Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN TUTORIAL

BLOK PSIKIATRI SKENARIO I

“MENGAMUK”

KELOMPOK XV
BAGAS MUHAMMAD G0014052
IRSYAD HAPSORO RISTIANSAH G0014126
WILDAN SATRIO W G0014240
DWI NUR ABADI G0014076
ALDITA RATNA FIRDHA G0014018
ARINI ALHAQQ G0014044
DIMAR YUDISTYANINGRUM G0014068
FAUZI NOVIA I T G0014096
JESSLYN VALENTINA G0014128
MUTIYAS NADIA ULFA G0014168
RAHMA LUTHFA ANNISA G0014192
SHANTY FITRIA ANDRIANI G0014220

TUTOR :
Arsita Eka P., dr., M.Kes.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2016
BAB I
PENDAHULUAN

SKENARIO I

“MENGAMUK”

Seorang laki-laki usia 25 tahun dibawa ke IGD RS oleh keluargadan


tetangganya karena mengamukhapir membakar rumahnya sendiri. Menurut
keluarganya pasien sering marah-marah dan teriak-teriak tanpa sebab sejak 4
minggu yang lalu. Pasien juga jadi sering curiga terhadap orang lain, bahkan
pasien juga merasa bahwa tetangga dan keluarganya merencanakan niat jahat
terhadap dirinya. Menurut keluarga, sepertinya dia mengalami stress berat karena
hal tersebut terjadi setelah beberapa kali melamar pekerjaan di beberapa tempat
tidak diterima. Sehari-harinya tampak tidak terawat, tidak mau mandi, tampak
bingung, pakaian kusut, dan kumal.
Keluarganya pernah membawanya ke paranormal namun tidak ada
perbaikan, kemudian atas saran kepala desa dia dibawa ke rumah sakit jiwa.
Dokter jaga di RSJ mengatakan bahwa pada pasien didapatkan waham, halusinasi,
dan derealisasi yang menyebabkan perilaku aneh.
Dokter jaga mengatakan bahwa pasien harus dirawat di rumah sakit
selama beberapa hari dan kontrol rutin untuk penanganan yang lebih baik.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa


istilah dalam skenario
Dalam skenario ini kami mengklarifikasi beberapa istilah sebagai berikut :

JUMP 1

1. Stress
Stress adalah usaha penyesuaian diri karena adanya stressor yang
mengganggu keseimbangan badan dan/atau jiwa. Bila tidak dapat
mengatasinya dengan baik, maka akan muncul gangguan badani, perilku
tidak sehat ataupun gangguan jiwa.
2. Waham
Waham adalah Keyakinan palsu, didasarkan pada kesimpulan yang
salah tentang kenyataan eksternal, tidak sejalan dengan intelegensia pasien
dan latar belakang kultural, yang tidak dapat dikoreksi dengan suatu
alasan.
3. Halusinasi
Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apa pun pada
pada pancaindera, dan terjadi dalam keadaan sadar/bangun. Dasarnya
mungkin organik, fungsional, psikotik ataupun histerik.
4. Derealisasi
Derealisasi adalah perasaan aneh tentang lingkungannya dan tidak
sesuai kenyataan, misalnya segala sesuatu dialaminya seperti dalam
mimpi. Ini dibedakan dari kesadaran yang berubah. Derealisasi memiliki
ciri-ciri yaitu merasa emosional terputus dari orang-orang yang disayangi,
lingkungan yang muncul terdistorsi, kabur, tidak berwarna, dua dimensi
atau buatan, atau kesadaran tinggi dan kejelasan lingkungan, distorsi
persepsi waktu, serta distorsi jarak, ukuran dan bentuk benda.
Langkah II: Menentukan/ mendefinisikan permasalahan

Permasalahan pada skenario I antara lain:


1. Apa hubungan masalah yang dialami pasien dengan perilaku pasien
sekarang?
2. Mengapa pasien merasa sering curiga pada orang lain?
3. Apakah ada pengaruhyang dialami pasien dengan jenis kelamin dan umur?
4. Bagaimana mekanisme terjadinya halusinasi dan derealisasi?
5. Mengapa dokter menyarankan harus di rawat di rumah sakit?
6. Apa hubungan keluhan dengan keseharian pasien saat ini?
7. Bagaimana pengklasifikasian gangguan jiwa terutama pada skenario
tersebut?
8. Bagaimana alur diagnosis dari keluhan pasien?
B. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat pertanyaan
sementara mengenai permasalahan dalam langkah II
Dari pertanyaan-pertanyaan di langkah II, pada langkah III ini kami
memperoleh beberapa jawaban sebagai berikut :

