MODUL 4
BLOK 3.3
Dosen Tutor:
dr. Rahmatini, M.Kes
KELOMPOK 25D
STEP 1: TERMINOLOGI
1. Ganja: zat psikoaktif yang mengandung tetrahidrokanabinol yang berasal dari kuncup bunga kanabis.
2. Shabu: metamfetamin (turunan dari amfetamin) adalah obat psikostimulan dan simpatokinetik.
3. Gangguan bipolar: suatu gangguan jiwa yang bermafes dgn perubahan mood dari depresi sampai
manik, disebut juga gangguan manik depresi.
4. Psikiater: seorang profesi dokter yang memiliki spesialisasi dalam ilmu kesehatan jiwa dan perilaku.
5. Mood stabilizer: obat yang digunakan untuk menstabilkan mood pada pasien gangguan bipolar.
8. Panik: keadaan bingung, gugup, dan takut secara mendadak sehingga tidak dapat berfikir dengan
tenang.
1. Kenapa Andi merasa sedih, tidak konsentrasi, malas beraktivitas dan tidak nafu makan setelah putus
dengan pacarnya 3 minggu yang lalu?
2. Apakah ada hubungan penggunaan ganja dan shabu dengan keluhan Andi?
3. Bagaimana ganja dan shabu dapat menyebabkan Andi merasa lebih percaya diri dan bahagia saat
menggunakannya?
4. Mengapa Andi merasa senang berlebihan, merasa hebat, dan menjadi impulsive (dengan mengajak
teman-teman makan hingga gajinya sebulan habis)?
5. Mengapa psikiater mendiagnosis Andi dengan gangguan bipolar?
6. Mengapa dokter memberikan mood stabilizer, psikoterapi, antipsikotik dan mengapa dosisnya rendah?
7. Apa mood stabilizer, antipsikotik dan psikoterapi yang diberikan?
8. Bagaimana dampak dari Andi yang kontrol dan minum obat tidak teratur?
9. Bagaimana hubungan riwayat kecelakaan dengan gangguan pada Adik Andi?
10. Pemeriksaan apa yang dilakukan oleh dokter jaga dan mengapa dikonsul?
11. Mengapa nenek bersifat sangat pencemas dan cemas dikatakan sebagai patologis?
12. Mengapa nenek selalu ketakutan saat ada berita buruk?
13. Mengapa nenek panik, berdebar-debar sampai berhari-hari saat melihat pasien gangguan jiwa?
Mengapa pasien berteraik-teriak?
14. Suntikan apa yang diberikan oleh petugas rumah sakit kepada pasien yang berteriak-teriak tersebut?
15. Apa diagnosis dari ketiga keluhan tersebut? Bagaimana hubungannya dengan usia dan jenis kelamin?
16. Mengapa Adik Andi yang mengalami kecelakaan, dimana kepalanya terbentur aspal, diberikan obat
yang sama dengan Andi?
17. Bagaimana prognosis dari ketiga pasien di atas?
STEP 3: BRAINSTORMING
1. Andi sedang mengalami mood swing. Normalnya sebentar, namun kalau sudah lama dan mengganggu
aktivitas -> patologis. Akibat dari ketidakseimbangan serotonin dan dopamine. Bisa disebabkan oleh
berbagai macam gangguan jiwa atau penggunaan zat.
Ada gangguan mood. Aminbiogenik. Gangguan neutrotrasmitter yang menimbukan gangguan mood.
Depresi, mungkin stressornya adalah diputus pacar 3 minggu oleh pacarnya, bisa early onset (tiba-
tiba) atau late onset (kronik) yang dapat disebabkan oleh berbagai macam stressor.
Bisa saja normal kalau sedih, dll namun kalau sudah lebih dari 2 minggu -> berlebihan, kelainan
(patologis).
3. Efek stimultan -> berefek pada dopamine sehingga menimbulkan berbagai mafes yang menyenangkan
(bahagia, euphoria, nikmat, dll).
Ganja ada tetrahidrokanabinol-> meningkatkan dopamine.
Ganja pada dosis rendah efek sedasi, dosis tinggi efek halusinasi.
4. Gejala manik. Andi pernah didiagnosis gangguan bipolar, diantaranya manik. Bipolar mafesnya
berepisode: manik, hipomanik, campuran, depresif.
Mungkin saat itu Andi sedang mengalami episode manik dalam gangguan bipolarnya.
Bipolar terbagi 2: Bipolar 1 dan 2.
Manik, hipomanik dibedakan berdasarkan durasinya. Hipomanik durasi lebih pendek.
5. Gangguan bipolar: adanya episode dari perubahan mood dari manik ke depresif.
Diagnosis berdasarkan kriteria DSM V (setidaknya ditemukan 3/7 atau 4/7).
Sebelum diagnosis, harus disingkirkan dulu gangguan organik pada pasien.
Paling banyak yang tipe 2: hipomanik.
Hal yang perlu ditanyakan untuk membedakan gangguan bipolar dengan gangguan depresi mayor:
- Umur <25 tahun -> curiga bipolar, kalau >25 tahun curiga depresi mayor
- Riwayat keluarga
- Riwayat hipomanik (tidak ada pada depresi)
- Rekuren (lebih sering pada bipolar)
6. Mood stabilizer: untuk mengatasi gejala gangguan mood akut pada pasien bipolar.
Antipsikotik: untuk gangguan psikosis (tidak bias membedakan realita dan fantasi). Bekerja dengan
memblokade reseptor dopamine.
Mengapa dosis rendah? Dosis kadarnya dibawah standar dosis yang ditetapkan oleh WHO.
Antipsikotik belum ada standar dosis yang ideal, oleh karena itu untuk pemberiannya selalu dimulai
dari dosis rendah.
Psikoterapi: memperbaiki bad habit, edukasi keluarga.
8. Efek dari kontrol dan obat tidak teratur adalah tingginya angka rekuren.
Antipsikotik dapat mencegah rumatan jika digunakan dengan teratur.
9. Gangguan mental organick, adanya lesi struktural di otak (oleh trauma, tumor, epilepsy, dll) biasanya
lesi akan menimbulkan onset yang cepat. Lokasi lesi akan mempengaruhi bentuk dari manifestasi
klinik.
Pada Adik Andi -> gangguan psikosis (halusinasi, ilusi, dll) akibat lesi di temporolimbik.
5 syarat dikatakan gangguan mental organik:
1. Gangguan atensi
2. Gangguan kognitif
3. Bukan suatu demensia
4. Bukan pada penurunan kesadaran yang berat
5. Ada bukti lesi organic
10. ABC: life saving dulu. Lalu cek GCS. Survey primer dan sekunder.
11. Gangguan cemas, ansietas menyeluruh ada perasaan khawatir, perasaan cemas yang menetap.
Dikatakan patologis apabila sudah mengganggu aktivitas sehari-hari.
12. Gangguan panik, spontan yang tiba-tiba. Biasanya disertai gejala somatic (seperti berdebar-debar)
dimana di stimulus oleh sesuatu, pada nenek oleh berita buruk.
Harus dibedakan takut pada nenek dengan takut oleh karena phobia.
Phobia adalah ketakutan yang berfokus pada satu hal, dapat beruba benda, orang, situasi, tempat, dll.
14. Pasien yang mengamuk di RSJ adalah salah satu bentuk kegawatdaruratan psikiatri. Bentuk
kegawatdaruratan psikiatri ada berupa: percobaan/tindakan bunuh diri, tindakan kekerasan, dan
penggunaan zat.
Diinjeksikan antipsikotik i.m atau i.v.
17. Prognosis:
STEP 4: SKEMA
STEP 5: LEARNING OBJEKTIF
1. DELIRIUM
A. Definisi
Delirium adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gangguan kesadaran dan kognisi yang terjadi
secara akut dan berfluktuasi. Delirium merupakan suatu gangguan mental organik akut dengan gejala
utama adanya gangguan kesadaran berupa kesadaran berkabut, yang disertai dengan gangguan atensi,
orientasi, memori, persepsi, delusi, kegelisahan dan agitasi. Delirium berasal dari kata de lira/ de liro
yang artinya menjadi gila; keluar dari jalurnya.
D. Manifestasi klinis
1. Berkurangnya atensi
2. Gangguan psikomotor
3. Gangguan emosi
4. Arus dan isi pikir yang kacau
5. Gangguan siklus bangun tidur
6. Gejala diatas terjadi dalam jangka waktu yang pendek dan cenderung berfluktuasi dalam sehari
E. Penegakan diagnosis
Anamnesis
1. Keluhan utama 1. Berkurangnya atensi
2. Gangguan psikomotor
3. Gangguan emosi
4. Arus dan isi pikir yang kacau
5. Gangguan siklus bangun tidur
6. Gejala diatas terjadi dalam jangka waktu
yang pendek dan cenderung berfluktuasi
dalam sehari
2. Keluhan penyerta
3. Riwayat penyakit sebelumnya Penyakit SSP, penyakit sistemik, dan
penyalahgunaan zat
4. Riwayat penyakit keluarga
5. Faktor risiko lain
Pemeriksaan fisik
1. KU Bervariasi sesuai etiologi
2. Vital sign Temuan sesuai penyakit dasar
3. Pemeriksaan fisik umum Temuan sesuai penyakit dasar
4. Pemeriksaan fisik khusus Temuan sesuai penyakit dasar
Pemeriksaan penunjang
1. Darah rutin Temuan sesuai penyakit dasar
2. Urin rutin Temuan sesuai penyakit dasar
3. Feses rutin -
4. Penunjang lain Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan pada
layanan primer.
Pemeriksaan yang dilakukan untuk delirium,
adalah:
1. Mini-mental State Examination (MMSE).
2. Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk
mencari Diagnosis penyakit utama,
yaitu: Hemoglobin, hematokrit, leukosit,
trombosit, gula darah, elektrolit (terutama
natrium), SGOT, SGPT, ureum, kreatinin,
urinalisis, analisis gas darah, foto toraks,
elektrokardiografi, dan CT Scan kepala, jika
diperlukan.
F. Diagnosis banding
Demensia, psikosis fungsional, kelainan neurologis
G. Tatalaksana
Tujuan Terapi
1. Mencari dan mengobati penyebab delirium
2. Memastikan keamanan pasien
3. Mengobati gangguan perilaku terkait delirium, misalnya agitasi psikomotor
Penatalaksanaan
1. Kondisi pasien harus dijaga agar terhindar dari risiko kecelakaan selama perawatan.
2. Apabila pasien telah memperoleh pengobatan, sebaiknya tidak menambahkan obat pada terapi yang
sedang dijalanin oleh pasien.
