Anda di halaman 1dari 13

TUGAS BIOGRAFI

1. Harun Ar-Rasyid
2. Abu Abbas Al - Makmun
3. Abu Muhammad Al - Hadi

DISUSUN OLEH :
EZZAR TIRTA LAKSONO
KELAS VIII D

MTSN 5 KOTA JAMBI


KHALIFAH HARUN AR-RASYID, PEMIMPIN BIJAKSANA DAN PELETAK
DASAR PEMERINTAHAN MODERN

Khalifah Harun ar-Rasyid (145-193 H/763-809 M) dilahirkan di Rayy pada bulan


Februari 763 M/145 H. Ayahnya bernama Al-Mahdi dan ibunya bernama Khaizurran. Ia
dibesarkan di lingkungan istana, mendapat bimbingan ilmu-ilmu agama, dan ilmu
pemerintahan di bawah bimbingan seorang guru yang terkenal, yaitu Yahya bin Khalid Al-
Barmaki, seorang ulama besar di zamannya. Ketika Ar-Rasyid menjadi khalifah, Yahya
menjadi perdana menterinya sehingga banyak nasihat dan anjuran kebaikan mengalir darinya.
Tanggung jawab yang berat sudah dipikul Harun ar-Rasyid sejak sang Ayah, Khalifah
Al-Mahdi melantiknya sebagai gubernur di Saifah tahun 163 H. Semenjak tahun 164 H, ia
diberikan wewenang untuk mengurus seluruh wilayah Anbar dan negeri-negeri di wilayah
Afrika Utara.
Harun ar-Rasyid telah menunjukkan kecakapannya dalam memimpin. Atas dasar itu,
Al- Mahdi melantiknya kembali menjadi gubernur untuk kedua kalinya di Saifah pada tahun
165 H.
Harun ar-Rasyid diangkat menjadi khalifah pada September 786 M. Usianya sangat
muda ketika itu, yakni 23 tahun. Jabatan khalifah itu dipegangnya setelah saudaranya yang
menjabat khalifah, Musa al-Hadi wafat.
Kepribadian Harun ar-Rasyid sangat mulia. Sikapnya tegas, mampu mengendalikan
diri, tidak emosional, berperasaan sangat halus, dan toleran. Akhlak mulianya dikemukakan
oleh Abul ‘Aṭahiyah, seorang penyair kenamaan saat itu. Selain itu, ia dikenal sebagai
seorang khalifah yang suka humor.
Dia juga terkenal sebagai pemimpin yang pemurah dan dermawan. Banyak sejarawan
menyamakannya dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis dari Dinasti Umayyah. Ia sering
turun ke jalan-jalan di kota Baghdad pada malam hari melihat kehidupan sosial yang
sebenarnya. Di masanya, tidak seorang pun yang kelaparan dan teraniaya, tanpa diketahui
oleh Harun ar-Rasyid.
Khalifah Harun ar-Rasyid mempunyai perhatian dan minat yang besar terhadap ilmu
pengetahuan dan kebudayaan. Para ilmuwan dan budayawan dilibatkan dalam setiap
pengambilan kebijakan. Khalifah juga melakukan penterjemahan besar-besaran terhadap
buku-buku ilmu pengetahuan berbahasa asing ke dalam bahasa Arab. Bahasa Arab menjadi
bahasa resmi dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, bahkan menjadi alat
komunikasi umum.
Semua pengetahuan yang termuat dalam bahasa asing segera diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab agar dapat dikaji dan dipahami masyarakat luas. Dewan penerjemah pun
dibentuk, yang diketuai oleh seorang pakar bernama Yuhana bin Musawih.
Kota Baghdad menjadi mercusuar, kota impian 1.001 malam yang tidak ada
tandingannya di dunia pada Abad Pertengahan. Selain itu, pada masa kekhalifahannya
wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah membentang dari Afrika Utara sampai ke Hindukuṣ,
India. Kekuatan militer yang dimilikinya juga sangat luar biasa.
Pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid, hidup seorang cerdik pandai yang sering
memberikan nasihat kebaikan kepadanya, yaitu Abu Nawas. Nasihat-nasihat kebaikan Abu
Nawas disertai dengan gayanya yang lucu. Hal tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari
kehidupan Khalifah Harun ar-Rasyid.
Kebijakan dan kecakapannya dalam memimpin mampu membawa negara dalam
situasi aman, damai, dan tenteram. Tingkat kejahatan sangat tinggi sehingga sulit mencari
orang yang akan diberikan zakat, infak, dan sedekah. Dapat dikatakan bahwa tingkat
kemakmuran penduduknya merata. Pada masa pemerintahannya, Dinasti Abbasiyah
mengalami masa kejayaan dan keemasan, sekaligus menjadi salah satu pusat peradaban
dunia.
Khalifah Harun ar-Rasyid meninggal dunia di Khurasan pada tanggal 3 atau 4
Jumadiṡṡānī 193 H/809 M, setelah menjadi khalifah selama 23 tahun 6 bulan. Saat meninggal
dunia, usianya 45 tahun. Shalat jenazah Khalifah Harun ar-Rasyid dipimpin oleh anaknya
sendiri bernama Ṣalih.
Dinasti Abbasiyah dan dunia Islam saat itu benar-benar kehilangan sosok pemimpin
yang saleh, adil, dan bijaksana. Di masa itu, tidak seorang pun yang teraniaya tanpa diketahui
oleh Harun ar-Rasyid untuk mendapatkan perlindungan hukum yang adil.
BIOGRAFI AL-MAKMUN