1. Apa hubungan masalah yang dialami pasien dengan perilaku pasien


sekarang?
Stresor dan Stres
Stresor dapat diartikan sebagai penghalang, kesukaran, dan aral melintang
yang dihadapi oleh individu dalam mencapai tujuan hidupnya. Usaha
penyesuaian diri untuk mengembalikan keseimbangan badan dan/atau jiwa
yang terganggu disebut stres. Bila individu tidak dapat mengatasi stresor
dengan baik, maka akan muncul gangguan badani, perilaku tidak sehat
ataupun gangguan jiwa. Stresor dapat muncul dari luar individu misalnya tidak
lulus ujian, pernikahan yang tidak harmonis, dan sebagainya. Stresor dapat
juga muncul dari dalam individu itu sendiri, suatu sifat atau ciri yang terlalu
menonjol, misalnya terlalu lekas marah, obsesif, dan sebagainya.
Setiap organisme, terutama manusia, dipacu oleh stres untuk berusaha lebih
keras, tetapi semua ada batasnya. Eustres memacu individu untuk berusaha
lebih keras mencapai kebutuhan atau tujuan. Stres patologis terjadi apabila
dalam usaha mengatasi stres individu tidak dapat berfungsi dengan baik,
mungkin sampai timbul gangguan jiwa ataupun badan.
Langkah pertama dalam menghadapi dan mengatasi stres adalah mengakui
bahwa sedang mengalami stres. Untuk mencegah stres, cara yang paling baik
adalah mengubah sikap terhadap stresor. Makin penting stresor itu dianggap,
akan semakin besar stres yang timbul sebagai akibatnya. Melakukan relaksasi
dapat membantu mengurangi stres maupun mencegah timbulnya stres
patologis.

Patofisiologi stresor dan stres dengan keluhan


Dalam skenario terdapat sressor berat yang dirasakan pasien yaitu
beberapa kali melamar pekerjaan di beberapa tempat tidak diterima. Hal ini
merupakan stressor pasien. Dalam teori psikoneuroimunologi mengatakan
bahwa ketika seseorang mengalami stress maka akan mempengaruhi kondisi
imun, neurologi, dan system endokrin. Pengaruh pada system neurologi akan
berkaitan dengan neurotransmitter pada tubuh. Hal ini bisa mengakibatkan
ketidakseimabngan jumlah neurotransmitter satu dengan yang lain misalnya
pada kasus adalah karena terlalu banyak dopamine atau sensitifitas reseptor
dopamine meningkat sehingga membuat efek dopamine terlalu menonjol dan
mengakibatkan adanya/munculnya gejala-gejala positif sesuai dengan
scenario. Sedangkan pada system imunologi akan mengakibatkan disregulasi
sitokin yang dihasilkan oleh sel-sel imun karena stress merupakan
proinflammatory yang akan menyebabkan terjadinya mekanismekerusakan
atau matinya sel
.

Sedangkan pada system endokrin akan emmpengaruhi HPA axis yang akan
mengakibatkan disregulasi dari pengeluaran dan pelepasan hormone yang baik
dari kelenjar hypothalamus, pituitary, atau adrenal.
3. Apakah ada pengaruhyang dialami pasien dengan jenis kelamin dan
umur?

