Anda di halaman 1dari 5

A.

  Nama dan Kelahirannya

Ḥasan al-Baṣrī merupakan sosok tokoh yang sangat menakjubkan, kisah kehidupannya
patut ditiru, akhlak dan keteguhannya layak dicontoh, keselarasan ilmu dan amalnya
pantas dijadikan teladan. Nasihat-nasihatnya bagai butir-butir mutiara yang kemilaunya
tidak sirna sepanjang masa.

Nama lengkapnya adalah Abū Sa’īd al-Ḥasan bin Abi al-Ḥasan al-Baṣrī.[1] Ayahnya,
Yasar, adalah seorang budak tawanan dari Maisan (distrik antara Basrah dan Wasiṭ).
Setelah ia dibebaskan oleh tuannya di Madinah, ia menikahi pembantu (mantan budak)
Ummu Salamah al-Makhzūmiyah  yang bernama Khairah.[2]

Dari pernikahan mereka, lahirlah seorang tokoh umat, panutan sepanjang zaman,
Ḥasan al-Baṣrī. Ia lahir dua tahun sebelum berakhirnya pemerintahan Umar bin al-
Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu.[3] Jika pemerintahan Umar bin al-Khaṭṭāb dimulai tahun 13 H
hingga 23 H, maka dapat diperkirakan bahwa tahun kelahiran al-Ḥasan al-Baṣrī adalah
sekitar tahun 21 H.     

Meskipun ayah dan ibu Ḥasan al-Baṣrī adalah mantan budak, namun ia hidup dalam
kasih sayang keluarga Nabi ‫ ﷺ‬dan para sahabatnya raḍiyallāhu ‘anhum. Cinta kasih
Ummu al-Mukminin, Ummu Salamah, sering tercurahkan kepada al-Ḥasan kecil, karena
ibunya bekerja di rumah Ummu Salamah. Kefasihan lisannya dan kecerdasan akalnya
diserap dari berkah Ummul Mukminin ini raḍiyallāhu ‘anhā. Bahkan al-Ḥasan kecil
pernah didoakan oleh Khalifah Umar bin al-Khaṭāb,

ِ َّ‫ َو َحبِّ ْبهُ ِإلَى الن‬،‫اللَّهُ َّم فَقِّ ْههُ فِي ال ِّدي ِْن‬
 ‫اس‬
“Ya Allah, jadikanlah ia faqīh dalam agama, dan dicintai manusia.”[4]

Ia dikenal dengan nisbat-nya yaitu al-Baṣrī, karena seluruh keluarganya berhijrah dari
Madinah ke Baṣrah dan menetap di sana. Ketika itu, Ḥasan al-Baṣrī berusia sekitar 15
tahun, setelah terjadi perang Jamal di tahun 36 H.[5] 

Siapa saja yang melihat Ḥasan al-Baṣrī, akan kagum dengan ketampanan wajahnya
dan keindahan akhlaknya. Al-Zahabi (w. 748 H) menuturkan tentang ciri fisik dan
kemuliaan sifatnya: postur tubuhnya sempurna, wajahnya tampan, parasnya menarik
dan sangat pemberani.[6]

Al-Mizzī meriwayatkan bahwa sebelum al-Asy’aṡ bin Sawār dan ‘Aṣim al-Ahwal ke
Baṣrah, mereka lebih dulu bertanya kepada al-Sya’bī (w. 104 H) tentang ciri-ciri Ḥasan
al-Baṣrī, lalu al-Sya’bi berkata, “Jika Anda tiba di Baṣrah, perhatikanlah lelaki yang
paling tampan, parasnya paling menarik, di Baṣrah tidak ada lelaki semisalnya (dalam
warak, zuhud dan keidahan wajah), itulah Ḥasan al-Baṣrī, apabila Anda menemuinya
sampaikan salamku padanya.”[7]
B.  Perkembangan Keilmuannya

Ḥasan al-Baṣrī tumbuh di kota Madinah dalam keluarga yang penuh takwa. Kedua
orang tuanya memiliki cita-cita mulia untuk semua anak-anak mereka. Ḥasan al-Baṣrī
memiliki dua orang saudara yang memiliki tingkat keilmuan dan ketakwaan yang sangat
tinggi, yaitu Sa’īd bin Abi al-Ḥasan dan ‘Ammār bin Abī al-Ḥasan.[8]

