Anda di halaman 1dari 32

GANGGUAN PSIKOLOGIS

Disusun Oleh:

KELOMPOK 4

Chesya Aurellia Wahyunda 1512200119

Puteri Wahyu Salsabilla 1512200129

Aurani Nurika Azahra 1512200130

Cindy Lauren Anggono 1512200132

Davina Tania Ayuri 1512200133

Rasyiq Tamir Nasrullah 1512200144

Yuanka Siwi Pramudya Hapsari 1512200158

Nesha Masyita Retno Andayu 1512200159

FAKULTAS PSIKOLOGI

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 (UNTAG) SURABAYA

Jl. Semolowaru No. 45 Surabaya 60118

Telp. (031) 5931800 Fax. (031) 5927817


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Psikologi adalah salah satu itu ilmu yang memiliki fokus aspek kejiwaan manusia.
Gangguan psikologis merupakan adanya seseorang yang memiliki cara berfikir dan
perilaku, serta emosi yanng abnormal. Gangguan psikologis yang terjadi pada suatu
individu didasari oleh faktor-faktor salah satunya adalah ingatan masalalu yang
membayang- bayangi dapat mempengaruhi kepribadian, dimana tekanan-tekanan yang
ditimbulkan dari ingatan tersebut akan meberikan dorongan untuk menghancurkan
dirinya dan bisa berujung pada kematian (Freud, 2015:36).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana penyalahgunaan zat kimia dan kecanduan?
2. Apa yang dimaksud dengan gangguan mood?
3. Apa itu skizofrenia?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui penyalahgunaan zat kimia dan kecanduan.
2. Untuk mengetahui tentang gangguan mood.
3. Untuk mengetahui tentang skizofrenia.

2
MODUL 15.1

PENYALAHGUNAAN ZAT KIMIA DAN KECANDUAN

The American Psychiatic Association (1994) dalam Diagnostic and Atatistical


Manual, mendefinisikan penyalahgunaan zat kimia sebagai pola penggunaan zat kimia
yang tidak adaptif dan menyebabkan gangguan klinis yang signifikan atau stress. Hal yang
membingungkan dari kecanduan adalah bahwa individu yang kecanduan sadar bahwa
perilaku kecanduan mereka tidak lagi menyenangkan. Mereka menyadari bahwa perilaku
tersebut berbahaya, namun mereka merasakan sebuah dorongan tidak tertahankan untuk
melanjutkan perilaku kecanduan tersebut.

A. SINAPSIS, PENGUATAN, DAN KECANDUAN


Sepasang psikolog yang sedang berusaha untuk menjawab sebuah pertanyaan yang
jauh berbeda, menemukan fakta bahwa kokain, heroin, dan zat candu lainnya memiliki
satu persamaan, yaitu meningkatkan aktivitas sinapsis dopamin pada area-area otak
tertentu.
1. Penguatan dan Nucleus Accumbens
James Olds dan Peter Milner menguji tikus apakah stimulasi terhadap area
otak tertentu dapat memengaruhi arah putaran tubuh. Ketika mereka
mengimplementasi elektroda, lokasi implementasinya meleset sehingga mengenai
sebuah area yang di sebut septum. Ketika stimulasi otak di berikan pada tikus, tikus
tersebut berdiri, melihat kesana-kemari, dan engendus-endus, seolah-olah bereaksi
terhadap sebuah stimulus yang disukainya. Selanjutnya tikus di letakkan di dalam

kotak Skinner, tempat tikus dapat menghasilkan stimulasi otak mandiri dengan cara
menekan sebuah tuas untuk mendapatkan stimulasi listrik pada otak. Tikus menekan

3
tuas sebanyak 200 kali per jam ketika elektroda di letakkan pada spektum dan
berbagai area pada otak.

Peneliti selanjutnya mengungkapkan bahwa tikus dan spesies lain akan


menstimulasi otak secara mandiri. Semua area otak secara langsung maupun tidak
menstimulasi akson yang melepaskan dopamin di nucleus accumbens. Banyak
pengalaman kuat juga menstimulassi pelepasan dopamin pada area tersebut, termasuk
kenikmatan seksual dan video game, terutama untuk orang yang rutin memainkannya.

Pada sebuah studi, sekelompok pria muta heteroseksual menilai seberapa


menarik suaatu wajah dalam foto, sementara peneliti menggunakan fMRI untuk
mengukur aktivitas nucleus accumbiens mereka. Ketika pria memandangi waajah
wanita yang di anggap menarik, nucleus accumbiens memberikan respon. Ketika pria
memandang wajah priaa yang dianggap menarik, aktivitas di nucleus accumbiens
mereka malah menurun seolah-olah memandang mereka akan menimbulkan ancaman
atau ketidaknyamanan.

2. Kecanduan sebagai Peningkatan “Menginginkan”


Tidak semua hal yang dikerjakan menimbulkan kebahagaiaan, seperti ketika
bekerja keras untuk mendapatkan gaji, tetapi Anda merasa tidak terlalu bahagia ketika
gajian. Berjudi dan video games menarik perhatian orang dengan hitungan jam, tetapi
orang tersebut biasanya tidak tersenyum. Banyak pecandu obat yang mengatakan
bahwa obat tersebut tidak lagi memberikannya kenikmatan tinggi, meskipun mereka
tetap terobsesi untuk mendapatkannya.

Menurut Kent Berridge dan Terry Robinson membedakan antara “menyukai”


dan “menginginkan”. Berdasarkan pandangan mereka, aktivitas di nucleus
accumbiens berkaitan dengan keinginan. Peningkatan kecanduan berarti peningkatan
besarnya keinginan kita akan sesuatu, tidak selalu di sertai dengan besarnya kesukaan
kita terhadap sesuatu tersebut. Sesuatu yang Anda inginkan akan menguasai perhatian
Anda.

Sebuah peneliti mempelajari sekelompok mencit yang mengalami mutasi


sehingga meningkatkan dan memperpanjang pengaruh dopamin. Mencit membuat
pergerakan mulut khusus ketika mereka memakan sesuatu yang sedap.mencit yang
mengalami peningkatan dopamin tidak memperlihatkan ekspresi wajah yang

4
menyukai, tidak lebih banyak daripada mencit normal. Akan tetaapi, jika mencit
tersebut memiliki kesempatan untuk berlari ke lorong untuk memperoleh makanan,
mereka akan berlari keluar dari kotak start terlebih dahulu dari mencit yang lain dan
lebih mengabaikan gangguan. Peneliti lain telah menguji mencit terhadap defisiensi
pembentukan dopamin. Mencit-mencit tersebut tidak menghampiri makanan, akan
tetapi jika makanan didekatkan ke mereka, mereka akan makan sebanyak mencit
nromal. Ternyata mereka “menyukai” makanan tersebut, tetapi tidak cukup
“mengingink”n" untuk berjalan mendekatinya.

3. Sensitisasi Nucleus Accumbiens

Nucleus accumbiens mengalami sensitisasi. Penggunaan kokain yang


berulang-ulang akan meningkatkan kemampuan kokain untuk melepaskan dopamin di
nucleus accumbiens dan juga meningkatkan kemampuan kokain untuk mengaktivasi
bagian dari korteks prafontal kanan dan kecenderungan individu untuk mencari
sumber kecanduannya, dan individu tersebut memberikan respon di bawah normal
terhadap hal-hal lain, termasuk seks. Sebuah hipotesis, biasanya kortets prafrontal
mengirimkan input stimulator ke nucleus accumbiens untuk mendukung aktivitas
yang berpotensi sebagai penguat. Akan tetapi, penggunaan obat-obatan yang
berulang meningkatkan penghambatan latar pada korteks prafrontal, sehingga hanya
stimulus terkuatlah yang dapat melintas.

Kapan dan bagaimana otak mengalami sensitisasi terhadap substantsi adiktif?


Ketika pemberian obat-obatan dalam periode penarikan diri merupakan pengalaman
yang sangat kuat, yang menimbulkan sensitisasi. Pada efeknya, pengguna obat belajar
bahwa obat tersebut menurunkan stres yang disebabkan oleh penarikan diri terhadap
obat tersebut, dan pada saat itu obat tersebut akan menimbulkan efek sangat kuat.