Jejak Pendidikan- Al-Makmun ar-


Rasyid dilahirkan pada tanggal 15 Rabi'ul
Awal 170 H atau 14 Sepetember 786 M dan
meninggal dunia pada tanggal 18 Rajab 218
H atau bertepatan dengan 9 Agustus 833 M.
Beliau bergelar dengan Abu al-Abbas
dengan nama asli al-Ma’mun Abdullah bin
ar-Rasyid bin al-Mahdi. Orang Barat
memanggilnya dengan sebutan Almamon.
al-Ma’mun di lahirkan enam bulan lebih
dulu dari saudara sebapaknya al-Amin.
al-Ma’mun lahir pada malam jum’at bertepatan dengan kemangkatan pamannya khalifah al-
Hadi dan naik tahta ayahnya Harun Al-Rasyid.

Al-Ma’mun adalah salah seorang Khalifah Bani Abbas, beliau anak kedua Khalifah
Harun al-Rasyid dari seorang ibu asal Persia. Ibunya bekas hamba sahaya bernama Marajil,
namun ibunya meninggal saat masih dalam keadaan nifas setelah melahirkan al-Ma’mun.
Al-Amin yang juga sepupunya berkedudukan lebih baik dari al-Ma’mun, disebabkan
oleh ibunya yang bernama Zubaidah yang berasal dari anggota keluarga Abbasiyah, karena
itu al-Amin terlebih dahulu dilantik sebagai putra mahkota yang pertama.
Sesudah diangkatnya al-Amin menjadi putra mahkota, selanjutnya Khalifah Harun ar-
Rasyid melantik al-Ma’mun sebagai putra mahkota yang kedua, serta menyerahkan untuknya
wilayah Khurasan sampai ke Hamdan karena ayahnya tidak memberi dearah kekuasaan
terebut kepada al-Amin. Kemudaian al-Ma’mun tinggal didaerah tersebut dan menetap di
Marw.
Sementara itu al-Ma’mun, di samping usianya yang lebih tua, al-Ma’mun lebih
cerdas dan lebih pintar mengurus segala perkara. Sebelum usia 5 tahun ia dididik agama dan
membaca al-Qur’an oleh dua orang ahli yang terkenal bernama Kasai Nahvi dan Yazidi.
Sejak kecil al-Ma’mun telah belajar banyak ilmu. Dia menimba ilmu hadits dari ayahnya,
dari Hasyim, dari Ibad bin Al-Awam, dari Yusuf bin ‘Athiyyah, dari Abu Mu’awiyah adh-
Dharir, dari Ismail bin ‘Aliyah, Hajjaj al-A’war dan Ulama-ulama lain di zamannya.
Untuk untuk mendalami belajar Hadits, Harun Al-Rasyid menyerahkan al-Ma’mun
kepada Imam Malik di Madinah. Kemudian beliau belajar kitab al-Muwattha, karangan Imam
Malik yang sangat singkat, al-Ma’mun telah menguasai Ilmu-ilmu kesastraan, tata Negara,
hukum, hadits, falsafah, astronomi, dan berbagai ilmu pengetahuaan lainnya. al-Ma’mun
menghafal al-Qur’an begitu juga menafsirkannya.
Tidak seorang pun dari khalifah Bani Abbasiyyah yang lebih pintar darinya. Dia
adalah seorang pembicara yang fasih dan singa podium yang lantang. Tentang kefasihannya
dia berkata, “Juru bicara mu’awiyah adalah ‘Amr bin Ash, juru bicara Abdul Malik adalah
Hajjaj, dan juru bicara saya adalah diri saya sendiri.” Disebutkan bahwa di dalam Bani Abbas
itu ada Fatihah (pembuka), wastilah (penengah), dan Khatimah (penutup). Adapun
pembukanya adalah as-Saffah, penengahnya adalah al-Ma’mun dan penutupnya adalah al-
Mu’tadhid.
Setelah ayahnya mereka meninggal, jabatan kekhalifahan sebagaimana wasiat dari
Harun al-Rasyid diserahkan kepada saudara al-Ma’mun yaitu al-Amin. Dan al-Ma’mun
mendapatkan jabatan sebagai gubernur di daerah Khurasan dan menggantikan al-Amin untuk
menjadi khalifah setelah al-Amin meninggal.
