Anda di halaman 1dari 109

LAPORAN

PENELITIAN KOLABORATIF INTERNASIONAL

MODEL PEMBELAJARAN TAHFID AL-QUR’AN


DI INDONESIA, IRAN, TURKI, DAN ARAB SAUDI

DISUSUN OLEH:

Ketua Tim : Prof. Dr. M. Suparta, MA (UIN Jakarta)


Anggota : 1. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA (UIN Jakarta)
2. Dr. H. Fuad Thohari, M.Ag. (UIN Jakarta)
3. Khaeron Sirin, MA (UIN Jakarta)

DIREKTORAT PENDIDIKAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM


DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM
KEMENTERIAN AGAMA RI
TAHUN 2018
ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Model Pembelajaran Al-Qur’an di Indonesia, Iran,


Turki, dan Arab Saudi”. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan model pembelajaran
tahfidz al-Qur’an yang diterapkan di Indonesia, Iran, Turki, dan Arab Saudi. Selain itu,
penelitian ini juga ingin merumuskan karakteristik masing-masing lembaga tahfidz
dengan cara menggali persamaan dan perbedaan masing-masing lembaga tahfidz di
keempat negara tersebut dalam menerapkan model pembelajaran tahfidz, termasuk
strategi dan metodenya. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Secara metodologis,
pembelajaran tahfidz Qur’an di Indonesia, Iran, Turki, dan Arab Saudi memiliki
persamaan dalam hal bersambungnya jalur sanad keilmuan al-Quran para guru atau
pembimbing al-Qur’an kepada Rasulullah Saw. Selain itu, metode pembelajaran yang
diterapkan juga memiliki persamaan antara satu lembaga/pesantren dengan
lembaga/pesantren di negara-negara tersebut, di mana metode tersebut diterapkan secara
ketat dan terstruktur, yaitu metode bi al-nazhar atau metode qira’ah, metode kitabah,
dan metode sima’i Keempat negara juga menerapkan model yang sama dalam
pembelajaran yaitu talaqqi-musyafahah, di mana murid harus menyetorkan hafalannya
kepada guru secara berhadapan dan guru harus memperhatikan bacaan murid. Adapun
perbedaan yang signifikan di antara negara-negara tersebut berkaitan dengan materi
khusus atau sisipan adalah pada tingkat pemahaman ayat yang dihafalkan. Penelitian ini
dilakukan secara langsung di empat negara, yaitu Indonesia, Iran, Turki, dan Arab Saudi
dengan pendekatan kualitatif dan dianalisis secara deskriptif-komparatif.

Kata kunci: Tahfidz, Qur’an, Indonesia, Iran, Turki, Arab Saudi

i
DAFTAR ISI

ABSTRAK ......................................................................................................i
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1
A. Latar Belakang.................................................................. 1
B. Perumusan Masalah .......................................................... 4
C. Tujuan Penelitian .............................................................. 4
D. Tinjauan Pustaka .............................................................. 4
E. Ruang Lingkup ................................................................. 6
F. Kontribusi ......................................................................... 9
G. Metodologi Penelitian .................................................... 10
BAB II KERANGKA TEORI ......................................................... 12
A. Model .............................................................................. 12
B. Pembelanjaan Tahfidz .................................................... 12
C. Metode Pembelajaran Tahfidz ........................................ 15
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................... 24
A. Metode Penelitian ........................................................... 24
B. Pendekatan Penelitian ..................................................... 24
C. Jenis Penelitian ............................................................... 25
D. Lokasi Penelitian ............................................................ 26
E. Keberadaan Peneliti ........................................................ 27
F. Sumber Data ................................................................... 27
G. Tehnik Pengumpulan Data ............................................. 28
H. Validasi Data .................................................................. 31
I. Analisis Data .................................................................. 32
BAB IV MODEL PEMBELAJARAN TAHFIDZ AL- QUR’AN DI
INDONESIA, TURKI, IRAN, DAN SAUDI ARABIA ... 34
A. Profil Lembaga- lembaga Tahfidz Al- Qur’an ............... 34
1. Lembaga di Indonesia ............................................... 34
2. Lembaga di Iran ........................................................ 52
3. Lembaga di Turki ..................................................... 56

ii
4. Lembaga di Saudi Arabia ......................................... 62
BAB V ANALISIS KOMPARATIF .............................................. 70
A. Sanad Tahfidz Al- Qur’an .............................................. 70
B. Metode Tahfidz Al- Qur’an ............................................ 75
BAB VI PENUTUP............................................................................ 99
A. Kesimpulan ..................................................................... 99
B. Saran dan Rekomendasi................................................102
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 103
LAMPIRAN .............................................................................................. 106

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perhatian umat Islam terhadap al-Qur’an dari masa ke masa tidak pernah surut.
Bahkan cenderung menunjukkan peningkatan yang sangat besar. Lembaga-lembaga
pengkajian, tahfidz, baca tulis al-Qur’an banyak bertebaran di seantero Indonesia.
Maraknya media massa, visual, audio maupun cetak, pun media-media sosial seperti
facebook, twiter, path, instagram turut memberikan andil atas intensitas dan frekuensi
menghidupkan (living) Al-Qur’an oleh masyarakat. Tak bisa dipungkiri, fenomena ini
merupakan manifestasi janji Allah yang tertuang dalam firman-Nya:
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya. (Al-Hijr : 9).

Penggunaan kata ganti "kita (na)" untuk lafadz Allah mengandung makna
bahwa ada pihak lain yang dilibatkan. Artinya, dalam penjagaan al-Qur'an, Allah
melibatkan setiap muslim sebagai wujud dari rasa tanggung jawab seorang muslim
terhadap kitab sucinya. Bentuk pertama penjagaan adalah penjagaan tekstual. Dengan
menghafal secara teliti menunjukkan keikutsertaan dalam penjagaan teks al-Qur'an dari
penambahan, pengurangan ataupun pemalsuan.
Di samping itu, Rasulullah Saw banyak menjelaskan dalam beberapa riwayat
tentang keutamaan membaca dan menghafal al-Qur’an, antara lain:
Abu Umamah ra berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Bacalah
al-Qur`an sebab Al-Qur`an akan datang pada hari kiamat sebagai sesuatu yang
dapat memberikan syafaat (pertolongan) kepada orang keutamaan orang yang
mempunyainya.’” (HR Muslim). Hadis lainnya adalah Rasulullah Saw
bersabda, "Penghafal al-Qur`an akan datang pada hari kiamat, kemudian al-
Qur`an akan berkata: ‘Wahai Tuhanku, bebaskanlah dia.' Kemudian orang itu
dipakaikan mahkota karamah (kehormatan). Al-Qur`an kembali meminta:
'Wahai Tuhanku tambahkanlah.' Maka, orang tu dipakaikan jubah karamah.
Kemudian al-Qur`an memohon lagi: 'Wahai Tuhanku, ridhailah dia.' Maka
Allah Swt meridhainya. Dan diperintahkan kepada orang itu: 'Bacalah dan
teruslah naiki (derajat-derajat surga).' Dan Allah Swt menambahkan dari setiap
ayat yang dibacanya tambahan nikmat dan kebaikan.’” (HR Tirmidzi dari Abu
Hurairah).
Rasulullah saw bersabda, "Allah mempunyai keluarga dari kalangan manusia",
para sahabat bertanya, "Siapa mereka wahai Rasulullah ? ", Rasulullah
bersabda, "Ahli Qur’an. Mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang
khusus-Nya". Al-Jazari mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ahli Qur’an
adalah orang-orang yang hafal Al-Qur’an dan mengamalkannya. Hadis lainnya
antara lain dari ‘Ali bin Abi Thalib, dia berkata, Rasulullah saw bersabda,

1
2

“Siapa membaca dan hafal Al-Qur’an lalu menghalalkan yang halal di


dalamnya dan mengharamkan yang haram di dalamnya niscaya Alloh akan
memasukkannya dengan sebab itu ke dalam jannah, dan menerima syafa’atnya
untuk 10 orang dari keluarganya yang kesemuanya mesti masuk ke dalam
neraka.” (HR Turmudzi).

Hadis-hadis tersebut diyakini menjadi motivator yang kuat untuk


menghafalkan Al-Qur’an di satu sisi, dan di sisi lain adanya apresiasi dan penghormatan
yang lebih dari masyarakat kepada para penghafal Al-Qur’an. Keutamaan pembaca dan
penghafal Al-Qur’an bukan hanya dari sisi metafisik dan eskatologis. Secara psikologis,
proses penghafalan Al-Qur’an bahkan ketika seseorang sudah menjadi penghafal juga
mempunyai manfaat yang besar. Isma’il Abdul Fattah Abdul Kafi, guru besar psikologi,
Universitas Helwan mengatakan bahwa riset lapangan membuktikan bahwa menghafal
Al-Qur’an, memahami makna-maknanya, mengetahuinya dengan baik, bisa
mengantarkan anak kecil pada tingkat kecerdasan yang lebih maju. Sejarah juga
membuktikan bahwa mayoritas ulama’ dan sastrawan muslim telah hafal Al-Qur’an
ketika mereka masih berusia kanak-kanak.
Upaya untuk menghafalkan al-Qur’an memerlukan sebuah metode. Metode
menghafal al-Qur’an tentu saja berbeda antara satu orang dengan orang yang lain,
bahkan antara satu lembaga tahfidz dengan lembaga yang lain. Inilah yang mendorong
kami untuk melakukan penelitian ini. Lembaga-lembaga tahfidz di Indonesia sendiri
berjumlah lebih dari 130, belum lagi lembaga-lembaga pendidikan formal yang
menerapkan kewajiban tahfidz Al-Qur’an sebagai muatan lokal kurikulum.
Semarak menghafal al-Quran terbukti semakin merebaknya lembaga tahfidz
dari berbagai usia termasuk juga di dalam lembaga-lembaga pendidikan. Di Indonesia
muncul beberapa sekolah Islami atau dengan istilah “Islam Terpadu”. Salah satu bentuk
Islami yang ditawarkan adalah kewajiban bagi para murid untuk menghafal ayat-ayat al-
Qur’an. Sebagian universitas atau institute juga memasukkan Hafalan ayat-ayat al-
Qur’an di dalam kurikulum ataupun persyaratan kelulusan. Disamping itu, semarak
tahfidz banyak juga bermunculan metode-metode menghafal al-Qur’an, antara lain
metode sekali lihat hafal, metode 6 bulan hafal, metode 20 kali pengulangan dalam
setiap ayat yang dihafal dan lain-lain.
Namun fenomena tahfidz al-Qur’an tersebut bila diperhatikan secara
mendalam, out camenya belum terlihat maksimal. Hasil maksimal yang dimaksud
3

