Anda di halaman 1dari 11

BAB ?

“Putus beneran lo sama Mega. Bahkan lihat muka lo aja dia


udah nggak mau.” Bisik Beny pada temannya di tengah
kesibukannya mengawal Gubernur Akademi Militer di sebuah
pesta.
“Dia lebih milih pebisnis dibandingkan abdi negara.”
“Jadi nggak ada gunanya putri kesayangan Gubernur Akmil,
ralat, Kasad sekarang, milih mundur. Dibandingkan Mega, masih
bagusan mbak Bianca kemana-mana. Ternyata udah hampir dua
taun ya mbak Bianca ngilang.”
“Dia nggak ngilang, hanya nggak ada kabar.”
“Apa bedanya? Dia menghilang begitu saja dari media, karir
artisnya yang lagi mencer-moncernya ditinggalkan begitu saja.
Semenjak hari itu segalanya terasa berubah sangat cepat.
Komandan Arie jadi Kasad, bokap lo jadi Danjen, usia kita
semakin bertambah. Apalagi lo. Bukannya buru-buru nikah,
ngasih cucu buat Komandan, lo malah putus sama perempuan
yang lo perjuangin mati-matian.”
“Komandan.” Harlan memberi hormat, diikuti Beny ketika
Komandan Arie dan istrinya menghampiri mereka.
Komandan Arie menepuk pundak Harlan. “Apa kabar kalian
berdua? Alan? Beny?”
“Siap, baik Komandan.” Jawab 2 abdi negara itu bersamaan.
“Kalian berdua tidak ingin tinggal di Jakarta? Ikut
denganku?”
“Siap Komandan."

1
“Aku sudah bilang dengan Hasan. Aku memerlukan kalian
berdua untuk berada di pihakku. Hasan akan menjelaskan secara
singkatnya dan memberikan kalian berdua surat tugas.”
“Siap Komandan.”
“Istri dan anakmu di Jakarta kan Ben?”
“Siap, benar Bu.”
“Kamu masih betah sendiri Lan?”
“Siap, saya masih sendiri Bu.”
Istri komandan Arie tersenyum, melihat Harlan.
Pandangannya tak bisa dijelaskan, tapi cukup membuat Harlan
mengalihkan pandangannya dari perempuan yang seumuran
dengan ibunya itu.
“Ayo Pa! Kita harus segera ke Bandara.”
“Iya. Aku tunggu kalian ya.”
“Siap Komandan.” Mereka memberi hormat sampai
keduanya hilang dari pandangan.
“Bu Rosa tidak berubah ya? Masih begitu mengikuti kabar
anak buahnya. Apalagi pandangannya ke lo tadi. Kalo gue jadi
lo, udah luluh lantak hati ini. Satu-satunya orang yang nggak ikut
menghujat lo ketika lo mendorong putrinya menjauh.”

“… Satu-satunya orang yang nggak ikut menghujat lo ketika


lo mendorong putrinya menjauh.”
Ucapan Beny masih terngiang-ngiang di kepala Harlan,
membuatnya tidak bisa tidur hingga subuh, padahal pagi ini dia
akan menghadap atasannya dan langsung ke Jakarta.
“Mau kemana lo?” tanya Beny yang baru keluar dari kamar
mandi.
“Mau jogging.”
“Lo bangun jam berapa sih? Tadi gue tidur duluan, pas gue
ada panggilan alam, lo udah bangun.”

2
“Gue nggak bisa tidur.”
“Kenapa? Kan Komandan Hasan bilang kalo kita hanya
mengawal Komandan Arie dan istrinya saja. Tidak ada Bianca di
sana.”
Harlan tak mempedulikan, dia keluar begitu saja.
“Untung temen gue.”

3
BAB ?
?

“Udah merem aja, gue tau jalan kok.” Ujar Beny ketika
sepanjang perjalanan, hampir tiba di perbatasan Jawa Tengah dan
Jawa Barat, Harlan masih memejamkan matanya.
“Gue nggak bisa merem.”
“Semalem lo nggak tidur, sekarang juga nggak tidur.
Kenapa? Komandan Harlan yang tidak pernah takut mati,
sekarang takut ketemu mbak Bianca?”
Harlan mendesah, lalu merebahkan kursinya. “Gue mau
tidur.”
“Lo hanya perlu jujur sama diri lo sendiri Lan.”

“Masuk aja! Udah makan kalian berdua?”