Akan tetapi wasiat dari ayahnya tersebut dilanggar oleh al-Amin dengan
membatalkam al-Ma’mun menjadi khalifah dan mengangkat puteranya Musa bin Muhammad
sebagai penggantinya nanti. Akhirnya, setelah peristiwa tersebut terjadilah perselisihan antara
dua orang bersaudara tersebut. Dan terjadilah peperangan antara kelompok al-Amin dengan
kelompok al-Ma’mun pada tahun 198 H/813 M.
Khalifah al-Amin mempersiapkan pasukan besar dan mengirimnya ke Khurasan di
bawah pimpinan Ali bin Isa, yang merupakan seorang komandan yang dibenci oleh orang-
orang Khurasan, padahal tentara yang paling banyak itu berasal dari Khurasan dengan jumlah
kira-kira 50.000 orang tentara. Sedangkan dipihak al-Ma’mun, beliau mempersiapkan
pasukan yang terdiri dari prajurit-pajurit yang pemberani dan perkasa. Dan menempatkannya
dibawah pimpinan panglima perang Thahir ibn al-Hasan dengan pasukan yang hanya
berjumlah 4.000 orang tentara.
Kedua pasukan pun bertemu, Ali bin Isa sombong dan bangga dengan jumlah
pasukannya. Akan tetapi pertempuran berakhir dengan kekalahan dipihak al-Amin dibawah
pimpinan Ali bin Isa, karena para tentara al-Amin tersebut tidak suka berperang bersama Ali
bin Isa dan mereka tidak semangat bertempur.
Ketika itu, al-Ma’mun mengumpulan tentara yang besar dan berangkat untuk menuju
ke Baghdad dan melakukan pengepungan terhadap ibu kota tersebut yang berlansung selama
hampir 1 tahun. Dan akhirnya Khalifah al-Amin berhasil terbunuh pada tahun 198 H/813 M.
dan diangkatlah Al-Makmun menjadi khalifah. Beliau menjabat khalifah yang ketujuh Daulat
Bani Abasiyah dan menjabat selama 20 tahun (198 H/813M – 218 H/833 M).
Al-Ma’mun merupakan khalifah penyokong Ilmu pengetahuan dan menempatkan para
intelektual dalam posisi yang mulia dan sangat terhormat. Di era kepemimpinannya,
Kekhalifahan Abbasiyah menjelma sebagai adikuasa dunia yang sangat disegani. Wilayah
kekuasaan dunia Islam terbentang luas mulai dari Pantai Atlantik di barat hingga Tembok
Besar Cina di timur.
Dalam dua dasawarsa kekuasaannya, sang khalifah juga berhasil menjadikan dunia
Islam sebagai penguasa ilmu pengetahuan dan peradaban di jagad raya. al-Ma’mun
merupakan Khalifah Abbasiyah ketujuh yang mengantarkan dunia Islam pada puncak
pencapaian. Beliau juga dikenal sebagai figur pemimpin yang dianugerahi intelektualitas
yang cemerlang. Beliau menguasai beragam ilmu pengetahuan. Kemampuan dan
kesuksesannya mengelola pemerintahan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah peradaban
Islam.
Pengorbanan beliau dalam memajukan Islam sangatlah besar sehingga al-Ma’mun
mampu mewujudkan:
1. Mewujudkan keamanan, kedamaian serta kesejahteraan rakyat.
2. Membangun kota Baghdad dengan bangunan-bangunan megah.
3. Membangun tempat-tempat peribadatan.
4. Membangun sarana pendidikan, kesehatan, dan perdagangan.
5. Mendirikan Baitul Hikmah, sebagai lembaga penerjemah yang berfungsi sebagai
perguruan tinggi, perpustakaan, dan penelitian.
6. Membangun majelis al-Muzakarah, yakni lembaga pengkajian masalah-masalah
keagamaan yang diselenggarakan di rumah-rumah, mesjid-mesjid, dan istana.