Epidemiologi dan Faktor Resiko


Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di
berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar
hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi
dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa.
Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu
15-25 tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35
tahun. Insiden skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan
lebih besar di daerah urban dibandingkan daerah rural (Sadock, 2003).
Pasien skizofrenia beresiko meningkatkan risiko penyalahgunaan zat,
terutama ketergantungan nikotin. Hampir 90% pasien mengalami
ketergantungan nikotin. Pasien skizofrenia juga berisiko untuk bunuh diri dan
perilaku menyerang. Bunuh diri merupakan penyebab kematian pasien
skizofrenia yang terbanyak, hampir 10% dari pasien skizofrenia yang
melakukan bunuh diri (Kazadi, 2008).
Menurut Howard, Castle, Wessely, dan Murray, 1993 di seluruh dunia
prevalensi seumur hidup skizofrenia kira-kira sama antara laki-laki dan
perempuan diperkirakan sekitar 0,2%-1,5%. Meskipun ada beberapa
ketidaksepakatan tentang distribusi skizofrenia di antara laki-laki dan
perempuan, perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal umur dan
onset-nya jelas. Onset untuk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki,
yaitu sampai umur 36 tahun, yang perbandingan risiko onsetnya menjadi
terbalik, sehingga lebih banyak perempuan yang mengalami skizofrenia pada
usia yang lebih lanjut bila dibandingkan dengan laki-laki (Durand, 2007).
Etiologi
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa
penyebab skizofrenia, antara lain :
Faktor Genetik
Menurut Maramis (1995), faktor keturunan juga menentukan timbulnya
skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-
keluarga penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka
kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi saudara kandung 7 – 15%;
bagi anak dengan salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7 – 16%;
bila kedua orangtua menderita skizofrenia 40 – 68%; bagi kembar dua telur
(heterozigot) 2 -15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%.
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang
disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat
mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang
berbeda di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada
gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini
(dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia
semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang
memiliki penyakit ini (Durand & Barlow, 2007).
Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang
disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-
neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa
skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan
di bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal
terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine
yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa
neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga
memainkan peranan (Durand, 2007).
Faktor Psikologis dan Sosial
Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin
lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan
orang tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga
(Wiraminaradja & Sutardjo, 2005).
Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga
mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic
mother kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang
memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi
penyebab skizofrenia pada anak-anaknya (Durand & Barlow, 2007).
Menurut Coleman dan Maramis (1994 dalam Baihaqi et al, 2005),
keluarga pada masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam
pembentukan kepribadian. Orangtua terkadang bertindak terlalu banyak untuk
anak dan tidak memberi kesempatan anak untuk berkembang, ada kalanya
orangtua bertindak terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau tidak
memberi bimbingan dan anjuran yang dibutuhkannya.
Faktor organo-biologik
Dari sekian banyak faktor organo-biologik (organik, fisiogenik) dapat
disebutkan disini beberapa di antaranya adalah :
1) Infeksi berbagai organ tubuh terutama yang secara langsung mengenai
otak atau akibatnya akan mengganggu fungsi otak
2) Rudapaksa fisik yang mengenai organ-oragan terutama otak
3) Gizi yang kurang, tidak memenuhi syarat atau malnutrisi
4) Kelelahan yang sangat oleh berbagai sebab
5) Kekacauan fungsi biologik yang terjadi secara terus menerus, oleh
berbagai sebab
Hal-hal yang tersebut di atas tadi sering berhubungan dengan keadaan :

1) Saraf pusat anatomis, fisiologis maupun kimiawi


2) Tingkat kematangan dan perkembangan organik individu
3) Faktor-faktor prenatal, perinatal atau postnatal.

