Anda di halaman 1dari 11

ETIKA RELIGIUS : MORALITAS AGAMA DAN IDE ASKETIK

STUDI PEMIKIRAN HASAN AL-BASRI DAN AL-MAWARDI

Disusun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah : Filsafat Akhlak

Dosen Pengampu : Pak Ibnu Farhan

Disusun Oleh :

Haidar sanditia (1804016021)

Dimas Adi Pangestu (1804016024)

JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2020

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehidupan dunia adalah kesenangan sementara dimana seharusnya manusia
menjadikan dunia adalah negeri untuk selalu beramal. Dan barangsiapa yang bertemu
dengan dunia dalam rasa benci kepadanya atau zuhud akan merasakan kebahagiaan serta
memperoleh faedah dlam persahabatan itu tetapi jika sebaliknya maka akan merasakan
kesengsaraan tafakur membawa kita untuk selalu melakukan kebaikan dan berusaha
mengerjakannya. Menurut Hasan al-Basri sendiri zuhud merupakan memperlakukan
dunia ini hanya sebagai jembatan yang hanya sekedar untuk dilalui dan sama sekali tidak
membangun apa apa di atasnya. Konsep dasarnya juga meliput zuhud kepada dunia,
menolak kemegahan semata menuju kepada Allah, tawakal, khauf dan raja semuanya
tidaklah terpisah dan janganlah takut kepada Allah, tetapi ikutilah ketakutan itu dengan
pengharapan takut akan murkanya akan tetapi juga mengharapkan karunianya. Seperti
juga Al-Mawardi ketika seseorang telah mampu mengamalkan ilmunya merupakan
perbuatan yang luhur dan mulia maka itulah sebabnya bahwa dalam mengamalkan ilmu
seseoorang harus semata-mata mengharapkan keridhoan Allah. Dan apabila yang ia
niatkan adalah materi maka ia akan mengalami kegoncangan ketika ia merasa bahwa
kerja yang dipikulnya tidak seimbang dengan hasil yang diterimanya. Maka, dengan kata
lain, bagi Al-Mwardi seorang ilmuwan bukanlah berorientasi pada nilai ekonomi yang
diterimanya sebagai akibat apa yang ia kerjakan (imbalan). Oleh karena itu dimakalah ini
akan dijelaskan moralitas agama serta ide asketik pemikiran Hasan al-Basri dan juga Al-
Mawardi.

B. Rumusan Masalah
a. Siapakah Tokoh Hasan Al-Basri dan Al-Mawardi?
b. Bagaimana moralitas agama menurut Hasan Al-Basri dan Al-Mawardi?
c. Bagaimanakah ide asketik pemikiran Hasan Al-Basri dan Al-Mawardi?

C. Tujuan Masalah

a. Untuk mengetahui tokoh Hasan Al-Basri dan Al-Mawardi

b. Untuk mengetahui moralitas agama menurut Hasan Al-Basri dan Al-Mawardi

c. Untuk mengetahui ide asketik pemikiran Hasan Al-Basri dan Al-Mawardi

BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Hasan Al-Basri dan Al-mawardi


