Anda di halaman 1dari 28

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/369826174

MEMIKIRKAN KEMBALI REVOLUSI NASIONAL KITA, Peranan Komponis Batak


Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Era Revolusi (1945-1949)

Conference Paper · October 2022

CITATIONS READS

0 17

3 authors, including:

Apriani Harahap
State University of Medan
17 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

pembentukan kota kabupaten nias barat View project

All content following this page was uploaded by Apriani Harahap on 06 April 2023.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


MEMIKIRKAN KEMBALI
REVOLUSI NASIONAL KITA
MEMIKIRKAN KEMBALI
REVOLUSI NASIONAL KITA

DEPARTEMEN SEJARAH
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
2022
PROSIDING SEJARAH DEPARTEMEN SEJARAH UM 2022

Copyright © 2022, Editor

ISBN: 978-623-5906-03-4

Editor :

1. Sutrisno Gustiraja Alfarizi


2. Miftah Widiyan Pangastuti
3. Wahyu Ayuningsih

Cover & Penata Letak : Moh. Imron

Terbit : 2022

Penerbit dan redaksi:

Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial


Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang 5, Malang 65145
Telp 0341-551312; Fax 0341585966
E-mail : sejarah.fis@um.ac.id
Laman: sejarah.fis.um.ac.id

______________
Kata Pengantar

Februari 2022 lalu, tim riset Belanda mengeluarkan hasil penelitiannya tentang
perang dekolonisasi di Indonesia pada 1945-1949. Salah satu temuan terpenting mereka
adalah penggunaan kekerasan ekstrim oleh kedua belah pihak di masa tersebut. Beberapa
saat setelah peluncuran laporan tersebut, Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte
menyampaikan permintaan maafnya secara publik. Selain itu, pameran khusus bertajuk
Revolusi di Rijksmuseum Amsterdam pada 11 Februari – 5 Juni 2022 telah membuka
wacana yang lebih luas tentang makna Revolusi itu sendiri. Hal-hal ini menunjukkan bahwa
peristiwa konflik dan kekerasan selama periode 1945-1949 telah membuka perdebatan dan
diskusi baru. Revolusi, yang selama ini selalu dibingkai dalam narasi heroisme nasional,
telah membuka ruang-ruang lain yang selama ini cenderung dilewatkan, seperti kekerasan
terhadap kelompok Tionghoa atau Indo Eropa, posisi perempuan dalam Revolusi,
kontestasi kuasa antara pasukan dan laskar, dan sebagainya.

Melihat perkembangan tersebut, Departemen Sejarah Universitas Negeri Malang


mengadakan seminar nasional bertajuk Memikirkan Kembali Revolusi Nasional Kita pada 13
Juli 2022 secara hybrid. Ketiga narasumber, Dr. Hilmar Farid (Dirjen Kebudayaan
Kemendikti), Bonnie Triyana, S.Hum (Historia.id), dan Dr. Ari Sapto (Departemen Sejarah
UM) memberikan pemahaman baru tentang kompleksitas Revolusi serta perdebatan yang
terjadi di negeri Belanda. Seminar ini membuka pengiriman paper yang mengeksplorasi
pertanyaan-pertanyaan berikut ini: bagaimana implikasi selanjutnya bagi sejarah
Indonesia? Penelitian lanjutan apa yang bisa dilakukan oleh para sejarawan? Bagaimana
kita mempresentasikan periode Revolusi dalam pendidikan sejarah? Lebih jauh lagi, hasil
penelitian dekolonisasi tersebut telah membuka langkah untuk keadilan sejarah (historical
justice), lalu bagaimana peran sejarawan untuk melanjutkan upaya tersebut? Seminar ini
akan mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sebanyak 27 makalah dari
mahasiswa, dosen, maupun guru-guru sejarah dipresentasikan dalam sejumlah panel.
Makalah-makalah inilah yang kami terbitkan dalam prosiding nasional ini. Kami berharap
kehadiran prosiding seminar nasional ini akan menggulirkan wacana dan diskusi-diskusi
lebih lanjut tentang periode Revolusi Nasional dalam historiografi Indonesia.

Malang, 29 Oktober 2022

Grace T. Leksana
Ketua Panitia

iv
Daftar Isi

Kata Pengantar ......................................................................................................................... iv


Daftar Isi..................................................................................................................................... v
1. Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Bogor pada Masa Pendudukan Jepang
Tahun 1942-1945 ........................................................................................................... 7
2. Monumen Gedangan Sidoarjo Sebagai Sumber Belajar Sejarah Publik Periode
Revolusi ....................................................................................................................... 31
3. Kajian Semiotik Lukisan Henk Ngantung pada Periode Revolusi ............................. 37
4. Pengembangan Bahan Ajar Handout Berbasis Arsip pada Materi Revolusi Indonesia
...................................................................................................................................... 48
5. Aplikasi Media Teks ; Respons Internasional Terhadap Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia 1945-1950 Meningkatkan Daya Nalar Siswa Belajar Revolusi Indonesia 58
6. Peran Wanita dalam Eksistensi Budaya Jawa pada Masa Orde Baru ....................... 67
7. Media D’quations Inovasi Pembelajaran Sejarah Materi Revolusi Indonesia Tahun
1945-1949 .................................................................................................................... 84
8. Perbandingan Strategi Gerilya Antara Indonesia dengan Vietnam (1945-1971)...... 92
9. Sejenak Beralih: Organisasi Perempuan di Masa Revolusi Indonesia .................... 114
10. Strategi Kepemimpinan dr. Moehammad Saleh dalam Mempertahankan
Kemerdekaan di Kota Probolinggo 1947-1948 ........................................................ 122
11. Berkhidmat dan Berjuang: Keterlibatan Al Jam'iyatul Washliyah dalam Perjuangan
Kemerdekaan Indonesia di Medan, 1945-1950 ........................................................ 131
12. Amnesia Sejarah dalam Kurikulum Merdeka: Hilangnya Wawasan Sejarah Global
.................................................................................................................................... 146
13. Peran Chung Hua Tsung Hui (CHTH) pada Peristiwa Kekerasan Anti-Tionghoa di
Blitar Tahun 1948-1951 ............................................................................................. 162
14. Sejarah Perjuangan Sekretariat Negara RI Melalui Administrasi dan Kearsipan pada
Masa Revolusi 1945-1949 .......................................................................................... 173
15. Antara Realita dan Fiksi: Praktik Kolonialisme Jepang Tahun 1945 Pada Film The
Battleship Island ........................................................................................................ 193
16. Lagu "Halo-Halo Bandung" Karya Ismail Marzuki: Lukisan Revolusi dalam Peristiwa
Bandung Lautan Api .................................................................................................. 205

v
17. Optimalisasi Media Sosial Melalui Konten Infografis sebagai Inovasi Pembelajaran
Sejarah Revolusi Indonesia bagi Generasi Z ............................................................ 217
18. Peran Organisasi Perempuan Masa Agresi Militer di Pulau Jawa ........................... 223
19. Asrama Indonesia Merdeka sebagai Pembentuk Kader Muda Indonesia .............. 235
20. Peranan Komponis Batak Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Era
Revolusi (1945-1949) ................................................................................................. 252
21. Perhelatan Olahraga Pertama Bangsa Indonesia pada Masa Revolusi Tahun 1948
.................................................................................................................................... 273
22. Strategi Sabotase Pipa Air Masa Revolusi Indonesia 1946-1949 Krisnanda Theo
Primaditya ................................................................................................................. 301
23. Peranan Wanita dalam Memperjuangankan Kemerdekaan di Kediri Tahun 1945-
1949............................................................................................................................ 319
24. Kekerasan terhadap Minoritas Etnis Tionghoa dan Rumah Perlindungan: Sisi Lain
Kediri pada Perang Kemerdekaan 1945-1949.......................................................... 327
25. Madika (di) Masa Merdeka: Pemikiran dan Peran Bangsawan Kaili dalam Revolusi
Kemerdekaan Indonesia di Teluk Palu, 1945-1950 ................................................. 337
26. Peran Korps Medis dalam Pencegahan Penyakit Endemik di Kalangan Militer
Amerika Serikat pada Perang Dunia II di Asia-Pasifik Tahun 1942–1945................ 357
27. Runtuhnya Demokrasi Liberal Indonesia: Gerbang Menuju Era Demokrasi
Terpimpin .................................................................................................................. 381
28. Politik Mercusuar Era Soekarno: Asian Games IV 1962 ............................................ 387
29. Pengaruh Asian Games IV Tahun 1962 terhadap Pelaksanaan Politik Mercusuar . 393
30. Pengembangan Media E-Supplement Sejarah Berbasis Canva Materi Strategi
Pergerakan Nasional pada Pembelajaran di SMAN 2 Malang ................................. 396

vi
Peranan Komponis Batak Dalam
Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Era
Revolusi (1945-1949)

Flores Tanjung1*, Apriani Harahap2


*flores-tanjung@yahoo.co.id, & aprianaiharahap@unimed.ac.id*

Abstract
The proclamation of Indonesian independence in 1945 had a tremendous impact on the spirit
that was felt by all people with different appreciations. However, the perceived victory did
not last long, because the nation's struggle still had to deal with the Netherlands Indies Civil
Administration (NICA) which was still trying to take over the government. Not only young
people who joined the Tentara Keamanan Rakyat (TKR) held a resistance and struggle for
independence, but the Batak composers were involved and participated in the struggle for
the Independence of the Republic of Indonesia. How the role of the Batak composers in
defending the independence of Indonesia, especially in North Sumatra, is the purpose of this
paper. The method used is descriptive qualitative with a historical approach through
heuristic, verification, and interpretation steps. The results of the study show that the long
journey of the Batak composer from Tapanuli, North Sumatra has yielded results in
encouraging the community to defend independence. This can be seen from the works of
Nahum Situmorang, Alfred Simanjntak, Djaga Depari, Cornel Simanjuntak, and Liberty
Manik. The variety of themes, musical compositions, patriotic and simple compositions, each
with its derivatives can create a spirit of struggle, never give up and a sense of willingness to
sacrifice and love for the homeland, so that the Indonesian people, especially North Sumatra,
continue to move and advance to defend Indonesia's independence.

