Anda di halaman 1dari 16

PREEKLAMSIA

Disusun oleh:

Audita Yosandra

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR HASAN SADIKIN

BANDUNG

2020
A. PREEKLAMSIA
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan adanya
disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi
endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi
spesifik yang disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada usia
kehamilan diatas 20 minggu. Jika hanya didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak
dapat disamakan dengan peeklampsia, harus didapatkan gangguan organ spesifik akibat
preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus preeklamsia ditegakkan dengan adanya protein
urin, namun jika protein urin tidak didapatkan, gejala dan gangguan lain dapat digunakan
untuk menegakkan diagnosis preeklamsia.

1. Faktor Risiko
Penyebab preeklamsia belum diketahui pasti. Namun, penyakit ini lebih sering
ditemukan pada wanita hamil dengan karakteristik berikut:
 Terpajan vili korialis pertama kali (primigravida atau primipaternitas).
 Terpajan vili korialis berlebihan (hiperplasentosis), misalnya pada kehamilan
kembar atau mola hidatidosa.
 Mempunyai dasar penyakit yang berhubungan dengan aktivasi sel endotel atau
inflamasi, seperti diabetes, obesitas, penyakit kardiovaskular, penyakit ginjal,
penyakit imunologis, atau penyakit keturunan.
 Mempunyai riwayat keluarga dengan preeklamsia atau eklamsia.
Dari karakteristik-karakteristik tersebut, dapat diketahui faktor risiko dari preeklamsia:
 Usia di atas 40 tahun
 Nulipara
 Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
 Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
 Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio
 Kehamilan kembar
 Multipara dengan riwayat preeklamsia sebelumnya
 IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
 Hipertensi kronik
 Penyakit Ginjal
 Sindrom antifosfolipid (APS)
 Obesitas sebelum hamil
 Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan

2. Etiologi
Berbagai mekanisme dikemukakan untuk menjelaskan terjadinya preeklamsia yang
merupakan gabungan dari faktor ibu, plasenta, maupun janin yang meliputi:
 Implantasi plasenta dengan invasi tropoblas yang abnormal
 Gangguan keseimbangan adaptasi imunologis antara ibu, ayah (plasenta), dan janin
 Gangguan keseimbangan adaptasi ibu terhadap perubahan kardiovaskular atau
inflamasi dalam kehamilan normal
 Faktor genetik, termasuk predisposisi gen yang diturunkan dan juga pengaruh
epigenetik
a) Invasi Trofoblas Abnormal
Implantasi tropoblas yang normal ditandai dengan remodeling dari arteriola spiralis
dalam desidua basalis karena trofoblas menggantikan endotel dan lapisan muskular untuk
melebarkan diameter. Pada preeklamsia, tidak terjadi invasi trofoblas yang sempurna. Hal ini
menyebabkan arteriola yang terletak di bagian lebih dalam masih memiliki endotel dan
lapisan muskular sehingga tidak mengalami pelebaran diameter. Oleh karena itu, timbul
vasospasme yang berujung pada iskemia di bagian distal arteriola tersebut. Kondisi ini lebih
banyak terjadi pada pasien dengan preeklamsia awitan dini.
Pada kehamilan, lumen arteriola spiralis yang sempit menyebabkan gangguan pada
aliran darah plasenta. Menurunnya perfusi dan lingkungan yang hipoksik menyebabkan
pelepasan debris plasenta sehingga menginisiasi respon inflamasi.
Gambar 1. Gangguan Invasi Trofoblas pada Preeklamsia