Pada masa kepemimpinannya, al-Ma’mun sering mengumpulkan para fukaha dari


berbagai penjuru negeri. Beliau memiliki pengetahuan yang sangat luas dalam masalah fiqih,
ilmu bahasa arab, dan sejarah umat manusia. Saat beliau menjelang dewasa, al-Ma’mun
banyak bergelut dengan ilmu filsafat dan ilmu-ilmu yang pernah berkembang di yunani
sehingga membuatnya menjadi seorang pakar dalam bidang ilmu ini. Ilmu filsafat yang
dipelajari telah menyeretnya kepada pendapat yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah
makhluk.
Dia adalah tokoh Bani Abbasiyyah yang paling istimewa dalam kemauannya yang
kuat, kesabaran, keluasan ilmu, kecemerlangan ide, kecerdikan, kewibawaan, keberanian dan
ketolerannya. al-Ma’mun memiliki kisah hidup panjang yang penuh dengan kebaikan-
kebaikan. Sayangnya jejak kehidupannya yang demikian baik sedikit tercemari dengan
peristiwa yang menggemparkan saat dia mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk.
Al-Ma’mun juga meminta pendapat kepada enam orang yang dikenal memiliki
wawasan pendidikan yang luas untuk mengadapnya serta menjelaskan tentang posisi al-
Qur’an menurut mereka, apakah termasuk dalam makhluk atau bukan. Pada awalnya mereka
tidak memberi pendapat mereka tentang hal ini, Namun mereka kemudian memberi jawaban
taqiyah (pura-pura), semua mereka mejawab karena keterpaksaan.
Bahkan al-Ma’mun juga mengumpulkan para ahli fikih dan ahli hadits untuk dimintai
keterangan mereka tentang al-Qur’an itu adalah makhluk. Namun tidak sedikit ulama yang
tidak memenuhi undangan al-Ma’mun, mereka yang hadir karena khawatir akan kilatan
pedang yang akan menimpa mereka. Kemudian al-Ma’mun menyuruh kepada Ishaq bin
Ibrahim untuk mengumpulkan kembali para ulama tyang tidak hadir pada kali pertama,
mereka pun meghadiri pada panggilan selanjutnya.
Di antara para ulama yang hadir di waktu itu adalah Imam Ahmad bin Hanbal, al-
Kindi, Abu Hasan Azziyadi, Ali bin Abu Muqatil, Muhammad bin Nuh, Muhammad bin
Hatim, Ubaidillah bin Amr al-Qawariri Qutaibah bin Sa’id al-A’jili serta yang lainnya.
Kemudian mereka diperlihatkan surat yang ditulis Amuril Mukminin namun merek semua
diam saja, tidak membenarkan dan tidak pula mengingkarinya. Ishaq berkata kepeda mereka,
“kini Amirul telah menulis surat yang baru lalu apa pendapat kalian?”.
Al-Basyr berkata, “saya katakan bahwa al-Qur’an itu adalah firman Allah”.
Lalu ditanyakan lagi kepada Imam Ahmad bin Hanbal, “apa pendapatmu sendiri wahai
Ahmad bin Hanbal?
Lalu Ahmad bin Hanbal menjawab “Al-Qur’an itu adalah Kalam Allah dan saya tidak akan
menambah kata apapun lagi lebih dari itu”.

Setelah mengetahui jawaban mereka seperti itu kemudian al-Ma’mun menyuruh


kepada Ishaq untuk melarang mereka mengeluarkan fatwa dan larangan meriwayatkan hadits,
semua itu karena mereka tidak mau mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk.
Disamping perkataannya bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama dari pada Abu Bakar
dan Umar. Akibatnya kaum muslimin merasa kesal dengan perkataan itu, hampir saja ucapan
yang sangat kontroversial itu menimbulkan bencana besar dikalangan kaum muslimin.
Mendengar hal yang demikian yang diucapkan oleh al-Ma’mun maka banyak rakyat
berkomentar atas kontroversialnya ucapan al-Ma’mun dengan realita yang ada dan yang
mereka imani yang menciptakan kurang baiknya kisah kepemimpinan al-Ma’mun.
Paham ini melekat dan menjadi prinsip pemerintah. Orang yang tidak setuju dengan
pendapat ini akan dihukum. Inilah yang menimpa beberapa ulama yang istiqamah seperti
Imam Ahmad bin Hanbal, Sajjadat, Al-Qawariri, dan Muhammad Nuh.
Disaat al-Ma’mun mendapat kabar tentang mereka yang memberi jawaban palsu
bahwa al-Quran itu adalah makhluk maka dia marah besar dan memerintahkan agar mereka
dibawa kehadapannya, kemudian mereka ditangkap dan untuk dibawa kehadapan al-Ma’mun.
Namun sebelum sampai, kabar tersebar bahwa al-Ma’mun telah meninggal. Al-
Ma’mun jatuh sakit saat berada di wilayah romawi, sebelum beliau meninggal, al-Ma’mun
menulis surat untuk disebarkan yang isinya “Dari Abdullah al-Ma’mun dan saudaranya Abu
Ishaq, khalifah yang akan menggantikannya”. Al-Ma’mun meninggal pada 18 Rajab 218 H di
badidun sebuah tempat di Romawi, kemudian dia dibawa ke Tharsur dan dimakamkan di
sana.
DINASTI BANI ABBASIYAH : KHALIFAH MUSA AL-HADI
(169-170 H/785-786 M)

