Anda di halaman 1dari 10

Peran Regulasi Pemerintah dalam Mendorong

Pertumbuhan E-Commerce
di Indonesia

Disusun Oleh :

1. Irfan Rakhman Hidayat (C2C022030)

MAGISTER MANAJEMEN
UNIVERSITAS JENDERAL SUDIRMAN
2022
1. Latar Belakang Masalah
Pesatnya perkembangan ekonomi dan teknologi mendorong para pelaku ekonomi
untuk mengadopsi sebuah sistem transaksi ekonomi yang lebih cepat, murah dan
efisien. Dari sinilah lahir sebuah sistem transaksi elektronik yang kita sebut sebagai
E-Commerce (Perdagangan secara elektronik).
Perdagangan secara elektronik ini tidak hanya meningkatkan pemasaran dari sisi
jangkauan namun juga menurunkan biaya dari sisi operasional. Melalui perdagangan
secara eletronik maka perusahaan dapat meningkatkan jangkauan konsumennya
hingga ke pelosok-pelosok Indonesia. Disisi lain, perkembangan E-Commerce juga
dapat menurunkan biaya karena perusahaan tidak perlu lagi harus menyewa atau
mendirikan outlet-outlet fisik disetiap daerah secara masif.
Keberhasilan E-Commerce di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari jumlah
pengguna internet yang ada. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII) dalam Lukito (2017), jumlah pengguna internet di Indonesia per
tahun 2016 saja telah mencapai angka 132 juta jiwa atau setidaknya separuh
penduduk Indonesia. Meskipun demikian, 86,5 juta atau sekitar 65%nya masih
terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Besarnya jumlah pengguna internet di Indonesia menjadi sebuah potensi yang
besar bagi E-Commerce. Berdasarkan data BPS, di tahun 2021 jumlah penduduk yang
masuk ke dalam usia produktif mencapai sekitar 185 juta jiwa atau 68 persen dari
total jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 272 jiwa. Dari total 185 juta jiwa ini,
44 juta jiwa dapat dikategorikan sebagai gen z, 65 juta jiwa termasuk dalam generasi
millennial dan 76 juta jiwa termasuk kedalam generasi X.
Dari data tersebut kita bisa melihat bagaimana usia produktif didominasi oleh
generasi z dan millennial. Hal inilah yang kami duga menjadi salah satu pendorong
mudah diterimanya sistem perdagangan secara elektronik di Indonesia. Tentu saja hal
tersebut karena generasi muda millennial hingga generasi z merupakan generasi yang
besar dengan teknologi sehingga adaptasi mereka terhadap sistem transaksi secara
elektronik menjadi lebih mudah.
Selain itu, menurut Lukito (2017) perilaku konsumtif dari beberapa juta
masyarakat Indonesia terutama di daerah perkotaan yang menjadikan pembelian
secara elektronik sebagai sebuah gaya hidup juga mendukung pertumbuhan sistem
perdagangan elektronik di Indonesia.
Meskipun demikian, bukan berarti penerapan sistem E-Commerce di Indonesia
tidak mengalami hambatan sama sekali. Banyak kendala yang menghambat
diterimanya sistem ini secara maksimal. Kendala -kendala tersebut bisa dari segi
keamanan, infrastruktur, demografis dan lain sebagainya. Artikel ini bertujuan untuk
melihat bagaimana upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka
menyelesaikan permasalahan tersebut dalam rangka mendorong pertumbuhan sistem
e-commerce di Indonesia.