Hasan Al-Basri lahir di madinah pada tahun 21 H/642 M. Ayahnya bernama
Yasar, seorang hamba sahaya dari Zaid ibn Tsabit yang dimerdekakan dan diangkat
menjadi sekretarisnya.1 Sedangkan ibunya bernama Khairah Maulat Ummu Salamah.
Abu Sa’id al-Hasan ibn Abi al-Hasan Yasar al-Basri, dikenal dengan sebutan Al-Hasan
Al-Basri, lahir dua tahun sebelum berakhirnya masa kekhalifahan Umar ibn Al-Khattab.
Pada mulanya keluarga Al-Hasan al-Basri tinggal di Wadi al-Qura, sebuah daerah
di wilayah Madinah. Akan tetapi, ketika terjadi perang siffin (37H) Orang tuanya pindah
ke Basrah. Sedangkan Al-Hasan al-Basri sendiri tetap tinggal di madinah. Baru setahun
kemudian dia menyusul ke basrah. 2Hasan al-basri tergolong tergolong tabi’in orang yang
bertemu dengan sahabat-sahabat Nabi. Dan dia adalah murid sahabat Nabi, Hudzaifah ibn
Yaman yang di dalam riwayat dikatakan sebagi orang yang dapat berbicara tentang
rahasia hati (asrar al-qulub).
Keluarga Al-Hasan Al-Basri adalah keluarga yang berilmu dan menaruh perhatian
teradap ilmu, terutama Al-Qur’an dan hadi. Ibunya sendiri, yang sangat dekat dengan
Ummu Salamah, salah seorang istri Rasulullah SAW, dan tergolong orang yang berilmu.
Ibunya itu adalah seorang penghafal dan periwayat banyak hadits, yang menerima dan
meriwaayatkan banyak hadis dari Ummu Salamah. Pendidikan awal al-hasan al-basri
diperoleh dari lingkungan keluarganya sendiri. Ibunya adalah gurunya yang pertama.
Kehidupan keluarga di madinah yang berlangsung selama kurang lebih 16 tahun sejak
kelahiran Al-Hasan al-Basri sampai dengan perpindahan keluarganya ke basrah, memberi
warna tersendiri bagi perkembangan pengetahuannya. Ibunya banyak memberikan
pengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan hasan al-basri. Berkat pendidikan
dan pembinaan dari ibunya, maka pada usia 14 tahun Hasan sudah menghafal Al-Qura’an
sejak usia dini seperti sekarang ini, ia juga telah banyak mendengar riwayat (Hadis) dari
ibunya. Pergaulannya dengan para sahabat Nabi SAW membuat cakrawala pengetahuan
agamanya, terutama hadis, bertambah luas.
Hasan al-basri dikenal sebagai seorang yang alim yang sangat mendalam ilmunya
dalam kalam dan fiqih. Sebagaimana yang sudah disebutkan diatas, Amr ibn Ubaid dan
Washil ibn atha, keduanya tokoh kalam aliran Mu’tazilah, adalah muridnya. Hasan al-
basri juga dikenal sebagai ahli pidato yang sangat cemerlang. Dalam khutbah-khutbahnya
ia menyeru manusia agar berhati-hati terhadap tipu daya kehidupan dunia. Salah satu
nasehatnya, Jual lah duniamu dengan akhiratmu maka engkau akan mendapatkan
keduanya. Janganlah engkau jual duniamu dengan akhiratmu, maka engkau akan
kehilangan keduanya. Hati-hatilah terhadap tiu daya dunia. Dunia itu seperti ular, lembut
kulitnya, akan tetapi racunnya mematikan. Dia dihormati sebagai seorang alim dan wali

1
Wahid mu’thi, Tasawuf dalam islam (Jakarta : universitas islam Asy-Syafi’iyah Jakarta 2009) hlm.97.
2
Sa’id ismail al-qadi, usul al-tarbiyah al-islamiyyah, al-tabah al-ula, (al-qairah : alam al-kutub , 1422/2002) hlm.232.
pada masa permulaan islam. Hasan al-basri mendirikan majlis dzikir di bashrah di mana
berkumpul murid-murid dan pengikut-pengikutnya.3

Al-mawardi atau nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-
Mawardi al-basri (364-450 H/974-1058 M), Beliau dilahirkan di basrah irak 4dan dibesarkan
dalam keluarga yang mempunyai perhatian yang besar kepada ilmu pengetahuan. Al-mawardi
berasal dari kata ma(air) dan ward (mawar) karena ia adalah seorang anak dari penjual air
mawar. Panggilan al-mawardi diberikan kepadanya karena kecerdasan dan kepandaian dalam
berorganisasi, berdebat, berargumen dan memiliki ketajaman analisis terhadap setiap masalah
yang dihadapinya.5 Sedangkan julukan Al-Basri dinisbatkan pada tempat kelahirannya. Masa
kecil Al-Mawardi dihabiskan di Baghdad hingga tumbuh dewasa. Al-Mawardi hidup pada masa
pemerintahan dua khalifah al-Qadir Bilah (380-422 H) Dan al-Qaimu bilah (422H-467 H) 6Al-
Mawardi juga mempunyai nama kun-yah (julukan) yaitu : Abu al-Hasan, dengan laqb (gelar)
Qadi Al-Qudhat (semacam hakim agung sekarang). Yaqut al-Hamawi menyebutkan bahea gelar
Qadhi al-Qhudhat ini diterimanya pada ahun 429H.7