Musa Al-Hadi, dengan nama asli Musa bin Muhammad (Al-Mahdi) bin Abdullah (Al-
Manshur) bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, dilahirkan di daerah Ray, Iran
pada Tahun 147 H atau bertepatan Tahun 763 Masehi. Ibunya bernama Khaizuran, mantan
budak wanita asal suku Barbar, Afrika Utara yang dinikahi oleh Khalifah Al-Mahdi.
Menurut Imam Suyuthi, ibunya ini, Khaizuran punya pengaruh yang besar sekali di
Istana. Ia juga suka ikut campur tangan dalam mengurusi perkara-perkara politik dan
kenegaraan, sampai-sampai Khalifah Musa Al-Hadi merasa jengkel dengannya.
Dalam Kitab Tarikh Khulafa' menyebutkan, Khalifah Musa Al-Hadi punya kebiasaan
mabuk, bermain-main, menunggangi keledai dengan cekatan, dan tidak piawai menunaikan
tugas-tugas khalifah dengan baik. Dikenal sebagai sosok zhalim, dia selalu diiringi oleh para
pengawal bersenjata yang mengerikan dan tiang-tiang terpancang.
Tidak heran, para pejabat bawahannya juga ikut mengikutinya hingga senjata-senjata
banyak sekali dijumpai di masa pemerintahannya. Walau seperti itu, dia dikenal sebagai
khalifah yang luas pengetahuannya, fasih lidahnya, pandai berorasi, penuh kharismatik,
berpengaruh, keberanian, dan berjiwa ksatria.
Al-Khatib menceritakan, tidak ada seorang pun yang diangkat khalifah seusia
dengannya (sebab dia diangkat saat berusia 23 tahun). Sebagai khalifah, dia sekedar
menjalankan wasiat perintah dari ayahnya, yakni membasmi orang-orang Zindiq.
Khalifah Musa Al-Hadi ternyata mengalami sumbing di bibir atasnya. Konon sewaktu
kecil, Khalifah Al-Mahdi mengirimkan seorang pelayan untuk menemani dan merawatnya.
Setiap kali, pelayan istana melihatnya dalam keadaan mulut terbuka, dia berkata, "Athbiq !"
Setelah itu, dia langsung menutup mulutnya. Semenjak itu, orang-orang memanggilnya Musa
Athbiq.

Naik Tahta Sebagai Khalifah


Pada Tahun 169 H, Khalifah Al-Mahdi merasa dilema, sebab menurutnya Harun Ar-
Rasyid lebih layak sebagai penerusnya dibandingkan Musa Al-Hadi. Pendapat ini
disampaikan pada para pejabat istana dan pemuka Bani Abbas, alhasil mereka pun setuju.
Tatkala Musa Al-Hadi berada di Jurjan, dia tengah menyelesaikan suatu urusan di
sana pasca pemberontakan Tabaristan.
Lalu, utusan istana datang dan mengirimi surat atas perihal keputusan ini
(pengunduran diri dari Putra Mahkota dan menyerahkan ke Harun Ar-Rasyid). Musa
menolaknya mentah-mentah dan memukuli utusan tersebut.
Mendengar hal itu, Al-Mahdi ingin menemuinya di Jurjan, namun sayangnya ia tidak
sempat karena terlanjur ajalnya sudah tiba.
Menurut Imam Thabari, setelah mengurusi pemakaman ayahanda, Harun Ar-Rasyid
segera menyampaikan kabar kematian ke saudaranya. Selepas mengetahui kabar ini, Musa
Al-Hadi mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah di hadapan masyarakat setempat dan bala
tentaranya.
Setelah 20 hari kemudian, ia tiba di Baghdad. Kala itu, Harun Ar-Rasyid sempat
memegang kendali pemerintahan sambil menunggu kepulangan Musa Al-Hadi. Proses
penobatan khalifah berjalan dengan mulus tanpa ada gejolak.
Sebelumnya, sempat beredar isu upaya pengalihan kedudukan ke Harun Ar-Rasyid,
karena mayoritas pejabat istana mendukungnya.
Mereka beranggapan, Musa Al-Hadi sosok yang kurang layak menduduki khilafah
sebagaimana sangkaan ayahnya. Tetapi, rencana itu dapat dihentikan oleh penasehat Harun
Ar-Rasyid, Yahya bin Khalid Al-Barmaki.
Ucapannya diiyakan oleh para pemuka Bani Abbas, termasuk di antaranya Al-Rabi,
wazir Al-Mahdi. Seketika itu, tiba-tiba Musa Al-Hadi datang beserta bala tentaranya yang
besar dan semua jajaran istana bersumpah setia kepadanya tanpa ada rasa keberatan
sedikitpun.
Setelah itu, Khalifah Musa Al-Hadi berinisiatif mengirimkan surat-surat ke berbagai
wilayah tentang berita ini sekaligus minta pembai'atan dari mereka semua. Pada saat itu juga,
Khalifah Musa Al-Hadi mengangkat Al-Rabi sebagai wazirnya dan diminta untuk
membantunya seperti dulu dia membantu ayahnya.
Kebijakan Pemerintahan Khalifah Musa Al-Hadi
Sebelum jadi khalifah, masa mudanya banyak dihabiskan dalam peperangan di negeri
Masyriq (daerah timur). Tidak heran, banyak pengalaman yang didapat dari sana, sehingga
mempengaruhi besar atas sikap, pandangan, akhlak, dan budi pekertinya.
Musa Al-Hadi dinobatkan sebagai khalifah pada tanggal 30 Muharram 169 H. Setelah
dilantik khalifah, sebagian besar ia meneruskan kebijakan ayahnya, seperti memberantas
orang-orang sesat (Zindiq), menumpas pemberontakan Alawiyyin. Lalu sisanya, kebanyakan
waktunya dihabiskan untuk berusaha menjatuhkan posisi Harun Ar-Rasyid dari putra
mahkota.

