Anda di halaman 1dari 63

LAPORAN TUTORIAL

MODUL 4
BLOK 3.3

Dosen Tutor:
dr. Rahmatini, M.Kes

KELOMPOK 25D

Muhammad Faruqi 1710311036

Putri Bhalqish Hasanah 1710311041

Yuda Pratama 1710311064

Nurul Khairina Iswan 1710312027

Salsabila Oktaverina 1710312031

Harvin Ramadhian 1710312039

Fela Erfa Umamy 1710312043

Lucy Patmasari 1710312065

Alisyah Zahda 1710312106


Universitas Andalas
Fakultas kedokteran
Tahun 2019

STEP 1: TERMINOLOGI

1. Ganja: zat psikoaktif yang mengandung tetrahidrokanabinol yang berasal dari kuncup bunga kanabis.

2. Shabu: metamfetamin (turunan dari amfetamin) adalah obat psikostimulan dan simpatokinetik.

3. Gangguan bipolar: suatu gangguan jiwa yang bermafes dgn perubahan mood dari depresi sampai
manik, disebut juga gangguan manik depresi.

4. Psikiater: seorang profesi dokter yang memiliki spesialisasi dalam ilmu kesehatan jiwa dan perilaku.

5. Mood stabilizer: obat yang digunakan untuk menstabilkan mood pada pasien gangguan bipolar.

6. Antipsikotik: obat medis yang digunakan untuk mengobati gangguan psikosis.


7. Psikoterapi: serangkaian metode yang digunakan untuk mengatasi gangguan jiwa seseorang, dengan
metode psikologi (interaksi interpersonal) yang dilakukan noleh seorang terapis.

8. Panik: keadaan bingung, gugup, dan takut secara mendadak sehingga tidak dapat berfikir dengan
tenang.

STEP 2: RUMUSAN MASALAH

1. Kenapa Andi merasa sedih, tidak konsentrasi, malas beraktivitas dan tidak nafu makan setelah putus
dengan pacarnya 3 minggu yang lalu?
2. Apakah ada hubungan penggunaan ganja dan shabu dengan keluhan Andi?
3. Bagaimana ganja dan shabu dapat menyebabkan Andi merasa lebih percaya diri dan bahagia saat
menggunakannya?
4. Mengapa Andi merasa senang berlebihan, merasa hebat, dan menjadi impulsive (dengan mengajak
teman-teman makan hingga gajinya sebulan habis)?
5. Mengapa psikiater mendiagnosis Andi dengan gangguan bipolar?
6. Mengapa dokter memberikan mood stabilizer, psikoterapi, antipsikotik dan mengapa dosisnya rendah?
7. Apa mood stabilizer, antipsikotik dan psikoterapi yang diberikan?
8. Bagaimana dampak dari Andi yang kontrol dan minum obat tidak teratur?
9. Bagaimana hubungan riwayat kecelakaan dengan gangguan pada Adik Andi?
10. Pemeriksaan apa yang dilakukan oleh dokter jaga dan mengapa dikonsul?
11. Mengapa nenek bersifat sangat pencemas dan cemas dikatakan sebagai patologis?
12. Mengapa nenek selalu ketakutan saat ada berita buruk?
13. Mengapa nenek panik, berdebar-debar sampai berhari-hari saat melihat pasien gangguan jiwa?
Mengapa pasien berteraik-teriak?
14. Suntikan apa yang diberikan oleh petugas rumah sakit kepada pasien yang berteriak-teriak tersebut?
15. Apa diagnosis dari ketiga keluhan tersebut? Bagaimana hubungannya dengan usia dan jenis kelamin?
16. Mengapa Adik Andi yang mengalami kecelakaan, dimana kepalanya terbentur aspal, diberikan obat
yang sama dengan Andi?
17. Bagaimana prognosis dari ketiga pasien di atas?

STEP 3: BRAINSTORMING
1. Andi sedang mengalami mood swing. Normalnya sebentar, namun kalau sudah lama dan mengganggu
aktivitas -> patologis. Akibat dari ketidakseimbangan serotonin dan dopamine. Bisa disebabkan oleh
berbagai macam gangguan jiwa atau penggunaan zat.
Ada gangguan mood. Aminbiogenik. Gangguan neutrotrasmitter yang menimbukan gangguan mood.
Depresi, mungkin stressornya adalah diputus pacar 3 minggu oleh pacarnya, bisa early onset (tiba-
tiba) atau late onset (kronik) yang dapat disebabkan oleh berbagai macam stressor.
Bisa saja normal kalau sedih, dll namun kalau sudah lebih dari 2 minggu -> berlebihan, kelainan
(patologis).

2. Ada 3 efek NAPZA/zat psikoaktif:


- Depresif: menekan aktivitas fungsi otak (alcohol, benzodiazepine, opoiod, dll).
- Stimultan: merangsang aktivitas fungsi otak (amfetamin, metamfetamin, dll).
- Halusinogen: menyebabkan halusinogen (ketamin, dll).

3. Efek stimultan -> berefek pada dopamine sehingga menimbulkan berbagai mafes yang menyenangkan
(bahagia, euphoria, nikmat, dll).
Ganja ada tetrahidrokanabinol-> meningkatkan dopamine.
Ganja pada dosis rendah efek sedasi, dosis tinggi efek halusinasi.

4. Gejala manik. Andi pernah didiagnosis gangguan bipolar, diantaranya manik. Bipolar mafesnya
berepisode: manik, hipomanik, campuran, depresif.
Mungkin saat itu Andi sedang mengalami episode manik dalam gangguan bipolarnya.
Bipolar terbagi 2: Bipolar 1 dan 2.
Manik, hipomanik dibedakan berdasarkan durasinya. Hipomanik durasi lebih pendek.

5. Gangguan bipolar: adanya episode dari perubahan mood dari manik ke depresif.
Diagnosis berdasarkan kriteria DSM V (setidaknya ditemukan 3/7 atau 4/7).
Sebelum diagnosis, harus disingkirkan dulu gangguan organik pada pasien.
Paling banyak yang tipe 2: hipomanik.

Hal yang perlu ditanyakan untuk membedakan gangguan bipolar dengan gangguan depresi mayor:
- Umur <25 tahun -> curiga bipolar, kalau >25 tahun curiga depresi mayor
- Riwayat keluarga
- Riwayat hipomanik (tidak ada pada depresi)
- Rekuren (lebih sering pada bipolar)
6. Mood stabilizer: untuk mengatasi gejala gangguan mood akut pada pasien bipolar.
Antipsikotik: untuk gangguan psikosis (tidak bias membedakan realita dan fantasi). Bekerja dengan
memblokade reseptor dopamine.
Mengapa dosis rendah? Dosis kadarnya dibawah standar dosis yang ditetapkan oleh WHO.
Antipsikotik belum ada standar dosis yang ideal, oleh karena itu untuk pemberiannya selalu dimulai
dari dosis rendah.
Psikoterapi: memperbaiki bad habit, edukasi keluarga.

7. Mood stabilizer: Litium, Antikonvulsan (valproate, lamotrigine, karbamazepin).


Antipsikotik: haloperidol.

8. Efek dari kontrol dan obat tidak teratur adalah tingginya angka rekuren.
Antipsikotik dapat mencegah rumatan jika digunakan dengan teratur.

9. Gangguan mental organick, adanya lesi struktural di otak (oleh trauma, tumor, epilepsy, dll) biasanya
lesi akan menimbulkan onset yang cepat. Lokasi lesi akan mempengaruhi bentuk dari manifestasi
klinik.

Pada Adik Andi -> gangguan psikosis (halusinasi, ilusi, dll) akibat lesi di temporolimbik.
5 syarat dikatakan gangguan mental organik:
1. Gangguan atensi
2. Gangguan kognitif
3. Bukan suatu demensia
4. Bukan pada penurunan kesadaran yang berat
5. Ada bukti lesi organic

Adik Andi -> delirium, fokus terganggu.


Kenapa bisa terjadi?
1. Depolarisasi neuron kurang baik,
2. Sitokin akibat inflamasi,
3. Ketidakseimbangan neurotransmitter.

10. ABC: life saving dulu. Lalu cek GCS. Survey primer dan sekunder.
11. Gangguan cemas, ansietas menyeluruh ada perasaan khawatir, perasaan cemas yang menetap.
Dikatakan patologis apabila sudah mengganggu aktivitas sehari-hari.

12. Gangguan panik, spontan yang tiba-tiba. Biasanya disertai gejala somatic (seperti berdebar-debar)
dimana di stimulus oleh sesuatu, pada nenek oleh berita buruk.

Harus dibedakan takut pada nenek dengan takut oleh karena phobia.
Phobia adalah ketakutan yang berfokus pada satu hal, dapat beruba benda, orang, situasi, tempat, dll.

13. DD untuk nenek: gangguan cemas, ansietas menyeluruh, gangguan panik.


Gangguan panik ada pencetus.
Takipneu, berdebar-debar adalah efek dari meningkatnya kortisol.

14. Pasien yang mengamuk di RSJ adalah salah satu bentuk kegawatdaruratan psikiatri. Bentuk
kegawatdaruratan psikiatri ada berupa: percobaan/tindakan bunuh diri, tindakan kekerasan, dan
penggunaan zat.
Diinjeksikan antipsikotik i.m atau i.v.

15. Andi: gangguan bipolar, DD: depresi.


Nenek: gangguan panik, DD: ansietas depresi, ansietas menyeluruh.
Adik Andi: gangguan mental organik, DD: delirium, gangguan halusinasi organik.

Bipolar: usia dewasa muda, perempuan hamper sama dengan laki-laki.


Depresi: usia dewasa muda dan lansia, perempuan>laki-laki.
Gangguan panik: ada hubungan genetik, besar kemungkinan jika memiliki keluarga dengan keluhan
yang sama.

16. Ada munculan gangguan psikosis setelah kecelakaan.

17. Prognosis:

Bipolar: sedikir buruk karena bias rekuren.


Delirium: tergantung oleh penyebab (etiologi).
Gangguan panik: bonam.

STEP 4: SKEMA
STEP 5: LEARNING OBJEKTIF

1. Gangguan mental organik - Delirium (3A)


2. Gangguan mental akibat penggunaan zat
a. Intoksikasi (3B)
b. Ketergantungan (3A)
3. Gangguan ansietas menyeluruh (3A)
4. Gangguan afektif - Gangguan bipolar (3A)
5. Psikosis - Skizofrenia (3A)
6. Consultation Liasion Psychiatry
STEP 6: BELAJAR MANDIRI

1. DELIRIUM

Nama penyakit : Delirium


SKDI : 3A

A. Definisi
Delirium adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gangguan kesadaran dan kognisi yang terjadi
secara akut dan berfluktuasi. Delirium merupakan suatu gangguan mental organik akut dengan gejala
utama adanya gangguan kesadaran berupa kesadaran berkabut, yang disertai dengan gangguan atensi,
orientasi, memori, persepsi, delusi, kegelisahan dan agitasi. Delirium berasal dari kata de lira/ de liro
yang artinya menjadi gila; keluar dari jalurnya.

B. Etiologi dan faktor risiko


Faktor risiko delirium adalah adanya gangguan medik umum, seperti:
1. Penyakit SSP (trauma kepala, epilepsi, perdarahan, tumor, TIA,dll)
2. Penyakit sistemik (infeksi, sepsis, gangguan metabolik, penyakit jantung, penyakit ginjal,
COPD/PPOK, penyakit hepar,dll)
3. Penyalahgunaan zat atau obat-obatan

C. Patogenesis dan patofisiologi


Mekanisme pasti terjadinya delirium belum diketahui. Namun hipotesa terjadinya delirium ialah adanya
penurunan asetilkolin di otak. hal tersebut dapat dikarenakan berbagai gangguan medik ataupun dapat
akibat penggunaan obat-obatan antikolinergik yang berlebihan (misalnya : amitriptilin, doxepin,
imipramine thioridazin, chlorpromazin)

D. Manifestasi klinis
1. Berkurangnya atensi
2. Gangguan psikomotor
3. Gangguan emosi
4. Arus dan isi pikir yang kacau
5. Gangguan siklus bangun tidur
6. Gejala diatas terjadi dalam jangka waktu yang pendek dan cenderung berfluktuasi dalam sehari

E. Penegakan diagnosis
Anamnesis
1. Keluhan utama 1. Berkurangnya atensi
2. Gangguan psikomotor
3. Gangguan emosi
4. Arus dan isi pikir yang kacau
5. Gangguan siklus bangun tidur
6. Gejala diatas terjadi dalam jangka waktu
yang pendek dan cenderung berfluktuasi
dalam sehari
2. Keluhan penyerta
3. Riwayat penyakit sebelumnya Penyakit SSP, penyakit sistemik, dan
penyalahgunaan zat
4. Riwayat penyakit keluarga
5. Faktor risiko lain
Pemeriksaan fisik
1. KU Bervariasi sesuai etiologi
2. Vital sign Temuan sesuai penyakit dasar
3. Pemeriksaan fisik umum Temuan sesuai penyakit dasar
4. Pemeriksaan fisik khusus Temuan sesuai penyakit dasar
Pemeriksaan penunjang
1. Darah rutin Temuan sesuai penyakit dasar
2. Urin rutin Temuan sesuai penyakit dasar
3. Feses rutin -
4. Penunjang lain Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan pada
layanan primer.
Pemeriksaan yang dilakukan untuk delirium,
adalah:
1. Mini-mental State Examination (MMSE).
2. Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk
mencari Diagnosis penyakit utama,
yaitu: Hemoglobin, hematokrit, leukosit,
trombosit, gula darah, elektrolit (terutama
natrium), SGOT, SGPT, ureum, kreatinin,
urinalisis, analisis gas darah, foto toraks,
elektrokardiografi, dan CT Scan kepala, jika
diperlukan.

KRITERIA DIAGNOSIS (menurut ICD X + PPDGJ III) :


1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap lingkungan) yang ditandai
dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian.
2. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa) atau gangguan
persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia).
3. Gangguan Psikomotor berupa hipoaktivitas atau hiperaktivitas, pengalihan aktivitas yang tidak
terduga, waktu bereaksi yang lebih panjang, arus pembicaran yang bertambah atau berkurang,
reaksi terperanjat yang meningkat.
4. Gangguan siklus tidur berupa insomnia, atau pada kasus yang berat tidak dapat tidur sama sekali
atau siklus tidurnya terbalik yaitu mengantuk siang hari. Gejala memburuk pada malam hari dan
mimpi yang mengganggu atau mimpi buruk yang dapat berlanjut menjadi halusinasi setelah bangun
tidur.
5. Gangguan emosional berupa depresi, ansietas, takut, lekas marah, euforia, apatis dan rasa
kehilangan akal.

F. Diagnosis banding
Demensia, psikosis fungsional, kelainan neurologis

G. Tatalaksana
Tujuan Terapi
1. Mencari dan mengobati penyebab delirium
2. Memastikan keamanan pasien
3. Mengobati gangguan perilaku terkait delirium, misalnya agitasi psikomotor

Penatalaksanaan
1. Kondisi pasien harus dijaga agar terhindar dari risiko kecelakaan selama perawatan.
2. Apabila pasien telah memperoleh pengobatan, sebaiknya tidak menambahkan obat pada terapi yang
sedang dijalanin oleh pasien.
3. Bila belum mendapatkan pengobatan, pasien dapat diberikan obat anti psikotik. Obat ini diberikan
apabila ditemukan gejala psikosis dan atau agitasi, yaitu: Haloperidol injeksi 2-5 mg IntraMuskular
(IM)/ IntraVena (IV). Injeksi dapat diulang setiap 30 menit, dengan dosis maksimal 20 mg/hari.
H. Kriteria rujukan
Bila gejala agitasi telah terkendali, pasien dapat segera dirujuk ke fasilitas pelayanan rujukan sekunder
untuk memperbaiki penyakit utamanya

I. Prognosis
Gejala delirium biasanya berlangsung selama faktor penyebab yang relevan ditemukan, biasanya
berlangsung kurang dari satu minggu. Setalah identifikasi dan menghilangkan faktor penyebab, gejala
delirium biasanya menghilang dalam periode tiga sampai tujuh hari. Beberapa gejala bisa berlangsung
dalam waktu sampai 2 minggu. Prognosis delirium biasanya sesuai dan mengikuti penyakit penyebab
yang mendasarinya.

2. GANGGUAN PENGGUNAAN ZAT

NAPZA
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang bila masuk
kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga
menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan,
ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA. Istilah NAPZA umumnya
digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitik beratkan pada upaya penanggulangan dari
sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat
yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran.
JENIS NAPZA YANG DISALAHGUNAKAN
 NARKOTIKA (Menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika) adalah
zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
NARKOTIKA dibedakan kedalam golongan-golongan :

 Narkotika Golongan I :
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak ditujukan
untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan, (Contoh
: heroin/putauw, kokain, ganja).
 Narkotika Golongan II :
Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat
digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan (Contoh : morfin, petidin)
 Narkotika Golongan III :
Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan (Contoh : kodein)
Narkotika yang sering disalahgunakan adalah Narkotika Golongan I :
 Opiat : morfin, herion (putauw), petidin, candu, dan lain-lain

 Ganja atau kanabis, marihuana, hashis

 Kokain, yaitu serbuk kokain, pasta kokain, daun koka.

 PSIKOTROPIKA (Menurut Undang-undang RI No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika adalah


zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku. Dibedakan dalam golongan-golongan sebagai berikut.