Pemberian gelar ini sempat menimbulkan protes dari para fuqaha pada masa itu. Mereka
berpendapat bahwa tidak ada seorangpun boleh menyandang gelar tersebut. Hal ini terjadi
setelah menetapkan fatwa bolehnya Jalal Ad Daulah ibn Addid Ad Daulah menyandang gelar
malik Al-Muluk sesuai permintaan. Menurut mereka bahwa yang boleh menyandang gelar
tersebut hanya Allah SWT. Al-mawardi sendiri wafat pada tanggal 30 bulan Rabiul Awal 450 H
Bersamaan 27 mei 1058 M. Ketika itu beliau beruamur 86 tahun. Bertindak sebagai imam pada
sholat jenazah beliau Al-Khatib Al-Baghdadi. Banyak para pembesar dan ulama yang
menghadiri pemakaman beliau. Jenazah Al-Mwardi dimakamkan diperkuburan Bab Harb kota
Mansur di Baghdad. Kewafatannya terpaut 11 hari darii kewafatan Qadi Abu Taib.8

Masa kehidupan al-mawardi ditandai dengan suasana kondisi disintegrasi politik dalam
pemerintahan Daulah Bani Abasyiyah. Pada masa itu Baghdad yang merupakan pusat
pemerintahan bani abbas tidak mampu membendung arus keinginan daerah-daerah yang
dikuasamya untuk melepaskan diri dari bani abbas dan membentuk daerah otonom. Ini akhirnya
memunculkan dinasti-dinasti kecil yang merdeka dan tidak mau tunduk pada kekuasaaan Bani
Abbas. 9 Al-Mawardi merupakan seorang pemikir islam yang terkenal pada masanya. Yaitu masa
dimana ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat islam mengalami puncak kejayaannya. Ia
juga dikenal sebagai tokoh terkemuka Madzhab Syafi’I dan pejabat tinggi yang besar

3
Dewan Editor, Ensiklopedi islam, (Jakarta : pt ichiar baru van HoEVE, CET. III, 1994) Hlm,180.
4
Imam al-mawardi, al-hawi al-kabir, (Beirut : Dar al-kitab al-ilmiyah,1994), Hlm 55.
5
Said ism ail al-qadi, usul altarbiiyah al-islamiyyah, al-tabah al-ula, (Al-qahirah : alam al-kutub 1422/2002) hlm 232.
6
Munawir sjadzali, islam dan tata Negara : ajarah, sejarah dan pemikiran (Jakarta : UI Press, 1990) hlm.58.
7
Al-mawardi, al-ahkam al-sulthaniyyah, alih bahasa Fadhli Bahri (Jakarta : Darul falah, 2006) hlm. 9.
8
Khayr al-din al-zarkali, al-alam juz 4, (Beirut : dar al-ilm li al-malayin, 1992) hlm 327.
9
As-subki, Tabaqat As-Syafiyyah, op.cit hlm 269.
pengaruhnya pada dinasti Abbasiyah. Selain sebagai pemikir islam yang ahli dibidang fiqih,
sastrawan, politikus dan tokoh terkemuka, ia juga dikenal sebagai penulis yang sangat
produktif.10

Al-mawardi juga dikenal sebagai duta diplomatis diantara penguasa Buwaih di satu sisi, dan
khalifah-khalifah abbasiyah di sisi lain, terlebih lagi dengan khalifah Al-Qadir Billah. Tujuan
diplomasinya adalah unttuk kembali mengharmonisakn hubungan politik antara penguasa-
penguasa pada zaman itu, yang dulunya hanya mencari solusi dengan pertumpahan darah. 11 Dan
banyak karya-karyanya dari berbagai bidang ilmu seperti ilmu bahasa, sastra, tafsir, dan politi.
Bahkan ia dikenal sebagai tokoh islam pertama yang menggagas teori politik bernegara dalam
bingakai islam dan orang pertama yang menulis tentang politik dan administrasi Negara lewat
buku karangannya dalam bidang politik yang sangat prestisius yang berjudul Al-Ahkam al-
sulthaniyah.