B. ALKOHOL DAN KETERGANTUNGAN ALKOHOL


Alkohol dalam jumlah yang menengah dapat membantu seseorang untuk rileks dan
bahkan dapat mencegah serangan jantung ada orang yang lebih tua, walaupun buktinya
masih belum jelas. Alkohol dalam jumlah yang lebih besar dapat merusak hati dan organ
lainnya, mengganggu penilaian, serta merusak kehidupan. Ketergantungan alkohol atau
kecanduan alkohol adalah pengonsumsian alkohol secara berkepanjangan, meskipun

5
terdapat bahaya terhadap kesehatan ataupun kehidupan sosial, yang dapat muncul bahkan
setelah seseorang memutuskan untuk berhenti atau menurunkan konsumsi alkohol.
Alkohol menghambat aliran ion natrium melintasi membran, mengembangkan
permukaan membran, menurunkan aktivitass serotonin, memfasilitasi respons oleh
reseptor GABAA, menghambat reseptor glutamat, dan meningktakkan aktivitas dopamin.
Banyaknya pengaruh yang ditimbulkan alkohol, tidak mengherankan jika alkohol
memengaruhi perilaku dengan berbaagai macam cara.
1. Genetika
Pada penyakit Huntington, orang yang memiliki banyak pengulangan C-A-G
pada gen yang mengode protein huntingtin akan mengembangkan gejala penyakit
tersebut pada masa awal perkembangan, sementara orang yang memiliki pengulangan
C-A-G dalam jumlah yang lebih sedikit akan mengembangkan gejala penyakit ketika
tua atau bahkan tidak sama sekali. Hal yang sama juga terjadi pada ketergantungan
alkohol. Dasar-dasar genetika merupakan faktor kuat yang memengaruhi munculnya
ketergantungan alkohol pada usia muda, terutama pada pria. Para peneliti membagi
ketergantungan alkohol menjadi dua tipe.

1) Tipe I (Tipe A)
 Muncul di usia lebih tua(biasanya di atas 25 tahun)
 Muncul bertahap
 Lebih sedikit kerabat yang menjadi pecandu alkohol
 Jumlah pria dan wanita penderita kurang lebih sama
 Secara umum tidak terlalu parah
2) Tipe II (Tipe B)
 Muncul di usia lebih muda(biasanya di bawah umur 20 tahun)
 Muncul lebih cepat
 Lebih banyak kerabat yang menjadi pecandu alkohol
 Lebih banyak diderita pria daripada wanita
 Sering kali parah, sering kali diasosisikan dengan tindak kriminal

Bukti adanya dasar genetik untuk ketergantungan alkohol, antara lain :

a. Penemuan bahwa kembar monozigot lebih memiliki persamaan dalam hal


penyalahgunaan alkohol daripada kembar dizigot

6
b. Anak kandung dari orang tua yang ketergantungan alkohol memiliki resiko yang
lebih besar untuk menjadi pecandu alkohol, meskipun jika mereka diadopsi oleh
orang tua yang bukan pecandu alkohol.

Sebuah studi mengungkapkan bahwa probabilitas seseorang untuk


mengembangkan ketergantungan alkohol berkaitan erat dengan berapa banyak
alkohol yang dikonsumsi ibu orang tersebut selama masa kehamilannya.
Gen memengaruhi kemungkinan berkembangnya ketergantungan alkohol
dengan berbagai cara. Gen yang meningkatkan respons stres akan meningkatkan
kemungkinan seseorang menjadi pecandu alkohol setelah melakukan satu usaha untuk
berhenti mengonsumsi alkohol. Selain itu, gen yang meningkatkan produksi adenosin
cenderung menurunkan konsumsi alkohol, karena adenosin memiliki pengaruh yang
mencengangkan sehingga mengurangi stres.

2. Faktor Risiko
Sebuah studi mengungkapkan bahwa ketergaantungan alkohol lebih mungkin
terjadi pada individu yang di masa kecilnya digambarkan sebagai individu yang
impulsif, pecinta risiko, mudah bosan, pecinta sensasi, dan terbuka. Peneliti lain
mengidentifikasi sekelompok pria muda yang tidak memiliki masalah ketergantungan
alkohol. Bandingkan di antara mereka yang memiliki ayah pecandu alkohol dengan
yang tidak memiliki kerabat dekat pecandu alkohol. Pada situasi yang sulit, alkohol
akan menurunkan stress pada sebagian individu. Namun, penurunan stres terjadi lebih
besar pada putra pecandu alkohol. Putraa pecandu alkohol memiliki sejumlah
keanehan otak, termasuk ukuran amigdala belahan otak kanan yang lebih kecil dari
normal. Pria-pira muda tersebut belum menjadi pecandu alkohol, sehingga adanya
abnormalitas otak mempresentasikan predisposisi terhadap alkohol dan bukan hasil
dari kecanduan alkohol.

C. PENGOBATAN MELAWAN PENYALAHGUNAAN ZAT KIMIA


Banyak individu yang berusaha menanggulangi kimia bergabung dengan
penyalahgunaan zat Alcoholic Anonymous, Narcotics Anonymous, dan organisasi serupa
lainnya. Oleh karena banyaknya orang yang tidak memberikan respons yang baik
terhadap terapi seperti ini, peneliti telah berusaha mencari pengobatan yang mungkin

7
dapat mengurangi dorongan yang tidak tertahankan. Banyak kemungkinan yang masih
ada dalam tahap eksperimen.
1. Antabus
Menjadi asetaldehida Sebuah enzim yang bernama asetaldehida,
dehidrogenase akan mengubah asetaldehida menjadi asam asetat, sebuah zat kimia
yang dapat digunakan tubuh sebagai sumber energi. Berikut adalah alur reaksinya.

Asetaldehida

dehidrogenase

Etil alkohol > Asetaldehida > Asam asetat

Individu-individu yang memiliki gen yang lebih lemah untuk asetaldehida


dehidrogenase, memetabolisme asetaldehida lebih lambat. Jika mereka mengonsumsi
alkohol, maka mereka akan mengakummulasi asetaldehida yang dapat menimbulkan
kepucatan pada wajah, peningkatan detak jantung, mual-mual, pusing kepala, nyeri
perut, dan kerusakan pada organ internal. Seperti yang mungkin telah Anda duga
bahwa seseorang yang tidak dapat memetabolisme asetaldehida memiliki
kemungkinan yang rendan untuk mengonsumsi alkohol dalam jumlah banyak. Sekitar
setengah dari populasi penduduk Cina dan Jepang memiliki gen yang memetabolisme
esetaldehid dengan lambat. Alasan itulah yang mungkin menyebabkan
penyalahgunaan alkohol jarang ditemukan dalam sejarah kedua negara tersebut
mengendalikan Obat yang bernama disulfiram yang memiliki nama dagang antabus
memiliki pengaruh yang berkebalikan dengan asetaldehid dehidrogenase dengan cara
mengikatkan diri pada ion tembaga enzim tersebut. Seperti kebanyakan obat lain
pengaruh disulfram ditemukan secara tidak sengaja. Pekerja di sebuah pabrik karet
menyadari ketika disulfram terdapat pada kulit mereka, maka timbul ruam-ruam di
kulit mereka. Jika mereka menghirup disulfram maka mereka tidak dapat
mengonsumsi alkohol tanpa menjadi sakit. Tidak lama kemudian, ahl terapi mencoba
untuk memanfaatkan disulfram (Antabus) sebagai obat, mereka berharap bahwa
pecandu alkohol akan mengasosiasikan alkohol dengan sakit sehingga mereka akan
berhenti mengonsumsi alkohol.

8
2. Metadon

Metadon mirip dengan heroin dan morfin, tetapi memiliki keunggulan karena
dapat dikonsumsi dalam bentuk pil (jika heroin dan morfin dikonsumsi dalam bentuk
pil, maka sebagian besar akan dipecahkan oleh asam lambung). Metadon dalam
bentuk pil secara bertahap akan memasuki secara berima pembuluh darah lalu
memasuki otak, sehingga peningkatan kadarnya terjadi secara lambat. menghindarkan
adanya pengalaman "naik" (rush). Oleh karena metadon dimetabolisme secara
perlahan, gejala penarikan diri juga timbul secara bertahap. Di samping itu, pengguna
metadon akan menghindari penggunaan jarum suntik yang terinfeksi. Buprenorfin dan
levomethadyl acetate (LAAM) adalah obat tambahan yang serupa dengan metadon
yang juga digunakan untuk mengobati ketergantungan opiate. Individu yang
mengunakan obat-obatan tersebut, secara rata-rata hidup lebih lama dan lebih sehat
serta jauh lebih mungkin mempertahankan pekerjaan daripada pengguna heroin atau
morfin. Individu yang berhenti menggunakan metadon dan obat yang mirip
dengannya, kemungkinan akan mengalami dorongan yang tidak tertahankan untuk
mengonsumsi obat tersebut.

Apa yang dapat mencegah pecandu obat. untuk melarutkan pil metadon dalam
air dan menyuntikkannya untuk mendapatkan efek seperti heroin? Para dokter
menemukan solusi yang cerdas. Mereka menggabungkan metadon dengan obat
bernama nalokson yang menghambat pengaruh obat-obatan opiate. Jika seseorang
mengonsumsi sebuah pil yang merupakan kombinasi metadon dan nalokson, maka
sebagian besar nalokson akan dipecah oleh asam lambung dan metadon a tetap
berfungsi seperti tujuan awal. Akan tetapi, seseorang melarutkan pil tersebut lalu
menyuntikkannya. maka asam lambung tidak dapat memecah nalokson sehingga akan
menghambat efek metadon.