3. Bila belum mendapatkan pengobatan, pasien dapat diberikan obat anti psikotik. Obat ini diberikan
apabila ditemukan gejala psikosis dan atau agitasi, yaitu: Haloperidol injeksi 2-5 mg IntraMuskular
(IM)/ IntraVena (IV). Injeksi dapat diulang setiap 30 menit, dengan dosis maksimal 20 mg/hari.
H. Kriteria rujukan
Bila gejala agitasi telah terkendali, pasien dapat segera dirujuk ke fasilitas pelayanan rujukan sekunder
untuk memperbaiki penyakit utamanya
I. Prognosis
Gejala delirium biasanya berlangsung selama faktor penyebab yang relevan ditemukan, biasanya
berlangsung kurang dari satu minggu. Setalah identifikasi dan menghilangkan faktor penyebab, gejala
delirium biasanya menghilang dalam periode tiga sampai tujuh hari. Beberapa gejala bisa berlangsung
dalam waktu sampai 2 minggu. Prognosis delirium biasanya sesuai dan mengikuti penyakit penyebab
yang mendasarinya.
NAPZA
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang bila masuk
kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga
menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan,
ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA. Istilah NAPZA umumnya
digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitik beratkan pada upaya penanggulangan dari
sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat
yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran.
JENIS NAPZA YANG DISALAHGUNAKAN
NARKOTIKA (Menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika) adalah
zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
NARKOTIKA dibedakan kedalam golongan-golongan :
Narkotika Golongan I :
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak ditujukan
untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan, (Contoh
: heroin/putauw, kokain, ganja).
Narkotika Golongan II :
Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat
digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan (Contoh : morfin, petidin)
Narkotika Golongan III :
Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan (Contoh : kodein)
Narkotika yang sering disalahgunakan adalah Narkotika Golongan I :
Opiat : morfin, herion (putauw), petidin, candu, dan lain-lain
Psikotropika golongan I
Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak
digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan. (Contoh : ekstasi, shabu, LSD)
Psikotropika golongan II
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi, dan/atau tujuan
ilmu pengetahuan serta menpunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. (
Contoh amfetamin, metilfenidat atau ritalin)
Psikotropika golongan III :
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma
ketergantungan (Contoh : pentobarbital, Flunitrazepam).
Psikotropika golongan IV :
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom
ketergantungan (Contoh : diazepam, bromazepam, Fenobarbital, klonazepam,
klordiazepoxide, nitrazepam, seperti pil BK, pil Koplo, Rohip, Dum, MG).
Psikotropika yang sering disalahgunakan antara lain :
Psikostimulansia : amfetamin, ekstasi, shabu
Sedatif & Hipnotika (obat penenang, obat tidur): MG, BK, DUM, Pil koplo dan lain-lain
Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat digolongkan menjadi tiga
golongan :
1. Golongan Depresan (Downer)
Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini menbuat
pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan bahkan membuatnya tertidur dan tidak sadarkan
diri. Golongan ini termasuk Opioida (morfin, heroin/putauw, kodein), Sedatif (penenang),
hipnotik (otot tidur), dan tranquilizer (anti cemas) dan lain-lain.
Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan kerja.
Jenis ini membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan bersemangat. Zat yang termasuk
golongan ini adalah : Amfetamin (shabu, esktasi), Kafein, Kokain
2. Golongan Halusinogen
Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat merubah perasaan
dan pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan
dapat terganggu. Golongan ini tidak digunakan dalam terapi medis. Golongan ini termasuk :
Kanabis (ganja), LSD, Mescalin
3. Golongan Entaktogen
Adalah termasuk stimulan yang telah dimodifikasi yang juga memiliki sifat-sifat halusinogen
4. Golongan Kanabinoid, termasuk kelompok unik yang mempengaruhi reseptor tertentu pada
otak.
Macam-macam bahan Narkotika dan Psikotropika yang terdapat di masyarakat serta akibat
pemakaiannya :
1. OPIOIDA
Opioida dibagi dalam tiga golongan besar yaitu :
Heroin yang murni berbentuk bubuk putih, sedangkan heroin yang tidak murni berwarna
putih keabuan
Dihasilkan dari cairan getah opium poppy yang diolah menjadi morfin kemudian dengan
proses tertentu menghasil putauw, dimana putauw mempunyai kekuatan 10 kali melebihi
morfin. Opioid sintetik yang mempunyai kekuatan 400 kali lebih kuat dari morfin.
Opiat atau opioid biasanya digunakan dokter untuk menghilangkan rasa sakit yang sangat
(analgetika kuat). Berupa pethidin, methadon, Talwin, kodein dan lain-lain
Reaksi dari pemakaian ini sangat cepat yang kemudian timbul rasa ingin menyendiri
untuk menikmati efek rasanya dan pada taraf kecanduan sipemakai akan kehilangan rasa
percaya diri hingga tak mempunyai keinginan untuk bersosialisasi. Mereka mulai
membentuk dunia mereka sendiri. Mereka merasa bahwa lingkungannya adalah musuh.
Mulai sering melakukan manipulasi dan akhirnya menderita kesulitan keuangan yang
mengakibatkan mereka melakukan pencurian atau tindak kriminal lainnya.
2. KOKAIN
Kokain mempunyai dua bentuk yaitu : kokain hidroklorid dan free base. Kokain berupa
kristal pitih. Rasa sedikit pahit dan lebih mudah larut dari free base. Free base tidak
berwarna/putih, tidak berbau dan rasanya pahit
Nama jalanan dari kokain adalah koka,coke, happy dust, charlie, srepet, snow salju,
putih. Biasanya dalam bentuk bubuk putih
Efek rasa dari pemakaian kokain ini membuat pemakai merasa segar, kehilangan nafsu
makan, menambah rasa percaya diri, juga dapat menghilangkan rasa sakit dan lelah.
3. KANABIS
Nama jalanan yang sering digunakan ialah : grass. Cimeng,ganja dan
gelek,hasish,marijuana,bhang
Gamja berasal dari tanaman kanabis sativa dan kanabis indica. Pada tanaman ganja
terkandung tiga zat utama yaitu tetrehidro kanabinol,kanabinol dan kanabidiol
Cara penggunaannya adalah dihisap dengan cara dipadatkan mempunyai rokok atau
dengan menggunakan pipa rokok.
Efek rasa dari kanabis tergolong cepat,sipemakai : cenderung merasa lebih santai,rasa
gembira berlebih (euforia), sering berfantasi. Aktif berkomonikasi,selera makan
tinggi,sensitif,kering pada mulut dan tenggorokan
4. AMPHETAMINES
Nama generik amfetamin adalah D-pseudo epinefrin berhasil disintesa tahun 1887, dan
dipasarkan tahun 1932 sebagai obat
Bentuknya ada yang berbentuk bubuk warna putih dan keabuan,digunakan dengan cara
dihirup. Sedangkan yang berbentuk tablet biasanya diminum dengan air.
- MDMA (methylene dioxy methamphetamin), mulai dikenal sekitar tahun 1980 dengan
nama Ekstasi atau Ecstacy.
Nama lain : xtc, fantacy pils, inex, cece, cein, e
Terdiri dari berbagai macam jenis antara lain : white doft, pink heart, snow white, petir
yang dikemas dalam bentuk pil atau kapsul
- Methamfetamin ice, dikenal sebagai SHABU. Nama lainnya shabu-shabu. SS, ice,
crystal, crank.
Cara penggunaan : dibakar dengan menggunakan kertas alumunium foil dan asapnya
dihisap, atau dibakar dengan menggunakan botol kaca yang dirancang khusus (bong)
5. LSD (Lysergic acid)
Termasuk dalam golongan halusinogen,dengan nama jalanan : acid, trips, tabs, kertas.
Bentuk yang bisa didapatkan seperti kertas berukuran kotak kecil sebesar seperempat
perangko dalam banyak warna dan gambar, ada juga yang berbentuk pil, kapsul.
Cara menggunakannya dengan meletakkan LSD pada permukaan lidah dan bereaksi
setelah 30-60 menit sejak pemakaian dan hilang setelah 8-12 jam.
Efek rasa ini bisa disebut tripping. Yang bisa digambarkan seperti halusinasi terhadap
tempat. Warna dan waktu. Biasanya halusinasi ini digabung menjadi satu. Hingga timbul
obsesi terhadap halusinasi yang ia rasakan dan keinginan untuk hanyut didalamnya,
menjadi sangat indah atau bahkan menyeramkan dan lama-lama membuat paranoid.
6. SEDATIF-HIPNOTIK (BENZODIAZEPIN)
Digolongkan zat sedatif (obat penenang) dan hipnotika (obat tidur)
Penggunaan dibidang medis untuk pengobatan kecemasan dan stres serta sebagai
hipnotik (obat tidur).
7. SOLVENT / INHALANSIA
Adalah uap gas yang digunakan dengan cara dihirup.Contohnya : Aerosol, aica aibon, isi
korek api gas, cairan untuk dry cleaning, tiner,uap bensin.
Biasanya digunakan secara coba-coba oleh anak dibawah umur golongan kurang
mampu/ anak jalanan
Efek yang ditimbulkan : pusing, kepala terasa berputar, halusinasi ringan, mual, muntah,
gangguan fungsi paru, liver dan jantung.
8. ALKOHOL
Merupakan salah satu zat psikoaktif yang sering digunakan manusia. Diperoleh dari proses
fermentasi madu, gula, sari buah dan umbi-umbian. Dari proses fermentasi diperoleh
alkohol dengan kadar tidak lebih dari 15%, dengan proses penyulingan di pabrik dapat
dihasilkan kadar alkohol yang lebih tinggi bahkan mencapai 100%.
Konsentrasi maksimum alkohol dicapai 30-90 menit setelah tegukan terakhir. Sekali
diabsorbsi, etanol didistribisikan keseluruh jaringan tubuh dan cairan tubuh. Sering dengan
peningkatan kadar alkohol dalam darah maka orang akan menjadi euforia, mamun sering
dengan penurunannya pula orang menjadi depresi.
Pemakaian Situasional (situasional use) : yaitu pemakaian pada saat mengalami keadaan tertentu
seperti ketegangan, kesedihan, kekecewaan, dan sebagainnya, dengan maksud menghilangkan
perasaan-perasaan tersebut.
Penyalahgunaan (abuse): yaitu penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA secara berkala
atau teratur diluar indikasi medis,sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan
gangguan fungsi sosial.
Ketergantungan (dependence use) : yaitu keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan
psikis, sehingga tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah (toleransi), apabila
pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal syamptom).
Oleh karena itu ia selalu berusaha memperoleh NAPZA yang dibutuhkannya dengan cara apapun,
agar dapat melakukan kegiatannya sehari-hari secara “normal”.
Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara umum dapat digolongkan sebagai
berikut :
Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo (cadel), apatis (acuh tak acuh),
mengantuk, agresif,curiga
Pengaruh kesehatan :
i. Gangguan pada system syaraf (neurologis) seperti: kejang-kejang, halusinasi, gangguan kesadaran,
kerusakan syaraf tepi
ii. Gangguan pada jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) seperti: infeksi akut otot jantung,
gangguan peredaran darah
iii. Gangguan pada kulit (dermatologis) seperti: penanahan (abses), alergi, eksim
iv. Gangguan pada paru-paru (pulmoner) seperti: penekanan fungsi pernapasan, kesukaran bernafas,
pengerasan jaringan paru-paru
v. Sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, suhu tubuh meningkat, pengecilan hati dan sulit tidur
vi. Dampak penyalahgunaan narkoba terhadap kesehatan reproduksi adalah gangguan pada endokrin,
seperti: penurunan fungsi hormon reproduksi (estrogen, progesteron, testosteron), serta gangguan
fungsi seksual
vii. Dampak penyalahgunaan narkoba terhadap kesehatan reproduksi pada remaja perempuan antara lain
perubahan periode menstruasi, ketidakteraturan menstruasi, dan amenorhoe (tidak haid)
Bila kelebihan dosis (overdosis) : nafas sesak,denyut jantung dan nadi lambat, kulit teraba dingin, nafas
lambat/berhenti, meninggal.
Bila sedang ketagihan (putus zat/sakau) : mata dan hidung berair,menguap terus menerus,diare,rasa
sakit diseluruh tubuh,takut air sehingga malas mandi,kejang, kesadaran menurun.
Pengaruh jangka panjang, penampilan tidak sehat,tidak peduli terhadap kesehatan dan kebersihan, gigi
tidak terawat dan kropos, terhadap bekas suntikan pada lengan atau bagian tubuh lain (pada pengguna
dengan jarum suntik)
Pola tidur berubah,begadang,sulit dibangunkan pagi hari,mengantuk dikelas atau tampat kerja.
Sering berpegian sampai larut malam,kadang tidak pulang tanpa memberi tahu lebih dulu
Sering mengurung diri, berlama-lama dikamar mandi, menghindar bertemu dengan anggota keluarga
lain dirumah
sering mendapat telepon dan didatangi orang tidak dikenal oleh keluarga,kemudian menghilang
Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak jelas penggunaannya,
mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau milik keluarga, mencuri, mengomengompas
terlibat tindak kekerasan atau berurusan dengan polisi.
Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar sikap bermusuhan, pencuriga, tertutup dan
penuh rahasia
Lamban kerja, ceroboh kerja, sering tegang dan gelisah, hilang kepercayaan diri, apatis, pengkhayal,
penuh curiga
Agitatif, menjadi ganas dan tingkah laku yang brutal, sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan,
cenderung menyakiti diri, perasaan tidak aman, bahkan bunuh diri
MENEGAKKAN DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis pada penderita/penyalahguna NAPZA sering kali tidak mudah dilakukan oleh
kerena adanya stigma di masyarakat terhadap penyalahguna. Hal ini membuat pasien bersifat tertutup dan
menghindar untuk mengatakan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu diperlukan keterampilan khusus
untuk membuat pasien percaya dan mau berterus terang.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menegakkan diagnosis :
a) SIKAP MENTAL PETUGAS KESEHATAN
Bersikap positif, penuh perhatian dan menerima pasien apa adanya.
Tidak menghina, mengkritik, menertawakan, mengejek, menyalahkan, karena hal ini akan menyebabkan
pasien tertutup sehingga akan mengganggu proses autoanamnesis.
b) TEKNIK WAWANCARA
Wawancara dapat dilakukan secara alloanamnesis maupun autoanamnesis. Urutan pelaksanaannya
dapat dilakukan alloanamnesis terlebih dahulu atau sebaliknya dan dapat juga bersamaan tergantung situasi
dan kondisi.
1. Alloanamnesis dilakukan sebelum Autoanamnesis
Petugas telah memperoleh informasi tentang pasien, sehingga autoanamnesis lebih terarah
Petugas terpengaruh orang tua/guru yang terlalu kuatir, pada hal pasien tidak menggunakan
Pasien mencurigai petugas sudah terpengaruh dengan orang tua/guru yang mengantar, sehingga tidak
kooperatif
Pasien tidak berprasangka bahwa petugas telah dipengaruhi orang tua/guru atau berpihak pada orang
tua/guru yang menyalahkan pasien
Pada pasien yang bersikap tertutup, menanyakan langsung perihal penggunaan NAPZA biasanya tidak
membawa hasil. Sebaiknya anamnesis dilakukan secara tidak langsung misalnya dengan pertanyaan sebagai
berikut :
Apakah ada yang bisa dibantu ?
Apakah untuk mengatasi kegelisahan atau kebosanan merokok lebih banyak dari biasa ?
Bila sedang frustasi, lalu minum minuman keras, apakah pernah mabok atau teler?
Bila minum minuman keras apakah dicampur obat tidur,masing-masing berapa banyak dan berapa sering
?
2) Lamanya pemakaian
5) Alasan penggunaan
1) Riwayat pendidikan
3) Status keluarga
1) Keadaan emosi
PEMERIKSAAN
Penampilan pasien,sikap wawancara,gejolak emosi dan lain-lain perlu diobservasi. Petugas harus
cepat tanggap apakah pasien perlu mendapatkan pertolongan kegawat darurat atau tidak, dengan
memperhatikan tanda-tanda dan gejala yang ada.
1. Fisik
a. Adanya bekas suntikan sepanjang vena di lengan,tangan kaki bahkan pada tempat-tempat tersembunyi
misalnya dorsum penis.
b. Pemeriksaan fisik terutama ditujukan untuk menemukan gejala intoksikasi/ioverdosis/putus zat dan
komplikasi medik seperti Hepatitis, Eudokarditis, Bronkoneumonia, HIV/AIDS dan lain-lain.
c. Perhatikan terutama : kesadaran, pernafasan, tensi, nadi pupil,cara jalan, sklera ikterik, conjunctiva
anemis, perforasi septum nasi, caries gigi, aritmia jantung,edema paru, pembesaran hepar dan lain-lain
2. Psikis
a. derajat kesadaran
c. gangguan pada alam perasaan (misal cemas, gelisah, marah, emosi labil, sedih, depresi, euforia)
e. gangguan pada psikomotor (hipperaktif/ hipoaktif, agresif gangguan pola tidur, sikap manipulatif dan
lain-lain)
3. Penunjang
a. Analisa Urin
Bertujuan untuk mendeteksi adanya NAPZA dalam tubuh (benzodiazepin, barbiturat, amfetamin,
kokain, opioida, kanabis)
Pengambilan urine hendaknya tidak lebih dari 24 jam dari saat pemakaian zat terakhir dan pastikan
urine tersebut urine pasien
b. Penunjang lain
Untuk menunjang diagnosis dan komplikasi dapat pula dilakukan pemeriksaan
Laboratorium rutin darah,urin
EKG, EEG
Foto toraks
Dan lain-lain sesuai kebutuhan (HbsAg, HIV, Tes fungsi hati, Evaluasi Psikologik, Evaluasi Sosial)
TERAPI DAN REHABILITASI
Terapi dan Rehabilitasi ketergantungan NAPZA tergantung kepada teori dan filosofi yang
mendasarinya. Dalam nomenklatur kedokteran ketergantungan NAPZA adalah suatu jenis penyakit atay
dusease entity yang dalan International classification of diseases and health related problems-tenth revision
1992 (ICD-10) yang dikeluarkan oleh WHO digolongkan dalam Mental and behavioral disorders due to
psychoactive subsstance use.
Ketergantungan NAPZA secara klinis memberikan gambaran yang berbeda-beda dan tergantung banyak
faktor, antara lain :
Jumlah dan jenis NAPZA yang digunakan
Keparahan (severrity) gangguan dan sejauh mana level fungsi keperibadian terganggu
Konteks sosial dan lingkungan pasien dimana dia tinggal dan diharapkan kesembuhannya Sebelum
dilakukan intervensi medis, terlebih dahulu harus dilakukan assesment
terhadap pasien dan kemudian baru menentukan apa yang menjadi sasaran dari terapi yang akan
dijalankan.
Tatalaksana Terapi dan Rehabilitasi NAPZA terdiri dari :
Outpatient (rawat jalan)
2. Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps. Sasaran utamanya adalah pencegahan relaps.Bila pasien
pernah menggunakan satu kali saja setelah “clean” maka ia disebut “slip”. Bila ia menyadari
kekeliruannya,dan ia memang telah dobekali ketrampilan untuk mencegah pengulangan penggunaan
kembali, pasien akan tetap mencoba bertahan untuk selalu abstinensia. Pelatihan relapse prevention
programe, Program terapi kognitif, Opiate antagonist maintenance therapy dengan naltreson merupakan
beberapa alternatif untuk mencegah relaps.
3. Memperbaiki fungsi psikologi dan fungsi adaptasi sosial. Dalam kelompok ini,abstinensia bukan
merupakan sasaran utama. Terapi rumatan (maintence) metadon merupakan pilihan untuk mencapai
sasaran terapi golongan ini.
ii. Overdosis
Penting dalam kondisi Gawat Darurat adalah ketrampilan menentukan diagnosis, sehingga dengan cepat dan
akurat dapat dilakukan intervensi medik.
Beri Naloxone HC 1 0,4 mg IV, IM atau SC dapat pula diulang setelah 2-3 menit sampai 2-3 kali
Intoksikasi kanabis (ganja):
Ajaklah bicara yang menenangkan pasien.
Bila perlu beri : Diazepam 10-30 mg oral atau parenteral, Clobazam 3x10 mg.
Intoksikasi kokain dan amfetamin
Beri Diazepam 10-30 mg oral atau pareteral,atau Klordiazepoksid 10- 25 mg oral atau Clobazam
3x10 mg. Dapat diulang setelah 30 menit sampai 60 menit. Untuk mengatasi palpitasi beri
propanolol 3x10-40 mg oral
Intoksikasi alkohol :
Lurus dan tengadahkan (ekstenikan) leher kepada pasien (jika diperlukan dapat memberikan
bantalan dibawah bahu)
Bila jantung berhenti, lakukan masase jantung eksternal,injeksi adrenalin 0.1-0.2 cc I.M
Bila timbul asidosis (misalnya bibir dan ujung jari biru,hiperventilasi) karena sirkulasi darah
yang tidak memadai, beri infus 50 ml sodium bikarbonas
Pasang infus dan berikan cairan (misalnya : RL atau NaC1 0.9 %) dengan kecepatan rendah (10-12
tetes permenit) terlebih dahulu sampai ada indikasi untuk memberikan cairan. Tambahkan
kecepatan sesuai kebutuhan,jika didapatkan tanda-tanda kemungkinan dehidrasi.
Lakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat kemungkinan adanya perdarahan atau trauma
yang membahayakan
Observasi terhadap kemungkinan kejang. Bila timbul kejang berikan diazepam 10 mg melalui IV
atau perinfus dan dapat diulang sesudah 20 menit jika kejang belum teratasi.
24-48 jam untuk detoksifikasi opioid dalam anestesi cepat (Rapid Opiate Detoxification
Treatment)
Dipakai Clonidine dimulai dengan 17 mikrogram/kg BB perhari dibagi dalam 3-4 kali pemberian.
Dosis diturunkan bertahap dan selesai dalam 10 hari
Sebaiknya dirawat inap (bila sistole < 100 mmHg atau diastole < 70 mmHg), terapi harus
dihentikan.
Terapi putus opioida dengan metode Detoksifikasi cepat dalam anestesi (Rapid Opioid
Detoxification).
Prinsip terapi ini hanya untuk kasus single drug opiat saja,dilakukan di RS dengan fasilitas rawat
intensif oleh Tim Anestesiolog dan Psikiater, dilanjutkan dengan terapi menggunakan anatagonist
opiat (naltrekson) lebih kurang 1 tahun.
Terapi putus zat sedative/hipnotika dan alkohol
Harus secara bertahap dan dapat diberikan Diazepam. Tentukan dahulu test toleransi dengan cara :
Memberikan benzodiazepin mulai dari 10 mg yang dinaikan bertahap sampai terjadi gejala
intoksikasi. Selanjutnya diturunkan kembali secara bertahap 10 mg perhari sampai gejala putus zat
hilang.
Terapi putus Kokain atau Amfetamin
Rawat inap perlu dipertimbangkan karena kemungkinan melakukan percobaan bunuh diri. Untuk
mengatasi gejala depresi berikan anti depresi.
Terapi untuk waham dan delirium pada putus NAPZA
Pada gangguan waham karena amfetamin atau kokain berikan Inj. Haloperidol 2.5-5 mg IM
dan dilanjutkan peroral 3x2,5-5 mg/hari.
Pada delirium putus sedativa/hipnotika atau alkohol beri Diazepam seperti pada terapi
intoksikasi sedative/hipnotika atau alkohol
Terapi putus opioida pada neonatus
Gejala putus opioida pada bayi yang dilahirkan dari seorang ibu yang mengalami ketergantungan
opioida, timbul dalam waktu sebelum 48-72 jam setelah lahir. Gejalanya antara lain : menangis
terus(melengking), gelisah,sulit tidur,diare,tidak mau minum, muntah, dehidrasi, hidung tersumbat,
demam, berkeringat. Berikan infus dan perawatan bayi yang memadai. Selanjutnya berikan
Diazepam 1-2 mg tiap 8 jam setiap hari diturunkan bertahap,selesai dalam 10 hari
Psikoterapi individual
Psikoterapi asertif : bila pasien mudah terpengaruh dan mengalami kesulitan dalam mengambil
keputusan yang bijaksana
Psikoterapi kelompok
2. REHABILITASI
Setelah selesai detoksifikasi, penyalahguna NAPZA perlu menjalani Rehabilitasi. Kenyataan
menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagian besar akan mengulangi
kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi.
Dengan Rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat :
Mempunyai motivasi untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi ;
Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan di lingkungannya. Beberapa
Bentuk Program/Pendekatan Rehabilitasi yang ada,antara lain :
b. Program Metadon
Metadon adalah opiat sintetik yang bisa dipakai untuk menggantikan heroin yang dapat diberikan
secara oral sehingga mengurangi komplikasi medik. Program ini masih kontroversial, di Indonesia program
ini masih berupa uji coba di RSKO
Program ini menitik beratkan berbagai kegiatannya pada terapi psikologik (kognitif, perilaku,
suportif, asertif, dinamika kelompok, psikoterapi individu, desensitisasi dan lain- lain) dan keterampilan
sosial yang bertujuan mengembangkan keperibadian dan sikap mental yang dewasa, serta meningkatkan
mutu dan kemampuan komunikasi interpersonal Berbagai variasi psikoterapi sering digunakan dalam
setting rehabilitasi. Tergantung pada sasaran terapi yang digunakan.
Psikoterapi yang berorientasi analitik mengambil keberhasilan mendatangkan insight sebagai parameter
keberhasilan.
d. Therapeutic Community
Berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam sutu tempet. Dipimpin oleh
bekas penyalahguna yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai konselor,setelah melalui pendidikan dan
latihan. Tenaga profesional hanya sebagai konsultan saja.Disini penderita dilatih keterampilan mengelola
waktu dan perilakunya secara efektif serta kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan
memakai NAPZA atau sugesti (craving) dan mencegah relap. Dalam komonitas ini semua ikut aktif dalam
proses terapi. Ciri perbedaan anggota dihilangkan. Mereka bebas menyatakan perasaan dan perilaku sejauh
tidak membahayakan orang lain. Tiap anggota bertanggung jawab terhadap perbuatannya,ganjaran bagi yang
berbuat positif dan hukuman bagi yang berperilaku negatif diatur oleh mereka sendiri.
e. Program yang berorientasi Sosial
Program ini memusatkan kegiatan pada keterampilan sosial, sehingga mereka dapat kembali kedalam
kehidupan masyarakat yang normal,termasuk mampu bekerja.
Program ini menerapkan modifikasi behavioral atau perilaku dengan cara melatih hidup menurut
aturan disiplin yang telah ditetapkan.
Pesantren dan beberapa pendekatan agama lain melakukan trial and error untuk menyelenggarakan
rehabilitasi ketergantungan NAPZA
h. Lain-lain
Beberapa profesional bidang kedokteran mencoba menggabungkan berbagai modalitas terapi dan
rehabilitasi. Hasil keberhasilan secara ilmiah dan dapat di pertanggung jawabkan masih ditunggu. Beberapa
bentuk terapi lainnya yang saat ini dikembangkan di Indonesia adalah penggunaan tenaga dalam prana dan
meditasi. Terapi yang mengandalkan adanya kekuatan spiritual baik dalam arti kata kekuatan diri maupun
Keagungan Allah telah dikembangkan hampir diseluruh dunia.
I. DEFINISI
Menurut Capernito (2001) kecemasan adalah keadaan individu atau kelompok mengalami perasaan
gelisah (penilaian atau opini) dan aktivitas sistem saraf autonom dalam berespons terhadap ancaman yang
tidak jelas, nonspesifik. Kecemasan merupakan unsur kejiwaan yang menggambarkan perasaan, keadaan
emosional yang dimiliki seseorang pada saat menghadapi kenyataan atau kejadian dalam hidupnya.
(Rivai, 2000).1,2
Kecemasan adalah perasaan individu dan pengalaman subjektif yang tidak diamati secara langsung dan
perasaan tanpa objek yang spesifik dipacu oleh ketidaktahuan dan didahului oleh pengalaman yang baru
(Stuart dkk, 1998). Berdasarkan definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kecemasan adalah
perasaan yang tidak menyenangkan, tidak enak, khawatir dan gelisah. Keadaan emosi ini tanpa objek
yang spesifik, dialami secara subjektif dipacu oleh ketidaktahuan yang didahului oleh pengalaman baru,
dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal.1,2
Gangguan Cemas Menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder) merupakan salah satu jenis gangguan
kecemasan dengan karakteristik kekhawatiran yang tidak dapat dikuasai dan menetap, biasanya terhadap
hal-hal yang sepele/tidak utama. Individu dengan gangguan cemas menyeluruh akan terus menerus
merasa khawatir tentang hal-ha yang kecil/sepele. 1,2,3
III. ETIOLOGI
Upaya untuk menjelaskan penyebab dari munculnya gangguan kecemasan, Accocella dkk (1976)
memaparkan dari beberapa sudut pandang teori. Menurut para ahli psikofarmaka, Gangguan Kecemasan
Menyeluruh bersumber pada neurosis, bukan dipengaruhi oleh ancaman eksternal tetapi lebih dipengaruhi
oleh keadaan internal individu.2,3,5
Sebagamana diketahui, Sigmund Freud sebagai bapak dari pendekatan psikodinamika mengatakan
bahwa jiwa individu diibaratkan sebagai gunung es. Bagian yang muncul dipermukaan dari gunung es
itu, bagian terkecil dari kejiwaan yang disebut sebagai bagian kesadaran. Agak di bawah permukaan air
adalah bagian yang disebut pra-kesadaran, dan bagian yang terbesar dari gunung es tersebut ada di bawah
sekali dari permukaan air, dan ini merupakan alam ketidaksadaran (uncounsciousness). Ketidaksadaran
ini berisi ide, yaitu dorongan-dorongan primitif, belum dipengaruhi oleh kebudayaan atau peraturan-
peraturan yang ada dilingkungan. Dorongan-dorongan ini ingin muncul ke permukaan/ ke kesadaran,
sedangkan tempat di atas sangat terbatas. Ego, yang menjadi pusat dari kesadaran, harus mengatur
dorongan-dorongan mana yang boleh muncul dan mana yang tetap tinggal di ketidaksadaran karena
ketidaksesuaiannya dengan superego, yaitu salah satu unit pribadi yang berisi norma-norma sosial atau
peraturan-peraturan yang berlaku di lingkungan sekitar. Jika ternyata ego menjadi tidak cukup kuat
menahan desakan atau dorongan ini maka terjadilah kelainan-kelainan atau gangguan-gangguan
kejiwaan. Neurosis adalah salah satu gangguan kejiwaan yang muncul sebagai akibat dari
ketidakmampuan ego menahan dorongan ide.1,6, 7
Jadi, individu yang mengalami Gangguan Kecemasan Menyeluruh, menurut pendekatan
psikodinamika berakar dari ketidakmampuan egonya untuk mengatasi dorongan-dorongan yang muncul
dari dalam dirinya secara terus menerus sehingga ia akan mengembangkan mekanisme pertahanan diri.
Mekanisme pertahanan diri ini sebenarnya upaya ego untuk menyalurkan dorongan dalam dirinya dan
bisa tetap berhadapan dengan lingkungan. Tetapi jika mekanisme pertahanan diri ini dipergunakan secara
kaku, terus-menerus dan berkepanjangan maka hal ini dapat menimbulkan perilaku yang tidak adaptif dan
tidak realistis.1, 6, 7
Ada beberapa mekanisme pertahanan diri yang bisa dipergunakan oleh individu, antara lain1, 4:
1. Represi, yaitu upaya ego untuk menekan pengalaman yang tidak menyenangkan dan dirasakan
mengancam ego masuk ke ketidaksadaran dan disimpan di sana agar tidak menganggu ego lagi. Tetspi
sebenarnya pengalaman yang sudah disimpan itu masih punya pengaruh tidak langsung terhadap
tingkahlaku si individu.