Ketajaman pemikiran Al-Mwardi dalam bidang politik sebagimana dijumpai dalam


karyanya yang berjudul Al-ahkam Al-Shulthoniyah secara antropologis dan sosiologis tidak
dapat dilepaskan dari situasi politik yang tengah mengalami krisis. Pada masa itu kekuasaan
Abbasiyah melemah, sebagai akibat terjadinya penuntutan pejabat tinggi dari etnis turki untuk
merebut puncak pemerintahan. Kehendak itu tentu saja menimbulkan reaksi keras dari kelompok
penguasa yang menghendaki kemapanan dan status.12

B. Moralitas Agama Hasan Al-Basri dan Al-Mawardi


1. Definisi Etika Religius
Sekalipun sulit untuk menggambarkan garis pemisah yang tajam antara etika teologis dan
etika religious, kami yakin bahwa pembedaan menjadi sangat penting untuk menilai
keduanya secara terpisah. Pertama, para teolog apakah Mu’tazilah maupun non
Mu’tazilah yang berhubungan dengan pernyataan-pernyataan etika seperti yang kita lihat
dalam spirit “dialektis” dan sangat mendukung tesis-tesis rasionalis tertentu terutama
yang berafiliasi pada filsafat Yunani, seperti mengenai hakekat dan dasar benar dan salah,
kewajiban agama (taklif) dan sejenisnya, atau justru untuk mempertanyakannya. Kedua,
adanya pernyataan-pernyataan yang lebih banyak mereka pusatkan dalam bidang
metodologis; mereka lebih antusias untuk menentukan status logis dari proposisi etis
daripada membangun teori moralitas yang substantive. Ketiga, tekanan pembahasan
teologis tentang etika cenderung bersifat polemic secara keseluruhan. Etika religious,
terutama yang berakar dalam al-Qur’an dan Sunnah, di satu sisi cendrung melepaskan
kepelikan “dialektika” atau “metodologi” dan memusatkan pada usaha untuk
mengeluarkan spirit moralitas Islam dengan cara yang lebih langsung.

