibat hukum (legal effect), baik di bidang hukum publik maupun hukum privat.
Adapun legislative drafting, ia termasuk sebagai salah satu bagian (as a part) dalam
kelompok Legal Drafting, yang khusus untuk kegiatan perundang-undang. Sesuai
pula dengan prinsip fungsionalisasi, maka Prakarsa perumusan suatu peraturan
perundang-undangan harus diambil oleh Departemen yang secara fungsional bertugas
di
bidang itu, seperti Departemen P&K di bidang pendidikan, Departemen Kesehatan di
bidang kesehatan dan seterusnya. Departemen yang bersangkutanlah yang mengetahui
tingkat hierarki peraturan perundang-undangan mana yang diperlukan, apakah itu
Peraturan Dirjen, Peraturan Menteri, Keppres, Peraturan Pemerintah atau RUU.
Peraturan Dirjen misalnya, karena ia bersifat teknis, paling kurang memerlukan
koordinasi horizontal. Peraturan Menteri, walaupun wewenang Menteri untuk
mengesahkannya, pada umumnya memerlukan koordinasi horizontal dengan
Departemen atau Lembaga Pemerintah non-Departemen yang ada kaitannya dengan
Peraturan Menteri itu.
Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari peraturan Menteri pada
umumnya memerlukan koordinasi dan konsultasi dengan Departemen lain mengenai
substansi peraturan perundang-undangan itu .
Bila tidak, akan dapat terjadi kesimpangsiuran ataupun tumpang tindih yang
mengakibatkan tidak adanya konsistensi antara kebijakan.. Padahal, harus
diingat bahwa suatu Peraturan Menteri, pada prinsipnya mengikat masyarakat
dan seluruh instansi pemerintah.
Dalam praktek di Indonesia, sering dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB)
antara dua Menteri atau lebih. Sebenarnya seperti diuraikan di atas, suatu Peraturan
Menteri yang dalam perumusannya mengikuti prosedur seperti tersebut terdahulu,
yaitu sudah dikoordinasikan lebih dulu secara intensif dengan Departemen terkait,
maka Peraturan Menteri itu juga mengikat bagi semua Departemen. Atau, bila
substansi yang dicakup lebih luas dari bidang fungsional Menteri yang bersangkutan,
sebaiknya dirumuskan sebagai Keputusan Presiden. Tapi, bila dalam praktek SKB-
SKB ini ada manfaatnya, karena para Menteri yang menandatanganinya merasa ikut
terikat dalam pelak-
sanaannya, kiranya dapat diteruskan hanya dalam hal-hal yang benar- benar
memerlukan keterkaitan antar-Departemen yang bersangkutan. Namun demikian,
masih perlu didiskusikan, apakah masih perlu adanya modal SKB seperti itu.
Peraturan perundang-undangan, terutama RUU yang tidak termasuk ruang lingkup
satu Departemen, dan merupakan RUU yang luas jangkauannya, seperti RUU Kitab
Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) atau RUU KUHPerdata, RUU KUHAP
(dahulu) maka prakarsa perumusannya masuk tanggung jawab
fungsional Departemen Kehakiman.
Menteri Kehakiman dalam perumusannya tentu mengadakan koordinasi dan
konsultasi dengan instansi-instansi yang terkait. Dalam hal ini Departemen
Kehakiman memiliki BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) untuk membantu
Menteri dalam penelitian dan persiapannya. Dalam prosedur penyampaian RUU ke
DPR, setelah
Presiden menandatangani pengantarnya Menteri yang fungsionallah yang
menyampaikan ke DPR dan menyelesaikannya bersama DPR. RUU yang menyangkut
Lembaga Tinggi Negara atau Lembaga non- Departemen, sepanjang mengenai
organisasi dan tata cara kerjanya,
Menpan menyampaikannya ke DPR, seperti RUU tentang Badan Pemeriksaan
Keuangan, RUU Kepegawaian Negeri, dan sebagainya. RUU Kejaksaan, disampaikan
oleh Menteri Kehakiman, karena Kejaksaan Agung sebagai lembaga pemerintah non-
Departemen tidak lazim menyampaikan RUU-nya ke DPR. Demikian pula nanti bila
RUU Kepolisian RI diperbaharui, Menhankamlah yang akan menyampaikan-
nya ke DPR.