Keywords
The Role of the Composers, Defending Independence, Revolutionary Era

Abstrak
Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 memberi dampak luar biasa terhadap
semangat yang dirasakan seluruh rakyat. Namun, kemenangan yang dirasakan tidak
berlangsung lama karena perjuangan bangsa masih harus berhadapan dengan

252
Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang masih berusaha untuk mengambil alih
pemerintahan. Tidak hanya para pemuda yang tergabung dengan Tentera Keamanan
Rakyat (TKR) yang mengadakan perlawanan, tetapi juga para komponis Batak terlibat dan
ikut dalam perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia. Peran para komponis Batak
dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, khususnya di Sumatera Utara, menjadi
tujuan penulisan ini. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan
pendekatan historis melalui langkah heuristik, verifikasi, dan interpretasi. Hasil penelitian
menunjukkan jejak langkah perjalanan panjang komponis Batak asal Tapanuli, Sumatera
Utara, yang telah membuahkan hasil dalam menyemangati masyarakat guna
mempertahankan kemerdekaan. Hal ini terlihat dari karya gubahan Nahum Situmorang,
Alfred Simanjuntak, Djaga Depari, Cornel Simanjuntak, dan Liberty Manik. Keanekaan
tema, garapan musik, dan gubahan patriotik yang diciptakan menimbulkan semangat
perjuangan, pantang menyerah, dan rasa rela berkorban, serta cinta tanah air sehingga
rakyat Indonesia, khususnya Sumatera Utara, terus bergerak dan maju untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Kata kunci
Peranan Komponis, Mempertahankan Kemerdekaan, Era Revolusi

PENDAHULUAN
Kemerdekaan Indonesia mendapat tantangan saat mendaratnya pasukan Inggris
di Jawa pada tanggal 29 September 1945. Tentara Sekutu yang melucuti senjata Jepang
menyerahkan pemerintahan sipil kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA)
dan melakukan kerusuhan di daerah-daerah seperti Ambarawa, Bandung, Jakarta,
Medan, dan Yogyakarta. Pertempuran pun tidak dapat dihindari hingga menimbulkan
banyak korban (Tashadi, dalam Prihatini, 2015:7). Bangsa Indonesia harus kembali
berjuang melawan Belanda yang bertujuan untuk menguasai Indonesia kembali.
Peristiwa tersebut pun memberi pengaruh yang besar terhadap bidang kenegaraan,
sosial, ekonomi, politik, dan seni budaya bangsa Indonesia. Pada tanggal 9 Oktober 1945
pasukan Sekutu di bawah pimpinan Brigjen Kelly mendarat di Medan dan membonceng
NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan. Oleh karena itu, pada
tanggal 13 Oktober 1945 pemuda dan TKR bertempur untuk melawan Sekutu dan NICA
serta merebut gedung-gedung pemerintahan dari tangan Sekutu. Kondisi ini berlangsung
sampai Agustus 1946 yang kemudian dibentuklah Komando Resimen Laskar Rakyat
Medan Area (RLRM) untuk segera mengadakan serangan. Di antara serangan yang paling
dahsyat terjadi adalah di Jalan Bali Medan dan Siantar Hotel Pematang Siantar di
Simalungun. Perjuangan berbagai kalangan masyarakat (tentara, pejabat, mahasiswa,
masyarakat awam) termasuk para seniman/komponis semakin memuncak sejak agresi

253
militer pertama (21 Juli 1947) hingga Agresi militer kedua (Tashadi, dalam Prihatini,
2015:8). Partisipasi para komponis tidak dapat diabaikan jika dibandingkan dengan para
politisi dan militer. Keterlibatan mereka ialah memicu semangat mempertahankan
kemerdekaan melalui karya-karyanya yang dapat membangkitkan nasionalisme dan
memprovokasi rakyat melalui slogan-slogan, gubahan lagu perjuangan, puisi, lukisan, dan
drama/opera.
Penulisan artikel ini bertujuan untuk memberi paparan peranan komponis,
khususnya dari Tanah Batak Sumatera Utara dalam mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. Hardjana (1986:5) mengemukakan bahwa komponis sebagai bagian seniman
atau pekarya seni musik adalah orang yang menciptakan hasil karya musik dan mengacu
pada orang yang menulis instrumental maupun vokal dalam format solo, duo, trio,
quartet, qwintet, dan seterusnya sampai dengan orchestra, yang diteruskan kepada orang
lain untuk memainkannya. Peranan komponis yang dimaksud adalah rangkaian perilaku
yang timbul karena memahami bahwa berkarya dengan mengomunikasikan pengalaman
batin yang kemudian disajikan secara indah atau menarik hingga merangsang munculnya
pengalaman batin bagi orang yang melihat atau menikmatinya (Soerdarso, 2006:102).
Sajian yang dimaksud berupa gubahan lagu sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa yang
memiliki ciri khas dan dapat disampaikan secara ekspresif kepada penikmatnya
(Suryahadi dalam Rimbardi dan Zainal, 2019:48).

METODE
Penelitian ini menggunakan deskripsi kualitatif melalui pendekatan
historis/sejarah dengan langkah-langkah yang mengikuti metode Syamsuddin (2019),
yaitu heuristik (pengumpulan data, kritik sumber eksternal dan internal). Langkah ini
menegakkan otentisitas dan integritas sumber melalui proses evidensi/menetapkan
keabsahan teks berdasarkan peristiwa, tempat, waktu, dan pelaku untuk kemudian
dievaluasi dan diklarifikasi). Selanjutnya adalah interpretasi dan analisis dengan
menggunakan teori semiotika (Ferdinand De Saussure), yaitu content analysis/analisis isi
guna melihat makna dan gambaran keistimewaan karya para komponis. Analisis ini
kemudian dirangkai menjadi fakta yang logis dan harmonis. Selain itu, hubungan sebab-
akibat (kausalitas) ditelaah untuk diurutkan berdasarkan periodisasi. Historiografi
(penulisan yang didukung imajinasi) dilakukan untuk mendeskripsikan rangkaian kata
dan kalimat sehingga terjalin hubungan antarfakta sejarah (histoire ralite) yang sistematis
dan komunikatif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara bebas dan
langsung kepada keluarga, para ahli/peminat/pemerhati sejarah dan seni, serta
video/youtube para komponis yang diamati dan dimaknai dari segi kata dan kalimatnya.
Dengan demikian, penelitian ini akan dapat memberi gambaran peranan komponis dalam

254
mempertahankan kemerdekaan Indonesia era revolusi (1945-1949) melalui karya-
karyanya.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kedatangan Inggris dan Belanda dengan nama Netherlands Indies Civil
Administration (NICA) ke Indonesia pada awal kemerdekaan memiliki visi ingin
membangun kembali kekuasaannya. Mereka mengobarkan pertempuran di beberapa
wilayah Indonesia, salah satunya yang terjadi di Sumatera Utara yang dikenal dengan
Pertempuran Medan Area di Kota Medan. Kondisi ini memunculkan pergerakan dari rakyat
Indonesia di beberapa daerah untuk melakukan perlawanan sebagai upaya
mempertahankan kemerdekaan. Demonstrasi dalam berbagai bentuk dilakukan, mulai
dari penghancuran kubu-kubu NICA, penciptaan slogan, dan gubahan para komponis
melalui lagu-lagu patriotik dan kecintaan terhadap tanah air. Para pemuda dari berbagai
golongan, seperti tentara, laskar, atau khalayak umum menolak kehadiran penjajah dan
ingin tetap merdeka.