Bahasan Penutup: Kecanduan

Kecanduan menimbulkan paradoks yang menarik. Individu yang kecanduan


alkohol dan obat-obatan lain bersikeras bahwa mereka telah "kehilangan kendali" atas
perilaku mereka. Apakah arti pernyataan tersebut? Jika mereka tidak mengendalikan
perilaku mereka sendiri, siapa atau apa yang mengendalikannya. Secara harfiah,
pernyataan tersebut tidak benar. Semua perilaku seseorang adalah produk dari

9
otaknya. Akan tetapi, dari cara pandang yang berbeda, penyataan tersebut benar.
Sebagai contoh, seseorang memutuskan "Saya akan berhenti" dan kemudian beberapa
minggu atau bahkan beberapa jam kemudian ia tidak dapat menahan keinginan untuk
kembali ke perilaku adiktif mereka. Tampaknya, bagian-bagian otak tertentu telah
mengalami perubahan sehingga menenggelamkan bagian yang berkata, "Saya akan
berhenti". Kecanduan mengaburkan perbedaan antara sesuai kemauan dan di luar
kemauan yang biasanya kita ketahui.

10
MODUL 15.2

GANGGUAN MOOD

Sepertinya depresi mudah didiagnosis. Individu yang depresi terlihat depresi,


bertindak depresi, dan berkata bahwa mereka depresi. Permasalahannya, gejala yang sama
dapat timbul karena gangguan hormon, luka pada kepala, tumor otak. dan penyakit lainnya.
Banyak penderita depresi yang dibarengi oleh penyalahgunaan zat adiktif. kecemasan,
skizofrenia, atau penyakit Parkinson. Konsekuensi bagi penelitian (terhadap depresi) adalah
ketidakkonsistenan hasil, karena adanya perbedaan antara sampel pasien. Konsekuensi bagil
pasien secara individu adalah adanya kemungkinan pengobatan terhadap satu gangguan
sementara. gangguan yang lain tidak diobati.

A. GANGGUAN DEPRESI MAYOR


Depresi mayor adalah pengalaman, yang intensitasnya lebih tinggi serta berlangsung
lebih lama. Berdasarkan DSM-IV, penderita depresi mayor merasa sedih dan tidak
bahagia setiap hari selama berminggu-minggu. Mereka memiliki sedikit energi merasa
tak berguna, mempertimbangkan untuk bunuh diri, sulit tidur, tidak dapat berkonsentrasi
hanya mendapatkan sedikit kenikmatan kegiatan seks dan makanan, serta pada banyak
kasus mereka tidak dapat membayangkan dapat merasa bahagia lagi. Gejala yang lebih
mudah dilihat adalah hilangnya rasa bahagia daripada peningkatan rasa sedih di dalam
sebuah studi, partisipan diminta untuk membawa sebuah alat yang akan berbunyi secara
acak, partisipan harus menggambarkan emosi mereka pada saat alat tersebut berbunyi.
Apabila dibandingkan antara individu normal dan penderita depresi, maka penderita
depresi melaporkan lebih banyak pengalaman yang tidak menyenanangkan daripada
pengalaman yang menyenangkan.

Depresi mayor dua kali lebih banyak didiagnosis pada wanita dibanding pria. Depresi
mayor dapat terjadi pada umur berapa pun, walaupun tidak umum ditemukan pada anak-
anak. Sebuah survei di Amerika Serikat melaporkan bahwa dari seluruh penduduk dewasa,
5% menderita depresi yang "secara klinis signifikan" (cukup parah). Seiring dengan
perjalanan waktu, lebih dari 10% (penduduk dewasa di Amerika Serikat) menderita
depresi.

1. Genetika dan Peristiwa dalam Kehidupan


Studi terhadap anak kembar dan anak asuh mengindikasikan bahwa pewarisan
karakter depresi berada dalam kadar moderat. Paling tidak, sebagian dari gen tersebut

11
tidak hanya spesifik untuk depresi. Kerabat dekat penderita depresi lebih mungkin
menderita depresi daripada orang lain. Tidak hanya depresi, kerabat tersebut juga
lebih mungkin menderita gangguan kecemasan, gangguan kurangnya perhatian,
penyalahgunaan alkohol dan mariyuana, gangguan obsesif kompulsif, bulimia, sakit
kepala migren, sindrom usus rengsa, serta beberapa kondisi lainnya.
Walaupun adanya presdiposisi terhadap depresi sudah pasti bergantung pada
banyak gen, beberapa gen tersebut telah teridentifikasi. Sebuah bentuk gen tertentu
menyebabkan penurunan kemampuan otak untuk memproduksi neurotransmiter
serotonin sebanyak 80%.
Gen lain yang menarik adalah gen pengendali protein pengangkut serotonin.
Protein tersebut mengendalikan kemampuan sebuah akson untuk menyerap kembali
serotonin setelah dilepaskan, yaitu kemampuan untuk mendaur ulang serotonin untuk
digunakan kembali. Pengaruh gen tersebut terhadap depresi berkaitan dengan
pengalaman seseorang.

2. Hormon
Depresi terjadi lebih banyak dalam kurun waktu tertentu daripada terus-
menerus. Salah satu kemungkinan pemicunya adalah stres, yang akan melepaskan
kortisol. Kortisol menyiapkan tubuh untuk bertindak, tetapi kadar tinggi kortisol
dalam jangka panjang akan menguras energi tubuh, mengganggu tidur, mengganggu
sistem imunitas, dan memicu terjadinya depresi.
Peran hormon seks kurang begitu jelas. Sekitar 20% wanita mengalami
depresi pospartum, yaitu depresi setelah melahirkan. Depresi posportum lebih
banyak ditemukan pada wanita yang pernah menderita depresi mayor dan wanita yang
mengalami ketidaknyamanan parah saat menatruasi. Sebuah studi mengungkapkan
bahwa setelah terjadi penurunan kadar estradiol dan progesteron yang dipicu obat,
wanita yang memiliki riwayat depresi pospartum tiba-tiba memperlihatkan gejala
depresi baru, sementara wanita normal tidak.
Depresi pada anak-anak dimulai pada saat masa pubertas. Kemungkinan
terjadinya depresi pada wanita dua kali lebih bisar dibandingkan pria.

12
3. Abnormalitas Dominansi Belahan Otak
Studi mengungkapkan adanya kaitan erat antara suasana hati bahagia dan
peningkatan aktivitas pada korteks prafontal kiri. Sebagian besar penderita depresi
mengalami penurunan aktivitas pada korteks prafontal kiri dan peningkatan aktivitas
pada korteks prafontal kanan.
Banyak individu menderita depresi berat setelah mengalami kerusakan
belahan otak kiri; lebih sedikit individu yang menderita depresi berat setelah
mengalami kerusakan belahan otak kanan. Terkadang penderita kerusakan belahan
otak kanan menjadi manik, yaitu kebalikan dari depresi.

4. Virus
Beberapa kasis depresi mungkin berkaitan dengan infeksi virus. Pada tahun
1980, penyakit Borna hanya dikenal sebagai infeksi pada hewan ternak Eropa. Pada
kasus yang parah, penyakit tersebut berakibat fatal. Pada kasus yang ringan, penyakit
Borna ditandai dengan adanya pengaruh terhadap perilaku, seperti adanya periode
aktivitas sangat tinggi yang berseling dengan leriode inaktif.
Pada tahun 1985, peneliti melaporkan hasil pengujian darah terhadap 370
orang. Hanya 12 orang yang menperlihatkan hasil positif terhadap penyakit Borna,
mereka juga menderita depresi mayor atau kelainan bipolar. Virus Borna ditemukan
pada 2% dari individu normal, 30% dari penderita depresi parah, dan 13-14% dari
penderita penyakit otak kronis. Akan tetapi, virus Borna juga ditemukan pada
penderita penyakit kejiwaan lain selain depresi. Ternyata, virus Borna menimbulkan
predisposisi terhadap penyakit kejiwaan secara umum bukan hanya depresi secara
fisik.

5. Obat Antidepresi
Seperti kebanyakan obat-obatan psikiatri, obat-obatan antidepresi awal juga
ditemukan karena ketidaksengajaan.
Tipe-tipe Obat Antidepresi
Obat-obatan antidepresi dapat dibagi menjadi empat kategori utama; trisiklik,
selevtive serotonin reuptake inhibitors (SRRI), monoamine oxidase inhibitor (MAOI),
dan antidepresi atipikal. Kategori trisiklik (impramin atau Tofranil) bekerja dengan
cara mencegah neuron prasinaptik mengabsorpsi ulang serotonin dopamin, atau