2. Regulasi Pemerintah Terkait E-Commerce di Indonesia


Menurut Damsgaard dan Lyytinen dalam Bachtiar (2020), terdapat 6 hal yang
dapat dilakukan oleh pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yaitu (1)
pembangunan pengetahuan, (2) penyebaran pengetahuan, (3) subsidi, (4) mobilisasi,
(5) pengarahan inovasi, dan (6) penetapan standar.
Terkait dengan 6 strategi tersebut, pada sub bahasan ini kita akan berfokus pada
masalah penetapan standar. Sesuai dengan judul artikel yang kami buat di awal, maka
tulisan ini akan berfokus pada regulasi pemerintah terkait dengan perdagangan
elektronik.
Terkait dengan sistem perdagangan elektronik, pemerintah telah mengeluarkan
Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Road Map E-Commerce)
tahun 2017-2019 atau disebut dengan Peta Jalan SPNBE tahun 2017-2019 dalam
bentuk Perpres No. 74 Tahun 2017. Kebijakan ini dikeluarkan sebagai upaya
pemerintah mendorong percepatan dan pengembangan sistem perdagangan nasional
berbasis elektronik (e-commerce), usaha pemula (start-up), pengembang usaha dan
percepatan logistik.
Di dalam Peta Jalan SPNBE tahun 2017-2019 termasuk di dalamnya mengatur
mengenai program pendanaan, perpajakan, perlindungan konsumen, pendidikan dan
sumber daya manusia, infrastruktur komunikasi, logistic, keamanan siber, dan
pembentukan Manajemen Pelaksana Peta Jalan SPNBE tahun 2017-2019.
Menurut Bachtiar (2020), dari awal pencetusannya hingga tahun 2018 SPNBE
sudah melakukan banyak pencapaian. Pencapaian-pencapaian tersebut antara lain :
1. Menghasilkan 62 keluaran (output) yang terdiri dalam 8 pilar yaitu :
Pendanaan, perpajakan, perlindungan konsumen, pendidikan dan SDM,
Infrakstruktur Komunikasi, logistik, keamanan sisber dan manajemen
pelaksana.
2. Melakukan finalisasi terkait dengan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang
Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
3. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian bekerja sama dengan
Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Asosiasi E-Commerce (idEA)
mengumpulkan data terkait dengan e-commerce melalui kuosioner pertanyaan.
Hasil survey ini menunjukan bahwa pusat e-commerce sebanyak 70-80%
masih terpusat di Pulau Jawa.
4. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian berperan sebagai focal point
dan lead negotiator Indonesia pada ASEAN Agreement on e-Commerce
(ACCEC).
5. Ekspor melalui e-commerce dilakukan melalui partisipasi Indonesia pada
singles days event (11.11) di Tiongkok. Tercatat terdapat beberapa merek
yang ikut berpartisipasi di dalam event ini seperti : Indomie, Kapal Api,
Richeese Nabati, YanTyTy dan Papatonk.

Setelah kita melihat pencapaian yang telah dihasilkan pemerintah selama tahun
2018, maka selanjutnya kita akan melihat target apa saja yang ingin di capai oleh
pemerintah di tahun 2019. Berikut target-target yang ingin di capai oleh pemerintah :

1. Menyelesaikan Peta Jalan Sistem Perdagangan Berbasis Elektronik (SPNBE)


tahun 2017-2019 yang kini telah masuk pada tahap kedua.
2. Menyusun strategi ekonomi digital nasional sebagai tindak lanjut dari evaluasi
bahwa isu yang berkembang telah meluas ke ekonomi digital.
3. Mendorong percepatan proses penetapan RPP PMSE (Perdagangan Melalui
Sistem Elektronik) dan aturan turunan terkait dengan PMSE.
4. Mengumpulkan data e-commerce yang diwajibkan dalam RPP PMSE dan
pelaksanaanya dikoordinasikan oleh kementerian perdagangan.
5. Menyusun strategi ekspor melalui e-commerce dan penguatan ekosistem
pendukungnya.
6. Mendorong proses ratifikasi ASEAN Agreement on E-Commerce.

Selain itu, secara formil, pemerintah juga menggunakan undang-undang untuk


mengatur perdagangan secara elektronik. Undang-undang yang dimaksud adalah
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan transaksi elektronik
(UU ITE). UU ITE sendiri merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008.

Secara umum, UU ITE mengatur permasalahan terkait permanfaatan teknologi


informasi dan komunikasi. Penafsiran secara luas terkait dengan Undang-Undang ini
juga mencakup norma-norma terkait dengan perdagangan secara elektronik atau e-
commerce. Meskipun demikian, Undang-Undang ini masih tetap mengacu pada
aturan keperdataan konvensional yaitu KUHPdt (Lukito, 2017).

3. Tantangan Pengembangan E-Commerce di Indonesia


Salah satu tantangan yang perlu diatasi untuk mengembangkan e-commerce di
Indonesia adalah membuat regulasi e-commerce yang dapat memberikan keamanan
dalam melakukan aktivitas jual beli barang dan jasa (Bachtiar, 2020). Dengan kata
lain, kita masih melihat bahwa isu keamanan dalam melakukan transaksi masih
menjadi momok yang menakutkan bagi mereka yang ingin mencoba melakukan
transaksi secara elektronik.
Ketakutan akan mendorong rasa tidak percaya pada sebuah sistem. Ketakutan
akan keamanan sistem ini jugalah yang sebenarnya membuat penetrasi perdagangan
di Indonesia masih tergolong rendah (Rofiq, 2017). Dengan kata lain, jika kita ingin
mendorong perkembangan pertumbuhan E-Commerce di Indonesia maka pemerintah
harus mampu menciptakan rasa aman bagi para pengguna E-Commerce. Rasa aman
inilah yang akan mendorong munculnya kepercayaan tidak hanya dari sisi pengguna
namun juga dari sisi penjual. Kegagalan menciptakan rasa aman ini dapat
memunculkan sikap menunggu (hingga sistem yang tersedia stabil) baik dari sisi
penjual maupun pembeli (Firmansyah, 2017). Hal ini bisa membuat penetrasi
perdagangan elektronik (E-Commerce) menjadi tidak maksimal.
Terkait dengan masalah kepercayaan, Ratnasingham (1998) dalam Bachtiar
(2020) menyebutkan mengenai hal-hal apa saja yang harus dipenuhi agar terciptanya
kepercayaan, yaitu :
a. Keterbukaan (business practice disclosure)
Yang dimaksud dengan keterbukaan disini adalah bahwa perusahaan harus
terbuka dalam melaksanakan transaksi secara elektronik dan melalukan
transaksi sesuai dengan perjanjian yang dilakukan dengan konsumen.
b. Integritas Transaksi (transaction integrity)
Hal terkait dengan kontrol atas seluruh transaksi yang dilakukan, apakah
transaksi tersebut telah lengkap atau sesuai dengan apa yang dipesan atau
belum.
c. Perlindungan terhadap informasi (information protection)
Perusahaan dalam hal ini diwajibkan untuk menjaga informasi konsumen.
Hal ini dalam rangka mencegah informasi tersebut bocor dan dipergunakan
tidak dengan semestinya.