“Siap, sudah Bu.”
“Makan lagi, nggak usah pakai nasi atau nyemil-nyemil aja.
Maaf ya Bapak mendadak manggil kalian malam ini. Kalian kan
baru sampai tadi pagi. Gimana perjalanannya?”
“Siap, lancar Bu.”
“Bapak sibuk banget hari ini. Nanti tolong antar barangnya
Bapak ya?”
“Siap Bu.”
“Sudah, santai-santai aja! Aku mau nyiapin pesenannya
bapak. Nanti kalo mau makan minta sama bik Min.”
“Siap.”
“Mau kopi cah ganteng?”
“Bik Min, masih awet muda aja.” Sapa Beny pada
perempuan setengah baya yang menghampiri mereka dengan

4
membawa 2 gelas kopi. “Mbak Bi baik-baik saja kok cah
ganteng.”
Pandangan Beny beralih ke Harlan yang berdiri di depan
foto keluarga yang berukuran besar. Di sana ada komandan Arie,
istrinya, Bianca, kakak laki-laki Bianca yang menggandeng anak
laki-laki beserta perempuan yang menggendong bayi.
“Mas Tara tinggal dimana sekarang Bik?” tanya Harlan
sambil mengambil kopinya.
“Masih tetep di Kanada.”
“Nggak mau nanyain adeknya?” tanya Beny.
“Gue ngangkat telfon dulu.” Harlan berjalan keluar rumah.
“Bianca kemana Bik?”
“Ikut mas Tara. Kadang pulang kok. Itu foto belom lama ini.
Mungkin sekitar tiga bulan lalu. Semenjak kejadian itu, mas Tara
memang lebih over protective ke mbak Bi. Dan mbak Bi jauh
lebih baik dibandingkan waktu itu.”
“Beneran nggak makan kalian?” tanya bu Rosa yang baru
turun dari lantai 2. Beliau sudah siap dengan baju rapihnya.
“Tolong antarkan aku ke tempat bapak ya?”
“Siap Bu.”
“Alan mana?”
“Di luar Bu.”
“Kalian bawa mobil kan?”
“Ada Bu, punyanya Alan.”
“Pakai mobil Alan aja.”
Harlan masuk. “Komandan baru saja telfon Bu, kami akan
mengantar ibu.”
“Iya.”
“Bik, barangnya Bapak dikasih Alan sama Beny.”
“Injih.”

5
“Gue pengen banget mesra kayak mereka meskipun udah
nggak muda lagi.” Ujar Beny ketika melihat komandan Arie dan
istrinya saling cipika-cipiki lalu berpelukan singkat. “Komandan
Arie tegesnya minta ampun sama bawahan, tapi kalo sama
istrinya bisa berbanding terbalik.”
Harlan tak ingin merespon, entah kemana pikirannya
berada.
“Lo beneran nggak pengen tau mbak Bianca ada dimana?”
“Ngapain bahas dia lagi sih?”
“Gue penasaran aja, sebenernya perasaan lo ke mbak Bianca
seperti apa sih? Perlakuan lo manis banget ke dia, tapi waktu itu
gue bahkan nggak kenal siapa lo Lan. Wajar aja Mas Tara segitu
ngamuknya sama lo. Kalo bu Rosa nggak ngelerai waktu itu,
mungkin lo bakal mati di tangan mas Tara dan komandan Arie.”

“Kenapa ke Bandara Bu?” tanya Harlan.


“Bentar aja. Aku ada urusan. Bapak tau kok. Kamu bisa cek
wa bapak.”
Beny yang duduk di samping setir, melihat ponselnya dan
mengangguk ke Harlan.
“Nanti gue yang urus mobil, lo temenin bu Rosa.” Ujar
Beny dan mendapat anggukan Harlan.

6
BAB ?
?

“Kamu nggak pengen tanya Bi ada dimana Lan?” tanya bu


Rosa ketika mereka menyusuri Bandara menuju ke suatu tempat.
“Bik Min sudah memberitahu kalau dia baik-baik saja Bu.”
“Baik-baik yang seperti apa? Dia bisa menjalani hidupnya
sampai saat ini bisa dikatakan baik-baik saja?”
“Ndan.” Seorang prajurit memberi hormat pada Harlan
sebelum memasuki VIP lounge.
“Pesawatnya sudah tiba?”
“Siap, sudah Bu.”
“Terima kasih.”
Harlan menemani bu Rosa masuk ke ruangan itu. Dia masih
bertanya-tanya siapa yang akan ditemui oleh atasannya itu.
“Mom, come on. I’m so tired. Kenapa harus kesini dulu sih?
Kan bisa dikirim.” Perempuan yang baru masuk ke ruangan itu
dan duduk di hadapan bu Rosa adalah Bianca.
“Butuh waktu lama Bi. Takut mbakmu butuh cepet.”
Bianca menghela napas keras. Dia masih belum menyadari
ada Harlan di belakangnya.
“Kamu nggak pengen extend di Jakarta dulu?”
“Ma, aku udah bilang aku transit doang loh. Aku lagi
banyak kerjaan Ma.”
“Lan, duduk sini!”
Bianca menoleh. Ada Harlan di belakangnya, sedang
melihatnya.
“Kenapa dia ada di sini? Mama sengaja pengen nemuin aku
sama dia?” Bianca berdiri, menteng tasnya, bersiap pergi.