a. Membasmi Orang-Orang Zindiq


Sebagaimana kebijakan Al-Mahdi, Khalifah Musa Al-Hadi bertugas meneruskan
kebijakan ayahnya, yaitu membasmi orang-orang Zindiq. Sayangnya, sikap yang
ditempuhnya sangat jauh berkebalikan dari sikap Al-Mahdi yang dipandang bijaksana.
Khalifah Musa Al-Hadi menanggapinya secara brutal. Tidak tanggung-tanggung,
orang-orang yang dianggap sesat langsung diburu, dan segera dieksekusi mati tanpa
ampun. Bahkan, orang yang didakwa menyimpang dari ajaran agama pun juga kena
imbas hukuman mati.

b. Menghadapi Golongan Alawiyyin


Tidak seperti sebelumnya, sikap Al-Mahdi yang selalu merangkul oposisi kaum
Alawiyin dan menjaga keharmonisan antar kedua belah pihak. Namun kali ini, sikap itu
tidak diteruskan oleh Musa Al-Hadi. Kaum Alawiyin meneruskan pemberontakan dan
menganggap diri mereka-lah yang berhak menduduki singgasana khalifah.
Pemberontakan yang terjadi di Hijaz dipimpin oleh Husein bin Ali bin Hasan bin
Ali bin Abi Thalib. Di Madinah, gerakan mereka memperoleh kemenangan. Mereka
berhasil menduduki kantor gubernur, para tahanan penjara dibubarkan, dan dibai'at
langsung dari penduduk Madinah.
Ia juga mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah dan berdirinya Daulah Alawi di
Tanah Hijaz. Gubernur setempat tidak bisa membendung mereka, akhirnya para pasukan
Husein bergerak menuju ke Mekkah.
Sebelum tibanya di sana, laskar Alawi bertemu dengan laskar Abbasiyah yang
dipimpin Panglima Muhammad bin Sulaiman di Wadi Fakh. Pertempuran hebat pun
terjadi, Husein bin Ali dan sanak keluarganya tewas terbunuh dan dipatahkan oleh
pasukan Abbasiyah. Pertempuran kali ini tidak kalah hebat dengan terjadinya peperangan
Karbala.
Akhirnya, kepala Husein dipenggal dan dibawa ke hadapan Khalifah dan
dimakamkan di sana. Sedangkan, sisa pasukan Husein lari kocar-kacir dan sebagian dari
mereka keluar dari Tanah Hijaz. Menurut catatan sejarah, peperangan ini berpengaruh
sekali atas perjalanan sejarah Dinasti Bani Abbas.
c. Berdirinya Daulah Bani Idris di Maroko
Usai peperangan Wadi Fakh, pasukan Abbasiyah segera membantai besar-
besaran terhadap para pendukung dan keluarga Ali bin Thalib, baik di Mekkah maupun
di Madinah. Para tentara tanpa pandang bulu menghancurkan tempat tinggal mereka,
merampas tanahnya, sampai membakar kebun-kebun kurma mereka.
Menyaksikan peristiwa mengerikan itu, sebagian besar keturunan Ali bin Abi
Thalib memilih untuk melarikan diri, sedangkan di antara mereka yang berhasil adalah
Idris bin Abdullah bin Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Dia adalah adik tiri Muhammad bin Abdullah bin Hasan, yang pernah memimpin
pemberontakan di era Al-Manshur. Menurut Imam Thabari, Idris bin Abdullah berhasil
kabur dari kejaran pasukan Abbasiyah, dan menuju ke Mesir.
Ketika di sana, ia mendapat bantuan oleh para tokoh setempat. Lalu, ia melarikan
diri ke tempat yang lebih jauh lagi ke Maghribil Aqsa, lebih tepatnya ke daerah Maroko.
Di sana, ia mendeklarasikan dirinya sebagai Khalifah dan menyatakan Daulah Bani
Idrisiyyah yang resmi berdiri pada Tahun 172 H atau 788 Masehi.
Dinasti Bani Idris, merupakan Kerajaan Islam beraliran Syiah pertama di Dunia
sekaligus pemangku khalifah pertama dari golongan Alawiyyin, sedangkan Bani
Abbasiyah sendiri berpegang pada ajaran Sunni.
Sejarah mencatatkan, Khalifah Idris I sukses melepaskan diri dari kekuasaan
Abbasiyah, sedangkan putranya, Idris II berhasil menyulap Maroko sebagai pusat ilmu
pengetahuan dan kebudayaan Islam di belahan Afrika Utara.