13
norepinefrin setelah neuron tersebut melepaskan neurotransmiter tersebut. Oleh
karena itu, neurotransmiter tersebut akan berada di celah sinaptik lebih lama dan terus
menstimulasi sel postsinaptik. Akan tetapi, trisiklik juga menghambat reseptor
histamin, asetil kolin, dan kanal-kanal natrium tertentu. Pengguna trisiklik harus
membatasi diri untuk mengurangi efek sampingnya.
Obat antidepresi kategori selective serotonin reuptakeinhibitors (SRRI) cara
kerjanya serupa dengan trisiklik, namun SRRI spesifik untuk neurotransmiter
serotonin. Efek samping yang ditimbulkan SRRI masih dalam tingkat ringan, hanya
sedikit mual atau pusing kepala, tetapi terkadang dapat menimbulkan kecemasan.
Obat antidepresi kategori monoamine oxidase inhibitor (MAOI),
menghambat enzim monoamina oksidase (MAO), yaitu sebuah enzim pada terminal
prasinaptik yang memetabolisme katekol amina dan serotonin menjadi bentuk inaktif.
Apabila MAOI menghambat enzim tersebut, terminal prasinaptik memiliki lebih
banyak ketersediaan neurotransmiter untuk dilepaskan. Pengguna MAOI harus
menghindari makanan yang mengandung tiramin-termasuk keju, kismis, dan masih
banyak lagi, karena kombinasi tiramin dan MAOI akan meningkatkan tekanan darah.
Obat antidepresi kategori antidepresi atipikal adalah bermacam-macam
kelompok obat yang memiliki efek antidepresi dan menyebabkan efek samping
ringan. Satu contohnya adalah bupropion (Wellbutrin) yang menginhibisi
pengambilan ulang dopamin dan norepinefrin dalam batasan tertentu, juga
menginhibisi pengambilan ulang norepinefrin, tetapi bukan serotonin.
Sebagai tambahan, banyak orang memanfaatkan herba St. John's wort
(Hypericum perforatum). Herba tersebut dipasarkan sebagai suplemennutrisi daripada
sebagai obat. St. John's wort ini memiliki keunggulan karena lebih murah daripada
obat-obatan antidepresi. Herba tersebut dapat dibeli tanpa resep dan dapat diperoleh
dengan mudah, tetapi seringkali digunakan dengan jumlah yang tidak tepat.

Bagaimana Tepatnya Cara Kerja Obat Antidepresi?

Telah diketahui bahwa obat antidepresi kategori SSRI menurunkan gejala


depresi dengan cara menghambat pengambilan ulang serotonin. Sampel darah pasien
penderita depresi memperlihatkan kadar perputaran serotonin normal (Reddy.
Khanna, Subhash, Channabasavanna, & Rao, 1992). Selain itu, kita dapat

14
menurunkan kadar serotonin secara tiba-tiba dengan cara mengonsumsi semua asam
amino, kecuali triptofan yang merupakan prekursor serotonin. Masalah selanjutnya
ialah waktu obat antidepresi menimbulkan efek pada sinapais serotonin dan katekol
amina dalam hitungan, tetapi pengguna obat tersebut harus mengonsumsinya
berminggu-minggu sebelum mereka mengalami adanya peningkatan suasana hati
(Stewart dkk., 1995).

Apa yang terjadi dalam waktu 2 minggu atau lebih sebelum obat tersebut
menghasilkan pengaruh pada perilaku? satu kemungkinan mengaitkan fakta bahwa
neuron pada suatu bagian di hipokampus dan korteks serebrum dari sebagian
penderita depresi mengalami penyusutan (Cotter, Mackay, Landau, Kerwin, &
Everall, 2001). Ketika obat antidepresi meningkatkan pelepasan
neurotransmiter, neuron juga melepaskan neurotrofin yang disebut dengan
brainderived neurotrophic factor (BDNF) (Gullin dkk, 2001). Bahwa neurotrofin
membantu ketahanan, pertumbuhan, dan hubungan neuron. Peningkatan pelepasan
(BDNF) memicu ketahanan dan pertumbuhan neuron di hipokampus (Sairanen, Luca,
Erfros, Castrén, & Cartrin, 2005) ada efek tersebut mungkin berkontribusi pada
manfaat obat antidepresi tersebut (Santarelli dkk, 2003).

Efek tunda lainnya dari obat antidepresi adalah dengan mendesensitiasi


autoreseptor pada neuron prasinaptik. Setelah neuron melepaskan neurotransmiter,
sejumlah molekul neurotransmiter mengalir keluar sinaps dan melekat pada
autoreseptor pada akson, menurunkan pelepasan neurotransmiter lebih lanjut (Riad
dkk., 2004).

Hingga saat ini jawaban paling jujur adalah kita tidak tahu bagaimana tepatnya
cara kerja obat antidepresi. Pengaruh obat tersebut pada serotonin sudah jelas, tetapi
pengaruh yang muncul berminggu-minggu setelahnya masih membutuhkan penelitian
lebih lanjut.

6. Terapi Lainnya

Obat antidepresi membantu banyak individu, tetapi tidak semuanya. Walaupun


beragam obat antidepresi memiliki efek samping yang berbeda, obat-obatan tersebut
hanya berbeda sedikit dalam hal persentase jumlah orang yang merasakan
manfaatnya. Pengaruh obet antidepresi pada anak-anak dan remaja lebih lernah serta

15
terkadang menimbulkan efek samping yang serius (Jureidani dkk, 2004). Jika
aktivitas mental adalah hal yang sama dengan aktivitas otak, maka perubahan pikiran
seseorang seharusnya memang mengubah kimiawi otak. Seperti halnya obat
antidepresi, manfaat psikoterapi dirasakan oleh 50-60% dari semua pasien dalam
kurun waktu beberapa bulan. Ternyata dari 30% penderita depresi mengalami
perubahan tanpa perlakuan apa pun, kemudian 20-30% penderita depresi yang lain
memberi respons yang baik terhadap perlakuan dan sisanya lebih menantang. Akan
tetapi, manfaat psikoterapi tahan lebih lama. Berdasarkan sebuah laporan, 76% patien
yang pulih dengan menggunakan obat antidepresi akan mengalami depresi kembali di
tahun berikutnya, sementara hanya 31% pasien yang pulih dengan melakukan
psikoterapi akan mengalami hal yang sama (Hollon dkk, 2005)

Terapi Elektrokonvulsif (ECT)

Perlakuan dengan melakukan serangan ke otak menggunakan listrik dikenal


dengan nama terapl elektrokonvulsif (electroconvulsive therapy-ECT). Sekitar tahus
1930-an, seorang dokter berkebangsaan Hungaria bernama Ladislas
Meduna, mencoba untuk meringankan skizofrenia dengan memicu serangan. Tidak
lama kemudian, dokter-dokter lain juga melakukan hal yang sama, memicu serangan
kejang dengan menggunakan insulin dosis tinggi. Akan tetapi, kejutan insulin
merupakan pengalaman yang sangat tidak menyenangkan dan sulit
dikendalikan. Terapi elektrokonvulsif berlangsung cepat dan sebagian besar pasien
terbangun dengan tenang tanpa menyadarinya. Ketika ECT terbukti tidak terlalu
etektif terhadap skizofrenia, mungkin anda menduga bahwa para dokter akan
meninggalkan terapi tersebut. Akan tetapi peryalahgunaan ECT arkitar tahun 1950-an
menyebabkan ECT mendapat reputasi buruk, karena sejumlah pasien diberikan ECT
tanpa adanya persetujuan dari mereka. Sekitar akhir tahun 1950-an, obat-obat
antidepresi tersedia untuk umum, sehingga secara tiba-tiba penggunaan ECT menurun
tajam. Akan tetapi, sekitar tahun 1970-an, ECT muncul kembali ke permukaan.
Umumnya ECT digunakan 2 minggu sekali, terkadang dalam kurun waktu lebih
lama. Risiko pemicuan serangan jantung sudah lebih rendah karena kejutan listrik
yang digunakan intensitasnya lebih rendah dibanding tahun-tahun awal perggunaan
ECT, risiko tersebut mungkin masih ada untuk pasien usia lanjut. Ingatlah bahwa
aktivitas belahan otak kanan lebih diasosiasikan dengan suasana hati yang tidak
menyenangkan.

16
Di samping kehilangan memori, efek samping ECT yang lebih serius adalah
adanya resiko tinggi terjadinya kembali depresi dalam beberapa bulan (Riddle &
Scott, 1995). Setelah ECT menurunkan gejala depresi, strategi yang biasa digunakan
adalah mencegah terjadinya depresi kembali dengan menggunakan obat, psikoterapi,
atau perlakuan ECT secara periodik (Swoboda, Conca, König, Waanders, & Hansel,
2001).

Perubahan Pola Tidur

Sebagian besar individu normal yang menderita depresi melapokan adanya


gangguan tidur dan individu yang mengalami gangguan tidur lebih mungkin menjadi
depresi dibanding individu normal (Ford & Comper- Patrick, 2001). Sebagian besar
penderita depresi memiliki pola tidur yang mirip dengan individu sehat yang tidur
lebih awal dari biasanya. Penderita depresi dapat memulai tidur, tetapi bangun lebih
awal dan tidak dapat tidur kambali. Banyak kerabat penderita depresi yang memiliki
pola tidur yang sama dan kerabat tersebut lebih mungkin menjadi depresi daripada
kerabat yang tidak memiliki pola tidur seperti itu (Modell, Ising, Holsboer, & Lauer,
2005). Singkatnya, pola tidur yang berubah adalah karekteristik yang dimilik seumur
hidup oleh seseorang yang memiliki predisposisi terhadap depresi. Sebagai contoh:
pada hari pertama cobalah untuk tidak tidur di malam harinya, lalu keesokan harinya
cobalah tidur mulai jam 5 sore sampai tengah malam daripada mengikuti jadwal tidur
malam yang biasa. Pada sebagian besar pasien, jadwal tidur tersebut menurunkan
depresi paling tidak untuk seminggu atau terkadang lebih lama.