b) Faktor Imunologis
Teori lain mengenai mekanisme terjadinya preeklamsia adalah gangguan toleransi
maternal terhadap antigen paternal dan fetal. Hal ini didasarkan atas pengamatan bahwa
preeklamsia lebih sering ditemukan pada kondisi paparan antigen paternal pertama kali
seperti pada primigravida, multigravida dengan sperma yang baru, atau kehamilan dengan
inseminasi donasi, serta pada kondisi meningkatnya jumlah antigen paternal seperti pada
hiperplasentosis atau mola hidatidosa.
Maladaptasi imunologi juga diduga terjadi akibat rendahnya ekspresi
immunosuppressive nonclassic human leukocyte antigen G (HLA-G) di jaringan trofoblas
ekstravili yang berakibat pada gangguan vaskular plasenta. Peningkatan rasio Th1/Th2
menyebabkan peningkatan produksi sitokin proinflamasi yang merupakan salah satu faktor
penyebab jejas endotel.
c) Aktivasi Sel Endotel
Faktor antiangiogenik dan metabolik serta mediator inflamasi lain menyebabkan
terjadinya kerusakan endotel sistemik. Kondisi ini juga dapat disebabkan oleh aktivasi
berlebihan dari leukosit di sirkulasi maternal. Sitokin berkontribusi terhadap stress oksidatif
sistemik yang menyebabkan pembentukan lipid peroksida. Peroksida tersebut kemudian
menghasikan radikal toksik yang merusak endotel vaskular sistemik, memodifikasi produksi
nitrit oksida, dan mengganggu keseimbangan prostaglandin. Stress oksidatif juga
menyebabkan aktivasi koagulasi mikrovaskular sistemik yang ditandai dengan
trombositopenia dan peningkatan permeabilitas sistemik yang menyebabkan edema dan
proteinuria.
d) Faktor Genetik
Preeklamsia merupakan kelainan multifaktor dan poligenik. Sudah ditemukan lebih dari
70 kandidat gen yang terkait dengan preeklamsia, tetapi hanya 7 gen yang paling banyak
diteliti, yaitu MTHFR, F5 (Leiden), AGT (M235T), NOS3 (Glu 298 Asp), F2 (G20210A),
dan ACE.
e) Faktor Nutrisi
Kejadian preeklamsia meningkat pada kondisi kekurangan zat atau vitamin antioksidan
(C, E, atau beta karoten), kekurangan kalsium dan protein, kelebihan garam natrium, atau
kekurangan asam lemak tak jenuh.

3. Patogenesis
a) Vasospasme
Aktivasi endotel sistemik menyebabkan vasospasme yang meningkatkan resistensi
sehingga terjadi hipertensi. Kerusakan endotel sistemik juga menyebabkan kebocoroan
interstisial dan komponen darah, termasuk platelet dan fibrinogen. Dengan berkurangnya
aliran darah karena gangguan distribusi akibat vasospasme dan kebocoran interstisial,
iskemia dari jaringan akan menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan kerusakan target organ.
b) Kerusakan Sel Endotel
Faktor plasenta disekresikan ke sirkulasi maternal dan menyebabkan aktivasi dan
gangguan fungsi endotel vaskular sistemik. Sel endotel yang rusak atau teraktivasi
memproduksi lebih sedikit nitrit oksida dan menghasilkan substansi yang mendukung
koagulasi dan meningkatkan sensitivitas terhadap vasopresor.
c) Peningkatan Respon Vasopresor
Wanita dengan preeklamsia awitan dini mengalami peningkatan reaktivitas vaskular
terhadap norepinefrin dan angiotensin II. Dibandingkan dengan kehamilan normal, produksi
prostasiklin endotel (PGI2) yang merupakan vasodilator dan penghambat agregasi platelet
lebih rendah pada preeklamsia. Sekresi thromboxane A2 oleh platelet yang merupakan
vasokonstriktor dan stimulator agregasi platelet juga meningkat, sehingga rasio
prostasiklin:thromboxane A2 menurun. Hal ini meningkatkan sensitivitas terhadap angiotensin
II dan menyebabkan vasokonstriksi dan berujung pada hipertensi.
d) Protein Angiogenik dan Antiangiogenik
Vaskulogenesis plasenta terjadi 21 hari setelah konsepsi. Gangguan keseimbangan
angiogenik menggambarkan jumlah berlebih dari faktor antiangiogenik yang distimulasi oleh
perburukan hipoksia pada hubungan uteroplasenta. Trofoblast pasien preeklamsia
memproduksi protein antiangiogenik berlebih yang masuk ke sirkulasi maternal.
Protein pertama adalah soluble fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt-1) yang merupakan
reseptor VEGF. Peningkatan kadar sFlt-1 menyebabkan inaktivasi dan penurunan free
placental growth factor (PIGF) dan VEGF sehingga terjadi disfungsi endotel. Protein kedua
adalah soluble endoglin (sEng) yang menghambat berbagai transforming growth factor beta
(TGF-β) untuk berikatan dengan reseptor endotel sehingga menurunkan vasodilatasi endotel.