4. Bagaimana mekanisme terjadinya halusinasi dna derealisasi?


Proses Terbentunya Derealisasi
Kemampuan menilai realita berkaitan dengan kemampuan untuk
menerima realitas, banyak sekali masalah-masalah kehidupan yang muncul.
Perbedaan (discrepancy) antara impuls-impuls, harapan-harapan dan ambisi
seseorang bisa dilihat di pihak lain, kesempatan dan kemampuan yang
bersifat actual di pihak lainnya. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa
pada dasarnya kita dapat menghadapi dua pihak yang bertentangan antara
keinginan dan kenyataan (Wiramihardja, 2007).
Pada orang-orang yang tidak normal, keinginan dan harapan seringkali
terlalu jauh dibandingkan dengan kenyataan. Hal ini disebabkan oleh
orientasi orang tersebut terlalu bersifat subyektif atau terhadap dirinya
sendiri saja. Orang orang dewasa atau normal dalam membuat suatu
keputusan bahkan merumuskan keinginan senantiasa memperhatikan
mengenai kemungkinan suatu keinginan tercapai. Artinya,
mempertimbangkan realitas, orientasi bukan hanya pada diri sendiri, tetapi
juga pada pihak-pihak lain yang tersangkut. Sebaliknya, pada mereka yang
kurang sehat mental, antara keinginan dan kenyataan tidak banyak berbeda,
sehingga tidak memperlihatkan adanya motivasi dan usaha (Wiramihardja,
2007).
Pada mereka yang dinilai tidak mampu mengenali realitas, sering
melakukan apa yang disebut oleh Freud sebagai defense mechanism.
Defense mechanism ini bersifat alamiah dan timbul karena individu
berkeinginan untuk mempertahankan diri dari ancaman-ancaman yang
timbul dari realitas yang tidak mampu ia tanggulangi. Bentuk-bentuk
defense mechanism semakin hari semakin banyak, karena pada dasarnya
manusia ingin bertahan dari jenis-jenis ancaman tersebut. Jenis-jenis
ancaman ini akan bertambah banyak pada kehidupan yang lebih kompleks
atau modern, diantaranya:
a. Denial, yaitu menolak, dalam bentuk melupakan atau melakukan
tindakan tindakan lain yang bertentangan dengan suatu realitas yang
tidak menyenangkannya.
b. Fantasy, yaitu realitas-realitas yang tidak menyenangkan ia persepsikan
justru sebagai hal yang menyenangkan.
c. Projection, yaitu menumpahkan pengalaman dan penghayatan atau
ingatan yang tidak menyenangkan di dalam dirinya pada hal lain atau
pihak lain.
d. Kompensasi, yaitu melakukan tindakan untuk “mengurangi atau
menyembunyikan” kekurangan yang dirasakannya.
Kompensasi berlebih atau “over compensation” merupakan istilah yang
lebih penting dalam wacana gangguan kejiwaan, yang berarti tindakan
berlebihan (Wiramihardja, 2007).
Menurut Keliat (1998), gangguan orientasi realita adalah
ketidakmampuan klien menilai dan berespon pada realitas. Klien tidak dapat
membedakan lamunan dan kenyataan. Klien tidak mampu memberikan
respon secara akurat, sehingga tampak perilaku yang sukar dimengerti dan
mungkin menakutkan. Hal ini disebabkan karena terganggunya fungsi
kognitif dan proses pikir, fungsi persepsi, fungsi emosi, fungsi motorik dan
fungsi sosial. Gangguan pada fungsi kognitif dan persepsi mengakibatkan
kemampuan menilai dan menilik terganggu. Gangguan fungsi emosi,
motorik dan sosial mengakibatkan kemampuan berespon terganggu yang
tampak dari perilaku non verbal (ekspresi muka, gerakan tangan) dan
perilaku verbal (penampilan hubungan sosial).
Kemampuan seseorang untuk menilai realitas. Kemampuan ini akan
menentukan persepsi, respons emosi dan perilaku dalam berelasi dengan
realitas kehidupan. Kekacauan perilaku, waham, dan halusinasi adalah salah
satu contoh penggambaran gangguan berat dalam kemampuan menilai
realitas (RTA). Daya nilai adalah kemampuan untuk menilai situasi secara
benar dan bertindak yang sesuai dengan situasi tersebut.
a. Daya Nilai Sosial: kemampuan seseorang untuk menilai situasi secara
benar (situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari) dan bertindak yang
sesuai dalam situasi tersebut dengan memperhatikan kaidah sosial yang
berlaku di dalam kehidupan sosial budayanya. Pada gangguan jiwa
berat atau kepribadian antisosial maka daya nilai sosialnya sering
terganggu.
b. Uji Daya Nilai: kemampuan untuk menilai situasi secara benar dan
bertindak yang sesuai dalam situasi imajiner yang diberikan.

Yang belum terjawab dijadikan LO


5. Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan
pernyataan sementara mengenai permasalahan pada
langkah III

Stressor

Marah-marah Onset 4 minggu

Mengamuk

Pemeriksaan Status Mental

 Gangguan persepsi : waham, derealisasi,


halusinasi
 Gangguan perilaku : marah-marah, mengamuk
 Penampilan : tidak terawat

Pemeriksaan Diagnosis 1. Scizophrenia


Penunjang Banding 2. Gangguan psikotik
3. Gangguan waham
4. Scizoafektif

Tatalaksana Prognosis
6. Langkah V : Merumuskan tujuan pembelajaran.
Pada langkah ini, mahasiswa menetapkan seluruh tujuan pembelajaran
yang tercemin dari problem tree. Dari hasil diskusi, didapatkan tujuan
pembelajaran skenario I adalah :

1. Mengetahui derealisasi, waham, halusinasi, dan stress


2. Mengetahui mekanisme keluhan pada kasus scenario
3. Menjelaskan klasifikasi gangguan mental
4. Menjelaskan alur diagnosis
5. Menjelaskan diagnosis banding pada kasus scenario
6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang diangnosis banding
7. Menjelaskan penatalaksanaan diangnosis banding

7. Langkah VI : Mengumpulkan informasi baru dengan belajar mandiri.


Langkah ini dilakukan secara mandiri oleh mahasiswa guna
menjawab pertanyaan serta mempelajari secara keseluruhan informasi yang
terkait dengan masalah di problem tree.
8. Langkah VII : Melaporkan, membahas dan menata kembali informasi
baru yang diperoleh.

1. Bagaimana alur diagnosis


DSM IV (DSM= Diagnostic & Statistical manual of Mental disorder) adalah suatu
sistem multiaksial yang menilai pasien dalam beberapa variabel dan mempunyai lima
aksis. Aksis I dan II terdiri dari semua klasifikasi gangguan mental, 17 klasifikasi dan
lebih dari 300 gangguan spesifik. Dalam banyak keadaan, pasien mempunyai suatu
gangguan pada kedua aksis (Kaplan, 2010).