B. GANGGUAN BIPOLAR

Depresi dapat berupa gangguan unipolar atau bipolar. Penderita gangguan unipolar
keadannya berseling antara keadaan normal dan depresi.Penderita gangguan bipolar
yang dulu dikenal dengan nama gangguan manik depresif (manic-depressive disorder),
keadaannya berseling antara depresi dan kebalikannya, yaitu mania. Mania ditandai
dengan adanya aktivitas resah, kegembiraan, tertawa, percaya diri, berbicara tidak
terfokus, dan hilangnya kendali diri. Individu yang menderita periode mania penuh
disebut dengan penderita gangguan bipolar I. Individu penderita gangguan bipolar II

17
memiliki periode mania yang lebih ringan yang disebut hipomania, ditandai sebagian
besar dengan adanya agitasi dan kecemasan.

1. Genetika
Jika salah satu kembaran monozigot menderita gangguan bipolar, maka
kembaran yang lain paling tidak memiliki 50% kesempatan untuk menderita
gangguan yang sama. Sementara itu, kembaran dizigot, saudara kandung atau anak
dari penderita gangguan bipolar memiliki probabilitas sebesar 5-10%. Anak asuh
yang menderita gangguan bipolar mungkin memiliki kerabat biologis yang menderita
gangguan mood (mood disorder).

2. Pengobatan
Pengobatan gangguan bipolar pertama yang berhasil dan masih umum
digunakan hingga saat ini, yaitu menggunakan garam litium. Manfaat litium
digunakan pada pencegahan dan pengobatan mania, pada pencegahan gangguan
bipolar (gangguan manik–depresif) dan pada pencegahan depresi kekambuhan
(penyakit unipolar atau depresi unipolar). Larutan tersebut memang bermanfaat,
walaupun akhirnya para peneliti menyadari bahwa zat aktif yang berguna adalah
litium dan bukan asam urat. Litium, valproate, dan karbamazepin memiliki banyak
pengaruh terhadap otak. Sebuah strategi penelitian yang baik adalah dengan
mengasumsikan bahwa keduanya menurunkan gejala gangguan bipolar karena
keduanya memiliki suatu efek yang sama. Sebagai contoh, valproate dan karbamazin
meningkatkan aktivitas pada sinapsis GABA. Litium tidak melakukan hal yang sama,
sehingga mungkin efek tersebut tidak terlalu penting.
Sebuah pengobatan lain membutuhkan perhatian lebih. Pasien penderita
gangguan bipolar yang berada dalam tahap depresi cenderung tidur lebih lambat dan
tidur dalam waktu yang lama. Ketika mereka dalam tahap mania, mereka akan tidur
lebih awal, tetapi terbangun lebih awal dan hanya tidur sekitar 3-4 jam. Peneliti
meminta seorang pasien gangguan bipolar untuk mengikuti jadwal tidur yang
konsisten di dalam sebuah ruangan gelap dan sunyi. Prosedur tersebut dapat sangat
menurunkan intensitas perubahan suasana hati pasien tersebut (Wehr dkk., 1998).

18
Peneliti berspekulasi bahwa sinar buatan, televisi, dan teknologi yang ada di dalam
masyarakat akan menggoda kita untuk tetap terjaga hingga larut malam sehingga
dapat meningkatkan prevalensi gangguan bipolar.

C. GANGGUAN AFEKTIF MUSIMAN

Bentuk lain depresi adalah gangguan afektif musiman (seasonal affective disorder-
SAD), yaitu depresi yang secara teratur muncul pada musim musim tertentu, misalnya
ketika musim dingin. Prevalensi tertinggi SAD terdapat di daerah kutub, daerah yang
malamnya berlangsung lebih lama ketika musim dingin, jarang terjadi di daerah dengan
iklim subtropis, dan tidak pernah tercatat muncul di daerah tropis.kecenderungan umum
tersebut.

Gangguan afektif musiman (SAD) berbeda. dengan tipe depresi-depresi lainnya dalam
berbagai hal. Sebagai contoh, penderita SAD memiliki tidur fase tertunda (phase delayed)
dan ritme suhu menjadi lebih mengantuk dan bangun dari tidur lebih lambat dari
biasanya-yang berbeda dengan penderita depresi lainnya.Pengobatan SAD dapat
dilakukan dengan menggunakan lampu yang sangat terang selama satu jam atau lebih
setiap hari.

19
MODUL 15.3

SKIZOFRENIA

A. KARAKTERISTIK

Skizofrenia adalah suatu kelainan yang ditandai oleh penurunan kemampuan dalam
menjalani kehidupan sehari-hari karena adanya suatu kombinasi dari halusinasi, delusi,
gangguan pikiran, gangguan pergerakan, dan ekspresi emosi yang tidak sesuai Pada
sebagian penderita lain gangguan pikiran merupakan hal yang menonjol. Sebagian
penderita lain memperlihatkan tanda- tanda kerusakan otak yang jelas, tetapi sebagian
penderita lain tidak memperlihatkan tanda-tanda yang sama. Singkatnya, kita dapat
menemukan beberapa individu yang telah didiagnosis mengidap skizofrenia, dapat berupa
kondisi akut ataupun kronis. Kondisi akut kemunculannya terjadi secara tiba-tiba dan
pemulihannya berprospek baik. Kondisi kronis kemunculannya terjadi secara bertahap
dan berlangsung dalam jangka panjang.

Skizoprenia awalnya dikenal dengan nama demensia prekoks (dementia praecox)


yang akarnya berasal dari bahasa latin yang berarti “penurunan kondisi mental
premature”. Pada tahun 1911, Eugen Bleuler memperkenalkan istilah skizofrenia yang
dalam bahasa Yunani berarti “pikiran terpisah”, walaupun tak ada kaitannya dengan
gangguan identitas disosiatif (yang awalnya dikenal dengan nama kepribadian ganda),
yaitu ketika penderita memiliki sejumlah kepribadian. Istilah skizofrenia yang dimaksud
oleh Bleuler adalah terjadinya pemisahan antara aspek-aspek emosional dan intelektual
dari pengalaman. Ekspresi emosi atau kurangnya emosi penderita skizofrenia sepertinya
tidak terhubung dengan pengalaman yang belum lama terjadi. Sebagai contoh, seseorang
mungkin akan tertawa riang, menangis tapa sebab yang jelas, atau tidak memperlihatkan
adanya reaksi terhadap berita buruk. Tidak semua penderita mengalami pemisahan antara
emosi dan intelektual, tetapi istilah skizofrenia terus digunakan.

1. Gejala dan Perilaku

Skizofrenia ditandai oleh gejala positif (perilaku yang muncul, tetapi


seharusnya tidak ada) dan gejala negatif (perilaku yang tidak muncul, tetapi
seharusnya ada). Gejala-gejala negatif meliputi lemahnya interaksi sosial, ekspresi
emosi, bicara, dan memori kerja. Biasanya gejala negatif akan menjadi stabil dari
waktu ke waktu dan sulit diobati. Gejala positif dibagi dalam dua kelompok, yaitu

20
psikotik dan disorganized. Kelompok gejala psikotik terdiri dari delusi (keyakinan
yang tidak terbukti, misalnya; penderita seolah-olah sedang dianiaya atau penderita
yang menyatakan bahwa makhluk luar angkasa sedang berusaha mengendalikan
perilakunya) dan halusinasi (pengalaman sensoris yang tidak normal, misalnya;
pasien mendengar suara ketika sendirian). Pindai PET telah memperlihatkan bahwa
halusinasi terjadi dalam periode peningkatan aktivitas pada talamus, hipokampus, dan
sejumlah bagian pada korteks, termasuk area-area yang mengalami aktivasi ketika
mendengar sesuatu yang nyata.

Kelompok gejala disorganized terdiri dari ekspresi emosi yang tidak sesuai,
perilaku aneh, dan gangguan pikiran. Gangguan pikiran yang paling umum terjadi
pada skizoferenia adalah kesulitan untuk memahami dan menggunakan konsep
abstrak. Gejala lain yang terkait; antara lain kurangnya perhatian dan memori kerja.
Sebapian bear penderita skizofrenia memperlihatkan gangguan serius pada kegiatan-
kegiatan yang mengharuskan mereka mengingat untuk memilih sesuatu.