2. Rasionalisasi, yaitu upaya ego untuk melakukan penalaran sedemikian rupa terhadap dorongan-dorongan
dalam diri yang dilarang tampil oleh superego, sehingga seolah-olah perilakunya dapat dibenarkan.
3. Kompensasi, upaya ego untuk menutupi kelemahan yang ada di salah satu sisi kehidupan dengan
membuat prestasi atau memberikan kesan sebaliknya pada sisi lain. Dengan demikian, ego terhindar dari
ejekan dan rasa rendah diri.
4. Penempatan yang keliru, yaitu upaya ego untuk melampiaskan suatu perasaan tertentu ke pihak lain atau
sumber lain karena tidak dapat melampiaskan perasaannya ke sumber masalah.
5. Regresi, yaitu upaya ego untuk menghindari kegagalan-kegagalan atau ancaman terhadap ego dengan
menampilkan pikiran atau perilaku yang mundur kembali ke taraf perkembangan yang lebih rendah.
Para ahli dari aliran humanistik-eksternal mengatakan bahwa konsep kecemasan bukan hanya sekedar
masalah, yang bersifat individual tetapi juga merupakan hasil konflik antara individu dengan masyarakat
atau lingkungan sosialnya.1,6
Jika individu melihat perbedaan yang sangat luas antara pandangannya tentang dirinya sendiri dengan
yang diinginkan maka akan`muncul perasaan inadekuat dalam menghadapi tantangan di kehidupan ini,
dan hal ini menghasilkan kecemasan. Jadi menurut pandangan humanis eksternalis, pusat kecemasan
adalah konsep diri, yang terjadi sehubungan dengan adanya gap antara konsep diri yang sesungguhnya
(real self) dan diri yang diinginkan (idea self). Hal ini muncul sehubungan tidak adanya kesempatan bagi
individu untuk mengaktualisasikan` dirinya sehingga perkembangannya menjadi terhalang. Akibatnya,
dalam menghadapi tantangan atau kendala dalam menjalani hari-hari, di kehidupan selanjutnya, ia akan
mengalami kesulitan untuk membentuk konsep diri yang positif. Setiap kita sebenarnya perlu
mengembangkan suatu upaya untuk menjadi diri sendiri (authenticity), sedangkan indivisu yang neurotis,
atau mengalami gangguan kecemasan adalah individu yang gagal menjadi diri sendiri (inauthenticity)
karena mereka mengembangkan konsep diri yang keliru/palsu4,7
Sementara para ahli dari pendekatan behavioristik mengatakan bahwa kecemasan muncul karena
terjadi kesalahan dalam belajar, bukan hasil dari konflik intrapsikis, individu belajar menjadi cemas. Ada
2 tahapan belajar yang berlangsung dalam diri individu yang menghasilkan kecemasan yaitu:1, 4, 7
1. Dalam pengalaman individu, beberapa stimulus netral tidak berbahaya atau tidak menimbulkan
kecemasan, dihubungkan dengan stimulus yang menyakitkan (aversive) akan menimbulkan
kecemasan (melalui respondent condotioning)
2. Individu yang menghindar dari stimulus yang sudah terkondisi, dan sejak penghindaran ini
menghasilkan pembebasan/terlepas dari rasa cemas, maka respon menghindar ini akan menjadi
kebiasaan (melalui operant conditioning)
Dari sudut pandang kognitif, gangguan kecemasan terjadi karena adanya kesalahan dalam
mempersepsikan hal-hal yang menakutkan. Berdasarkan dari teori kognitif, masalah yang terjadi dari
individu yang mengalami gangguan kecemasan adalah terjadinya kesalahan persepsi atau kesalahan
interpretasi terhadap stimulus internal maupun eksternal. Indivisu yang mengalami gangguan kecemasan
akan melihat suatu hal yang tidak benar-benar mengancam sebagai sesuatu yang mengancam. Jika
individu mengalami pengalaman sensasi dalam tubuh yang tidak biasa, lalu mengintepretasikannya
sebagai sensasi yang bersifat catastropic, yaitu suatu gejala bahwa ia sedang mengalami sesuatu hal seperti
serangan jantung, maka akan timbul rasa panik. 4,7
V. DIAGNOSIS
Diagnosis Gangguan Cemas Menyeluruh (DSM-IV halaman 435, 300.02) ditegakkan bila terdapat
kecemasan kronis yang lebih berat (berlangsung lebih dari 6 bulan; biasanya tahunan dengan gejala
bertambah dan kondisi melemah) dan termasuk gejala seperti respons otonom (palpitasi, diare, ekstremitas
lembab, berkeringat, sering buang air kecil), insomnia, sulit berkonsentrasi, rasa lelah, sering menarik
nafas, gemetaran, waspada berlebihan, atau takut akan sesuatu yang akan terjadi. Ada kecenderungan
diturunkan dalam keluarga, memiliki komponen genetik yang sedang dan dihubungkan dengan fobia sosial
dan sederhana serta depresi mayor (terdapat pada 40% atau lebih pasien; meningkatkan resiko bunuh diri.
Biasanya pada kondisi ini tidak`ditemukan etiologi stres yang jelas, tetapi harus dicari penyebabnya.2,3, 4
Diagnosis gangguan cemas menyeluruh menurut PPDGJ-III ditegakkan berdasarkan :5
Penderita harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang berlangsung hampir setiap hari
untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan
situasi khusus tertentu saja (sifatnya “free floating” atau “mengambang”).
Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut:
1. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk, sulit berkonsentrasi, dsb)
2. Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai); dan
3. Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-debar, sesak napas,
keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering, dsb)
Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari), khususnya depresi, tidak
membatalkan diagnosis utama Gangguan Anxietas Menyeluruh, selama hal tersebut tidak memenuhi
kriteria lengkap dari episode depresif (F.32.-), gangguan anxietas fobik (F.40.-), gangguan panik
(F42.0), atau gangguan obsesif-kompulsif (F.42.-)
VI. PENANGANAN
Terapi pada Gangguan Kecemasan Menyeluruh pada umumnya dapat dilakukan dengan 2 cara yakni
terapi psikologis (psikoterapi) atau terapi dengan obat-obatan (farmakoterapi). Angka-angka keberhasilan
terapi yang tinggi dilaporkan pada kasus-kasus dengan diagnosis dini. Psikoterapi yang sederhana sangat
efektif, khususnya dalam konteks hubungan pasien dengan dokter yang baik, sehingga dapat membantu
mengurangi farmakoterapi yang tidak perlu.1,6, 8
-Penanganan
dengan psikoterapi juga dapat dijelaskan melalui pendekatan psikodinamika, humanistik
eksistensialis atau pendekatan behavioristik maupun kognitif.1
Menurut para ahli psikodinamika, karena gangguan ini berakar pada keadaan internal individu
sehubungan dengan adanya konflik intrapsikis yang dialami individu sehingga ia mengembangkan suatu
bentuk mekanisme pertahanan diri, maka upaya menanganinya juga terarah pada pemberian kesempatan
bagi individu untuk mengeluarkan seluruh isi pikiran atau perasaan yang muncul di dalam dirinya.
Asumsinya adalah jika individu bisa menghadapi dan memahami konflik yang dialami, ego akan lebih
bebas dan tidak harus terus berlindung di balik mekanisme pertahanan diri yang dikembangkannya.1,7
Teknik dasar yang digunakan disebut free association, individu diminta untuk menjelaskan secara
sederhana tentang hal-hal yang ada di dalam pikirannya, tanpa melihat apakah itu logis atau tidak, tepat
atau tidak, ataupun pantas atau tidak. Hal-hal dari alam bawah sadar atau tidak sadar yang diungkapkan
akan dicatat oleh terapis untuk diinterpretasikan. Tehnik ini juga bisa dimanfaatkan saat menggunakan
teknik dream interpretation; individu diminta untuk menceritakan mimpinya secara detail dan tepat. Kedua
teknik ini memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Dalam melaksanakan teknik-teknik tersebut
di atas, ada dua hal yang biasanya muncul, yaitu apa yang disebut dengan resistance (yaitu individu
bertahan dan beradu argumen dengan terapis saat terapis mulai sampai pada bagian sensitif), dan
transference (yaitu individu mengalihkan perasaannya pada terapis dan menjadi bergantung.1,5, 7
Sementara para ahli dari pendekatan humanistik eksistesialis yang melihat kecemasan sebagai hasil
konflik diri yang terkait dengan keadaan sosial dimana pengembangan diri menjadi terhambat, maka
mereka lebih menyarankan untuk membangun kembali diri yang rusak (damaged self). Tekhniknya sering
disebut sebagai client centered therapy yang berpendapat bahwa setiap individu memiliki kemampuan
yang positif yang dapat dikembangkan sehingga ia membutuhkan situasi yang kondusif untuk
mengeksplorasi dirinya semaksimal mungkin.1,7, 8
Setiap permasalahan yang dihadapi setiap individu sebenarnya hanya dirinyalah yang paling mengerti
tentang apa yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, individu itu sendirilah yang paling berperan dalam
menyelesaikan permasalahan yang mengganggu dirinya.1,7,8
Karena para ahli melihat kecemasan sebagai sebagai hasil dari belajar (belajar menjadi cemas) maka
untuk menanganinya perlu dilakukan pembelajaran ulang agar terbentuk pola perilaku baru, yaitu pola
perilaku yang tidak cemas.1,7
Tehnik yang digunakan untuk mengurangi kecemasan adalah systematic desentisitization, yaitu
mengurangi kecemasan dengan menggunakan konsep hirarki ketakutan, menghilangkan ketakutan secara
perlahan-lahan mulai dari ketakutan yang sederhana sampai ke hal yang lebih kompleks. Pemberian
reinforcement (penguat) juga dapat digunakan dengan secara tepat memberikan variasi yang tepat antara
pemberian reward- jika ia memperlihatkan perilaku yang mengarah keperubahan ataupun punishment –
jika tidak ada perubahan perilaku atau justru menampilkan perilaku yang bertolak belakang dengan
rencana perubahan perilaku. Adanya model yang secara nyata dapat dilihat dan menjadi contoh langsung
kepada individu juga efektif dalam upaya melawan pikiran-pikiran yang mencemaskan.7, 8
Pendekatan kognitif yang melihat gangguan kecemasan sebagai hasil dari kesalahan dalam
mempersepsikan ancaman (misperception of threat) menawarkan upaya mengatasinya dengan mengajak
individu berpikir dan mendesain suatu pola kognitif baru. David Clark dkk (dalam Acocella dkk, 1996)
mengembangkan desain kognitif yang melibatkan 3 bagian yaitu1 :
1. Identifikasi interpretasi negatif yang dikembangkan individu tentang sensasi tubuhnya
2. Tentukan dugaan atau asumsi dan arahkan alternatif intrepretasi, yang noncatastropic.
3. Bantu individu menguji validitas penjelasan dan alternatif-alternatif tersebut.
Dengan kata lain, para ahli dari pendekatan kognitif ini menyatakan bahwa tujuan dari terapi sebagai upaya
menangani gangguan kecemasan adalah membantu individu melakukan intrepretasi sensasi tubuh dengan
cara yang noncatastropic1.
