Abdullah Al-Makmun
Al-Makmun adalah salah seorang Khalifah Bani Abbas, beliau anak kedua Khalifah Harun
al-Rasyid yang lahir pada tahun 170 H/ 786 M dari seorang ibu asal Persia. Ketika masih
menjadi putra mahkota, ia diangkat oleh ayahnya menjadi gubernur di Khurasan dan
bertempat tinggal di Marw.
Al-Makmun dilahirkan pada malam kemangkatan pamannya Khalifah al-Hadi. enam bulan
lebih dulu dari saudara sebapaknya al-Amin. Ibunya bekas hamba sahaya, bernama Marajil.
al-Amin sepupunya, berkedudukan lebih baik dari al-Makmun, disebabkan oleh ibunya yang
bernama Zubaidah, karena itu al-Amin dilantik sebagai putra mahkota yang pertama.
Sementara itu al-Makmun, di samping usianya yang lebih tua, adalah lebih cerdas dan lebih
pintar mengurus segala perkara.
Khalifah Harun ar-Rasyid telah melantik al-Makmun sebagai putra mahkota yang kedua,
sesudah al-Amin, serta menyerahkan kepadanya wilayah Khurasan sampai ke Hamdan. Al-
Amin tidak diberi kekuasaan atas wilayah tersebut.
Suatu ketika pada masa menjelang kekuasaan al-Makmun terjadilah perebutan kekuasaan al-
Amin dan al-Makmun, disebabkan oleh keangkuhan al-Amin dan pengkhianatan al-Fadl bin
ar-Rabi’, sewaktu keduanya berusaha untuk mencopot putra gelar mahkota dari al-Makmun
dan menggantikannya dengan Musa bin al-Amin.
Konflik ini oleh ilmuwan barat di gambarkan sebagai perselisihan antara orang-orang Arab
dan Persia, tetapi sekarang diakui bahwa aspirasi-aspirasi nasional masing-masing bukanlah
isu utama. Namun benar juga bahwa al-Makmun adalah putera perempuan Persia, dan bahwa
wazirnya sampai tahun 818 M, al-Fadl bin Sahal adalah seorang keturunan Persia penganut
Zoroaster, sementara ibu al-Amin adalah orang Arab dan wazirnya, al-Fadl ibnu ar-Rabi’,
walau asal-usulnya tidak diketahui, adalah mawali suatu suku Arab dan bersimpati dengan
orang-orang Arab. Wazir ini adalah juga berjasa dalam menjatuhkan golongan Barmakiyah
dalam tahun 803 M dan menggantikan mereka dengan para pendukung Harun.
Sebaliknya saingannya, al-Fadil bin Sahal adalah seorang didikan Barmakiyah. Namun kaum
Barmakiyah bukanlah bangsa Persia sebagaimana semula diduga, karena sekarang diketahui
bahwa leluhur mereka adalah Barmakatau ketua sebuah wihara Buddha di dekat Balkh (dekat
sungai Oxus). Namun mereka dekat hubungannya dengan kelas sekretaris dan tampaknya
bersimpati dengan sikap otokratik.
Tiga tahun terakhir dari kehidupan al-Makmun, dipenuhi oleh peperangan yang tidak henti-
hentinya melawan Byzantium yang saat itu diperintah oleh Kaisar Theopilus (829-842 M).
Akhirnya pada tahun 832 M Kaisar terpaksa meminta diadakan perdamaian. Tak lama setelah
itu yaitu pada tahun 833 M al-Makmun meninggal dunia di salah satu markas besarnya di
perbatasan Syria-Anatolia dekat Tarsus setelah memerintah lebih dari sepuluh tahun
Awal 170 H atau 14 Sepetember 786 M dan meninggal dunia pada tanggal 18
Rajab 218 H atau bertepatan dengan 9 Agustus 833 M. Beliau bergelar dengan
Abu al-Abbas dengan nama asli al-Ma’mun Abdullah bin ar-Rasyid bin al-
lahirkan enam bulan lebih dulu dari saudara sebapaknya al-Amin. al-Ma’mun
Al-Ma’mun adalah salah seorang Khalifah Bani Abbas, beliau anak kedua Khalifah
Harun al-Rasyid dari seorang ibu asal Persia. Ibunya bekas hamba sahaya
bernama Marajil, namun ibunya meninggal saat masih dalam keadaan nifas setelah
melahirkan al-Ma’mun.