Gambar 2. Aktivitas Protein Antiangiogenik pada Preeklamsia

4. Patofisiologi
a) Kardiovaskular
Gangguan kardiovaskular pada preeklamsia terjadi karena peningkatan afterload akibat
hipertensi, penurunan preload akibat menurunnya volume darah, dan kerusakan endotel yang
menyebabkan terjadinya ekstravasasi cairan intravaskular ke ruang ekstraselular sehingga
terjadi edema di berbagai organ. Penurunan cairan intravascular juga menyebabkan
hemokonsentrasi yang ditandai dengan peningkatan hematokrit. Konsumsi platelet dan
aktivas kaskade pembekuann pada lokasi kerusakan endotel menyebabkan trombositopenia
dan disseminated intravascular coagulation (DIC).
Hemolisis pada preeklamsia merupakan angiolisis mikroangiopati. Sel sarah merah
mengalami fragmentasi ketika melewati pembuluh darah kecil yang mengalami kerusakan
endotel dan terdapat penempelan platelet dan deposit fibrin. Hal ini ditandai dengan

peningkatan kadar lactate dehydrogenase (LDH) serum.


b) Ginjal
Endoteliosis kapiler ginjal, hipertensi, dan kerusakan endotel glomerulus menyebabkan
penurunan bersihan asam urat, penurunan laju filtrasi glomerulus, oliguria, proteinuria, dan
gagal ginjal.

Gambar 4. Endoteliosis Kapiler Ginjal

c) Hati
Gangguan fungsi hati, peningkatan kadar enzim hati, ikterus, edema, perdarahan, dan
regangan kapsul hati. Nyeri pada kuadran kanan atas atau daerah epigastrik pada preeklamsia
berat terjadi karena peregangan kapsul Glisson akibat edema atau perdarahan hati. Terjadinya
hemolisis, trombositopenia, disertai dengan nekrosis hepatoseluler yang meningkatkan enzim
hati disebut dengan sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme, dan low platelet).
d) Otak
Terjadi kerusakan pada otak yang meliputi hipoksia, edema, dan gangguan pembuluh
darah otak. Manifestasi klinis yang dapat terjadi:
 Sakit kepala dan skomata: terjadi karena hiperperfusi pada lobus oksipital.
 Kejang: sebelumnya disebutkan bahwa kejang disebabkan oleh vasospasme dan
edema otak. Namun, iskemia uteroplasenta juga menyebabkan produksi molekul
seperti neurokinin B, sitokin inflamasi, endotein, dan tissue plasminogen activator
yang menstimulasi resepor saraf eksitatori dan mengganggu eksitabilitas saraf
karena dihasilkan neurotransmitter eksitasi yang berlebihan.
 Perubahan status mental: terjadi karena edema otak yang tergeneralisasi.
e) Mata
Iskemia, perdarahan, edema papil, dan ablasio retina. Dapat terjadi pandangan mata
buram, diplopia, hingga kebutaan.
f) Paru
Iskemia, nekrosis, edema, perdarahan, dan gangguan pernapasan hingga apneu.
g) Perfusi Uteroplasenta
Gangguan pada perfusi uteroplasenta dapat menyebabkan terjadinya nekrosis, solusio
plasenta, hambatan perumbuhan janin, dan gawat janin.