 Psikotropika golongan I
Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak
digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan. (Contoh : ekstasi, shabu, LSD)
 Psikotropika golongan II
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi, dan/atau tujuan
ilmu pengetahuan serta menpunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. (
Contoh amfetamin, metilfenidat atau ritalin)
 Psikotropika golongan III :
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma
ketergantungan (Contoh : pentobarbital, Flunitrazepam).
 Psikotropika golongan IV :
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom
ketergantungan (Contoh : diazepam, bromazepam, Fenobarbital, klonazepam,
klordiazepoxide, nitrazepam, seperti pil BK, pil Koplo, Rohip, Dum, MG).
Psikotropika yang sering disalahgunakan antara lain :
 Psikostimulansia : amfetamin, ekstasi, shabu

 Sedatif & Hipnotika (obat penenang, obat tidur): MG, BK, DUM, Pil koplo dan lain-lain

 Halusinogenika : Iysergic acid dyethylamide (LSD), mushroom.


 Zat Adiktif lain
Yang dimaksud disini adalah bahan/zat yang berpengaruh psikoaktif diluar yang disebut
Narkotika dan Psikotropika, meliputi :
 Minuman berakohol,
Mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan susunan syaraf pusat, dan sering
menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari dalam kebudayaan tertentu. Jika
digunakan sebagai campuran dengan narkotika atau psikotropika, memperkuat pengaruh
obat/zat itu dalam tubuh manusia.
Ada 3 golongan minuman berakohol, yaitu :
 Golongan A : kadar etanol 1-5%, (Bir)
 Golongan B : kadar etanol 5-20%, (Berbagai jenis minuman anggur)
 Golongan C : kadar etanol 20-45 %, (Whiskey, Vodca, TKW, Manson House, Johny
Walker, Kamput.)
 Inhalansia (gas yang dihirup) dan solven (zat pelarut) mudah menguap berupa senyawa
organik, yang terdapat pada berbagai barang keperluan rumah tangga, kantor dan sebagai
pelumas mesin. Yang sering disalah gunakan, antara lain : Lem, thinner, penghapus cat kuku,
bensin.

 Tembakau : Pemakaian tembakau yang mengandung nikotin sangat luas di masyarakat.


Pada upaya penanggulangan NAPZA di masyarakat, pemakaian rokok dan alkohol terutama
pada remaja, harus menjadi bagian dari upaya pencegahan, karena rokok dan alkohol sering
menjadi pintu masuk penyalahgunaan

NAPZA lain yang lebih berbahaya.


 Sama sekali dilarang : Narkotika golongan I dan Psikotropika Golongan I.

 Penggunaan dengan resep dokter : amfetamin, sedatif hipnotika.

 Diperjual belikan secara bebas : lem, thinner dan lain-lain.

 Ada batas umur dalam penggunannya : alkohol, rokok.

Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat digolongkan menjadi tiga
golongan :
1. Golongan Depresan (Downer)

Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini menbuat
pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan bahkan membuatnya tertidur dan tidak sadarkan
diri. Golongan ini termasuk Opioida (morfin, heroin/putauw, kodein), Sedatif (penenang),
hipnotik (otot tidur), dan tranquilizer (anti cemas) dan lain-lain.

1. Golongan Stimulan (Upper)

Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan kerja.
Jenis ini membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan bersemangat. Zat yang termasuk
golongan ini adalah : Amfetamin (shabu, esktasi), Kafein, Kokain

2. Golongan Halusinogen

Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat merubah perasaan
dan pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan
dapat terganggu. Golongan ini tidak digunakan dalam terapi medis. Golongan ini termasuk :
Kanabis (ganja), LSD, Mescalin

3. Golongan Entaktogen

Adalah termasuk stimulan yang telah dimodifikasi yang juga memiliki sifat-sifat halusinogen

4. Golongan Kanabinoid, termasuk kelompok unik yang mempengaruhi reseptor tertentu pada
otak.

Macam-macam bahan Narkotika dan Psikotropika yang terdapat di masyarakat serta akibat
pemakaiannya :
1. OPIOIDA
 Opioida dibagi dalam tiga golongan besar yaitu :

- Opioida alamiah (opiat): morfin, cpium, kodein

- Opioida semi sintetik : heroin/putauw, hidromorfin

- Opioida sintetik : meperidin, propoksipen, metadon

 Nama jalannya putauw, ptw, black heroin, brown sugar

 Heroin yang murni berbentuk bubuk putih, sedangkan heroin yang tidak murni berwarna
putih keabuan

 Dihasilkan dari cairan getah opium poppy yang diolah menjadi morfin kemudian dengan
proses tertentu menghasil putauw, dimana putauw mempunyai kekuatan 10 kali melebihi
morfin. Opioid sintetik yang mempunyai kekuatan 400 kali lebih kuat dari morfin.
 Opiat atau opioid biasanya digunakan dokter untuk menghilangkan rasa sakit yang sangat
(analgetika kuat). Berupa pethidin, methadon, Talwin, kodein dan lain-lain

 Reaksi dari pemakaian ini sangat cepat yang kemudian timbul rasa ingin menyendiri
untuk menikmati efek rasanya dan pada taraf kecanduan sipemakai akan kehilangan rasa
percaya diri hingga tak mempunyai keinginan untuk bersosialisasi. Mereka mulai
membentuk dunia mereka sendiri. Mereka merasa bahwa lingkungannya adalah musuh.
Mulai sering melakukan manipulasi dan akhirnya menderita kesulitan keuangan yang
mengakibatkan mereka melakukan pencurian atau tindak kriminal lainnya.

2. KOKAIN
 Kokain mempunyai dua bentuk yaitu : kokain hidroklorid dan free base. Kokain berupa
kristal pitih. Rasa sedikit pahit dan lebih mudah larut dari free base. Free base tidak
berwarna/putih, tidak berbau dan rasanya pahit

 Nama jalanan dari kokain adalah koka,coke, happy dust, charlie, srepet, snow salju,
putih. Biasanya dalam bentuk bubuk putih

 Cara pemakaiannya : dengan membagi setumpuk kokain menjadi beberapa bagian


berbaris lurus diatas permukaan kaca atau benda-benda yang mempunyai permukaan
datar kemudian dihirup dengan menggunakan penyedot deperti sedotan. Atau dengan
cara dibakar bersama tembakau yang sering disebut cocopuff. Ada juga yang melalui
suatu proses menjadi bentuk padat untuk dihirup asapnya yang populer disebut
freebasing. Penggunaan dengan cara dihirup akan berisiko kering dan luka pada sekitar
lubang hidung bagian dalam.

 Efek rasa dari pemakaian kokain ini membuat pemakai merasa segar, kehilangan nafsu
makan, menambah rasa percaya diri, juga dapat menghilangkan rasa sakit dan lelah.

3. KANABIS
 Nama jalanan yang sering digunakan ialah : grass. Cimeng,ganja dan
gelek,hasish,marijuana,bhang

 Gamja berasal dari tanaman kanabis sativa dan kanabis indica. Pada tanaman ganja
terkandung tiga zat utama yaitu tetrehidro kanabinol,kanabinol dan kanabidiol

 Cara penggunaannya adalah dihisap dengan cara dipadatkan mempunyai rokok atau
dengan menggunakan pipa rokok.
 Efek rasa dari kanabis tergolong cepat,sipemakai : cenderung merasa lebih santai,rasa
gembira berlebih (euforia), sering berfantasi. Aktif berkomonikasi,selera makan
tinggi,sensitif,kering pada mulut dan tenggorokan

4. AMPHETAMINES
 Nama generik amfetamin adalah D-pseudo epinefrin berhasil disintesa tahun 1887, dan
dipasarkan tahun 1932 sebagai obat

 Nama jalannya : seed,meth,crystal,uppers,whizz dan sulphate

 Bentuknya ada yang berbentuk bubuk warna putih dan keabuan,digunakan dengan cara
dihirup. Sedangkan yang berbentuk tablet biasanya diminum dengan air.

 Ada dua jenis amfetamin :

- MDMA (methylene dioxy methamphetamin), mulai dikenal sekitar tahun 1980 dengan
nama Ekstasi atau Ecstacy.
Nama lain : xtc, fantacy pils, inex, cece, cein, e
Terdiri dari berbagai macam jenis antara lain : white doft, pink heart, snow white, petir
yang dikemas dalam bentuk pil atau kapsul
- Methamfetamin ice, dikenal sebagai SHABU. Nama lainnya shabu-shabu. SS, ice,
crystal, crank.
Cara penggunaan : dibakar dengan menggunakan kertas alumunium foil dan asapnya
dihisap, atau dibakar dengan menggunakan botol kaca yang dirancang khusus (bong)
5. LSD (Lysergic acid)
 Termasuk dalam golongan halusinogen,dengan nama jalanan : acid, trips, tabs, kertas.

 Bentuk yang bisa didapatkan seperti kertas berukuran kotak kecil sebesar seperempat
perangko dalam banyak warna dan gambar, ada juga yang berbentuk pil, kapsul.

 Cara menggunakannya dengan meletakkan LSD pada permukaan lidah dan bereaksi
setelah 30-60 menit sejak pemakaian dan hilang setelah 8-12 jam.

 Efek rasa ini bisa disebut tripping. Yang bisa digambarkan seperti halusinasi terhadap
tempat. Warna dan waktu. Biasanya halusinasi ini digabung menjadi satu. Hingga timbul
obsesi terhadap halusinasi yang ia rasakan dan keinginan untuk hanyut didalamnya,
menjadi sangat indah atau bahkan menyeramkan dan lama-lama membuat paranoid.

6. SEDATIF-HIPNOTIK (BENZODIAZEPIN)
 Digolongkan zat sedatif (obat penenang) dan hipnotika (obat tidur)

 Nama jalanan dari Benzodiazepin : BK, Dum, Lexo, MG, Rohyp.

 Pemakaian benzodiazepin dapat melalui : oral,intra vena dan rectal

 Penggunaan dibidang medis untuk pengobatan kecemasan dan stres serta sebagai
hipnotik (obat tidur).

7. SOLVENT / INHALANSIA
 Adalah uap gas yang digunakan dengan cara dihirup.Contohnya : Aerosol, aica aibon, isi
korek api gas, cairan untuk dry cleaning, tiner,uap bensin.

 Biasanya digunakan secara coba-coba oleh anak dibawah umur golongan kurang
mampu/ anak jalanan

 Efek yang ditimbulkan : pusing, kepala terasa berputar, halusinasi ringan, mual, muntah,
gangguan fungsi paru, liver dan jantung.

8. ALKOHOL
 Merupakan salah satu zat psikoaktif yang sering digunakan manusia. Diperoleh dari proses
fermentasi madu, gula, sari buah dan umbi-umbian. Dari proses fermentasi diperoleh
alkohol dengan kadar tidak lebih dari 15%, dengan proses penyulingan di pabrik dapat
dihasilkan kadar alkohol yang lebih tinggi bahkan mencapai 100%.

 Nama jalanan alkohol : booze, drink

 Konsentrasi maksimum alkohol dicapai 30-90 menit setelah tegukan terakhir. Sekali
diabsorbsi, etanol didistribisikan keseluruh jaringan tubuh dan cairan tubuh. Sering dengan
peningkatan kadar alkohol dalam darah maka orang akan menjadi euforia, mamun sering
dengan penurunannya pula orang menjadi depresi.

Cara Kerja Narkoba Dan Pengaruhnya Pada Otak


Narkoba berpengaruh pada bagian otak yang bertanggung jawab atas kehidupan perasaan
adalah sistem limbus: Hipotalamus adalah bagian bagian dari sistem limbus, sebagai pusat kenikmatan
pada otak. Dalam sel otak terdapat bermacam-macam zat kimia yang disebut neurotransmitter. Zat
kimia ini bekerja pada sambungan sel saraf yang satu dengan sel saraf lainnya (sinaps). Beberapa di
antara neurotransmitter itu mirip dengan beberapa jenis narkoba. Semua zat psikoaktif (narkotika,
psikotropika dan bahan adiktif lain) dapat mengubah perilaku, perasaan dan pikiran seseorang melalui
pengaruhnya terhadap salah satuatau beberapa neurotransmitter. Neurotransmitter yang paling berperan
dalam terjadinya ketergantungan adalah dopamin. Narkoba menghasilkan perasaan ‘high’ dengan
mengubah susunan biokimia molekul pada sel otak yang disebut neuro-transmitter. Jika narkoba masuk
ke dalam tubuh, dengan cara ditelan, dihirup, atau disuntikkan, maka narkoba mengubah susunan
biokimiawi neurotransmitter pada sistem limbus. Karena ada asupan narkoba dari luar, produksi dalam
tubuh terhenti atau terganggu, sehingga ia akan selalu membutuhkan narkoba dari luar. Yang terjadi
pada ketergantungan adalah semacam pembelajaran sel-sel otak pada pusat kenikmatan. Jika
mengonsumsi narkoba, otak membaca tanggapan orang itu. Jika merasa nyaman, otak mengeluarkan
neurotransmitter dopamin dan akan memberikan kesan menyenangkan. Jika memakai narkoba lagi,
orang kembali merasa nikmat seolah-olah kebutuhan batinnya terpuaskan. Otak akan merekamnya
sebagai sesuatu yang harus dicari sebagai prioritas sebab menyenangkan.
Dapat dikatakan bahwa otak bekerja dengan motto jika merasa enak, lakukanlah. Otak
dilengkapi alat untuk menguatkan rasa nikmat dan menghindarkan rasa sakit atau tidak enak, guna
membantu memenuhi kehidupan dasar manusia, seperti rasa lapar, haus, rasa hangat, dan tidur.
Mekanisme ini merupakan mekanisme pertahanan diri. Jika lapar, otak menyampaikan pesan agar
mencari makanan yang dibutuhkan. Kita berupaya mencari makanan itu dan menempatkannya diatas
segala-galanya. Kita rela meninggalkan pekerjaan dan kegiatan lain, demi memperoleh makanan itu.
Yang terjadi pada adiksi adalah semacam pembelajaran sel-sel otak pada pusat kenikmatan.
Jika mengonsumsi narkoba, otak membaca tanggapan kita. Jika merasa nikmat, otak mengeluarkan
neurotransmitter yang menyampaikan pesan: “Zat ini berguna bagi mekanisme pertahanan tubuh”. Jadi,
ulangi pemakaiannya. “Jika memakai narkoba lagi, kita kembali merasa nikmat seolah-olah kebutuhan
kita terpuaskan”. Otak akan merekamnya sebagai sesuatu yang harus dicari sebagai prioritas.
Akibatnya, otak membuat program salah, seolah-olah kita memang memerlukannya sebagai mekanisme
pertahanan diri. Maka terjadilah kecanduan.

PENYALAHGUNAAN DAN KETERGANTUNGAN


Penyalahgunaan dan Ketergantungan adalah istilah klinis/medik-psikiatrik yang
menunjukan ciri pemekaian yang bersifat patologik yang perlu di bedakan dengan tingkat
pemakaian psikologik-sosial, yang belum bersifat patologik.
 PENYALAHGUNAAN NAPZA adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA
secara berkala atau teratur diluar indikasi medis,sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik,
psikis dan gangguan fungsi sosial.
 KETERGANTUNGAN NAPZA adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan
psikis, sehingga tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah (toleransi), apabila
pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal syamptom).
Oleh karena itu ia selalu berusaha memperoleh NAPZA yang dibutuhkannya dengan cara apapun,
agar dapat melakukan kegiatannya sehari-hari secara “normal”

TINGKAT PEMAKAIAN NAPZA.


 Pemakaian coba-coba (experimental use), yaitu pemakaian NAPZA yang tujuannya ingin
mencoba,untuk memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian pemakai berhenti pada tahap ini, dan sebagian
lain berlanjut pada tahap lebih berat.

 Pemakaian sosial/rekreasi (social/recreational use) : yaitu pemakaian NAPZA dengan tujuan


bersenang-senang,pada saat rekreasi atau santai. Sebagian pemakai tetap bertahan pada tahap
ini,namun sebagian lagi meningkat pada tahap yang lebih berat

 Pemakaian Situasional (situasional use) : yaitu pemakaian pada saat mengalami keadaan tertentu
seperti ketegangan, kesedihan, kekecewaan, dan sebagainnya, dengan maksud menghilangkan
perasaan-perasaan tersebut.

 Penyalahgunaan (abuse): yaitu penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA secara berkala
atau teratur diluar indikasi medis,sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan
gangguan fungsi sosial.

 Ketergantungan (dependence use) : yaitu keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan
psikis, sehingga tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah (toleransi), apabila
pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal syamptom).
Oleh karena itu ia selalu berusaha memperoleh NAPZA yang dibutuhkannya dengan cara apapun,
agar dapat melakukan kegiatannya sehari-hari secara “normal”.