10
Muhammad iqbal, Amin husein Nasution, pemikiran politik islam dari masa klasik hingga Indonesia kontemporer,
(Jakarta : kencana prendan Group, 2010) hlm 16.
11
Abudin nata, pemikiran para tokoh pendidikan islam :seri kajian filsafat pendidikan islam (Jakarta : PT.Raja
Grafindo perkasa, 2001) hlm. 43.
12
Ahmad Mubarak al-baghdadi, al-ahkam as –sulthaaniyyah (Kuwait : maktabah daar ibn qutaibah, 1989) hlm 4.
2. Etika Tradisionalisme: Al-Hasan Al-Basri (w. 728)
Dalam tradisi sufi, al-Hasan al-Basri dipandang mewakili sebagai suri tauladan asketisme
dan sufi tauladan bagi pendamaian antara kehendak manusia dan kehendak Tuhan. Dalam
Risalah al-Qusyayriyah al-Hasan menyatakan bahwa sebenih ketaqwaan yang murni
(wara’) adalah jauh lebih baik daripada seribu kali berpuasa dan shalat.
Dalam tanggapannya tentang qadar, al-Hasan memulai dengan menjelaskan bagaimana
konsensus kaum salaf tentang keadilan Tuhan yang hancur karena munculnya berbagai
bid’ah dan kontroversi. Al-Qur’an sendiri dengan jelas menyatakan hubungan antara
karunia Tuhan (ni’mah) dan usaha manusia; pemberi karunia itu adalah Tuhan dan
manusia yang mengingkarinya dianggap kufur dan berdosa.
Tema tentang hidayah dan kesesatan, yang merupakan pusat kontroversi teologis yang
melibatkan para teolog Mu’tazilah dan Asy’ariyah sejak awal, menggambarkan argumen
anti-predistinarian pada diri al-Hasan al-Basri. Ayat-ayat al-Qur’an, seperti 6:125
berbicara tentang Tuhan memberikan petunjuk bagi manusia untuk memeluk Islam dan
tidak memeluknya sesuai dengan kehendak-Nya akan benar-benar dapat dipahami.
b. Kecendrungan-kecendrungan Ukhrowi dan Duniawi: Abu Al-Hasan Al-Mawardi
1. Keistimewaan Akal
Untuk menggambarkan pentingnya akal, Al-Mawardi membagi kewajiban ke dalam: (a)
apa yang diperintahkan akal sebagai suatu keharusan dan dikonfirmasikan oleh wahyu
(al-syar’), dan (b) apa yang dipandang akal sebagai hal yang murni diperbolehkan (ja’iz),
namun wahyu memerintahkannya sebagai suatu keharusan.
Jika sekarang kita bertanya dimanakah letak kesempurnaan akal dengan seluruh fungsi
teoritis dan praktisnya benar-benar ada, maka al-Mawardi memberikan jawaban: bahwa
kesempurnaan akal dan kedua fungsinya itu berada dalam persekutuan antara intelegensi
murni dengan ketajaman intuisi yang diperkuat dengan manfaat yang luas.
Pada hakekatnya akal murni senantiasa cendrung kepad ketaqwaan dan ketakutan kepada
Tuhan dan karena itu tidak mungkin menjadi instrumen kejahatan.
2. Aturan-aturan Perilaku Agama (Adad Al-Din)
Al-Mawardi berusaha membahas aturan-aturan perilaku agama (adab al-din), perilaku
duniawi (adab al-dunya) dan akhirnya perilaku individu (adab al-nafs). Namun demikian
garis pemisah antara ketiga bentuk perilaku ini tidak selalu digambarkan secara tajam
oleh al-Mawardi. uham menyatakan kehendak-Nya kepada manusia dan menetapkan
kewajiban-kewajiban agama tanpa menginginkan imbalan atau keharusan yang
memaksa-Nya untuk melakukan hal tersebut.
Pemenuhan kewajiban-kewajiban ini di samping sangat esensial bagi sebuah ketaatan
juga berperan sebagai sarana kebahagiaan abadi dalam kehidupan hari akhir. Manusia
harus memaksa dirinya untuk melepaskan diri dari dunia (al-dunya) dengan tiga cara:
Pertama, dengan mengembalikan pikiran dari cinta dunia kepada kerinduan terhadap hari
akhir. Kedua, dengan memahami bahwa pemuasan keinginan dan perolehan kehendaknya
tidak pernah tercapai kecuali dengan kedamaian pikiran. Ketiga, dengan mengarahkan
pikiran pada kematian sehingga tidak akan diperdaya oleh harapan-harapan dan angan-
angan yang memabukkan.
3. Aturan-aturan Perilaku Dunia (Adab Al-Dunya)
Untuk memperoleh kebaikan dunia (shalah al-dunya) diperlukan enam syarat yang harus
dipenuhi: (a) agama yang tegak, yang dengannya nafsu manusia dapat dikontrol dan
kedamaian serta keteraturan dapat diamankan dan dilestarikan, (b) penguasa yang kuat
yang mengabdi demi menegakkan prinsip-prinsip kedamaian dan keadilan, (c) penegak
keadilan universal yang menjamin kecintaan dan ketaatan mutual kepada otoritas serta
kemakmuran negeri dan keamanan penguasa, (d) penegak hukum dan undang-undang
yang menjaga keamanan, karena ketiadaannya menyebabkan eksistensi sosial benar-
benar menjadi tidak mungkin, (e) pertumbuhan atauu kesejahteraan ekonomi masyarakat
umum yang termanifestasi dalam keberlimpahan sumber penghasilan dan pendapatan dan
(f) harapan besar atau optimisme yang merupakan prasyarat bagi aktifitas atau usaha
produktif dan pencapaian kumulatif peradaban dan kemajuan yang berkesinambungan.
4. Aturan-aturan Perilaku Individu (Adab Al-Nafs)
Konsep kunci moral bagi al-Mawardi adalah kemulaian akhlaq (muru’ah) yang
merupakan konsep dasar dalam moralitas Arab yang muncul sebelum periode Islam.
Muru’ah didefinisikan al-Mawardi sebagai “pemahaman terhadap suasana (perbuatan)
sehingga jiwa berada dalam kondisi terbaik yang memungkinkan untuk tidak
memanifestasikan rasa dendam secara sengaja dan tidak pula menjadi objek yang pantas
dihina.
Dua kebaikan atau disposisi akhaq yang memudahkan perolehannya adalah: keluhuran
budi (‘uluw al-himmah) dan kehormatan diri (syaraf al-nafs). Kebaikan yang berasal dari
kemuliaan akhlaq dibagi ke dalam dua kategori: (a) yang berhubungan dengan diri
sendiri, dan (b) yang berkaitan dengan pihak lain. Sikap menahan nafsu (nazahah) dibagi
menjadi dua, yaitu menahan diri dari permintaan yang rendah dan menjauhkan diri dari
saat-saat yang mencurigakan. Yang paling berharga dari apa yang dikehendaki al-
Mawardi adalah usaha melakukan pengujian diri secara konstan.

