Anda di halaman 1dari 4

HAK ATAS KEBEBASAN

a. Saya tidak setuju bahwa hasil investigasi dari KOMNAS HAM yang
menyatakan bahwa terdapat kerja paksa pada kasus diatas sebab unsur dari kerja
paksa sendiri tidak terpenuhi dimana yang dimaksud dengan “pekerjaan atau jasa
yang dipaksakan pada setiap orang” dimaksudkan pada Pasal 2 ayat (1) UU
Perdagangan Orang. Sehingga pekerjaan yang dipaksakan pada setiap orang tersebut
memang bersifat diwajibkan oleh pejabat yang berwenang. Para penghuni
kerangkeng bukanlah subjek yang memenuhi unsur pasal 2 ayat (1) tersebut. Adapun
mereka melakukan pekerjaan atas dasar paksaan yang bukan timbul karena adanya
kewajiban sehingga tidak termasuk dalam kategori kerja paksa ayat (2). Oleh sebab
itu, pada kasus di atas lebih tepat penggunaan istilah perbudakan karena unsur-unsur
yang telah memenuhi berasal dari Pasal 2 ayat (1) UU Perdagangan Orang dimana
unsur “tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban” telah terpenuhi dibuktikan
dengan tindakan pembangunan kerangkeng dan penyiksaan tubuh korban. Bupati
langkat selaku pemberi kerja tidak memiliki niat untuk melakukan penguatan
keterampilan dan pembekalan para penghuninya. Unsur-unsur perbuatan perbudakan
di Indonesia diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perdagangan Orang, yaitu “perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang
dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang
atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang
yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang
tersebut.” Unsur yang terpenuhi dalam kasus ini adalah sebagai berikut:

a. “penggunaan kekerasan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan” Diketahui


bahwa Bupati Langkat memiliki posisi yang lebih tinggi daripada pelaku kerja
kebanyakan. Dengan menggunakan posisinya tersebut, Bupati Langkat kemudian
mengarahkan Anggota TNI untuk melakukan praktik kerja paksa tersebut yang
tentunya dilengkapi dengan persenjataan. Selain itu Bupati Langkat juga memiliki
akses untuk membangun kerangkeng penjara untuk melakukan penyekapan kepada
pelaku kerja. Sedangkan pelaku kerja kebanyakan hanyalah warga sipil yang tidak
memiliki akses apa pun. Maka dari itu, unsur ini terpenuhi.
b. “untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut”. Tujuan ini dibuktikan para pelaku
kerja dipaksa untuk melakukan pekerjaan di perkebunan sawit dengan upah yang
minim serta akses makanan dan minuman yang seadanya. Terlihat bahwa Bupati
Langkat tersebut ingin mengeksploitasi secara maksimal tenaga dari pelaku kerja
dengan pemberian hak-hak dasar sekecil mungkin yang melanggar UU NO. 21/2007.
Maka dari itu, unsur ini terpenuhi.

Rome Statute 1998 menyatakan bahwa yang dimaksud perbudakan berarti


pelaksanaan salah satu atau semua kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan
atas seseorang dan termasuk penggunaan kekuasaan tersebut dalam perdagangan
orang. Sedangkan definisi dari kerja paksa dalam Pasal 2 ayat (1) Konvensi mengenai
Kerja Paksa, 1930 International Labour Organization yang ialah semua pekerjaan
atau jasa yang dipaksakan pada setiap orang dengan ancaman hukuman apapun dan
untuk mana orang tersebut tidak menyediakan diri secara sukarela. Adapun yang
dikategorikan sebagai kerja paksa berdasarkan ayat (2) nya yaitu setiap pekerjaan atau
jasa yang harus dilakukan berdasarkan undang-undang a. wajib dinas militer untuk
pekerjaan yang khusus bersifat militer; (b) kewajiban biasa warga negara dari
penduduk suatu negara yang merdeka sepenuhnya; (c) dipaksakan pada setiap orang
sebagai akibat keputusan pengadilan dengan ketentuan bahwa pekerjaan atau jasa
tersebut dilaksanakan dibawah perintah dan pengawasan pejabat pemerintah dan
orang tersebut tidak disewa atau ditempatkan untuk digunakan oleh perorangan secara
pribadi, perusahaan atau perkumpulan; 7 (d) dipaksakan dalam keadaan darurat, ialah
dalam keadaan perang atau bencana atau bencana yang mengancam (e) tugas
kemasyarakatan dalam bentuk kecil semacam yang dilakukan oleh anggota
masyarakat tersebut secara langsung dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai
kewajiban yang biasa dari warga negara yang dibebankan pada anggota masyarakat,
dengan ketentuan bahwa anggota masyarakat atau wakil mereka mempunyai hak
untuk dimintakan pendapat tentang keperluan pekerjaan itu.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka yang menjadi titik pembeda antara
kerja paksa dan perbudakan adalah, dalam kerja paksa pemberi pekerjaan masih
memberikan hak bagi pekerja untuk mendapatkan upah dan beberapa hak dasar
pekerja lainnya, namun kewajiban yang diberikan bebannya tidak manusiawi sesuai
dengan kondisi si pekerja. Sedangkan dalam perbudakaan, pemberi pekerjaan tidak
memberikan sama sekali upah bahkan hak-hak dasar untuk pekerja dan menjadikan
pekerja sebagai kepemilikan pribadi si pemberi kerja.

