Anda di halaman 1dari 6

Bersosialisasi dengan banyak orang yang beragam memiliki daya tarik tersendiri bagi saya.

Karena berbeda tidak selalu berkonotasi negatif, justru saya meyakini bahwa perbedaan itu
akan melahirkan keajaiban. Saya pun tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan bekerja sama
dengan berbagai macam orang dengan perbedaan latar belakang, budaya, cara pandang dan
sebagainya. Sejak kecil, di mulai saat saya berusia 8 tahun, dan terpilih untuk mewakili
Kabupaten sampan dalam lomba pidato di Porseni tingkat provinsi. Momen itu mengantarkan
saya untuk mengetahui bahwa dunia begitu beragam. Di usia sekecil itu saya bertemu dengan
banyak siswa dan guru dari sekolah yang berbeda, Bahasa yang berbeda, bahkan cara
berpakaian yang berbeda. Sejak hari itu saya menyukai bertemu dan bekerja sama dengan
orang lain yang memiliki beragam perbedaan, karena kita akan mendapatkan banyak hal
baru, wawasan baru, sudut pandang baru, dan segala hal baru yang bahkan sebelumnya kita
tidak pernah berpikir bahwa itu ada. Setelahnya, saya kerap berkesempatan untuk bekerja
sama dengan orang yang memiliki beragam perbedaan, namun pengalaman yang sangat
terasa yaitu saat saya terpilih sebagai paper presenter di Johor International Student Leaders
Conference di Johor, Malaysia. Acara itu dihadiri oleh berbagai peserta yang datang dari
berbagai negara di dunia. Sesampainya di sana, kami diminta untuk mencari 10 kenalan baru
dan diberi waktu untuk berbincang. Nah, di situlah saya benar-benar merasakan berada di
tempat yang luar biasa penuh dengan perbedaan. Mulai dari berbeda negara, budaya, Bahasa,
bahkan agama. Kemudian kami dibagi dalam beberapa kelompok yang diberi misi untuk
diselesaikan. Dalam momen itu, penerimaan atas perbedaan orang lain benar-benar
dipertaruhkan. Karena kita harus
berdiskusi dengan banyak kepala yang memiliki sudut pandang berbeda, namun kita harus
memutuskan satu hal atas nama tim kita. Bekerja sama dengan orang lain yang memiliki
beragam perbedaan akan sering kita jumpai. Bahkan di tempat saya mengajar pun, kami para
guru terdiri dari latar belakang yang berbeda, budaya yang berbeda, dan sudut pandang yang
berbeda. Bersosialisasi dengan banyak orang yang beragam memiliki daya tarik tersendiri
bagi saya. Karena berbeda tidak selalu berkonotasi negatif, justru saya meyakini bahwa
perbedaan itu akan melahirkan keajaiban. Saya pun tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan
bekerja sama dengan berbagai macam orang dengan perbedaan latar belakang, budaya, cara
pandang dan sebagainya. Sejak kecil, di mulai saat saya berusia 8 tahun, dan terpilih untuk
mewakili Kabupaten sampan dalam lomba pidato di Porseni tingkat provinsi. Momen itu
mengantarkan saya untuk mengetahui bahwa dunia begitu beragam. Di usia sekecil itu saya
bertemu dengan banyak siswa dan guru dari sekolah yang berbeda, Bahasa yang berbeda,
bahkan cara berpakaian yang berbeda. Sejak hari itu saya menyukai bertemu dan bekerja
sama dengan orang lain yang memiliki beragam perbedaan, karena kita akan mendapatkan
banyak hal baru, wawasan baru, sudut pandang baru, dan segala hal baru yang bahkan
sebelumnya kita tidak pernah berpikir bahwa itu ada. Setelahnya, saya kerap berkesempatan
untuk bekerja sama dengan orang yang memiliki beragam perbedaan, namun pengalaman
yang sangat terasa yaitu saat saya terpilih sebagai paper presenter di Johor International
Student Leaders Conference
di Johor, Malaysia. Acara itu dihadiri oleh berbagai peserta yang datang dari berbagai negara
di dunia. Sesampainya di sana, kami diminta untuk mencari 10 kenalan baru dan diberi waktu
untuk berbincang. Nah, di situlah saya benar-benar merasakan berada di tempat yang luar
biasa penuh dengan perbedaan. Mulai dari berbeda negara, budaya, Bahasa, bahkan agama.