C. Ide asketik studi pemikiran Hasan Al-Basri dan Al-Mawardi


Asketisme dalam Perspektif Islam memiliki dua muatan nilai yakni qanu‘, iqna
(merasa cukup dengan apa yang dimilikinya) dan tawassuth (keseimbangan kebutuhan).
Istilah pertama dipahami sebagai keseimbangan dalam usahanya yang maksimal untuk
memperbaiki masa depanserta memuaskan diri dalam semua kebutuhan dasar manusia
dalam batas kelayakanstandar hidup minimum. Sedangkan istilah kedua dimaknai
sebagai upaya menahan diri dari segala kebutuhan moderat yang banyak ditawari dalam
kehidupan modern yangsifatnya euphoria yang ekstrem pengaruh dunia material. 13 Iqna‘
dan tawassuth tidak memotifasi diri ke arah pencarian kelebihan hanya saja merasa
tentram dan nyaman dalam kepemilikan yang sudah ada di hadapannya. Sesungguhpun
13
James T.Robinson, Asceticism, Eschatology, oppotion to philosophy The Arabic translation and commentary of
salmon ben yarohan on qohelet (ecclesiates) (leiden : koninklijke brill Nv,2012) hlm 120.
manusia dalam dirinya merasa tidak terpuaskan dengan apa yang dimilikinya
menyebabkan Iqna‘ dan tawassuth hanyasinggah sebentar lalu berpindah karena terbakar
semangat dengan indahnya hidup dengan penguasaan materi lebih banyak.
Istilah yang tepat mengenai asketisme dalam Islam yaitu dikenal denga kata ‘zuhud’.
Sedangkan istilah yang lama dikenal dengan pemutusan dengan hal-hal duniawi
(tabattul).Sedangkan istilah klasik mengenai asketik lebih identik dengan sebutan
kesalehan (shalihât).Sayyed Hossein Nasr mengidentikkan kata asketisme sama dengan
zuhud. Asketisme lebih dikenal dalam mayoritas Muslim menyebutnya dengan istilah
zuhud sedangkan praktek asketisme ada pula yang menyamakan dengan kerelaan
(riyâdhah).37 Kata-kata tersebut di atas merupakan elemen-elemen yang dapat
disandarkan pada sikap asketisme adalam Islam. Namun dalam perjalanan sejarah Islam
kata zuhud lebih masyhur disebutkan terutama dalam diskursus kehidupan tokoh-tokoh
sufi. Para sufi selalu meraih hidupnya dalam memaksimalkan pencapaian zuhud sebagai
sebuah idealisasi kehidupan dalam menempatkan kepentingan manusia di hadapan
Tuhan.14

Asketisme dalam Islam secara implisit dapat diyakinkan sebagai tindakan


filterisasi terhadap keserakahan materialisme. Manusia tidak mampu menempatkan
dalam posisi ideal antara mencintai harta dengan kebutuhan memenuhi harta secukupnya.
Pencarian dan penguasaan harta secara fantastis tidak membawa hikmah dalam
kehidupan mengingat harta yang dimilikinya disinyalir merupakan bahagian dari hak
fakir miskin. Maka dari itu penguasaan harta berlebihan diiringi dengan kewajiban
menunaikan perintah zakat dan infaq selanjutnya melakukan revolusi nafkah terhadap
kaum dhuafa diharapkan dapat menumbuhkan keseimbangan psikologi untuk
meredamkan sikap keserakahan. Hal ini dianjurkan al-Qur’an untuk introspeksi diri
terhadap kelebihan harta bahkan percampuran harta antara harta yang didapat dengan
jalan benar maupun keliru seperti yang terungkap dalam al-Qur’an sebagai berikut: yang
artinya: "Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal
dan yang batil). Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.
(Q.S: al-Fajr/89: 19 dan 20)
Dalam interpretasi pada ayat di atas menjelaskan bahwa asketisme dalam Islam
memprioritaskan dalam koridor mencermati semua kepemilikannya dipastikan halal.
Sedangkan batas minimum dan maksimum standar kehidupan Muslim tidak ditentukan
dalam al-Qur’an secara konkrit berarti secara analogi ummat Muslim dibenarkan
menguasaiharta yang banyak akan tetapi tidak dalam keadaan mencintai harta tersebut
secara ber-lebihan. Hal ini dimaksudkan bahwa pada harta yang banyak terdapat
kepedulian padazakat, infâq, shadaqah, hibah, waqâf, qurbân merupakan termasuk
bahagian ibadah sosial.15