GEJALA KLINIS PENYALAHGUNAAN NAPZA


1. Perubahan Fisik

Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara umum dapat digolongkan sebagai
berikut :
 Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo (cadel), apatis (acuh tak acuh),
mengantuk, agresif,curiga

 Pengaruh kesehatan :
i. Gangguan pada system syaraf (neurologis) seperti: kejang-kejang, halusinasi, gangguan kesadaran,
kerusakan syaraf tepi
ii. Gangguan pada jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) seperti: infeksi akut otot jantung,
gangguan peredaran darah

iii. Gangguan pada kulit (dermatologis) seperti: penanahan (abses), alergi, eksim

iv. Gangguan pada paru-paru (pulmoner) seperti: penekanan fungsi pernapasan, kesukaran bernafas,
pengerasan jaringan paru-paru

v. Sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, suhu tubuh meningkat, pengecilan hati dan sulit tidur

vi. Dampak penyalahgunaan narkoba terhadap kesehatan reproduksi adalah gangguan pada endokrin,
seperti: penurunan fungsi hormon reproduksi (estrogen, progesteron, testosteron), serta gangguan
fungsi seksual

vii. Dampak penyalahgunaan narkoba terhadap kesehatan reproduksi pada remaja perempuan antara lain
perubahan periode menstruasi, ketidakteraturan menstruasi, dan amenorhoe (tidak haid)

 Bila kelebihan dosis (overdosis) : nafas sesak,denyut jantung dan nadi lambat, kulit teraba dingin, nafas
lambat/berhenti, meninggal.

 Bila sedang ketagihan (putus zat/sakau) : mata dan hidung berair,menguap terus menerus,diare,rasa
sakit diseluruh tubuh,takut air sehingga malas mandi,kejang, kesadaran menurun.

 Pengaruh jangka panjang, penampilan tidak sehat,tidak peduli terhadap kesehatan dan kebersihan, gigi
tidak terawat dan kropos, terhadap bekas suntikan pada lengan atau bagian tubuh lain (pada pengguna
dengan jarum suntik)

2. Perubahan Sikap dan Perilaku


 Prestasi sekolah menurun,sering tidak mengerjakan tugas sekolah,sering
membolos,pemalas,kurang bertanggung jawab.

 Pola tidur berubah,begadang,sulit dibangunkan pagi hari,mengantuk dikelas atau tampat kerja.

 Sering berpegian sampai larut malam,kadang tidak pulang tanpa memberi tahu lebih dulu

 Sering mengurung diri, berlama-lama dikamar mandi, menghindar bertemu dengan anggota keluarga
lain dirumah

 sering mendapat telepon dan didatangi orang tidak dikenal oleh keluarga,kemudian menghilang
 Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak jelas penggunaannya,
mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau milik keluarga, mencuri, mengomengompas
terlibat tindak kekerasan atau berurusan dengan polisi.

 Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar sikap bermusuhan, pencuriga, tertutup dan
penuh rahasia

 Lamban kerja, ceroboh kerja, sering tegang dan gelisah, hilang kepercayaan diri, apatis, pengkhayal,
penuh curiga

 Agitatif, menjadi ganas dan tingkah laku yang brutal, sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan,
cenderung menyakiti diri, perasaan tidak aman, bahkan bunuh diri

3. Perubahan terhadap lingkungan sosial


 Gangguan mental, anti-sosial dan asusila, dikucilkan oleh lingkungan.

MENEGAKKAN DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis pada penderita/penyalahguna NAPZA sering kali tidak mudah dilakukan oleh
kerena adanya stigma di masyarakat terhadap penyalahguna. Hal ini membuat pasien bersifat tertutup dan
menghindar untuk mengatakan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu diperlukan keterampilan khusus
untuk membuat pasien percaya dan mau berterus terang.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menegakkan diagnosis :
a) SIKAP MENTAL PETUGAS KESEHATAN
 Bersikap positif, penuh perhatian dan menerima pasien apa adanya.

 Berempati (dapat memahami dan meraba rasakan masalahnya)

 Tidak menghina, mengkritik, menertawakan, mengejek, menyalahkan, karena hal ini akan menyebabkan
pasien tertutup sehingga akan mengganggu proses autoanamnesis.

b) TEKNIK WAWANCARA
Wawancara dapat dilakukan secara alloanamnesis maupun autoanamnesis. Urutan pelaksanaannya
dapat dilakukan alloanamnesis terlebih dahulu atau sebaliknya dan dapat juga bersamaan tergantung situasi
dan kondisi.
1. Alloanamnesis dilakukan sebelum Autoanamnesis
 Petugas telah memperoleh informasi tentang pasien, sehingga autoanamnesis lebih terarah

 Kemungkinan pasien lebih terbuka dan tidak menyangkal lagi

 Pasien menyangkal dan bertahan mengatakan tidak menggunakan NAPZA

 Pasien menyatakan sudah berhenti menggunakan

 Petugas terpengaruh orang tua/guru yang terlalu kuatir, pada hal pasien tidak menggunakan

 Pasien mencurigai petugas sudah terpengaruh dengan orang tua/guru yang mengantar, sehingga tidak
kooperatif

2. Alloanamnesis dilakukan sesudah Autoanamnesis


 Petugas belum dipengaruhi oleh keterangan yang diberikan orang tua/ pengantar lain.

 Pasien tidak berprasangka bahwa petugas telah dipengaruhi orang tua/guru atau berpihak pada orang
tua/guru yang menyalahkan pasien

 Kemungkinan pasien membohongi atau tidak terbuka pada petugas

3. Autoanamnesis dan Alloanamnesis dilakukan bersamaan


4. Pasien tidak dapat berbohong mengenai hal-hal yang diketahui orang tua/guru
 Pasien dapat bersikap tertutup

Pada pasien yang bersikap tertutup, menanyakan langsung perihal penggunaan NAPZA biasanya tidak
membawa hasil. Sebaiknya anamnesis dilakukan secara tidak langsung misalnya dengan pertanyaan sebagai
berikut :
 Apakah ada yang bisa dibantu ?

 Apakah ada masalah dengan orang tua,guru,teman pacar ?

 Apakah ada kesulitan belajar,malas kerja,sulit tidur ?

 Apakah sering tidak betah dirumah,sering begadang ?

 Apakah sering mengalami stres,kegelisahan,kesedihan ?

 Apakah untuk mengatasi kegelisahan atau kebosanan merokok lebih banyak dari biasa ?

 Bila sedang frustasi, lalu minum minuman keras, apakah pernah mabok atau teler?
 Bila minum minuman keras apakah dicampur obat tidur,masing-masing berapa banyak dan berapa sering
?

Pada pasien sudah bersikap terbuka, anamnesis/pertanyaan mengenai NAPZA meliputi:


 Keluhan pasien dan riwayat perjalanan penyakit terdahulu yang pernah diderita

 Riwayat penyalahgunaan NAPZA :

1) Jenis NAPZA yang dipakai

2) Lamanya pemakaian

3) Dosis,Frekuensi dan cara pemakaian

4) Riwayat/gejala intoksikasi/gejala putus zat

5) Alasan penggunaan

 Taraf Fungsi sosial :

1) Riwayat pendidikan

2) Latar belakang kriminal

3) Status keluarga

4) Kegiatan sosial lain

 Evaluasi keadaan psikologis :

1) Keadaan emosi

2) Kemampuan pengendalian impuls

3) Kemungkinan tindak kekerasan,bunuh diri

4) Riwayat perawatan terdahulu

PEMERIKSAAN
Penampilan pasien,sikap wawancara,gejolak emosi dan lain-lain perlu diobservasi. Petugas harus
cepat tanggap apakah pasien perlu mendapatkan pertolongan kegawat darurat atau tidak, dengan
memperhatikan tanda-tanda dan gejala yang ada.
1. Fisik
a. Adanya bekas suntikan sepanjang vena di lengan,tangan kaki bahkan pada tempat-tempat tersembunyi
misalnya dorsum penis.

b. Pemeriksaan fisik terutama ditujukan untuk menemukan gejala intoksikasi/ioverdosis/putus zat dan
komplikasi medik seperti Hepatitis, Eudokarditis, Bronkoneumonia, HIV/AIDS dan lain-lain.

c. Perhatikan terutama : kesadaran, pernafasan, tensi, nadi pupil,cara jalan, sklera ikterik, conjunctiva
anemis, perforasi septum nasi, caries gigi, aritmia jantung,edema paru, pembesaran hepar dan lain-lain

2. Psikis

a. derajat kesadaran

b. daya nilai realitas

c. gangguan pada alam perasaan (misal cemas, gelisah, marah, emosi labil, sedih, depresi, euforia)

d. gangguan pada proses pikir (misalnya waham, curiga, paranoid, halusinasi)

e. gangguan pada psikomotor (hipperaktif/ hipoaktif, agresif gangguan pola tidur, sikap manipulatif dan
lain-lain)

3. Penunjang
a. Analisa Urin

 Bertujuan untuk mendeteksi adanya NAPZA dalam tubuh (benzodiazepin, barbiturat, amfetamin,
kokain, opioida, kanabis)

 Pengambilan urine hendaknya tidak lebih dari 24 jam dari saat pemakaian zat terakhir dan pastikan
urine tersebut urine pasien

b. Penunjang lain
Untuk menunjang diagnosis dan komplikasi dapat pula dilakukan pemeriksaan
 Laboratorium rutin darah,urin

 EKG, EEG

 Foto toraks

 Dan lain-lain sesuai kebutuhan (HbsAg, HIV, Tes fungsi hati, Evaluasi Psikologik, Evaluasi Sosial)
TERAPI DAN REHABILITASI
Terapi dan Rehabilitasi ketergantungan NAPZA tergantung kepada teori dan filosofi yang
mendasarinya. Dalam nomenklatur kedokteran ketergantungan NAPZA adalah suatu jenis penyakit atay
dusease entity yang dalan International classification of diseases and health related problems-tenth revision
1992 (ICD-10) yang dikeluarkan oleh WHO digolongkan dalam Mental and behavioral disorders due to
psychoactive subsstance use.
Ketergantungan NAPZA secara klinis memberikan gambaran yang berbeda-beda dan tergantung banyak
faktor, antara lain :
 Jumlah dan jenis NAPZA yang digunakan

 Keparahan (severrity) gangguan dan sejauh mana level fungsi keperibadian terganggu

 Kondisi psiikiatri dan medis umum

 Konteks sosial dan lingkungan pasien dimana dia tinggal dan diharapkan kesembuhannya Sebelum
dilakukan intervensi medis, terlebih dahulu harus dilakukan assesment

terhadap pasien dan kemudian baru menentukan apa yang menjadi sasaran dari terapi yang akan
dijalankan.
Tatalaksana Terapi dan Rehabilitasi NAPZA terdiri dari :
 Outpatient (rawat jalan)

 Inpatient (rawat inap)

 Residency (Panti/Pusat Rehabilitasi)

TUJUAN TERAPI DAN REHABILITASI


1. Abstinensia atau menghentikan sama sekali penggunaan NAPZA. Tujuan ini tergolong sangat
ideal,namun banyak orang tidak mampu atau mempunyai motivasi untuk mencapai tujuan ini, terutama
kalau ia baru menggunakan NAPZA pada fase-fase awal. Pasien tersebut dapat ditolong dengan
meminimasi efek-efek yang langsung atau tidak langsung dari NAPZA. Sebagian pasien memang telah
abstinesia terhadap salah satu NAPZA tetapi kemudian beralih untuk menggunakan jenis NAPZA yang
lain.

2. Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps. Sasaran utamanya adalah pencegahan relaps.Bila pasien
pernah menggunakan satu kali saja setelah “clean” maka ia disebut “slip”. Bila ia menyadari
kekeliruannya,dan ia memang telah dobekali ketrampilan untuk mencegah pengulangan penggunaan
kembali, pasien akan tetap mencoba bertahan untuk selalu abstinensia. Pelatihan relapse prevention
programe, Program terapi kognitif, Opiate antagonist maintenance therapy dengan naltreson merupakan
beberapa alternatif untuk mencegah relaps.

3. Memperbaiki fungsi psikologi dan fungsi adaptasi sosial. Dalam kelompok ini,abstinensia bukan
merupakan sasaran utama. Terapi rumatan (maintence) metadon merupakan pilihan untuk mencapai
sasaran terapi golongan ini.

A. TERAPI DAN REHABILITASI


Gawat darurat medik akibat penggunaan NAPZA merupakan tanggung jawab profesi medis. Profesi
medis memegang teguh dan patuh kepada etika medis, karena itu diperlukan keterampilan medis yang cukup
ketat dan tidak dapat didelegasikan kepada kelompok profesi lain. Salah satu komponen penting dalam
keterampilan medis yang erat kaitannya dengan gawat darurat medik adalah keterampilan membuat diagnosis.
Dalam rehabilitasi pasien ketergantungan NAPZA, profesi medis (dokter) mempunyai peranan
terbatas. Proses rehabilitasi pasien ketergantungan NAPZA melibatkan berbagai profesi dan disiplin ilmu.
Namun dalam kondisi emergency, dokter merupakan pilihan yang harus diperhitungkan.
Gawat Darurat yang berkaitan dengan penyalahgunaan NAPZA Gawat
Darurat yang terjadi meliputi berbagai gejala klinis berikut :
i. Intoksikasi

ii. Overdosis

iii. Sindrom putus NAPZA

iv. Berbagai macam komplikasi medik (fisik dan psikiatrik)

Penting dalam kondisi Gawat Darurat adalah ketrampilan menentukan diagnosis, sehingga dengan cepat dan
akurat dapat dilakukan intervensi medik.

Berbagai bentuk Terapi dan Rehabilitasi :


1. TERAPI MEDIS ( TERAPI ORGANO-BIOLOGI)
Terapi ini antara lain ditujukan untuk :
a) TERAPI TERHADAP KEADAAN INTOKSIKASI
 Intoksikasi opioida :

Beri Naloxone HC 1 0,4 mg IV, IM atau SC dapat pula diulang setelah 2-3 menit sampai 2-3 kali
 Intoksikasi kanabis (ganja):
Ajaklah bicara yang menenangkan pasien.
Bila perlu beri : Diazepam 10-30 mg oral atau parenteral, Clobazam 3x10 mg.
 Intoksikasi kokain dan amfetamin

Beri Diazepam 10-30 mg oral atau pareteral,atau Klordiazepoksid 10- 25 mg oral atau Clobazam
3x10 mg. Dapat diulang setelah 30 menit sampai 60 menit. Untuk mengatasi palpitasi beri
propanolol 3x10-40 mg oral
 Intoksikasi alkohol :

 Mandi air dingin bergantian air hangat


Minum kopi kental

Aktivitas fisik (sit-up,push-up)


Bila belum lama diminum bisa disuruh muntahkan
 Intoksikasi sedatif-hipnotif (Misal : Valium,pil BK, MG,Lexo,Rohip):
Melonggarkan pakaian

Membarsihkan lender pada saluran napas Bila


oksigen dan infus garam fisiologis

b. TERAPI TERHADAP KEADAAN OVER DOSIS


 Usahakan agar pernapasan berjalan lancar, yaitu :

 Lurus dan tengadahkan (ekstenikan) leher kepada pasien (jika diperlukan dapat memberikan
bantalan dibawah bahu)

 Kendurkan pakaian yang terlalu ketat

 Hilangkan obstruksi pada saluran napas

 Bila perlu berikan oksigen

 Usahakan agar peredaran darah berjalan lancar

 Bila jantung berhenti, lakukan masase jantung eksternal,injeksi adrenalin 0.1-0.2 cc I.M

 Bila timbul asidosis (misalnya bibir dan ujung jari biru,hiperventilasi) karena sirkulasi darah
yang tidak memadai, beri infus 50 ml sodium bikarbonas
 Pasang infus dan berikan cairan (misalnya : RL atau NaC1 0.9 %) dengan kecepatan rendah (10-12
tetes permenit) terlebih dahulu sampai ada indikasi untuk memberikan cairan. Tambahkan
kecepatan sesuai kebutuhan,jika didapatkan tanda-tanda kemungkinan dehidrasi.

 Lakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat kemungkinan adanya perdarahan atau trauma
yang membahayakan

 Observasi terhadap kemungkinan kejang. Bila timbul kejang berikan diazepam 10 mg melalui IV
atau perinfus dan dapat diulang sesudah 20 menit jika kejang belum teratasi.

c. TERAPI PADA SINDROM PUTUS ZAT


 Terapi putus zat opioida

Terapi ini sering dikenal dengan istilah detoksifikasi.


Terapi detoksifikasi dapat dilakukan dengan cara berobat jalan maupun rawat inap. Lama
program terapi detoksifikasi berbeda-beda :
 1-2 minggu untuk detoksifikasi konvensional

 24-48 jam untuk detoksifikasi opioid dalam anestesi cepat (Rapid Opiate Detoxification
Treatment)

Detoksifikasi hanyalah merupakan langkah awal dalam proses penyembuhan dari


penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA
Beberapa jenis cara mengatasi putus opioida :
 Tanpa diberi terapi apapun, putus obat seketika (abrupt withdrawal atau cold turkey). Terapi
hanya simptomatik saja :

 Untuk nyeri diberi analgetika kuat seperti :

Tramadol, Analgrtik non-narkotik,asam mefenamat dan sebagainya


 Untuk rhinore beri dekongestan,misalnya fenilpropanolamin

 Untuk mual beri metopropamid

 Untuk kolik beri spasmolitik

 Untuk gelisah beri antiansietas

 Untuk insomnia beri hipnotika,misalnya golongan benzodiazepin

 Terapi putus opioida bertahap (gradual withdrawal)


 Dapat diberi morfin,petidin,metadon atau kodein dengan dosis dikurangi sedikit demi sedikit.
Misalnya yang digunakan di RS

Ketergantungan Obat Jakarta, diberi kodein 3 x 60 mg – 80 mg selanjutnya dikurangi 10 mg setiap


hari dan seterusnya.
 Disamping itu diberi terapi simptomatik

 Terapi putus opioida dengan substitusi non opioda

 Dipakai Clonidine dimulai dengan 17 mikrogram/kg BB perhari dibagi dalam 3-4 kali pemberian.
Dosis diturunkan bertahap dan selesai dalam 10 hari

 Sebaiknya dirawat inap (bila sistole < 100 mmHg atau diastole < 70 mmHg), terapi harus
dihentikan.

