197-208
© Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya
JTRESDA
Journal homepage: https://jtresda.ub.ac.id/
Abstract: The Prijetan Dam was the first dam built in Indonesia in 1910 – 1916 by
the dutch east indies government. This dam was built on the Prijetan River which is
located in Sumbergempol Village, Kedungpring District, Lamongan Regency, East
Jawa Province. Considering the age of the Prijetan Dam which is more than 100 years
old, further analysis are needed on the impact of the dangers that can be caused by
the break of the Prijetan Dam. Dams break is the collapse of part or all of the main
dam causing the dam to be unable to function again. Dam breaks mostly occur due to
overtopping or piping. From the simulation of the dam break of the Prijetan Dam
using the Zhong Xing HY21 software, it was found that the largest floods occurred in
the bottom piping scenario with the condition of the floodwater level reservoir. The
area of the floods reached 26,607 km2 with a maximum flood depth of 6,880 m. The
floods spread to 38 villages located downstream of the Prijetan Dam with an estimated
11.412 people at risk.
1. Pendahuluan
Indonesia disebut sebagai negara agraris yang memiliki arti bahwa sebagian besar wilayah
daratannya dipergunakan untuk pengembangan pada sektor pertanian. Seiring dengan berjalanya waktu,
jumlah penduduk yang terus meningkat akan berimbas pada bertambahnya permintaan bahan pangan
baik untuk kebutuhan sehari – hari ataupun industri [1]. Akibatnya kebutuhan akan ketersediaan air
baku guna memenuhi kebutuhan irigasi pun juga ikut meningkat. Guna memenuhi jumlah kebutuhan
air baku di Indonesia, pembangunan bendungan pun dipilih untuk menjadi salah satu cara agar
ketersediaan air baku tetap melimpah. Namun dibalik itu, pembangunan bendungan yang salah dapat
menjadi ancaman bahaya yang besar bagi wilayah terdampaknya. Peraturan Menteri PUPR No. 27
Tahun 2015 pasal 2 berbunyi bahwa "Pembangunan bendungan dan pengelolaannya harus dilaksanakan
berdasarkan pada konsepsi keamanan bendungan yang terdiri dari 3 pilar utama" [2]. Yang mana salah
satu pilar utamanya berisikan mengenai Kesiapsiagaan Tindak Darurat.
Bendungan Prijetan merupakan bendungan tertua di Indonesia yang sampai saat ini masih
beroperasi. Bendungan ini dibangun pada sekitar tahun 1910-1916 oleh Pemerintahan Hindia Belanda
dan bertujuan untuk mengairi lahan irigasi seluas 4.600 ha yang terletak di tiga kecamatan pada
Kabupaten Lamongan. Mengingat usia dari Bendungan Prijetan yang lebih dari 100 tahun, maka perlu
di lakukan kembali analisa banjir yang dapat terjadi apabila Bendungan Prijetan mengalami keruntuhan,
sesuai dengan isi dari Peraturan Menteri PUPR No. 27 Tahun 2015 Tentang bendungan yang
menyebutkan bahwa “Pemilik bendungan harus mempunyai dokumen rencana tindak darurat yang
dapat digunakan untuk melakukan tindakan yang diperlukan apabila terjadi kegagalan bendungan”.
Analisa mengenai keruntuhan pada Bendungan Prijetan dilakukan dengan bantuan software Zhong
Xing HY21 guna mempermudah proses analisa dan dapat memberikan hasil peta sebaran genangan
banjir dengan lebih akurat. Simulasi keruntuhan Bendungan Prijetan dilakukan dengan kondisi
overtopping dan piping. Peta penyebaran banjir serta karakteristik banjir yang diperoleh dari hasil
simulasi keruntuhan Bendungan Prijetan dengan software Zhong Xing HY21 dapat dipergunakan
sebagai pedoman untuk menentukan batasan potensi daerah terdampak bencana dan jalur evakuasi.