Aksis I mengandung gangguan klinis dan kondisi lain yang mungkin merupakan
pusat perhatian klinis.

Aksis II mengandung gangguan kepribadian dan retardasi mental.

Aksis III menuliskan tiap gangguan fisik atau kondisi medis umum yang
ditemukan di samping gangguan mental. Kondisi fisik mungkin merupakan penyebab,
akibat dari gangguan mental, atau gangguan medis yang tidak berhubungan. Jika suatu
gangguan medis adalah sebagai penyebab atau secara penyebab berhubungan dengan
suatu gangguan mental, gangguan mental karena kondisi umumn aksis III.

Aksis IV digunakan untuk memberi kode pada masalah psikologis dan


lingkungan yang secara bermakna berperan pada perkembangan atau eksaserbasi
gangguan sekarang.

Aksis V adalah skala penilaian global terhadap fungsi (GAF; global assessment
of functioning) dimana dokter mempertimbangkan keseluruhan tingkat fungsional pasien
selama periode waktu tertentu. Fungsional dimengerti sebagai kesatuan dari tiga bidang
utama: fungsi social, fungsi pekerjaan, dan fungsi psikologis skala GAF, yang didasarkan
pada rangkaian kesatuan kesehatan mental dan penyakit mental, adalah skala dengan 100
poin, 100 mencerminkan tingkat fungsi tertinggi dalam semua bidang. Pasien yang
memiliki tingkat fungsional tertinggi sebelum suatu episode penyakit biasanya
mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan mereka yang mempunyai tingkat
fungsional yang rendah.
Adalah skala penilaian global terhadap fungsi-sering-disebut GAF (Global
Assesment of Functioning ) dimana dokter mempertimbangkan keseluruhan tingkat
fungsional pasien selama periode waktu tertentu ( misalnya : saat pemeriksaan atau
tingkat fungsional pasien tertinggi untuk sekurangnya 1 bulan selama 1 tahun terakhir)

 Fungsional diartikan sebagai kesatuan dari 3 bidang utama yaitu fungsi sosial,
fungsi pekerjaan dan fungsi psikologis
 Fungsi berupa skala dengan 100 poin. 100 mencerminkan tingkat fungsi tertinggi
dalam semua bidang.

Tujuan diagnosis multiaksial (Maramis, 2009):

 Mencakup informasi yang menyeluruh (komprehensif) sehingga dapat membantu


dalam perencanaan terapi dan pembuatan prognosis.
 Format yang “mudah” dan “sistematik” sehingga membantu dalam menata dan
mengkomunikasikan informasi klinis serta dalam menggambarkan perbedaan-
perbedaan individual pada pasien dengan diagnosis klinis yang sama

Antara aksis I, II, III, tidak selalu harus ada hubungan etiologi atau patogenesis.
Namun, hubungan antara aksis I-II-III dan aksis IV dapat timbal balik saling
mempengaruhi.
Diagnosis Multiaksial memakai lima aksis, yaitu (Rusdi, M., 2001):

a. Aksis I:

 Gangguan Klinis Kondisi Lain yang Mungkin Merupakan Pusat Perhatian Klinis

F00-F09 GANGGGUAN MENTAL ORGANIK (TERMASUK GANGGUAN


MENTAL SIMTOMATIK)
F10-F19 GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN
ZAT PSIKOAKTIF
F20-F29 SKIZOFRENIA, GANGGUAN SKIZOTIPAL, DAN GANGGUAN
WAHAM
F30-F39 GANGGUAN SUASANA PERASAAN MOOD ATAU AFEKTIF)
F40-F48 GANGGUAN NEUROTIK, GANGGUAN SOMATOFORM DAN
GANGGUAN TERKAIT STRESS
F50-F59 SINDROM PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN
GANGGUAN PSIKOLOGIS DAN FAKTOR FISIK
F62-F68 PERUBAHAN KEPRIBADIAN NON-ORGANIK, GANGGUAN
KEBIASAAN ATAU IMPULS, GANGGUAN IDENTITTAS JENIS
KELAMIN, GANGGUAN PREFERENSI SEKSUAL, GANGGUAN
YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERKEMBANGAN DAN
ORIENTASI SEKSUAL
F80-F89 GANGGUAN PERKEMBANGAN PSIKOLOGIS
F90-F98 GANGGUAN PERILAKU DAN EMOSIONAL, ONSET BIASANYA
PADA MASA KANAK DAN REMAJA
F99 GANGGUAN JIWA YTT