Sejak kecil Yasar dan Khairah telah membimbing Ḥasan al-Baṣrī agar fokus
memperdalam ilmu agama dan ia pun berhasil menghafal Al-Qur’an sebelum mencapai
usia balig.[9] 

Berbeda dari sebagian pemuda di zaman ini, Ḥasan al-Baṣrī tidak menyia-nyiakan
masa mudanya dalam kelalaian, akan tetapi waktu baginya bagaikan emas, yang tak
boleh dilalui tanpa ada tindakan yang berharga. Di usia remaja, ia selalu ikut berjihad
bersama kaum muslimin, menekuni ilmu dan mengamalkannya.

Perkembangan keilmuan Ḥasan al-Baṣrī dapat dibagi dalam dua babak, pertama, saat
ia dan keluarganya masih tinggal di Madinah, dan kedua, setelah keluarganya berhijrah
dan memutuskan untuk menetap di Baṣrah.  

Di masa pemerintahan Uṡmān bin ‘Affān (dari 23-35 H), Madinah bukan hanya ibu kota
kekhilafahan, tetapi juga merupakan salah satu markaz dan destinasi ilmu Islam. Hal itu
disebabkan karena masih banyak para sahabat yang bermukim di dalamnya.

Di Madinah, Ḥasan al-Baṣrī gemar menghadiri majelis-majelis ilmu di masjid Nabawi. Ia


sering berkunjung kepada para sahabat raḍiyallāhu ‘anhum, untuk menimba ilmu dari
mereka. Ḥasan al-Baṣrī juga menuturkan bahwa ia sering mendatangi rumah-rumah
Rasulullah ‫ ﷺ‬-yang atapnya bisa diraih oleh anak remaja- agar bisa belajar dari 
Ummahātul Mu’minīn.[10]  

Ia juga tak luput mendengarkan mutiara-mutiara ilmu dari khotbah Khalifah Uṡmān bin
Affān di setiap salat Jumat di Masjid Nabawi. Ketika Khalifah Uṡmān bin Affān terbunuh
oleh kaum Khawarij, Ḥasan al-Baṣrī saat itu berumur 14 tahun.[11]

Semangat Ḥasan al-Baṣrī dalam menuntut ilmu bagai cahaya mentari yang tak pernah
padam. Setelah keluarganya pindah ke Baṣrah, Ḥasan al-Baṣrī tetap belajar dan
menuntut ilmu dari sahabat-sahabat Nabi dan ulama-ulama besar yang berdomisili di
sana.

Dari kesungguhannya dalam menuntut ilmu, Allah ‫ ﷻ‬mengaruniakan baginya derajat


yang tinggi, lisan yang fasih, keberkahan dalam ilmu. Nasihat-nasihatnya sarat akan
pelajaran, wejangan-wejangannya penuh dengan ilmu dan sastra yang menyerupai
lisan seorang Nabi. Sulaiman bin Mihrān al-A’masy (w. 148 H) pernah berkata,
‫ان ِإ َذا ُذ ِك َر ِع ْن َد َأبِي َج ْعفَ ٍر‬ َ ‫ َو َك‬،‫ق بِهَا‬ َ َ‫الح ْك َمةَ َحتَّى نَط‬
ِ ‫ي يَ ِعي‬ ّ ‫ال ْال َح َس ُن البَصْ ِر‬ َ ‫َما َز‬
‫اك الَّ ِذي يُ ْشبِهُ َكالَ ُمهُ َكالَ َم اَأل ْنبِيَا ِء‬
َ ‫ َذ‬:‫ُم َح َّم ِد ب ِْن َعلِ ّي ب ِْن ال ُح َس ْي ِن قَا َل‬
“Kata-kata hikmah selalu menghiasi lisan Ḥasan al-Baṣrī, jika Abū Ja’far Muhammad
bin ‘Ali bin al-Husain mendengar namanya, ia berkata, ‘Itulah orang yang ucapannya
menyerupai ucapan para Nabi’.”[12] 