Kemudian kami dibagi dalam beberapa kelompok yang diberi misi untuk diselesaikan. Dalam
momen itu, penerimaan atas perbedaan orang lain benar-benar dipertaruhkan. Karena kita
harus
berdiskusi dengan banyak kepala yang memiliki sudut pandang berbeda, namun kita harus
memutuskan satu hal atas nama tim kita. Bekerja sama dengan orang lain yang memiliki
beragam perbedaan akan sering kita jumpai. Bahkan di tempat saya mengajar pun, kami para
guru terdiri dari latar belakang yang berbeda, budaya yang berbeda, dan sudut pandang yang
berbeda.

Langkah-langkah apa yang Anda lakukan untuk mencapai tujuan kerja sama? Bagaimana
Anda memastikan langkah-langkah tesebut sudah sesuai dengan kebutuhan semua pihak?
Seperti yang saya ceritakan di poin pertama, salah satu momen yang begitu menggambarkan
perbedaan adalah saat saya menjadi paper presenter di Johor International Student Leaders
Conference di Johor, Malaysia. Waktu itu kami dikelompokkan dalam beberapa tim. Saya
terpilih di kelompok 16 yang terdiri dari 6 orang termasuk saya sendiri. Di kelompok itu pun
saya satu-satunya yang beragama Islam. Setiap kelompok diberi misi untuk memecahkan
beberapa teka-teki di museum. Di situlah, kerja sama antar tim terbangun. Tidak peduli
negara, suku, ras, Pendidikan, bahkan agama yang berbeda, yang kami tahu kami adalah satu
tim yang wajib bekerja sama. Dalam setiap misi, kami selalu berdiskusi dan bahu membahu
memecahkannya. Jika terdapat misi yang berkaitan dengan geografis dan budaya di dunia
misalnya, maka salah seorang temanku dari India yang memimpin diskusi karena ia
berpengalaman mengunjungi berbagai negara. Walaupun ia yang memimpin diskusi, tapi kita
selalu menerima ide, usulan dan pendapat dari setiap anggota tim tanpa terkecuali. Begitu
pun jika berkaitan dengan tulisan arab dan menyusun ayat Al-Qur’an yang sengaja
dihilangkan oleh panitia, saya yang diminta untuk memimpin diskusi sebagai satu-satunya
anggota kelompok yang beragama Islam. Begitu seterusnya hingga seluruh misi terpecahkan.
Mungkin tujuan kami memang hanya untuk memecahkan misi, namun tanpa kami sadari
kami melatih kemampuan teamwork dengan berbagai orang yang beragam. Dalam mencapai
tujuan kerja sama, kita tidak boleh mementingkan diri sendiri atau pendapat kita pribadi. Kita
harus saling bertukar pikiran dan mencoba untuk memahami pendapat orang lain. Karena isi
kepala kita sedikit banyak ditentukan oleh latar belakang kita. Maka, jika bekerja sama
dengan orang yang memiliki latar belakang berbeda, akan menghasilkan pendapat yang
berbeda pula. Jadi, prinsip
saling menghargai orang lain harus dipegang betul. Bayangkan saja, jika di pengalaman saya
saat di Malaysia itu kami tidak mau saling mendengarkan
pendapat, tapi kekeuh dengan ide masing-masing, maka mungkin saja misi itu tidak
akan terselesaikan.