adalah terlahirnya hafidz hafidzah yang hafalannya masih bisa terpelihara dengan
bacaan yang mujawwad (memenuhi standar tajwid). Disamping itu, akan lebih ideal bila
setiap hafidz hafidzah sekaligus mampu memahami maksud atau tafsir setiap ayat yang
dihafal. Hasil maksimal tersebut belum dapat terwujud sepenuhnya, terutama di
lembaga pendidikan formal. Terbukti dari minimnya para siswa-siswi atau mahasiswa
mahasiswi yang mampu mempertahankan hafalan ayat-ayat tersebut sampai akhir masa
studi. Artinya, setiap ayat atau surat yang dihafal dalam setiap semester tidak dapat
terakumulasi secara baik. Dengan kata lain sebuah lembaga tersebut hanya melahirkan
mantan hafidz hafidzah.
Kenyataan ini menimbulkan kesan bahwa upaya menghafal ayat-ayat al-Qur’an
dalam lembaga pendidikan formal hanyalah sebatas formalitas. Posisi perintah
menghafal ayat al-Qur’an tidak berbeda dengan perintah atau tawaran mengikuti kursus
melukis, menari dalam deretan program-program ekstrakurikuler. Posisi materi tahfidz
al-Qur’an tak ubahnya seperti materi bahasa Indonesia, matematika atau materi lainnya
yang target utamanya adalah lulus ujian. Akibatnya, berapapun ayat yang telah
disetorkan secara hafalan akan lupa atau tidak terkumpul rapi dalam memori para
penghafal pasca ujian. Bila ini dibiarkan maka semarak tahfidz yang didengungkan di
negeri ini hanya sebatas kuantitas tapi kurang berkualitas. Hikmah yang bisa diambil
hanya sebatas pengenalan dan pengalaman peserta didik untuk menghafal al-Qur’an.
Tidak adanya hasil maksimal dalam pembelajaran tahfidz al-Qur’an mengakibatkan
kerugian waktu, pikiran dan financial. Inilah problem utama dari penelitian ini.
Penelitian ini akan menelusuri metode-metode yang digunakan dan kiat-kiat
yang dilakukan pengasuh atau penghafal dalam proses penghafalan atau pasca
penghafalan. Sebagai akibat dari arus globalisasi dan open information, maka suatu riset
dirasa tidak cukup kalau hanya menjadikan suatu negara sebagai obyek penelitian.
Memandang perlu untuk melakukan penelitian di Mesir juga Iran. Beberapa tahun yang
lalu masyarakat dunia dikejutkan dengan munculnya balita dari Iran yang sudah mampu
menghafal 30 juz dengan sangat lancar dan teruji di hadapan publik. Gema ketakjuban
anak ajaib itu belum sirna, sampai muncul lagi dari Mesir, seorang anak yang bernama
Tabarak, yang sudah mampu menghafal Al-Qur’an 30 juz ketika usianya baru 4,5 tahun.
Dua realita ini, baik dengan parameter kekinian maupun masa-masa kejayaan
Islam, cukup menggugah untuk dijadikan penelitian yang intensif. Baik personal dua
4

anak tersebut maupun lembaga atau lingkungan yang mengelilinginya. Apakah


keistimewaan yang dimiliki mereka itu adalah fenomena mukjizat yang tidak bisa ditiru
oleh siapapun?, atau itu adalah fenomena khas kearaban yang tidak berlaku pada
belahan dunia lain?. Atau itu adalah fenomena alamiah dengan metode yang transparan
dan obyektif yang pada gilirannya bisa ditiru dan diterapkan oleh siapapun?.

B. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengelolaan pembelajaran tahfid Al-Qur’an di Indonesia, Iran,
Turki, dan Arab Saudi?
2. Apa keunggulan dari masing-masiing Lembaga atau pesantren tahfidz al-Qur’an
di Indonesia, Iran, Turki, dan Arab Saudi?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Merumuskan tehnik metodologis dari lembaga pendidikan diIran, Turki, dan
Arab Saudi yang dapat diterapkan di Indonesia.
2. Menemukan persamaan dan pebedaan masing-masing metode tahfidz al-Qur’an
yang digunakan di lembaga pendidikan di Indonesia, Iran, Turki, dan Arab
Saudi?

D. Tinjauan Pustaka
Ada beberapa sarjana yang telah melakukan riset terkait tahfidz al-Qur’an, antara
lain:
1. Sebuah studi di Amerika Serikat untuk mengetahui bagaimana Al-Qur’an
berpengaruh pada kesembuhan?, apakah pengaruhnya bersifat organic (berkaitan
dengan organ tubuh), spiritual atau kedua-duanya?. Studi yang dilangsungkan di
Lembaga Ilmu Kedokteran Islam dengan menggunakan perangkat elektronik
yang dilengkapi computer untuk memonitor dan mengukur semua perubahan
fisiologis pada sejumlah relawan ketika mereka mendengarkan bacaan al-
Qur’an. Hasil percobaan ini menunjukkan adanya efek menenangkan terhadap
5

97% relawan di mana ada perubahan fisiologis yang menunjukkan berkurangnya


tingkat ketegangan saraf.
2. Riset Al-Maghamisi. Dia melakukan riset lapangan mengenai peran Al-Qur’an
dalam pengembangan kemampuan membaca dan menulis pada anak-anak
tingkat sekolah dasar di Madinah Al-Munawwarah. Riset ini meneliti 120 anak
kelas VI dari empat sekolah. Dua sekolah umum dan dua lagi dari sekolah
tahfidz Al-Qur’an dengan sebaran rata-rata 30 anak setiap sekolah. Hasilnya,
anak-anak dari sekolah tahfidz rata-rata memperoleh nilai di atas rata-rata anak-
anak dari sekolah umum dalam hal membaca dan menulis yang mana
menunjukkan efek positif bacaan dan hafalan Al-Qur’an pada anak-anak dari
sekolah tahfidz.
3. Riset lain dari Al-Maghamisi. Dia melakukan penelitian mengenai pengaruh
hafalan Al-Qur’an terhadap hasil studi pada tingkat perguruan tinggi. Sampel
yang digunakan adalah empat puluh mahasiswa fakultas Dakwah dan
Ushuluddin, Universitas Islam, Madinah Al-Munawwarah. Separoh dari mereka
telah hafal Al-Qur’an 30 juz, separoh yang lain tidak hafal Al-Qur’an. Hasilnya,
nilai prestasi mahasiswa yang hafidz di atas rata-rata nilai prestasi mahasiswa
yang tidak hafidz.
4. Arif Zamhari, “Lembaga Pendidikan Penghafal Al-Quran: Studi Perbandingan
Pesantren Tahfidl Sulaymaniyah Turki Dan Pesantren Tahfidz Indonesia”,
Jurnal Kuriositas, Edisi VIII, Vol. 2, STAIN Parepare, Desember 2015, h. 53-
67. Penelitian ini membahas perbandingan antara lembaga pendidikan penghafal
al-Qur’an pesantren tahfidz Sulaymaniyah di Turki dan pesantren tahfidz yang
ada di Indonesia. Penelitian memberikan kesimpulan bahwa proses menghafal
Al-Qur’an di Turki ditempuh dalam waktu setahun dengan menggunakan
metode Turki Usmani. Selain menghafal, para santri diberikan pembelajaran
kitab-kitab kuning dan materi-materi lainnya yang bersifat fleksibel tergantung
kebutuhan, termasuk di dalamnya ajaran tarekat Naqshabandiah untuk
membangun akhlak dan ketakwaan. Berbeda dengan konteks Indonesia. Pada
umumnya pesantren-pesantren tahfidz Qur’an di Indonesia hanya menekankan
6

pada penguasaan tahfidz semata, tanpa memberikan pelajaran materi ilmu-ilmu


keislaman lainnya kepada para santri selama proses menghafal.1
5. Nurul Hidayah, “Strategi Pembelajaran Tahfidz al-Qur’an di Lembaga
Pendidikan”, Jurnal Ta’allum, IAIN Tulungagung, Vol. 4, No. 1, Juni 2016.
Artikel ini menyimpulkan bahwa banyak kelemahan yang dialami atau dihadapi
oleh hampir setiap lembaga tahfidz al-Qur’an di Indonesia. Di antaranya adalah:
pertama, kelemahan manajemen pembelajaran tahfidz Qur’an; kedua, kurang
aktifnya peran guru/instruktur tahfidz dalam membimbing dan memotivasi siswa
penghafal al-Qur’an; ketiga, minimnya mekanisme dan metode yang diterapkan
oleh guru tahfidz; keempat, lemahnya dukungan orangtua; dan kelima, lemahnya
kontrol dan motivasi atasan. Oleh karena itu, diperlukan beberapa strategi untuk
mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut.2

E. Ruang Lingkup
Untuk memperjelas masalah yang akan dibahas dan agar tidak terjadi
pembahasan yang meluas atau menyimpang,maka perlu kiranya dibuat suatu
batasan masalah. Bagian ini memaparkan keluasan cakupan penelitian. Keluasan
cakupan penelitian dapat dibatasi dengan pembatasan lokasi (kancah) penelitian,
membatasi banyaknya variabel yang akan dikaji, dan membatasi subjek penelitian
misalnya terbatas dalam satu kelas atau beberapa kelas di sekolah tertentu atau di
beberapa sekolah secara independen.
Penelitian ini melanjutkan penelitian yang telah dilakukan oleh Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI. Tiga kali berturut-turut Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI telah meneliti pesantren-pesantren
tahfidz di Indonesia pada tahun 2005 dengan memfokuskan pada aspek metodologi
pada 7 pesantren yang menyebar di Jawa dan Sumatera. Pada tahun 2007, LPMQ
melanjutkan penelitian tersebut dengan fokus kajian berbeda, yaitu mengungkap
aspek sejarah kelembagaan, ragam metode, dan hubungan sanad atau jaringan