Dalam beberapa hal, penanganan terhadap penderita gangguan kecemasan tidak selalu hanya
berpegang pada satu tehnik saja, atau hanya mengikuti pendapat salah satu ahli dari suatu pendekatan saja.
Terapi yang diberikan dapat sekaligus dengan menggunakan lebih dari satu pendekatan atau lebih dari satu
tehnik, asalkan tujuannya jelas dan tahapan-tahapannya juga terinci.1,6,7
Pertimbangkan penggunaan obat-obatan maupun psikoterapi. Anti depresan yang baru, venlafaksin
XR, tampaknya cukup efektif dan aman untuk pengobatan gangguan cemas menyeluruh. Gunakan
benzodiazepin dengan tidak berlebihan(diazepam, 5 mg per oral, 3-4 kali sehari atau 10 mg sebelum tidur)
untuk jangka pendek(beberapa minggu hingga beberapa bulan); biarkan penggunaan obat-obatan untuk
mengikuti perjalanan penyakitnya. Pertimbangkan pemberian buspiron untuk pengobatan awal atau untuk
pengobatan kronis (20-30 mg/hari dalam dosis terbagi). Pasien tertentu yang telah terbiasa dengan efek
cepat benzodiazepin akan merasakan kurangnya efektivitas buspiron. Anti depresan trisiklik, SSRI, dan
MAOI bermanfaat terhadap pasien-pasien tertentu (terutama bagi mereka yang disertai dengan depresi).
Sedangkan pasien dengan gejala otonomik akan membaik dengan β-bloker (misal, propanolol 80-160
mg/hari). 4, 8
Tabel 2. Sediaan Obat Anti-Anxietas dan Dosis Anjuran (menurut IiMS Vol. 30-2001)11
No Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran
1. Diazepam Diazepin Tab. 2-5 mg 10-30 mg/h
Lovium Tab. 2-5 mg
Stesolid Tab. 2-5 mg
Amp. 10mg/2cc
2. Chlordiazepoxide Cetabrium Drg. 5-10 mg 15-30 mg/h
Arsitran Tab. 5 mg
Tensinyl Cap. 5 mg
3. Lorazepam Ativan Tab. 0,5-1-2 mg 2-3 x 1 mg/h
Renaquil Tab. 1 mg
4. Clobazam Frisium Tab. 10 mg 2-3 x 1m mg/h
5. Alprazolam Xanax Tab. 0,25-0,5 mg 0,75-1,50 mg/h
Alganax Tab. 0,25-0,5 mg
6. Sulpiride Dogmatil Cap. 50 mg 100-200 mg/h
7. Buspirone Buspar Tab. 10 mg 15-30 mg/h
8. Hydroxyzine Iterax Caplet 25 mg 3x25 mg/h
Obat anti-anxietas Benzodiazepine yang bereaksi dengan reseptornya (benzodiazepine receptors) akan
meng-reinforce “the inhibitory action of GABA-ergic neuron”, sehingga hiperaktivitas tersebut di atas
mereda.11
Dorong rasa percaya diri, rumatan aktivitas produktif, dan kognisi yang berdasarkan pada realita.
Latihlah pasien dengan teknik relaksasi (misal biofeedback, meditasi, otohipnotis). Lebih dari 50% pasien
menjadi asimtomatik seiring berjalannya waktu, tetapi sisanya memberat pada derajat hendaya yang
bermakna. Bantulah pasien untuk memahami akan sifat kronis penyakitnya dan mengerti akan adanya
kemungkinan untuk selamanya hidup dengan beberapa gejala yang memang tidak akan hilang. 4,6
VII. PROGNOSIS
Prognosis Gangguan Kecemasan Menyeluruh sukar untuk untuk diperkirakan. Nemun demikian
beberapa data menyatakan peristiwa kehidupan berhubungan dengan onset gangguan ini. Terjadinya
beberapa peristiwa kehidupan yang negatif secara jelas meningkatkan kemungkinan akan terjadinya
gangguan. Hal ini berkaitan pula dengan berat ringannya gangguan tersebut.8,10
Gangguan bipolar adalah kondisi seseorang yang mengalami perubahan suasana hati secara fluktuatif dan drastis,
misalnya tiba-tiba menjadi sangat bahagia dari yang sebelumnya murung. Nama lain dari gangguan bipolar
adalah manik depresif.
Terdapat berapa faktor yang diduga meningkatkan risiko seseorang terkena gangguan bipolar, yakni:
Kejadian traumatik.
Memiliki riwayat keluarga dekat (saudara kandung atau orangtua) yang mengidap gangguan bipolar.
Terdapat dua fase dalam gangguan bipolar, yaitu fase mania (naik) dan depresi (turun). Pada periode mania,
pengidapnya jadi terlihat sangat bersemangat, enerjik, dan bicara cepat. Sedangkan pada periode depresi,
pengidapnya akan terlihat sedih, lesu, dan hilang minat terhadap aktivitas sehari-hari.
Berdasarkan perputaran episode suasana hati, ada sebagian pengidap gangguan bipolar yang mengalami keadaan
normal di antara mania dan depresi. Ada juga yang mengalami perputaran cepat dari mania ke depresi atau
sebaliknya tanpa adanya periode normal (rapid cycling). Selain itu, ada juga pengidap yang mengalami mania
dan depresi secara bersamaan. Contohnya, ketika pengidap merasa sangat berenerjik, tetapi di saat bersamaan
juga merasa sangat sedih dan putus asa. Gejala ini dinamakan dengan periode campuran (mixed state).
Diagnosis
Diagnosis lebih lanjut mengenai kondisi ini sangat dibutuhkan, sebab gejala gangguan bipolar mirip dengan
kondisi lain, seperti penyakit tiroid, serta dampak dari kecanduan alkohol atau penyalahgunaan NAPZA.
Pemeriksaan yang dilakukan bisa dengan metode wawancara ke keluarga atau kerabat pengidap gangguan
bipolar. Wawancara ini terkait gejala, seperti sejak kapan dan seberapa sering gejala muncul.
Pengidapnya juga kemudian akan dirujuk ke psikiater atau dokter spesialis kesehatan jiwa. Psikiater akan
melakukan beberapa pengamatan terkait pola bicara, berpikir, dan bersikap. Pskikiater juga mungkin akan
menanyakan riwayat penyakit keluarga, riwayat penyakit, hingga pola tidur. Pengidapnya juga mungkin akan
diberikan kuesioner yang dapat diisi. Saat hasil pemeriksaan dirasa cukup, psikiater kemudian akan
mengklasifikasikan kondisi seseorang berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM-5).
Beberapa ahlo berpendapat bahwa kondisi ini disebabkan oleh ketidakseimbangan neurotransmitter atau zat
pengontrol fungsi otak. Tidak hanya itu, ada juga yang berpendapat bahwa gangguan bipolar berkaitan dengan
faktor keturunan.
Beberapa faktor yang diduga bisa meningkatkan risiko seseorang terkena gangguan bipolar adalah mengalami
stres tingkat tinggi, pengalaman traumatik, kecanduan minuman beralkohol atau obat-obatan terlarang, dan
memiliki riwayat keluarga dekat (saudara kandung atau orangtua) yang mengidap gangguan bipolar.
Tujuan pengobatan gangguan bipolar adalah untuk menurunkan frekuensi terjadinya fase-fase mania dan depresi
agar pengidapnya dapat hidup secara normal dan membaur dengan lingkungan. Selain memperbaiki pola hidup,
penanganan biasanya mencakup pemberian obat- obatan yang dikombinasikan dengan terapi psikologis
(contohnya terapi perilaku kognitif).
Langkah pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi efek dari bipolar, yaitu dengan
memberikan terapi sesuai dengan anjuran dokter.
Gejala awalL
Kamu harus berbicara dengan dokter jika gangguan bipolar menunjukkan tanda-tanda berikut ini:
5. SKIZOFRENIA
Pengertian Skozofrenia
Menurut Davidson (2012) Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan
gangguan utama dalam pikiran emosi, dan perilaku-pikiran yang terganggu, dimana berbagai pemikiran
tidak saling berhubungan secara logis; persepsi dan perhatian yang keliru; afek datar atau tidak sesuai;
dan berbagai gangguan aktivitas bizarre. Pasien menarik diri dari banyak orang dan realitas, seringkali
kedalam kehidupan fantasi yang penuh waham dan halusinasi.
Skozofrenia termasuk dalam salah satu gangguan mental yang disebut psikosis, pasien psikotik
tidak dapat mengenali atau tidak memiliki kontak dengan realitas (Setiadi, 2006).
Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo artinya terbagi, terpecah dan
phrenia artinya pikiran. Jadi pikirannya terbagi atau terpecah. (Rudyanto, 2007).
Eugene Bleuler mengemukakan manifestasi primer skizofrenia ialah gangguan pikiran, emosi
menumpul dan terganggu. Ia menganggap bahwa gangguan pikiran dan menumpulnya emosi sebagai
gejala utama daripada skizofrenia dan adanya halusinasi atau delusi (waham) merupakan gejala
sekunder atau tambahan terhadap ini (Lumbantobing, 2007).
Skizofrenia dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom dengan variasi penyebab (banyak yang
belum diketahui), dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis) yang luas, serta sejumlah akibat
yang tergantung pada pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya (Kaplan and Sadock, 2010).
Sejarah Konsep Skizofrenia
Konsep Skizofrenia pertama kali di formulasikan oleh dua psikiater Eropa, Emil Kraepelin dan
Eugen Bleuer. Kraepelin pertama kali mengemukakan teorinya mengenai dementia praecox, istilah
awal untuk Skizozrenia pada tahun 1898. Dia membedakan dua kelompok utama psikosis yang
disebutnya endogenic, atau disebabkan secara internal: penyakit manik-depresi dan dementia praecox.
Meskipun berbagai gangguan tersebut secara simtomatik berbeda, Kraepelin yakin mereka memiliki
kesamaan inti dan istila dementia praecox mencerminkan apa yang diyakininya merupakan inti tersebut-
yaitu terjadi pada usia awal (praecox) dan perjalanan yang memburuk yang ditandai oleh deteriorasi
intelektual progresif (demensia).
