1. Harun Ar-Rasyid
2. Abu Abbas Al - Makmun
3. Abu Muhammad Al - Hadi
DISUSUN OLEH :
EZZAR TIRTA LAKSONO
KELAS VIII D
Al-Ma’mun adalah salah seorang Khalifah Bani Abbas, beliau anak kedua Khalifah
Harun al-Rasyid dari seorang ibu asal Persia. Ibunya bekas hamba sahaya bernama Marajil,
namun ibunya meninggal saat masih dalam keadaan nifas setelah melahirkan al-Ma’mun.
Al-Amin yang juga sepupunya berkedudukan lebih baik dari al-Ma’mun, disebabkan
oleh ibunya yang bernama Zubaidah yang berasal dari anggota keluarga Abbasiyah, karena
itu al-Amin terlebih dahulu dilantik sebagai putra mahkota yang pertama.
Sesudah diangkatnya al-Amin menjadi putra mahkota, selanjutnya Khalifah Harun ar-
Rasyid melantik al-Ma’mun sebagai putra mahkota yang kedua, serta menyerahkan untuknya
wilayah Khurasan sampai ke Hamdan karena ayahnya tidak memberi dearah kekuasaan
terebut kepada al-Amin. Kemudaian al-Ma’mun tinggal didaerah tersebut dan menetap di
Marw.
Sementara itu al-Ma’mun, di samping usianya yang lebih tua, al-Ma’mun lebih
cerdas dan lebih pintar mengurus segala perkara. Sebelum usia 5 tahun ia dididik agama dan
membaca al-Qur’an oleh dua orang ahli yang terkenal bernama Kasai Nahvi dan Yazidi.
Sejak kecil al-Ma’mun telah belajar banyak ilmu. Dia menimba ilmu hadits dari ayahnya,
dari Hasyim, dari Ibad bin Al-Awam, dari Yusuf bin ‘Athiyyah, dari Abu Mu’awiyah adh-
Dharir, dari Ismail bin ‘Aliyah, Hajjaj al-A’war dan Ulama-ulama lain di zamannya.
Untuk untuk mendalami belajar Hadits, Harun Al-Rasyid menyerahkan al-Ma’mun
kepada Imam Malik di Madinah. Kemudian beliau belajar kitab al-Muwattha, karangan Imam
Malik yang sangat singkat, al-Ma’mun telah menguasai Ilmu-ilmu kesastraan, tata Negara,
hukum, hadits, falsafah, astronomi, dan berbagai ilmu pengetahuaan lainnya. al-Ma’mun
menghafal al-Qur’an begitu juga menafsirkannya.
Tidak seorang pun dari khalifah Bani Abbasiyyah yang lebih pintar darinya. Dia
adalah seorang pembicara yang fasih dan singa podium yang lantang. Tentang kefasihannya
dia berkata, “Juru bicara mu’awiyah adalah ‘Amr bin Ash, juru bicara Abdul Malik adalah
Hajjaj, dan juru bicara saya adalah diri saya sendiri.” Disebutkan bahwa di dalam Bani Abbas
itu ada Fatihah (pembuka), wastilah (penengah), dan Khatimah (penutup). Adapun
pembukanya adalah as-Saffah, penengahnya adalah al-Ma’mun dan penutupnya adalah al-
Mu’tadhid.
Setelah ayahnya mereka meninggal, jabatan kekhalifahan sebagaimana wasiat dari
Harun al-Rasyid diserahkan kepada saudara al-Ma’mun yaitu al-Amin. Dan al-Ma’mun
mendapatkan jabatan sebagai gubernur di daerah Khurasan dan menggantikan al-Amin untuk
menjadi khalifah setelah al-Amin meninggal.
Akan tetapi wasiat dari ayahnya tersebut dilanggar oleh al-Amin dengan
membatalkam al-Ma’mun menjadi khalifah dan mengangkat puteranya Musa bin Muhammad
sebagai penggantinya nanti. Akhirnya, setelah peristiwa tersebut terjadilah perselisihan antara
dua orang bersaudara tersebut. Dan terjadilah peperangan antara kelompok al-Amin dengan
kelompok al-Ma’mun pada tahun 198 H/813 M.