Al-Amin yang juga sepupunya berkedudukan lebih baik dari al-Ma’mun, disebabkan
oleh ibunya yang bernama Zubaidah yang berasal dari anggota keluarga Abbasiyah,
karena itu al-Amin terlebih dahulu dilantik sebagai putra mahkota yang pertama.
Sementara itu al-Ma’mun, di samping usianya yang lebih tua, al-Ma’mun lebih
cerdas dan lebih pintar mengurus segala perkara. Sebelum usia 5 tahun ia dididik
agama dan membaca al-Qur’an oleh dua orang ahli yang terkenal bernama Kasai
Nahvi dan Yazidi. Sejak kecil al-Ma’mun telah belajar banyak ilmu. Dia menimba
ilmu hadits dari ayahnya, dari Hasyim, dari Ibad bin Al-Awam, dari Yusuf bin
‘Athiyyah, dari Abu Mu’awiyah adh-Dharir, dari Ismail bin ‘Aliyah, Hajjaj al-A’war dan
karangan Imam Malik yang sangat singkat, al-Ma’mun telah menguasai Ilmu-ilmu
kesastraan, tata Negara, hukum, hadits, falsafah, astronomi, dan berbagai ilmu
Tidak seorang pun dari khalifah Bani Abbasiyyah yang lebih pintar darinya. Dia
adalah seorang pembicara yang fasih dan singa podium yang lantang. Tentang
kefasihannya dia berkata, “Juru bicara mu’awiyah adalah ‘Amr bin Ash, juru bicara
Abdul Malik adalah Hajjaj, dan juru bicara saya adalah diri saya sendiri.” Disebutkan
Harun al-Rasyid diserahkan kepada saudara al-Ma’mun yaitu al-Amin. Dan al-
Akan tetapi wasiat dari ayahnya tersebut dilanggar oleh al-Amin dengan
peperangan antara kelompok al-Amin dengan kelompok al-Ma’mun pada tahun 198
H/813 M.[5]
bawah pimpinan Ali bin Isa, yang merupakan seorang komandan yang dibenci oleh
orang-orang Khurasan, padahal tentara yang paling banyak itu berasal dari
Khurasan dengan jumlah kira-kira 50.000 orang tentara. Sedangkan dipihak al-
Thahir ibn al-Hasan dengan pasukan yang hanya berjumlah 4.000 orang tentara.[6]
Kedua pasukan pun bertemu, Ali bin Isa sombong dan bangga dengan jumlah
berperang bersama Ali bin Isa dan mereka tidak semangat bertempur.
Ketika itu, al-Ma’mun mengumpulan tentara yang besar dan berangkat untuk menuju
berlansung selama hampir 1 tahun. Dan akhirnya Khalifah al-Amin berhasil terbunuh
pada tahun 198 H/813 M. dan diangkatlah Al-Makmun menjadi khalifah. Beliau
menjabat khalifah yang ketujuh Daulat Bani Abasiyah dan menjabat selama 20
para intelektual dalam posisi yang mulia dan sangat terhormat. Di era
sangat disegani. Wilayah kekuasaan dunia Islam terbentang luas mulai dari Pantai
Dalam dua dasawarsa kekuasaannya, sang khalifah juga berhasil menjadikan dunia
Islam sebagai penguasa ilmu pengetahuan dan peradaban di jagad raya. al-Ma’mun
puncak pencapaian. Beliau juga dikenal sebagai figur pemimpin yang dianugerahi
5. Mendirikan Baitul Hikmah, sebagai lembaga penerjemah yang berfungsi sebagai
berbagai penjuru negeri. Beliau memiliki pengetahuan yang sangat luas dalam
masalah fiqih, ilmu bahasa arab, dan sejarah umat manusia. Saat beliau menjelang
dewasa, al-Ma’mun banyak bergelut dengan ilmu filsafat dan ilmu-ilmu yang pernah
ilmu ini. Ilmu filsafat yang dipelajari telah menyeretnya kepada pendapat yang
Dia adalah tokoh Bani Abbasiyyah yang paling istimewa dalam kemauannya yang
keberanian dan ketolerannya. al-Ma’mun memiliki kisah hidup panjang yang penuh
Al-Ma’mun juga meminta pendapat kepada enam orang yang dikenal memiliki
Pada awalnya mereka tidak memberi pendapat mereka tentang hal ini, Namun
karena keterpaksaan.