1
Arif Zamhari, “Lembaga Pendidikan Penghafal Al-Quran: Studi Perbandingan Pesantren
Tahfidl Sulaymaniyah Turki Dan Pesantren Tahfidz Indonesia”, Jurnal Kuriositas, Edisi VIII, Vol. 2,
STAIN Parepare, Desember 2015, h. 53-67.
2
7

antarpesantren, khususnya di wilayah Jawa, Madura, dan Bali. Pada tahun 2008,
LPMQ juga melakukan penelitian serupa dengan wilayah penelitian yang berbeda.
Penelitian tersebut dilakukan terhadap 17 pesantren yang berada di pulau Sumatera
dan Kalimantan, dengan perincian: 3 lembaga di Nanggroe Aceh Darussalam, 2
lembaga di Sumatera Utara, 2 lembaga di Sumatera Barat, 2 lembaga di Jambi, 2
lembaga di Sumatera Selatan, 1 lembaga di Lampung, 2 lembaga di Kalimantan
Selatan, 1 lembaga di Kalimantan Timur, 1 lembaga di Kalimantan Barat dan 1
lembaga di Kalimantan Tengah. Penelitian ini dilakukan oleh para peneliti di
lingkungan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI.
Pada tahun 2009, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI kembali melakukan penelitian serupa
yang dilakukan terhadap 10 lembaga tahfidz yang berada di wilayah Sulawesi
Selatan (4 lembaga), Riau (1 lembaga), Kepulauan Riau (1 lembaga), Bengkulu (2
lembaga), dan Nusa Tenggara Barat (2 lembaga).3
Beberapa lembaga tahfidz yang telah dilaporkan oleh LPMQ menunjukkan
banyaknya populasi pesantren yang banyak untuk diteliti. Sedangkan penelitian ini
lebih menguatkan dan mengamati ada tidaknya perubahan-perubahan dalam
pengelolaan tahfidz dalam kurun waktu 2009-2018. Oleh karena itu, penelitian ini
berusaha meneliti kembali ke beberapa pesantren yang dinilai berpengaruh terhadap
pesantren-pesantren yang lain, yaitu Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak
Bantul Yogyakarta, Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an Kudus, Pondok Pesantren
Al-Munawwar Sidayu Gresik, Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an Tebuireng
Jombang, Yayasan I’anatul Mubtadi’in-La Raiba Hanifida Jombang, Pondok
Pesantren Hamalatul Qur’an Jogoroto Jombang, Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PIQ)
Singosari Malang, Pondok Pesantren Dar Al-Qur’an Arjawinangun Cirebon,
Pondok Pesantren Al-Qur’an Al-Falah Cicalengka Bandung, Pondok Pesantren
Manhajul Qur’an Ploso Mojo Kediri.
Pesantren-pesantren ini dipilih karena:

3
Muhammad Shohib dan M. Bunyamin Yusuf Surur (ed.), Memelihara Kemurnian Al-Qur’an:
Profil Lembaga Tahfidz Al-Qur’an di Nusantara (Jakarta: LPMQ, 2011), h. viii.
8

1. Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Bantul Yogyakarta dipilih


karena KH. Munawwir dikenal sebagai mahaguru pendidikan al-Qur’an di
Indonesia. Semua ulama al-Qur’an di Indonesia bermuara kepadanya.
2. Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an Kudus dipilih karena KH. Arwani Amin
sebagai murid KH. Munawwir yang dikenal sebagai santri terbaik. Arwani
tidak hanya hafidz 30 juz tetapi melampaui sampai qira’ah sab’ah.
Pesantren ini pun menjadi rujukan para pecinta al-Qur’an, baik untuk
mentashih bacaan, menghafal ataupun untuk penguasaan qira’ah sab’ah.
3. Pondok Pesantren Al-Munawwar Sidayu Gresik dipilih karena pesantren
ini merupakan tumpuan para orang-orang tua yang ingin mencetak hafidz-
hafidzah dalam usia anak-anak. Pesantren ini sangat jaya pada jamannya.
Peneltian ini ingin melihat kembali apakah kejayaan dan
kemasyarakatannya masih disandangnya.
4. Pondok Pesantren Hamalatul Qur’an Jogoroto Jombang dipilih karena
pesantren ini telah mempromosikan sebagai pesantren yang mampu
mencetak hafidz-hafidzah dalam waktu yang cukup singkat yaitu 6 bulan.
Penelitian ini akan mengkaji metode dan tehnis yang diterapkan di
pesantren tersebut.
5. Pondok Pesantren Al-Qur’an Al-Falah Cicalengka Bandung dipilih karena
pesantren yang juga mampu mencetak hafidz-hafidzah yang juga mampu
membacanya dengan irama atau ilmu nagham. Semua santri mulai tingkat
Tsanawiyah sampai Perguruan Tinggi diarahkan untuk mampu membaca
dan menghafal al-Qur’an dengan bacaan mujawwad.
Karena penelitian pesantren-pesantren Indonesia sudah banyak dilakukan
oleh LPMQ dan sudah dibukukan, maka penelitian ini berusaha membandingkan
dengan negara-negara lain. Masing-masing negeri dipilih 2 lembaga yaitu formal
dan non-formal. Obyek penelitian yang dipilih adalah: Iran, Turki, dan Arab Saudi.
Adapun ruang lingkup penelitian ini dapat dipetakan sebagai berikut:
1. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan komparatif dengan
pendekatan kualitatif.
2. Lokasi: sasaran penelitian ini ada 4 negara yaitu Indonesia, Iran, Turki, dan
Indonesia. Dari beberapa lembaga Tahfidz di Indonesia penelitian ini hanya
9

mefokuskan pada 4 lokasi yaitu; Yogyakarta, Kudus, Cirebon dan Bandung.


Karena memiliki Lembaga Pendidikan yang juga menekankan hafal al-Qur’an
kepada anak didiknya. Iran di fokuskan pada lembaga-lembaga tahfidz di Qum,
dan lembaga Sulaimaniyah di Turki, serta Lembaga Shaulatiyah di Arab Saudi.

F. Kontribusi
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Lembaga pendidikan non formal atau lembaga-lembaga tahfidz untuk
peningkatan kualitas hafalan peserta didiknya.
2. Lembaga pendidikan formal untuk meninjau ulang efektif tidaknya proses
pembelajaran tahfidz al-Qur’an dalam lembaganya.
3. Pemerintah Indonesia agar lebih perhatian kepada penguatan sarana-prasarana
lembaga-lembaga yang menjunjung tahfidz-tahfidz al-Qur’an sehingga tidak
semarak secara kuantitas tetapi juga berkualitas.

G. Metodologi Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian lapangan dengan pendekatan deskriptif
yaitu berupaya mengungkap fakta yang ada dan menyajikannya dalam format
sistematis. Penelitian berupaya menemukan model-model pembelajaran tahfid yang
dilakukan di Indonesia, Mesir, Iran dan Turki. Aspek-aspek pembelajaran yang akan
diteliti meliputi kebijakan pemerintah dan institusi pendidikan terkait dengan tahfidz,
model pengajaran dalam tahfid, penyediaan sarana dan prasarana, lingkungan sosial dan
pendidikan yang mendukung pembelajaran tahfidz, model evaluasi dan penilaian, serta
sebaran alumni tahfidz.
Data penelitian terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer adalah data
yang berkaitan langsung dengan subjek penelitian. Data ini diperoleh dari peraturan
pemerintah dan institusi pendidikan terkait dengan tahfid, pengelola lembaga
pendidikan tahfid, peserta tahfid, dan evaluator. Data sekunder adalah data-data yang
tidak berkaitan langsung dengan subjek penelitian namun memiliki hubungan. Data
sekunder meliputi data statistik pendidikan tahfid, metode-metode pengajaran, dan data
lain yang berkaitan.
10

Metode pengumpulan dilakukan dengan cara wawancara mendalam kepada


pihak-pihak terkait sebagaimana disebutkan sebelumnya. Metode lainnya adalah
observasi/ pengamatan langsung di lokasi penelitian. Peneliti akan menetap dalam
waktu tertentu untuk terlibat (partisipatif) dalam proses pengelolaan pengajaran tahfid di
4 negara Indonesia, Mesir, Iran dan Turki. Metode lainnya adalah metode dokumentasi
atau menelusuri dokumen-dokumen terkait penelitian seperti peraturan dan kebijakan
pendidikan tahfid.
Analisis penelitian menggunakan metode perbandingan. Metode perbandingan
digunakan untuk semua aspek yang diteliti yang dilakukan di empat negara, yaitu
Indonesia, Iran, Turki, dan Arab Saudi. Iran dipilih karena memiliki paham keagamaan
yang relatif berbeda dengan Indonesia, yaitu mayoritas Syiah. Iran memiliki tradisi
tahfid yang menarik karena selain tahfid Iran memiliki tradisi keilmuan filsafat yang
menonjol di antara negara-negara Islam. Turki dipilih karena memili model
pembelajaran tahfidz yang berbeda. Di samping itu, Lembaga Sulaimaniyah banyak
membuka cabang di beberapa kota di Indonesia. Arab Saudi dipilih karena di sanalah
Islam lahir dan dari sana pula pengajaran al-Qur’an dimulai dan dikembangkan sejak
zaman Rasulullah Saw hingga sekarang.
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Model
Model adalah representasi dari suatu objek, benda, atau ide dalam bentuk
yang disederhanakan dari kondisi atau fenomena alam. Model berisi informasi
tentang fenomena yang dibuat dengan tujuan untuk mempelajari fenomena sistem
yang sebenarnya. Model dapat berupa tiruan suatu benda, sistem atau kejadian nyata
yang hanya berisi informasi yang dianggap penting untuk ditelaah. Kata”model”
berasal dari bahasa Latin mold (cetakan) atau pettern (pola). Menurut Mahmud
Achmad4, model secara umum ada empat, yaitu model sistem, model mental, model
verbal, dan model matematika. Term model yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah metode5.

B. Pembelajaran (Tahfidz) al-Qur’an


Tahfidz ul Qur’an terdiri dari dua kata, yaitu tahfidz dan al-Qur’an. Tahfidz
berarti menghafal. Sedangkan term al-Qur’an didefinisikan kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., sebagai mukjizat yang membacanya
dinilai sebagai ibadah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, menghafal berasal
dari kata hafal yang artinya “telah masuk dalam ingatan dan dapat mengucapkan di
luar kepala”6. Menghafal merupakan proses menerima, mengingat, menyimpan, dan
memproduksi kembali tanggapan yang diperolehnya melalui pengamatan7.