 Terapi putus opioida dengan metode Detoksifikasi cepat dalam anestesi (Rapid Opioid
Detoxification).

Prinsip terapi ini hanya untuk kasus single drug opiat saja,dilakukan di RS dengan fasilitas rawat
intensif oleh Tim Anestesiolog dan Psikiater, dilanjutkan dengan terapi menggunakan anatagonist
opiat (naltrekson) lebih kurang 1 tahun.
 Terapi putus zat sedative/hipnotika dan alkohol

Harus secara bertahap dan dapat diberikan Diazepam. Tentukan dahulu test toleransi dengan cara :
Memberikan benzodiazepin mulai dari 10 mg yang dinaikan bertahap sampai terjadi gejala
intoksikasi. Selanjutnya diturunkan kembali secara bertahap 10 mg perhari sampai gejala putus zat
hilang.
 Terapi putus Kokain atau Amfetamin

Rawat inap perlu dipertimbangkan karena kemungkinan melakukan percobaan bunuh diri. Untuk
mengatasi gejala depresi berikan anti depresi.
 Terapi untuk waham dan delirium pada putus NAPZA

 Pada gangguan waham karena amfetamin atau kokain berikan Inj. Haloperidol 2.5-5 mg IM
dan dilanjutkan peroral 3x2,5-5 mg/hari.

 Pada gangguan waham karena ganja beri Diazepam 20-40 mg IM

 Pada delirium putus sedativa/hipnotika atau alkohol beri Diazepam seperti pada terapi
intoksikasi sedative/hipnotika atau alkohol
 Terapi putus opioida pada neonatus

Gejala putus opioida pada bayi yang dilahirkan dari seorang ibu yang mengalami ketergantungan
opioida, timbul dalam waktu sebelum 48-72 jam setelah lahir. Gejalanya antara lain : menangis
terus(melengking), gelisah,sulit tidur,diare,tidak mau minum, muntah, dehidrasi, hidung tersumbat,
demam, berkeringat. Berikan infus dan perawatan bayi yang memadai. Selanjutnya berikan
Diazepam 1-2 mg tiap 8 jam setiap hari diturunkan bertahap,selesai dalam 10 hari

d. TERAPI TERHADAP KOMORBIDITAS


Setelah keadaan intoksikasi dan sindroma putus NAPZA dapat teratasi, maka perlu dilanjutkan dengan
terapi terhadap gangguan jiwa lain yang terdapat bersama-sama dengan gangguan mental dan perilaku
akibat penggunaan zat psikoaktif (co-morbid psychopathology), sebagai berikut :
 Psikofarmakologis yang sesuai dengan diagnosis

 Psikoterapi individual

 Konseling : bila dijumpai masalah dalam komonikasi interpersonal

 Psikoterapi asertif : bila pasien mudah terpengaruh dan mengalami kesulitan dalam mengambil
keputusan yang bijaksana

 Psikoterapi kognitif : bila dijumpai depresi psikogen

 Psikoterapi kelompok

 Terapi keluarga bila dijumpai keluarga yang patologik

 Terapi marital bila dijumpai masalah marital

 Terapi relaksasi untuk mengatasi ketegangan

 Dirujuk atau konsultasi ke RS Umum atau RS Jiwa

e. TERAPI TERHADAP KOMPLIKASI MEDIK


Terapi disesuaikan dengan besaran masalah dan dilaksanakan secara terpadu
melibatkan berbagai disiplin ilmu kedokteran. Misalnya :
 Komplikasi Paru dirujuk ke Bagian Penyakit Paru

 Komplikasi Jantung di rujuk ke Bagian Penyakit Jantung atau Interna/Penyakit Dalam


 Komplikasi Hepatitis di rujuk ke Bagian Interna/Penyakit Dalam

 HIV/AIDS dirujuk ke Bagian Interna atau Pokdisus AIDS

f. TERAPI MAINTENANCE (RUMATAN)


Terapi maintenance/rumatan ini dijalankan pasca detoksifikasi dengan tujuan untuk mencegah
terjadinya komplikasi medis serta tidak kriminal. Secara medis terapi ini dijalankan dengan
menggunakan :
 Terapi psikofarmaka,menggunakan Naltrekson (Opiat antagonis), atau Metadon

 Terapi perilaku, diselenggarakan berdasarkan pemberian hadiah dan hukum

 Self-help group,didasarkan kepada beberapa fillosofi antara lain : 12-steps

2. REHABILITASI
Setelah selesai detoksifikasi, penyalahguna NAPZA perlu menjalani Rehabilitasi. Kenyataan
menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagian besar akan mengulangi
kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi.
Dengan Rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat :
 Mempunyai motivasi untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi ;

 Mampu menolak tawaran penyalahgunakan NAPZA;

 Pulih kepercayaan dirinya,hilang rasa rendah dirinya;

 Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik;

 Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja;

 Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan di lingkungannya. Beberapa
Bentuk Program/Pendekatan Rehabilitasi yang ada,antara lain :

a. Program Antagonis Opiat (Naltrexon)

Setelah detoksifikasi (dilepaskan dari ketergantungan fisik) terhadap opioid (heroin/putauw/PT)


penderita sering mengalami keadaan rindu yang sangat kuat (craving, kangen,sugesti) terhadap efek heroin.
Antagonis opiat (Naltrexon HCI,) dapat mengurangi kuatnya dan frekuensi datangnya perasaan rindu itu.
Apabila pasien menggunakan opieat lagi,ia tidak merasakan efek euforiknya sehingga dapat terjadi overdosis.
Oleh karena itu perlu seleksi dan psikoterapi untuk membangun motivasi pasien yang kuat sebelum
memutuskan pemberian antagonis. Antagonis opiat diberikan dalam dosis tunggal 50 mg sekali sehari secara
oral, selama 3- 6 bulan. Karena hepatotoksik, perlu tes fungsi hati secara berkala.

b. Program Metadon

Metadon adalah opiat sintetik yang bisa dipakai untuk menggantikan heroin yang dapat diberikan
secara oral sehingga mengurangi komplikasi medik. Program ini masih kontroversial, di Indonesia program
ini masih berupa uji coba di RSKO

c. Program yang berorientasi psikososial

Program ini menitik beratkan berbagai kegiatannya pada terapi psikologik (kognitif, perilaku,
suportif, asertif, dinamika kelompok, psikoterapi individu, desensitisasi dan lain- lain) dan keterampilan
sosial yang bertujuan mengembangkan keperibadian dan sikap mental yang dewasa, serta meningkatkan
mutu dan kemampuan komunikasi interpersonal Berbagai variasi psikoterapi sering digunakan dalam
setting rehabilitasi. Tergantung pada sasaran terapi yang digunakan.
 Psikoterapi yang berorientasi analitik mengambil keberhasilan mendatangkan insight sebagai parameter
keberhasilan.

 Psikoterapi yang menggunakan sasaran pencegahan relaps seperti :

 Cognitivi Behaviour Therapy dan Relaps Prevention Training

 Supportive Expressive Psychotherapy

 Psychodrama,art-therapy adalah psikoterapi yang dijalankan secara individual

d. Therapeutic Community

Berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam sutu tempet. Dipimpin oleh
bekas penyalahguna yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai konselor,setelah melalui pendidikan dan
latihan. Tenaga profesional hanya sebagai konsultan saja.Disini penderita dilatih keterampilan mengelola
waktu dan perilakunya secara efektif serta kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan
memakai NAPZA atau sugesti (craving) dan mencegah relap. Dalam komonitas ini semua ikut aktif dalam
proses terapi. Ciri perbedaan anggota dihilangkan. Mereka bebas menyatakan perasaan dan perilaku sejauh
tidak membahayakan orang lain. Tiap anggota bertanggung jawab terhadap perbuatannya,ganjaran bagi yang
berbuat positif dan hukuman bagi yang berperilaku negatif diatur oleh mereka sendiri.
e. Program yang berorientasi Sosial

Program ini memusatkan kegiatan pada keterampilan sosial, sehingga mereka dapat kembali kedalam
kehidupan masyarakat yang normal,termasuk mampu bekerja.

f. Program yang berorientasi kedisiplinan

Program ini menerapkan modifikasi behavioral atau perilaku dengan cara melatih hidup menurut
aturan disiplin yang telah ditetapkan.

g. Program dengan Pendekatan Religi atau Spiritual

Pesantren dan beberapa pendekatan agama lain melakukan trial and error untuk menyelenggarakan
rehabilitasi ketergantungan NAPZA

h. Lain-lain

Beberapa profesional bidang kedokteran mencoba menggabungkan berbagai modalitas terapi dan
rehabilitasi. Hasil keberhasilan secara ilmiah dan dapat di pertanggung jawabkan masih ditunggu. Beberapa
bentuk terapi lainnya yang saat ini dikembangkan di Indonesia adalah penggunaan tenaga dalam prana dan
meditasi. Terapi yang mengandalkan adanya kekuatan spiritual baik dalam arti kata kekuatan diri maupun
Keagungan Allah telah dikembangkan hampir diseluruh dunia.

3. GANGGUAN CEMAS MENYELURUH

I. DEFINISI

Menurut Capernito (2001) kecemasan adalah keadaan individu atau kelompok mengalami perasaan
gelisah (penilaian atau opini) dan aktivitas sistem saraf autonom dalam berespons terhadap ancaman yang
tidak jelas, nonspesifik. Kecemasan merupakan unsur kejiwaan yang menggambarkan perasaan, keadaan
emosional yang dimiliki seseorang pada saat menghadapi kenyataan atau kejadian dalam hidupnya.
(Rivai, 2000).1,2
Kecemasan adalah perasaan individu dan pengalaman subjektif yang tidak diamati secara langsung dan
perasaan tanpa objek yang spesifik dipacu oleh ketidaktahuan dan didahului oleh pengalaman yang baru
(Stuart dkk, 1998). Berdasarkan definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kecemasan adalah
perasaan yang tidak menyenangkan, tidak enak, khawatir dan gelisah. Keadaan emosi ini tanpa objek
yang spesifik, dialami secara subjektif dipacu oleh ketidaktahuan yang didahului oleh pengalaman baru,
dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal.1,2
Gangguan Cemas Menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder) merupakan salah satu jenis gangguan
kecemasan dengan karakteristik kekhawatiran yang tidak dapat dikuasai dan menetap, biasanya terhadap
hal-hal yang sepele/tidak utama. Individu dengan gangguan cemas menyeluruh akan terus menerus
merasa khawatir tentang hal-ha yang kecil/sepele. 1,2,3

II. GAMBARAN TENTANG KECEMASAN


Neale dkk (2001) mengatakan bahwa kecemasan sebagai perasaan takut yang tidak menyenangkan dan
apprehension, dapat menimbulkan beberapa keadaan psikopatologis sehingga mengalami apa yang
disebut gangguan kecemasan. Walaupun sebagai orang normal, diakui atau tidak, kita dapat saja
mengalami kecemasan, namun kecemasan pada orang normal berlangsung dalam intensitas atau durasi
yang tidak berkeanjangan sehingga individu dapat tetap memberikan respon yang adaptif.1,3
Untuk memahami kecemasan yang mempengaruhi beberapa area dari fungsi-fungsi individu, Acocella
dkk (1996) mengatakan bahwa kecemasan seharusnya melibatkan atau memiliki 3 komponen dasar,
yaitu1, 4:
1. Adanya ungkapan yang subjektif (subjective reports) mengenai ketegangan, ketakutan dan tidak
adanya harapan untuk mengatasinya.
2. Respon-respon perilaku (behavioral rensponses), seperti menghindari situasi yang ditakuti,
kerusakan pada fungsi bicara dan motorik dan kerusakan tampilan untuk tugas-tugas kognitif yang
kompleks.
3. Respon-respon fisiologis (physiological responses), termasuk ketegangan otot, peningkatan detak
jantung dan tekanan darah, nafas yang cepat, mulut yang kering nausea, diare, dan dizziness.

III. ETIOLOGI

Upaya untuk menjelaskan penyebab dari munculnya gangguan kecemasan, Accocella dkk (1976)
memaparkan dari beberapa sudut pandang teori. Menurut para ahli psikofarmaka, Gangguan Kecemasan
Menyeluruh bersumber pada neurosis, bukan dipengaruhi oleh ancaman eksternal tetapi lebih dipengaruhi
oleh keadaan internal individu.2,3,5
Sebagamana diketahui, Sigmund Freud sebagai bapak dari pendekatan psikodinamika mengatakan
bahwa jiwa individu diibaratkan sebagai gunung es. Bagian yang muncul dipermukaan dari gunung es
itu, bagian terkecil dari kejiwaan yang disebut sebagai bagian kesadaran. Agak di bawah permukaan air
adalah bagian yang disebut pra-kesadaran, dan bagian yang terbesar dari gunung es tersebut ada di bawah
sekali dari permukaan air, dan ini merupakan alam ketidaksadaran (uncounsciousness). Ketidaksadaran
ini berisi ide, yaitu dorongan-dorongan primitif, belum dipengaruhi oleh kebudayaan atau peraturan-
peraturan yang ada dilingkungan. Dorongan-dorongan ini ingin muncul ke permukaan/ ke kesadaran,
sedangkan tempat di atas sangat terbatas. Ego, yang menjadi pusat dari kesadaran, harus mengatur
dorongan-dorongan mana yang boleh muncul dan mana yang tetap tinggal di ketidaksadaran karena
ketidaksesuaiannya dengan superego, yaitu salah satu unit pribadi yang berisi norma-norma sosial atau
peraturan-peraturan yang berlaku di lingkungan sekitar. Jika ternyata ego menjadi tidak cukup kuat
menahan desakan atau dorongan ini maka terjadilah kelainan-kelainan atau gangguan-gangguan
kejiwaan. Neurosis adalah salah satu gangguan kejiwaan yang muncul sebagai akibat dari
ketidakmampuan ego menahan dorongan ide.1,6, 7
Jadi, individu yang mengalami Gangguan Kecemasan Menyeluruh, menurut pendekatan
psikodinamika berakar dari ketidakmampuan egonya untuk mengatasi dorongan-dorongan yang muncul
dari dalam dirinya secara terus menerus sehingga ia akan mengembangkan mekanisme pertahanan diri.
Mekanisme pertahanan diri ini sebenarnya upaya ego untuk menyalurkan dorongan dalam dirinya dan
bisa tetap berhadapan dengan lingkungan. Tetapi jika mekanisme pertahanan diri ini dipergunakan secara
kaku, terus-menerus dan berkepanjangan maka hal ini dapat menimbulkan perilaku yang tidak adaptif dan
tidak realistis.1, 6, 7
Ada beberapa mekanisme pertahanan diri yang bisa dipergunakan oleh individu, antara lain1, 4:
1. Represi, yaitu upaya ego untuk menekan pengalaman yang tidak menyenangkan dan dirasakan
mengancam ego masuk ke ketidaksadaran dan disimpan di sana agar tidak menganggu ego lagi. Tetspi
sebenarnya pengalaman yang sudah disimpan itu masih punya pengaruh tidak langsung terhadap
tingkahlaku si individu.
2. Rasionalisasi, yaitu upaya ego untuk melakukan penalaran sedemikian rupa terhadap dorongan-dorongan
dalam diri yang dilarang tampil oleh superego, sehingga seolah-olah perilakunya dapat dibenarkan.
3. Kompensasi, upaya ego untuk menutupi kelemahan yang ada di salah satu sisi kehidupan dengan
membuat prestasi atau memberikan kesan sebaliknya pada sisi lain. Dengan demikian, ego terhindar dari
ejekan dan rasa rendah diri.
4. Penempatan yang keliru, yaitu upaya ego untuk melampiaskan suatu perasaan tertentu ke pihak lain atau
sumber lain karena tidak dapat melampiaskan perasaannya ke sumber masalah.
5. Regresi, yaitu upaya ego untuk menghindari kegagalan-kegagalan atau ancaman terhadap ego dengan
menampilkan pikiran atau perilaku yang mundur kembali ke taraf perkembangan yang lebih rendah.

