Anda di halaman 1dari 9

POLITEHNIK KESEHATAN KEMENKES PALU JURUSAN

KEPERAWATAN PROGRAM STUDI PROFESI NERS

LAPORAN PENDAHULUAN
Nama preceptee : Yuliana Purukan
NIM : PO7120422141
Tempat Praktek : Puskesmas Simpong
Tanggal Praktek :

A. Judul kasus : Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)


B. Pengertian
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated
Management of Childhood Illness (IMCI) adalah suatu pendekatan yang
terintegrasi/terpadu dalam tatalaksana balita sakit dengan fokus kepada
kesehatan anak usia 0-59 bulan (balita) secara menyeluruh. MTBS bukan
merupakan suatu program kesehatan tetapi suatu pendekatan/cara
menatalaksana balita sakit. Konsep pendekatan MTBS yang pertama kali
diperkenalkan oleh WHO merupakan suatu bentuk strategi upaya p elayanan
kesehatan yang ditujukan untuk menurunkan angka kematian, kesakitan dan
kecacatan bayi dan anak balita di negara-negara berkembang.
Pendekatan MTBS di Indonesia pada awalnya dimanfaatkan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di unit rawat jalan kesehatan dasar
(Puskesmas dan jaringannya termasuk Pustu, Polindes, Poskesdes, dll). Upaya
ini tergolong lengkap untuk mengantisipasi penyakit-penyakit yang sering
menyebabkan kematian bayi dan balita di Indonesia. Dikatakan lengkap
karena meliputi upaya preventif (pencegahan penyakit), perbaikan gizi, upaya
promotif (berupa konseling) dan upaya kuratif (pengobatan) terhadap
penyakit-penyakit dan masalah yang sering terjadi pada balita.
Strategi MTBS memliliki 3 komponen khas yang menguntungkan, yaitu:
1. Komponen I : Meningkatkan ketrampilan petugas kesehatan dalam
tatalaksana kasus balita sakit (selain dokter, petugas kesehatan non-
dokter dapat pula memeriksa dan menangani pasien asalkan sudah
dilatih).
2. Komponen II: Memperbaiki sistem kesehatan (utamanya di tingkat
kabupaten/kota).
3. Komponen III: Memperbaiki praktek keluarga dan masyarakat dalam
perawatan di rumah dan upaya pencarian pertolongan kasus balita sakit
(meningkatkan pemberdayaan keluarga dan masyarakat), yang dikenal
sebagai MTBS berbasis Masyarakat,'
B. Sejarah Penerapan MTBS di Indonesia
Strategi MTBS mulai diperkenalkan di Indonesia oleh WHO pada tahun
1996. Pada tahun 1997 Depkes RI bekerjasama dengan WHO dan Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI) melakukan adaptasi modul MTBS WHO. Modul tersebut
digunakan dalam pelatihan pada bulan November 1997 dengan pelatih dari SEARO.
Sejak itu penerapan MTBS di Indonesia berkembang secara bertahap dan up-date
modul MTBS dilakukan secara berkala sesuai perkembangan program kesehatan di
Depkes dan ilmu kesehatan anak melalui IDAI.
Hingga akhir tahun 2009, penerapan MTBS telah mencakup 33 provinsi,
namun belum seluruh Puskesmas mampu menerapkan karena berbagai sebab: belum
adanya tenaga kesehatan di Puskesmasnya yang sudah terlatih MTBS, sudah ada
tenaga kesehatan terlatih tetapi sarana dan prasarana belum siap, belum adanya
komitmen dari Pimpinan Puskesmas, dll. Menurut data laporan rutin yang dihimpun
dari Dinas Kesehatan provinsi seluruh Indonesia melalui Pertemuan Nasional
Program Kesehatan Anak tahun 2010, jumlah Puskesmas yang melaksanakan MTBS
hingga akhir tahun 2009 sebesar 51,55%. Puskesmas dikatakan sudah menerapkan
MTBS bila memenuhi kriteria sudah melaksanakan (melakukan pendekatan memakai
MTBS) pada minimal 60% dari jumlah kunjungan balita sakit di Puskesmas tersebut.
C. Latar Belakang Perlunya Penerapan MTBS di Indonesia
Menurut data hasil S urvei yang dilakukan sej ak tahun 1990-an hingga saat
ini (SKRT 1991, 1995, SDKI 2003 dan 2007), penyakit/masalah kesehatan yang
banyak menyerang bayi dan anak balita masih berkisar pada penyakit/masalah yang
kurang-lebih sama yaitu gangguan perinatal, penyakit-penyakit infeksi dan masalah
kekurangan gizi.
Penyebab kematian neonatal (bayi berusia 0-28 hari) menurut Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Proporsi Penyebab Kematian Kelompok Umur 0-6 hari dan 7-28 hari
No 0-6 hari (n=142) % 7-28 hari (n=39) %
1 Gangguan'kelainan 35.9 Sepsis 20.5
2 Prematuritas 32.4 Malformasi kongenital 18.1
3 Sepsis 12.0 Pnemonia 15,4
4 Hipotermi 6.3 Sindrom gawat pernafasan 12,8
5 Kelainan perdarahan dan 5.6 Prematuritas 12,8
6 Postmatur 2.8 Kuning 2,6
7 Malformasi kongenitas 1.4 Cedera lahir 2.6
8 Tetanus 2.6
9 Defisiensi nithsi 2.6
10 Sindrom kematian bayi 2,5
(Sudden in/ant death)
Sedangkan penyebab kematian bayi dan anak balita menurut Riskesdas 2007,
pada kelompok bayi (29 hari - 11 bulan) dan kelompok anak balita (12 bulan - 59
bulan) ada dua penyebab kematian tersering yaitu diare dan pneumonia.
Selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Proporsi penyebab kematian pada umur 29 hari-4 tahun, Riskesdas 2007
No 29 harH 1 bulan % 1-4 tahun %
1 (n=173)
Diare (n=103)
31,4 Diare 25.2
2 Pnemonia 23.8 Pnemonia 15,5
3 Meningitis' ensefalitis 9,3 Necroticans Lntero 10.7
4 Kelainan saluran Meningitis/en
5 Kelainan jantung 5,8 Demam berdarah 6,8
Hidrosofalus
oongenital dan dengue
6 Sepsis 4,1 Campak 5.8
7 Tetanus 2,9 Tenggelam 4,9
8 MalnUMst 2,3 TB 3,9
9 TB 1,2 Malaria 2,9
10 Campak 1,2 Leukemia 2.9
Tabel proporsi penyebab kematian bayi dan anak balita di Indonesia tahun 2007
Sumber: Badan Litbangkes, Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2007