Dalam beberapa literasi tentang biografi Ḥasan al-Baṣrī disebutkan bahwa ia memiliki
keakraban dengan Sa’īd bin al-Musayyib. Acap kali Ḥasan al-Baṣrī mengirim surat
kepadanya di Madinah jika ada masalah yang ingin ditanyakannya. Imran bin Ḥuṣain
menuturkan, “Tidak pernah kami mendapatkan kontradiksi fatwa dari kedua ulama ini
(Ḥasan al-Baṣrī dan  Sa’īd bin al-Musayyib).”[13]

C.  Guru, Murid dan Kontribusinya dalam Islam

Luasnya wawasan dan dalamnya ilmu keislaman Ḥasan al-Baṣrī, tidak luput dari
bimbingan guru-guru terbaiknya. Ḥasan al-Baṣrī berguru kepada banyak sahabat Nabi,
di antaranya adalah, Anas bin Malik, Abdullāh bin ‘Abbās, Abdullāh bin ‘Umar,  Abdullāh
bin ‘Amr bin al-Aṣ, Abū Mūsa al-‘Asy’arī, Jābir bin Abdillāh al-Anṣārī, Jundub bin
Abdillāh al-Bajalī, dan yang lainnya.[14]

Dari hasil didikannya, lahirlah ulama-ulama besar yang menebarkan kebaikan Islam
sepeninggalnya. Di antara murid-muridnya adalah Ayūb al-Sikhtiyānī, Qatādah bin
Di’āmah al-Sadūsī, Khālid bin Mihrān al-Hażā’, Humaid al-Ṭawīl, Hisyam bin Hassan,
Jarīr bin Hazim, Yazīd bin Ibrāhim al-Tusturi, Simāk bin Harb,  dan yang lainnya.[15]   

Kontribusi Ḥasan al-Baṣrī dalam menjaga sunnah Rasulullah ‫ ﷺ‬sangat besar,


namanya kerap tergabung dalam rantai sanad periwayatan, lembar-lembar al-kutub al-
tis’ah (sembilan kitab pokok hadis) mengabadikan namanya sebagai salah satu pewari
yang ṡiqah. Ibnu Hajar (w. 852 H) berkata, “Ia adalah perawi yang ṡiqah, pakar fikih,
memiliki keutaman dan sangat masyhur, namun ia juga dikenal sebagai perawi yang
banyak melakukan tadlīs dan irsal.[16]  

Para pakar sejarah menyebutkan bahwa di masa hidupnya, Ḥasan al-Baṣrī pernah
mengemban beberapa amanah jabatan, di antaranya adalah menjadi sekretaris
gubernur Khurasan, al-Rabī’ bin Ziyād al-Hāriṡī, di masa pemerintahan Mu’āwiyah bin
Abī Sufyān.[17]  

Selanjutnya ia juga pernah menjabat sebagai hakim di masa pemerintahan ‘Umar bin
Abdul Azīz (w. 101 H) di wilayah Basrah. Dalam masa jabatannya sebagai hakim, demi
menegakkan keadilan dan membela kebenaran, Ḥasan al-Baṣrī tidak pernah
mengambil gaji dari pemerintah, tidak pula menerima upah dari siapapun.[18]    

D.  Apresiasi Ulama Terhadapnya


Sebagai imam besar bagi para tabi’īn di ṭabaqah (level) ketiga, Ḥasan al-Basri banyak
mendapatkan pujian dan apresiasi dari para tokoh di zamannya, mulai dari kalangan
tabi’īn hingga kalangan sahabat Nabi.

Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu berkata, “Bertanyalah kepada Ḥasan al-Basri, karena
banyak ilmu yang ia telah hafalkan sedang kami sudah lupa (karena tua).”[19]

Abū Burdah berkata, “Belum pernah aku melihat seseorang yang tidak bertemu
Rasulullah ‫ ﷺ‬namun ia sangat mirip dengan akhlak sahabat Rasulullah ‫ ﷺ‬kecuali
syekh ini (maksudnya Ḥasan al-Baṣrī).”[20]

Al-Mughīrah bin Syu’bah berkata, “Tokoh para tabi’īn yang terdepan di bidang ilmu
adalah al-Sya’bi sebagai pakar ilmu peradilan dan sejarah, Ibrāhim al-Nakha’ī sebagai
pakar halal dan haram, ‘Athā’ bin Abī Rabāh sebagai pakar hukum-hukum haji, Sa’īd
bin Jubair sebagai pakar tafsīr, Muhammad bin Sīrīn sebagai pakar ilmu keuangan dan
perdagangan, dan yang menguasai semua bidang ilmu itu adalah penghulu mereka
yaitu Ḥasan al-Baṣrī.[21]  