Sehingga diharapkan dapat memperkecil angka kerugian material maupun non material yang akan
ditimbulkan apabila Bendungan Prijetan mengalami keruntuhan.
2. Bahan dan Metode
2.1 Bahan
Bendungan Prijetan berdiri diatas Sungai Prijetan yang terletak di Desa Sumbergempol,
Kecamatan Kedungpring, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur. Secara administratif Bendungan
Prijetan dengan No. Register 3522.02.12.037 dan terletak pada 700 12’ 56,00” LS – 1120 12’ 37,98”
BT. Bendungan ini direncanakan mampu menampung air baku sebanyak 8,75 juta m3 yang digunakan
untuk mengairi lahan irigasi seluas 4.600 ha yang tersebar pada 33 desa di kabupaten lamongan. Saat
ini Bendungan Prijetan dikekola dan dipelihara oleh BBWS Bengawan Solo. Data yang digunakan
dalam analisa banjir akibat keruntuhan Bendungan Prijetan merupakan data sekunder, antara lain:
a. Data teknis Bendungan Prijetan.
b. Data curah hujan harian maksimum tahunan pada Stasiun Hujan Prijetan/Mlati selama 20 tahun.
c. Lengkung kapasitas waduk
d. Peta Isohyet PMP wilayah Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
e. Peta DEM (Data Elevation Model).
f. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Kabupaten Lamongan dan Bojonegoro, Jawa Timur.
g. Data jarak desa terdampak terhadap Bendungan Prijetan.
h. Data jumlah penduduk pada Kabupaten Lamongan dan Bojonegoro, Jawa Timur.
198
Yahya, I. M., et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 197-208
2.2 Metode
Analisa dalam studi ini dibagi menjadi 3 kelompok yaitu analisa mengenai hidrologi pada daerah
tangkapan air (DTA) Waduk Prijetan, selanjutnya hasil dari analisa hidrologi diolah dengan Software
Zhong Xing HY21 guna mengsimulasikan keruntuhan Bendungan Prijetan, dan yang terakhir
menentukan klasifikasi tingkat bahaya banjir akibat keruntuhan Bendungan Prijetan. Dalam proses
analisa hidrologi untuk mendapatkan debit maksimum ataupun debit minimum, maka pakar hidrologi
perlu menginterpretasikan data yang tersedia untuk digunakan pada penelitiannya [3]. Analisa hidrologi
dilakukan dengan tujuan untuk memprediksi berapa nilai hujan maksimum yang terjadi pada daerah
tangkapan air Waduk Prijetan dan selanjutnya diubah menjadi debit banjir maksimum.
Analisa hidrologi dimulai dari menguji kualitas data hujan yang didapat dengan cara uji
konsistensi RAPS, uji kecenderungan dengan metode Spearman, dan uji Outlier. Dalam menguji
kualitas data hujan setidaknya menggunakan 20 tahun data pengamatan, serta mempelajari karakteristik
dari fungsi distribusi yang digunakan [4]. Selanjutnya dilakukan analisa frekuensi dengan metode
Normal, Log normal, Log Pearson III dan Gumbel. Dan diuji kesesuaian distribusi dengan 2 metode
yaitu uji Smirnov-Kolmogorov dan uji Chi-Square untuk menentukan curah hujan rancangan (PMP)
yang akan dipakai. Kemudian data PMP tersebut dikonversikan menjadi debit banjir maksimum (PMF)
dengan metode Hidrograf Satuan Sintetis (HSS).
Nilai PMF yang didapat dibandingkan dengan nilai debit maksimum menggunakan metode
Creager untuk memastikan kualitas dari nilai PMF yang digunakan bagus. Langkah berikutnya yaitu
menghitung flood routing dengan tujuan untuk mengetahui apakah bendungan mengalami overtopping
atau tidak [5]. Hasil dari analisa hidrologi selanjutnya diolah bersamaan dengan peta DEM untuk
melakukan simulasi keruntuhan Bendungan Prijetan dengan Software Zhong Xing HY21. Data kontur
(DEM) disa diambil dari data vector Peta RBI dengan format DWG yang di konversi menjadi SHP [6].