Penyebab Kematian Khalifah Musa Al-Hadi


Seperti diceritakan sebelumnya, kedengkian Musa Al-Hadi sudah terbenam cukup
lama kepada adiknya itu, semenjak ayahnya berusaha memindahkan posisi putra mahkota ke
Harun Ar-Rasyid. Keadaan ini sangat membuat Musa terluka batinnya.
Bahkan, sebagian besar pejabat istana, termasuk ibu kandungnya sendiri, Khaizuran,
juga ikut berpihak pada Harun. Keadaan itu membuat hubungan Musa dan Harun semakin
memanas dan berusaha untuk menyingkirkan adiknya dengan berbagai cara, jikalau perlu
bisa membunuhnya.
Tetapi, rencana busuk itu berhasil dihentikan oleh bujukan Yahya bin Khalid Al-
Barmaki. Dia adalah wazir dan orang kepercayaan Harun Ar-Rasyid, sekaligus tokoh Bani
Abbas yang paling dipercaya oleh Al-Mahdi.
Awalnya, Musa Al-Hadi menaruh curiga terhadapnya, sampai akhirnya Yahya
berhasil membujuknya dengan alasan yang tepat dan logis untuk tidak melanjutkan rencana
jahatnya itu, dengan perkataan sebagai berikut :
”Putramu (Ja’far bin Musa Al-Hadi) saat ini masih berusia sangat muda. Bila kau
meninggal sekarang, kekhalifahannya tidak akan memperoleh legitimasi penuh dari para
pendukung kita. Alih-alih, hal tersebut akan melahirkan banyak gejolak politik. Ayahmu, Al-
Mahdi sudah menominasikan Harun sebagai khalifah setelahmu.
Bila kau melantik putramu, sebagai putra mahkota menggantikan Harun, itu lebih aman
baginya. Dan apabila ternyata kau berumur panjang, sehingga Ja’far bisa mencapai usia yang
ideal untuk menggantikanmu, aku berjanji akan meminta pada Harun agar rela mengundurkan
diri dari posisinya sekarang, dan memberikannya pada Ja’far.”
Mendengar pendapat Yahya itu, Khalifah Musa Al-Hadi sangat puas dan kembali tenang,
sehingga ia bisa membuang jauh-jauh rencana busuknya itu. Beberapa lama kemudian, keinginan
itu tiba-tiba muncul kembali. Kali ini, rencana itu mendapat dukungan dari para pengikutnya.
Mereka tidak segan-segan ikut mengganggu, meneror, dan mempersekusi Harun Ar-
Rasyid dengan berbagai cara. Mengetahui hal ini, Yahya bin Khalid segera menyarankan untuk
Harun agar pergi jauh ke tempat yang lebih aman sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Akhirnya, Harun memohon izin pada Khalifah Musa Al-Hadi dengan dalih berburu dan
permintaan itu dikabulkan olehnya. Ia segera kabur ke Suriah, ke tempat yang tidak diketahui
kecuali hanya beberapa orang saja yang sangat dipercaya seperti ibunya, Khaizuran dan Yahya.
Di sisi lain, Khaizuran, ibu kedua khalifah itu yang mengetahui perlakuan Musa pada
adiknya, Harun. Sontak, ia sangat marah sekali. Semenjak itu, hubungan antara ibu-anak itu putus
dan tak pernah baik lagi.
Suatu hari, Khalifah Musa Al-Hadi mengetahui bahwa ibunya suka turut ikut campur
dalam urusan kenegaraan. Memang, semenjak masuk ke dunia istana ia dikenal sebagai budak
wanita yang sangat cerdas.
Dikenal sebagai sosok Hafizh Qur'an, haus akan ilmu, rajin mendatangi majlis-majlis
ilmu di Perpustakaan Baitul Hikmah, dan juga ikut menghadiri rapat-rapat kenegaraan.
Kecerdasan inilah yang membuat Al-Mahdi tertarik, ia juga sempat ditunjuk sebagai penasehat
pribadi Khalifah.
Perlahan-lahan, istri pertama Al-Mahdi cemburu akan hal ini, hingga akhirnya Khaizuran
dipersunting oleh Khalifah Al-Mahdi dan melahirkan calon-calon khalifah penerusnya seperti
Musa Al-Hadi dan Harun Ar-Rasyid.
Semenjak itulah, dia menjadi orang paling berpengaruh dalam mengambil keputusan di
Istana Abbasiyah, sedangkan Musa dipandang sebelah mata oleh para pejabat pemerintahan
karena dianggap tidak piawai dalam menjalankan tugasnya.
Melanjutkan cerita sebelumnya, Musa Al-Hadi segera mendatangi ibunya seraya
membentak dan berkata :