Jadi, pada pokoknya prakarsa dan perumusan suatu rencana peraturan perundang-
undangan adalah tugas Menteri yang fungsional membidangi substansi rencana
peraturan perundangan-undangan yang bersangkutan. Sebenarnya, yang dapat
mengeluarkan Peraturan Menteri (yang mengikat rakyat), sesuai UUD 1945, adalah
Menteri yang memimpin Departemen. Menurut Prof. Dr. Awaloedin Djamin, Menko,
Menteri Negara (yang tidak memimpin Departemen), seyogianya tidak mengeluarkan
Peraturan Menteri yang mengikat rakyat. Alasan logisnya menurut pandangan
Awaloedin Djamin ialah, bahwa menteri yang memimpin departemen dengan
perangkat organisasinya juga bertanggung jawab atas keberhasilan pelaksanaan
peraturan Menteri itu. UUD 1945 menyebut Menteri yang memimpin Departemen,
menjalankan kekuasaan pemerintah ("pouvoir executif") dalam praktek. Penentuan
suatu peraturan perundang-undangan berbentuk UU, PP, Keppres atau peraturan
Menteri, tergantung dari ruang lingkup substansi peraturan perundang-undangan dan
tingkat hierarkinya. Misalnya suatu PP atau Keppres merupakan penjabaran suatu
UU,
dan Peraturan Menteri menjabarkan PP atau Keppres. Walaupun semua kita
memaklumi, bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan lebih tinggi, dalam praktek hal ini dapat terjadi lex superior
derogat legi inferiori (minor). ini, adalah mengenai susunan dan sistematika rumusan
rencana Persoalan lain dalam legal drafting khususnya Legislative Drafting peraturan
perundang-undangan, khususnya yang menyangkut konsiderans dan diktum. Pernah
terjadi konsiderans yang Panjang lebar, "Menimbang", "Mengingat", dan sebagainya
sedangkan diktumnya singkat saja.
D. Public Policy
"Public Policy" sebagai mata kuliah di Perguruan Tinggi masih termasuk langka dan
baru di Indonesia. Mata pelajaran ini umumnya diajarkan pada jurusan Administrasi
Negara di Strata Fakultas (S1). Ada juga diajarkan di Strata Magister (S2) misalnya di
Program PWD (perencanaan/pengembangan Wilayah & Pedesaan). Public Policy di-
terjemahkan sebagai kebijakan publik atau kebijakan negara. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa public policy digunakan untuk memecahkan masalah "public
affairs", sedangkan studi (antardisiplin) untuk menemukan alternatif kebijaksanaan
terbaik guna
mengatasi permasalahan yang dihadapi agar dicapai tujuan yang diinginkan, disebut
"policy analysis".
Di negara-negara maju banyak terdapat pusat-pusat policy studies, yang mempelajari
bagaimana suatu kebijakan dilahirkan dan membantu dalam policy making pada
umumnya atau mempelajari suatu kebijakan tertentu, termasuk masalah-masalahnya,
instansi- instansi mana yang seharusnya terlibat, dan sebagainya. Dalam uraian
singkat ini, tidak akan dibahas sejarah perkembangan public policy ataupun
bermacam model pembuatan kebijakan publik, akan tetapi menguraikan kaitan
kebijakan publik dengan legal drafting dan "rule making process" pada umumnya.
Hogwood dan Gun dalam "Policy Analysis for the Real World" mengelompokkan
pengertian istilah "policy" ke dalam sepuluh pengertian yaitu :
1) policy as label for a field of activity;
2) policy as an expression of general purpose or desired state of
affairs;
3) policy as a specific proposal;
4) policy as decision of government;
5) policy as formal authorization;
6) policy as programme;
7) policy as output;
8) policy as outcome;
9) policy as theory or model;
10) policy as process.
Ke dalam pengertian ad 2, termasuk pernyataan pejabat pemerintah yang merupakan
harapan atau kehendak, seperti disiplin nasional, menciptakan aparatur pemerintah
yang cakap, bersih dan berwibawa dan sebagainya. Pernyataan-pernyataan seperti itu
bila tidak ada follow-up operasionalnya, lebih merupakan "retorika" daripada
Kenyataan .