Para ahli dari aliran humanistik-eksternal mengatakan bahwa konsep kecemasan bukan hanya sekedar
masalah, yang bersifat individual tetapi juga merupakan hasil konflik antara individu dengan masyarakat
atau lingkungan sosialnya.1,6
Jika individu melihat perbedaan yang sangat luas antara pandangannya tentang dirinya sendiri dengan
yang diinginkan maka akan`muncul perasaan inadekuat dalam menghadapi tantangan di kehidupan ini,
dan hal ini menghasilkan kecemasan. Jadi menurut pandangan humanis eksternalis, pusat kecemasan
adalah konsep diri, yang terjadi sehubungan dengan adanya gap antara konsep diri yang sesungguhnya
(real self) dan diri yang diinginkan (idea self). Hal ini muncul sehubungan tidak adanya kesempatan bagi
individu untuk mengaktualisasikan` dirinya sehingga perkembangannya menjadi terhalang. Akibatnya,
dalam menghadapi tantangan atau kendala dalam menjalani hari-hari, di kehidupan selanjutnya, ia akan
mengalami kesulitan untuk membentuk konsep diri yang positif. Setiap kita sebenarnya perlu
mengembangkan suatu upaya untuk menjadi diri sendiri (authenticity), sedangkan indivisu yang neurotis,
atau mengalami gangguan kecemasan adalah individu yang gagal menjadi diri sendiri (inauthenticity)
karena mereka mengembangkan konsep diri yang keliru/palsu4,7
Sementara para ahli dari pendekatan behavioristik mengatakan bahwa kecemasan muncul karena
terjadi kesalahan dalam belajar, bukan hasil dari konflik intrapsikis, individu belajar menjadi cemas. Ada
2 tahapan belajar yang berlangsung dalam diri individu yang menghasilkan kecemasan yaitu:1, 4, 7
1. Dalam pengalaman individu, beberapa stimulus netral tidak berbahaya atau tidak menimbulkan
kecemasan, dihubungkan dengan stimulus yang menyakitkan (aversive) akan menimbulkan
kecemasan (melalui respondent condotioning)
2. Individu yang menghindar dari stimulus yang sudah terkondisi, dan sejak penghindaran ini
menghasilkan pembebasan/terlepas dari rasa cemas, maka respon menghindar ini akan menjadi
kebiasaan (melalui operant conditioning)

Dari sudut pandang kognitif, gangguan kecemasan terjadi karena adanya kesalahan dalam
mempersepsikan hal-hal yang menakutkan. Berdasarkan dari teori kognitif, masalah yang terjadi dari
individu yang mengalami gangguan kecemasan adalah terjadinya kesalahan persepsi atau kesalahan
interpretasi terhadap stimulus internal maupun eksternal. Indivisu yang mengalami gangguan kecemasan
akan melihat suatu hal yang tidak benar-benar mengancam sebagai sesuatu yang mengancam. Jika
individu mengalami pengalaman sensasi dalam tubuh yang tidak biasa, lalu mengintepretasikannya
sebagai sensasi yang bersifat catastropic, yaitu suatu gejala bahwa ia sedang mengalami sesuatu hal seperti
serangan jantung, maka akan timbul rasa panik. 4,7

IV. MANIFESTASI KLINIS


Gambaran klinis bervariasi, diagnosis Gangguan Cemas Menyeluruh ditegakkan apabila dijumpai
gejala-gejala antara lain keluhan cemas, khawatir, was-was, ragu untuk bertindak, perasaan takut yang
berlebihan, gelisah pada hal-hal yang sepele dan tidak utama yang mana perasaan tersebut mempengaruhi
seluruh aspek kehidupannya, sehingga pertimbangan akal sehat, perasaan dan perilaku terpengaruh. Selain
itu spesifik untuk Gangguan Kecemasan Menyeluruh adalah kecemasanya terjadi kronis secara terus-
menerus mencakup situasi hidup (cemas akan terjadi kecelakaan, kesulitan finansial), cemas akan
terjadinya bahaya, cemas kehilangan kontrol, cemas akan`mendapatkan serangan jantung. Sering
3,7,8
penderita tidak sabar, mudah marah, sulit tidur.
Untuk lebih jelasnya gejala-gejala umum ansietas dapat dilihat pada tabel di bawah:
Tabel 1. Gejala-gejala Gangguan Cemas Menyeluruh:11
Ketegangan Motorik 1. Kedutan otot/ rasa gemetar
2. Otot tegang/kaku/pegal
3. Tidak bisa diam
4. Mudah menjadi lelah

Hiperaktivitas Otonomik 5. Nafas pendek/terasa berat


6. Jantung berdebar-debar
7. Telapak tangan basah/dingin
8. Mulut kering
9. Kepala pusing/rasa melayang
10. Mual, mencret, perut tak enak
11. Muka panas/ badan menggigil
12. Buang air kecil lebih sering

Kewaspadaan berlebihan dan 13. Perasaan jadi peka/mudah ngilu


Penangkapan berkurang 14. Mudah terkejut/kaget
15. Sulit konsentrasi pikiran
16. Sukar tidur
17. Mudah tersinggung

V. DIAGNOSIS
Diagnosis Gangguan Cemas Menyeluruh (DSM-IV halaman 435, 300.02) ditegakkan bila terdapat
kecemasan kronis yang lebih berat (berlangsung lebih dari 6 bulan; biasanya tahunan dengan gejala
bertambah dan kondisi melemah) dan termasuk gejala seperti respons otonom (palpitasi, diare, ekstremitas
lembab, berkeringat, sering buang air kecil), insomnia, sulit berkonsentrasi, rasa lelah, sering menarik
nafas, gemetaran, waspada berlebihan, atau takut akan sesuatu yang akan terjadi. Ada kecenderungan
diturunkan dalam keluarga, memiliki komponen genetik yang sedang dan dihubungkan dengan fobia sosial
dan sederhana serta depresi mayor (terdapat pada 40% atau lebih pasien; meningkatkan resiko bunuh diri.
Biasanya pada kondisi ini tidak`ditemukan etiologi stres yang jelas, tetapi harus dicari penyebabnya.2,3, 4
Diagnosis gangguan cemas menyeluruh menurut PPDGJ-III ditegakkan berdasarkan :5
 Penderita harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang berlangsung hampir setiap hari
untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan
situasi khusus tertentu saja (sifatnya “free floating” atau “mengambang”).
 Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut:
1. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk, sulit berkonsentrasi, dsb)
2. Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai); dan
3. Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-debar, sesak napas,
keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering, dsb)
 Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari), khususnya depresi, tidak
membatalkan diagnosis utama Gangguan Anxietas Menyeluruh, selama hal tersebut tidak memenuhi
kriteria lengkap dari episode depresif (F.32.-), gangguan anxietas fobik (F.40.-), gangguan panik
(F42.0), atau gangguan obsesif-kompulsif (F.42.-)

VI. PENANGANAN
Terapi pada Gangguan Kecemasan Menyeluruh pada umumnya dapat dilakukan dengan 2 cara yakni
terapi psikologis (psikoterapi) atau terapi dengan obat-obatan (farmakoterapi). Angka-angka keberhasilan
terapi yang tinggi dilaporkan pada kasus-kasus dengan diagnosis dini. Psikoterapi yang sederhana sangat
efektif, khususnya dalam konteks hubungan pasien dengan dokter yang baik, sehingga dapat membantu
mengurangi farmakoterapi yang tidak perlu.1,6, 8
-Penanganan
dengan psikoterapi juga dapat dijelaskan melalui pendekatan psikodinamika, humanistik
eksistensialis atau pendekatan behavioristik maupun kognitif.1
Menurut para ahli psikodinamika, karena gangguan ini berakar pada keadaan internal individu
sehubungan dengan adanya konflik intrapsikis yang dialami individu sehingga ia mengembangkan suatu
bentuk mekanisme pertahanan diri, maka upaya menanganinya juga terarah pada pemberian kesempatan
bagi individu untuk mengeluarkan seluruh isi pikiran atau perasaan yang muncul di dalam dirinya.
Asumsinya adalah jika individu bisa menghadapi dan memahami konflik yang dialami, ego akan lebih
bebas dan tidak harus terus berlindung di balik mekanisme pertahanan diri yang dikembangkannya.1,7
Teknik dasar yang digunakan disebut free association, individu diminta untuk menjelaskan secara
sederhana tentang hal-hal yang ada di dalam pikirannya, tanpa melihat apakah itu logis atau tidak, tepat
atau tidak, ataupun pantas atau tidak. Hal-hal dari alam bawah sadar atau tidak sadar yang diungkapkan
akan dicatat oleh terapis untuk diinterpretasikan. Tehnik ini juga bisa dimanfaatkan saat menggunakan
teknik dream interpretation; individu diminta untuk menceritakan mimpinya secara detail dan tepat. Kedua
teknik ini memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Dalam melaksanakan teknik-teknik tersebut
di atas, ada dua hal yang biasanya muncul, yaitu apa yang disebut dengan resistance (yaitu individu
bertahan dan beradu argumen dengan terapis saat terapis mulai sampai pada bagian sensitif), dan
transference (yaitu individu mengalihkan perasaannya pada terapis dan menjadi bergantung.1,5, 7
Sementara para ahli dari pendekatan humanistik eksistesialis yang melihat kecemasan sebagai hasil
konflik diri yang terkait dengan keadaan sosial dimana pengembangan diri menjadi terhambat, maka
mereka lebih menyarankan untuk membangun kembali diri yang rusak (damaged self). Tekhniknya sering
disebut sebagai client centered therapy yang berpendapat bahwa setiap individu memiliki kemampuan
yang positif yang dapat dikembangkan sehingga ia membutuhkan situasi yang kondusif untuk
mengeksplorasi dirinya semaksimal mungkin.1,7, 8
Setiap permasalahan yang dihadapi setiap individu sebenarnya hanya dirinyalah yang paling mengerti
tentang apa yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, individu itu sendirilah yang paling berperan dalam
menyelesaikan permasalahan yang mengganggu dirinya.1,7,8
Karena para ahli melihat kecemasan sebagai sebagai hasil dari belajar (belajar menjadi cemas) maka
untuk menanganinya perlu dilakukan pembelajaran ulang agar terbentuk pola perilaku baru, yaitu pola
perilaku yang tidak cemas.1,7
Tehnik yang digunakan untuk mengurangi kecemasan adalah systematic desentisitization, yaitu
mengurangi kecemasan dengan menggunakan konsep hirarki ketakutan, menghilangkan ketakutan secara
perlahan-lahan mulai dari ketakutan yang sederhana sampai ke hal yang lebih kompleks. Pemberian
reinforcement (penguat) juga dapat digunakan dengan secara tepat memberikan variasi yang tepat antara
pemberian reward- jika ia memperlihatkan perilaku yang mengarah keperubahan ataupun punishment –
jika tidak ada perubahan perilaku atau justru menampilkan perilaku yang bertolak belakang dengan
rencana perubahan perilaku. Adanya model yang secara nyata dapat dilihat dan menjadi contoh langsung
kepada individu juga efektif dalam upaya melawan pikiran-pikiran yang mencemaskan.7, 8
Pendekatan kognitif yang melihat gangguan kecemasan sebagai hasil dari kesalahan dalam
mempersepsikan ancaman (misperception of threat) menawarkan upaya mengatasinya dengan mengajak
individu berpikir dan mendesain suatu pola kognitif baru. David Clark dkk (dalam Acocella dkk, 1996)
mengembangkan desain kognitif yang melibatkan 3 bagian yaitu1 :
1. Identifikasi interpretasi negatif yang dikembangkan individu tentang sensasi tubuhnya
2. Tentukan dugaan atau asumsi dan arahkan alternatif intrepretasi, yang noncatastropic.
3. Bantu individu menguji validitas penjelasan dan alternatif-alternatif tersebut.

Dengan kata lain, para ahli dari pendekatan kognitif ini menyatakan bahwa tujuan dari terapi sebagai upaya
menangani gangguan kecemasan adalah membantu individu melakukan intrepretasi sensasi tubuh dengan
cara yang noncatastropic1.
Dalam beberapa hal, penanganan terhadap penderita gangguan kecemasan tidak selalu hanya
berpegang pada satu tehnik saja, atau hanya mengikuti pendapat salah satu ahli dari suatu pendekatan saja.
Terapi yang diberikan dapat sekaligus dengan menggunakan lebih dari satu pendekatan atau lebih dari satu
tehnik, asalkan tujuannya jelas dan tahapan-tahapannya juga terinci.1,6,7
Pertimbangkan penggunaan obat-obatan maupun psikoterapi. Anti depresan yang baru, venlafaksin
XR, tampaknya cukup efektif dan aman untuk pengobatan gangguan cemas menyeluruh. Gunakan
benzodiazepin dengan tidak berlebihan(diazepam, 5 mg per oral, 3-4 kali sehari atau 10 mg sebelum tidur)
untuk jangka pendek(beberapa minggu hingga beberapa bulan); biarkan penggunaan obat-obatan untuk
mengikuti perjalanan penyakitnya. Pertimbangkan pemberian buspiron untuk pengobatan awal atau untuk
pengobatan kronis (20-30 mg/hari dalam dosis terbagi). Pasien tertentu yang telah terbiasa dengan efek
cepat benzodiazepin akan merasakan kurangnya efektivitas buspiron. Anti depresan trisiklik, SSRI, dan
MAOI bermanfaat terhadap pasien-pasien tertentu (terutama bagi mereka yang disertai dengan depresi).
Sedangkan pasien dengan gejala otonomik akan membaik dengan β-bloker (misal, propanolol 80-160
mg/hari). 4, 8
Tabel 2. Sediaan Obat Anti-Anxietas dan Dosis Anjuran (menurut IiMS Vol. 30-2001)11
No Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran
1. Diazepam Diazepin Tab. 2-5 mg 10-30 mg/h
Lovium Tab. 2-5 mg
Stesolid Tab. 2-5 mg
Amp. 10mg/2cc
2. Chlordiazepoxide Cetabrium Drg. 5-10 mg 15-30 mg/h
Arsitran Tab. 5 mg
Tensinyl Cap. 5 mg
3. Lorazepam Ativan Tab. 0,5-1-2 mg 2-3 x 1 mg/h
Renaquil Tab. 1 mg
4. Clobazam Frisium Tab. 10 mg 2-3 x 1m mg/h
5. Alprazolam Xanax Tab. 0,25-0,5 mg 0,75-1,50 mg/h
Alganax Tab. 0,25-0,5 mg
6. Sulpiride Dogmatil Cap. 50 mg 100-200 mg/h
7. Buspirone Buspar Tab. 10 mg 15-30 mg/h
8. Hydroxyzine Iterax Caplet 25 mg 3x25 mg/h

Obat anti-anxietas Benzodiazepine yang bereaksi dengan reseptornya (benzodiazepine receptors) akan
meng-reinforce “the inhibitory action of GABA-ergic neuron”, sehingga hiperaktivitas tersebut di atas
mereda.11
Dorong rasa percaya diri, rumatan aktivitas produktif, dan kognisi yang berdasarkan pada realita.
Latihlah pasien dengan teknik relaksasi (misal biofeedback, meditasi, otohipnotis). Lebih dari 50% pasien
menjadi asimtomatik seiring berjalannya waktu, tetapi sisanya memberat pada derajat hendaya yang
bermakna. Bantulah pasien untuk memahami akan sifat kronis penyakitnya dan mengerti akan adanya
kemungkinan untuk selamanya hidup dengan beberapa gejala yang memang tidak akan hilang. 4,6
VII. PROGNOSIS
Prognosis Gangguan Kecemasan Menyeluruh sukar untuk untuk diperkirakan. Nemun demikian
beberapa data menyatakan peristiwa kehidupan berhubungan dengan onset gangguan ini. Terjadinya
beberapa peristiwa kehidupan yang negatif secara jelas meningkatkan kemungkinan akan terjadinya
gangguan. Hal ini berkaitan pula dengan berat ringannya gangguan tersebut.8,10

4. GANGGUAN AFEKTIF - GANGGUAN BIPOLAR

Gangguan bipolar adalah kondisi seseorang yang mengalami perubahan suasana hati secara fluktuatif dan drastis,
misalnya tiba-tiba menjadi sangat bahagia dari yang sebelumnya murung. Nama lain dari gangguan bipolar
adalah manik depresif.

Faktor Risiko Gangguan Bipolar

Terdapat berapa faktor yang diduga meningkatkan risiko seseorang terkena gangguan bipolar, yakni:

 Mengalami stres berat.

 Kejadian traumatik.

 Kecanduan akan minuman beralkohol atau obat-obatan terlarang.

 Memiliki riwayat keluarga dekat (saudara kandung atau orangtua) yang mengidap gangguan bipolar.

Gejala Gangguan Bipolar

Terdapat dua fase dalam gangguan bipolar, yaitu fase mania (naik) dan depresi (turun). Pada periode mania,
pengidapnya jadi terlihat sangat bersemangat, enerjik, dan bicara cepat. Sedangkan pada periode depresi,
pengidapnya akan terlihat sedih, lesu, dan hilang minat terhadap aktivitas sehari-hari.

Berdasarkan perputaran episode suasana hati, ada sebagian pengidap gangguan bipolar yang mengalami keadaan
normal di antara mania dan depresi. Ada juga yang mengalami perputaran cepat dari mania ke depresi atau
sebaliknya tanpa adanya periode normal (rapid cycling). Selain itu, ada juga pengidap yang mengalami mania
dan depresi secara bersamaan. Contohnya, ketika pengidap merasa sangat berenerjik, tetapi di saat bersamaan
juga merasa sangat sedih dan putus asa. Gejala ini dinamakan dengan periode campuran (mixed state).

Diagnosis

Diagnosis lebih lanjut mengenai kondisi ini sangat dibutuhkan, sebab gejala gangguan bipolar mirip dengan
kondisi lain, seperti penyakit tiroid, serta dampak dari kecanduan alkohol atau penyalahgunaan NAPZA.
Pemeriksaan yang dilakukan bisa dengan metode wawancara ke keluarga atau kerabat pengidap gangguan
bipolar. Wawancara ini terkait gejala, seperti sejak kapan dan seberapa sering gejala muncul.
Pengidapnya juga kemudian akan dirujuk ke psikiater atau dokter spesialis kesehatan jiwa. Psikiater akan
melakukan beberapa pengamatan terkait pola bicara, berpikir, dan bersikap. Pskikiater juga mungkin akan
menanyakan riwayat penyakit keluarga, riwayat penyakit, hingga pola tidur. Pengidapnya juga mungkin akan
diberikan kuesioner yang dapat diisi. Saat hasil pemeriksaan dirasa cukup, psikiater kemudian akan
mengklasifikasikan kondisi seseorang berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM-5).