KONDISI LAIN YANG MENJADI FOKUS PERHATIAN KLINIS

F54 FAKTOR PSIKOLOGIS DAN TINGKAH LAKU YANG


BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN ATAU PENYAKIT YDK
(YANG DI-KLASIFIKASI DI TEMPAT LAIN, CLASSIFIED
ESLEWHERE)
G21 PARKINSONISME SEKUNDER
G21.0: Sindrom neuroleptika maligna
G21.1 :Parkinsonisme sekunder akibat neuroleptika
G24 DISTONIA
G24.0: Distonia akut akibat neuroleptika
G24.8: Tardive dyskinesia akibat neuroleptika
G25 GANGGUAN EKSTRAPIRAMIDAL DAN PERGERAKAN LAINNYA
G25.1 : Tremor akibat obat
G25.9 :Gangguan pergerakan akibat obat
Z63.0 : Masalah hubungan dengan pasangan (partner)
Z63.7 : Masalah dalam hubungan yang berkaitan dengan gangguan jiwa atau
kondisi medik umum
Z63.8 : Masalah hubungan orang tua-anak
Z63.9 : Masalah dalam hubungan yang lain
F93.3 Masalah dalam hubungan antar saudara (sibling)
T74 MASALAH BERKAITAN DENGAN “ABUSE” ATAU ”NEGLECT
T74.0: Neglect of child
T74.1: Physical abuse of child or adult
T74.2: Sexual abuse of child or adult
Z91.1 Ketidakpatuhan terhadap pengobatan
Z76.5 Berpura-pura sakit dengan motivasi yang jelas (malingering)
Z72.8 Masalah berkaitan dengan gaya hidup (perilaku antisosial)
R41.8 Penurunan fungsi kongnitif berkaitan dengan usia
Z63.4 Kehilangan dan kematian anggota keluarga (bereavement)
Z55.8 Masalah berkaitan dengan pendidikan dan melek huruf
Z56.7 Masalah berkaitan dengan pekerjaan dan pengangguran
Z71.8 Konseling tentang masalah agama dan kepercayaan
F93.8 Masalah identitas pada anak dan remaja
Z60.0 : Masalah penyesuaian pada masa transisi siklus kehidupan
Z60.3 : Kesulitan akutrurasi
Z 03.2 TIDAK ADA DIAGNOSIS AKSIS I
R 69 DIAGNOSIS AKSIS I TERTUNDA

b. Aksis II (gangguan Kepribadian dan retardasi mental):


F60 GANGGUAN KEPRIBADIAN KHAS
F60.0 Gangguan Kepribadian paranoid
F60.1 Gangguan Kepribadian skizoid
F60.2 Gangguan Kepribadian Disosial
F60.3 Gangguan Kepribadian Emosional Tak Stabil
F60.4 Gangguan Kepribadian Histrionik
F60.5 Gangguan Kepribadian Anankastik
F60.6 Gangguan Kepribadian Cemas (menghindar)
F60.7 Gangguan Kepribadian Dependen
F60.8 Gangguan kepribadian Khas Lainnya
F60.9 Gangguan Kepribadian YTT.
F61 GANGGUAN KEPRIBADIAN CAMPURAN DAN LAINNYA
F61.0 Gangguan Kepribadian Campuran
F61.1 Perubahan Kepribadian yang bermasalah.
GAMBARAN KEPRIBADIAN MALADAPTIF (URAIKAN)
MEKANISME DEFENSI MALADAPTIF (URAIKAN)
F70-F79 RETARDASI MENTAL
Z 03.2 TIDAK ADA DIAGNOSIS AKSIS II
R 46.8 DIAGNOSIS AKSIS II TERTUNDA.

c. Aksis III (kondisi medis umum menurut ICD-9-CM):


Bab I A00-B99 Penyakit infeksi dan parasit tertentu
Bab II C00-D48 Neoplasma
Bab IV E00-G90 Penyakit endokrin, nutrisi, dan metabolik
Bab VI G00-G99 Penyakit susunan saraf
Bab VII H00-H59 Penyakit mata dan adneksa
Bab VIII H60-H95 Penyakit telinga dan proses mastoid
Bab IX I00-I99 Penyakit sistem sirkulasi
Bab X J00-J99 Penyakit sistem pernapasan
Bab XI K00-K93 Penyakit sistem pencernaan
Bab XII L00-L99 Penyakit kulit dan jaringan subkutan
Bab XIII M00-M99 Penyakit sistem muskuloskletal dan jaringan ikat
Bab XIV N00-N99 Penyakit sistem genitourinaria
Bab XV O00-O99 Kehamilan, kelahiran anak dan masa nifas
Bab XVII Q00-Q99 Malformasi kongenital, deformasi, kelainan kranial
Bab XVIII R00-R99 Gejala, tanda dan temuan klinis laboratorium abnormal
Bab XIX S00-T98 Cedera, keracunan, dan akibat kausa eksternal
Bab XX V01-Y98 Kausa eksternal dari morbiditas dan mortalitas
Bab XXI Z00-Z99 Faktor-faktor yang mempengaruhi status kesehatan dan
pelayanan

d. Aksis IV (Masalah Psikososial dan Lingkungan)