Juga sering adanya "statement" pejabat pemerintah ataupun melalui kampanye
Pemilu/Pilkada mengenai gagasan "terapi atau obat" dari sesuatu, tanpa jelas ada
masalahnya, apakah sistem yang berlaku salah, atau penjabarannya yang tidak tepat.
Statement seperti inipun dapat membingungkan masyarakat.
Yang dikemukakan dalam tulisan Prof. Awaloedin Djamin adalah "policy as a
process", karena kaitannya dengan "legal drafting" khususnya Legislative Drafting.
Pusat perhatian (focus) di sini diberikan pada tahap-tahap yang dilalui oleh kebijakan
itu.
Pada umumnya tahap-tahap kebijakan mencakupi isu-isu atau masalah, yang
memerlukan penelitian (policy research) untuk pemecahan masalah tersebut. Bila
sudah jelas alternatif yang dianggap tepat untuk pemecahan masalah itu, maka
kebijakan dirumuskan (policy formulation). Selanjutnya bentuk kebijakan ditentukan,
tertulis
atau tidak serta tingkatannya dalam peraturan perundang-undangan.
Pada umumnya, kebijakan publik, karena mengikat rakyat banyak, dirumuskan secara
tertulis, dan karena itu berbentuk peraturan perundang-undangan. Tingkat hierarkinya
menentukan pejabat mana yang secara resmi memutus rumusan kebijakan (policy
decision. Bila telah merupakan kebijakan resmi, maka pelaksanaan dimulai
(policy implementation). Seharusnya beberapa waktu setelah pelaksanaan kebijakan
berjalan, diadakan pengawasan, monitoring dan evaluasi (MONEVA) dampak
kebijakan (policy evaluation) dan bila perlu kebijakan itu di revisi atau diakhiri
keberlakuannya. Policy making process, policy implementation, dan policy evaluation
memang masih relatif baru sekali di Indonesia, walaupun telah dilakukan
secara lebih teratur semenjak tahun 1960-an. Tentu terdapat perbedaan dalam proses
mempersiapkan GBHN (dulu), sekarang RPJPN, RPJMD (Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional, dan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah),
UU, PP, Keppres, Peraturan Menteri, Peraturan Dirjen serta Perda tingkat Provinsi
dan Perda tingkat Kabupaten/Kota. Sama dengan peraturan perundang-undangan,
kebijakan publik, sekali diputus, maka ia mengikat obyek ataupun subyek kebijak-
sanaan itu.
Dalam negara demokrasi, pemerintah tidak boleh bersikap "lebih mengetahui
kebutuhan dan masalah masyarakat", dengan membuat kebijakan tanpa mendengar
masyarakat yang bersangkutan. Praktek ini dapat disebut "benevoleitt autocracy".
Pemerintah negara demokrasi sebelum merumuskan suatu kebijakan, mendengar lebih
dahulu aspirasi obyek yang akan dicakup kebijakan tersebut. Juga konsultasi dengan
instansi terkait, perlu diadakan karena akan ikut terlibat dalam pelaksanaannya.
Seperti diuraikan terdahulu, Lemhanas (Lembaga Ketahanan Nasional) dalam
bukunya "Stratifikasi Kebijaksanaan Nasional" membagi tingkat-tingkat kebijakan
nasional dalam negara kita sebagai berikut:
1) Kebijakan Puncak
Kebijakan Puncak adalah kebijaksanaan publik tertinggi yang dulu sebelum
amandemen UUD, dilakukan MPR dengan hasil yang dirumuskan dalam bentuk
TAP-TAP MPR termasuk GBHN; Dokumen Kebijakan Politis ini di Era
Pemerintahan Orde Baru, dimulai dari GBHN tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993,
dan akhirnya GBHN tahun 1999. Sesudah itu Haluan Negara, dirumuskan dalam
bentuk RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional), sebagai hasil
kesepakatan politis antara Presiden dan DPR, sekaligus mengadopsi Misi dan Visi
Presiden;
2) Kebijakan Umum
Undang-Undang Nomor 10 dan seterusnya;
3) Kebijakan Khusus
Wewenang pembuatan kebijakan khusus ini terletak pada Menteri (yang secara
fungsional membidanginya) berdasarkan dan sesua dengan kebijakan pada tingkat di
atasnya. Hasilnya dirumuskan dalam bentuk peraturan Menteri, Keputusan Menteri
atau Instruksi Menteri. Dalam keadaan tertentu dapat dikeluarkan Surat Edaran
Menteri;
4) Kebijakan Teknis
Meliputi penggarisan dalam suatu sektor dari kebijakan khusus Departemen yang
bersangkutan dan teknik untuk mengimplementasikan rencana, program dan kegiatan
dari Direktorat Jenderal yang bersangkutan.