Konsep Skizofrenia yang diperluas di Amerika Serikat merupakan pengaruh besar dari Bleurer.
Selama paruh pertama abad ke 20 diagnosis tersebut semakin meluas. Presentasi pasien yang
didiagnosis sebagai skizofrenik di rumah sakit Maudsley di London, meningkat 20 persen dalam kurun
waktu 40 tahun (Kuriansky, Deming & Gurland, 1974, dalam Gerald, 2012).
Penyebab meningkatnya frekuensi diagnosis skizofrenia di AS dapta diketahui dengan mudah.
Beberapa figure penting di dunia psikiatri AS lebih memperluas konsep Skizofrenia Bleurer yang pada
dasarnya sudah luas. Contohnya, pada tahun 1933, Kasanin menggambarkan Sembilan pasien yang
didiagnosisi menderita dementia praecox. Pada mereka gangguan tersebut timbul secara mendadak dan
penyembuhannya relative cepat. Mengamati bahwa gangguan yang merak alami dapat dikatakan
sebagai kombinasi skizofrenik dan simtom-simtom afektif, Kasanin mengajukan istilah psikosis
skizoafektif untuk menggambarkan berbagai gangguan yang dialami para pasien tersebut. Diagnosis
tersebut kemudian menjadi bagian konsep skozofrenia di AS dan dicantumkan dalam DSM-I (1952)
dan DSM-II (1968). Konsep Skizofrenia lebih jauh diperluas dengan penambahan tiga praktik-praktik
diagnosis.
1. Para ahli klinis AS mendiagnosis skizofrenia bila terjadi waham dan halusinasi. Karena
simtom-simtom ini terutama delusi, juga terjadi dalam gangguan mood, banyak pasien yang
menerima diagnosis skizofrenia berdasarkan DSM-II sebenarnya mengalami gangguan mood
(Cooper dkk; 1972)
2. Para pasien yang dewasa ini didiagnosis mengalami gangguan kepribadian terutama skizotipal,
skizoit, ambang dan gangguan kepribadian paranoid, didiagnosis sebagai skizofrenik
berdasarka kriteria DSM-II.
3. Para pasien yang mengalami simtom-simtom skizofrenik yang terjadi secara akut dengan
kesembuhan yang cepat didiagnosis menderita skizofrenia.
Berawal dari DSM-III (APA, 1980) dan berlanjut dalam DSM-IV (APA. 1994) dan DSM-IV-
TR (APA, 2000), konsep skizofrenia di AS mengalami perubahan besar dari defenisi terdahulu yang
meluas menjadi lima praktik-praktik diagnosis. Kriteria-kriteria simtomatik tersebut dapat diterapkan
untuk semua budaya. Meskipun para pasien di Negara-negara berkembang memiliki kejadian yang lebih
akut dibanding para pasien di masyarakat industri.
o Katatonia
Beberapa abnormalitass motoric menjadi ciri katatonia. Para pasien dapat melakukan
suatu gerakan berulang kali, menggunakan urutan yang aneh dan kadang kompleks
antara gerakan jari, tangan, dan lengan yang sering kali tampaknya memiliki tujuan
tertentu. Beberapa pasien menunjukkan peningkatan yang tidak biasa pada
keseluruhan kadar aktivitas, termasuk sangat riang, menggerakkan anggota badan
secara liar, dan pengeluaran energy yang sangat besar. Di ujung lain spectrum ini
adalah imobilitas katatonik : pasien menunjukkan berbagai postur yang tidak biasa dan
tetap dalam waktu yang lama. Pasien katatonik juga memiliki fleksibiltas lilin-orang
lain dapat menggerakkan anggota badan seorang pasien dalam posisi aneh dalam
waktu yang lama.
o Afek yang tidak sesuai
Afek yang tidak sesuai merupakan respon-respon emosional yang berada diluar
konteks, misalnya tertawa ketika mendengar berita duka.
Etiologi Skizofrenia
Etiologi adalah semua faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan suatu gangguan atau penyakit.
Skizofrenia dapat dianggap sebagai gangguan yang penyebabnya multipel yang saling berinteraksi.
Diantara faktor multipel itu dapat disebut :
1. Keturunan
Penelitian pada keluarga penderita skizofrenia terutama anak kembar satu telur. Angka
kesakitan bagi saudara tiri 0,9%-1,8%, bagi saudara kandung 7- 15%, anak dengan salah satu
orang tua menderita skizofrenia 7-16%. Apabila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-
60%, kembar dua telur 2-15%. Kembar satu telur 61-68% (Maramis, 2009). Menurut hukum
Mendel skizofrenia diturunkan melalui genetik yang resesif (Lumbantobing, 2007).
2. Gangguan anatomic
Dicurigai ada beberapa bangunan anatomi di otak berperan yaitu : Lobus temporal, sistem
limbik dan reticular activating system. Ventrikel penderita skf lebih besar daripada kontrol.
Pemeriksaan MRI menunjukan hilangnya atau 9 berkurangnya neuron dilobus temporal.
Didapatkan menurunnya aliran darah dan metabolisme glukosa di lobus frontal. Pada
pemeriksaan post mortem didapatkan banyak reseptor D2 diganglia basal dan sistem limbik,
yang dapat mengakibatkan meningkatnya aktivitas DA sentral (Lumbantobing, 2007).
3. Biokimiawi
Saat ini didapat hipotese yang mengemukan adanya peranan dopamine, kateklolamin,
norepinefrin dan GABA pada skf (Lumbantobing, 2007).
Setiadi (2006) menggolongkan etiologi skizofrenia ke dalam dua pendekatan, yaitu
somatogenesis dan psikogenesis.
Somatogenesis
Pendekatan somatogenesis berusaha memahami kemunculan skizofrenia sebagai akibat dari
berbagai proses biologis dalam tubuh.
a. Genetik
Berbagai peneltian menunjukkan bahwa gen yang diwarisi seseorang, sangat kuat memengaruhi
resiko seseorang mengalami skizofrenia. Studi pada keluarga telah menunjukkan bahwa semakin
dekat relasi seseorang dengan pasien skizofrenia, makin besar pula resikonya ia mengalami
penyakit tersebut. Namun, para kerabat kasus penderita skizofrenia tidak hanya memiliki gen yang
sama, namun juga pengalaman yang sama (Davidson, 2012).
Studi adopsi. Sebuah studi yang dilakukan oleh Heston (1996) berhasil memantau 47 orang anak
yang dari para ibu yang menderita skizofrenia, yang sejak bayi dipisahkan dari ibu mereka dan
dibesarkan oleh orang tua asuh. 50 peserta control diseleksi dari panti asuhan yang sama dengan
anak-anak dari para ibu skizofrenia. Hasilnya menunjukkan bahwa 31 anak dari 47 anak yang
memiliki ibu skizofrenik (66%) menerima suatu diagnosis DSM, dibandingkan hanya 9 anak dari
50 peserta control (18%). Tidak satupun dari peserta control yang mendapat diagnosis skizofrenia,
namun 16,6% keturunan dari ibu skizofrenik juga mendapat diagnosis yang sama. Studi ini
menunjukkan bahwa faktor- genetic berperan penting dalam terjadinya skizofrenia.
b. Biocemistry (Ketidakseimbangan Kimiawi Otak)
Beberapa bukti menunjukkan bahwa skizofrenia mungkin berasal dari ketidak seimbangan kimiawi
otak yang disebut neurotransmitter – yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron
berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas
neurotransmitter dopamine yang berlebihan dibagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan
sensitivisas yang abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas
dopamine yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter
tampaknya juga memainkan peranan.
c. Neuroanatomy (Abnormalitas Struktur Otak)
Berbagai teknik imaging, seperti MRI(Magnetic Resonance Imaging) dan PET telah membantupara
ilmuwan untuk menemukan abnormalitas structural spesifik pada otak pasien skizofrenia yang
kronis cenderung memiliki vertical otak yang lebih besar. Mereka juga memiliki voume jaringan
otak yang lebih sedikit daripada orang normal. Pasien sizofrenia menunjukkan aktivitas yang sangat
rendah pada lobus frontalis otak. Ada juga kemungkinan abnormalitas dibagian-bagian lain otak
seerti di lobus temporalis, basal ganglia, thalamus, hippocampus, dan superior temporal gyrus.
MRI menunjukka perbedaan stuktural antara otak orang dewasa ormal di sebelah kiri dengan
otak pasien skizofrenia di sebelah kanan. Otak pasien skizofrenia menunjukkan pembesaran
ventrikal, namun tidak semua pasien skizofrenia menunjukkan abnormalias ini.
Psikogenesis
Pemahaman kemunculan skizofrenia menurut pendekatan psikologis (khususnya psikodinamik).
Pandangan Sigmund Freud
Menurut pandangan psikodinamika, skizofrenia mencerminkan ego yang dibanjirinya oleh
dorongan-dorongan seksual primitif atau agresif atau impuls-impuls yang berasal dari id. Impuls-
ilmpuls tersebut mengancam ego dan berkembang menjadi konflik intrapsikis yang kuat. Di bawah
ancaman seperti itu, orang tersebut mundur ke periode awal dari tahapan oral, yang disebut sebagai
narsisme primer. Pada periode ini bayi belum belajar bahwa dunia dan dirinya adalah hal yang
berbeda. Karena ego menjembatani hubungan antara diri degan dunia luar, kerusakan pada fungsi
ego ini berpengaruh terhadap adanya jarak terhadap realitas yang khas skizofrenia. Masukan dari
id menyebabkan fantasi menjadi disalahartikan sebagai realitas, menyebabkan halusinasi dan
waham. Impuls-impuls primitif mungkin juga membawa beban yang lebih berat daripada norma-
norma sosial dan diekspresikan pada perilaku yang aneh, dan tidak sesuai secara sosial.
Pandangan Harry Stack Sullivan
Sullivan (1962), menekankan pentingnya hubungan ibu dan anak yang terganggu, dan
mengemukakan argumentasi bahwa hal tersebut dpat menetapkan tahapan untuk penarikan diri
secara perlahan-lahandari orang lain. Pada masa kanak-kanak awal, interaksi yang penuh
kecemasan dan permusuhan antara anak dan orang tua membawa anak untuk mencari perlindungan
pada dunia fantasi yang bersifat pribadi. Lingkaran setan pun terjadi: Semakin anak menarik diri,
semakin berkurang kesempatan yang ada untuk membangun kepercayaan pada orang lain dan
keterampilan sosial yang dibutuhkan untuk membangun keintiman. Kemudian ikatan yang lemah
antara anak dan orang lain mendorong kecemasan sosial dan penarikan diri yang lebih jauh. Siklus
ini berlanjut sampai masa dewasa muda. Kemudian, dihadapkan dengan meningkatnya tuntutan di
sekolah atau pekerjaan dan dalam hubungan intim, orang tersebut menjadi semakin dibanjiri dengan
kecemasan dan menarik diri sepenuhnya ke dunia fantasi.
