Anda di halaman 1dari 3

Nama : Muhamad Charis Ali

Kelas : XII IPS 4

No. : 23

TEKS SEJARAH PANGERAN DIPONEGORO

Dilahirkan dari keluarga Kesultanan Yogyakarta, memiliki jiwa kepemimpinan dan kepahlawanan.
Hatinya yang bersih dan sebagai seorang pangeran akhirnya menuntunnya menjadi seorang yang
harus tampil di depan guna membela kehormatan keluarga, kerajaan, rakyat dan bangsanya dari
penjajahan Belanda. Namun resiko dari kebersihan hatinya, ia ditangkap oleh Belanda dengan cara
licik, rekayasa perundingan. Namun walaupun begitu, beliau tidak akan pernah menyesal karena
beliau wafat dengan hati yang tenang, tidak berhutang pada bangsanya, rakyatnya, keluarganya,
terutama pada dirinya sendiri. Kejujuran, kesederhanaan, kerendahan hati, kebersihan hati,
kepemimpinan, kepahlawanan, itulah barangkali sedikit sifat yang tertangkap bila menelusuri
perjalanan perjuangan Pahlawan kita yang lahir di Yogyakarta tanggal 11 November 1785, ini.

Pangeran Diponegoro yang bernama asli Raden Mas Ontowiryo, ini menunjukkan kesederhanaan
atau kerendahan hatinya itu ketika menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengku Buwono III untuk
mengangkatnya menjadi raja. Beliau menolak mengingat bunda yang melahirkannya bukanlah
permaisuri. Bagi orang-orang yang tamak akan kedudukan, penolakan itu pasti sangat disayangkan.
Sebab bagi orang tamak, jangankan diberi, bila perlu merampas pun dilakukan. Melihat penolakan
ini, sangat jelas sifat tamak tidak ada sedikit pun pada Pangeran ini. Yang ada hanyalah hati yang
bersih. Beliau tidak mau menerima apa yang menurut beliau bukan haknya. Itulah sifat yang
dipertunjukkannya dalam penolakan terhadap tawaran ayahnya tersebut.

Namun sebaliknya, beliau juga akan memperjuangkan sampai mati apa yang menurut beliau menjadi
haknya. Sifatnya ini jelas terlihat jika memperhatikan sikap beliau ketika melihat perlakuan Belanda
di Yogyakarta sekitar tahun 1920. Hatinya semakin tidak bisa menerima ketika melihat campur
tangan Belanda yang semakin besar dalam persoalan kerajaan Yogyakarta. Berbagai peraturan tata
tertib yang dibuat oleh Pemerintah Belanda menurutnya sangat merendahkan martabat raja-raja
Jawa. Sikap ini juga sangat jelas memperlihatkan sifat kepemimpinan dan kepahlawanan beliau.
Sebagaimana diketahui bahwa Belanda pada setiap kesempatan selalu menggunakan politik
‘memecah-belah’-nya. Di Yogyakarta sendiri pun, Pangeran Diponegoro melihat, bahwa para
bangsawan di sana sering di adu domba Belanda. Ketika kedua bangsawan yang diadu-domba saling
mencurigai, tanah-tanah kerajaan pun semakin banyak diambil oleh Belanda untuk perkebunan
pengusaha-pengusaha dari negeri kincir angin itu.

Melihat keadaan demikian, Pangeran Diponegoro menunjukkan sikap tidak senang dan memutuskan
meninggalkan keraton untuk seterusnya menetap di Tegalrejo. Melihat sikapnya yang demikian,
Belanda malah menuduhnya menyiapkan pemberontakan. Sehingga pada tanggal 20 Juni 1825,
Belanda melakukan penyerangan ke Tegalrejo. Dengan demikian Perang Diponegoro pun telah
dimulai. Dalam perang di Tegalrejo ini, Pangeran dan pasukannya terpaksa mundur, dan selajutnya
mulai membangun pertahanan baru di Selarong. Perang dilakukan secara bergerilya dimana pasukan
sering berpindah-pindah untuk menjaga agar pasukannya sulit dihancurkan pihak Belanda. Taktik
perangsang gerilya ini pada tahun-tahun pertama membuat pasukannya unggul dan banyak
menyulitkan pihak Belanda.

Namun setelah Belanda mengganti siasat dengan membangun benteng-benteng di daerah yang
sudah dikuasai, akhirnya pergerakan pasukan Diponegoro pun tidak bisa lagi sebebas sebelumnya.
Disamping itu, pihak Belanda pun selalu membujuk tokoh-tokoh yang mengadakan perlawanan agar
menghentikan perang. Akhirnya, terhitung sejak tahun 1829 perlawanan dari rakyat pun semakin
berkurang.Belanda yang sesekali masih mendapatkan perlawanan dari pasukan Diponegoro, dengan
berbagai cara terus berupaya untuk menangkap pangeran. Bahkan sayembara pun dipergunaan.
Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Diponegoro
sendiri tidak pernah mau menyerah sekalipun kekuatannya semakin melemah.

Karena berbagai cara yang dilakukan oleh Belanda tidak pernah berhasil, maka permainan licik dan
kotor pun dilakukan. Diponegoro diundang ke Magelang untuk berunding, dengan jaminan kalau
tidak ada pun kesepakatan, Diponegoro boleh kembali ke tempatnya dengan aman. Diponegoro
yang jujur dan berhati bersih, percaya atas niat baik yang diusulkan Belanda tersebut. Apa lacur,
undangan perundingan tersebut rupanya sudah menjadi rencana busuk untuk menangkap pangeran
ini. Dalam perundingan di Magelang tanggal 28 Maret 1830, beliau ditangkap dan dibuang ke
Menado yang dikemudian hari dipindahkan lagi ke Ujungpandang. Setelah kurang lebih 25 tahun
ditahan di Benteng Rotterdam, Ujungpandang, akhirnya pada tanggal 8 Januari 1855 beliau
meninggal. Jenazahnya pun dimakamkan di sana. Beliau wafat sebagai pahlawan bangsa yang tidak
pernah mau menyerah pada kejaliman manusia.

Unsur Intrinsik :

1. Tema : perjuangan
2. Penokohan : Pangeran Diponegoro
Sultan Hamengku Buwono III
3. Latar tempat : Yogyakarta, Magelang(Tegalrejo), Ujungpandang,
Latar waktu : 11 November 1785 - 8 Januari 1855
Latar Suasana : menegangkan, menyedihkan
4. Alur : maju
5. Sudut Pandang : orang ketiga
6. Amanat :
 Memiliki hati yang bersih tidak mau menerima apa yang menurut beliau bukan
haknya.
 Seorang yang pantang menyerah.
 Seorang yang tidak suka diikut campur tangankan dengan Belanda.

Unsur Ekstrinsik :

 Nilai moral : Kejujuran, kesederhanaan, kerendahan hati, kebersihan hati,


kepemimpinan, kepahlawanan dari seorang Pangeran Diponegoro.
 Nilai Budaya : pengangkatan takhta di kerajaan menggunakan sistem turun temurun
 Nilai Sosial : kerja sama untuk melawan penjajah
Unsur Kebahasaan :

1. Banyak menggunakan kalimat bermakna lampau


 Sehingga pada tanggal 20 Juni 1825, Belanda melakukan penyerangan ke Tegalrejo.
2. Banyak menggunakan kata yang menyatakan urutan waktu
• Setelah kurang lebih 25 tahun ditahan di Benteng Rotterdam, Ujungpandang, akhirnya
pada tanggal 8 Januari 1855 beliau meninggal. Jenazahnya pun dimakamkan di sana.
3. Banyak menggunakan kata kerja material
 itulah barangkali sedikit sifat yang tertangkap bila menelusuri perjalanan perjuangan
Pahlawan kita yang lahir di Yogyakarta tanggal 11 November 1785, ini.
 Sebagaimana diketahui bahwa Belanda pada setiap kesempatan selalu
menggunakan politik ‘memecah-belah’-nya.
 Dan selajutnya mulai membangun pertahanan baru di Selarong.
4. Banyak menggunakan kata keeja mental
 Melihat keadaan demikian, Pangeran Diponegoro menunjukkan sikap tidak senang
dan memutuskan meninggalkan keraton untuk seterusnya menetap di Tegalrejo.
5. Menggunakan kata kata sifat
 Diponegoro yang jujur dan berhati bersih, percaya atas niat baik yang diusulkan
Belanda tersebut.

Anda mungkin juga menyukai