A. Nahum Situmorang Pencipta dan Penyanyi Legendaris

“Mariam Tomong” merupakan judul lagu yang digubah pada era


pascakemerdekaan Indonesia, persisnya ketika Inggris dan Belanda ingin kembali
menguasai Indonesia dengan nama NICA. NICA menyerang kota-kota penting di Sumatera
Utara, seperti Medan, Pangkalan Berandan, Binjai, Brastagi, Tebing Tinggi, Pematang
Siantar, Tanjung Balai, Rantau Perapat, Parapat, Tarutung, Sibolga, dan Padang
Sidempuan. Mereka juga membangun kekuatan militer dan mengobarkan pertempuran
menjadi pemicu rakyat untuk berjuang mengusir mereka dari muka bumi negeri ini.
Terinspirasi dari kondisi ini, Nahum Situmorang yang memiliki bakat seni menciptakan
lagu “Mariam Tomong” yang berisi tentang perjuangan seorang putra Batak dalam
mengusir penjajah dari tanah air dengan menggunakan senjata berupa meriam bambu
layaknya senapan mesiu. “Mariam Tomong” merupakan lagu yang menggambarkan
banyaknya pemuda yang harus meninggalkan orang-orang terkasih, baik keluarga, anak,
dan kekasih, untuk pergi ke medan perang melawan penjajah dengan ketidakpastian
kembali bertemu.
Syair lagu “Mariam Tomong” berbunyi:

Salendang ma di ginjang, kain panjang ma di toru,


Pangeol ni gontingmu, songon dengke ma mangolu.
Hulangka dua langka, hundul au maradian,

255
tangis ahu malungun hu ingot ma si poriban.
Ganjang do dalan kudi, si rodion ni parody.
Godang do na so muli Rongkap ni naso mangoli,
Ndang markapal ahu i anggo so kapal Parapat,
Ndang mangoli ahu i anggo so tu boru Hutabarat,
O Mariam tomong dainang si napang masi.

Sudah menjadi kebiasaan masyarakat saat itu


menggunakan selendang dan kain panjang ketika tidur.
Dalam situasi perang,
tidur dengan sesekali menggerakkan badan/pinggang
menandakan kau masih hidup,
walau kerinduan mendalam kepada sang kekasih dari kejauhan,
hingga air mata bercucuran.
Perjalanan panjang masih harus ditempuh untuk mengusir penjajah.
Para pemuda yang belum menikah,
berjanji tidak akan pergi kemana-mana,
tetap akan pulang ke kampung halaman (Parapat)
dan berjanji tidak akan menikah
jika bukan dengan kekasihnya si boru Hutabarat.

Kalimat terakhir lagu ini menggambarkan situasi perjuangan para pemuda untuk
melawan penjajah ketika berperang dengan menggunakan meriam bambu seperti
senapan mesin.
Nahum Situmorang lahir pada awal pergerakan nasional 14 Februari 1908 di
Sipirok. Komponis Batak lulusan Hollandsch Inlandsche School (HIS) Tarutung (1924) ini
dikenal sebagai penggubah lagu andung (ratapan). Bakat menyanyinya terlihat sejak
duduk di sekolah rakyat. Lagu “Hawaii Aloha ‘Oe” (Farewell to Three) merupakan lagu
favoritnya dan hampir setiap hari dinyanyikannya dengan memainkan biola. Lagu ini
diterjemahkannya ke bahasa Batak berjudul “Horas Ma”. Dalam perjalanannya sebagai
penggubah lagu, ragam lagu tradisional, lagu perjuangan, dan lagu pop modern

256
dimunculkannya dengan berbagai irama, seperti rumba, blues, cha-cha, mars, soul,
balero, slowrock, bossanova, keroncong, hawaian beat, stambulan, soul, dan foxtrot.
Syair gubahan Nahum umumnya memiliki tema yang kuat, spektrum yang luas,
dan lirik yang sederhana, tetapi bermusikalitas. Ia mengeksplorasi potensi yang ada di
daerahnya dan menggerakkan energi yang ada di masyarakat. Ia menciptakan karya
dengan tema sosial, budaya, dan kecintaan terhadap tanah air dengan nuansa elegi,
balada, dan epos. Besar andilnya dalam menumbuhkan semangat kebangsaan dan
kemerdekaan Indonesia dari penjajah dan jasanya untuk menyingkap sedikit
keterbelakangan orang Batak di masa silam menjadi ciri khas gubahannya.
Aliran musiknya beraneka ragam dan tak seluruhnya bernuansa etnik Batak.
Banyak karyanya mengadopsi aliran barat seperti waltz, bossa, folk, jazz, dan rumba. Lirik-
liriknya berkosakata Batak klasik yang bercita rasa tinggi, kaya metafora, mengandung
filosofi, dan nilai-nilai adat masyarakat Batak, serta menyisipkan nasehat dan harapan
tanpa terkesan didaktis. Dalam menciptakan lagu, Nahum sering terinspirasi spontan.
Ketika muncul ide, beliau langsung menuliskan syair gubahannya. Di antara ratusan
gubahannya, kecintaan terhadap daerahnya terlihat paling menonjol, seperti lagu
berjudul “Sitogol”, “O Tao Toba”, “Pulo Samosir”, “Rura Silindung”, “Luat Pahae”, dan
“Aek Sarulla”.
Beliau menjadi pemenang sayembara Sumatra Keroncong Concours di Medan
(1936) pimpinan Raja Buntal Sinambela putra Singamangaraja XII. Pada masa Nippon,
Nahum menjadi bagian pemusik Jepang Sendenhan Handokan (1942-1945). Lagu-lagu
perjuangan pun tercipta, seperti “Gyugun Laskar Rakyat “ yang menceritakan laskar tanah
air yang selalu siap sedia membela negara dengan darah dan nyawa untuk
menghancurkan musuh sampai hancur dan harus berakhir dengan kemenangan.
Setelah lulus Kwekschool Lembang Bandung (1928), Nahum mengajar di HIS
Partikelir Bataksche Studietonds Sibolga. Beliau menjadi bagian dari Barisan Perintis
Kemerdekaan sebagai anggota Kongres Pemuda Indonesia 1928. Di tahun yang sama,
Nahum mengikuti sayembara menciptakan lagu kebangsaan dan berada di peringkat
kedua setelah Wage Rudolf Supratman (lagu Indonesia Raya) dengan judul lagu “Fajar
Kemerdekaan Telah Menyingsing”. Nahum juga menjadi anggota kelompok Batak yang
berjuang di Jakarta bersama Amir Syarifuddin Harahap yang merupakan anggota pendiri
Jong Batak dan menjadi wadah orang Batak dalam kongres pemuda (1928). Amir
Syarifuddin kemudian menjadi perdana menteri.
Atas jasa dalam dunia musik, Nahum menerima penghargaan dari sejumlah
instansi, antara lain penghargaan dari Panitia Penyelenggara Festival Irama Tapanuli
Populer Sumatera Utara (1962), Penghargaan dari Panitia Hari Radio Nasional (1965),
Piagam Anugerah dan Seni dari Pemerintah Indonesia (1960), Tanda Kehormatan Satya
Lencana Kebudayaan, dan Penghargaan Penghormatan (Honorary Award) dari Presiden

257
RI Susilo Bambang Yudhoyono (2006). Sebagai kenangan dan penghargaan atas jasanya
sekaligus prasasti sebagai maestro, pemerintah kabupaten Tapanuli Utara juga
menobatkan namanya menjadi nama jalan di kawasan Sigompulon Tarutung. Nahum
sendiri tidak pernah berharap untuk menjadi seorang pahlawan yang terus dipuja hingga
dirinya tak lagi berjiwa dan tak pernah membayangkan namanya akan tetap hidup hingga
zaman milenial. Ia hanya mengikuti alur hati dan pikirannya saat melintasi episode-
episode kehidupan dengan penuh romantika yang melekat dalam diri para pelakon gaya
hidup avonturisme. Akhir tahun 1966 Nahum jatuh sakit. Beliau sempat menerima
Anugerah Seni dari pemerintah pada 17 Agustus 1969. Dua bulan kemudian, komponis
yang tetap membujang ini akhirnya menghadap Sang Khalik pada 20 Oktober 1969 dan
dimakamkan di pekuburan Jalan Gajah Mada Medan.

B. Alfred Simanjuntak Sang Penggerak Pemuda

Alfred Simanjuntak, Lahir di Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 20 September 1920.