Hal-hal seperti itu selalu saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari yang lebih
real. Misalnya dalam pembelajaran. Di dalam kelas, tentu setiap siswa memiliki
perbedaan, baik dari latar belakang, riwayat Pendidikan, ekonomi, bahkan cara
belajar. Sebagai guru saya tidak boleh egois dengan mementingkan kesenangan
saya dalam mengajar. Jadi, saya harus melihat dan menyesuaikan kebutuhan setiap
siswa. Jika siswa memiliki cara belajar yang berbeda, misal visual, auditory, bahkan
kinestetik, maka metode pembelajaran yang digunakan setidaknya dapat
mengcover cara belajar siswa. Sehingga seluruh siswa dapat belajar dengan
maksimal. Jika tidak memungkinkan untuk tercapai dalam satu pertemuan, maka
setiap pertemuan dapat menggunakan metode yang berbeda. Misal sesekali
menggunakan LCD, di lain hari siswa diajak mendengarkan lagu berbahasa Inggris,
atau di hari yang lain siswa di ajak ke luar kelas, praktek drama, dan lain sebagainya.

Untuk mencapai hasil yang maksimal, maka dibutuhkan usaha yang maksimal
pula. Begitupun saat kita bekerja sama dengan orang yang memiliki beragam
perbedaan. Tidak mudah untuk menyatukan perbedaan pendapat, karena setiap
pendapat selalu disertai dengan alasan yang kuat. Jika melihat pengalaman saya
saat mengituki Johor Students Leaders Conference di atas, maka hasil akhir bahwa
tim kami mampu memecahkan misi itu adalah buah dari kesabaran menyatukan
pendapat dari berbagai kepala. Dampak yang didapat pun tidak hanya berhenti di
situ, melainkan paradigma terkait teamwork yang terbangun akan terus mengakar
dan bisa diterapkan dalam kehidupan, utamanya dalam dunia Pendidikan. Contoh
kecilnya tadi, jika sebagai guru saya tidak menyesuaikan terhadap cara belajar
siswa, maka bisa saja mereka tidak dapat belajar dengan maksimal karena tidak
sesuai dengan cara mereka belajar.
Melalui seringnya bekerja sama dengan orang yang memiliki beragam
perbedaan, maka kita akan semakin mudah pula dalam menerima perbedaan itu
endiri. Karena perbedaan itu rahmat. Sesuai dengan semboyan negara kita,
Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu jua.
Ceritakan salah satu pengalaman Anda saat mengembangkan kemampuan dan
keterampilan dari orang lain (contoh: anak didik, rekan sejawat, anggota
komunitas/organisasi).
a. Seperti apa situasinya pada saat itu? Siapa yang Anda kembangkan?
Mengapa pengembangan itu diperlukan?
Pada Juli 2020, saya mendirikan sebuah kursus bernama ELWIF Course.
Sebuah kursus Bahasa Inggris yang saya rintis atas dasar permintaan masyarakat.
Kursus Bahasa Inggris ini diperuntukkan pada pelajar pemula. Karena masyarakat
di sini merasa anaknya tidak belajar Bahasa Inggris karena di sekolah dasar tidak
ada pelajaran Bahasa Iggris. Sehingga mayoritas peserta di ELWIF Course masih
belajar di Sekolah dasar. Kegiatan kursus ini diadakan setiap Jum'at siang dan
Minggu pagi. Karena atas dasar permintaan dari masyarakat, maka saya merasa
sangat perlu untuk menindaklanjuti dengan memulai kursus tersebut. Terbukti
anak-anak sangat bersemangat hingga ada sekitar 40 orang yang mendaftar dan
mengikuti kegiatan. Karena peserta kursus ini mayoritas anak kecil yang belum
pernah belajar Bahasa Inggris, maka salah satu metode yang saya gunakan adalah
Total Physical Response (TPR) dalam rangka mengajak mereka untuk belajar
sambil bermain. Mengajak mereka agar menyukai Bahasa inggris melalui
kegiatan-kegiatan yang menarik dan tidak monoton akan membuat mereka betah
dan semangat untuk terus belajar Bahasa Inggris.