Penyebab Gangguan Bipolar

Beberapa ahlo berpendapat bahwa kondisi ini disebabkan oleh ketidakseimbangan neurotransmitter atau zat
pengontrol fungsi otak. Tidak hanya itu, ada juga yang berpendapat bahwa gangguan bipolar berkaitan dengan
faktor keturunan.

Beberapa faktor yang diduga bisa meningkatkan risiko seseorang terkena gangguan bipolar adalah mengalami
stres tingkat tinggi, pengalaman traumatik, kecanduan minuman beralkohol atau obat-obatan terlarang, dan
memiliki riwayat keluarga dekat (saudara kandung atau orangtua) yang mengidap gangguan bipolar.

Pengobatan Gangguan Bipolar

Tujuan pengobatan gangguan bipolar adalah untuk menurunkan frekuensi terjadinya fase-fase mania dan depresi
agar pengidapnya dapat hidup secara normal dan membaur dengan lingkungan. Selain memperbaiki pola hidup,
penanganan biasanya mencakup pemberian obat- obatan yang dikombinasikan dengan terapi psikologis
(contohnya terapi perilaku kognitif).

Pencegahan Gangguan Bipolar

Langkah pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi efek dari bipolar, yaitu dengan
memberikan terapi sesuai dengan anjuran dokter.

Gejala awalL

Kamu harus berbicara dengan dokter jika gangguan bipolar menunjukkan tanda-tanda berikut ini:

 Memunculkan gejala periode mood yang terjadi dalam jangka panjang.

 Memiliki pemikiran untuk bunuh diri.

 Merasa agresif dan konfrontasional.


 Kesulitan tidur dalam beberapa hari.

5. SKIZOFRENIA

 Pengertian Skozofrenia
Menurut Davidson (2012) Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan
gangguan utama dalam pikiran emosi, dan perilaku-pikiran yang terganggu, dimana berbagai pemikiran
tidak saling berhubungan secara logis; persepsi dan perhatian yang keliru; afek datar atau tidak sesuai;
dan berbagai gangguan aktivitas bizarre. Pasien menarik diri dari banyak orang dan realitas, seringkali
kedalam kehidupan fantasi yang penuh waham dan halusinasi.
Skozofrenia termasuk dalam salah satu gangguan mental yang disebut psikosis, pasien psikotik
tidak dapat mengenali atau tidak memiliki kontak dengan realitas (Setiadi, 2006).
Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo artinya terbagi, terpecah dan
phrenia artinya pikiran. Jadi pikirannya terbagi atau terpecah. (Rudyanto, 2007).
Eugene Bleuler mengemukakan manifestasi primer skizofrenia ialah gangguan pikiran, emosi
menumpul dan terganggu. Ia menganggap bahwa gangguan pikiran dan menumpulnya emosi sebagai
gejala utama daripada skizofrenia dan adanya halusinasi atau delusi (waham) merupakan gejala
sekunder atau tambahan terhadap ini (Lumbantobing, 2007).
Skizofrenia dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom dengan variasi penyebab (banyak yang
belum diketahui), dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis) yang luas, serta sejumlah akibat
yang tergantung pada pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya (Kaplan and Sadock, 2010).
Sejarah Konsep Skizofrenia
Konsep Skizofrenia pertama kali di formulasikan oleh dua psikiater Eropa, Emil Kraepelin dan
Eugen Bleuer. Kraepelin pertama kali mengemukakan teorinya mengenai dementia praecox, istilah
awal untuk Skizozrenia pada tahun 1898. Dia membedakan dua kelompok utama psikosis yang
disebutnya endogenic, atau disebabkan secara internal: penyakit manik-depresi dan dementia praecox.
Meskipun berbagai gangguan tersebut secara simtomatik berbeda, Kraepelin yakin mereka memiliki
kesamaan inti dan istila dementia praecox mencerminkan apa yang diyakininya merupakan inti tersebut-
yaitu terjadi pada usia awal (praecox) dan perjalanan yang memburuk yang ditandai oleh deteriorasi
intelektual progresif (demensia).
Konsep Skizofrenia yang diperluas di Amerika Serikat merupakan pengaruh besar dari Bleurer.
Selama paruh pertama abad ke 20 diagnosis tersebut semakin meluas. Presentasi pasien yang
didiagnosis sebagai skizofrenik di rumah sakit Maudsley di London, meningkat 20 persen dalam kurun
waktu 40 tahun (Kuriansky, Deming & Gurland, 1974, dalam Gerald, 2012).
Penyebab meningkatnya frekuensi diagnosis skizofrenia di AS dapta diketahui dengan mudah.
Beberapa figure penting di dunia psikiatri AS lebih memperluas konsep Skizofrenia Bleurer yang pada
dasarnya sudah luas. Contohnya, pada tahun 1933, Kasanin menggambarkan Sembilan pasien yang
didiagnosisi menderita dementia praecox. Pada mereka gangguan tersebut timbul secara mendadak dan
penyembuhannya relative cepat. Mengamati bahwa gangguan yang merak alami dapat dikatakan
sebagai kombinasi skizofrenik dan simtom-simtom afektif, Kasanin mengajukan istilah psikosis
skizoafektif untuk menggambarkan berbagai gangguan yang dialami para pasien tersebut. Diagnosis
tersebut kemudian menjadi bagian konsep skozofrenia di AS dan dicantumkan dalam DSM-I (1952)
dan DSM-II (1968). Konsep Skizofrenia lebih jauh diperluas dengan penambahan tiga praktik-praktik
diagnosis.
1. Para ahli klinis AS mendiagnosis skizofrenia bila terjadi waham dan halusinasi. Karena
simtom-simtom ini terutama delusi, juga terjadi dalam gangguan mood, banyak pasien yang
menerima diagnosis skizofrenia berdasarkan DSM-II sebenarnya mengalami gangguan mood
(Cooper dkk; 1972)
2. Para pasien yang dewasa ini didiagnosis mengalami gangguan kepribadian terutama skizotipal,
skizoit, ambang dan gangguan kepribadian paranoid, didiagnosis sebagai skizofrenik
berdasarka kriteria DSM-II.
3. Para pasien yang mengalami simtom-simtom skizofrenik yang terjadi secara akut dengan
kesembuhan yang cepat didiagnosis menderita skizofrenia.

Berawal dari DSM-III (APA, 1980) dan berlanjut dalam DSM-IV (APA. 1994) dan DSM-IV-
TR (APA, 2000), konsep skizofrenia di AS mengalami perubahan besar dari defenisi terdahulu yang
meluas menjadi lima praktik-praktik diagnosis. Kriteria-kriteria simtomatik tersebut dapat diterapkan
untuk semua budaya. Meskipun para pasien di Negara-negara berkembang memiliki kejadian yang lebih
akut dibanding para pasien di masyarakat industri.

Kategori Skizofrenia dalam DSM-IV-TR


Tiga tipe gangguan skizofrenik yang tercantum dalam DSM-IV-TR pertama kali dikemukakan oleh
Kraeplin bertahun-tahun lalu.
1. Skizofrenia Disorganisasi
Bentuk hebefrenik skizofrenia yang dikemukakan Kraepelin disebut skizofrenia disorganisasi
dalam DSM-IV-TR. Cara bicara mereka mengalami disorganisasi dan sulit dipahami oleh endengar.
Pasien dapat berbicara secara idak runtut, menggabungka kata-kata baru, seringkali disertai
kekonyolan atau tawa. Ia dapat memiliki afek datar atau terus-menerus mengalami perubahan emosi
yang dapat meledak. Menjadi tangis atau tawa yang tidak dapat dipahami.
2. Skizofrenia Katatonik
Ciri utama pada skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat meliputi
ketidakbergerakan (motoric immobility), aktivitas motoric yang berlebihan, negativism yang
ekstrim, mutism (sama sekali tidak mau berbicara atau berkomunikasi), gerakan-gerakan yang tidak
terkendali, echolia (mengulang ucapan orang lain) atau echopraxia (mengikuti tingkah laku orang
lain). Motoric immobility dapat dimunculkan berupa catalepsy (waxy flexibility – tubuh menjadi
sangat fleksibel untuk digerakkan atau diposisikan dengan berbagai cara (Setiadi, 2006).
3. Skizofrenia Paranoid
Dalam Setiadi (2006) disebutkan bahwa ciri utama skizofrenia tipe ini adalah adanya waham yang
mencolok atau halusinasi auditori. Wahamnya biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran,
atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya, waham kecemburuan, keagamaan, atau
somatisasi) mungkin juga muncul. Wahamnya mungkin lebih dari satu tetapi tersusun dengan rapi
disekitar tema utama. Halusinasi juga biasanya berkaitan dengan tema wahamnya.
4. Skizofrenia tipe Undifferentiated
Sejenis skizofrenia dimana gejala-gejala yang muncul sulit untuk digolongkan pada tipe skizofrenia
tertentu.
5. Skizofrenia residual
Diagnosis skizofrenia tipe residual diberikan bila mana pernah ada paling tidak satu kali episode
skizofrenia, tetapi gambaran klinis saat ini tanpa simtom positif yang meninjol. Terdapat bukti
bahwa gangguan masih ada sebagaimana ditandai oleh adanya negative simtom atau simtom positif
yang lebih halus.
 Simtom Klinis Skizofrenia
Simtom-simtom yang dialami pasien skizofrenia mencakup gangguan dalam beberapa hal penting-
pikiran persepsi perhatian; perilaku motoric; afek atau emosi; dan keberfungsian hidup. Bagi para ahli
diagnostic DSM menentukan berapa banyak masalah yang harus ada dan seberapa tinggi kadarnya
untuk menjustifikasi penegakan diagnosis. Durasi gangguan juga penting dalam menegakkan diagnosis.
Simtom-simtom utama skizofrenia dalam tiga kategori : positif, negative dan disorganisasi. Kami juga
menyajikan beberapa simtom yang tidak cukup sesuai untuk digolongkan kedalam ketiga kategori
tersebut.
1. Simtom positif
Simtom-simtom positif mencakup hal-hal yang berlebihan dan distorsi, seperti halusinasi dan
waham. Simtom-simtom ini, sebagian terebesarnya, menjadi ciri suatu episode akut
skizofrenia.
a) Delusi (waham)
Waham (delusi), yaitu keyakinan yang berlawanan dengan kenyataan, semacam itu
merupakan simtom-simtom positif yang umum pada skizofrenia. Waham memiliki
bentuk lain. Ada beberapa jenis delusi, yaitu :
1) Grandeur (waham kebesaran)
Pasien yakin bahwa mereka adalah seseorang yang sangat luar biasa, misalnya
seorang artis terkenal, atau seorang nabi atau merasa diri sebagai Tuhan.
2) Guilt (waham rasa bersalah)
Pasien merasa bahwa mereka telah melakukan dosa yang sangat besar.
3) Ill health (waham penyakit)
Pasien yakin bahwa mereka mengalami penyakit yang sangat serius.
4) Jealously (waham cemburu)
Pasien yakin bahwa mereka telah berlaku tidak setia.
5) Passivity (waham pasif)
Pasien yakin bahwa mereka dikendalikan atau dimanipulasi oleh berbagai
kekuatana dari luar, misalnya oleh sesuatu pancaran sinar radio makhluk
mars.
6) Persecution (waham kejar)
Paisen merasa dikejar-kejar oleh pihak-pihak tertentu yang ingin
mencelakainya.
7) Poverty (waham kemiskinan)
Pasien takut mereka mengalami kebangkrutan, dimana pada kenyataanya
tidak demikian.
8) Reference (waham rujukan)
Pasien meras dibicarakan oleh orang lain secara luas, misalnya menjadi
pembicaraan masyarakat atau disiarkan di televise.
b) Halusinasi
Halusinasi adalah persepsi sensorik yang salah dimana tidak terdapat stimulus sensorik
yang berkaitan dengannya. Halusinasi dapat berwujud penginderaan kelima indera
yang keliru, tetapi yang paling sering adalah halusinasi dengar (auditory) dan
halusinasi penglihatan (visual). Contoh halusianasi : pasien merasa mendengar suara-
suara yang mengajaknya bicara padahal kenyataannya tidak ada orang yang
mengajaknya bicara; atau pasien merasa melihat sesuatu yang pada kenyataannya tidak
ada.
2. Simtom negative
Simtom-simtom negative skizofrenia mencakup berbagai deficit behavioral, seperti avolition,
alogia, anhedonia, afek datar, dan asosialitas. Simtom-simtom ini cenderung bertahan
melampaui satu episode akut dan memiliki efek parah terhadap kehidupan para pasien
skozofrenia. Simtom-simtom ini juga penting secara prognostic; banyaknya simtom negative
merupakan predictor kuat terhadap kualitas hidup yang rendah (ketidak mampuan kerja, hanya
memiliki sedikit teman) dua tahun setelah dirawat rumah sakit (Ho dkk., 1998).
Ketika mengukur simtom-simtom negative, penting untuk memilah mana yang merupakan
simtom-simtom skizofrenia yang sesungguhnya dan simtom-simtom yang disebabkan oleh
beberapa faktor lain (Carpenter, Heinrichs & Wagman, 1988, dalam Gerald, 2012).
a) Avolition
Apati atau avolution merupakan kondisi kurangnya energy dan ketiadaan minat atau
ketidak mampuan untuk tekun untuk melakukan apa yang biasanya merupakan
aktivitas rutin. Pasien daoat menjadi tidak tertarik untuk berdandan dan menjaga
kebersihan diri, dan rambut yang tidak tersisir, kuku kotor gigi yang tidak disikat dan
pakaian yang berantakan.
b) Alogia
Merupakan suatu gangguan pikiran negative, alogia dapat terwujud dalam beberapa
bentuk. Dalam miskin percakapan, jumlah total percakapan yang sangat jauh
berkurang, jumlah percakapan memadai, namun hanya mengandung sedikit informasi
dan cenderung membingungkan serta diulang-ulang.
c) Anhedonia
Ketidak mampuan untuk merasakan kesengangan. Ini tercermin dalam kurangnya
minat dalam berbagai aktivitas rekreasional gagal untuk mengembangkan hubungan
dekat denga orang laindan kurangnya minat dalam hubungan seks.
d) Afek datar
Pada pasien yng memiliki afek datar hampir tidak ada yang dapat memunculkan respon
emosional. Pasien menatap dengan pandangan kosong, otot-otot wajah meraka kendur
dan mata mereka tidak hidup. Ketika diajak bicara, pasien menjawab dengan suara
datar dan tanpa nada. Konsep afek datar hanya merujuk pada ekspresi emosi yang
tampak dan tidak pada pengalaman diri pasien, yang bisa saja sama sekali tidak
mengalami pemiskinan.
e) Asosialitas
Yaitu mengalami ketidakmampuan parah dalam hubungan social. Mereka hanya
memiliki sedikit teman, keterampilan social yang rendah, dan sangat kurang berminat
untuk bekumpul bersama orang lain.
3. Simtom disorganisasi

Simtom disorganisasi mencakup disorganisai pembicaraan dan perilaku aneh (bizarre).

a) Disorganisasi pembicaraan (Disorganized Speech)


Juga dikenal sebagai gangguan berpikir formal, merujuk pada masalah dalam
mengorganisasi berbagai pemikiran dan dalam berbicara sehingga pendengar dapat
memahaminya. Bicara juga dapat terganggu karena suatu hal yang disebut asosiasi
longgar atau keluar jalur (derailment) yang merupakan suatu aspek gangguan pikiran
dimana pasien mengalami kesulitan untuk tetap berada pada satu topik dan terhanyut
dalam serangkaian asosiasi yang dimunculkan oleh suatu pemikiran dari masa lalu.
Asosiasi mental tidak diatur oleh logika, tetapi oleh aturan-aturan tertentu yang hanya
dimiliki oleh pasien.
b) Perilaku aneh
Perilaku aneh terwujud dalam banyak bentuk. Pasien dapat meledak dalam kemarahan
atau konfrontasi singkat yang tidak dimengerti, memakai pakaian yang tidak biasa,
bertingkah laku seperti anak-anak atau dengan gaya yang konyol dan lain-lain. Mereka
tampak kehilangan kemampuan untuk mengatur perilaku mereka dan
menyesuaikannya dengan berbagai standar masyarakat. Mereka juga mengalami
kesulitan melakukan tugas sehari-hari dalam hidup.
4. Simtom lain