Bahkan al-Ma’mun juga mengumpulkan para ahli fikih dan ahli hadits untuk dimintai
keterangan mereka tentang al-Qur’an itu adalah makhluk. Namun tidak sedikit ulama
yang tidak memenuhi undangan al-Ma’mun, mereka yang hadir karena khawatir
akan kilatan pedang yang akan menimpa mereka. Kemudian al-Ma’mun menyuruh
kepada Ishaq bin Ibrahim untuk mengumpulkan kembali para ulama tyang tidak
hadir pada kali pertama, mereka pun meghadiri pada panggilan selanjutnya.
Di antara para ulama yang hadir di waktu itu adalah Imam Ahmad bin Hanbal, al-
Kindi, Abu Hasan Azziyadi, Ali bin Abu Muqatil, Muhammad bin Nuh, Muhammad bin
Hatim, Ubaidillah bin Amr al-Qawariri Qutaibah bin Sa’id al-A’jili serta yang lainnya.
Kemudian mereka diperlihatkan surat yang ditulis Amuril Mukminin namun merek
semua diam saja, tidak membenarkan dan tidak pula mengingkarinya. Ishaq berkata
kepeda mereka, “kini Amirul telah menulis surat yang baru lalu apa pendapat
kalian?”.
Al-Basyr berkata, “saya katakan bahwa al-Qur’an itu adalah firman Allah”.
Lalu ditanyakan lagi kepada Imam Ahmad bin Hanbal, “apa pendapatmu
Lalu Ahmad bin Hanbal menjawab “Al-Qur’an itu adalah Kalam Allah dan saya
meriwayatkan hadits, semua itu karena mereka tidak mau mengatakan bahwa al-
Disamping perkataannya bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama dari pada Abu Bakar
dan Umar. Akibatnya kaum muslimin merasa kesal dengan perkataan itu, hampir
saja ucapan yang sangat kontroversial itu menimbulkan bencana besar dikalangan
kaum muslimin.[9] Mendengar hal yang demikian yang diucapkan oleh al-Ma’mun
realita yang ada dan yang mereka imani yang menciptakan kurang baiknya kisah
kepemimpinan al-Ma’mun.
Paham ini melekat dan menjadi prinsip pemerintah. Orang yang tidak setuju dengan
pendapat ini akan dihukum. Inilah yang menimpa beberapa ulama yang istiqamah
seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Sajjadat, Al-Qawariri, dan Muhammad Nuh.[10]
Disaat al-Ma’mun mendapat kabar tentang mereka yang memberi jawaban palsu
bahwa al-Quran itu adalah makhluk maka dia marah besar dan memerintahkan agar
kehadapan al-Ma’mun.
Namun sebelum sampai, kabar tersebar bahwa al-Ma’mun telah meninggal. Al-
Ma’mun jatuh sakit saat berada di wilayah romawi, sebelum beliau meninggal, al-
Ma’mun menulis surat untuk disebarkan yang isinya “Dari Abdullah al-Ma’mun dan
meninggal pada 18 Rajab 218 H di badidun sebuah tempat di Romawi, kemudian dia