Putera dari pasangan Lamsana Simanjuntak dan Kornelia Silitonga. Anak sulung dari
delapan bersaudara. Beliau dikenal luas masyarakat melalui lagu ciptaannya yang
berjudul “Bangun Wanita Muda”. Sejak tahun 1934, ia telah menulis puluhan lagu nasional
dan pernah menjadi konduktor istana kepresidenan. Alfred bersekolah di Holland
Indische school (HIS), Narumonda, Porsea, Toba Samosir. Selama persekolahannya,
beliau sering tampil bernyanyi di acara sekolahan dan tamat pada tahun 1935.
Selanjutnya, ia merantau ke Solo, Jawa Tengah, dan selama enam tahun menuntut di
Hollands Inlandsche Kweek School (HIKS Surakarta) sampai tahun 1941. Kelihaiannya
bermain musik semakin berkembang hingga dapat memainkan organ, piano, biola, dan
gitar. Setelah lulus dari HIKS, Alfred mengajar di Shakelschool (Sekolah Rakyat) di
Kutoarjo, Madiun, dan Semarang. Alfred juga gemar belajar bahasa asing hingga
menguasai banyak bahasa selain bahasa Indonesia, yaitu Bahasa Batak, bahasa Jawa,
bahasa Belanda, bahasa Inggris, bahasa Jerman, dan bahasa Jepang.
Alfred telah menggubah lebih dari empat puluh lagu perjuangan, beberapa di
antaranya berjudul “Bangun Pemudi-Pemuda”, “Di Manakah Tanah Airku”, “Indonesia
Bersatulah”, “Kami Berjanjilah”, “Pemerintah Pancasila”, dan “Selamatkan Terumbu
Karang”. Ketika lagu “Bangun Pemudi-Pemuda” tercipta, ia langsung mengajarkannya ke
murid-muridnya. Liriknya berbunyi:

Bangun pemudi pemuda Indonesia,


tangan bajumu singsingkan, untuk negara.
Masa yang akan datang, kewajibanmulah.
Menjadi tanggunganmu terhadap nusa

258
Lirik tersebut bermakna, upaya menyatukan ide, cita-cita, dan rasa nasionalisme
dalam jiwa kaum muda Indonesia di semua wilayah nusantara dengan segala unsur
kebhinekaannya diharapkan bersatu melawan segala bentuk penjajahan dan penindasan
yang mengganggu kehidupan berbangsa. Kaum muda jangan menutup diri dan jangan
pasrah tanpa perjuangan, tetapi harus menjadi garda depan negara. Pemuda harus
bertanggung jawab dan memiliki visi misi demi kejayaan tanah air yang terdiri dari pulau-
pulau yang disebut nusantara. Bait kedua berbunyi:

Sudi tetap berusaha jujur dan ikhlas.


Tak usah banyak bicara trus bekerja keras.
Hati teguh dan lurus, pikir tetap jernih,
bertingkah laku halus hai putra neg’ri

Lirik tersebut menggambarkan amanat untuk para kaum muda bahwa jalan yang
ditempuh sebagai tanggung jawab adalah pembentukan karakter sebagai jati diri karena
rasa nasionalisme muncul dari hati yang jujur, ikhlas, dan bertindak jauh lebih penting
daripada hanya sekedar bicara. Untuk dapat melakukan hal-hal tersebut diperlukan
pertimbangan matang melalui pikiran jernih guna pengambilan keputusan. Lirik terakhir
menyatakan agar berperilaku pada paradigma berdasarkan nilai–nilai yang tercantum
pada Pancasila dan UUD 1045, prinsip, visi, dan misi hidup. Ia juga menulis lagu berjudul
“Selamatkan Terumbu Karang” atas permintaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) yang disosialisasikan kepada masyarakat di kawasan pesisir Riau, Sulawesi Selatan,
Maluku, dan Papua.
Alfred memang seorang komposer langka yang dimiliki Indonesia. Selain
menciptakan lagu dan guru (1941-1946), ia juga menjadi wartawan surat kabar Soember,
Jakarta (1946-1949), Ketua Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, penggagas dan pendiri
Yayasan Musik Gereja, pemrakarsa dan juri tetap pesta paduan suara gerejawi. Presiden
ke empat negeri ini Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga kepincut pada keahliannya dan
kagum akan kemampuannya. Karena memiliki komitmen kebangsaan, Alfred diminta
untuk menciptakan mars Partai Kebangkitan Bangsa menjelang Pemilu tahun 1999.
Tumbuh menjadi seorang pengajar sekaligus komponis dan pencipta lagu-lagu
nasional, pada 10 Februari 2001 Alfred menerima gelar Doctor Honoris Causa atas
pengabdiannya selama 60 tahun di bidang pendidikan dan atas hasil karyanya berjudul
“Membangun Manusia Pembangunan” dari Saint John University. Dalam karya tulisnya
itu, Alfred mengaku kagum dengan sosok teman akrabnya, Pramoedya Ananta Toer, yang

259
menurutnya adalah pejuang orang kecil yang tertindas dan menjadi bulan-bulanan orang-
orang elit atau sub-class feodal. Alfred meninggal pada 25 Juni 2014 pukul 06.00 di Rumah
Sakit Siloam Karawaci, Tangerang, pada usia 93 tahun setelah lama menderita radang
paru-paru dan pneumonia. Ia dimakamkan di pemakaman San Diego Hills, Karawang.
D. Djaga Depari Penyemangat Kemerdekaan

Pernahkah kita terpikir bahwa lagu yang berjudul “Erkata Bedil” dari tanah Karo
Sumatera Utara adalah lagu perjuangan yang diciptakan dalam rangka mempertahankan
kemerdekaan yang kemudian menjadi lagu nasional Indonesia? Jika diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, erkata bedil i kota Medan mengandung arti bunyi/dentuman
senjata di kota Medan yang merupakan syair pembuka. Lalu diikuti dengan kalimat
ngatakan kami maju ngelawan, artinya pertanda/panggilan untuk maju ke medan perang
memenuhi tugas melawan penjajah demi mempertahankan kemerdekaan. Lanjutan lagu
ini menggambarkan semangat perjuangan yang diembankan kepada para pemuda agar
ikut mengangkat senjata melawan penjajah walau pemuda yang dimaksud sedang
dilanda asmara. Namun, panggilan jiwa demi mempertahankan kemerdekaan harus rela
meninggalkan kekasihnya di kampung halaman.
Tading ijenda si turang besan turang la megogo, rajin ku juma si nuat nakan ari o
turang. Bait ini menegaskan ketidakgentaran sang pemuda sebagai patriot bangsa,
bahkan dengan hati tegar menguatkan kekasih yang akan ditinggal. Ia menasihatkan
tentang harapan masa depan dan berpesan agar rajin ke ladang dan mengumpulkan
makanan untuk bekal hidup. Adina lawes kena ke medan perang ari o turang, Petetap ukur
ula kena melantar, Turang ningku Turang mempunyai arti kalau pergi dikau ke medan
perang wahai sayang, tetapkanlah hati jangan main-main wahai sayangku. Bait ini
menjadi jawaban dari sang gadis kepada kekasihnya yang akan berjuang. Dia tidak
menahannya sekalipun itu sungguh berat. Untuk kepentingan kemerdekaan, ia berkorban
merelakan kepergian kekasihnya. Hanya satu pesannya, tetapkan hati jangan lengah
dalam bertugas.
Adina tuhu atendu ngena, turang la megogo, tang-tangi cincin man tanda mata ari
o, turang mempunyai arti apabila kamu sungguh-sungguh menyayangiku kekasihku,
berikan cincin sebagai kenang-kenangan darimu. Cincin sebagai tanda kenangan bagi
mereka yang sedang dilanda asmara akan berpisah jauh dalam waktu yang tidak pasti.
Lirik tersebut melukiskan keseriusan akan komitmen mereka sehidup semati. Cincin juga
berfungsi mengingatkan sang kekasih agar tetap waspada dan saling setia, tetapi itu kalau
nasib mujur. Kalau keberuntungan itu berpihak lain, setidaknya cincin itu menjadi tanda
andai kekasihnya tidak bisa kembali (gugur di medan perang). Cincin juga dapat dijadikan
sebagai simbol kehadiran sang kekasih di kala kerinduan mendalam.
O turang la megogo, kai nindu ari turang, uga si bahan arihta, arih-arihta tetap
ersada ari o turang bermakna wahai adinda manis, kita buat janji dan bertekad, kita akan