Pandangan aliran Ego Psychology
Federn (1952) mengatakan bahwa pasien skizofrenia memiliki batasan antara yang ada di dalam
dan diluar karena ego boundary mereka tidak memadai lagi. Mahler (1952) mengatakan bahwa ego
boundary berkembang dari kontak fisik antara ibu dan bayi. Tidak adanya stimulus ini pada dyad
ibu-bayi mengakibatkan kesulitan pasien skizofrenia membedakan diri dengan orang lain.
Kecenderungan pasien skizofrenia dewasa untuk menyatu secara psikologis dengan sekeliling
mereka dapat dipahami sebagai usaha untuk membangun kembali kebahagiaan simbiotik di masa
awal kehidupan. Namun demikian, kebersatuan ini juga mengakibatkan ketakutan akan
penghancuran diri, mengakibatkan pasien skizofrenia merasa terjebak antara keinginan untuk
bersatudan ketakutan akan disintegrasi.
Pandangan Object Relations Theory
Skizofrenia memutuskan relasi penderitanya dari orang-orang lain. Pasien skizofrenia dikatakan di
dunianya sendiri, dunia yang tak dikenal oleh orang lain selain dirinya. Laing mengatakan bahwa
penderita skizofrenia tidak merasa nyaman di dalam dunia, tidak mampu mengalami dirinya
bersama dengan orang lain dan juga tidak mengalami dirinya sendiri utuh, melainkan terbelah
dalam berbagai cara. Kondisi keterpisahan dari relasi denga orang lain merupakan akibat dari
gangguan dari relasi paling awal, yaitu relasi antara bayi dan pengasunya.
Stres Psikologis dan Skizofrenia
Stres psikologis berperan penting dengan cara berinteraksi dengan kerentanan biologis untuk
menimbulkan penyakit ini. Data menunjukkan bahwa, sebagaimana pada banyak gangguan yang
telah dibahas, peningkatan stres kehidupan meningkatkan kemungkinan kekambuhan. Para individu
yang mengalami skizofrenia tampak sangat reaktif terhadap berbagai stresor yang kita hadapi dalam
kehidupan sehari-hari. Orang dengan gangguan skizofrenia sangat rentan terhadap stres sehari-hari.
a. Kelas Sosial dan Skizofrenia.
Angka kejadian tertinggi skizofrenia terdapat di berbagai wilayah pusat kota yang dihuni oleh
masyarakat dari kelas-kelas sosial rendah. Hubungan antara kelas sosial dan skizofrenia tidak
menunjukkan tingkat kejadian skizofrenia yang semakin tinggi seiring dengan semakin rendahnya
kelas sosial. Namun, terdapat perbedaan yang sangat tajam antara jumlah orang yang menderita
skizofrenia dalam kelas sosial terendah dan jumlah penderita skizofrenia pada berbagai kelas sosial
lain.
Korelasi antara kelas sosial dan skizofrenia memiliki konsistensi, namun sulit untuk
menginterpretasikannya secara kausal. Beberapa orang percaya bahwa stresor yang berhubungan
dengan kelas sosial rendah dapat menyebabkan atau berkontribusi terhadap terjadinya skizofrenia
yaitu hipotesis sosiogenik. Perlakuan merendahkan yang diterima seseorang dari orang lain, tingkat
pendidikan yang rendah dan kurangnya penghargaan serta kesempatan secara bersamaan dapat
menjadikan keberadaan seseorang dalam kelas sosial terendah sebagai kondisi yang penuh stres
yang membuat seseorang setidak-tidaknya yang memiliki predisposisi menderita skizofrenia.
b. Teori seleksi-sosial, membalikan arah kausalitas antara kelas sosial dan skizofrenia. Dalam
perjalanan berkembangnya psikosis mereka, orang-orang yang menderita skizofrenia dapat terseret
ke dalam wilayah kota yang miskin. Berbagai masalah kognitif dan motivasional yang semakin
berkembang yang membebani para individu tersebut dapat sangat melemahkan kemampuan mereka
untuk memperoleh pendapat sehingga mereka tidak mampu tinggal di wilayah lain. Atau, mereka
memilih untuk pindah ke wilayah di mana mereka hanya menghadapi sedikit tekanan sosial dan di
mana mereka dapat melarikan diri dari hubungan sosial yang mendalam.
Secara ringkas, data-data yang ada lebih mendukung teori seleksi sosial dibanding teori sosiogenik.
Namun, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa lingkungan sosial tidak memiliki peran apapun dalam
skizofrenia.
c. Keluarga dan Skizofrenia. Hubungan keluarga terutama antara ibu dan anak laki-laki, sebagai hal
penting dalam terjadinya skizofrenia. Berbagai studi terhadap keluarga para indivdu yang menderita
skizofrenia mengungkap bahwa dalam beberapa hal mereka berbeda dari keluarga normal.
Beberapa temuan menunjukkan bahwa komunikasi buruk orang tua dapat berperan dalam etiologi
skizofrenia. Penyimpangan komunikasi dalam keluarga ditemukan memprediksi terjadinya
skizofenia kelak pada anak-anak mereka, memperkuat signifikansinya. Meskipun demikian,
penyimpangan komunikasi bukan faktor etiologis spesifik bagi skizofrenia karena orang tua para
orang dengan gangguan skizofrenia manik sama tingginya pada variabel ini. Lingkungan keluarga
yang terganggu merupakan akibat dari adanya anak yang terganggu dalam keluarga. Dengan
demikian, kita hanya dapat mengatakan dengan tidak pasti bahwa peran keluarga dalam etiologi
skizofrenia telah dikethui.
Serangkaian studi yang dilakukan di London mengindikasikan bahwa keluarga dapat memberikan
dampak penting terhadap penyesuaian orang dengan gangguan skizofrenia setelah mereka keluar
dari rumah sakit. Lingkungan di mana orang dengan gangguan skizofrenia tinggal setelah keluar
dari rumah sakit sangat berpengaruh pada seberapa cepat mereka akan kembali dirawat di rumah
sakit.
Terapi Skizofrenia
Penanganan Biologis
a. Terapi Kejut dan Psychosurgery
Diawal tahun 1930-an praktik menimbulkan koma dengan memberika insulin dalam dosis tinggi
diperkenalkan oleh Sakel (1938), yang mengklaim bahwa ¾ dari para pasien skizofrenia yang
ditanganinya menunjukkan perbaikan signifikan. Berbagai temuan terkemudian oleh para peneliti
lain kurang mendukung hal tersebut, dan terapi koma-insulin – yang beresiko serius terhadap
kesehatan, termasuk koma yang tidak dapat disadarkan dan kematian– secara bertahap
ditinggalkan. Pada tahun 1935, Moniz, seorang psikiater memperkealkan lobotomy prefrontalis,
suatu proses pembedahan yang membuang bagian-bagian yang menghubungkan lobus frontalis
dengan pusat otak bagian bawah.
b. Terapi Somatik (Medikamentosa)
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut antipsikotik. Antipsikotik
bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir yang terjadi pada Skizofrenia. Pasien
mungkin dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum mendapatkan obat atau kombinasi
obat antipsikotik yang benar-benar cocok bagi pasien. Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun
yang lalu dan merupakan terapi obat-obatan pertama yang efekitif untuk mengobati Skizofrenia.
Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu antipsikotik konvensional, newer
atypical antipsycotics, dan Clozaril (Clozapine).
Antipsikotik Konvensional
Obat antipsikotik yang paling lama penggunannya disebut antipsikotik konvensional.
Walaupun sangat efektif, antipsikotik konvensional sering menimbulkan efek samping yang
serius. Contoh obat antipsikotik konvensional antara lain :
Haldol (haloperidol)
Mellaril (thioridazine)
Navane (thiothixene)
Prolixin (fluphenazine)
Stelazine ( trifluoperazine)
Thorazine ( chlorpromazine)
Trilafon (perphenazine)
Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh antipsikotik konvensional,
banyak ahli lebih merekomendasikan penggunaan newer atypical antipsycotic. Ada 2
pengecualian (harus dengan antipsikotok konvensional). Pertama, pada pasien yang sudah
mengalami perbaikan (kemajuan) yang pesat menggunakan antipsikotik konvensional tanpa
efek samping yang berarti. Biasanya para ahli merekomendasikan untuk meneruskan
pemakaian antipskotik konvensional. Kedua, bila pasien mengalami kesulitan minum pil
secara reguler. Prolixin dan Haldol dapat diberikan dalam jangka waktu yang lama (long acting)
dengan interval 2-4 minggu (disebut juga depot formulations). Dengan depot formulation, obat
dapat disimpan terlebih dahulu di dalam tubuh lalu dilepaskan secara perlahan-lahan. Sistem
depot formulation ini tidak dapat digunakan pada newer atypic antipsychotic.
DAFTAR PUSTAKA
1. Maria, Josetta. Cemas Normal atau Tidak Normal. Program Studi Psikologi. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
2. Kaplan, H., Sadock, Benjamin. 1997. Gangguan Kecemasan dalam Sinopsis Psikiatri: Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Edisi ke-7 Jilid 2. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Hal. 1-15
3. Kaplan, Harold. I. 1998. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta: Widya Medika. Hal. 145-54
4. Tomb, D. A. 2000. Buku Saku Psikiatri Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal. 96-110
5. Maslim, Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika Atmajaya. Hal. 72-75
6. Adiwena, Nuklear. 2007. Anxietas. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia.
7. Eldido. Anxiety Disorder; Tipe-tipe dan Penanganannya. 20 Oktober 2008.
8. Yates, W. R. 2008. Anxiety Disorders. Update August 13, 2008. www.emedicine.com
9. Anonim. Kecemasan atau Ansietas. Update 32 Desember 2008. www.mitrariset.blogspot.com
10. Ashadi. Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi. Updates 22 Mei 2008. www.sidenreng.com
11. Maslim, Rusdi. 2007. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran Unika Atmajaya. Hal. 12
12. Davidson, G.C., Neale, J.M., Kring, A.M. 2012. Psikologi Abnormal (Ed. 9, Cet.3. Jakarta: Rajawali
Pers
13. Arif, I.S . 2006. Skizofrenia Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Bandung: Refika Aditama
14. Buku panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer edisi tahun 2014
15. http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/KMK_No._HK_.02_.02-MENKES-73-
2015_ttg_Pedoman_Nasional_Pelayanan_Kedokteran_Jiwa_.pdf
16. http://61.8.75.226/itblog/attachments/article/1399/PPK%20PSIKIATRI%202019.pdf
17. K.P. 3.3.4.2 Gangguan Mental Organik Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Tahun 2019