5. Diagnosis
a) Kriteria Diagnosis Preeklamsia
 Hipertensi: Tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg
diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang
sama.
Dan
 Protein urin: Protein urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes urin dipstik >
positif 1.

b) Kriteria Diagnosis Preeklamsia Berat


Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada preeklamsia, dan
jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi kondisi pemberatan preeklamsia
atau disebut dengan preeklamsia berat. Kriteria terbaru tidak lagi mengkategorikan lagi
preeklamsia ringan, dikarenakan setiap preeklamsia merupakan kondisi yang berbahaya dan
dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan dalam waktu
singkat.
Diagnosis preeklamsia berat dipenuhi jika didapatkan salah satu kondisi klinis dibawah
ini:
 Hipertensi: Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110
mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan
yang sama.
 Trombositopenia: Trombosit < 100.000/mikroliter
 Gangguan ginjal: Kreatinin serum diatas 1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan
kadar kreatinin serum dari sebelumnya pada kondisi dimana tidak ada kelainan
ginjal lainnya.
 Gangguan Hati: Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau
adanya nyeri di daerah epigastrik/regio kanan atas abdomen.
 Edema Paru
 Gejala Neurologis: Stroke, nyeri kepala, gangguan visus
 Gangguan Sirkulasi Uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction
(FGR) atau didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

c) Sindrom HELLP
Diagnosis sindrom HELLP:
 Hemolisis
- Adanya sel-sel sferosit, skistosit, triangular, dan sel Blurr pada apus darah
perifer.
- Kadar bilirubin total > 1,2 mg%
 Kenaikan kadar enzim hati
- Kadar SGOT > 70 IU/L
- Kadar LDH > 600 IU/L
 Trombosit < 100.000/mm3

6. Pencegahan
Perjalanan penyakit preeklamsia pada awalnya tidak memberi gejala dan tanda, namun
pada suatu ketika dapat memburuk dengan cepat. Pencegahan primer merupakan yang terbaik
dan hanya dapat dilakukan bila penyebabnya telah diketahui dengan jelas sehingga
memungkinkan untuk menghindari atau mengkontrol penyebab-penyebab tersebut, namun
hingga saat ini penyebab pasti terjadinya preeklampsia masih belum diketahui.
 Perlu dilakukan skrining risiko terjadinya preeklampsia untuk setiap wanita hamil
sejak awal kehamilannya.
 Pemeriksaan skrining preeklampsia selain menggunakan riwayat medis pasien
seperti penggunaan biomarker dan USG Doppler Velocimetry masih belum dapat
direkomendasikan secara rutin, sampai metode skrining tersebut terbukti
meningkatkan luaran kehamilan.
 Istirahat di rumah tidak di rekomendasikan untuk pencegahan primer preeklamsia.
 Tirah baring tidak direkomendasikan untuk memperbaiki luaran pada wanita hamil
dengan hipertensi (dengan atau tanpa proteinuria).
 Pembatasan garam untuk mencegah preeklamsia dan komplikasinya selama
kehamilan tidak direkomendasikan.
 Penggunaan aspirin dosis rendah (75mg/hari) direkomendasikan untuk prevensi
preeklamsia pada wanita dengan risiko tinggi. Apirin dosis rendah sebagai prevensi
preeklamsia sebaiknya mulai digunakan sebelum usia kehamilan 20 minggu.
 Pemberian kalsium 1,5-2,0 g/hari selama kehamilan, terutama di daerah kurang
asupan kalsium. Suplementasi kalsium minimal 1 g/hari diberikan sejak 13 minggu
pada semua kehamilan.
 Pemberian vitamin C dan E tidak direkomendasikan untuk diberikan dalam
pencegahan preeklamsia.
 Pemberian magnesium sulfat (MgSO4) merupakan pilihan utama pencegahan dan
pengobatan kejang eklamsia.