Diagnosis banding dilakukan untuk mengeliminasi kondisi-kondisi lain yang


mungkin menimbulkan gejala yang sama. Berikut adalah beberapa kondisi yang
gejalanya terkadang mirip dengan gejala skizofrenia:

a) Gangguan mood dengan ciri psikotik: penderita depresi sering kali mengalami
delusi, terutama delusi tentang rasa bersalah dan kegagalan. Sebagian penderita
depresi juga melaporkan adanya halusinasi.
b) Penyalahgunaan substansi adiktif: banyak gejala positif skizofrenia dapat muncul
sebagai akibat dari lamanya penggunaan amfetamin, metamfetamin, kokain,
lysergic acid diethylamide (LSD), atau fensiklidin (“angel dust”). Seseorang yang
berhenti menggunakan obat-obatan tersebut mungkin-walaupun belum pasti-akan
pulih dari gejala-gejala positif skizofrenia. Penyalahgunaan substansi adiktif lebih
mungkin menimbulkan halusinasi visual daripada skizofrenia.
c) Kerusakan otak: balur pada korteks emporal atau prafrontal, atau adanya tumor
pada salah satu bagian korteks tersebut dapat menimbulkan gejala-gejala yang
menyerupai skozofrenia.
d) Kekurangan pendengaran yang tidak terdeteksi: terkadang seseorang yang mulai
mengalami kesulitan mendengar, berpikir bahwa semua orang sedang berbisik dan
mulai menjadi khawatir, “Mereka berbisik-bisik membicarakan tentang saya.”

21
Delusi tentang adanya penuduhan mungkin akan muncul.
e) Penyakit Huntington: gejala-gejala penyakit Huntington; antara lain halusinasi,
delusi, dan pikiran yang tidak teratur serta ada juga gejala-gejala motorik.
Skizofrenia katatonik (catatonic schizophrenia) adalah sebuah tipe skizofrenia
yang jarang terjadi, termasuk abnormalitas motorik (selain gejala skizofrenia pada
umumnya). Oleh karena itu, gabungan antara gejala psikologis dan motorik dapat
merepresentasikan penyakit skizofrenia atau penyakit Huntington.
f) Abnormalitas terhadap makanan: defisiensi niasin menimbulkan halusinasi dan
delusi Begitu pula dengan defisiensi vitamin C atau alergi terhadap protein susu
(berbeda dengan ketidaktoleranan terhadap laktosa). Seseorang yang tidak dapat
menoleransi gandum, gluten, atau protein lainnya memberikan reaksi dalam
bentuk halusinasi dan delusi.

2. Data Demografi
Setiap waktu, sekitar 1% populasi manusia menderita skizofrenia.
Perkiraantersebutdapatbertambahatauberkurang tergantung apakah kita menyertakan
kasus-kasus skizofrenia ringan atau hanya menyertakan kasus/kasus berat dalam
perhitungan. Sejak pertengahan tahun 1900-an, laporan prevalensi skizofrenia yang
dilaporkan dari berbagai negara telah mengalami penurunan.
Skizofrenia terjadi pada semua kelompok etnis di seluruh dunia, walaupun
skizofrenia 10-100 kali lebih mungkin ditemukan di Amerika Serikat dan negara-
negara benua Eropa daripada di negara dunia ketiga. Perbedaan tersebut sebagian
mungkin disebabkan adanya perbedaan penyimpanan rekam medis, tetapi ada banyak
kemungkinan lainnya. Prevalensi terjadinya skizofrenia seumur hidup lebih tinggi
pada pria daripada wanita dengan rasio tujuh berbanding ima. Secara rata-rata, pria
menderita skizofrenia yang lebih parah daripada wanita. Pria juga mengalami
kemunculan skizofrenia lebih awal daripada wanita, pada pria biasanya terjadi pada
sekitar awal umur 20 tahunan dan pada wanita pada akhir umur 20 tahunan.
Satu lagi kejanggalan yang belum dapat dijelaskan: semakin tua umur bapak
saat kelahiran anak, semakin bear risiko anak tersebut mengidap skizofrenia.
Sepertinya, umur ibu tidak penting. Satu hipotesis menyatakan hahwa semakin tua
umur bapak, maka semakin banyak mutasi yang terjadi pada gennya, namun hipotesis
tersebut tidak didukung bukti yang kuat.

22
B. GENETIKA
Hampir setiap individu yang menderita penyakit Huntington memiliki abnormalitas
pada gen yang sama dan siapa pun yang memiliki gen abnormal tersebut akan terkena
penyakit Huntington. Pada suatu kesempatan, banyak peneliti yang yakin bahwa
skizofrenia mungkin juga adalah penyakit genetik. Akan tetapi, semakin banyak bukti
yang terkumpul mengindikasikan bahwa skizofrenia bukan penyakit yang terkait hanya
dengan 1 gen.
1. Studi terhadap Kembar
Semakin dekat kekerabatan biologis kita terhadap seseorang yang menderita
skizofrenia, semakin besar pula probabilitas kita terhadap skizofrenia. kembar
monozigot memiliki konkordans (kesesuaian) terhadap skizofrenia yang lebih besar
daripada kembar dizigot. Selain itu, kembar monozigot yang menyangka bahwa
mereka bukan kembar monozigot memiliki kesamaan lebih besar daripada kembar
yang bukan kembar monozigot, tetapi menyangka bahwa mereka adalah kembar
monozigot. Artinya, keadaan kembar monozigot lebih penting artinya daripada
diperlakukan sebagai kembar monozigot.
Kesamaan tinggi untuk kembar monozigot telah lama digunakan sebagai bukti
pengaruh genetik yang kuat. Akan tetapi, perhatikanlah dua batasan di bawah ini:
a) Kesamaan antar kembar monozigot hanya sekitar 50%, bukan 100%. Perbedaan
antar kembar monozigot mungkin terjadi karena pada satu individu, suatu gen
teraktivasi dan pada individu lain gen tersebut dinaktivasi, atau perbedaan
tersebut dipengaruhi oleh lingkungan.

b) Terdapat kesamaan yang lebih bear pada kembar dizigot daripada saudara
kandung. Kembaran dizigot secara genetik serupa dengan saudara kandung, tetapi
kembaran dizigot memiliki kemiripan faktor lingkungan yang lebih bear daripada
saudara kandung, termasuk lingkungan pranatal dan postnatal.

2. Anak Angkat yang Menderita Skizofrenia


Ketika anak angkat (anak yang diadopsi) menderita skizofrenia, maka
skizofrenia lebih mungkin ditemukan pada kerabat biologisnya daripada kerabat
angkatnya. Sebuah studi yang dilakukan di Denmark mengungkapkan adanya kasus
skizofrenia pada 12,5% kerabat biologis anak angkat dan tidak ditemukannya kasus
skizofrenia pada kerabat angkatnya. Anak dari ibu penderita skizofrenia memiliki

23
probabilitas yang cukup tinggi untuk menderita skizofrenia, bahkan jika mereka
diadopsi oleh orang tua yang tidak menderita skizofrenia.

3. Usaha Mencari Sebuah Gen


Penderita skizofrenia cenderung mati dalam usia lebih muda daripada individu
normal dan mereka juga cenderung memiliki aak dalam jumlah yang lebih sedikit
daripada individu normal. Selain itu, saudara lelaki dan perempuan seseorang yang
menderita skizofrenia tidak memiliki jumlah anak yang lebih banyak dari normal,
sehingga seleksi alam seharusnya mengurangi prevalensi gen yang bertanggung jawab
untúk skizofrenia.
Bukti terkuat tentang adanya pengaruh genetik adalah dengan mendapatkan
gen yang secara konsisten berkaitan dengan skizofrenia. Ingatlah dari bab-bab
sebelumnya bahwa peneliti telah menemukan gen yang terkait erat dengan penyakit
Huntington dan kemunculan penyakit Parkinson serta Alzheimer di usia muda.
Peneliti juga telah mengidentifikasi dasar genetik untuk kemunculan skizofrenia pada
masa kanak-kanak. Akan tetapi, kemunculan skizofrenia pada masa kanak-kanak
sangat jarang terjadi dan berbeda dalam beberapa hal dengan beragam skizofrenia
yang muncul pada masa dewasa yang lebih umum terjadi.
Usaha untuk mengaitkan antara kemunculan skizofrenia pada masa dewasa
dengan sebuah gen yang berhasil diidentifikasi, telah memberikan hasil yang sulit
direplikasi dan tidak menggembirakan. Sebagai contoh, satu studi mengungkapan
bahwa sebuah gen ditemukan pada 70% penderita skizofrenia dan 60% individu
normal.
Jika skizofrenia memiliki pengaruh genetik pang kuat, tetapi kita tidak dapat
menemukan gen yang bertanggung jawab terhadap hal tersebut, maka satu
kemungkinannya adalah bahwa pada tiap keluarga skizofrenia dipengaruhi oleh gen
yang berbeda. Satu kemungkinan lain adalah bahwa skizofrenia dipengaruhi oleh
kombinasi sejumlah gen dan munculnya satu gen tidak akan memberikan pengaruh
besar. Sebagai contoh, sebuah gen yang menarik perhatian adalah gen disrupted in
schizophrenia 1 (DISC1). Salah satu bentuk gen tersebut mengubah struktur dan
menurunkan jumlah substansi kelabu di hipokampus. Akan tetapi, tidak semua
individu yang memiliki bentuk rusak gen tersebut akan menderita skizofrenia. Peneliti
telah mengungkapkan bahwa gen DISCI berinteraksi dengan gen lain (PDE4B) dan
menduga bahwa individu yang memiliki bentuk rusak kedua gen tersebut memiliki

24
risiko mengidap skizofrenia tertinggi.
Kemungkinan lain adalah bahwa beberapa kasus skizofrenia ditimbulkan oleh
pengaruh lingkungan daripada pengaruh genetik atau ditimbulkan oleh pengaruh
lingkungan dan bukan hanya merupakan tambahan pengaruh genetik. Semakin besar
pengaruh faktor lingkungan, semakin sulit pula mencari gen yang bertanggung jawab
terhadap skizofrenia.