Menghafal al-Qur’an merupakan aktifitas yang dipndang mulia di sisi Allah


Swt. Oleh karena itu, sebelum menghafal al-Qur’an diperlukan persiapan agar dalam

4
Mahmud Achmad,, Tehnik Simulasi dan Permodelan, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada,
2008), hal. 1-2.
5
http://repository.upi.edu/11779/11/T_PKKH_1104495_Chapter2.pdf
6
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta: balai peustaka, 2002), hal. 381.
7
Mohammad Irsyad dan Nurul Qomariah, Strategi Menghafal Al-Qur`an Sejak Usia Dini. Lihat:
http://ejournal.uinsuka.ac.id/tarbiyah/conference/index.php/aciece/aciece2/paper/viewFile/50/39

11
12

proses menghafal al-Qur’an tidak terasa berat. Menurut Sa’ad Riyadh8 ada
beberapa syarat bagi seseorang sebelum menghafal al-Qur’an di antaranya sebagai
berikut:

1. Murid mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar.


2. Kondisi murid sehat, baik jasmani maupun rohani.
3. Sebelum menghafal Al-Qur’an, hendaknya murid mengkonsumsi makanan
yang halal dan thoyyib.
4. Murid dalam kondisi istirahat yang cukup.
5. Suasana hati murid cukup tenang, tidak sedang galau (bad mood)
6. Hubungan anak (murid) dan orang tua yang harmonis.

Sedangkan menurut Sa’dulloh9 untuk dapat menghafal al-Qur’an dengan


baik, seorang murid harus memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut :

1) Niat Ikhlas

Dalam menghafal al-Qur’an, pertama kali yang harus diperhatikan adalah


meluruskan niat murid dalam menghafal al-Qur’an, yakni hanya mengharap ridho
Allah. Jika seorang murid mempunyai keinginan kuat untuk menjadi hafidz,
hendaknya ikhlas, tidak mengharapkan pujian orang lain, serta jangan mengharapkan
kehidupan berlebih dengan mengandalkan hafalan al-Qur’an, sehingga di hari kiamat
akan mendapatkan syafa’at dari al-Qur’an.

2) Mempunyai Kemauan Kuat

Menghafal Al-Qur’an sebanyak 30 juz, 114 surah, dan kurang lebih 6000 ayat
bukanlah pekerjaan yang mudah. Dalam menghafal Al-Qur’an diperlukan waktu
yang relatif lama antara 1 sampai 4 tahun, diperlukan kemauan yang kuat dan
kesabaran yang tinggi agar cita-cita murid menjadi hafidz tercapai.

8
Saad Riyadh, Ingin Anak Anda Cinta al-Qur`an? (Solo: Aqwam, 2008), hal.44. Lihat juga,
Mohammad Irsyad dan Nurul Qomariah, Strategi Menghafal Al-Qur`an Sejak Usia Dini.
http://ejournal.uinsuka.ac.id/tarbiyah/conference/index.php/aciece/aciece2/paper/viewFile/50/39.
9
Sa’dulloh, 9 Cara Praktis Menghafal Al-Qur’an, (Depok: Gema Insani Press, 2008), hal. 26-34.
Lihat juga, http://etheses.uin-malang.ac.id/4625/1/12110231.pdf.;
http://eprints.ums.ac.id/12424/3/BAB_II.pdf.
13

3) Disiplin dan Konsisten Menambah Hafalan

Dalam menghafal Al-Qur’an, hendaknya murid selalu bersemangat dan


menggunakan seluruh waktunya untuk belajar maksimal. Seorang murid yang
mempunyai keinginan kuat untuk menjadi hafidz haruslah disiplin dan istiqamah
dalam menambah hafalan, gigih memanfaatkan waktu senggang, cekatan, kuat fisik,
semangat tinggi, mengurangi kesibukan yang tidak berguna, bermain, dan bersenda
gurau.

4) Talaqqi

Seorang murid calon hafidz hendaknya berguru (talaqqi) kepada seorang


guru yang hafal Al-Qur’an, dalam ilmunya, dan berintegritas. Menghafal Al-Qur’an
tidak diperbolehkan tanpa guru, karena di dalam Al-Qur’an banyak bacaan sulit
(musykil) yang tidak bisa dikuasai hanya dengan mempelajari teorinya saja. Bacaan
musykil tersebut hanya bisa dipelajari murid dengan cara dibimbing guru.

5) Berakhlak Terpuji

Seorang murid calon hafidz hendaknya berakhlak terpuji, sesuai syariat, dan
menjauhi sifat-sifat tercela. Al-Qur’an bukan hanya untuk dibaca, tetapi yang lebih
penting untuk dipelajari dan diamalkan isinya.

Dalam prosesnya, kegiatan pembelajaran atau menghafal al-Qur’an10


dilakukan melalui:

1) Bi al-Nazhar, yaitu membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang akan dihafal dengan


cermat dengan melihat mushaf Al-Qur’an secara berulang-ulang. Proses
pembelajaran bi al-nazhar ini hendaknya dilakukan sebanyak mungkin atau diulang
empat puluh satu kali seperti yang dilakukan ulama terdahulu.
2) Tahfidz, yaitu menghafalkan sedikit demi sedikit ayat-ayat Al-Qur’an yang telah
dibaca berulang-ulang secara bi al-nazhar. Misalnya menghafal satu baris, beberapa
kalimat, atau sepotong ayat pendek sampai tidak terjadi kesalahan.

10
Lihat, catatan kaki no. 6. Lihat juga, http://digilib.uinsby.ac.id/ 22732/1/ Hervina% 20
Kusumawati_ D01214004.pdf
14

3) Talaqqi, yaitu seorang murid menyetorkan atau mendengarkan hafalan yang baru
dihafal kepada seorang guru. Guru tersebut harus seorang hafidz Al-Qur’an, yang
sholih dan wara’. Proses talaqqi ini dilakukan untuk mengetahui hasil hafalan murid
calon hafidz dan mendapatkan bimbingan seperlunya.
4) Takrir, yaitu murid mengulang-mengulang hafalan yang pernah dihafalkan kepada
seorang guru tahfidz. Takrir dimaksudkan agar hafalan si murid tetap terjaga dengan
baik. Selain itu takrir juga dilakukan sendiri-sendiri untuk melancarkan hafalan dan
tidak mudah lupa.
5) Tasmi’, yaitu memperdengarkan hafalan kepada orang lain baik kepada
perseorangan maupun kepada jama’ah. Dengan tasmi’ ini, murid calon penghafal Al-
Qur’an akan diketahui kekurangannya. Misalnya kesalahan mengucapkan huruf atau
harakat.
Berdasarkan penjelasan di atas, metode pembelajaran para murid dalam
menghafal Al-Qur’an tidak terlepas dari bimbingan guru yang berkompeten untuk
mendengar dan membenarkan bacaan Al-Qur’an murid-muridnya sehingga metode
pembelajaran utama yang cocok digunakan dalam menghafal Al-Qur’an yaitu
metode pengulangan bacaan sampai para murid mampu mengucapkan dengan benar
tanpa melihat mushaf Al-Qur’an.
Para murid dalam menghafal al-Qur’an, cara pembelajaran yang digunakan
para guru di lembaga tahfidz bisa berbeda-beda, tetapi semuanya bertumpu pada
pembacaan al-Qur’an berulang-ulang sampai para murid dapat mengucapkannya
dengan benar tanpa melihat mushaf al-Qur’an.

C. Metode Pembelajaran Tahfidz


Menurut Bahirul Amali Herry,11 setidaknya ada dua metode pembelajaran
menghafal Al-Qur’an, yaitu metode klasik dan metode modern, sebagai berikut:

1. Metode Klasik
Metode Klasik dalam menghafal al-Qur’an sudah diterapkan beberapa
madrasah dan lembaga tahfidz al-Qur’an di pelbagai negara Islam terutama
Indonesia, dengan menggunakan cara sebagai berikut:

11
Bahirul Amali Herry, Agar Orang Sibuk Bisa Menghafal Al Quran, (Jakarta: Pro-U Media,
2012), hal. 83-90. Lihat juga, http://digilib.uinsby.ac.id/17329/5/Bab%202.pdf;
http://eprints.ums.ac.id/30830/12/NASKAH_PUBLIKASI.pdf
15

a) Talqin yaitu cara pengajaran hafalan yang dilakukan seorang guru terhadap
murid-muridnya dengan membaca suatu ayat Al-Qur’an, lalu ditirukan murid
secara berulang-ulang hingga menancap di hatinya.
b) Talaqqi adalah presentasi hafalan murid kepada gurunya.
c.) Mu’aradlah adalah para murid saling membaca secara bergantian.

2. Metode Modern

Metode pembelajaran menghafal al-Qur’an secara tradisional teruji sangat


ampuh dan telah melahirkan ribuan penghafal al-Qur’an, tetapi bukan berarti
metode lain tidak diperlukan. Di era modern ini telah diterapkan pelbagai metode
baru sebagai alternatif, antara lain12:

a. Mendengarkan kaset murrotal melalui tape recorder, walk man, Al-Qur’an


digital, MP3/4, handphone, computer, dan sebagainya.
b. Merekam suara dan mengulang-ulangnya dengan bentuan alat-alat modern.
c. Menggunakan program software Al-Qur’an penghafal (mushaf hafidz)
d. Membaca buku Quranic Puzzle (semacam teka-teki yang diformat untuk
menguatkan daya hafalan).
Berikut ini metode pembelajaran tahfidz Al-Qur’an yang lain13 yaitu:

a. Metode Fardhi
1. Murid bersikap tenang, rileks, dan tidak tegang.
2. Murid membaca ayat al-Qur’an yang akan dihafal sampai terekam dengan jelas ke
dalam pikiran dan hati.
3. Murid menghafal ayat al-Qur’an dengan mengingat bentuk tulisan huruf dan
tempatnya.
4. Setelah itu, murid memejamkan ke dua mata.