BAB X
Gejolak Perda yang penulis maksud di sini adalah kerancuan - kerancuan yang terjadi di awal
reformasi, khususnya dalam proses pergantian Undang-Undang yang mengatur perihal
Pemerintahan dan Otonomi Daerah, di awal tahun 2000-an.
Dalam konteks situasi yang demikian itulah ngawurnya pengertian bahkan latahnya tindak-
tanduk kepala-kepala Daerah tingkat II di daerah. Ada yang bertindak langsung berurusan
dengan pihak Departemen Dalam Negeri tanpa konsultasi lebih dulu dengan Gubernurnya,
ada yang mengganti plakat gedung-gedung aset provinsi di daerahny lalu menggantinya
dengan plakat atas nama Pemerintah Kabupaten.
,
.
Dalam situasi runyam seperti itulah maksudnya Perda-Perda di tingkat II, yang menyimpang
dari acuan-acuan dasar hukum dan kebijakan yang seharusnya, diukur menurut tata
perundang-undangan yang seharusnya dipatuhi Daerah-daerah itu.
Di antara Perda-Perda itu ada yang diberi teguran oleh Mendagri misalnya terhadap
Perda Kab. Deli Serdang No. 27 Tahun 2000 tentang Pajak Produksi Hawil
Perkebunan Negara/Daerah, Perusahaan Perkebunan Swasta dan Perkebunan Rakyat,
Perda Kab. Karo No. 6 Tahun 2001 tentang retribusi pengawasan dan pemeriksaan
kualitas air, Perda Kab. Tohasa No. 16 Tahun 2001 tentang pemberian sum-
bangan pihak ketiga kepada pemerintah Kabupaten, Perda Kab. Deli Serdang No. 28
Tahun 2000 dengan judul yang sama, Perda Kab. Asahan No. 29 Tahun 2002 tentang
Sumbangan Wajib Perusahaan Perkebunan Negara/Daerah dan Swasta, Perda Kab.
Karo No. 24tTahun 2001 tentang Pajak Usaha Pemanfaatan Hasil Bumi, Perda
Kab. Tapsel No. 11 Tahun 2001 tentang Retribusi Lalu Lintas Produksi Hasil
Tanaman Perkebunan dan Hortikultura, Perda Kab. Simalungun No. 28 Tahun 2001
tentang Retribusi Lalu Lintas Produksi Perikanan dan Peternakan, Perda Kab. Karo
No. 41 Tahun 2001 tentang Retribusi Pemanfaatan Kayu Pada Tanah Milik, demikian
juga dengan judul yang bersamaan yakni Perda Simalungun No. 16 Tahun 2001,
Perda Kab. Simalungun No. 15 Tahun 2001 tentang Retribusi Pemungutan
Hasil Hutan Non Kayu selanjutnya berturut-turut Perda Kab. Simalungun
No. 24 Tahun 2001 tentang Retribusi Pembinaan, Pengawasan, dan Pengendakian
Industri, Perda No. 22 Tahun 2001 tentang Retribusi Tanda Daftar Gudang, Perda No.
26 Tahun 2001 tentang Retribusi Izin Pendirian Depot Lokal Stasiun Pengungsian
Bahan Bakar Minyak untuk Umum, Pemasaran Bahan Bakar Khusus, Perda No. 33
Tahun 2001 tentang Retribusi Izin Usaha Media Film, Video dan Sejenisnya,
Media Luar Ruang, Media Elektronik, Seterusnya Perda Kab. Tapsel No. 18 Tahun
2001 tentang Retribusi Izin Usaha Industri, Perdagangan, dan Gudang, Perda Kab.