C. HIPOTESIS PERKEMBANGAN NEURON


Berdasarkan hipotesis perkembangan neuron yang populer di kalangan peneliti,
skizofrenia dicetuskan oleh adanya abnormalitas dalam tahap perkembangan neuro
pranztal (sebelum dilahirkan) dan postnatal (setelah dilahirkan). Abuormalitas tersebut
menimbulkan kelainan terpendam pada anatomi otak dan kelainan perilaku yang sangat
besar (Weinberger, 1996) Abnormalitas tersebut dapat ditimbulkan oleh gen, kesulitan
yang dialami ketika mengandung atau melahirkan dan kombinasi dari dua macam
pengaruh tersebut. Hipotetis tersebut menyakinkan bahwa pengalaman yang membuat
stres memperburuk gejala yang ada, tetapi tidak menimbulkan skizofrenia.
Bukti-bukti yang mendukung hipotesis tersebut adalah:
a) Beberapa jenis kesulitan yang dialami umum. pada masa pranatal ataupun
neonatal dikaitkan dengan munculnya akizufrenia di kemudian hari.
b) Penderita skizofrenia menderita kelainan otak ringan yang tampaknya muncul
pada masa atal perkembangan; dan
c) Mungkin abnormalitie dalam masa awal perkembangan dapat mengganggu
perilaku pada masa dewasa.
1. Lingkungan Pranatal dan Neonatal
Resiko skizofrenia mengalami peningkatan pada individu individu yang
mengalami kesulitan (pada masa perkembangannya) sehingga dapat memengaruhi
perkembangan otak mereka, termasuk gizi buruk ibu yang sedang hamil kelahiran
prematur, berat badan bayi yang rendah saat dilahirkan, dan komplikasi pada saat
melahirkan, misalnya pendarahan hebat.
Akan tetapi, tiap hal tersebut hanya menyumbangkan pengaruh yang kecil
terhadap kemunculan skizofrenia (Cannon, Jones, & Murray, 2002), Skizofrenia juga
dikaitkan dengan adanya luka di kepala pada awal masa kanak kanak (AbdelMalik,
Husted, Chow, & Bassett, 2003). walaupun kita tidak tahu apakah luka tersebut akan
memicu skizofrenia atau skizofrenia meningkatkan risiko terjadinya luka di kepala.

25
Jika seorang ibu memiliki Rh-negatif (faktor Rhesus dalam darah) dan bayi yang
dikandungnya memiliki Rh-positif, sejumlah kecil darah bayi mungkin akan bocor ke
persediaan darah ibu sehingga memicu reaksi imunitas. Reaksi tersebut terhadap bayi
Rh-positif yang pertama lebih lemah, namun akan lebih kuat pada kehamilan
berikutnya. Reaksi tersebut intensitasaya lebih tinggi pada bayi laki-laki daripada bayi
perempuan Bayi kedua yang dilahirkan dan bayi-bayi yang dilahirkan selanjutnya
memiliki peningkatan risiko terhadap gangguan pendengaran, keterbelakangan
mental, dan beberapa gangguan lainnya, serta probabilitas munculnya skizofrenia naik
sekitar dua kali lipat dari normal (Hollister, Laing, & Mednick, 1996).
Untuk menguji peran infeksi pranatal, cara yang paling baik adalah dengan
menguji ibu hamil yang terinfeksi dan mengetahui pada tahap kehamilan mana
mereka terinfeksi, kemudian kaitkan data- data tersebut dengan keadaan psikiatri yang
akan muncul pada anak mereka. Tidak ada yang menyimpan rekaman yang baik dari
kasus-kasus flu tiap individu.

2. Abnormalitas Otak yang Ringan


Sejalan dengan hipotesis perkembangan neuron, sejumlah (namun tidak
semua) penderita skizofrenia memperlihatkan adanya abnormalitas ringan pada
anatomi otak mereka. Abnormalitas yang ada adalah kecil, berbeda-beda untuk tiap
orang, dan hasil akhirnya bergantung pada umur, gejala skizofrenia, dan seterusnya.
Oleh sebab itu, walaupun banyak studi yang melaporkan adanya abnormalitas
otak pada penderita ini, para peneliti berbeda pendapat mengenal lokasi abnormalitas
tersebut. ringkasan dari 15 studi yang mengikutsertakan 390 penderita skizofreni.
Area otak yang ditandai dengan warna kuning memperlihatkan adanya penurunan
volume dalam sebagian besar, area otak yang ditandai dengan warna merah
memperlihatkan adanya volume dalem beberapa studio area otak yang ditandai warna
kelabu teri hat normal dalam seluruh studi (Honea. Crow, Passingham. & MacKay,
2005). Perhatikanlah bahwa kekurangan paling besar terjadi di korteks temporal
frontal kiri Perhatikan juga bahwa sebagian besar ares korteks memperlihatkan
adanya abnormalitas ringan paling tidak dalam satu atau dua studi Selain itu, ukuran
ventrikel (ruang beria cairan dalam otak) penderita skizofrenia lebih besar daripada
individu normal (Walkin dkk., 1998; Wright dkk, 2000). Peningkatan ukuran
ventrikel mengindikasikan bahwa terjadi penurunan ruang yang digunakan oleh sel-
sel otak.

26
Metode 15.1

Uji Pemilahan Kartu Wisconsin

Pakar neurofisiologi memanfaatkan banyak uji perilaku untuk mengukur kerja korteks
prafrontal. Salah satunya adalah uji pemilahan kartu Wisconsin (Wisconsin card sorting
task). Dalam uji ini, individu diberikan setumpuk kartu yang telah dikocok, kartu-kartu
tersebut berbeda angka, warna, dan bentuk objek- misalnya, tiga lingkaran merah, lima
segitiga biru, dan empat bujur sangkar hijau. Pertama tama, individu tersebut diminta
untuk mengatur kartu berdasarkan satu peraturan, misalnya memisahkan kartu-kartu
tersebut berdasarkan warnanya. Kemudian, peraturan diubah dan individu tersebut harus
diminta untuk mengatur kartu berdasarkan peraturan yang baru, misalnya berdasarkan
angka. Pengubahan peraturan membutuhkan penekanan aktivitas peraturan yang lama dan
membangkitkan aktivitas pada korteks prafrontal (Konishi dkk., 1998). Individu yang
menderita kerusakan korteks prafrontal dapat mengatur kartu.

Penyebab terjadinya abnormalitas otak belum jelas Sebagian besar peneliti telah
berhati-hati dengan membatasi studi mereka terhadap pasien penderita skizofrenia yang
belum pernah atau tidak menggunakan obat antipsikotik dalam waktu deka, sehingga
kerusakan yang ada bukanlah hasil dari pengobatan skizofrenia: Akan tetapi, sebuah studi
mengungkapkan adanya penurunan volume (otak) hanya pada penderita skizofrenia yang
juga pecandu alkohol (Sullivan dkk., 2000). Studi lain Lanjut mengungkapkan terjadinya
penurunan volume (otak) yang sama pada penderita skizofrenia yang bukan pecandu
alkohol dan yang merupakan pecandu alkohol (Mathalon, Pfetterbaum, Lim,
Rosenbloom, & Sullivan, 2003).

Hasil mengenai apakah kerusakan otak yang dialami penderita skizofienia adalah
kerusakan otak progresif atau tidak, masih belum pasti Kerusakan progresif adalah
kerusakan yang semakin bertambah seiring dengan waktu. Kerusakan otak yang
diasosiasikan dengan penyaki: Parkinson, Huntington, dan Alzheimer bertambah buruk
seiring

3. Perkembangan Awal dan Psikopatologi lanjut


Mungkin satu pertanyaan telah terlintas di benak Anda. Bagaimana kita
mengaitkan adanya abnormalitas yang terjadi pada masa awal perkembangan dengan
adanya fakta bahwa sana biasanya didiagnosis setelah umur 20 tahun? Rentang waktu

27
tersebut mungkin tidak sesulit yang terlihat sebelumnya (Weinberget 1996) Sebagian
besar Individu yang menderita skizofrenia ketika mereka berumur sekitar 20 tahunan
atau lebih, telah memperlihatkan adanya sejumlah permasalahan Isin sejak masa
kanak- kanak, antara lain kurangnya perhatian, memori, dan pengendalian impuls
(Keshavan, Diwadkar. Montiose, Rajarethinam, & Sweeney, 2005) Selain itu, sebuah
area otak yang secara konsisten.