Terkait dengan masalah keamanan ini, pemerintah sendiri sebenarnya telah


melakukan berbagai berbagai program yaitu 3 program keamanan dan 3 program
perlindungan konsumen. 3 Program Keamanan meliputi :

a. Peningkatan keamanan aktivitas transaksi elektronik


b. Pengawasan dan peningkatan kesadaran public terkait kejahatan dunia maya
c. Pengembangan model sistem pengawasan nasional dalam transaksi e-
commerce.

Sementara itu, terkait dengan perlindungan konsumen, pemerintah juga


mengeluarkan beberapa program antara lain :

a. Penyusunan regulasi transaksi perdagangan melalui sistem elektronik


b. Membangun kepercayaan konsumen
c. Pengembangan gerbang pembayaran nasional (National Payment Gateway).

Selain permasalahan keamanan data, tantangan lainnya yang harus dihadapi untuk
mengimplementasikan sistem E-Commerce di Indonesia adalah masalah geografis.
Luas wilayah Indonesia dan juga wilayahnya yang berupa kepulauan menjadi
tantangan tersendiri terkait dengan masalah pengiriman barang.

Selain itu, terdapat pula tantangan dari segi peraturan perundang-undangan.


Menurut Lukito (2017) terdapat beberapa tantangan e-commerce dari segi Undang-
Undang yakni :

a. Badan Hukum E-Commerce di Indonesia


Permasalahan yang sering muncul dari sebuah toko atau usaha online
adalah ketiadaan Badan Hukum yang jelas. Meskipun tidak terdapat sebuah
keharusan bagi sebuah e-commerce untuk memiliki sebuah badan hukum
tertentu seperti berbentuk CV atau PT, namun ketiadaan badan hukum dari
sebuah usaha E-Commerce tentu akan mengganggu jalannya usaha misalnya
ketika usaha tersebut mengalami permasalahan secara hukum.
Masalahnya adalah, pengetahuan dan modal yang dimiliki oleh para
pelaku bisnis E-Commerce sendiri dapat terbilang kurang. Hal ini
menimbulkan tantangan tersendiri karena hal tersebut dapat menimbulkan
resistensi bagi para pelaku usaha untuk mendaftarkan usaha yang mereka
miliki sebagai sebuah badan hukum.

b. Terkait Perijinan
Hal kedua, sebenarnya terkait dengan faktor yang pertama baik secara
langsung maupun tidak langsung. Faktor perijinan di Indonesia seringkali
terlalu rumit dan lambat sehingga para pelaku usaha yang ingin mendaftarkan
usahanya menjadi enggan untuk melakukannya.
Meskipun demikian, terdapat beberapa dokumen yang harus dimiliki oleh
para pemilik usaha jika ingin melaksanakan usahanya secara legal yaitu Surat
Keterangan Domisili Perusahaan (SKDP), Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) atas nama perusahaan. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan
Tanda Daftar Perusahaan (TDP).
Terkait hal ini, para pemilik usaha harus memperhatikan kelengkapan
dokumen mereka, terutama masalah SIUP, karena tanpa adanya SIUP maka
perusahaan tidak bisa melakukan kegiatan perdagangan di Indonesia secara
legal. Hal inilah yang kemudian menjadi pekerjaan rumah bersama mengenai
bagaimana mendorong para pelaku usaha E-Commerce yang didominasi oleh
UMKM untuk mau melengkapi dokumen-dokumen yang disyaratkan oleh
pemerintah.