Ibnu Sa’d berkata, “Ḥasan al-Basri adalah seorang alim yang luas dan tinggi ilmunya,
terpercaya, hamba yang ahli ibadah, fasih lisannya, indah wajahnya.”[22]  

Al-Zahabi berkata, “Ia adalah seorang ulama yang keilmuannya bagai samudra yang
tak bertepi, kedudukannya sangat dihormati, nasihat-nasihatnya indah dan menyentuh
hati, dalam jiwanya terhimpun berbagai macam jenis kebaikan.[23]

Tentang waraknya, Ibrahim bin ‘Isa al-Yasykuri berkata, Tidak pernah aku melihat
orang yang paling banyak bersedih daripada Ḥasan al-Baṣrī, setiap kali aku melihatnya
seakan ia baru ditimpa musibah yang besar.”[24]  

Khalid bin Safwān berkata, “Ketaatan Ḥasan al-Baṣrī selalu seimbang dalam
kesendiriannya atau saat di keramaian, perkataan dan perbuatannya selaras, jika ia
menyeru manusia mengerjakan sesuatu, dialah yang paling pertama melakukannya,
jika ia melarang manusia dari sesuatu, dialah yang paling dahulu
meninggalkannya.”[25] 

E.  Mutiara-mutiara Hikmahnya

Mutiara-mutiara hikmah Ḥasan al-Baṣrī sangat banyak, susunan kalimat-kalimatnya


indah, ungkapan-ungkapan sastranya menyentuh hati apalagi jika dibaca redaksi
Arabnya, karena teks terjemah terkadang tidak mewakili semua sisi balāgah bahasa
aslinya. Berikut ini beberapa wejangannya yang dituliskan oleh Abū Nu’aim al-
Ashbahānī (w. 430 H) dalam Hilyatul Auliyā’.

“Sepantasnya seorang mukmin bersedih di setiap pagi dan petangnya, karena dia
selalu berada di antara dua kekhawatiran, pertama, khawatir akan dosanya yang telah
lalu, sudahkan Allah ampunkan? Kedua, khawatir akan dekatnya ajal, dalam kondisi
apakah dia akan diwafatkan?”

“Ciri orang berilmu (faqīh) adalah zuhud terhadap dunia, mendalam ilmu agamanya,
selalu melakukan ibadah kepada Rabnya ‫ﷻ‬.” Ia juga pernah berkata, “Banyak tertawa
dapat mematikan hati.”

Setelah Umar bin Abdul Azīz dinobatkan sebagai khalifah ke-8 Bani Umayah, Ḥasan al-
Baṣrī menuliskan surat padanya, “Dunia ini bagaikan rumah yang menakutkan, tidaklah
Adam diusir dari surga ke dunia melainkan sebagai hukuman, siapa yang memuliakan
dunia dia akan hina. Setiap hari pasti ada yang mati, maka hadapilah dunia seperti
orang yang sedang mengobati luka, ia bersabar atas perih yang sesaat, agar tidak
merakasan derita sakit yang berkepanjangan”.[26]  

F.  Wafatnya

Ketika wafat, Ḥasan al-Baṣrī mewariskan duka yang mendalam bagi penduduk Baṣrah
khususnya, dan bagi kaum muslimin umumnya. Ibnu Khilkān meriwayatkan dari Humaid
al-Thawīl bahwa Ḥasan al-Baṣri wafat di malam Jumat. Keesokan harinya bakda salat
Jumat, berbondong-bondong penduduk Baṣrah mengantarkan jenazah ulama yang
mulia ini, hingga tak tersisa seorang pun di masjid Baṣrah, dan salat Asar ditunda
pelaksanaannya.[27]  Ḥasan al-Baṣrī wafat di umur 89 tahun, pada malam Jumat
tanggal 5 Rajab tahun 110 H, tepat seratus hari sebelum wafatnya Muhamad bin Sirīn.
[28] Semoga rahmat Allah ‫ ﷻ‬selalu tercurahkan kepadanya dan kepada semua ulama
Islam.

Anda mungkin juga menyukai