niTglLkED nuwo.
Gheggeh tanno, kenangan tentang emak jamo Bapak sai
tEtTg kmi.
Emak bekerjo serabutan, unyen dikerjoken
makLko.
aikmL gweH.
auntukL aikmL
Ikam ghadeu berada di taneh pek ikam lahir, ghegak, minjak jamo tumbuh. Mak
Seperti sekarang, kenangan tentang Ibu dan Bapak yang menghantuiku, sejauh apa pun aku
pergi. Bayang akan mereka dan segala kenangan melekat kuat dan abadi, tak mau pergi meski
telah kuusir.
Aku belum berdamai dengan mereka, dengan semua kenangan yang mereka berikan. Takut
untuk menoreh luka kembali. Aku dan bapak adalah dua punggung kokoh yang saling
memunggungi. Kami sama-sama keras dan tak terbantahkan. Ibu adalah pelunak di antara
kami, penengah yang aku serta bapak butuhkan.
Pikiranku kembali berkelana jauh ke rentetan kejadian yang pernah terjadi, “kamu harus
bisa baca, Dam. Gimana pun caranya, Ibu akan sekolahkan kamu.” Ujar Ibu sembari
merapikan buku yang baru saja ia dapatkan tetangga kami. Ibu bekerja serabutan, semua ia
kerjakan untuk memberiku makan dan sekolah.
Perihal bapak, ia dahulunya adalah seorang penambang. Bapak kecelakaan saat bekerja,
mengharuskan kaki kanan yang paling diandalkan nya diamputasi. Sejak saat itu aku dan Ibu
harus bertahan dengan sosok bapak yang baru, kasar secara verbal dan selalu merasa rendah
diri.
Bapak selalu marah jika ibu mengajariku mengaji dan sholat. “Tuhan tidak ada, jika ia ada
aku takkan hidup sepert ini!” Bapak selalu meneriaki kalimat yang sama setiap kali ia
melihatku ingin menyembah Tuhan. Bapak lah penyebab aku tak tahu bagaimana cara
menyembah Tuhanku, hingga umur menginjak kepala tiga ini.
Bapak juga selalu memukuli ibu dengan tongkat bambu nya, setiap ibu mengajariku
membaca. “Mau setinggi apa kamu sekolah, Tidak mengubah apapun. Kalau miskin tetap
saja miskin!” Begitu katanya. Bapak dan otak gila nya menganggapku saingan, lucu bukan?
Ia ingin kami berada pada posisi yang sama.
Aku membenci bapak. Bahkan sampai hari terakhir aku berada di rumah, bapak tetap
dengan pendirian nya bahwa aku harus tetap tinggal. Aku harus tetap tinggal, katanya. Ibu
yang membantuku kabur di pagi buta supaya tidak ketahuan, ibu tidak peduli apapun risiko
yang akan terjadi nantinya ketika aku tak ada.
Aku di kota hidup dengan mantan bos bapak, beliau atau yang kupanggil dengan Tuan
Eskobar, ia lah yang menyekolahiku dan membimbingku mengelola bisnisnya seperti anak
sendiri. Bapak tak mau aku ikut dengan Tuan, takut membebani katanya.
Sudah lima belas tahun aku tak pernah menginjakkan kaki di rumah ibu dan bapak. Surat
yang aku kirim untuk ibu tak pernah mendapat balasan, entah apa yang membuatnya enggan
membalas pesanku. Aku rindu padanya. Hari ini, tepat diusiaku yang menginjak kepala tiga.
Untuk pertama kali nya aku mendapat surat dari rumah, namun bukan dari ibu atau pun
bapak. Dari Pak Agam, tetangga yang memberiku buku untuk belajar membaca.Tertulis
disana bahwa ibu telah tiada.
Aku membaca kata demi kata yang ditulis Agam dikertas putih kusam itu. Satu fakta yang
baru kuketahui, bahwa bapak telah meninggal tiga tahun lalu. Bapak meninggalkan ibu
sendiri. Selama tiga tahun ibu sendiri di rumah itu, melewati masa kritis nya bersama Agam
dan para tetangga lainnya. Kata Agam, ibu selalu merindukanku tapi ia tak pernah mau
mengganggu hidupku yang jauh dari kata buruk ini. Ibu takut menjadi beban. Ibu tak perlu
uangku, yang ia inginkan hanya kebahagiaanku.
Kertas itu menjadi tak berbentuk, basah dan lecak. Aku menghirup kertas itu, berusaha
mencari jejak ibu di indra penciumanku. Nihil, tak ada jejaknya. Adalah bohong jika ku
bilang bahwa bayang ibu masih kokoh dan paripurna di memoriku, bayang nya mulai pudar.
Tuan Eskobar dan Joni—tangan kanan nya—yang sedari tadi melihatku tenggelam dalam
kesedihan mulai bergerak, mengelus punggungku. “Adam, kabar ini mendadak sekali. Kami
tidak ada yang tahu bahwa Nazir telah berpulang tiga tahun lalu, dan ditambah kabar
kepulangan Saidah.. Ini benarbenar membuatku sedih, Adam. Kita semua bersedih disini.”
Joni berkata sambil terus mengelus bahuku, pria paruh baya ini menjadi teman akrabku dari
Ibu dan Bapak seolah berputar bagai kaset rusak di kepalaku. Air mataku mengalir di
pipiku. Senyum hangat ibu, wajah letihnya ketika pulang bekerja, sambutan hangat nya setiap
kali aku pulang sekolah. Cara bapak berjalan dengan tongkatnya, wajahnya yang dipenuhi
amarah, dan tawa kedua nya yang sangat jarang terdengar. Aku mengingat semua itu.
Dari jauh, sayup-sayup aku mendengar suara adzan. Suaranya melintasi langit-langit gelap,
merambat di udara dan tiba di jendela kamarku, melewati sela-sela. Aku menangis tanpa
suara. Kesedihan ini semakin dalam saat mendengar suara adzan tersebut.
Bapak pernah berteriak marah padaku bagai babi terluka, dikarenakan aku adzan di masjid
dekat rumah. Ia menyusuliku dengan tongkat bambu nya, disusul ibu di belakangnya. Aku
dipukuli di depan masjid kampung, ibu memelukku, membuatku merasa aman meski tongkat
bapak terus memukuli badan kami.
Malamnya, Ibu memelukku erat mengelusi setiap memar yang ditimbulkan oleh Bapak.
Meski badan nya pun merasakan yang sama. Kami tertidur dengan memar di tubuh masing-
masing. Tapi benarlah kata orang, meski semua itu adalah kenangan pahit, kita baru merasa
kehilangan setelah sesuatu itu benar-benar pergi dan tidak akan mungkin kembali lagi.
Suara adzan semakin terang terdengar. Begitu merdu, mengalun lembut. Aku tergugu di
kamar. Menyadari bahwa tak ada lagi definisi pulang untukku. Bapak dan Ibu telah selama-
lamanya.Aku sudah berada di tanah tempatku lahir, jatuh, bangun dan tumbuh.
Tak banyak yang kulakukan, pergi ke makam Bapak dan Ibu dengan tenang dan diam. Tuan
Eskobar beserta seluruh anak buahnya ikut mengunjungi, salah satu bentuk penghormatan
mereka pada Bapak dan Ibu..
Bapak, Ibu. Sampaikan salam Adam pada surya dan nirwana. Semoga lelahmu terbayar
cerah.