Masalah dengan “primary support group” (keluarga)
Masalah berkaitan dengan lingkungan sosial
Masalah pendidikan
Masalah pekerjaan
Masalah perumahan
Masalah ekonomi
Masalah akses ke pelayanan kesehatan
Masalah berkaitan interaksi dengan hukum/kriminal
Masalah psikososial dan lingkungan lain

e. Aksis V:
GAF Scale

100-91 gejala tidak ada, fungsi maksimal, tidak ada masalah yang tidak tertanggulangi
90-81 gejala minimal, fungsi baik, cukup puas, tidak lebih dari masalah harian biasa
80-71 gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan dalam sosial
70-61 beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara
umum baik
60-51 gejala dan disabilitas sedang
50-41 gejala dan disabilitas berat
40-31 beberapa disabilitas dalam hubungan dengan realita dan komunikasi, disabilitas
berat dalam beberapa fungsi
30-21 disabilitas berat dalam komunikasi dan daya nilai, tidak mampu berfungsi dalam
hampir semua bidang
20-11 bahaya mencederai diri/orang lain, disabilitas sangat berat dalam komunikasi
dan mengurus diri
10-01 persisten dan lebih serius
0 informasi tidak adekuat
BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN
Setelah kami melakukan diskusi tutorial menggunakan metode seven
jumps, didapatkan dari anamnesis dan hasil pemeriksaan status mental, pada
pasien tersebut, kemungkinan pasien mempunyai gejala psikotik yang
mengarah pada skizofrenia karena terdapat gangguan isi pikir (waham
curiga), dan gangguan presepsi ( derealisasi dan halusinasi). Pasien juga
mudah marah dan ingin membakar rumah sehingga diagnosis banding
pertama mengarah ke schizophrenia paranoid. Hipotesis ini diperkuat dengan
adanya gejala-gejala seperti waham, halusinasi, dan gejala-gejala positif yang
merupakan pedoman diagnosis skizofrenia menurut PPDGJ III. Skizoafektif
disingkirkan karena tidak ada gangguan afek yang menonjol pada saat
bersamaan. Gangguan waham menetap disingkirkan, karena gangguan
waham baru berlangsung selama 1 bulan.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakan
diagnosis adalah pemeriksaan laboratorium untuk menyingkirkan penyebab
mengamuk karena delirium atau bukan. Selain itu, dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang lainnya sesuai dengan indikasi keluhan yang dialami
mengarah ke gangguan organik. Skizofrenia memiliki prognosis cukup baik
dengan umur yang menginjak dewasa dengan diagnosis dan terapi yang
adekuat namun penderita tetap akan mengalami deteriorasi (penurunan fungsi
peran).
Penatalaksanaan selanjutnya adalah dirujuk ke ahli psikiatri untuk
mendapatkan penanganan yang lebih adekuat dan harus dirawat di RS, namun
tetap memberikan penatalaksanaan awal sesuai dengan gejala pasien yaitu
berupa anti psikotik. Di scenario didapatkan banyak gejala positif maka
diberikan anti psikotik golongan tipikal misalnya haloperidol atau
clorpromazin. Selain farmakoterapi, juga dapat diberikan nonfarmakoterapi.

B. SARAN

1. Dari segi skenario.


Skenario dapat membantu mahasiswa untuk mencapai Learning Objective
yang diperlukan untuk menguasai materi. Mahasiswa lebih memahami
tentang mekanisme, definisi istilah, dan hal-hal yang terkait dengan skenario
tersebut. Namun,untuk lebih membantu mahasiswa mencapai Learning
Objective dapat ditambahkan data mengenai riwayat paisen sebelumnya baik
keadaan medik umum serta gangguan jiwa lainnya serta kegawatdaruratan
kasus gangguan mental.