Penyakit-penyakit penyebab kematian tersebut pada umumnya dapat


ditangani di tingkat Rumah Sakit, namun masih sulit untuk tingkat Puskesmas. Hal
ini disebabkan antara lain karena masih minimnya sarana/peralatan diagnostik dan
obat-obatan di tingkat Puskesmas terutama Puskesmas di daerah terpencil yang tanpa
fasilitas perawatan, selain itu seringkali Puskesmas tidak memiliki tenaga dokter
yang siap di tempat setiap saat. Padahal, Puskesmas merupakan ujung tombak
fasilitas kesehatan yang paling diandalkan di tingkat kecamatan. Kenyataan lain di
banyak provinsi, keberadaan Rumah Sakit pada umumnya hanya ada sampai tingkat
kabupaten/kota sedangkan masyarakat Indonesia banyak tinggal di pedesaan.
Berdasarkan kenyataan (permasalahan) di atas, pendekatan MTBS dapat
menjadi solusi yang jitu apabila diterapkan dengan benar (ketiga komponen
diterapkan dengan maksimal). Pada sebagian besar balita sakit yang dibawa berobat
ke Puskesmas, keluhan tunggal jarang terjadi. Menurut data WHO, tiga dari empat
balita sakit seringkali memiliki beberapa keluhan lain yang menyertai dan sedikitnya
menderita 1 dari 5 penyakit tersering pada balita yang menjadi fokus MTBS. Hal ini
dapat diakomodir oleh MTBS karena dalam setiap pemeriksaan MTBS, semua
aspek/kondisi yang sering menyebabkan keluhan anak akan ditanyakan dan
diperiksa.
Menurut laporan Bank Dunia (1993), MTBS merupakan jenis intervensi yang
paling cost effective yang memberikan dampak terbesar pada beban penyakit secara
global. Bila Puskesmas menerapkan MTBS berarti turut membantu dalam upaya
pemerataan pelayanan kesehatan dan membuka akses bagi seluruh lapisan
masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang terpadu. Oleh karena itu,
bila anda membawa anak balita berobat ke Puskesmas, tanyakanlah apakah tersedia
pelayanan MTBS di Puskesmas itu? bila ada, mintalah dilayani memakai pendekatan
MTBS.
D. Bagaimana cara menatalaksana balita sakit dengan pendekatan MTBS?
Berikut ini gambaran singkat penanganan balita sakit memakai pendekatan
MTBS. Seorang b alita sakit dapat dit angani dengan pendekatan MTBS oleh Petugas
kesehat an yang telah dilatih. Petugas memakai tool yang disebut Algoritma MTBS
untuk melakukan penilaian/pemeriksaan dengan cara: menanyakan kepada orang
tua/wali, apa saja keluhan- keluhan/masalah anak kemudian memeriksa dengan cara
'lihat dan dengar' atau 'lihat dan raba'. Setelah itu petugas akan mengklasifikasikan
semua gejala berdasarkan hasil tanya- jawab dan pemeriksaan. Berdasarkan hasil
klasifikasi, petugas akan menentukan jenis tindakan/pengobatan, misalnya anak
dengan klasifikasi Pneumonia Berat atau Penyakit Sangat Berat akan dirujuk ke
dokter Puskesmas, anak yang imunisasinya belum lengkap akan dilengkapi, anak
dengan masalah gizi akan dirujuk ke ruang konsultasi gizi, dst.
Gambaran tentang begitu sistematis dan terintegrasinya pendekatan MTBS
dapat dilihat pada item di bawah ini tentang hal-hal yang diperiksa pada pemeriksaan
dengan pendekatan MTBS. Ketika anak sakit datang ke ruang pemeriksaan, petugas
kesehatan akan menanyakan kepada orang tua/wali secara berurutan, dimulai dengan
memeriksa tanda- tanda bahaya umum seperti:
1. Apakah anak bisa minum/menyusu?