260
tetap bersatu. Bait terakhir dari lagu ini adalah ikrar janji sepasang kekasih walaupun
masalah yang mereka hadapi sedang menggunung, ikrar mereka tetap bersatu. Lagu ini
pula menggambarkan situasi perang yang sedang berkecamuk dan tidak menentu.
Letusan bedil mengingatkan untuk maju ke medan perang, berjuang antara hidup dan
mati. Namun, tanpa ragu sang patriot harus mengambil keputusan walau sangat berat
demi memperjuangkan kemerdekaan.
Lagu “Erkata Bedil” sangat besar pengaruhnya terhadap masyarakat pada masa
itu. Hal ini tampak dengan munculnya semangat yang berkobar-kobar di front-front
pertempuran dengan menyanyikannya. Berkobarnya pertempuran di daerah Sumatera
Utara pada masa awal kemerdekaan, terutama di kota Medan adalah perang bagi seluruh
masyarakat termasuk warga Karo. Oleh karena itu, para pemuda pejuang tanah Karo
merasa bertanggung jawab untuk membantu saudara-saudaranya di Medan. Pada awal
kemerdekaan, Medan merupakan kota yang didiami penduduk yang sebagian besar
berasal dari suku Karo, Melayu, dan Simalungun, dan merupakan salah satu wilayah adat
suku Karo. Medan juga didirikan oleh seorang putra Karo bernama Guru Patimpus
Sembiring Pelawi asal Ajijahe (dataran tinggi Karo), sehingga pada eranya, kota Medan
masuk dalam wilayah Tanah Karo Simalem. Berkobarnya peperangan di kota Medan pada
awal kemerdekaan menjadi tanggung jawab bagi masyarakat Karo untuk membantu
saudara-saudaranya. Perang di Medan adalah perang bagi seluruh masyarakat Karo
karena Medan adalah salah satu benteng terdepan dan merupakan kekuatan utama yang
sangat penting bagi dataran tinggi Karo
Siapakah pencipta lagu “Erkata Bedil” yang kemudian dijadikan sebagai lagu
nasional rakyat Indonesia? Djaga Depari, komponis asal tanah Karo. Beliau adalah putra
kedua Ngembar Depari dan Siras Br Karo Sekali dari empat bersaudara. Beliau dilahirkan
pada 5 Januari 1922 di desa Seberaya, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo, Sumatera
Utara. Belajar dan menamatkan sekolah di Christelijk HIS Kabanjahe tahun 1935-1939.
Djaga Depari bukanlah seorang akademisi bidang musik. Namun, sejak usia dini ia
mencintai seni, khususnya musik dan mampu memainkan berbagai alat musik yang
didapat secara otodidak. Di sekolah ia sangat disenangi teman-temannya dari berbagai
etnik seperti Jawa, Minangkabau, dan Melayu karena pandai bernyanyi dan suaranya
merdu. Ia sering mengajak teman-temannya berdiskusi tentang musik, terutama musik
Barat yang populer pada masa itu. Kebiasan berkomunikasi di kalangan terpelajar saat itu
dengan menggunakan bahasa Belanda membuat Djaga Depari mampu menyanyikan lagu
berbahasa Belanda, seperti lagu berjudul “Kun je nog zingen”, “Zing”, dan “Mee’.
Kemampuannya menggesek biola semata-mata karena talenta yang ada pada dirinya.
Kepiawaiannya ini pula menjadikannya mampu merumuskan not-not lagu yang memiliki
kesenduan di telinga para penikmatnya, mulai dari irama Melayu, rumba, tango, samba,
dan habanera. Pergaulannya di sekolah membawanya mengenal banyak jenis musik
termasuk musik/aliran Barat (Prancis, Spanyol, Italia). Setelah lulus HIS, Djaga Depari

261
tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, tetapi ia belajar kursus bahasa
Inggris.
Pertengahan tahun 1942 atau tahun pertama Jepang menduduki Indonesia, Djaga
Depari sudah mencipta sejumlah lagu dan berlanjut sampai pada masa perang
kemerdekaan. Beberapa lagu yang diciptakan Djaga Depari pada masa perang awal
kemerdekaan, antara lain berjudul “Famili Taksi”, “Padang Sambo”, “Tanah Karo
Simalem”, “Rudang Mejile”, “Roti Manis”, “Tiga Sibolangit”, “Lasam-Lasam”, “Make Ajar”,
“Pecat-pecat Seberaya”, “Didong-Didong Padang Sambo”, “Io-Io Beringin”, “Andiko
Alena”, “Sue-Sue”, dan” Rudang-Rudang”. Djaga Depari memang seorang pemusik dan
memiliki talenta yang dapat mengubah musik sendu menjadi lagu bernafaskan
perjuangan yang patriotik, misalnya lagu berjudul “Kemerdekaan”, yaitu lagu yang
berisikan penentangan terhadap kolonialisme dan upaya mempertahankan kemerdekaan
di bumi Indonesia, khususnya tanah Karo. Bait demi bait syair lagu ini memberi pesan
kepada para pemuda agar tetap mengutamakan kemerdekaan bangsa dan lebih
memikirkan kepentingan rakyat daripada kepentingan lain, misalnya hubungan
percintaan. Melalui syairnya, ia melakukan perlawanan kepada penjajah dengan lirik yang
sangat patriotik dan mampu menyemangati masyarakat untuk berjuang.
Djaga Depari juga ikut bergabung dalam barisan Laskar Napindo Tanah Karo yang
dipimpin oleh Mayor Selamat Ginting dan diberi pangkat Sersan Mayor dengan jabatan
seksi penyiaran radio dan sandiwara. Tugas utamanya menginformasikan berita-berita
pimpinan kepada laskar-laskar di pedalaman. Untuk itu, ia menghibur laskar dan
masyarakat melalui senandung lagu-lagunya. Hal ini semakin mempertegas keberadaan
Djaga Depari sebagai pemusik pejuang (Simamora,2010:62). Dari tanah kelahirannya,
Djaga Depari merantau ke kota Medan untuk mencari inspirasi, semangat, dan wawasan
demi mendapatkan ilham sembari mengembangkan bakatnya untuk lebih produktif.
Totalitas masyarakat Karo mempertahankan kemerdekaan negeri ini dan
kekejaman perang pada awal kemerdekaan hingga agresi tergambar dalam syair lagu dan
melodi yang dirilis dengan syahdu pada gubahannya yang berjudul “Sora Mido”. Terselip
juga himbauan kepada pemerintah agar tidak melupakan kegetiran rakyat masa perang
dan menghormati jasa para pejuang sehingga generasi mendatang mampu membawa
bangsa ini ke perubahan yang semakin baik.
Kreativitas Djaga Depari pada eranya tidak dapat dinafikan, terutama dalam
menggubah lagu berkaitan upaya mempertahankan kemerdekaan yang saat itu sangat
berpengaruh terhadap perjuangan masyarakat. Selain lagu-lagu perjuangan yang
patriotik, ia juga menciptakan lagu-lagu percintaan, lagu berisikan nasehat, kritik sosial,
dan lagu yang menunjukkan kecintaannya ke tanah tempat ia dilahirkan. Djaga Depari
menciptakan puluhan, bahkan mencapai hampir seratus lagu. Salah satu yang paling
popular secara nasional di Indonesia hingga tahun 2000-an, bahkan hingga kini adalah

262
“Piso Surit”. Lagu ini masih sering didendangkan di acara-acara adat Karo, acara nasional,
resepsi perkawinan, dan di tempat-tempat hiburan lainnya. Djaga Depari mengisi hari-hari
hingga akhir hayatnya pada 15 Juli 1963. Beliau dimakamkan di kampung Serabaya.
Melalui torehan syair sebagai hasil cipta rasa dan karsa serta pengakuan
ketokohannya sebagai komponis, Djaga Depari mendapat apresiasi Anugerah Seni oleh
Presiden RI pada 2 Mei 1979. Pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara juga
menghargainya dengan menganugerahkan Piagam Penghargaan bidang seni pada
tanggal 13 Juli di tahun yang sama. Untuk mengenang jasa-jasanya, pemerintah provinsi
juga membangun monumen Djaga Depari di persimpangan Jalan Pattimura, Jalan
Iskandar Muda, dan Jalan Djamin Ginting Medan, dengan peletakan batu pertama oleh
Walikota Medan, H. Bachtiar Djafar, pada 1 Agustus 1997 dan diresmikan oleh Gubernur
Provinsi Sumatera Utara, H. Abdul Wahab Dalimunthe.

E. Cornel Simanjuntak

Lagu nasional yang berjudul “Maju Tak Gentar” selalu dikumandangkan setiap
upacara nasional, terutama pada Hari Pahlawan. Maju tak gentar, membela yang benar,
maju tak gentar, hak kita diserang. Maju serentak, mengusir penyerang, maju serentak,
tentu kita menang. Demikian syair lagu gubahan Cornel Simanjuntak yang lahir di
Pematangsiantar, Sumatera Utara, pada tahun 1921. Lagu itu menunjukkan semangat dan
memotivasi rakyat untuk tetap berjuang mempertahankan kemerdekaan ketika NICA
berusaha menduduki kembali Indonesia. Bait pertama bermakna rakyat dan tentera
pejuang harus maju ke medan perang, bahu membahu menyerang musuh, dan harus
berani di garda depan memperjuangkan serta mempertahankan kemerdekaan bangsa.
Mereka harus tetap bersatu dan percaya bahwa bangsa Indonesia mampu berjuang
melawan penjajah. Bait kedua berbunyi bergerak-bergerak, serentak-serentak,
menerkam-menerkam terjang, tak gentar, tak gentar, menyerang-menyerang, majulah-
majulah menang bermakna semangat persatuan harus terus digairahkan rakyat untuk
terus bekerja sama mengusir penjajah dari bumi Indonesia.
Hollandsche Inlandsche School (HIS) di Medan tempat Cornel menimba ilmu,
banyak membentuk talenta bermusiknya hingga ia mampu memainkan berbagai alat
musik. Lalu, beliau melanjutkan ke Hollandsche Indische Kweekschool (HIK) Xaverius
College Muntilan, Jawa Tengah, pimpinan pastor-pastor Jesuit. Cornel mengembangkan
bakat seninya karena memang sekolah ini memiliki jadwal kegiatan bermusik yang serius.
Masa pendudukan Jepang, Cornel hijrah ke Jakarta dan aktif di Keimin Bunka Shidosho,
kantor kebudayaan yang menjadi pengarah para seniman. Atas arahan Jepang, beberapa
lagu propaganda ia ciptakan seperti lagu berjudul “Bikin Kapal”, “Menanam Kapas”,
“Bekerja”, dan “Menabung”. Syair lagu-lagu yang digubahnya berirama lincah dan segar