12
http://eprints.iain-surakarta.ac.id/520/1/14.%20Mir%27atul%20Farihah.pdf.
13
Saipul Bahri Jamarah, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Rineka Cipta, 2002),
hal.178.Lihat juga;
https://www.google.com/search?q=a.%09Metode+Fardi+1.%09Murid+bersikap+tenang,+rileks,+dan+tid
ak+tegang.+2.%09Murid+membaca+ayat+alQur%E2%80%99an+yang+akan+dihafal+sampai+terekam+
dengan+jelas+ke+dalam+pikiran+dan+hati.&safe=strict&client=firefoxb&sa=X&tbm=isch&tbo=u&sour
ce=univ&ved=2ahUKEwjU9uD1uJfeAhVLvI8KHSoqAlsQsAR6BAgAEAE&biw=800&bih=471
16

5. Murid membaca dengan suara pelan dan konsentrasi (rileks dan posisi mata tetap
terpejam).
6. Kemudian murid membaca ayat al-Qur’an tersebut dengan suara keras (posisi
mata tetap terpejam dan rileks).
6. Murid mengulangi sampai 3x atau sampai benar-benar hafal.
7. Murid memberi tanda pada kalimat yang dianggap sulit dan bermasalah (garis
bawah).
8. Murid tidak pindah hafalan baru sebelum hafalan lama sudah dihafal dengan baik.
9. Murid melakukan penggabungan ayat al-Qur’an yang sudah dihafal.
Setelah ayat pertama dan ke dua dihafal murid, belum boleh pindah ke ayat
ke tiga, tetapi harus digabungkan terlebih dahulu antara ke duanya dengan mengikuti
langkah-langkah berikut:

1. Murid konsentrasi, membaca ayat al-Qur’an yang pertama dan ke dua sekaligus,
dengan suara pelan.
2. Kemudian membaca ke duanya dengan suara keras, konsentrasi, dan tenang.
3. Murid mengulangi ke dua ayat al-Qur’an tersebut minimal 3x, sehingga hafalan
benar-benar kuat.
4. Tiap-tiap dua tambahan ayat al-Qur’an baru, harus digabungkan dengan ayat al-
Qur’an sebelumnya sehingga terjadi kesinambungan hafalan.
5. Murid mengulang hafalan ayat al-Qur’an dari belakang ke depan. Kemudian, dari
depan ke belakang.
6. Semuanya dibaca murid dengan suara lirih terlebih dahulu, kemudian dengan
suara keras (mata dalam keadaan tertutup).
7. Begitu seterusnya. Setiap mendapatkan hafalan baru, harus digabungkan dengan
ayat al-Qur’an, halaman, dan juz sebelumnya.

b. Metode Jama’i
Sistem ini menggunakan metode baca bersama, yaitu dua atau tiga orang
(partnernya) membaca hafalan dengan14:

14
https://nikenpuspitasari.wordpress.com/2011/12/11/metode-tahfidz-ustadz-mudhawi/
17

1. Bersama-sama membaca ayat al-Qur’an dengan suara keras.


2. Bergantian membaca ayat al-Qur’an dengan suara keras (jahri). Ketika murid lain
membaca ayat al-Qur’an dengan jahri, murid ini harus membaca al-Qur’an
dengan suara khafi (pelan), begitulah seterusnya dengan bergantian. Sistem ini
dalam satu majlis diikuti maksimal 12 peserta, dan minimal 2 peserta. Mekanisme
pembelajaran sebagai berikut:
1) Persiapan:
a. Murid mengambil tempat duduk mengelilingi guru tahfidz.
b. Guru menetapkan partner bagi masing-masing murid.
c. Masing-masing pasangan murid menghafalkan bersama partnernya
d. Setiap pasangan murid, maju bergiliran menghadap guru untuk setor
halaman baru dan muraja’ah (mengulang) hafalan lama.
2) Setoran ke Guru
a. Muraja’ah: lima (5) halaman dibaca murid dengan sistem gantian.
Muraja’ah dimulai dari halaman baru ke arah halaman lama.

b. Setor hafalan baru:

1. Murid membaca seluruh ayat al-Qur’an yang baru dihafal secara


bersama-sama.
2. Murid-murid bergiliran membaca ayat al-Qur’an dengan dua putaran.
Putaran pertama dimulai dari yang duduk sebelah kanan dan putaran ke
dua dimulai dari sebelah kiri.
3. Murid membaca bersama-sama hafalan baru yang telah dibaca secara
bergantian.

3) Muraja’ah:
Tes juz 1, dengan system acak (2-3 x soal). Masing-masing murid
membaca ayat al-Qur’an berpasangan. Ketika peserta sendirian tidak punya
patner, atau patnernya berhalangan hadir, guru wajib menggabungkannya
dengan kelompok lain yang kebetulan hafal juz 1, halaman dan urutannya
sama. Jika hafalannya tidak sama dengan kelompok lain, guru hendaknya
18

menunjuk salah seorang murid yang dinilai mampu untuk menjadi relawan
sebagai partner.

a. Muraja’ah di tempat:
1. Kembali ke tempat semula.
2. Murid mengulang bersama-sama seluruh bacaan yang disetorkan, baik
muraja’ah maupun hafalan baru, dengan system yang sama dengan
setoran.
3. Murid menambah hafalan baru bersama-sama untuk disetorkan pada
pertemuan berikutnya.
4. Murid jangan diizinkan meninggalkan majlis sebelum mendapat izin guru.
Dalam menghafal Al-Qur’an dibutuhkan metode pembelajaran untuk
menunjang dan memudahkan hafalan, antara lain sebagai berikut:

1. Metode Pengulangan Penuh15


a. Murid menyiapkan materi yang akan dihafal, 1 halaman, atau 1/2 halaman, atau
1/3 halaman atau seterusnya.
b. Materi hafalan dibaca murid secara berulang-ulang sampai lancar dan jelas. Hal
tersebut dilakukan dengan cara melihat atau membaca mushaf al-Qur’an
sebanyak 40 kali.
c. Murid mengulang kembali materi tersebut dengan sesekali melihat mushaf. Hal
itu dilakukan berulang-ulang hingga hafal dengan sendirinya.
d. Setelah hafal, murid melakukan pengulangan kembali tanpa melihat mushaf
al-Qur’an sama sekali
2. Metode Tulisan
a. Murid menyiapkan materi yang akan dihafal; 1 halaman, 1/ 2 halaman, 1/3
halaman atau seterusnya.
b. Materi hafalan tersebut ditulis pada buku atau pada lembar kertas.
c. Materi hafalan tersebut dibacakan Murid di depan guru hingga dinyatakan
benar dan lancar.

15
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/25/jtptiain-gdl-s1-2006-isnarahmaw-1243-
bab2_360-6.pdf
19

d. Murid menghafalkan materi tersebut, ayat per ayat al-Qur’an secara berulang-
ulang hingga hafal dan lancar.
Metode semacam ini biasanya dilakukan para murid penghafal Al-
Qur’an yang ada di Timur Tengah.

3. Metode dengan Bimbingan Guru


a. Murid menyiapkan materi yang akan dihafal; 1 halaman 1/2 halaman, 1/3
halaman atau seterusnya.
b. Materi hafalan tersebut dibacakan murid dihadapan guru dan ditirukan murid
(calon penghafal) secara berulang-ulang.
c. Materi dihafalkan murid, dari ayat per ayat al-Qur’an hingga hafal. Metode
semacam ini biasa digunakan para tuna netra.
4. Metode Paham Makna
a. Murid menyiapkan materi yang akan dihafal; 1 halaman, 1/2 halaman, 1/3
halaman dan seterusnya.
b. Materi tersebut dipahami arti kalimat per kalimat terlebih dahulu.
c. Setelah murid memahami artinya, kemudian dihafal ayat per-ayat dengan
dibaca berulang-ulang hingga lancar. Adapun cara menyambungkan antara ayat
satu dengan ayat al-Qur’an lain yaitu dengan menghubungkan ayat al-Qur’an
sesuai dengan pemahaman makna ayat al-Qur’an.
5. Metode Recorder
Pada prinsipnya metode ini sama dengan metode bimbingan guru.
Keefektifan pembelajaran Tahfidz ul-Qur’an hanyalah bergantung cara guru
menciptakan suasana belajar. Metode-metode yang berkaitan dengan
pembelajaran Tahfiz ul Qur’an sangat banyak, Antara satu metode dengan metode
yang lain memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing.

6. Metode Lingkaran (Halaqah)

Suatu metode di mana seorang guru berada di tengah-tengah murid untuk


mendengar hafalan murid. Metode pembelajaran semacam ini biasanya dilakukan
di masjid atau tempat khusus dengan jumlah murid berkisar antara 5 sd. 10
orang34. Dalam menghafal Al-Qur’an, ada banyak metode pembelajaran yang
berbeda-beda. Namun metode apapun yang digunakan tidak akan terlepas dari
20

pembacaan yang berulang-ulang sampai dapat mengucapkannya dengan benar


tanpa melihat Al-Qur’an sedikitpun.

Dari semua metode yang telah diungkapkan di atas, metode yang banyak
dikenal masyarakat dalam menghafal Al-Qur’an bermuara pada tiga macam:

1. Metode seluruhnya16, yaitu membaca satu halaman al-Qur’an dari baris


pertama sampai baris terakhir secara berulang-ulang sampai hafal.
2. Metode bagian, yaitu orang menghafal ayat demi ayat al-Qur’an, atau kalimat
demi kalimat yang dirangkaikan sampai satu halaman.
3. Metode campuran, yaitu kombinasi antara metode seluruhnya dengan metode
bagian. Mula-mula dengan membaca satu halaman al-Qur’an berulang-ulang,
kemudian pada bagian tertentu dihafal tersendiri. Kemudian diulang kembali
secara keseluruhan17.
Menurut pendapat Sabit Alfatoni18, ada beberapa metode pembelajaran
lain yang lazim dipakai para penghafal al-Qur’an, yaitu:

a) Metode fahmul mahfudz, artinya sebelum ayat-ayat Al-Qur’an dihafal


murid, dianjurkan untuk memahami makna setiap ayat, sehingga ketika
menghafal, murid merasa paham dan sadar terhadap ayat-ayat al-Qur’an
yang diucapkannya.
b) Metode tikrar ul-mahfudz, yaitu murid mengulang ayat-ayat al-Qur’an yang
sedang dihafal sehingga dapat dilakukan pengulangan satu ayat al-Qur’an
sekaligus atau sedikit demi sedikit sampai dapat membacanya tanpa melihat
mushaf.
c) Metode kitab ul-mahfudz, artinya murid menulis ayat-ayat al-Qur’an yang
dihafal di atas lembaran kertas.