b. Pengkategorian Non-Derogable Rights diatur dalam Pasal 28I Undang-Undang Dasar


dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang ICCPR. Pasal 28I Undang-
Undang Dasar menyebutkan bahwa 1) Hak untuk hidup 2) hak untuk tidak disiksa 3)
hak kemerdekaan pikiran dan hati 4) hak beragama 5) hak untuk tidak diperbudak 6)
hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum 7) hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun. Sedangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang
ICCPR menyatakan bahwa 1) hak atas hidup (Pasal 6) 2) kebebasan dari penyiksaan
dan perlakuan tidak manusiawi (Pasal 7) 3) kebebasan dari perbudakan dan
perhambaan (Pasal 8) 4) tidak dapat dipenjara karena tidak dapat memenuhi kontrak
(Pasal 11) 5) asas legalitas (Pasal 15) 6) persamaan di depan hukum (Pasal 16) 7)
kebebasan beragama (Pasal 17).

Sebelumnya kita telah mengetahui bahwa kerja paksa dapat didefinisikan


sebagai semua pekerjaan atau jasa yang dipaksakan pada setiap orang dengan
ancaman hukuman apapun dan untuk mana orang tersebut tidak menyediakan diri
secara sukarela Pasal 2 ayat (1). Walaupun kerja paksa tidak secara eksplisit
dikategorikan sebagai non-derogable rights dalam kedua undang-undang tersebut,
namun tindakan kerja paksa sudah pasti melanggar hak-hak dasar dari orang tersebut
untuk hidup, untuk tidak disiksa, untuk memiliki kemerdekaan pikiran dan hati, tidak
diperbudak (Pasal 28I UUD) dan melanggar hak untuk hidup, kebebasan dari
penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, kebebasan dari perbudakan dan
perhambaan. Alasan mengapa kerja paksa memiliki kemungkinan besar untuk
terlanggarnya hak-hak tersebut bagi seseorang dapat dilihat dari posisi hubungan kerja
antara pemberi kerja dan pelaku kerja. Pekerjaan atau jasa yang dipaksakan muncul
karena adanya ketimpangan kuasa antara pemberi kerja dan pelaku kerja, sehingga
posisi pelaku kerja berada dalam posisi yang lebih lemah dan kesulitan dalam
mengakses hak-haknya. Sedangkan pemberi kerja yang berada dalam posisi yang
lebih kuat dan/atau lebih tinggi dapat sewenang-wenang untuk memaksakan segala
kehendaknya terhadap beban pekerjaan yang diberikan kepada pelaku kerja.
Dalam kasus posisi diatas, dapat dilihat bahwa Bupati Langkat memiliki akses
yang lebih daripada para pelaku kerja, yakni Bupati tersebut dibantu oleh Anggota
TNI Polri Anam yang tentunya dilengkapi oleh persenjataan dan kondisi fisik mereka
yang lebih kuat daripada para pelaku kerja kebanyakan. Tindakan kerja paksa oleh
Bupati Langkat juga didukung oleh sejumlah persenjataan dan fasilitas yang
menjadikan para pelaku kerja semakin sulit untuk mengakses hak-hak dasarnya
terutama hak untuk hidup yang sesuai dengan kemerdekaan pikiran dan hatinya.
Tindakan kerja paksa juga erat hubungannya dengan terlanggarnya kebebasan dari
penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi sebab adanya ketimpangan kuasa tersebut.
Maka dari itu, kebebasan orang untuk tidak mengalami kerja paksa merupakan hak
non-derogable rights yang tidak bisa diganggu gugat.

c. Dalam kasus tersebut, terjadi pelanggaran hak atas kebebasan beragama.


Sebagaimana duham pasal 18 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas
kebebasan berpikiran, hati nurani dan agama yang dimana termasuk kebebasan
untuk melakukan agama atau kepercayaanya dengan cara mengajarkan, melakukan,
beribadah, serta mentaati agama tersebut.” Selain itu Pasal 22 UU No.39 Tahun
1999 juga berbunyi “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” Maka dapat dilihat
secara jelas, bahwa pemaksaan kepada orang lain untuk menjalankan kegiatan
keagamaan yang ia ilhami adalah melanggar kebebasan beragama seseorang.
Walaupun kegiataan keagamaan yang dipaksakan adalah sama ajaran agama yang
dianut seseorang, tetap saja manifestasi dari kepercayaan yang dianut merupakan
kebebasan dari orang tersebut ingin menjalankan agamanya dengan jalan yang seperti
apa.

Anda mungkin juga menyukai