263
yang umumnya bermakna anjuran dan dorongan agar rakyat Indonesia membantu
Jepang memenangkan perang melawan Sekutu.
Keadaan ini menimbulkan kecaman dari para aktivis yang anti-Jepang terhadap
Cornel. Namun, ia berargumen dengan pernyataan bahwa ia bekerja di lembaga Jepang,
bukan untuk mendukung Jepang, melainkan untuk mendidik rakyat. Kecintaan Cornel
kepada Indonesia tidak dapat diragukan. Argumen Cornel bukan tidak beralasan. Ia
membuktikan melalui talenta yang dimilikinya. Musik dengan gubahannya terus
menggelegar ketika revolusi pecah. Ia menghentak-hentak melalui lagu “Maju Tak
Gentar”, “Sorak-Sorak Bergembira”, “Teguh Kukuh Berlapis Baja”, “Asia Sudah Bangun”,
“Hancurkan Musuh Kita”, “Awaslah Inggris dan Amerika”, “Kupinta Lagi”, “Taufan”,
“Tanah Tumpah Darahku” (bersama Sanusi Pane), “Maju Indonesia”, “Pada Pahlawan”,
dan “Mars Pasukan Sukarela”. Syair gubahannya pada dasarnya menggambarkan
semangat membara dengan memotivasi rakyat Indonesia yang sedang berperang
melawan sekutu untuk terus bersatu, maju menghadapi musuh, demi mempertahankan
kemerdekaan yang terancam direbut kembali penjajah.
“Maju Tak Gentar” awalnya berjudul “Maju Putra-Putri Indonesia” yang tercipta
pada situasi awal kemerdekaan Indonesia. Syairnya bertujuan untuk membakar semangat
dan menyulut psikologi pejuang front tentara pelajar Yogyakarta. Lagu ini dimanfaatkan
sebagai sarana pendidikan kesenian di sekolah-sekolah oleh setiap guru dalam rangka
membangkitkan semangat patriotisme setelah lepas dari kekuasaan penjajah. Irama mars
yang penuh semangat, melodi yang harmoni dan serasi dengan syair, lirik patriotis dan
sugestif, mampu memotivasi perjuangan pemuda Indonesia membela tanah air.
Secara realistis, syair lagu “Maju Tak Gentar” merupakan ungkapan betapa
membaranya semangat para pejuang dalam membela kebenaran. Potret pertempuran
yang secara rasional tidak seimbang dari segi persenjataan, tapi nyatanya rakyat terus
maju dengan tidak merasa gentar. Di samping itu, para pejuang tidak akan rela
memberikan tanah air kepada penjajah dan dengan sekuat tenaga serentak melakukan
perlawanan fisik untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Gerakan konstruktif dengan
merealisasikan tindakan, perasaan, dan keinginan untuk membebaskan diri dari
penindasan demi kemerdekaan yang hakiki semakin kuat melalui irama marsnya. Liriknya
lugas, sederhana, mudah dimengerti oleh siapa saja, nada yang provokatif, dan
bermusikalitas. Lagu “Maju Tak Gentar” disiarluaskan lewat radio publik yang dipasang di
mana-mana di seluruh negeri, termasuk pelosok terjauh. Dengan sendirinya lagu ini
membahana di seantero nusantara, terutama pada masa pascamerdeka (1945–1949).
Teknik musik dan syair lagu yang sangat patriotik telah menimbulkan
pembicaraan di kalangan pecinta musik yang cinta kepada kebangsaan dan rindu akan
kebebasan dan kemerdekaan. Pembicaraan ini mengangkat nama penggubahnya ke
ambang ketenaran. Ia adalah pelopor pencipta lagu-lagu heroik yang telah menjadi

264
tonggak sejarah (milestone) sehingga mengekal. Talentanya terlihat ketika J. Schouten
menjadi gurunya. Cornel juga bermain musik dengan Pater Jesuit, seorang master musik
yang menjadi kepala onderbow dan pemimpin orkes simfoni. Mereka memainkan
repertoar standar orkes simfoni, termasuk karya Beethoven, Bach, Haydn, Strauss, dan
Wagner. Cornel menjadi perhatian Schouter dari sekian pelajar karena menonjol, bersuara
tenor mirip Enrico Carusa (penyanyi legendaris Italia), piawai memainkan piano, klarinet,
dan menggesek biola. Tampaknya Cornel kagum dengan Schubert karena mampu
menciptakan 600 lagu yang sebagian menjadi lieder (puisi yang dimusikkan). Seluruh
karya penyair Jerman sejamannya, seperti Goethe, Schiller Heine, Klopstack, Muller, dan
Stadder menjadi sumber inspirasinya, termasuk sastrawan Inggris Shakespeare. Lagu
yang paling dia sukai adalah Ave Maria hingga mengantarkannya ke puncak apresiasi di
sekolah dengan kedudukan consermaste.
Ketika pertempuran melawan sekutu berkecamuk di kawasan Senen, Jakarta,
Cornel yang turut dalam arena itu mengarahkan pucuk senjatanya kepada tentara Gurka
(Inggris), tetapi malang, luka tembak dipahanya mendahului gerakan bidikan senjatanya
hingga dia harus dirawat di rumah sakit Cipto Mangunkusumo. Adanya pembersihan dari
pihak musuh, memaksa Cornel untuk diselundupkan ke Karawang dan kemudian dibawa
ke Yogyakarta, serta tinggal bersama Usmar Ismail, Gayus Siagian, Suryo Sumanto, dan D.
Jaya Kusuma. Konon peluru di pahanya tetap bersarang. Ketika batuk kering tidak
berkesudahan mendera Cornel, kondisi kesehatannya semakin lemah. Dia tidak dapat
bertahan dan akhirnya menghadap Sang Khalik pada September 1946. Hari itu juga
jenazahnya dikebumikan di pemakaman umum Karkop di Yogyakarta.
Cornel memperoleh puncak ketenarannya dengan menggubah lagu-lagu yang
diilhami puisi-puisi kesayangannya. Dia tetap seorang pemuda yang sederhana dan cinta
kepada kemerdekaan negara bangsanya. Pusaranya sederhana. Rendah berundak tiga
dengan tangga nada di kepala. “Gugur Sebagai Seniman dan Prajurit Tanah Air”. Demikian
kalimat yang tertulis di nisannya. Cornel dengan gubahan lagu patriotiknya merupakan
komposer sepanjang masa dan membawa keharuman nama di mata negara bangsa.

C. Liberty Manik Ilmuwan Pemersatu Bangsa

Ketika suatu bangsa memutuskan untuk bersatu, perjuangan, kecintaan, dan


kesadaran berbangsa menjadi sangat dibutuhkan. Ernest Renan (1882) mengemukakan
bahwa bangsa adalah suatu nyawa dan suatu azas akal yang terjadi dari dua hal, yaitu
rakyat harus bersama-sama menjalani satu riwayat dan rakyat harus mempunyai
kemauan, keinginan hidup menjadi satu tanpa dibatasi ras, bahasa, agama, dan
persamaan butuh (Soekarno, 1963:3). Hakikat perjuangan sebagai wujud nasionalisme
memengaruhi munculnya ide-ide baru tentang identitas suatu bangsa seperti agama,
sosial, politik, dan ekonomi (Ricklef, 1999:247).