c. Aspek Legalitas
Menurut Lukito (2017), Aspek Legal dalam e-commerce adalah
menyangkut regulasi atau aturan yang mengatur jalannya e-bisnis supaya
sesuai dengan hukum dan atura-aturan yang berlaku pada suatu negara.
Dalam hal ini kita bisa melihat bahwa aspek legalitas memiliki posisi yang
sangat penting bagi para pelaku usaha. Aspek ini mencakup keseluruhan dari
proses bisnis mereka baik dari sisi sumber daya komunikasi dan infrastruktur
teknologi informasi yang digunakan serta aspek tata niaga perdagangannya.

d. Bentuk Perlindungan Hukum


Tantangan bagi para pelaku usaha dari sisi perlindungan hukum adalah
terkait dengan bagaimana aktivitas bisnis yang mereka jalankan dapat
terlaksana denga naman. Keamanan ini sendiri mencakup keamanan dari sisi
aset yang mereka miliki dan juga proses bisnis yang mereka jalankan.
Terkait dengan hal tersebut Lukito (2017) menyebutkan bahwa
Kementerian Komunikasi dan Informatika telah mengeluarkan sebuah
kebijakan terkait dengan aspek perlindungan ini yakni dengan kebijakan Safe
Harbor Policy.
Melalui kebijakan ini para pelaku usaha diberikan mandat untuk tidak
melakukan persebaran data penggunanya kepada pihak ketiga. Kebijakan ini
juga mewajibkan para pelaku usaha untuk menjaga atau melindungi nama baik
produknya.
Kebijakan diatas mencoba melindungi konsumen dari pemanfaatan data
mereka secara illegal dan juga menjaga penyedia layanan E-Commerce atau
Platform E-Commerce dari kelalaian atau kesengajaan para pelaku usaha yang
bernaung di bawahnya.

4. Peran Pemerintah dalam Mendukung Pembangunan Bisnis E-Commerce


Menurut Lukito (2017), pemerintah sebagai regulator memiliki peran dalam
pengembangan iklim e-commerce di Indonesia. Terdapat beberapa alasan mengapa
hal tersebut menjadi penting. Menurut Rofiq (2017) setidaknya terdapat 4 alasan
mengapa pemerintah perlu membuat sebuah perangkat hukum bagi e-commerce
yaitu :
1. Aspek legal, yaitu untuk mengintegrasikan berbagai peraturan dan perundang-
undangan yang telah ada dan seharusnya ada serta mempromosikan
persaingan usaha yang sehat di dunia maya.
2. Aspek Kontrak Online, yaitu standar legalitas terkait dengan e-document dan
tanda tangan elektronik, proteksi terhadap keamanan dan keandalan informasi,
serta untuk membangun tugas dan tanggung jawab iklim usaha e-commerce.
3. Aspek Pembayaran Elektronik, yaitu melindungi konsumen dalam transaksi
online dan pengaturan sistem pembayaran yang baru.
4. Aspek Promosi E-Commerce, yaitu mempromosikan keuntungan e-
commerce yaitu meliputi keterbukaan (transparency), pengurangan biaya dan
national competitiveness.
Dalam rangka mewujudkan iklim e-commerce yang mendukung maka pemerintah
melaksanakan beberapa kebijakan seperti :
a. Membuat Undang-Undang No 19 Tahun 2016 terkait dengan Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur segala hal terkait dengan
informasi serta transaksi eletronik.
b. Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelanggaraan Sistem
dan Transaksi Elektronik (PSTE)
c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Perdagangan
d. Peraturan Bank Indonesia No. 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik
Referensi

Ainur, R. (2017). Peran Regulasi Pemerintah Dan Kualitas Website Dalam


Menciptakan Impulse Buying di Transaksi E-Commerce. Jurnal Ilmuwan dan
Praktisi Manajemen, 1(1).

Badan Pusat Statistik. “Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin
2021”.Bps.go.id.https://www.bps.go.id/indikator/indikator/view_data_pub/
0000/api_pub/YW40a21pdTU1cnJxOGt6dm43ZEdoZz09/da_03/1 (diakses
pada 12 November 2022).

Bahtiar, R. A. (2020). Potensi, Peran Pemerintah, dan Tantangan dalam


Pengembangan E-Commerce di Indonesia [Potency, Government Role, and
Challenges of E-Commerce Development in Indonesia]. Jurnal Ekonomi &
Kebijakan Publik, 11(1), 13-25.

Firmansyah, A. (2017). Kajian kendala implementasi e-commerce di


Indonesia. Masyarakat Telematika Dan Informasi: Jurnal Penelitian Teknologi
Informasi Dan Komunikasi, 8(2), 127-136.

Lukito, I. (2017). Tantangan Hukum dan Peran Pemerintah dalam


Pembangunan E-Commerce. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 11(3), 349-367.

Anda mungkin juga menyukai