16
https://www.google.com/search?q=Dari+semua+metode+yang+telah+diungkapkan+di+atas,+
metode+yang+banyak+dikenal+masyarakat+dalam+menghafal+AlQur%27an+bermuara+pada+tiga+mac
am:+1.%09Metode+seluruhnya,&safe=strict&client=firefox-
b&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=2ahUKEwjGmMf4upfeAhXDo48KHYaVCRAQ7Al6B
AgFEA8&biw=800&bih=471
17
Eka Pristiawan, Pelaksanaan Pembelajaran Tahfizul Qur’an Di Sdit Nurul ‘Ilmi Medan Estate
Kabupaten Deli Serdang, Skripsi, tidak diterbitkan.
Lihat; http://repository.uinsu.ac.id/1231/1/Tesis%20EKA%20PRISTIAWAN.pdfL Lihat juga:
Sabit Alfatoni, Teknik Menghafal al-Qur’an (Semarang: Ghiyas Putra, 2010), hal. 29
18
http://repository.uinsu.ac.id/1231/1/Tesis%20EKA%20PRISTIAWAN.pdf
21

d) Metode istima’ ul-mahfudz, artinya murid diperdengarkan ayat-ayat al-


Qur’an yang akan dihafal secara berulang-ulang sampai dapat mengucapkan
sendiri tanpa melihat mushaf.
Ada metode pembelajaran menghafal al-Qur’an yang lain,19 yaitu:

a) Talqin (guru membaca ayat al-Qur’an, lalu murid menirukan dan jika salah
dibenarkan).
b) Tasmi’ (murid memperdengarkan hafalannya di depan guru), biasanya disebut
setoran hafalan.
c) Muraja’ah (pengulangan hafalan), teknisnya sangat banyak, bisa dilakukan
murid sendiri dengan merekam atau memegang Al-Qur’an di tangannya, bisa
juga dengan cara berpasangan.
d) Tafsir (murid mengkaji tafsirnya), baik secara sendiri maupun melalui guru.
e) Tajwid (perbaikan bacaan dan hukumnya)20.
Masih ada metode pembelajaran tahfidz al-Qur’an lain sebagaimana
dikemukakan Muna Said Ulaiwah21 yaitu:

1. Metode per-Halaman

Maksudnya, murid membaca satu halaman al-Qur’an penuh dari awal


sampai akhir dengan pelan dan benar. Murid membaca dan menghafalkan tiga atau
lima kali tergantung kepada kuatnya hafalan individu murid masing-masing.
Setelah murid selesai membaca al-Qur’an, baru kemudian ditutup dan mulai
memperdengarkan hafalan Al-Qur’an per-satu halaman.

2. Metode per-Ayat

Maksud dari metode per-ayat adalah dengan cara; murid membaca satu
ayat al-Qur’an sampai dua atau tiga kali. Sama dengan metode per-halaman,
namun berbeda dalam jumlah halaman Al-Qur’an yang akan dihafal. Metode per-

19
http://griyaquran.org/tips-menghafal-alquran/metode-menghafalkan-al-quran
20
Salman bin Umar al-Sunaidi, Metode Warisan Nabi Mengikat Makna al-Qur’an, (Klaten:
Ines Media, 2010), hal. 13
21
http://repository.uinsu.ac.id/1231/1/Tesis%20EKA%20PRISTIAWAN.pdf. Lihat juga catatan
kaki no. 13. Eka Pristiawan, Pelaksanaan Pembelajaran Tahfizul Qur’an Di Sdit Nurul ‘Ilmi Medan Estate
Kabupaten Deli Serdang, Skripsi, tidak diterbitkan. Lihat
http://repository.uinsu.ac.id/1231/1/Tesis%20EKA%20PRISTIAWAN.pdfL
22

ayat jauh lebih sedikit dibandingkan dengan metode per-halaman. Metode ini juga
menuntut murid untuk membaca terlebih dahulu ayat-ayat al-Qur’an yang akan
dihafal hingga kemudian menutup Al-Qur’an dan membacakannya tanpa melihat
al-Qur’an.

Dapat disimpulkan, metode pembelajaran menghafal al-Qur’an, seorang


guru harus mampu menggunakan metode tertentu agar pesan atau materi yang
disampaikan kepada murid-muridnya sesuai yang diharapkan. Langkah-langkah
sebelum memulai hafalan22 di antaranya:

1. Mengikhlaskan Niat.
2. Mengenali karakteristik akal manusia.
3. Menentukan tujuan.
4. Mencari motivasi yang paling kuat untuk menghafal al-Qur’an.
5. Mengatur waktu.
6. Memilih tempat yang paling tepat untuk menghafal.
7. Mengambil nafas dalam-dalam.
8. Meningkatkan konsentrasi.
9. Mengulang-ulang hafalan.
10. Rutin menghafal.
11. Memperhatikan faktor lain yang dapat membantu murid dalam menghafal al-
Qur’an.

22
http://digilib.uinsby.ac.id/2221/5/Bab%202.pdf. Lihat juga: https://farih261.wordpress.com/
Lihat juga; https://farih261.wordpress.com/ Lihat juga: http://seniormentoring. blogspot. Com /2004/07/
keutamaan-al-quran-dalam-menjaga.html
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif dan komparatif. Menurut Sugiyono, penelitian desktiptif adalah penelitian
yang dilakukan untuk mengetahui keberadaan variabel mandiri, baik satu variabel atau
lebih, tanpa membuat perbandingan atau mancari hubungan variabel satu sama lain.23
Dalam penelitian ini, penelitian deskriptif bertujuan untuk mengetahui bagaimana
metode pembelajaran tahfidz Qur’an di Indonesia, Iran, Turki, dan Arab Saudi, serta
untuk mengetahui kelebihan atau keunggulan dari masing-masing negara dalam
menerapkan metode pembelajaran tahfidz Qur’an.
Sedangkan penelitian komparatif adalah penelitian yang membandingkan
keadaan satu variabel atau lebih pada dua atau lebih sampel yang berbeda, atau dua
waktu yang berbeda.24 Penelitian komparatif merupakan penelitian yang bersifat
membandingkan. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan persamaan dan
perbedaan dua atau lebih fakta-fakta dan sifat-sifat objek yang di teliti berdasarkan
kerangka pemikiran tertentu. Penerapan penelitian komparatif pada penelitian ini
digunakan untuk mengetahui perbandingan metode pembelajaran tahfidz Qur’an
antara Indonesia, Iran, Turki, dan Arab Saudi.

B. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan
ini, menurut Bogdan dan Taylor, digunakan untuk menghasilkan data-data deskriptif
berupa kata-kata atau kalimat, baik yang bersifat lisan maupun tertulis, dari orang-orang
atau pelaku yang diamati.25 Sementara Furchan mendefinisikan penelitian kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, baik lisan, tulisan,
ataupun perilaku orang (subyek) yang diamati.26

23
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Afabeta, 2014), h. 2.
24
Sugiyono, Metode Penelitian…, h. 54.
25
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 4.
26
Arief Furchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif (Surabaya: Usaha Nasional, 1992), h.
21.

23
24

Penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini didasarkan pada


pertimbangan: pertama, metode kualitatif dianggap lebih mudah jika berhadapan
dengan kenyataan ganda,27 yaitu dengan memilah-milahnya sesuai dengan fokus
penelitian; kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara
peneliti dan responden.
Dengan demikian, peneliti bisa mengenal lebih dekat dan menjalin hubungan
yang baik dengan subyek dan mempelajari sesuatu yang belum diketahui, serta
mempermudah dalam menyajikan data deskriptif; ketiga, metode ini lebih peka dan
lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan
terhadap pola-pola nilai yang dihadapi, sehingga peneliti dapat memahami keadaan
subyek dan senantiasa berhati-hati dalam menggali informasi subyek tanpa merasa
terbebani.
Jadi, penelitian kualitatif ini mengutamakan hubungan secara langsung antara
peneliti dengan informan/subyek yang diteliti, di mana peneliti itu sendiri merupakan
alat pengumpul data utama.28

C. Jenis Penelitian
Dilihat dari aspek tempat penelitian, penelitian ini termasuk jenis penelitian
lapangan (field research), di mana peneliti secara langsung terjun ke lapangan dalam
rangka mencari dan mendapatkan data-data yang akurat, cermat dan lebih lengkap.
Namun jika ditinjau dari aspek kemampuan atau kemungkinan suatu penelitian dapat
memberikan informasi atau penjelasan, maka penelitian ini termasuk jenis penelitian
deskriptif. Dalam hal ini, menurut Sumanto, penelitian deskriptif merupakan penelitian
untuk mengambarkan dan menginterpretasikan kondisi atau hubungan yang ada,
pendapat yang sedang tumbuh, proses yang sedang berlangsung, akibat yang sedang
terjadi, ataupun kecenderungan yang telah berkembang.29
Dalam konteks ini penelitian deskriptif atau penelitian lapangan ini akan
diarahkan pada studi kasus pembelajaran metode tahfidz Qur’an di empat negara, yaitu
di Indonesia, Iran, Turki, dan Arab Saudi.