D. NEUROTRANSMITER DAN OBAT-OBATAN ASRI


Sekitar tahun 1950-an, sebelum tersedianya obat-obatan antipsikotik, sebagian besar
penderita skizofrenia ditampung oleh rumah sakit jiwa. Sebagian besar pasien tersebut
akan mengalami penurunan kondisi seumur hidup mereka di rumah sakit ini Saat ini,
rumah sakit jiwa (di Amerika Serikat) jauh lebih sedikit penghuninya, karena banyaknya
obat yang tersedia dan adanya pasien rawat jalan. Cara kerja obat-obat antipsikotik
tersebut mungkin akan memberikan kita sedikit pemahaman mengenai cara kerja
skizofrenia, walaupun hal tersebut masih belum jelas hingga saat ini.
1. Obat Antipsikotik dan Dopamin
Sekitar tahun 1950-an, parapsikiater mengungkapkan bahwa klorpromazin
(merek dagang Thorazine) dapat menurunkan gejala positif skizofrenia untuk
sebagian besar pasien, walaupun tidak untuk semua pasien. Tipikal rentang waktu
yang dibutuhkan obat tersebut untuk menimbulkan efek pada penderita skizofrenia
adalah 2-3 minggu, dan penderita skizofrenia harus terus mengonsumsi obat tersebut
untuk mencegah muncuinya kembali gejala-gejala positif. Kemudian, para peneliti
menemukan obat antipsikotik atau obat neuroleptik (obat yang cenderung
menurunkan gejala skizofrenia dan kondisi lain yang serupa) dalam dua famili zat
kimia, yaltu fenotiazin yang meliputi zat kimia.
Penemuan tersebut menginspirasi tercetusnya hipotesis dopamin pada
skizofrenia, yang menganggap bahwa skizofrenia disebabkan oleh adanya aktivitas
berlebihan sinapsis dopamin pada area-area otak tertentu. Obat-obatan tersebut
meningkatkan atau memperpanjang aktivitas pada sinapsis dopamin. Lysergie acid
diethylamide (LSD) Juga menimbulkan gejala-gejala psikotik serta terkenal karena
efeknya terhadap sinapsis serotonin, tetapi meningkatkan pula aktivitas pada sinapsis
dopamin.
Sekelompok peneliti bertujuan untuk mengukur berapa jumlah reseptor
dopamin yang terpakai pada waktu tertentu. Mereka menggunakan sebuah obat yang

28
telah dilabel secara radioaktif. Obat tersebut bernama IBZM, yang mengikatkan diri
ke reseptor dopamin tipe D2. obat kedua, yaitu AMPT yang menghambat seluruh
proses sintesis dopamin, kemudian mereka menggunakan lagi IBZM untuk tenghitung
jumlah reseptor dopamin tipe D2 yang kosong. Oleh karena AMPT mencegah sintesis
dopamin, semua reseptor dopamin tipe D2 seharusnya kosong pada saat itu, sehingga
peneliti dapat menghitung jumlah total reseptor dopamin tipe D2 yang ada.
Para peneliti tersebut mengungkapkan bahwa reseptor dopamin tipe D2 yang
berikatan dengan dopamin pada penderita skizofrenia lebih banyak hampir dua kali
lipat daripada individu normal. Studi lai mengungkapkan bahwa di antara pasien
penderita skizofrenia, semakin banyak jumlah reseptor dopamin tipe D2 yang
teraktivasi pada korteks prafrontal, gangguan kognitif yang terjadi akan semakin
besar.
Akan tetapi, hipotesis dopamin menghadapi sejumlah keterbatasan dan
permasalahan. Secara umum, hasil pengukuran langsung terhadap dopamin dan
metabolitnya pada penderita skizofreni memperlihatkan kadar yang mendekati
normal. Oleh karena itu, penghambatan terhadap sinapsis dopamin mungkin dapat
menjadi langkah pertama yang penting bagi obat-obat antipsikotik, namun jelaslah
sudah bahwa harus ada langkah-langkah selanjutuya.

2. Peran Glutamat
Berdasarkan hipotesis glutamat pada skizofrenia, sebagian permasalahan
terletak pada kurangnya aktivitas pada sinapsis glutarat yang khususnya terjadi pada
korteks prafrontal. Pada banyak area otak, dopamin menghambat pelepasan glutamat
atau glutamat menstimulasi neuron yang menghambat pelepasan dopamin. Oleh
karena itu, peningkatan dopamin akan menghasilkan efek yang sama seperti
pengurangan glutamat, sehingga efek obat antipsikotik yang menghambat dopamin
sesuai dengan hipotesis dopamin berlebih atau hipotesis glutamat defisiensi glutamat.
Skizofrenia diasosiasikan dengan kadar pelepasan glutamat yang lebih rendah
dari normal serta jumlah reseptor glutamat pada korteks prafrontal dan hipokampus
yang lebih sedikit dari normal. Pada dosis rendah, obat PCP tersebut menimbulkan
keracunan dan bicara tidak jelas. Pada dosis yang lebih tinggi, obat tersebut
menimbulkan gejala positif dan negatif skizofrenia, termasuk halusinasi, gangguan
pikiran, dan kehilangan memori. Efek fensiklidin juga merupakan model skizofernia
yang menarik berbagai hal.

29
3. Obat-obatan Baru
Obat-obatan yang menghambat sinapsis dopamin menghasilkan efeknya
dengan cara memengaruhi neuron dalam sistem mesolimbocortical, yaitu sebuah
kelompok neuron yang keluar dari tegmentum otak bagian tengah menuju sistem
limbik. Akan tetapi,obat-obatan tersebut juga menghambat neuron dopamin dalam
sistem mesostriatal yang keluar menuju ganglia basal.
Apabila diskinesia tardif telah muncul, maka kondisi tersebut dapat
berlangsung lama setelah individu (penderita skizofrenia) berhenti mengonsumsi obat.
Oleh sebab itu, strategi terbaik adalah dengan melakukan pencegahan terhadap
kemunculan diskinesia tardif. Sejumlah obat obatan baru tertentu yang disebut dengan
obat antipsikotik generasi kedua atau obat antipsikotik atipikal mengobati skizofrenia,
tetapi sejauh yang diketahui, jarang menimbulkan gangguan pergerakan.
Jika obat-obatan antipsikotik generasi kedua dibandingkan dengan obat lain
seperti haloperidol, maka obat-obatan antipsikotik generasi kedua menimbulkan efek
yang lebih rendah terhadap reseptor dopamin tipe D2, tetapi efek antagonis mereka
lebih tinggi terhadap reseptor serotonin tipe 5-HT2. Obat-obatan antipsikotik generasi
kedua juga meningkatkan pelepasan glutamat.
Singkatnya, skizofrenia bukanlah sebuah kelainan yang hanya ditimbulkan
oleh sebuah gen atau sebuah neurotransmiter. Selain adanya abnormalitas pada
dopamin, glutamat, dan serotonin, penderita skizofrenia juga memperlihatkan adanya
penurunan be aktivitas GABA.

30
KESIMPULAN

1. Penguatan stimulasi otak, penguatan pengalaman, dan obat yang dikonsumsi,


meningkatkan aktivitäs akson pelepas dopamin di nucleus accumbens.
2. Aktivitas di nucleus accumbens tidak sama dengan kenikmatan atau imbalan.
Berdasarkan sebuah hipotesis, aktivitas tersebut lebih berkaitan dengan
“menginginkan” daripada “menyukai” dan kecanduan merepresentasikan peningkatan
“menginginkan”.
3. Kecanduan diasosiasikan dengan sensitisasi nucleus accumbens sehingga nucleus
accumbens memberi respons yang lebih kuat terhadap aktivitas adiktif dan memberi
respons yang lebih rendah terhadap berbagai bentuk penguatan lainnya.
4. Penderita depresi mayor berpendapat bahwa hampir tidak ada suatu hal pun yang
membuat mereka senang. Depresi terjadi dalam sebuah rangkaian periode.
5. Depresi memperlihatkan adanya kaitan kuat dengan pewarisan karakter dalam
keluarga, terutama untuk kerabat seorang wanita yang mengalami kemunculan depresi
pada usia muda.
6. Sebuah gen telah dikaitkan dengan, peningkatan probabilitas terjadinya depresi hanya
untuk individu-individu yang telah mengalami pengalaman yang membuat stres.
7. Gejala positif skizofrenia (perilaku yang tidak muncul pada sebagian besar individu);
antara lain halusinasi, delusi, emosi yang tidak sesuai, perilaku aneh, dan gangguan
pikiran.
8. Gejala negatif skizofrenia (perilaku normal yang tidak muncul, tetapi seharusnya
muncul); antara lain lemahnya interaksi sosial, ekspresi emosi, dan bicara.
9. Studi terhadap kembar dan anak angkat mengindikasikan adanya predisposisi genetik
untuk skizofrenia. Namun, studi terhadap anak-anak asuh tidak dapat membedakan
antara peran gen dan lingkungan pranatal.

31
DAFTAR PUSTAKA

Kalat, James W. (2012). Biological Psychology 9th ed. Jakarta: Salemba Humanika.
Dayana, Ika Nur; Qur’ani, Hidayah Budi. (2019). Refresentasi Gangguan Psikologis Tokoh
Orang Pertama dan Orang Kedua dalam Naskah Drama “ Aljabar”. Pena Literasi, 93-94.

32

Anda mungkin juga menyukai