14
G.B Gupts (ed) religious asceticism india : Global Vision Publishing House, 2003), hlm. 107.
15
Seyyed Hossein Nasr, Sufi Essays (new york : George Allen dan Unwin, 1972) hlm 79.
Sementara itu waqâf, hibah dan shadaqah dapat diimplementasikan secara tak
terbatas nilai harganya bahkan tidak terikat. Sementara zakat, infâq dan qurbân memiliki
nilai harga standar serta terikat dengan posisi kelebihan seseorang. Karena itu
penumpukkan harta tidaklah relevan dalam kehidupsan Musim mengingat penumpukkan
itu sendiri tidak mendatangkan banyak hikmah dan kemaslahatan. Di sini diperlukan jiwa
besar untukmenumbuhkan spirit kontribusi terhadap kesalehan sosial dengan
mengalihkan hub al-mâl (cinta harta) menuju kepada hub al-nâs (mencintai manusia). Hal
ini meng-indikasikanibadah sosial sebanding dengan ibadah lainnya hanya saja ibadah
sosial lebih identik dengan kontributif dan partisipatif.
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa asketisme dalam Islamselalu dipertahankan sejalan
dengan syari‘at hingga anjuran yang mesti dilakukan adalah meninggalkan setiap sesuatu
yang tidak bermanfaat untuk Hari Akhiratmu. Kemudian tetap konsisten dengan
keyakinan yang tinggi dalam hati ditanamkan kerelaan penerimaan terhadap apa yang ada
di sisinya yang diperoleh secara apa adanya.38 Akhirnya asketisme ditujukan sebagai
upaya motivasimenghindari dari segala penguasaan materi dalam batas yang dilarang
karena takut pada efek hukuman dunuiawi serta menghargai diri dengan sebesar-besarnya
mengenai penguasaanyang boleh dimiliki manusia agar tumbuh sikap kehati-hatian
dalam setiap pertimbangannya karena tersugesti dalam takut adanya pembalasan (azâb).
16

BAB III
KESIMPULAN

Hasan Al-Basri lahir di madinah pada tahun 21 H/642 M. Ayahnya bernama Yasar,
seorang hamba sahaya dari Zaid ibn Tsabit yang dimerdekakan dan diangkat menjadi
sekretarisnya. Sedangkan ibunya bernama Khairah Maulat Ummu Salamah. Abu Sa’id al-Hasan
ibn Abi al-Hasan Yasar al-Basri, dikenal dengan sebutan Al-Hasan Al-Basri, lahir dua tahun
sebelum berakhirnya masa kekhalifahan Umar ibn Al-Khattab.

Al-mawardi atau nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib
Al-Mawardi al-basri (364-450 H/974-1058 M), Beliau dilahirkan di basrah irak dan dibesarkan
dalam keluarga yang mempunyai perhatian yang besar kepada ilmu pengetahuan. Al-mawardi
berasal dari kaa ma(air) dan ward (mawar) karena ia adalah seorang anak dari penjual air mawar.
Panggilan al-mawardi diberikan kepadanya karena kecerdasan dan kepandaian dalam
berorganisasi, berdebat, berargumen dan memiliki ketajaman analisis terhadap setiap masalah
yang dihadapinya. Sedangkan julukan Al-Basri dinisbatkan pada tempat kelahirannya. Masa
kecil Al-Mawardi dihabiskan di Baghdad hingga tumbuh dewasa. Al-Mawardi hidup pada masa
pemerintahan dua khalifah al-Qadir Bilah (380-422 H) Dan al-Qaimu bilah (422H-467 H) Al-
Mawardi juga mempunyai nama kun-yah (julukan) yaitu : Abu al-Hasan, dengan laqb (gelar)
16
Muhammad Ali Sabzari, Tuhfah Yi Abbas : The golden chain of Sufism in shi’ite islam, terj. Moh H. Faghfoory
(amerika : university press of America, 2008) h.122.
Qadi Al-Qudhat (semacam hakim agung sekarang). Yaqut al-Hamawi menyebutkan bahea gelar
Qadhi al-Qhudhat ini diterimanya pada ahun 429H.