Selain dalam bidang kebahasaan, saya juga menggeluti dunia literasi dan
perkembangannya. Ketika saya menjadi Paper Presenter di JISLC Malaysia pun
saya membawakan paper bertajuk literasi. Apalagi kini saat mengambil program
Pasca Sarjana, saya mendapat mata kuliah Literasi dan penelitian untuk Thesis
saya juga bertajuk literasi. Hal itu membuat saya selalu bergelut dengan dunia
literasi, yang tentu begitu menyenangkan. Saya ingin menjadi bagian dari
peningkatan literasi di Indonesia. Sejak saya menerbitkan buku pertama hingga
sekarang buku ke empat, saya kerap kali diminta mengisi pelatihan atau seminar
kepenulisan. Biasanya dalam pelatihan kepenulisan itu pesertanya bermacam-
macam, yang tentu pengalaman, tantangan, dan hasilnya pun beragam. Saya
pernah mengisi pelatihan kepenulisan untuk anak SMA, pesantren, dan
mahasiswa. Atas dasar kepedulian terhadap peningkatan literasi di Indonesia,
saya begitu bersemangat mengisi pelatihan atau seminar bertajuk kepenulisan.
Karena dengan menulis, peserta akan melewati fase berpikir, membaca, riset dan
sebagainya, yang termasuk bagian dari kemampuan literasi. Oleh karenanya,
dalam pelatihan kepenulisan, biasanya saya akan meminta peserta untuk langsung
praktik menulis setelah mendapatkan teori dasar. Salah satu contohnya saat saya
menjadi trainer di Training kepenulisan di salah satu pondok pesantren di Madura.
Saya diminta untuk menjadi mentor 15 orang santri yang telah dipilih untuk
mengikuti kelas kepenulisan itu. Saat pertemuan pertama dengan pihak pesantren
saya langsung mengusulkan agar ada hasil akhir atau bukti karya di akhir
kepenulisan berupa buku antologi. Sehingga peserta tidak hanya mendapatkan
pengalaman belajar menulis, melainkan juga pengalaman menulis. Tidak hanya
mendapatkan ilmunya, tapi juga karyanya.
b. Apa yang menjadi fokus pada pengembangan? Bagaimana cara Anda
membangun kesepakatan untuk mencapai hasil yang diharapkan?
Dalam pengalaman saya merintis dan mengembangkan kursus, fokus saya
adalah untuk mengembangkan kemampuan berbahasa Inggris siswa melalui
belajar bersama. Saya mencoba mengajar dengan menggunakan berbagai metode
pengajaran yang telah saya pelajari. Salah satunya TPR yang telah disebutkan di
poin pertama. Saya berusaha untuk mengajarkan bahasa Inggris semudah
mungkin. di Kursus ini, meski tidak hanya fokus pada speaking skill, namun
peserta selalu diminta dan diberikan kesempatan untuk praktik berbicara baik
dengan teman kelas atau tamu dari luar. Kesulitan yang kerap saya alami adalah
mayoritas peserta kursus tidak pernah belajar bahasa inggris sebelumnya jadi
terkadang mereka merasa kesulitan karena baru belajar. Namun, seiring
berjalannya waktu mereka dapat menyesuaikan dan belajar dengan baik.
Adapun pada contoh yang ke dua, saat saya menjadi mentor pada kelas
kepenulisan, maka fokus saya adalah untuk mengembangkan kemampuan menulis
peserta. Baik rekan sesama organisasi, siswa, maupun santri, tergantung pada
peserta dari penyelenggara. Di awal pertemuan, saya selalu berdiskusi dengan
peserta terkait rencana yang saya buat dan apa yang mereka ekspektasikan dari
kegiatan pelatihan kepenulisan itu. Sehingga sebelum memulai pelatihan menulis,
tujuan sudah disepakati dengan jelas. Hal ini dilakukan untuk menghindari peserta
yang kemungkinan akan berhenti di tengah program kepenulisan. Sehingga saya
sebagai mentor harus mau mendengar apa yang sebenarnya mereka inginkan dan
ekspektasikan dari pelatihan itu. Pada sebuah pelatihan kepenulisan, hambatan
utama yang kerap terjadi adalah naik turunnya motivasi dari peserta. Sehingga
saya sebagai mentor harusterus memberi stimulus agar motivasi untuk menulis
mereka tetap terjaga. Dan hasil akhir yang telah kita sepakati Bersama dapat
tercapai.
c. Langkah-langkah apa yang Anda ambil untuk pengembangan tersebut? Apa
hambatan yang Anda temui dan bagaimana cara mengatasinya? Apa yang
Anda lakukan untuk mempertahankan motivasi dari orang tersebut?