Khalifah al-Amin mempersiapkan pasukan besar dan mengirimnya ke Khurasan di
bawah pimpinan Ali bin Isa, yang merupakan seorang komandan yang dibenci oleh orang-
orang Khurasan, padahal tentara yang paling banyak itu berasal dari Khurasan dengan jumlah
kira-kira 50.000 orang tentara. Sedangkan dipihak al-Ma’mun, beliau mempersiapkan
pasukan yang terdiri dari prajurit-pajurit yang pemberani dan perkasa. Dan menempatkannya
dibawah pimpinan panglima perang Thahir ibn al-Hasan dengan pasukan yang hanya
berjumlah 4.000 orang tentara.
Kedua pasukan pun bertemu, Ali bin Isa sombong dan bangga dengan jumlah
pasukannya. Akan tetapi pertempuran berakhir dengan kekalahan dipihak al-Amin dibawah
pimpinan Ali bin Isa, karena para tentara al-Amin tersebut tidak suka berperang bersama Ali
bin Isa dan mereka tidak semangat bertempur.
Ketika itu, al-Ma’mun mengumpulan tentara yang besar dan berangkat untuk menuju
ke Baghdad dan melakukan pengepungan terhadap ibu kota tersebut yang berlansung selama
hampir 1 tahun. Dan akhirnya Khalifah al-Amin berhasil terbunuh pada tahun 198 H/813 M.
dan diangkatlah Al-Makmun menjadi khalifah. Beliau menjabat khalifah yang ketujuh Daulat
Bani Abasiyah dan menjabat selama 20 tahun (198 H/813M – 218 H/833 M).
Al-Ma’mun merupakan khalifah penyokong Ilmu pengetahuan dan menempatkan para
intelektual dalam posisi yang mulia dan sangat terhormat. Di era kepemimpinannya,
Kekhalifahan Abbasiyah menjelma sebagai adikuasa dunia yang sangat disegani. Wilayah
kekuasaan dunia Islam terbentang luas mulai dari Pantai Atlantik di barat hingga Tembok
Besar Cina di timur.
Dalam dua dasawarsa kekuasaannya, sang khalifah juga berhasil menjadikan dunia
Islam sebagai penguasa ilmu pengetahuan dan peradaban di jagad raya. al-Ma’mun
merupakan Khalifah Abbasiyah ketujuh yang mengantarkan dunia Islam pada puncak
pencapaian. Beliau juga dikenal sebagai figur pemimpin yang dianugerahi intelektualitas
yang cemerlang. Beliau menguasai beragam ilmu pengetahuan. Kemampuan dan
kesuksesannya mengelola pemerintahan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah peradaban
Islam.
Pengorbanan beliau dalam memajukan Islam sangatlah besar sehingga al-Ma’mun
mampu mewujudkan:
1. Mewujudkan keamanan, kedamaian serta kesejahteraan rakyat.
2. Membangun kota Baghdad dengan bangunan-bangunan megah.
3. Membangun tempat-tempat peribadatan.
4. Membangun sarana pendidikan, kesehatan, dan perdagangan.
5. Mendirikan Baitul Hikmah, sebagai lembaga penerjemah yang berfungsi sebagai
perguruan tinggi, perpustakaan, dan penelitian.
6. Membangun majelis al-Muzakarah, yakni lembaga pengkajian masalah-masalah
keagamaan yang diselenggarakan di rumah-rumah, mesjid-mesjid, dan istana.
Musa Al-Hadi, dengan nama asli Musa bin Muhammad (Al-Mahdi) bin Abdullah (Al-
Manshur) bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, dilahirkan di daerah Ray, Iran
pada Tahun 147 H atau bertepatan Tahun 763 Masehi. Ibunya bernama Khaizuran, mantan
budak wanita asal suku Barbar, Afrika Utara yang dinikahi oleh Khalifah Al-Mahdi.
Menurut Imam Suyuthi, ibunya ini, Khaizuran punya pengaruh yang besar sekali di
Istana. Ia juga suka ikut campur tangan dalam mengurusi perkara-perkara politik dan
kenegaraan, sampai-sampai Khalifah Musa Al-Hadi merasa jengkel dengannya.
Dalam Kitab Tarikh Khulafa' menyebutkan, Khalifah Musa Al-Hadi punya kebiasaan
mabuk, bermain-main, menunggangi keledai dengan cekatan, dan tidak piawai menunaikan
tugas-tugas khalifah dengan baik. Dikenal sebagai sosok zhalim, dia selalu diiringi oleh para
pengawal bersenjata yang mengerikan dan tiang-tiang terpancang.