2. Dari segi pelaksanaan diskusi tutorial.


1. Diskusi berjalan cukup terbuka, dan terjadi interaksi yang baik antar-
mahasiswa. Tetapi, perlu diperhatikan dari segi waktu agar pembahasan
dapat dilakukan lebih maksimal dan menyeluruh.
2. Pada pertemuan pertama, diharuskan semua mahasiswa tidak membuka
buku agar pelaksanaan tutorial lebih komunikatif dan mendapatkan
konsep skenario bersama untuk dibahas di pertemuan kedua.
DAFTAR PUSTAKA

Amir, Nurmati. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Sadock B, Sadock V A. Kaplan & Sadock. 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi
2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Maslim, Rusdi SpKJ. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan
Ringkasan dari PPDGJ-III. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Unika –
Atmajaya.
Maslim, Rusdi SpKJ. 2007. Panduan Praktis: Pengguanaan Klinis Obat
Psikotropik. Edisi Ketiga. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atma
Jaya.
Huriawati, Hartanto, dkk; 2002: Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 29, Jakarta,
EGC
Edisi 2. Jakarta: EGC.
Feldman R.S. 2009. Understanding Psychology. New York: The McGraw-Hill.
Guyton,1994. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Jiloha R.C., Bhatia M.S. 2010. Psychiatry for General Practitioners. New Delhi:
New Age International (P) Ltd., Publishers.
Maramis WF, Maramis AA. 2010. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga
University Press.
Maramis,Willy F dan Albert A.Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.
Edisi 2. Surabaya : Airlangga University Press.
Sadock BJ, Kaplan HI,Grebb JA. 2003. Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry. Edisi 9. Philadelpia :Lippincott William & Wilkins.
Skills Lab FK UNS. 2012. Buku Pedoman Ketrampilan Klinis untuk Semester 5.
Surakarta: FK UNS.
Baihaqi, Sunardi, Akhlan, R.N., dan Heryati, E. 2005. Psikiatri. Bandung: PT. Refika
Aditama.
Dharmono, S. Gangguan Mental Terkait Trauma.
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/suryo.dharmono/material/gangguanmentalterkaittra
uma.pdf (diakses 17 November 2013)
Durant, Vincent M. and David H. Barlow. 2007. Essentials of Abnormal Psychology.
USA: Cengage Learning.
Girdano, L A. 2005. Controlling Stress and Tension 7th edition. San Fransisco: Benjamin
Cumming.
Nurhriawangsa, Ibrahim. 2004. Simptomatologi Psikatri. Surakarta: FK UNS.
Kaplan, Harold I; Sadock, Benjamin J; Grebb, Jack A. 2010. Sinopsis Psikiatri, Jilid 1.
Binarupa Aksara:Tangerang
Lubis, B. 1989. Pengantar Psikiatri Klinik. Balai Penerbit FKUI: Jakarta
Maramis, W. F., 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Edisi 2. Airlangga University
Press: Surabaya
Maslim R. 2001. Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas PPDGJ-III. PT Nuh Jaya :
Jakarta
Sadock, Benjamin J. dan Virginia Alcott Sadock. 2003. Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiarty Behavioral Science/ Clinical Psyhiatry Tenth Edition. USA: Lippincott
Williams & Willkins.
Prihatini, Rahayu. 2008. Gangguan Skizoafektif. elib.fk.uwks.ac.id (diakses tanggal 17
November 2013)
Santrock, John W. 2003. Adolescence : Perkembangan Remaja Ed. 6. Jakarta : Erlangga.
Susilohati, Mardiatmi, et.al. 2013. Buku Pedoman Keterampilan Klinis untuk Semester 5:
Keterampilan Pemeriksaan Psikiatri. Surakarta: FK UNS.
Sutardjo A. Wiramihardja, 2005, Pengantar Psikologi Abnormal, Bandung : Refika
Aditama
Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Edisi 6. Jakarta: EGC
Wiraminaradja dan Sutardjo. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: Refika
Aditama.
Yager. J. Gittin M.J. 2000. Clinical Manifestations of Psychiatric. Ed.S Sadock BJ,
Sadock VA. In Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry.7th
Edition. Philadelphia. Lippincott William & Wilkins. pp: 797-802.
Feldman R.S. 2009. Understanding Psychology. New York: The McGraw-
Hill Companies, Inc.

Jiloha R.C., Bhatia M.S. 2010. Psychiatry for General Practitioners. New Delhi: New Age
International (P) Ltd., Publishers

Sadock, Benjamin J. and Virginia A. Sadock. 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis.
Edisi 2. Jakarta: EGC.

Skills Lab FK UNS. 2012. Buku Pedoman Ketrampilan Klinis untuk Semester 5.
Surakarta: FK UNS.

WHO. 2011. Mental health: a state of well-being.


http://www.who.int/features/factfiles/mental_health/en/. Diakses
Desember 2012.

WHO. 2010. Mental health: strengthening our response.


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs220/en/. Diakses
Desember 2012.

Anda mungkin juga menyukai