Dan diperoleh peta sebaran banjir yang selanjutnya digunakan untuk penentuan klasifikasi tingkat
bahaya banjir akibat keruntuhan Bendungan Prijetan serta jalur evakuasinya.
2.3 Persamaan
199
Yahya, I. M., et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 197-208
cukup sederhana, dan hasil yang diperoleh cukup teliti [7]. Berikut persamaan debit banjir puncak pada
Hidrograf Satuan Sintetis (HSS) Nakayasu [8]:
𝐴×𝑅0
𝑄𝑝 = Pers. 1
3,6(0,3𝑇𝑝 +𝑇0,3 )
𝑇𝑝 = 𝑇𝑔 + 0,8𝑇𝑟 Pers. 2
𝑇0,3 = 𝛼 × 𝑇𝑔 Pers. 3
Dimana:
Qp = Debit banjir puncak (m3/dt)
A = Luas daerah tangkapan air (km2)
R0 = Hujan satuan (mm)
Tp = Waktu yang dibutuhkan sampai ke puncak bajir (jam)
T0,3 = Waktu yang dibutuhkan dari puncak banjir sampai ke 0,3 kali debit puncak (jam)
Tg = Waktu delay antara hujan sampai debit puncak banjir (jam)
Tr = lama hujan efektif (0,5 ~ 1 Tg)
α = Koefisien karakteristik daerah tangkapan air
• Flood Routing
Penelusuran banjir atau flood routing pada bendungan diperlukan untuk mendapatkan data debit
outflow maksimum serta elevasi muka air maksimum pada tampungan waduk. Analisa penelusuran
banjir digunakan untuk melihat apakah QPMF yang masuk menyebabkan overtopping ataupun tidak.
Apabila tidak terjadi overtopping maka simulasi keruntuhan bendungan diasumsikan terjadi akibat
piping. Persamaan untuk analisa penelusuran banjir pada dasarnya menggunakan:
𝑑𝑠
𝐼−𝑂 = Pers. 6
𝑑𝑡
(𝑄𝑗 +𝑄𝑗+1 )
𝑆𝑗+1 − 𝑆𝑗 = ((𝐼𝑗 + 𝐼𝑗+1 )∆𝑡 − ) ∆𝑡 Pers.7
2
Dimana:
I = Hidrograf inflow
Q = Hidrograf outflow
S = Fungsi tampugan
Δt = Interfal durasi
Kurva hubungan antara elevasi muka air debit outflow saat melalui spillway ditetapkan dari
persamaan hidrolika seperti berikut:
3⁄
𝑄 =𝐶𝐿𝐻 2 Pers.8
Dimana:
Q = Debit rancangan (m3/dt)
C = Koefisien debit melewati pelimpah (1,7 ~ 2,2 m0,5/dt)
L = Total panjang mercu spillway (m)
H = Tinggi muka air diatas pelimpah (m)
200
Yahya, I. M., et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 197-208
• Keruntuhan Bendungan
Keruntuhan atau kegagalan bendungan ialah runtuhnya sebagian atau seluruh tubuh bendungan
yang menyebabkan bendungan tersebut tidak dapat berfungsi kembali [9].
Rekahan yang terjadi secara terus menerus menyebabkan tubuh bendungan mengalami keruntuhan
total. Untuk menghitung rata-rata rekahan dan waktu keruntuhan yang terjadi, dapat digunakan
persamaan regresi Froechlich (1987) sebagai berikut:
Dengan:
B_BAR = Lebar rerata rekahan (m)
TIME_BF = Waktu terjadi keruntuhan (jam)
Ko = Koefisien (1,3 untuk overtopping; 1,0 untuk piping)
Vr = Volume tampungan saat terjadi keruntuhan (m 3)
Hd = Tinggi akhir rekahan (m)
Froechlich menyatakan bahwa lereng sisi rerata seharusnya 1,0H : 1V untuk overtopping dan 0,7H
: 1V untuk piping [10].