2. Apakah anak selalu memuntahkan semuanya?

3. Apakah anak menderita kejang?


Kemudian petugas akan melihat/memeriksa apakah anak tampak letargis/tidak
sadar? Setelah itu petugas kesehatan akan menanyakan keluhan utama lain:
1. Apakah anak menderita batuk atau sukar bernafas?

2. Apakah anak menderita diare?

3. Apakah anak demam?

4. Apakah anak mempunyai masalah telinga?

5. Memeriksa status gizi

6. Memeriksa anemia

7. Memeriksa status imunisasi

8. Memeriksa pemberian vitamin A

9. Menilai masalah/keluhan-keluhan lain


Berdasarkan hasil penilaian hal-hal tersebut di atas, petugas akan mengklasifikasi
keluhan/penyakit anak, setelah itu melakukan langkah-langkah tindakan/pengobatan
yang telah ditetapkan dalam penilaian/klasifikasi. Tindakan yang dilakukan antara
lain:
1. Mengajari ibu cara pemberian obat oral di rumah
2. Mengajari ibu cara mengobati infeksi lokal di rumah
3. Memberikan konseling bagi ibu, misal: anjuran pemberian makanan selama
anak sakit maupun dalam keadaan sehat
4. Menasihati ibu kapan harus kembali kepada petugas kesehatan,dan lain-
lain
Selain itu di dalam MTBS terdapat penilaian dan klasifikasi bagi Bayi Muda
berusia kurang dari 2 bulan, yang disebut juga Manajemen Terpadu Bayi
Muda (MTBM). Penilaian dan klasifikasi bayi muda di dalam MTBM terdiri
dari:
5. Menilai dan mengklasifikasikan untuk kemungkinan penyakit sangat berat
atau infeksi bakteri
6. Menilai dan mengklasifikasikan diare
7. Memeriksa dan mengklasifikasikan ikterus
8. Memeriksa dan mengklasifikasikan kemungkinan berat badan rendah dan
atau masalah pemberian Air Susu Ibu (ASI). Yang menarik disini, diuraikan
secara terperinci cara mengajari ibu tentang cara meningkatkan produksi
ASI, cara menyusui yang baik, mengatasi masalah pemberian ASI secara
sistematis dan terperinci, cara merawat tali pusat, menjelaskan kepada ibu
tentang jadwal imunisasi pada bayi kurang dari 2 bulan, menasihati ibu cara
memberikan cairan tambahan pada waktu bayinya sakit, kapan harus
kunjungna ulang, dll.
9. Memeriksa status penyuntikan vitamin K1 dan imunisasi.
10. Memeriksa masalah dan keluhan lain
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI, 2008, Modul MTBS Revisi tahun 2008.
2. Direktorat Bina Kesehatan Anak, Depkes, salah satu materi yang disampaikan
pada Pertemuan Nasional Program Kesehatan Anak, 2009, Manajemen Terpadu
Balita Sakit.
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2008, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, Laporan
Nasional 2007. Seperti ditulis InfoDokterku
Luwuk,20 Maret 2023

Preceptor Klinik Preceptee

(……………………………….)
(……………………………….)

Mengetahui
Preceptor Institusi

(……………………………….)

Anda mungkin juga menyukai