Tidak heran, para pejabat bawahannya juga ikut mengikutinya hingga senjata-senjata
banyak sekali dijumpai di masa pemerintahannya. Walau seperti itu, dia dikenal sebagai
khalifah yang luas pengetahuannya, fasih lidahnya, pandai berorasi, penuh kharismatik,
berpengaruh, keberanian, dan berjiwa ksatria.
Al-Khatib menceritakan, tidak ada seorang pun yang diangkat khalifah seusia
dengannya (sebab dia diangkat saat berusia 23 tahun). Sebagai khalifah, dia sekedar
menjalankan wasiat perintah dari ayahnya, yakni membasmi orang-orang Zindiq.
Khalifah Musa Al-Hadi ternyata mengalami sumbing di bibir atasnya. Konon sewaktu
kecil, Khalifah Al-Mahdi mengirimkan seorang pelayan untuk menemani dan merawatnya.
Setiap kali, pelayan istana melihatnya dalam keadaan mulut terbuka, dia berkata, "Athbiq !"
Setelah itu, dia langsung menutup mulutnya. Semenjak itu, orang-orang memanggilnya Musa
Athbiq.
“Kalau kulihat ada Amir yang keluar dari pintu rumah ibu, akan ku penggal kepalanya !
Tidak punyakah ibu alat pemintal untuk menyibukkan diri atau Kitabullah yang bisa
memberi ibu pengetahuan ? Atau tidakkah ibu disibukkan dengan tasbih-tasbih ?"
Mendengar perkataan kasar putranya, Khaizuran sampai berdiri saking tidak tahan
membendung amarahnya. Tidak cukup sampai di situ saja, Khalifah Musa Al-Hadi juga tega
mengirimkan makanan yang sudah diberi racun untuk ibunya.
Khaizuran yang sudah terlanjur curiga atas sikap anaknya, memilih untuk tidak memakan
makanan itu. Ia segera memberikan kepada anjingnya tersebut, dan tiba-tiba anjingnya mati
keracunan. Setelah menyaksikan kejadian itu, ibunya sudah tidak tahan atas perlakuan anaknya
yang sudah melampaui batas.
Khaizuran muncul keinginan untuk segera membunuhnya. Suatu ketika, Khalifah Musa
Al-Hadi ternyata berniat juga untuk membunuh Harun Ar-Rasyid, ia memerintahkan utusan
khusus untuk mencari dan membunuhnya. Mendengar hal ini, keinginan ibunya tak kian
terbendung lagi.
Suatu hari, Musa Al-Hadi sedang sakit tidak berdaya. Khairuzan melihat ini sebuah
kesempatan untuk membunuhnya. Atas perintahnya, dia mengirimkan beberapa budak
perempuan untuk mengurusi Musa Al-Hadi dan di saat yang tepat, para budak itu mencekik leher
Al-Hadi dengan selendang.
Musa tidak bisa berkutik apa-apa, dan mati terkulai lemas di tangan budak perempuan itu.
Setelah kematiannya, Khaizuran mengirimkan surat kepada Yahya bin Khalid Al-Barmaki, yang
berisi :
”Pria itu (Al-Hadi) sudah mati, jadi segeralah bertindak tegas. Jangan sampai gagal.
Lakukan dengan tepat dan teliti !”
Mendengar kabar mengejutkan ini, Yahya bin Khalid segera menuju ke istana dan
mengamankan proses transisi khalifah ke Harun Ar-Rasyid. Pada malam itu juga, berita kematian
Musa Al-Hadi langsung diumumkan ke khalayak umum dan menyiarkan pengangkatan Harun
Ar-Rasyid sebagai khalifah selanjutnya.
Khaizuran, sang ibunda segera memerintahkan beberapa utusan untuk menjemput Harun
ke Baghdad. Menariknya, di saat malam yang sama, putra Harun Ar-Rasyid bernama Abdullah
Al-Ma'mun telah lahir ke dunia dan kelak akan menggantikan posisi ayahnya sebagai khalifah.
Sebagaimana Ash-Shuli pernah mengatakan :
"Tidak ada satu malam pun dalam sejarah umat manusia ketika seorang khalifah mangkat,
seorang khalifah baru dinobatkan dan seorang calon khalifah dilahirkan, kecuali malam itu.”