Tapanuli Utara No. 26 Tahun 2001 tentang Retribusi Izin Bongkar Muat Barang
Dagangan, dan Perda Kota Binjai No. 17 Tahun 2001 tentang Retribusi Wajib
Pendaftaran dan Pemeriksaan Kendaraan Tidak Bermotor.
C .Alasan Pembatalan
Mengenai Perda tentang Pajak Produksi Hasil Tanaman Perkebunan Negara/Daerah, Swasta
dan Perkebunan Rakyat alasan pembatalannya ialah bahwa pengenaan pajak atas produks
Tertentu oleh Pemerintah Daerah akan merintangi arus sumber daya ekonomi antardaerah
maupun kegiatan impor ekspor. Pada prinsipny hasil perusahaan perkebunan dan pertanian
telah diperhitungka dalam pengenaan pajak tersebut akan tumpang tindih dengan pajak Pusat.
Khusus mengenai Perda Kab. Aceh Timur No. 17 Tahun 2001 tentang Retribusi Hasil Usaha
Perkebunan, alasan pembatalannya ialah bahwa pengenaan retribusi hail usaha perkebunan
tersebut bersifat pajak, sebab tidak ada jasa yang disediakan oleh Daerah, dan bahwa
pengendalian oleh Daerah tidak diperlukan karena tidak ad aspek kepentingan umum yang
perlu dilindungi. Khusus mengenai Perda Kab. Tobasa No. 16 Tahun 2001 tentang
Pemberian Sumbangan Pihak Ketiga kepada Pemerintah, demikian juga Perda Kab. Deli
Serdang No. 28 Tahun 2000 dengan judul yan sama, alasan pembatalannya oleh Mendagri
ialah bahwa pungutan dalam bentuk sumbangan ini, bertentangan dengan kepentingan umum
karena seharusnya sumbangan tersebut bersifat sukarela dan tidak ada unsur paksaan.
Mengenai Perda Tobasa No. 6 Tahun 2001 tentang Retribus Pengawasan dan Pemeriksaan
Kualitas Air, alasan pembatalannya ialah bahwa pengenaan retribusi terhadap pengamanan,
pengawasan dan pemeriksaan air bersifat pajak, karena penetapan tarif didasarkan pada
pemakaian air, bukan atas dasar biaya pemeriksaan.
Selanjutnya dikatakan, bahwa pemakaian air oleh perusahaan telah dikenaka pajak yakni
pajak pengambilan dan pemanfaatan air bahwa tanah dan air permukaan yang hasilnya dapat
dipergunakan untuk membiayai kegiatan pengawasan dan pemeriksaan kualitas air , sehingga
tidak perlu dikenakan pungutan tersendiri
23. Justru proporsionalitas inilah yang penulis kemukakan dalam Disertasi di tahun 1983 supaya
serentak dua prinsip, yaitu a) supaya berlangsungnya kewenangan dan Pusat di Daerah sekaligus
dengan b) berlangsungnya wibawa Pemerintah ole Pemerintah Daerah dengan urusan rumah tangga
pendemokrasian pemerintahan otonom daerah yang diperluas.
tangga daerahnya sendiri, tetapi senantiasa terikat secara integral. dalam sistem
kekuasaan dalam negara kesatuan. Akhirnya muncul sinisme mengatakan bahwa
pemerintahan Kabupaten/Kota itu sudah menampilkan dirinya sebagai Raja-Raja kecil
didaerah. Padahal pola hubungan yang perlu dikembangkan secara bijaksana,
meskipun
bobot subordinasi mengecil karena diluaskannya kewenangan otonomi, namun
koordinasi sebagai salah satu unsur dan fungi manajemen pemerintahan di daerah,
tidaklah mungkin dihapuskan sama sekali. Mengapa aspek ini didahulukan menonjol
dalam tulisan ini. Sebabnya jalan setelah melihat kondisi perundang-undangan di
daerah, khususnya kebijakan dalam rangka produksi Peraturan Daerah (Perda)
terbukti sudah kebablasan bahkan ngawur dari aturan main yang layak
di sebuah negara kesatuan.