Dua simtom penting dalam kelompok ini adalah :

o Katatonia
Beberapa abnormalitass motoric menjadi ciri katatonia. Para pasien dapat melakukan
suatu gerakan berulang kali, menggunakan urutan yang aneh dan kadang kompleks
antara gerakan jari, tangan, dan lengan yang sering kali tampaknya memiliki tujuan
tertentu. Beberapa pasien menunjukkan peningkatan yang tidak biasa pada
keseluruhan kadar aktivitas, termasuk sangat riang, menggerakkan anggota badan
secara liar, dan pengeluaran energy yang sangat besar. Di ujung lain spectrum ini
adalah imobilitas katatonik : pasien menunjukkan berbagai postur yang tidak biasa dan
tetap dalam waktu yang lama. Pasien katatonik juga memiliki fleksibiltas lilin-orang
lain dapat menggerakkan anggota badan seorang pasien dalam posisi aneh dalam
waktu yang lama.
o Afek yang tidak sesuai
Afek yang tidak sesuai merupakan respon-respon emosional yang berada diluar
konteks, misalnya tertawa ketika mendengar berita duka.
 Etiologi Skizofrenia
Etiologi adalah semua faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan suatu gangguan atau penyakit.
Skizofrenia dapat dianggap sebagai gangguan yang penyebabnya multipel yang saling berinteraksi.
Diantara faktor multipel itu dapat disebut :
1. Keturunan
Penelitian pada keluarga penderita skizofrenia terutama anak kembar satu telur. Angka
kesakitan bagi saudara tiri 0,9%-1,8%, bagi saudara kandung 7- 15%, anak dengan salah satu
orang tua menderita skizofrenia 7-16%. Apabila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-
60%, kembar dua telur 2-15%. Kembar satu telur 61-68% (Maramis, 2009). Menurut hukum
Mendel skizofrenia diturunkan melalui genetik yang resesif (Lumbantobing, 2007).
2. Gangguan anatomic
Dicurigai ada beberapa bangunan anatomi di otak berperan yaitu : Lobus temporal, sistem
limbik dan reticular activating system. Ventrikel penderita skf lebih besar daripada kontrol.
Pemeriksaan MRI menunjukan hilangnya atau 9 berkurangnya neuron dilobus temporal.
Didapatkan menurunnya aliran darah dan metabolisme glukosa di lobus frontal. Pada
pemeriksaan post mortem didapatkan banyak reseptor D2 diganglia basal dan sistem limbik,
yang dapat mengakibatkan meningkatnya aktivitas DA sentral (Lumbantobing, 2007).
3. Biokimiawi
Saat ini didapat hipotese yang mengemukan adanya peranan dopamine, kateklolamin,
norepinefrin dan GABA pada skf (Lumbantobing, 2007).
Setiadi (2006) menggolongkan etiologi skizofrenia ke dalam dua pendekatan, yaitu
somatogenesis dan psikogenesis.
 Somatogenesis
Pendekatan somatogenesis berusaha memahami kemunculan skizofrenia sebagai akibat dari
berbagai proses biologis dalam tubuh.
a. Genetik
Berbagai peneltian menunjukkan bahwa gen yang diwarisi seseorang, sangat kuat memengaruhi
resiko seseorang mengalami skizofrenia. Studi pada keluarga telah menunjukkan bahwa semakin
dekat relasi seseorang dengan pasien skizofrenia, makin besar pula resikonya ia mengalami
penyakit tersebut. Namun, para kerabat kasus penderita skizofrenia tidak hanya memiliki gen yang
sama, namun juga pengalaman yang sama (Davidson, 2012).
Studi adopsi. Sebuah studi yang dilakukan oleh Heston (1996) berhasil memantau 47 orang anak
yang dari para ibu yang menderita skizofrenia, yang sejak bayi dipisahkan dari ibu mereka dan
dibesarkan oleh orang tua asuh. 50 peserta control diseleksi dari panti asuhan yang sama dengan
anak-anak dari para ibu skizofrenia. Hasilnya menunjukkan bahwa 31 anak dari 47 anak yang
memiliki ibu skizofrenik (66%) menerima suatu diagnosis DSM, dibandingkan hanya 9 anak dari
50 peserta control (18%). Tidak satupun dari peserta control yang mendapat diagnosis skizofrenia,
namun 16,6% keturunan dari ibu skizofrenik juga mendapat diagnosis yang sama. Studi ini
menunjukkan bahwa faktor- genetic berperan penting dalam terjadinya skizofrenia.
b. Biocemistry (Ketidakseimbangan Kimiawi Otak)
Beberapa bukti menunjukkan bahwa skizofrenia mungkin berasal dari ketidak seimbangan kimiawi
otak yang disebut neurotransmitter – yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron
berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas
neurotransmitter dopamine yang berlebihan dibagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan
sensitivisas yang abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas
dopamine yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter
tampaknya juga memainkan peranan.
c. Neuroanatomy (Abnormalitas Struktur Otak)
Berbagai teknik imaging, seperti MRI(Magnetic Resonance Imaging) dan PET telah membantupara
ilmuwan untuk menemukan abnormalitas structural spesifik pada otak pasien skizofrenia yang
kronis cenderung memiliki vertical otak yang lebih besar. Mereka juga memiliki voume jaringan
otak yang lebih sedikit daripada orang normal. Pasien sizofrenia menunjukkan aktivitas yang sangat
rendah pada lobus frontalis otak. Ada juga kemungkinan abnormalitas dibagian-bagian lain otak
seerti di lobus temporalis, basal ganglia, thalamus, hippocampus, dan superior temporal gyrus.
MRI menunjukka perbedaan stuktural antara otak orang dewasa ormal di sebelah kiri dengan
otak pasien skizofrenia di sebelah kanan. Otak pasien skizofrenia menunjukkan pembesaran
ventrikal, namun tidak semua pasien skizofrenia menunjukkan abnormalias ini.
 Psikogenesis
Pemahaman kemunculan skizofrenia menurut pendekatan psikologis (khususnya psikodinamik).
 Pandangan Sigmund Freud
Menurut pandangan psikodinamika, skizofrenia mencerminkan ego yang dibanjirinya oleh
dorongan-dorongan seksual primitif atau agresif atau impuls-impuls yang berasal dari id. Impuls-
ilmpuls tersebut mengancam ego dan berkembang menjadi konflik intrapsikis yang kuat. Di bawah
ancaman seperti itu, orang tersebut mundur ke periode awal dari tahapan oral, yang disebut sebagai
narsisme primer. Pada periode ini bayi belum belajar bahwa dunia dan dirinya adalah hal yang
berbeda. Karena ego menjembatani hubungan antara diri degan dunia luar, kerusakan pada fungsi
ego ini berpengaruh terhadap adanya jarak terhadap realitas yang khas skizofrenia. Masukan dari
id menyebabkan fantasi menjadi disalahartikan sebagai realitas, menyebabkan halusinasi dan
waham. Impuls-impuls primitif mungkin juga membawa beban yang lebih berat daripada norma-
norma sosial dan diekspresikan pada perilaku yang aneh, dan tidak sesuai secara sosial.
 Pandangan Harry Stack Sullivan
Sullivan (1962), menekankan pentingnya hubungan ibu dan anak yang terganggu, dan
mengemukakan argumentasi bahwa hal tersebut dpat menetapkan tahapan untuk penarikan diri
secara perlahan-lahandari orang lain. Pada masa kanak-kanak awal, interaksi yang penuh
kecemasan dan permusuhan antara anak dan orang tua membawa anak untuk mencari perlindungan
pada dunia fantasi yang bersifat pribadi. Lingkaran setan pun terjadi: Semakin anak menarik diri,
semakin berkurang kesempatan yang ada untuk membangun kepercayaan pada orang lain dan
keterampilan sosial yang dibutuhkan untuk membangun keintiman. Kemudian ikatan yang lemah
antara anak dan orang lain mendorong kecemasan sosial dan penarikan diri yang lebih jauh. Siklus
ini berlanjut sampai masa dewasa muda. Kemudian, dihadapkan dengan meningkatnya tuntutan di
sekolah atau pekerjaan dan dalam hubungan intim, orang tersebut menjadi semakin dibanjiri dengan
kecemasan dan menarik diri sepenuhnya ke dunia fantasi.
 Pandangan aliran Ego Psychology
Federn (1952) mengatakan bahwa pasien skizofrenia memiliki batasan antara yang ada di dalam
dan diluar karena ego boundary mereka tidak memadai lagi. Mahler (1952) mengatakan bahwa ego
boundary berkembang dari kontak fisik antara ibu dan bayi. Tidak adanya stimulus ini pada dyad
ibu-bayi mengakibatkan kesulitan pasien skizofrenia membedakan diri dengan orang lain.
Kecenderungan pasien skizofrenia dewasa untuk menyatu secara psikologis dengan sekeliling
mereka dapat dipahami sebagai usaha untuk membangun kembali kebahagiaan simbiotik di masa
awal kehidupan. Namun demikian, kebersatuan ini juga mengakibatkan ketakutan akan
penghancuran diri, mengakibatkan pasien skizofrenia merasa terjebak antara keinginan untuk
bersatudan ketakutan akan disintegrasi.
 Pandangan Object Relations Theory
Skizofrenia memutuskan relasi penderitanya dari orang-orang lain. Pasien skizofrenia dikatakan di
dunianya sendiri, dunia yang tak dikenal oleh orang lain selain dirinya. Laing mengatakan bahwa
penderita skizofrenia tidak merasa nyaman di dalam dunia, tidak mampu mengalami dirinya
bersama dengan orang lain dan juga tidak mengalami dirinya sendiri utuh, melainkan terbelah
dalam berbagai cara. Kondisi keterpisahan dari relasi denga orang lain merupakan akibat dari
gangguan dari relasi paling awal, yaitu relasi antara bayi dan pengasunya.
 Stres Psikologis dan Skizofrenia
Stres psikologis berperan penting dengan cara berinteraksi dengan kerentanan biologis untuk
menimbulkan penyakit ini. Data menunjukkan bahwa, sebagaimana pada banyak gangguan yang
telah dibahas, peningkatan stres kehidupan meningkatkan kemungkinan kekambuhan. Para individu
yang mengalami skizofrenia tampak sangat reaktif terhadap berbagai stresor yang kita hadapi dalam
kehidupan sehari-hari. Orang dengan gangguan skizofrenia sangat rentan terhadap stres sehari-hari.
a. Kelas Sosial dan Skizofrenia.
Angka kejadian tertinggi skizofrenia terdapat di berbagai wilayah pusat kota yang dihuni oleh
masyarakat dari kelas-kelas sosial rendah. Hubungan antara kelas sosial dan skizofrenia tidak
menunjukkan tingkat kejadian skizofrenia yang semakin tinggi seiring dengan semakin rendahnya
kelas sosial. Namun, terdapat perbedaan yang sangat tajam antara jumlah orang yang menderita
skizofrenia dalam kelas sosial terendah dan jumlah penderita skizofrenia pada berbagai kelas sosial
lain.
Korelasi antara kelas sosial dan skizofrenia memiliki konsistensi, namun sulit untuk
menginterpretasikannya secara kausal. Beberapa orang percaya bahwa stresor yang berhubungan
dengan kelas sosial rendah dapat menyebabkan atau berkontribusi terhadap terjadinya skizofrenia
yaitu hipotesis sosiogenik. Perlakuan merendahkan yang diterima seseorang dari orang lain, tingkat
pendidikan yang rendah dan kurangnya penghargaan serta kesempatan secara bersamaan dapat
menjadikan keberadaan seseorang dalam kelas sosial terendah sebagai kondisi yang penuh stres
yang membuat seseorang setidak-tidaknya yang memiliki predisposisi menderita skizofrenia.
b. Teori seleksi-sosial, membalikan arah kausalitas antara kelas sosial dan skizofrenia. Dalam
perjalanan berkembangnya psikosis mereka, orang-orang yang menderita skizofrenia dapat terseret
ke dalam wilayah kota yang miskin. Berbagai masalah kognitif dan motivasional yang semakin
berkembang yang membebani para individu tersebut dapat sangat melemahkan kemampuan mereka
untuk memperoleh pendapat sehingga mereka tidak mampu tinggal di wilayah lain. Atau, mereka
memilih untuk pindah ke wilayah di mana mereka hanya menghadapi sedikit tekanan sosial dan di
mana mereka dapat melarikan diri dari hubungan sosial yang mendalam.
Secara ringkas, data-data yang ada lebih mendukung teori seleksi sosial dibanding teori sosiogenik.
Namun, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa lingkungan sosial tidak memiliki peran apapun dalam
skizofrenia.
c. Keluarga dan Skizofrenia. Hubungan keluarga terutama antara ibu dan anak laki-laki, sebagai hal
penting dalam terjadinya skizofrenia. Berbagai studi terhadap keluarga para indivdu yang menderita
skizofrenia mengungkap bahwa dalam beberapa hal mereka berbeda dari keluarga normal.
Beberapa temuan menunjukkan bahwa komunikasi buruk orang tua dapat berperan dalam etiologi
skizofrenia. Penyimpangan komunikasi dalam keluarga ditemukan memprediksi terjadinya
skizofenia kelak pada anak-anak mereka, memperkuat signifikansinya. Meskipun demikian,
penyimpangan komunikasi bukan faktor etiologis spesifik bagi skizofrenia karena orang tua para
orang dengan gangguan skizofrenia manik sama tingginya pada variabel ini. Lingkungan keluarga
yang terganggu merupakan akibat dari adanya anak yang terganggu dalam keluarga. Dengan
demikian, kita hanya dapat mengatakan dengan tidak pasti bahwa peran keluarga dalam etiologi
skizofrenia telah dikethui.

Serangkaian studi yang dilakukan di London mengindikasikan bahwa keluarga dapat memberikan
dampak penting terhadap penyesuaian orang dengan gangguan skizofrenia setelah mereka keluar
dari rumah sakit. Lingkungan di mana orang dengan gangguan skizofrenia tinggal setelah keluar
dari rumah sakit sangat berpengaruh pada seberapa cepat mereka akan kembali dirawat di rumah
sakit.
 Terapi Skizofrenia
 Penanganan Biologis
a. Terapi Kejut dan Psychosurgery
Diawal tahun 1930-an praktik menimbulkan koma dengan memberika insulin dalam dosis tinggi
diperkenalkan oleh Sakel (1938), yang mengklaim bahwa ¾ dari para pasien skizofrenia yang
ditanganinya menunjukkan perbaikan signifikan. Berbagai temuan terkemudian oleh para peneliti
lain kurang mendukung hal tersebut, dan terapi koma-insulin – yang beresiko serius terhadap
kesehatan, termasuk koma yang tidak dapat disadarkan dan kematian– secara bertahap
ditinggalkan. Pada tahun 1935, Moniz, seorang psikiater memperkealkan lobotomy prefrontalis,
suatu proses pembedahan yang membuang bagian-bagian yang menghubungkan lobus frontalis
dengan pusat otak bagian bawah.
b. Terapi Somatik (Medikamentosa)
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut antipsikotik. Antipsikotik
bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir yang terjadi pada Skizofrenia. Pasien
mungkin dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum mendapatkan obat atau kombinasi
obat antipsikotik yang benar-benar cocok bagi pasien. Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun
yang lalu dan merupakan terapi obat-obatan pertama yang efekitif untuk mengobati Skizofrenia.
Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu antipsikotik konvensional, newer
atypical antipsycotics, dan Clozaril (Clozapine).
 Antipsikotik Konvensional
Obat antipsikotik yang paling lama penggunannya disebut antipsikotik konvensional.
Walaupun sangat efektif, antipsikotik konvensional sering menimbulkan efek samping yang
serius. Contoh obat antipsikotik konvensional antara lain :
 Haldol (haloperidol)
 Mellaril (thioridazine)
 Navane (thiothixene)
 Prolixin (fluphenazine)
 Stelazine ( trifluoperazine)
 Thorazine ( chlorpromazine)
 Trilafon (perphenazine)
Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh antipsikotik konvensional,
banyak ahli lebih merekomendasikan penggunaan newer atypical antipsycotic. Ada 2
pengecualian (harus dengan antipsikotok konvensional). Pertama, pada pasien yang sudah
mengalami perbaikan (kemajuan) yang pesat menggunakan antipsikotik konvensional tanpa
efek samping yang berarti. Biasanya para ahli merekomendasikan untuk meneruskan
pemakaian antipskotik konvensional. Kedua, bila pasien mengalami kesulitan minum pil
secara reguler. Prolixin dan Haldol dapat diberikan dalam jangka waktu yang lama (long acting)
dengan interval 2-4 minggu (disebut juga depot formulations). Dengan depot formulation, obat
dapat disimpan terlebih dahulu di dalam tubuh lalu dilepaskan secara perlahan-lahan. Sistem
depot formulation ini tidak dapat digunakan pada newer atypic antipsychotic.