265
Di Indonesia, perjuangan sebagai wujud nasionalisme melahirkan fase sejarah
yang dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Peristiwa tersebut ditandai dengan
kemunculan Boedi Oetomo (20 Mei 1908), organisasi pemuda yang bertujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa berdasarkan kesadaran, tekad, dan upaya memajukan
bangsa atas dasar falsafah dan wawasan yang bersumber pada kepribadian nusantara
untuk menjadi satu kesatuan membentuk identitas baru.
Jejak nasionalisme di Indonesia, terutama dalam musik, dipengaruhi oleh
nasionalisme Eropa, diawali di Rusia kemudian Skandinavia, Spanyol, Italia, Hongaria,
Inggris, dan Amerika Serikat serta kawasan Asia-Afrika. Pengaruh yang sangat menonjol
adalah tangga nada diatonik yang menghadirkan perpaduan antara Timur dan Barat.
Pembentukan musik nasional terjadi ketika para pemuda Indonesia melakukan gerakan
untuk membebaskan diri dari kaum penjajah dan gerakan menciptakan kebudayaan
nasional. Perkembangan musik diatonik sebagai sarana pendidikan mengalir seiring
munculnya generasi penerus setelah W.R. Supratman dan Muhammad Syafei. Kemudian,
muncul Cornel Simanjuntak, Amir Pasaribu, J.A. Dungga, Binsar Sitompul, W. Lumban
Tobing, dan L. Manik.
Liberty Manik atau lebih dikenal dengan L. Manik merupakan penggubah lagu wajib
nasional berjudul “Satu Nusa Satu Bangsa”. Lagunya dikenal sebagai lagu yang
sederhana, tetapi mengandung arti dan makna nasionalisme yang dalam. Hal tersebut
terlihat dari makna lagu yang berkaitan dengan rakyat agar membentuk kesatuan walau
berbeda agama dan budaya. Tujuannya sama yaitu berjuang mempertahankan
kemerdekaan Indonesia dari serangan Belanda melalui NICA yang ingin mengambil alih
kembali wilayah Indonesia. Lagu ini diciptakan tahun 1947 di Keraton Yogyakarta. Dari
gubahan syairnya, tampak tujuan Liberty semata-mata ingin mempersatukan seluruh
masyarakat Indonesia agar terhindar dari segala bentuk separatisme, terutama pada
masa pascakemerdekaan Indonesia.
Jika dianalisis syair lagunya, satu nusa satu bangsa satu bahasa kita bermakna
bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah yang rakyatnya bersatu dengan
bahasa yang satu, yaitu Indonesia. Tanah air pasti jaya untuk selama-lamanya bermakna
persatuan dan kesatuan akan mewujudkan kejayaan. Indonesia pusaka Indonesia tercinta
nusa bangsa dan bahasa, Kita bela bersama bermakna bahwa Indonesia dengan
kekayaannya merupakan harta paling berharga. Agar wilayah dan bahasa Indonesia tidak
tergantikan oleh bangsa lain, rakyat harus maju dan membela tanah dan bahasa agar
tidak jatuh kembali ke tangan penjajah.
Sosok L. Manik merupakan guru yang memiliki perhatian terhadap musik dan
penulis lagu yang penuh nasionalisme. Hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri untuk
mengkaji riwayat kejuangannya. L. Manik merupakan putra keenam dari sepuluh
bersaudara pasangan Patihan Manik (Kepala Kampung Huta Manik di Perbesleit De Tijd

266
Gezaghebber/De Gezaghebber Der Dairi Landen pada 01 Januari 1909) dan Solat
Situmorang yang lahir di Desa Hutamanik, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Provinsi
Sumatera Utara, pada tanggal 21 November 1924. Katekismus buku yang dibacanya.
Parhata sada (berkemauan keras) menjadi sosok keberaniannya. Sekolah Zending tempat
belajarnya. Alat musik biola, cello, kontrabas, suling, hobo, klarinet, fagot, trompet, kosno,
dan trombone adalah kegemarannya.
Perkusi pernah dimainkan L. Manik bersama orkestra HIK di Muntilan pimpinan
Pastor J. Schouten. Orkestra tersebut memainkan karya-karya klasik, seperti
Unvollendente Symphonie dari Franz Schubert, Skizzen aus Mittel-Asien dari Borodin, dan
“An der schonen blauen Donau” dari Johan Strauss (Simanjuntak, 1992: 76).
Kedatangan Jepang ke Indonesia (1942) memorak-morandakkan HIKS di Muntilan
dan menyebabkan pelajar-pelajar HIKS tidak dapat melanjutkan pendidikannya. Sejak itu,
L. Manik menjadi penyanyi dan pemain biola pada siaran Radio Semarang (Semarang
Hoyokyooku). L. Manik kemudian meneruskan pendidikannya di Akademi Musik Republik
Indonesia (AMKRI) Yogyakarta (sekarang bernama SMA St. Thomas) sembari membentuk
dan memimpin paduan suara bernama “Koor lagu-Lagu Tanah Air” yang beranggotakan
pelajar dari berbagai sekolah menengah di Yogyakarta. Radio Republik Indonesia
Yogyakarta menjadi media dalam memperdengarkan lagu-lagu ciptaannya.
Suasana perjuangan juga ikut memupuk bakat musik L. Manik sehingga
menorehkan syair lagu “Negara Jaya”. Liriknya menyemangati masyarakat Indonesia agar
bersatu mewujudkan negara jaya berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila sebagai ideologi negara bangsa. Disamping itu, syair lagu “Desaku Yang
Kucinta” menggambarkan ingatan memori kolektif kerinduan akan kampung halaman.
“Pantai Sepi”, “Di Laut”, dan “Tamanku” merupakan lirik lagu perenungan personal yang
dihalusinasikan dengan keindahan alam dan lingkungan serta mengisyaratkan harapan
akan nusa dan bangsa. Lagu itu menjadi sebuah seruan persuasif.
Lagu-lagu perjuangan yang dikaryakan komponis pada era pascarevolusi
kemudian disahkan sebagai lagu wajib nasional berdasarkan Instruksi Menteri Muda
Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan No.1 tanggal 17 Agustus 1959 yang diterbitkan
oleh Balai Pustaka tahun 1963. Lagu tersebut merupakan lagu-lagu wajib nasional dan
harus diajarkan di setiap sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, termasuk
lagu “Satu Nusa Satu Bangsa”.
Selain menggubah lagu, beliau juga memimpin paduan suara dan banyak menulis
berbagai artikel di majalah, seperti Arena pimpinan Usmar Ismail, Mimbar Indonesia,
Zenith, Pujangga Baru, dan Balai Pustaka. Kumpulan artikel L. Manik bersama J. A. Dungga
diterbitkan Balai Pustaka Jakarta tahun 1952 dalam sebuah buku berjudul Musik di
Indonesia Serta Beberapa Persoalannya. Buku Dua Sahabat Baru diterbitkan tahun 1989.
Karyanya berjudul Das Arabische Tonsystem Immittelalter (1969), Batak Handschriften

267
(1973), dan Eine Studienreise Zur Erporschung Derrituellen Gondang Musik Der Batak Auf
Nord Sumatra (1974) diterbitkan di Eropa.
Lembaga Kerjasama Kedutaan Indonesia- Belanda (Sticusa) pernah mengundang
L. Manik untuk belajar musik dari seorang komponis Belanda bernama Kees Kef dari
Amsterdam. Beliau berkesempatan mengikuti ujian dirigen koor yang diselenggarakan
Nederlandse Dirigenten dan berhasil dengan baik. L. Manik juga mempelajari Musik
Gerejawi pada “Landeskirchen Musik Schule im Rheinland” atas undangan Rheinische
Missions Gesellschapt (RMG) dari Wuppertal-Barmen. Atas dukungan Kedutaan Besar
Republik Indonesia di Bonn, L. Manik memperoleh beasiswa dari Deutscher Akademi Scher
Austavschdienst (DASA) untuk melanjutkan studinya ke Freie Universitat di Berlin Barat
dengan memilih Musik Wissenshaft dan Musik Ethnologie sebagai studi pokok
(Doppelhauphtfach) dan Pusliztik sebagai studi kedua (Naben Fach). Beliau berhasil
menyelesaikan disertasinya berjudul Das Arabische Tonsystem Im Mittelalter atau Sistem
Nada-Nada Arab dalam Abad Pertengahan dengan memperoleh nilai predikat Magna Cum
Laude (07 Februari 1968). Disertasinya kemudian diterbitkan sebagai textbook oleh A. J.
Brill di Leiden pada tahun 1969.
L. Manik kemudian bekerja pada proyek Jerman bernama Katalo Gisierung Der
Orientalischev Handschrifften in Deutchlan. Beliau memperoleh tugas menyelidiki
naskah-naskah kuno atau pustaka di perpustakaan dan museum di Jerman. Sebanyak 500
pustaka yang berserak di perpustakaan dan museum dapat dihimpun. Hasil
penyelidikannya kemudian diterbitkan dengan judul “Batak Handschriften” oleh Frans
Steiner Verslag GMBH di Wisbaden dan menjadikan tulisan Batak mendapat urutan ke 28
tulisan/bahasa orientalis dunia. Keberadaan ini oleh orang Eropa, khususnya Jerman dan
Belanda, mengenalnya sebagai seorang filolog.
Setelah delapan belas tahun berkelana di Jerman dan Belanda, atas undangan
Golongan Karya ia kembali ke Indonesia dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda 28
Oktober 1972. Dalam pertemuannya dengan pengurus DPP Golkar, Mayjend Ali Murtopo
(Pembina Golkar dan Asisten pribadi Presiden di kala itu), didampingi Suparjo (Sekretaris
Jenderal Golkar), mengatakan bahwa lagu “Satu Nusa Satu Bangsa” merupakan cultural
investment (investasi budaya) yang menjiwai perjuangan pemuda-pemuda merebut
kemerdekaan bangsa. Semangat yang dipancarkan lagu itu dijadikan landasan
perjuangan orde baru untuk membangun bangsa dan negara.
Pada Tahun 1973 L. Manik kembali ke Berlin dan menjadi dosen di almamaternya,
Freie Universitat. Selain itu, beliau menjadi dosen tamu di Universitat Hamburg Jerman
Barat dan Asian Institute For Musika. Tiga tahun kemudian, L. Manik menjadi pengajar di
Dewan Gereja Indonesia (DGI) khusus musik gereja. L. Manik juga kerap diundang
mengajar, memimpin kursus dirigen koir, dan ceramah tentang musik di Universitas Duta
Wacana Yogyakarta, Universitas Gajah Mada (UGM), dan Institut Seni Indonesia (ISI)