201
Yahya, I. M., et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 197-208
Keterangan Tabel 1:
Nilai klasifikasi bahaya 1 = Bahaya tingkat rendah
Nilai klasifikasi bahaya 2 = Bahaya tingkat sedang
Nilai klasifikasi bahaya 3 = Bahaya tingkat tinggi
Nilai klasifikasi bahaya 4 = Bahaya tingkat sangat tinggi
3. Hasil dan Pembahasan
3. 1 Analisa Hidrologi
Nilai PMF dari hasil perhitungan HSS Nakayasu dan HSS Limantara memiliki selisih yang tidak
jauh berbeda, Namun untuk analisa selanjutnya akan menggunakan hasil dari analisa HSS Nakayasu
dikarenakan memiliki nilai PMF yang lebih tinggi, sebesar 667,974 m 3/dt.
202
Yahya, I. M., et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 197-208
3. 2 Flood Routing
Nilai debit PMF yang didapatkan dari hasil analisa hidrograf satuan sintetis kemudian di gunakan
untuk melihat apakah bendungan prijetan mengalami overtopping maupun tidak. Berikut grafik
hubungan debit inflow dan outflow pada tampungan Waduk Prijetan dengan skenario debit PMF.
400
193,395 m3/dt
200
0
0 5 10 15 20
Waktu (jam)
Gambar 5: Grafik Hubungan Debit Inflow dan Outflow Kondisi PMF
Dari perhitungan penelusuran banjir melalui pelimpah untuk Q PMF didapatkan bahwa debit outflow
maksimum yang mengalir sebesar 193,395 m3/dt dengan elevasi muka air +51,091 m. Jika dibandingkan
dengan batas jagaan atas muka air maksimum Waduk Prijetan yang berada pada elevasi +51,25 m, maka
pada skenario QPMF tidak terjadi Overtopping.
3. 3 Simulasi Keruntuhan Bendungan
Simulasi keruntuhan Bendungan Prijetan dilakukan dengan skenario piping pada bagian atas,
tengah, maupun bawah tubuh bendungan dengan kondisi muka air normal dan banjir.
Tabel 3: Rekapitulasi Output Software Zhong Xing HY21
Luas Genangan Debit Puncak
Jumlah Desa
Skenario Keruntuhan Bendungan Banjir Banjir
Terdampak 2
(km ) (m3/dt)
Piping Bawah Kondisi MAB 38 26,607 5,217
Piping Tengah Kondisi MAB 38 25,974 3,352
Piping Atas Kondisi MAB 36 25,114 1,655
Skenario keruntuhan Bendungan Prijetan akibat Piping Bawah pada Kondisi muka air banjir
(MAB) menyebabkan dampak banjir terburuk bagi 38 desa yang berada di hilir Bendungan Prijetan.
Dengan Luas genangan banjir yang terjadi mencapai 26,607 km2 serta kedalaman banjir maksimum
6,880 m.
Piping MAB
5 Bawah
4
Piping MAB
3 Tengah
2 Piping MAB
1 Atas
0
0 2 4 6 8 Waktu (Jam)
Gambar 6: Grafik Perbandingan Debit Banjir pada Saat Terjadi Keruntuhan
203
Yahya, I. M., et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 197-208
204
Yahya, I. M., et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 197-208
205
Yahya, I. M., et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 197-208
206
Yahya, I. M., et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 197-208
2.0
1.3
0.7
0.0
Trojalu :
Kantor Desa
Selorejo :
Kantor Desa
Nguwok :
SDN Sumengko
Maindu :
Kantor Desa
Karangan :
Kantor Desa
Werugering :
Kantor Desa
Lapangan Bola
Kalen :
Masjid Muftahul Huda
Tenggerejo (Toan) :
Masjid Al- Imam
207
Yahya, I. M., et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 197-208
2. Banjir terbesar terjadi pada skenario Piping dengan kondisi Muka Air Banjir (MAB) di elevasi
+51,091 m. Limpasan banjir menyebar ke 38 desa dengan waktu tiba banjir tercepat pada menit
ke-30 dan yang terlama pada jam ke-92 lebih 45 menit. Waktu surut banjir tercepat terjadi dalam
kurun waktu 1 jam. Kedalaman banjir maksimum terjadi pada Desa Mlati dengan ketinggian air
6,880 m dan memiliki kecepatan aliran sebesar 2,502 m2/dt.
3. Skenario Piping Bawah dengan Kondisi Muka Air Banjir (MAB) memiliki dampak banjir terburuk
bagi 38 desa yang berada di hilir Bendungan Prijetan. Dari hasil simulasi didapatkan bahwa luas
genangan banjir yang terjadi mencapai 26,607 km2 (2660,653 ha), dengan debit puncak banjir
5,217 m3/dt.
4. Penentuan klasifikasi tingkat bahaya banjir pada daerah terdampak keruntuhan Bendungan Prijetan
dilakukan berdasarkan peta sebaran genangan banjir akibat skenario Piping Bawah dengan Kondisi
Muka Air Banjir (MAB). Dan didapatkan bahwa:
• 17 desa memiliki tingkat bahaya ke – 4 (Sangat Tinggi) dengan ∑ PENRIS 11.196 jiwa,
• 2 desa memiliki tingkat bahaya ke – 3 (Tinggi) dengan ∑ PENRIS 150 jiwa,
• 1 desa memiliki tingkat bahaya ke – 2 (Sedang) dengan ∑ PENRIS 65 jiwa,
• 18 desa memiliki tingkat bahaya ke – 1 (Rendah).
Daftar Pustaka
[1] P. T. Juwono, dan A. Subagiyo, Sumber daya air dan pengembangan wilayah. Malang: UB Press,
p.17, 2018.
[2] “Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia
No.27/PRT/M/2015 tentang Bendungan,” p. 5, 2015.
[3] C. D. Soemarto. Ir. B.I.E. DIPL.H., Hidrologi Teknik Edisi Ke – 2. Jakarta: Erlangga, 1997.
[4] Badan Standardisasi Nasional, “SNI 2415:2016 - Tata cara perhitungan debit banjir rencana,”
2016.
[5] C.D. Soemarto, Hidrologi Teknik. Surabaya: Usaha Nasional, 1987.
[6] R. Asmaranto, HEC-GeoRAS - HecRAS - Mapper Panduan Praktis Insinyur Pengairan Untuk
Analisis Hidrolika Sungai-Genangan Banjir. Magetan: CV. AE MEDIA GRAFIKA, p. 42, 2021.
[7] B. Triatmodjo, Hidrologi Terapan. Yogyakarta: Beta Offset, 2010.
[8] L. M. Limantara, Rekayasa Hidrologi, Revisi. Yogyakarta: ANDI, 2018.
[9] Y. P. Sasongko dan P. T. Juwono, Analisa Keruntuhan Bendungan Kuningan Dengan
Menggunakan Program Zhong Xing HY21, vol. 5, p. 110–118, 2018.
[10] G. W. Brunner, Using HEC-RAS for Dam Break Studies, TD-39. Us Army Corps Eng. Hydrol.
Eng. Cent., no. August, p. 74, 2014.
[11] E. V. Aryadi, P. T. Juwono, D. Priyantoro, dan R. Asmaranto, Analisa Keruntuhan Bendungan
Gondang Dengan Menggunakan Program Zhong Xing Hy21, vol. 5, p. 110–118, 2014.
[12] Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, “Pedoman Teknis
Klasifikasi Bahaya Bendungan.” Jakarta, 2011.
208