Dalam tradisi sufi, al-Hasan al-Basri dipandang mewakili sebagai suri tauladan asketisme dan
sufi tauladan bagi pendamaian antara kehendak manusia dan kehendak Tuhan. Dalam Risalah al-
Qusyayriyah al-Hasan menyatakan bahwa sebenih ketaqwaan yang murni (wara’) adalah jauh
lebih baik daripada seribu kali berpuasa dan shalat. Dalam tanggapannya tentang qadar, al-Hasan
memulai dengan menjelaskan bagaimana konsensus kaum salaf tentang keadilan Tuhan yang
hancur karena munculnya berbagai bid’ah dan kontroversi. Al-Qur’an sendiri dengan jelas
menyatakan hubungan antara karunia Tuhan (ni’mah) dan usaha manusia; pemberi karunia itu
adalah Tuhan dan manusia yang mengingkarinya dianggap kufur dan berdosa.

Konsep kunci moral bagi al-Mawardi adalah kemulaian akhlaq (muru’ah) yang merupakan
konsep dasar dalam moralitas Arab yang muncul sebelum periode Islam. Muru’ah didefinisikan
al-Mawardi sebagai “pemahaman terhadap suasana (perbuatan) sehingga jiwa berada dalam
kondisi terbaik yang memungkinkan untuk tidak memanifestasikan rasa dendam secara sengaja
dan tidak pula menjadi objek yang pantas dihina.

Asketisme dalam Islam secara implisit dapat diyakinkan sebagai tindakan filterisasi terhadap
keserakahan materialisme. Manusia tidak mampu menempatkan dalam posisi ideal antara
mencintai harta dengan kebutuhan memenuhi harta secukupnya. Pencarian dan penguasaan harta
secara fantastis tidak membawa hikmah dalam kehidupan mengingat harta yang dimilikinya
disinyalir merupakan bahagian dari hak fakir miskin. Maka dari itu penguasaan harta berlebihan
diiringi dengan kewajiban menunaikan perintah zakat dan infaq selanjutnya melakukan revolusi
nafkah terhadap kaum dhuafa diharapkan dapat menumbuhkan keseimbangan psikologi untuk
meredamkan sikap keserakahan.

DAFTAR PUSTAKA

 Wahid mu’thi, Tasawuf dalam islam (Jakarta : universitas islam Asy-Syafi’iyah Jakarta 2009)
 Sa’id ismail al-qadi, usul al-tarbiyah al-islamiyyah, al-tabah al-ula, (al-qairah : alam al-kutub ,
1422/2002)

 Dewan Editor, Ensiklopedi islam, (Jakarta : pt ichiar baru van HoEVE, CET. III, 1994)
 Imam al-mawardi, al-hawi al-kabir, (Beirut : Dar al-kitab al-ilmiyah,1994), Hlm 55.
 Said ism ail al-qadi, usul altarbiiyah al-islamiyyah, al-tabah al-ula, (Al-qahirah : alam al-kutub
1422/2002) hlm 232.
 Munawir sjadzali, islam dan tata Negara : ajarah, sejarah dan pemikiran (Jakarta : UI Press, 1990)
hlm.58.
 Al-mawardi, al-ahkam al-sulthaniyyah, alih bahasa Fadhli Bahri (Jakarta : Darul falah, 2006) hlm. 9.
 Khayr al-din al-zarkali, al-alam juz 4, (Beirut : dar al-ilm li al-malayin, 1992) hlm 327.
 As-subki, Tabaqat As-Syafiyyah, op.cit hlm 269.

 Muhammad iqbal, Amin husein Nasution, pemikiran politik islam dari masa klasik hingga Indonesia
kontemporer, (Jakarta : kencana prendan Group, 2010) hlm 16.
 Abudin nata, pemikiran para tokoh pendidikan islam :seri kajian filsafat pendidikan islam (Jakarta :
PT.Raja Grafindo perkasa, 2001) hlm. 43.
 Ahmad Mubarak al-baghdadi, al-ahkam as –sulthaaniyyah (Kuwait : maktabah daar ibn qutaibah, 1989)
hlm 4.

 James T.Robinson, Asceticism, Eschatology, oppotion to philosophy The Arabic translation and
commentary of salmon ben yarohan on qohelet (ecclesiates) (leiden : koninklijke brill Nv,2012) hlm 120.
 G.B Gupts (ed) religious asceticism india : Global Vision Publishing House, 2003), hlm. 107.

 Seyyed Hossein Nasr, Sufi Essays (new york : George Allen dan Unwin, 1972) hlm 79.
 Muhammad Ali Sabzari, Tuhfah Yi Abbas : The golden chain of Sufism in shi’ite islam, terj. Moh H.
Faghfoory (amerika : university press of America, 2008) h.122.

Anda mungkin juga menyukai