 Newer Atypcal Antipsycotic


Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena prinsip kerjanya berbda, serta
sedikit menimbulkan efek samping bila dibandingkan dengan antipsikotik konvensional.
Beberapa contoh newer atypical antipsycotic yang tersedia, antara lain :
a) Risperdal (risperidone)
b) Seroquel (quetiapine)
c) Zyprexa (olanzopine)
 Clozaril
Clozaril mulai diperkenalkan tahun 1990, merupakan antipsikotik atipikal yang pertama.
Clozaril dapat membantu ± 25-50% pasien yang tidak merespon (berhasil) dengan antipsikotik
konvensional. Sangat disayangkan, Clozaril memiliki efek samping yang jarang tapi sangat
serius dimana pada kasus-kasus yang jarang (1%), Clozaril dapat menurunkan jumlah sel darah
putih yang berguna untuk melawan infeksi. Ini artinya, pasien yang mendapat Clozaril harus
memeriksakan kadar sel darah putihnya secara reguler. Para ahli merekomendaskan
penggunaan. Clozaril bila paling sedikit 2 dari obat antipsikotik yang lebih aman tidak berhasil.
Sediaan Obat Anti Psikosis dan Dosis Anjuran
No Nama Generik Sediaan Dosis
1 Klorpromazin Tablet, 25 dan 100 mg, 150-
600mg/hariInjeksi25mg/ml
2 Haloperidol Tablet, 0,5 mg, 1,5 mg, 5 mg, 5-15 mg/hari Injeksi5mg/ml
3 Perfenazin Tablet 2, 4, 8 mg 12 - 24 mg/hari
4 Flufenazin Tablet 2,5 mg, 5 mg 10 - 15 mg/hari
5 Flufenazin dekanoat Inj 25 mg/ml 25 mg/2-4 minggu
6 Levomeprazin Tablet 25 mg, Injeksi 25 25 - 50 mg/hari
mg/ml
7 Trifluperazin Tablet 1 mg dan 5 mg 10 - 15 mg/hari
8 Tioridazin Tablet 50 dan 100 mg 150 - 600 mg/hari
9 Sulpirid Tablet 200 mg 300 - 600 mg/hari
10 Pimozid Tablet 1 dan 4 mg 1 - 4 mg/hari
11 Risperidon Tablet 1, 2, 3 mg 2 - 6 mg/hari

Pemilihan Obat untuk Episode (Serangan) Pertama


Newer atypical antipsycoic merupakn terapi pilihan untuk penderita Skizofrenia episode pertama karena
efek samping yang ditimbulkan minimal dan resiko untuk terkena tardive dyskinesia lebih rendah.
Biasanya obat antipsikotik membutuhkan waktu beberapa saat untuk mulai bekerja. Sebelum diputuskan
pemberian salah satu obat gagal dan diganti dengan obat lain, para ahli biasanya akan mencoba
memberikan obat selama 6 minggu (2 kali lebih lama pada Clozaril)
Pemilihan Obat untuk keadaan relaps (kambuh)
Biasanya timbul bila pendrita berhenti minum obat, untuk itu, sangat penting untuk mengetahui alasan
mengapa penderita berhenti minum obat. Terkadang penderita berhenti minum obat karena efek
samping yang ditimbulkan oleh obat tersebut. Apabila hal ini terjadi, dokter dapat menurunkan dosis
menambah obat untuk efek sampingnya, atau mengganti dengan obat lain yang efek sampingnya lebih
rendah. Apabila penderita berhenti minum obat karena alasan lain, dokter dapat mengganti obat oral
dengan injeksi yang bersifat long acting, diberikan tiap 2- 4 minggu. Pemberian obat dengan injeksi
lebih simpel dalam penerapannya. Terkadang pasien dapat kambuh walaupun sudah mengkonsumsi
obat sesuai anjuran. Hal ini merupakan alasan yang tepat untuk menggantinya dengan obat obatan yang
lain, misalnya antipsikotik konvensonal dapat diganti dengan newer atipycal antipsycotic atau newer
atipycal antipsycotic diganti dengan antipsikotik atipikal lainnya. Clozapine dapat menjadi cadangan
yang dapat bekerja bila terapi dengan obat-obatan diatas gagal.
Pengobatan Selama fase Penyembuhan
Sangat penting bagi pasien untuk tetap mendapat pengobatan walaupun setelah sembuh. Penelitian
terbaru menunjukkan 4 dari 5 pasien yang behenti minum obat setelah episode petama Skizofrenia dapat
kambuh. Para ahli merekomendasikan pasien-pasien Skizofrenia episode pertama tetap mendapat obat
antipskotik selama 12-24 bulan sebelum mencoba menurunkan dosisnya. Pasien yang mendertia
Skizofrenia lebih dari satu episode, atau balum sembuh total pada episode pertama membutuhkan
pengobatan yang lebih lama. Perlu diingat, bahwa penghentian pengobatan merupakan penyebab
tersering kekambuhan dan makin beratnya penyakit.
Efek Samping Obat-obat Antipsikotik
Karena penderita Skizofrenia memakan obat dalam jangka waktu yang lama, sangat penting untuk
menghindari dan mengatur efek samping yang timbul. Mungkin masalah terbesar dan tersering bagi
penderita yang menggunakan antipsikotik konvensional gangguan (kekakuan) pergerakan otot-otot
yang disebut juga Efek samping Ekstra Piramidal (EEP). Dalam hal ini pergerakan menjadi lebih lambat
dan kaku, sehingga agar tidak kaku penderita harus bergerak (berjalan) setiap waktu, dan akhirnya
mereka tidak dapat beristirahat. Efek samping lain yang dapat timbul adalah tremor pada tangan dan
kaki. Kadang-kadang dokter dapat memberikan obat antikolinergik (biasanya benztropine) bersamaan
dengan obat antipsikotik untuk mencegah atau mengobati efek samping ini. Efek samping lain yang
dapat timbul adalah tardive dyskinesia dimana terjadi pergerakan mulut yang tidak dapat dikontrol,
protruding tongue, dan facial grimace. Kemungkinan terjadinya efek samping ini dapat dikurangi
dengan menggunakan dosis efektif terendah dari obat antipsikotik. Apabila penderita yang
menggunakan antipsikotik konvensional mengalami tardive dyskinesia, dokter biasanya akan
mengganti antipsikotik konvensional dengan antipsikotik atipikal.
Obat-obat untuk Skizofrenia juga dapat menyebabkan gangguan fungsi seksual, sehingga banyak
penderita yang menghentikan sendiri pemakaian obat-obatan tersebut. Untuk mengatasinya biasanya
dokter akan menggunakan dosis efektif terendah atau mengganti dengan newer atypical antipsycotic
yang efek sampingnya lebih sedikit. Peningkatan berat badan juga sering terjadi pada penderita
Sikzofrenia yang memakan obat. Hal ini sering terjadi pada penderita yang menggunakan antipsikotik
atipikal. Diet dan olah raga dapat membantu mengatasi masalah ini. Efek samping lain yang jarang
terjadi adalah neuroleptic malignant syndrome, dimana timbul derajat kaku dan termor yang sangat
berat yang juga dapat menimbulkan komplikasi berupa demam penyakit-penyakit lain. Gejala-gejala ini
membutuhkan penanganan yang segera.
 Penanganan psikologis
a. Terapi Psikodinamika
Psikoanalisis seperti Harry Stack Sullivan dan Frieda Fromm-Reichmann, mengadaptasi teknik
psikoanalisis secara spesifik untuk perawatan skizofrenia. Namun, penelitian gagal menunjukan
efektivitas terapi psikoanalisis maupun psikodinamika untuk skizofrenia. Dengan keterangan
tentang penemuan-penemuan negatif, beberapa kritik mengemukakan bahwa penggunaan terapi
psikodinamika untuk menangani skizofrenia tidaklah terjamin. Namun hasil yang menjanjikan
dilaporkan untuk sebuah bentuk terapi individual yang disebut terapi personal yang berpijak pada
model diatesis-stres. Tetapi personal membantu pasien beradaptasi secara lebih efektif terhadap
stres dan membantu mereka membangun keterampilan sosial, seperti mempelajari bagaimana
menghadapi kritik dari orang lain. Bukti-bukti awal menjelaskan bahwa terapi personal mungkin
mengurangi rata-rata kambuh dan meningkatkan fungsi sosial, setidaknya di antara pasien
skizofrenia yang tinggal dengan keluarga (Bustillo dkk., 2001; Hogarty dkk., 1997a, 1997b).
b. Terapi Perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan ketrampilan sosial untuk meningkatkan
kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi
interpersonal. Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk
hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa dan pas jalan di rumah sakit. Dengan demikian,
frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di
masyarakat, dan postur tubuh aneh dapat diturunkan.
Meskipun sedikit terapis perilaku yang meyakini bahwa yang salah menyebabkan skizofrenia,
intervensi berdasarkan pembelajaran telah menunjukan efektivitas dalam memodifikasi perilaku
skizofrenia dan membantu orang-orang yang mengalami gangguan ini untuk mengembangkan
perilaku yang lebih adaptif yang dapat membantu mereka menyesuaikan diri secara lebih efektif
untuk hidup dalam komunitas. Metode terapi meliputi teknik-teknik seperti (1) reinforcement
selektif terhadap perilaku (seperti memberikan perhatian terhadap perilaku yang sesuai dan
menghilangkan verbalisasi yang aneh dengan tidak lagi memberi perhatian); (2) token ekonomi,
dimana individu padaunit-unit perawatan di rumah sakit diberi hadiah untuk perilaku yang sesuai
dengan token, seperti kepingan plastik, yang dapat ditukar dengan imbalan yang nyata seperti
barang-barang atau hak-hak istimewa yang diinginkan; dan (3) pelatihan keterampilan sosial, di
amna klien diajarkan keterampilan untuk melakukan pembicaraan dan perilaku sosial lain yang
sesuai melalui coaching (latihan), modeling, latihan perilaku, dan umpan balik.
c. Terapi berorintasi-keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali dipulangkan dalam keadaan remisi
parsial, keluraga dimana pasien skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi
keluarga yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan segera, topik
penting yang dibahas didalam terapi keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan
kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak saudaranya
yang terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana yang terlalu
optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan tentang sifat skizofreniadan dari penyangkalan
tentang keparahan penyakitnya. Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti
skizofrenia tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati. Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa
terapi keluarga adalah efektif dalam menurunkan relaps. Didalam penelitian terkontrol, penurunan
angka relaps adalah dramatik. Angka relaps tahunan tanpa terapi keluarga sebesar 25-50 % dan 5 -
10 % dengan terapi keluarga.
d. Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana, masalah, dan hubungan
dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara
psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial,
meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok
yang memimpin dengan cara suportif, bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling
membantu bagi pasien skizofrenia
e. Psikoterapi individual
Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi individual dalam pengobatan skizofrenia telah
memberikan data bahwa terapi alah membantu dan menambah efek terapi farmakologis. Suatu
konsep penting di dalam psikoterapi bagi pasien skizofrenia adalah perkembangan suatu hubungan
terapetik yang dialami pasien sebagai aman. Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat
dipercayanya ahli terapi, jarak emosional antara ahli terapi dan pasien, dan keikhlasan ahli terapi
seperti yang diinterpretasikan oleh pasien. Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari
yang ditemukan di dalam pengobatan pasien non-psikotik. Menegakkan hubungan seringkali sulit
dilakukan; pasien skizofrenia seringkali kesepian dan menolak terhadap keakraban dan kepercayaan
dan kemungkinan sikap curiga, cemas, bermusuhan, atau teregresi jika seseorang mendekati.
Pengamatan yang cermat dari jauh dan rahasia, perintah sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan
kepekaan terhadap kaidah sosial adalah lebih disukai daripada informalitas yang prematur dan
penggunaan nama pertama yang merendahkan diri. Kehangatan atau profesi persahabatan yang
berlebihan adalah tidak tepat dan kemungkinan dirasakan sebagai usaha untuk suapan, manipulasi,
atau eksploitasi.

 Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalization)


Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik, menstabilkan medikasi,
keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh, prilaku yang sangat kacau termasuk
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar. Tujuan utama perawatan dirumah sakit yang harus
ditegakkan adalah ikatan efektif antara pasien dan sistem pendukung masyarakat. Rehabilitasi dan
penyesuaian yang dilakukan pada perawatan rumahsakit harus direncanakan.
Dokter harus juga mengajarkan pasien dan pengasuh serta keluarga pasien tentang skizofrenia.
Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu mereka menyusun aktivitas
harian mereka. Lamanya perawatan rumah sakit tergantung dari keparahan penyakit pasien dan
tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki
orientasi praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan diri, kualitas hidup, pekerjaan, dan
hubungan sosial. Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat pasien dengan fasilitas
perawatan termasuk keluarga pasien. Pusat perawatan dan kunjungan keluarga pasien kadang
membantu pasien dalam memperbaiki kualitas hidup.
Ringkasnya, tidak ada pendekatan penanganan tunggal yang memenuhi semua kebutuhan orang yang
menderita skizofrenia. Konseptualisasi skizofrenia sebagai disabilitas sepanjang hidup menggaris bawahi
kebutuhan untuk perawatan intervensi jangka panjang yang menggabungkan pengobatan antipsikotik, terapi
keluarga, bentuk-bentuk terapi suportif atau kognitif-behavioral, pelatihan vokasional, dan penyediaan
perumahan yang layak serta pelayanan dukungan sosial lainnya (Bustillo dkk., 2001; Huxley, Rendall, & Sedere,
2000; Sensky dkk., 2000; Tarrier dkk., 2000).

6.Psikiatri Konsultasi Liaison


 DEFINISI
 Consultation-liaison (CL) psychiatry refers to the skills and knowledge utilized in evaluating
and treating the emotional and behavioral conditions in patients who are referred from medical
and surgical settings.
 Latar belakang adanya CLP (Consultation-liasison psychiatry) yakni :
Banyak pasien memiliki komorbiditas antara gangguan psikiatrik dan kondisi medik,
dan lainnya, dan juga masalah emosional dan perilaku yang merupakan hasil dari penyakit
medis baik secara langsung maupun reaksi lanjutan suatu kondisi medis tertentu dan
pengobatannya.
 Konsultasi adalah memberikan pendapat sesuai dengan keahliannya terhadap suatu masalah.
 Liaison :
 Interaksi
 Menjadi perantara atau penghubung antara psikiater dan spesialis lain atau ahli di bagian
lain (bisa bukan dokter) dalam hal pembentukan dan atau peningkatan kepedulian nya
terhadap masalah psikiatrik dan psikososial dalam pelayanan kepada pasien
 Konsultasi liaison adalah deteksi dini, terlibat langsung dalam pelayanan kesehatan dan
pendidikan kepada non-psikiater.
 Consultation Liosian Psychiatry atau Psikiatri Konsultasi Liaison merupakan subspesialisasi
dalam disiplin ilmu kedokteran jiwa/psikiatri yang menjembatani penanganan kasus-kasus
psikiatri dengan penyakit medik umum dan bidang spesialisasi kedokteran lainnya, sehingga
Psikiater Konsultasi Liaison merupakan bagian yang sangat fungsional dalam suatu tim medis
dalam melakukan pendekatan dan tatalaksana pasien dengan kondisi medis umum.
 Liaison psychiatry meliputi area psychosomatic medicine (psikosomatik medik), health
psychology (psikologi kesehatan) dan neuropsychiatry (neuropsikiatri).
 FUNGSI
o Fungsi Klinis
 Memberikan konsultasi sebagai ahli (konsultan)
 Sebagai ahli penghubung dalam masalah psikiatrik dengan kondisi medik lainnya
o Fungsi edukasi
 Untuk pasien, permintaan petugas kesehatan lainnya, perawat dan keluarga pasien, dan
edukasi dalam layanan kesehatan secara luas
 Kebutuhan psikologis pasien berdasarkan kepribadiannya. Kegawatdaruratan
psikiatrik. Penggunaan obat-obat psikotropika dan alasan klinis dalam penggunaannya
o Fungsi administrative
 Mengevaluasi kapasitas pasien untuk tidak menyetujui suatu persetujuan medis atau
untuk menolak prosedur medis/pembedahan dan untuk masalah-masalah perilaku yang
mengganggu
o Penelitian
 Hubungan antara psikiatri dan ilmu kedokteran lainnya

 SINDROM PSIKIATRI PADA LIAISON


 Area otak terkait dengan sirkuit emosi dan kognisi
 Gen, stres dan fungsi otak secara umum pada gangguan psikiatrik
Gambar disamping
menunjukkan bahwa
perkembangan ilmu
psikiatri yang awal
mulanya hanya
mempelajari tentang
perilaku manusia,
sekarang psikiatri juga
mempelajari mRNA
manusia.
KESIMPULAN
 CLP merupakan integrasi pelayanan dengan memahami interaksi hubungan antara psiko (mind)
dan fisik
 Interaksi CLP meliputi study, pelayanan, dan penelitian
 Layanan CLP terdiri dari prevensi, kurasi dan rehabilitasi

DAFTAR PUSTAKA
1. Maria, Josetta. Cemas Normal atau Tidak Normal. Program Studi Psikologi. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
2. Kaplan, H., Sadock, Benjamin. 1997. Gangguan Kecemasan dalam Sinopsis Psikiatri: Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Edisi ke-7 Jilid 2. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Hal. 1-15
3. Kaplan, Harold. I. 1998. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta: Widya Medika. Hal. 145-54
4. Tomb, D. A. 2000. Buku Saku Psikiatri Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal. 96-110
5. Maslim, Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika Atmajaya. Hal. 72-75
6. Adiwena, Nuklear. 2007. Anxietas. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia.
7. Eldido. Anxiety Disorder; Tipe-tipe dan Penanganannya. 20 Oktober 2008.
8. Yates, W. R. 2008. Anxiety Disorders. Update August 13, 2008. www.emedicine.com
9. Anonim. Kecemasan atau Ansietas. Update 32 Desember 2008. www.mitrariset.blogspot.com
10. Ashadi. Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi. Updates 22 Mei 2008. www.sidenreng.com
11. Maslim, Rusdi. 2007. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran Unika Atmajaya. Hal. 12
12. Davidson, G.C., Neale, J.M., Kring, A.M. 2012. Psikologi Abnormal (Ed. 9, Cet.3. Jakarta: Rajawali
Pers
13. Arif, I.S . 2006. Skizofrenia Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Bandung: Refika Aditama

14. Buku panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer edisi tahun 2014

15. http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/KMK_No._HK_.02_.02-MENKES-73-
2015_ttg_Pedoman_Nasional_Pelayanan_Kedokteran_Jiwa_.pdf

16. http://61.8.75.226/itblog/attachments/article/1399/PPK%20PSIKIATRI%202019.pdf

17. K.P. 3.3.4.2 Gangguan Mental Organik Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Tahun 2019

Anda mungkin juga menyukai