7
“Aku minta maaf Bi.”
“Maaf? Kemana aja selama ini? Pernah nggak punya niat
sedikit aja buat minta maaf ke aku?”
Harlan tak menjawab, dia hanya menunduk.
“Mana barang mbak Sania Ma?”
Bu Rosa menyerahkan paper bag pada putrinya.
“Aku balik.”
Harlan mengejar Bianca yang keluar dari ruangan itu dan
memeluknya.
“Aku salah Bi. Aku minta maaf.”
“Lepas Lan!”
“Nggak. Kamu harus dengerin penjelasanku dulu.”
“Apa yang harus dijelasin? Waktu itu aku cinta, kamunya
enggak.”
“Aku takut nggak bisa jaga kamu seperti penculikan waktu
itu.”
“Harusnya aku mati aja waktu itu. Biar aku nggak kamu
buang kayak sampah.”
“Maaf karena aku menyimpulkan sendiri tanpa tanya kamu.
Aku salah. Aku minta maaf.”

“Tadi di Bandara emang ada mbak Bianca lagi transit Lan?”


“Hm.”
“Jadi gimana?”
“Apanya?”
“Lo sama mbak Bianca.”
“Gue kayaknya udah gila.”
“Maksud lo?”
“Nggak tau.”

8
BAB ?
?

“Ini yang lo maksud udah gila semalem?” Beny


menunjukkan surat kabar yang memuat foto Bianca dan
temannya itu sedang berpelukan.

BIANCA KEMBALI LAGI KE JAKARTA, MENEMUI


BELAHAN JIWANYA. MEREKA KEPERGOK
BERPELUKAN DI BANDARA

Harlan memijat keningnya. Bukannya bersimpati, Beny


malah tertawa terbahak-bahak.
“Berani-beraninya lo meluk anaknya Kasad.”
“Diem lo.”
“Cah ganteng, dipanggil bapak.”
“Kan.”
Harlan berdiri lalu menemui atasannya di meja makan.
“Siap Komandan.”
“Duduk!”
“Siap.”
“Aku akan berbicara sebagai seorang ayah.”
“Siap.”
“Jadi bagaimana perasaanmu pada putriku?”
Harlan diam.
“Berita di media sudah beredar tak terkendali.”
“Mohon maaf Komandan.”

9
“Apa kamu mencintai Bianca? Jawab dengan tegas Letnan!”
suara komandan Arie menggema di ruangan itu.
“Siap, saya mencintai putri Anda Komandan.”
“Apa kamu serius dengan perasaanmu?”
“Siap, serius Komandan.”
“Lalu, apa kamu ingin menikahi putriku?”
“Siap, bila putri Komandan bersedia menjadi istri saya.”
“Bawa dia pulang!”
“Hah?”
“Bawa dia pulang dan nikahi dia! Jangan ijinkan dia tinggal
di negara orang.”
“Siap Komandan.”
“Nggak perlu. Dia sudah pulang.” Tara tiba-tiba datang
bersama adiknya.
Tara mendekati Harlan dan menepuk pundaknya. “Aku
serahkan dia untuk kamu jaga seumur hidup. Aku capek
mengurusnya. Untuk yang waktu itu, aku minta maaf.
Seharusnya sebagai prajurit, kamu tidak perlu sepengecut itu.”
“Aku lapar. Sampai Singapure langsung diseret kesini lagi.”
Bianca duduk di tempat Harlan duduk tadi.
“Segera urus berkas pengajuan kalian!”
Bianca menarik kursi di sampingnya, lalu menepuknya. Tak
kunjung duduk, Bianca melihat mata Harlan lalu melihat ke kursi
di sampingnya.

“Kenapa diem aja?” tanya Bianca pada Harlan yang sibuk


menyetir di sampingnya.
“Aku lagi mikir.”
“Jangan kebanyakan mikir! Iya iya, enggak enggak. Jangan
iya iya tapi enggak.”

10
Harlan tersenyum, tangan kirinya terulur mengusap kepala
Bianca. “Apa itu artinya jawaban kamu ‘yes’?”
“Bisa beri aku waktu untuk mengurus pekerjaanku di sana?”
“No. Mas Tara akan mengurusnya.”

11

Anda mungkin juga menyukai