7. Tatalaksana
a) Preeklamsia
 Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklamsia tanpa gejala
berat dengan usia kehamilan < 37 minggu dengan evaluasi maternal dan janin yang
lebih ketat.
 Perawatan poliklinis secara ketat dapat dilakukan pada kasus preeklamsia tanpa
gejala berat.
 Evaluasi ketat yang dilakukan adalah:
- Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh pasien
- Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara poliklinis
- Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap minggu
- Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2 kali dalam
seminggu)
- Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi menggunakan
Doppler velocimetry terhadap arteri umbilikal direkomendasikan

Gambar 5. Manajemen Preeklamsia tanpa Gejala Berat

b) Preeklamsia Berat
1) Perawatan Ekspektatif pada Preeklamsia Berat:
 Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklamsia berat dengan
usia kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu dan janin yang
stabil.
 Manajemen ekspektatif pada preeklamsia berat juga direkomendasikan untuk
melakukan perawatan di fasilitas kesehatan yang adekuat dengan tersedianya
perawatan intensif bagi maternal dan neonatal.
 Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif preeklamsia berat, pemberian
kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu pematangan paru janin.
 Pasien dengan preeklamsia berat direkomendasikan untuk melakukan rawat inap
selama melakukan perawatan ekspektatif.

Gambar 6. Manajemen Ekspektatif Preeklamsia Berat


Tabel 1. Kriteria Terminasi Kehamilan Preeklamsia Berat
Terminasi Kehamilan

Data Maternal Data Janin

Hipertensi berat yang tidak terkontrol Usia kehamilan 34 minggu

Gejala impending eclampsia (nyeri kepala hebat, Pertumbuhan janin terhambat


pandangan buram, nyeri ulu hati)