27
Lexy J. Moleong, Metodologi..., hal. 5
28
Ibid., h.4
29
Asrof Syafi’I, Metodologi Penelitian Pendidikan (Surabaya: EIKAF, 2005), hal. 21
25

D. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di empat negara berbeda, yaitu Indonesia, Iran, Turki,
dan Arab Saudi. Penentuan keempat negara tersebut tentunya didasari oleh beberapa
pertimbangan ilmiah. Indonesia, misalnya, merupakan tempat peneliti mengembangkan
keilmuan yang sudah otomatis menjadi dasar peneliti menjadikannya sebagai tempat
penelitian. Selain sebagai negeri Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki ribuan
pesantren tahfidz, baik formal maupun nonformal, yang tersebar di seluruh nusantara.
Kenyataan ini tentu mendorong peneliti untuk meneliti dan berkepentingan ikut
mengembangkan pola dan sistem pembelajaran tahfidz Qur’an agar bisa sejajar dengan
lembaga-lembaga tahfidz luar negeri yang memiliki sistem pembelajaran yang baik dan
diakui dunia Islam.
Kegiatan penelitian ke Iran didasarkan pada fenomena para penghafal cilik yang
mampu menyedot perhatian dunia Islam. Itulah sebabnya Iran dijadikan salah satu
lokasi penelitian untuk menemukan data dan informasi yang diinginkan oleh peneliti.
Adapun lembaga yang nantinya akan dituju dalam penelitian ini adalah: 1. Kampus
Imam Khomeini, Qom-Iran. Kampus ini dipilih mewakili lembaga formal terbesar di
Qom-Iran. Mahasiswa kampus ini dianjurkan tahfidz al-Qur’an; 2. Jami’atul Qur’an,
Qom-Iran. Lembaga non-formal ini merupakan lembaga tahfidz yang mempunyai
metode menghafalkan al-Qur’an berikut maknanya.
Adapun penentuan Turki sebagai objek sekaligus tempat penelitian berikutnya
didasarkan pada pertimbangan bahwa negara tersebut merupakan negara yang memiliki
pengaruh yang cukup kuat di Indonesia melalui beberapa yayasan pendidikan Qur’an
yang mulai menyebar di beberapa wilayah di Indonesia. Lembaga-lembaga yang
dijadikan objek penelitian selama kunjungan ke Turki adalah: 1. Lembaga UICCI
Sulaimaniyah. Lembaga ini dipilih karena telah berhasil menyebarkan metodenya ke
Indonesia. Materi yang difokuskan bukan sekedar tahfidz Al-Qur’an, tetapi juga
kedisiplinan 2. Yayasan Said Nursi. Yayasan ini juga memiliki cabang di Indonesia
yang dikenal dengan sebutan Nursi Center Research. Yayasan ini juga memiliki
kegiatan pendidikan tahfidz Qur’an yang berhasil mencetak para hafidz.
Terakhir, peneliti akan melakukan penelitian ke Arab Saudi, khususnya ke
lembaga pendidikan Islam Shaulatiyah. Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan
Islam pertama di Makkah yang dibangun secara mandiri oleh individu/perorangan.
26

Meski lembaga ini secara formal tidak mengkhususkan kelas tahfidz Qur’an 30 juz,
namun para pengajar di sana rata-rata telah hafal al-Qur’an 30 juz dan memiliki sanad
yang bersambung kepada Rasulullah Saw. Mereka juga membuka halaqah-halaqah di
rumah atau di pojok-pojok masjid untuk mengajarkan tahfidz Qur’an kepada anak-anak
di sekitar masjid atau tempat tinggalnya. Tradisi ini sudah berlangsung lama dan
menghasilkan banyak generasi muslim yang hafal al-Qur’an dari berbagai penjuru
dunia. Meskipun tidak bersifat formal dan dikelola secara sederhana, namun metode
pembelajarannya sangat efektif dan bisa dicerna oleh para murid sehingga mereka
mampu menghafal al-Qur’an 30 juz dalam waktu yang relatif cepat.

E. Keberadaan Peneliti
Sebagai observer atau pengamat, peneliti berperan serta dalam aktivitas atau
kegiatan subyeknya pada setiap situasi yang diinginkan untuk dapat dipahami.30 Peneliti
sebagai bagian dari instrumen penelitian dan pengumpul data berusaha berada di lokasi
penelitian. Dalam hal ini, kehadiran peneliti di lokasi penelitian di masing-masing
lembaga atau pesantren tahfidz di Indonesia, Iran, Turki, dan Arab Saudi, berlangsung
selama 3 (tiga) bulan, diawali dari pesantren tahfidz Qur’an di Indonesia selama lebih
dari 2 (dua) bulan, dan dilanjutkan ke lembaga atau pesantren tahfidz Qur’an di luar
negeri selama 17 hari.

F. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian bisa diartikan dengan subyek yang bisa digali
untuk memperoleh data yang diinginkan.31 Adapun sumber data utama dalam penelitian
kualitatif adalah kata-kata, tindakan, dokumen, dan lain-lain.32 Sementara karakteristik
dari data pendukung yang bersifat tambahan penelitian ini dapat berbentuk surat-surat,
daftar hadir, data statistik ataupun segala bentuk dokumentasi yang berhubungan fokus
penelitian.33
Dalam penelitian kulitatif ini, sumber data yang akan digali mencakup 3 (tiga)
unsur, yaitu:

30
Lexy J, Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif…, hal. 146
31
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian:Suatu Pendekatan Praktik…, h. 172.
32
Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif..., h. 157.
33
Ahmad Tanzeh, Metode Penelitian Praktis…, h. 58.
27

1. Manusia
Manusia atau person adalah sumber data yang bisa memberikan data berupa
jawaban lisan melalui wawancara atau jawaban tertulis melalui angket.34
Ucapan Pengasuh, guru, ketua yayasan, santri tahfidz dan pihak-pihak yang
terkait dalam penelitian ini yang penulis amati dan wawancarai menjadi sumber
data utama yang dituangkan melalui catatan tertulis.
2. Place
Tempat atau kediaman merupakan sumber data yang menyajikan fakta
berupa keadaan diam dan bergerak.35 Data yang berupa kondisi fisik lembaga
atau pesantren dan aktifitas yang dilakukan sehari-hari oleh seluruh komunitas
yang ada di lembaga tersebut akan menjadi sumber data pendukung yang
diwujudkan melalui gambar (foto) dan rekaman video.
3. Tulisan atau lembaran tertulis
Tulisan (paper) merupakan sumber data yang menyajikan tanda-tanda
berupa huruf, angka, gambar, atau simbol-simbol lain.36 Sumber data ini
diperoleh dari buku-buku, dokumen, arsip, dan lain sebagainya.
Data yang penulis kumpulkan dari berbagai lembaga tahfidz Qur’an di
empat negara, yaitu Indonesia, Iran, Turki, dan Arab Saudi, merupakan data
yang berhubungan dengan fokus penelitian ini. Dari segi sifatnya, data yang
dikumpulkan adalah data kualitatif berupa kata-kata atau bahasa tertulis,
perkataan subyek yang diubah dalam narasi (bahasa tulis), dan fenomena
perilaku subyek yang diabstraksikan dalam tulisan. Dengan demikian, unsur
yang dijadikan sumber data penelitian ini adalah subjek yang terdiri dari
pimpinan lembaga, para guru, santri, serta dokumen yang berhubungan dengan
lembaga.

G. Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data adalah prosedur memperoleh data yang diperlukan secara
sistematis dan berstandar. Pengumpulan data merupakan langkah yang sangat penting
dalam metode ilmiah. Hal ini mengingat data yang dikumpulkan pada umumnya akan

34
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian..., h. 172.
35
Ibid., hal. 172.
36
Ibid.
28

digunakan untuk menguji hipotesis atau kerangka pikir yang sudah dirumuskan. Jadi,
data yang dikumpulkan dan digunakan haruslah valid.37
Karena itu, pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan beberapa teknik, yaitu:
1. Wawancara Mendalam
Wawancara ini dilakukan dengan melibatkan satu orang atau lebih guna
memperoleh informasi dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan
berdasarkan tujuan tertentu. Metode ini bertujuan memperoleh bentuk-bentuk
tertentu informasi dari semua responden. Tentunya hal ini dilakukan dengan
susunan kata dan retorika yang disesuaikan dengan karakter masing-masing.38
Dengan kata lain, peneliti akan melakukan wawancara yang bebas tanpa
menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan
lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang disusun hanya
berupa gambaran umum permasalahan yang akan ditanyakan.39 Wawancara ini
bisa jadi dilakukan secara intensif, bahkan berulang-ulang. Pada penelitian
kualitatif, wawancara mendalam menjadi alat utama yang dikombinasikan
dengan observasi partisipan.40 Setelah itu, peneliti akan melakukan pengecekan
(cek dan ricek) melalui pengamatan di lapangan dan membandingkannya dengan
data hasil wawancara mendalam.41
2. Observasi Partisipan
Observasi partisipan adalah kegiatan observasi di mana peneliti turut ambil
bagian atau berada dalam keadaan obyek yang diobservasi. Observasi ini
biasanya digunakan dalam penelitian eksploratif.42 Menurut Ahmad Tanzeh,
observasi partisipan adalah sebuah penelitian yang pengumpulan datanya
dengan metode observasi berpartisipasi dan bukan menguji hipotesis, melainkan
mengembangkan hipotesis. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dikatakan untuk

37
Ahmad Tanzeh, Metode Penelitian Praktis, (Yogyakarta:Teras), h. 83.
38
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya,
2004), h. 180.
39
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung:Alafabeta, 2011), h.
140
40
Burhan Bungin (Ed), Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2001),
h. 157.
41
Ibid., h. 100.
42
Cholid Narbuko dan Abu Ahcmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta:Bumi Aksara 2010), h.
72.
29

mengembangkan teori dan karenanya hanya dapat dilakukan oleh peneliti yang
menguasai macam-macam teori yang telah ada di bidang yang menjadi
perhatiannya.43
Dalam observasi ini, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang
sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Dengan
observasi partisipan ini, maka yang data yang diperoleh akan lebih lengkap,
tajam dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap prilaku yang
nampak.44
Dalam observasi partisipan, peneliti mengamati apa yang dikerjakan orang,
mendengarkan apa yang mereka ucapkan, dan berpartisipasi dalam aktifitas
mereka.45 Misalnya saja, peneliti ikut menguji kemampuan murid dalam
menghafal ayat al-Qur’an melalui kuis atau sejenisnya.
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah kegiatan mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang
berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,
agenda, dan sebagainya.46 Dokumen sebagai pengumpulan data adalah setiap
pernyataan tertulis yang disusun oleh seseorang atau lembaga untuk keperluan
pengujian suatu peristiwa atau menyajikan akunting. Dalam penerapan metode
dokumen ini, biasanya peneliti menyusun instrumen dokumentasi dengan
menggunakan check list terhadap beberapa variabel yang akan
didokumentasikan.47
Sumber dokumen yang ada pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu dokumentasi resmi, termasuk keputusan, surat instruksi, dan surat
bukti kegiatan yang dikeluarkan oleh kantor atau organisasi yang bersangkutan
dan sumber dokumentasi tidak resmi yang mungkin berupa surat nota, surat
pribadi yang memberikan informasi kuat terhadap suatu kejadian. Selain itu,
dalam penelitian pendidikan, dikumentasi yang ada juga dapat dibedakan
menjadi dokumen primer, sekunder, dan tersier yang mempunyai nilai keaslian
atau otentisitas berbeda-beda. Dokumen primer biasanya mempunyai nilai dan

43
Ahmad Tanzeh, Pengantar Metode Penelitian,...h. 61.
44
Sugiono, Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif Dan R&D…, h. 145
45
Ibid., h. 227.
46
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Studi Pendekatan ,... h. 206.
47
Ahmad Tanzeh, Pengantar Metode Penelitian…, h. 66.
30

bobot lebih jika dibanding dokumen sekunder. Sebaliknya dokumen sekunder


juga mempunyai nilai dan bobot lebih jika dibandingkan dengan dokumen
tersier, dan seterusnya. Dalam hal ini, peneliti berupaya memanfaatkan kedua
sumber dokumentasi tersebut secara intensif, agar mereka dapat memperoleh
informasi secara maksimal, yang dapat menggambarkan subjek atau objek yang
diteliti dengan benar.