“Kalau kulihat ada Amir yang keluar dari pintu rumah ibu, akan ku penggal kepalanya !
Tidak punyakah ibu alat pemintal untuk menyibukkan diri atau Kitabullah yang bisa
memberi ibu pengetahuan ? Atau tidakkah ibu disibukkan dengan tasbih-tasbih ?"

Mendengar perkataan kasar putranya, Khaizuran sampai berdiri saking tidak tahan
membendung amarahnya. Tidak cukup sampai di situ saja, Khalifah Musa Al-Hadi juga tega
mengirimkan makanan yang sudah diberi racun untuk ibunya.
Khaizuran yang sudah terlanjur curiga atas sikap anaknya, memilih untuk tidak memakan
makanan itu. Ia segera memberikan kepada anjingnya tersebut, dan tiba-tiba anjingnya mati
keracunan. Setelah menyaksikan kejadian itu, ibunya sudah tidak tahan atas perlakuan anaknya
yang sudah melampaui batas.
Khaizuran muncul keinginan untuk segera membunuhnya. Suatu ketika, Khalifah Musa
Al-Hadi ternyata berniat juga untuk membunuh Harun Ar-Rasyid, ia memerintahkan utusan
khusus untuk mencari dan membunuhnya. Mendengar hal ini, keinginan ibunya tak kian
terbendung lagi.
Suatu hari, Musa Al-Hadi sedang sakit tidak berdaya. Khairuzan melihat ini sebuah
kesempatan untuk membunuhnya. Atas perintahnya, dia mengirimkan beberapa budak
perempuan untuk mengurusi Musa Al-Hadi dan di saat yang tepat, para budak itu mencekik leher
Al-Hadi dengan selendang.
Musa tidak bisa berkutik apa-apa, dan mati terkulai lemas di tangan budak perempuan itu.
Setelah kematiannya, Khaizuran mengirimkan surat kepada Yahya bin Khalid Al-Barmaki, yang
berisi :

”Pria itu (Al-Hadi) sudah mati, jadi segeralah bertindak tegas. Jangan sampai gagal.
Lakukan dengan tepat dan teliti !”

Mendengar kabar mengejutkan ini, Yahya bin Khalid segera menuju ke istana dan
mengamankan proses transisi khalifah ke Harun Ar-Rasyid. Pada malam itu juga, berita kematian
Musa Al-Hadi langsung diumumkan ke khalayak umum dan menyiarkan pengangkatan Harun
Ar-Rasyid sebagai khalifah selanjutnya.
Khaizuran, sang ibunda segera memerintahkan beberapa utusan untuk menjemput Harun
ke Baghdad. Menariknya, di saat malam yang sama, putra Harun Ar-Rasyid bernama Abdullah
Al-Ma'mun telah lahir ke dunia dan kelak akan menggantikan posisi ayahnya sebagai khalifah.
Sebagaimana Ash-Shuli pernah mengatakan :
"Tidak ada satu malam pun dalam sejarah umat manusia ketika seorang khalifah mangkat,
seorang khalifah baru dinobatkan dan seorang calon khalifah dilahirkan, kecuali malam itu.”

Kewafatan Khalifah Musa Al-Hadi


Pada tanggal 14 Rabi'ul Awwal 170 H atau bertepatan pada tanggal 13 September 786
Masehi, Khalifah Musa Al-Hadi wafat di usia 26 tahun. Ia memerintah hampir selama 1 tahun 3
bulan, kemudian digantikan oleh saudaranya, Harun Ar-Rasyid.
Untuk penyebab kematiannya, sebagian besar ahli sejarah meyakini karena dibunuh atas
perintah ibunya sendiri, sebagaimana diceritakan di atas.
Namun, ada yang mengatakan, suatu ketika dia sedang mendorong temannya ke tepi
jurang yang di bawahnya ada batang-batang bambu yang dipotong runcing. Saat temannya
terjatuh dia sempat menarik tangan Musa hingga keduanya ikut terjatuh dan tertusuk bambu,
sehingga mereka meninggal bersamaan.
Sebagian lain juga ada yang mengatakan, penyebab kematiannya adalah radang usus
sampai perutnya bernanah.
Semoga artikel di atas bisa membantu kamu terkait informasi yang sedang kamu cari, dan
dapat menambah wawasan pengetahuan yang memenuhi asupanmu. Jika ada pertanyaan, silahkan
ditulis pada kolom komentar di bawah ini.

Anda mungkin juga menyukai