268
Yogyakarta. Pada Desember 1987 L. Manik mementaskan lagu gubahan Johan Sebastian
Bach berjudul “Waihnachtsoratorium” yang dibawakan paduan suara Universitas Duta
Wacana diiringi Orchestra Symphoni Institut Seni Indonesia. Beliau menjadi anggota ahli
konsorsium pendidikan tinggi dalam menyusun kurikulum seni untuk seluruh perguruan
tinggi, baik negeri maupun swasta di Indonesia.
Menjelang akhir hayatnya, L. Manik masih menggubah lagu berjudul “Negara Jaya”
yang syairnya berbunyi mari kawan semua bangkit bersama, seia dan sekata bahu
membahu. Tujuan kita negara yang jaya, tugas mulia ada ditanganmu. Bagi nusa dan
bangsa kerahkanlah tenaga, kabarkan Pancasila teguhkan persatuan. Gembira, gembira
menuju bahagia. Lirik lagu yang mengisyaratkan harapan akan nusa dan bangsa. Sebuah
seruan persuasif yang menyemangati masyarakat Indonesia agar bersatu padu
memewujudkan suatu negara yang jaya dengan berdasarkan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia. Lagu ini juga menggambarkan
semangat nasionalisme yang diperuntukkan bagi persatuan bangsa Indonesia.
L. Manik wafat pada 16 September 1993 di rumah sakit Bethesda Yogyakarta.
Sebelum dimakamkan jenazahnya disemayamkan di aula ISI sebagai tempat
penghormatan terakhir. Dalam sambutannya, rektor ISI (Prof Dr. RM Soedarsono
menyatakan “Yang kehilangan besar bukan hanya ISI, akan tetapi seluruh Bangsa
Indonesia karena sesungguhnya Liberty Manik adalah Tokoh Nasional di bidang musik”.
Diiringi alunan musik syahdu konser lagu ciptaannya, jenazah L. Manik dimakamkan di
Taman Makam Seniman Imogiri, Bantul, Yogyakarta, beserta dengan seniman-seniman
Indonesia lainnya. Untuk mengenang dan menghormati jasa dan pengabdian L. Manik,
Bupati Kepala Daerah Tingkat II Dairi Drs. S. Isodorus Sihotang, membangun sebuah
“Monumen Liberty Manik” di Daerah Wisata Desa Sitinjo Kecamatan Sidikalang. Bentuk
monumen tersebut merupakan Not Balok 1/8 yang berada di atas sebuah monumen
bersisi delapan dan di atas susunan lima buah anak tangga. Not 1/8 tersebut terdiri dari
dua sisi. Sisi pertama menghadap kota Sidikalang dengan gugusan pulau-pulau
Nusantara. Latar belakang merah putih serta batas antara merah putih tersebut
melambangkan garis khatulistiwa yang tercantum syair lagu “Satu Nusa Satu Bangsa”.
Sementara di sisi yang lain, terukir gambar Liberty Manik beserta riwayat singkatnya.
Monumen Liberty Manik diresmikan oleh Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan pada tanggal 14 November 1997. Pada masa pemerintahan Bupati Dairi, Dr.
M.P. Tumanggor membangun kembali sebuah monumen L. Manik yang berdampingan
dengan monumen T.B. Simatupang di Desa Sitinjo, Sidikalang. Monumen ini diresmikan
oleh Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarno Putri, pada tanggal 03 Maret 2002.

269
KESIMPULAN
Paparan tentang peranan komponis dalam mempertahankan kemerdekaan era
Revolusi memberi makna bahwa upaya rakyat Indonesia untuk melepaskan diri dari
penjajahan, khususnya masa pascakemerdekaan dilakukan oleh berbagai elemen
masyarakat, termasuk para seniman dan komponis. Walaupun partisipasi komponis tidak
semenonjol secara fisik seperti para politisi atau militer, peranan para komponis tidak
dapat dinafikan. Gubahan lagunya memiliki syair yang patriotik, irama musik yang dapat
membangkitkan semangat, menimbulkan rasa cinta tanah air, mampu menginspirasi dan
memotivasi, serta membangkitkan semangat kebangsaan. Nahum Situmorang dengan
lagu “Mariam Tomong”, Alfred Simanungkalit dengan lagu “Bangun Pemudi Pemuda”,
Djaga Depari dari Tanah Karo dengan lagu “Erkata Bedil”, Cornel Simanjuntak dengan lagu
“Maju Tak Gentar”, dan Liberty Manik dengan lagu “Satu Nusa Satu Bangsa”, mampu
memotivasi dan membangkitkan gairah setiap pemuda untuk terus bergerak maju
melawan penjajah. Mereka berjuang sesuai talentanya di tengah-tengah kondisi riuh
dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Karya-karya mereka terbukti mampu menyulut api semangat perjuangan merebut
dan mempertahankan kemerdekaan. Dengan kata lain, perjuangan para seniman juga
tidak kalah penting. Melalui keahliannya, mereka mampu berkontribusi dan
menghasilkan karya-karya pengobar semangat para pejuang. Karya-karya yang
diciptakan mengisyaratkan bahwa berjuang tak selamanya harus angkat senjata. Karya
yang mereka hasilkan adalah bentuk luapan jiwa yang tulus dan murni sehingga mampu
menghipnotis dan membakar semangat. Karya para komponis menyisakan sesuatu yang
berharga dan hidup untuk dapat dinikmati oleh generasi berikutnya. Mereka telah
mewariskan karya-karya yang dapat dinikmati sekaligus diteladani oleh generasi
selanjutnya, terutama bagi para penyanyi dan penggubah lagu.

RUJUKAN
Buku
Adeng. (2012). Peranan Seniman Dalam Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Bandung. Jakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional. Jurnal
Patanjalan Vol. 4, No. 2, Juni 2012: 45-57
Aji, Rimbardi Wisnu, Abidin, Zaenal. (2019). Kebermaknaan Hidup Pada Seniman Lukis Di
Kota Semarang. Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro. Jurnal Empati, Volume
8 (Nomor 2), Agustus 2019, halaman 47-57
Armeindo Sinaga. (2014). Cornel Simanjuntak: Pejuang dan Komponis Indonesia dari
Pematangsiantar (1921-1946). Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial

270
Universitas Negeri Medan. (Skripsi Jurusan Pendidikan Sejarah Unimed). Tidak
diterbitkan
Chyntia Kartika Sari dkk. (2013). Pola Pencarian Informasi Seniman Di Ruang Alternatif Seni
S.1. Bandung: Gagas Media Group Published. Jurnal Kajian Informasi &
Perpustakaan Vol.1/No.2, Desember 2013, hlm 117-125
Depdikbud. (1996). Partisipasi Seniman Dalam Perjuangan Kemerdekaan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Habibi, M. Dani. (2019). Interpretasi Semiotika Ferdinand De Saussure dalam Hadis Liwa dan
Rayah. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jurnal Mashdar: Studi al-Quran dan Hadis
Vol. 1 N0. 2. Hal 115-124
Hamid, Madjid. (2015). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Ombak
Hendri, Vincentia. (2013). Konsep Karya. Yogyakarta. Jurusan Pendidikan Seni Rupa
Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta
Hidayat, Bagja dkk. (2017). Paradoks Amir Hamzah. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia (KPG)
Husin, Djohar. (2011). Tengku Amir Hamzah (Tokoh Pergerakan Nasional, Konseptor
Sumpah Pemuda, Pangeran Pembela Rakyat). Langkat: Development Foundation
Langkat
Holt, Claire. (2000). Melaca. Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Bandung: Arti Line
Ibrahi, Muhammad. (1983). Mr. T. Muhammad Hasan (Karya dan Pengabdiannya). Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional
Proyek-proyek san Dokumentasi Sejarah Nasional
Lubis, Hafnita Sari Dewi, Siburian, M. Si Regina. (2018). Pemikiran Liberty Manik Terhadap
Semangat Nasionalisme. Jurnal Putri Hijau Vol. 4 No 1 Hal 100-115.
M.D, Sagimun. (1993). Pahlawan Nasional Amir Hamzah. Balai Pustaka: Jakarta.
Prihatini, Vincentia. (2016). Peranan Seniman Dalam Perjuangan Mempertahankan
Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945-1949. Yogyakarta. Program Studi Pendidikan
Sejarah Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Yogyakarta
Suparna, Stefanus dkk. (2009). Mengenal Nusantara: Provinsi Sumatera Utara. Bekasi:
Penerbit Sari Ilmu Pratama
Suriani, Amini, Mutia. (2015). Perempuan Dalam Pers dan Politik di Kota Medan: Biografi Ani
Idrus 1930-an - 1970-an. Yogyakarta. (Tesis Jurusan Sejarah UGM). Tidak diterbitkan

271

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai