Bianca Alan
Bianca Alan
1
“Aku sudah bilang dengan Hasan. Aku memerlukan kalian
berdua untuk berada di pihakku. Hasan akan menjelaskan secara
singkatnya dan memberikan kalian berdua surat tugas.”
“Siap Komandan.”
“Istri dan anakmu di Jakarta kan Ben?”
“Siap, benar Bu.”
“Kamu masih betah sendiri Lan?”
“Siap, saya masih sendiri Bu.”
Istri komandan Arie tersenyum, melihat Harlan.
Pandangannya tak bisa dijelaskan, tapi cukup membuat Harlan
mengalihkan pandangannya dari perempuan yang seumuran
dengan ibunya itu.
“Ayo Pa! Kita harus segera ke Bandara.”
“Iya. Aku tunggu kalian ya.”
“Siap Komandan.” Mereka memberi hormat sampai
keduanya hilang dari pandangan.
“Bu Rosa tidak berubah ya? Masih begitu mengikuti kabar
anak buahnya. Apalagi pandangannya ke lo tadi. Kalo gue jadi
lo, udah luluh lantak hati ini. Satu-satunya orang yang nggak ikut
menghujat lo ketika lo mendorong putrinya menjauh.”
2
“Gue nggak bisa tidur.”
“Kenapa? Kan Komandan Hasan bilang kalo kita hanya
mengawal Komandan Arie dan istrinya saja. Tidak ada Bianca di
sana.”
Harlan tak mempedulikan, dia keluar begitu saja.
“Untung temen gue.”
3
BAB ?
?
“Udah merem aja, gue tau jalan kok.” Ujar Beny ketika
sepanjang perjalanan, hampir tiba di perbatasan Jawa Tengah dan
Jawa Barat, Harlan masih memejamkan matanya.
“Gue nggak bisa merem.”
“Semalem lo nggak tidur, sekarang juga nggak tidur.
Kenapa? Komandan Harlan yang tidak pernah takut mati,
sekarang takut ketemu mbak Bianca?”
Harlan mendesah, lalu merebahkan kursinya. “Gue mau
tidur.”
“Lo hanya perlu jujur sama diri lo sendiri Lan.”
4
membawa 2 gelas kopi. “Mbak Bi baik-baik saja kok cah
ganteng.”
Pandangan Beny beralih ke Harlan yang berdiri di depan
foto keluarga yang berukuran besar. Di sana ada komandan Arie,
istrinya, Bianca, kakak laki-laki Bianca yang menggandeng anak
laki-laki beserta perempuan yang menggendong bayi.
“Mas Tara tinggal dimana sekarang Bik?” tanya Harlan
sambil mengambil kopinya.
“Masih tetep di Kanada.”
“Nggak mau nanyain adeknya?” tanya Beny.
“Gue ngangkat telfon dulu.” Harlan berjalan keluar rumah.
“Bianca kemana Bik?”
“Ikut mas Tara. Kadang pulang kok. Itu foto belom lama ini.
Mungkin sekitar tiga bulan lalu. Semenjak kejadian itu, mas Tara
memang lebih over protective ke mbak Bi. Dan mbak Bi jauh
lebih baik dibandingkan waktu itu.”
“Beneran nggak makan kalian?” tanya bu Rosa yang baru
turun dari lantai 2. Beliau sudah siap dengan baju rapihnya.
“Tolong antarkan aku ke tempat bapak ya?”
“Siap Bu.”
“Alan mana?”
“Di luar Bu.”
“Kalian bawa mobil kan?”
“Ada Bu, punyanya Alan.”
“Pakai mobil Alan aja.”
Harlan masuk. “Komandan baru saja telfon Bu, kami akan
mengantar ibu.”
“Iya.”
“Bik, barangnya Bapak dikasih Alan sama Beny.”
“Injih.”
5
“Gue pengen banget mesra kayak mereka meskipun udah
nggak muda lagi.” Ujar Beny ketika melihat komandan Arie dan
istrinya saling cipika-cipiki lalu berpelukan singkat. “Komandan
Arie tegesnya minta ampun sama bawahan, tapi kalo sama
istrinya bisa berbanding terbalik.”
Harlan tak ingin merespon, entah kemana pikirannya
berada.
“Lo beneran nggak pengen tau mbak Bianca ada dimana?”
“Ngapain bahas dia lagi sih?”
“Gue penasaran aja, sebenernya perasaan lo ke mbak Bianca
seperti apa sih? Perlakuan lo manis banget ke dia, tapi waktu itu
gue bahkan nggak kenal siapa lo Lan. Wajar aja Mas Tara segitu
ngamuknya sama lo. Kalo bu Rosa nggak ngelerai waktu itu,
mungkin lo bakal mati di tangan mas Tara dan komandan Arie.”
6
BAB ?
?
7
“Aku minta maaf Bi.”
“Maaf? Kemana aja selama ini? Pernah nggak punya niat
sedikit aja buat minta maaf ke aku?”
Harlan tak menjawab, dia hanya menunduk.
“Mana barang mbak Sania Ma?”
Bu Rosa menyerahkan paper bag pada putrinya.
“Aku balik.”
Harlan mengejar Bianca yang keluar dari ruangan itu dan
memeluknya.
“Aku salah Bi. Aku minta maaf.”
“Lepas Lan!”
“Nggak. Kamu harus dengerin penjelasanku dulu.”
“Apa yang harus dijelasin? Waktu itu aku cinta, kamunya
enggak.”
“Aku takut nggak bisa jaga kamu seperti penculikan waktu
itu.”
“Harusnya aku mati aja waktu itu. Biar aku nggak kamu
buang kayak sampah.”
“Maaf karena aku menyimpulkan sendiri tanpa tanya kamu.
Aku salah. Aku minta maaf.”
8
BAB ?
?
9
“Apa kamu mencintai Bianca? Jawab dengan tegas Letnan!”
suara komandan Arie menggema di ruangan itu.
“Siap, saya mencintai putri Anda Komandan.”
“Apa kamu serius dengan perasaanmu?”
“Siap, serius Komandan.”
“Lalu, apa kamu ingin menikahi putriku?”
“Siap, bila putri Komandan bersedia menjadi istri saya.”
“Bawa dia pulang!”
“Hah?”
“Bawa dia pulang dan nikahi dia! Jangan ijinkan dia tinggal
di negara orang.”
“Siap Komandan.”
“Nggak perlu. Dia sudah pulang.” Tara tiba-tiba datang
bersama adiknya.
Tara mendekati Harlan dan menepuk pundaknya. “Aku
serahkan dia untuk kamu jaga seumur hidup. Aku capek
mengurusnya. Untuk yang waktu itu, aku minta maaf.
Seharusnya sebagai prajurit, kamu tidak perlu sepengecut itu.”
“Aku lapar. Sampai Singapure langsung diseret kesini lagi.”
Bianca duduk di tempat Harlan duduk tadi.
“Segera urus berkas pengajuan kalian!”
Bianca menarik kursi di sampingnya, lalu menepuknya. Tak
kunjung duduk, Bianca melihat mata Harlan lalu melihat ke kursi
di sampingnya.
10
Harlan tersenyum, tangan kirinya terulur mengusap kepala
Bianca. “Apa itu artinya jawaban kamu ‘yes’?”
“Bisa beri aku waktu untuk mengurus pekerjaanku di sana?”
“No. Mas Tara akan mengurusnya.”
11