Dalam mengembangkan suatu kemampuan, diperlukan strategi khusus agar
tujuan yang telah direncanakan di awal dapat terealisasikan. Begitupun yang saya
alami saat berusaha mengembangkan kemampuan Bahasa Inggris anak-anak
melalui ELWIF Course. Mengajari anak-anak agar mampu menggunakan Bahasa
Inggris dengan baik harus ulet dan sabar. Sebab, semangat mereka akan naik turun
tergantung dengan mood mereka yang mudah berubah secara tiba-tiba. Dalam
mempertahankan motivasi mereka untuk terus belajar Bahasa Inggris, saya
menggunakan berbagai metode agar pembelajaran menjadi menarik dan
menyenangkan. Berbagai media dan materi penunjang juga saya gunakan. Misal,
mereka belajar melalui lagu, melalui video youtube dan sebagainya.
Kemudian dalam mengembangkan kemampuan kepenulisan, biasanya
saya mulai dengan pemaparan teori yang langsung dilanjutkan dengan praktik
nulis bersama. Dalam setiap pelatihan, tujuan yang ingin saya capai adalah buku
antologi yang ditulis oleh peserta pelatihan itu sendiri. Sehingga setelah selesai
pelatihan mereka mendapatkan karya, tidak hanya teori saja. Saya akan berdiskusi
dengan peserta dimulai dari pemilihan tema, topik, judul hingga naskah itu selesai.
Kesulitan yang biasanya saya temukan yaitu naik turunnya motivsi peserta saat
menulis. Sehingga perlu selalu diberi stimulus dan challenge agar naskah dapat
terselesaikan sesuai deadline. Umumnya, saya akan memberi stimulus berupa ice
breaking di tengah-tengah program menulis. Pun saya sering memancing dengan
berdiskusi terkait outline atau kelanjutan tulisan mereka sehingga mereka akan
mendapatkan ide baru dalam menulis.
d. Bagaimana hasil yang diperoleh dari upaya Anda membantu mereka?
Hasil terbaik selalu diharapkan dalam setiap program yang dijalankan. Dalam
menjalankan program kursus Bahasa Inggris, tentu hasil yang diinginkan adalah
peserta kursus dapat menggunakan Bahasa Inggris baik secara tertulis maupun
lisan. Melalui kursus Bahasa Inggris itu, kini mereka dapat menggunakan Bahasa
Inggris baik tertulis maupun lisan meskipun masih terbatas. Salah seorang dari
mereka pun kini tengah mengikuti lomba pidato Bahasa Inggris, bermodal belajar
di kursus karena di sekolah tidak mendapat pelajaran Bahasa Inggris. Untuk siswa
yang sudah lulus dan melanjutkan ke sekolah menengah pertama, kemampuan
berbahasa Inggris yang mereka dapatkan di ELWIF Course sangat membantu
mereka dalam belajar Bahasa Inggris di jenjang yang lebih tinggi. Kemudian jika
berbicara hasil dari pelatihan kepenulisan, maka Alhamdulillah di akhir pelatihan
terkumpul naskah dari setiap peserta yang siap diterbitkan. Sehingga peserta tidak
hanya mendapatkan Teknik kepenulisan, melainkan juga karyanya selama
mengikuti program tersebut. Semoga dengan begitu, akan menjadi motivasi
tersendiri bagi mereka untuk terus berkarya dan mengembangkan kemampuan
menulis mereka

Anda mungkin juga menyukai