Penurunan fungsi ginjal progresif Oligohidramnion persisten

Sindrom HELLP Profil biofisik < 4

Edema paru Deselerasi variabel dan lambat pada NST

Eklamsia Doppler a. umbilikalis: reversed end diastolic flow

Solusio plasenta Kematian janin

Persalinan atau ketuban pecah

Bila setelah 2 kali 24 jam tidak ada perbaikan maka keadaan ini dianggap sebagai
kegagalan pengobatan medisinal dan harus diterminasi.
2) Pemberian Magnesium Sulfat
Tujuan utama pemberian magnesium sulfat pada preeklamsia adalah untuk mencegah
dan mengurangi angka kejadian eklamsia, serta mengurangi morbiditas dan mortalitas
maternal serta perinatal. Salah satu mekanisme kerjanya adalah menyebabkan vasodilatasi
melalui relaksasi dari otot polos, termasuk pembuluh darah perifer dan uterus, sehingga selain
sebagai antikonvulsan, magnesium sulfat juga berguna sebagai antihipertensi dan tokolitik.
Magnesium sulfat juga berperan dalam menghambat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) di
otak, yang apabila teraktivasi akibat asfiksia, dapat menyebabkan masuknya kalsium ke
dalam neuron, yang mengakibatkan kerusakan sel dan dapat terjadi kejang. Efek samping
minor yang terbanyak ditemukan adalah flushing.
Pemberian magnesium sulfat pada preeklamsia berat:
 Magnesium sulfat direkomendasikan sebagai terapi lini pertama eklamsia.
 Magnesium sulfat direkomendasikan sebagai profilaksis terhadap eklamsia pada
pasien preeklamsia berat.
 Magnesium sulfat merupakan pilihan utama pada pasien preeklamsia berat
dibandingkan diazepam atau fenitoin, untuk mencegah terjadi kejang/eklamsia atau
kejang berulang.
 Evaluasi kadar magnesium serum secara rutin tidak direkomendasikan.
 Pemberian magnesium sulfat tidak direkomendasikan untuk diberikan secara rutin
ke seluruh pasien preeklamsia, jika tidak didapatkan gejala pemberatan
(preeklamsia tanpa gejala berat).
Cara pemberian magnesium sulfat melalui intravena secara kontinyu:
 Dosis Awal: 4 gram MgSO4 (10 cc MgSO4 40%) dilarutkan dalam 100 cc ringer
laktat, diberikan selama 15-20 menit.
 Dosis Pemeliharaan: 10 gram MgSO4 (25 cc MgSO4 40%) dilarutkan dalam 500 cc
ringer laktat, kecepatan 1-2 gram/jam (20-30 tetes/menit).
Syarat-syarat pemberian magnesium sulfat:
 Harus tersedia antidotum MgSO4 yaitu kalsium glukonas 10% (1 gram dalam 10
cc) diberikan IV dalam waktu 3-5 menit.
 Refleks patella (+) kuat.
 Frekuensi pernapasan ≥ 16 kali per menit.
 Produksi urin ≥ 30 cc dalam 1 jam sebelumnya (0,5 cc/KgBB/jam).
Magnesium sulfat dihentikan bila:
 Ada tanda-tanda intoksikasi
 Setelah 24 jam pascasalin
 Dalam 6 jam pascasalin sudah terjadi perbaikan tekanan darah (normotensif).
3) Pemberian Antihipertensi pada Preeklampsia Berat
Indikasi utama pemberian obat antihipertensi pada kehamilan adalah untuk keselamatan
ibu dalam mencegah penyakit serebrovaskular. Pemberian antihipertensi berhubungan
dengan pertumbuhan janin terhambat sesuai dengan penurunan tekanan arteri rata – rata.
 Antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia dengan hipertensi berat, atau
tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg.
 Target penurunan tekanan darah adalah sistolik < 160 mmHg dan diastolik < 110
mmHg.
 Pemberian antihipertensi pilihan pertama adalah nifedipin oral short acting,
hydralazine, dan labetalol parenteral.
 Alternatif pemberian antihipertensi yang lain adalah nitogliserin, metildopa,
labetalol.
4) Pengelolaan Aktif
Cara terminasi kehamilan:
Belum inpartu:
 Dilakukan induksi persalinan bila skor bishop ≥ 6. Bila perlu dilakukan
pematangan serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan harus sudah mencapai
kala II dalam waktu 24 jam. Bila tidak, induksi dianggap gagal dan harus dilakukan
seksio sesarea.
 Indikasi seksio sesarea:
- Syarat persalinan pervaginam tidak terpenuhi
- Terdapat kontraindikasi persalinan pervaginam
- Induksi persalinan gagal
- Terjadi gawat janin
- Kelainan letak
- Bila umur kehamilan < 34 minggu

Sudah inpartu:
 Perjalanan persalinan normal diikuti dengan partograf.
 Memperpendek kala II (diselesaikan dengan partus buatan kecuali ada
kontraindikasi).
 Seksio sesarea dilakukan apabila terdapat kegawatan ibu dan gawat janin.
 Bila skor bishop ≤ 6 direkomendasikan tindakan seksio sesarea.
 Anestesi dengan anestesi regional atau epidural.

8. Prognosis
Wanita dengan riwayat preeklamsia memiliki risiko penyakit kardiovaskular, 4x
peningkatan risiko hipertensi, dan 2x risiko penyakit jantung iskemik, stroke dan DVT di
masa yang akan datang. Risiko kematian pada wanita dengan riwayat preeklampsia lebih
tinggi, termasuk yang disebabkan oleh penyakit serebrovaskular. Komplikasi lain dari
preeklamsia adalah kelahiran prematur, pertumbuhan janin terhambat, abrupsi plasenta, dan
eklamsia. Diperkirakan eklamsia terjadi 1-3 dari 1000 pasien preeklamsia.
1. POGI. Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) tentang Preeklampsia.
Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2015.
2. SMF Obstetri dan Ginekologi RSUP Dr. Hasan Sadikin. Panduan Praktik Klinis
Obstetri. Bandung: SMF Obstetri dan Ginekologi RSUP Dr. Hasan Sadikin. 2018
3. Cunningham FG, Williams JW. Williams obstetrics. 25th ed. New York: McGraw-
Hill Education; 2018.

Anda mungkin juga menyukai