H. Validasi Data
Validasi data merupakan konsep penting yang diperbaharui dari konsep
kesahihan (validitas) dan keandalan (realitas). Sesuai dengan karakteristik penelitian
kualitatif, ada kriteria atau standar yang harus dipenuhi guna menjamin keabsahan data
hasil penelitian kualitatif. Untuk menetapkan keabsahan data tersebut diperlukan teknik
validasi data. Pelaksanaan tehnik validasi data didasarkan pada teknik triangulasi.
Teknik triangulasi ini merupakan kegiatan pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data itu.48 Triangulasi merupakan cara terbaik untuk
menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang ada dalam konteks
suatu studi saat mengumpulkan data tentang berbagai kejadian dan hubungan dari
berbagai sudut pandang.
Dengan teknik triangulasi, peneliti dapat mengecek hasil temuannya dengan
jalan membandingkannya dengan berbagai sumber, metode ataupun teori.49 Triangulasi
dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber
dengan berbagai cara dan waktu. Jadi, setidaknya terdapat 4 (empat) macam triangulasi
dalam penelitian ini, yaitu triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data,
triangulasi waktu, dan triangulasi peneliti.
1. Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber dilakukan untuk menguji kredibilitas data dengan cara
mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber.
2. Triangulasi Teknik

48
Ahmad Tanzeh, Pengantar Metode Penelitian…, h. 7.
49
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif…, h. 332.
31

Triangulasi teknik digunakan untuk menguji kredibilitas data dengan cara


mengecek data pada sumber yang sama, tetapi dengan teknik yang berbeda.
3. Triangulasi Waktu
Triangulasi waktu juga digunakan untuk menguji kredibilitas data. Teknik ini
digunakan dengan cara melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi
atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda.50
4. Triangulasi Sejawat (peneliti)
Pemeriksaan sejawat atau sesama peneliti juga penting dilakukan untuk menguji
keakuratan data. Teknik ini digunakan dengan cara mengekspos hasil penelitian
sementara atau hasil akhir yang diperoleh melalui diskusi analisis bersama tim
peneliti atau rekan-rekan peneliti.51

I. Analisis Data
Analisis data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala upaya yang
dilakukan dengan cara bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-
memilahnya menjadi satuan yang dikelola, mensistesiskannya, mencari dan menemukan
pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang
dapat disampaikan kepada orang lain.52
Adapun proses analisis data yang dilakukan mengadopsi dan mengembangkan
pola interaktif yang dikembangkan oleh Milles dan Hierman, yaitu:
1. Reduksi Data
Reduksi data merupakan suatu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan pengabstrakan dan transformasi data mentah yang didapat dari
catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi dimulai pada awal kegiatan
penelitian sampai dilanjutkan selama kegiatan pengumpulan data dilaksanakan.
Peneliti harus membuat ringkasan, menelusuri tema, membuat gugus-gugus, dan
menulis memo.
2. Penyajian Data
Penyajian data merupakan proses penyusunan informasi secara sistematis dalam
rangka memperoleh kesimpulan sehingga temuan penelitian di dalam penelitian

50
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan…, h. 372-374.
51
Lexy J Moleong, Metode Penelitian,...h. 332.
52
Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif…, h. 248.
32

ini data yang didapat berupa kalimat, kata-kata yang berhubungan dengan fokus
penelitian, sehingga sajian merupakan sekumpulan informasi yang tersusun
secara sistematis yang memberikan kemungkinan untuk ditarik kesimpulan.
3. Verifikasi/ Penarikan Kesimpulan
Pada saat kegiatan analisis data yang berlangsung secara terus-menerus selesai
dikerjakan, baik yang berlangsung di lapangan maupun setelah selesai di
lapangan, langkah selanjutnya adalah melakukan penarikan kesimpulan. Untuk
mengarahkan pada hasil kesimpulan ini tentunya berdasarkan dari hasil analisa
data, baik yang berasal dari catatan lapangan observasi, interview maupun
dokumentasi. Jadi analisis data itu melibatkan pengorganisasian data dan
pemilihan data menjadi satuan-satuan tertentu.
BAB IV
MODEL PEMBELAJARAN TAHFIDZ AL-QUR’AN
DI INDONESIA, TURKI, IRAN, DAN ARAB SAUDI

A. Pembelajaran Tahfidz Al-Qur’an di Indonesia


Pada penelitian lembaga-lembaga tahfidz Qur’an di Indonesia, terdapat 3
lembaga tahfidz terkemuka yang dijadikan objek dan sampel dalam penelitian ini.
Ketiga Lembaga tersebut adalah Ponpes Al-Munawwir Krapyak Jogjakarta, Pondok
Tahfidz Yanbu’ul Qur’an Kudus, Pesantren Al-Falah Cicalengka Bandung, dan
Pesantren Hamalatul Qur’an (PPHQ) Jombang Jawa Timur.

1. Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Bantul Yogyakarta


a. Profil
Pesantren Krapyak didirikan oleh KH. M. Munawwir pada tahun 1909-
1910, ada yang mengatakan tepatnya pada tanggal 15 Nopember 1910 M,53
setelah ia kembali dari belajar di Makkah dan Madinah selama 21 tahun. Mula-
mula KH. M. Munawwir menetap di Kauman, Yogyakarta, di rumah orang
tuanya yang bernama KH. Abdullah Rasyad salah seorang abdi ndalem Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat di bidang spiritual.54
Kurang lebih satu tahun ia membuka pengajian kitab –khususnya al-
Qur’an– di rumah orang tuanya yang kecil itu. Pengajian al-Qur’an menjadi
konsentrasi sesuai dengan disiplin ilmu KH. M. Munawwir yang selama
bertahun-tahun di tanah suci mendalami ulum al-Qur’an. Namun demikian tidak
berarti ia meninggalkan kitab-kitab lain. Akan tetapi, al-Qur’an-lah yang
menjadi ciri khas pendidikan di pesantren ini di awal berdirinya.55
Di tanah kelahiran, Kauman Yogyakarta (sekarang Gondomanan), M.
Munawwir menyelenggarakan majelis pengajian al-Qur’an yang bertempat di

53
Saidin Ernas, Bias Politik Pesantren, h. 77. Atau lihat Data tentang sejarah, Perkembangan
dan Manajemen Pendidikan di Pesantren Al-Munawwir Krapyak, diolah dari Buku Sejarah dan
Perkembangan Pondok Pesantren Almunawwir Krapyak Yogyakarta (Penerbit; Pengurus Pusat Pondok
Pesantren Almunawwir Krapyak Yogyakarta, Cet. Kedua, 2001).
54
Ifhtul Emka, “Sejarah Awal Perkembangan Ponpes Krapyak Yogyakarta, diakses pada tanggal
2 Juni 2018 dari ” http://emka.web.id/ke-nu-an/2012/sejarah-awal-perkembangan-ponpes-krapyak-
yogyakarta/
55
“Sejarah Pondok Pesantren Al-Munawwir” http://www.almunawwir.com/sejarah/

33
34

langgar/surau kecil miliknya. Pengajian yang diasuh M. Munawwir banyak


didatangi dan diikuti masyarakat Kauman dan sekitarnya. Usaha M. Munawwir
ternyata mendapat sambutan yang baik dari kaum muslimin, sehingga pengajian
yang diasuhnya berkembang pesat. Selain itu, rupanya apa yang dilakukan M.
Munawwir menjadi daya tarik tersendiri bagi seorang Kiai besar dari Gedongan
Cirebon yang bernama KH. Sa’id, pengasuh Pondok Pesantren Gedongan
Cirebon.
KH. Sa’id berpendapat, bahwa ada seorang pemuda bernama M.
Munawwir dari Yogyakarta yang bermukim di Mekkah. Ia sangat mahir di
bidang tahfidz (penghafalan) al-Qur’an dan cabang-cabangnya. Oleh karena itu,
KH. Sa’id selalu berusaha menitip salam beserta hadiah sekadarnya untuk M.
Munawwi setiap kali ada santrinya yang menunaikan ibadah haji ke tanah suci
Mekkah. Begitu sebaliknya, M. Munawwir selalu menyampaikan salam kembali
untuk KH. Sa’id meskipun belum dikenal. Dari mula mengirim salam antar
keduanya, kunjungan (sowan) pertama kali yang dilakukan KH. Munawwir
sepulang dari tanah suci adalah kepada KH. Sa’id. Dengan kunjungan ini, KH.
Sa’id menyambut dengan penuh kehormatan. Dalam kurun waktu yang tidak
terlalu lama, KH. Sa’id melakukan kunjungan belasan ke Kauman Yogyakarta.
Dalam pertemuan tersebut, banyak hal yang dibicarakan di antara
keduanya, yang saat itu M. Munawwir menghadapi problem sempitnya tempat
pengajiannya. Lalu KH. Sa’id memberi saran kepada M. Munawwir agar
mengembangkan ilmunya di tempat yang lebih luas daripada di kampung
Kauman, yakni mencari tempat di luar beteng Kraton, di samping itu, menurut
KH. Sa’id, lingkungan Kauman kurang cocok untuk berdirinya Pesantren,
apalagi Kauman yang sempit dan tidak memadai sarana fisiknya. 56 Dari
keterangan tersebut, inilah menjadi cikal bakal berdirinya pesantren Krapyak.
M. Munawwir menerima dan mempertimbangkan saran-saran KH. Sa’id.
Akhirnya, M. Munawwir memilih tempat di luar komplek Keraton, yang juga
dimanfaatkan untuk membangun pesantren. Tempat itu adalah dusun Krapyak,
kawasan yang ditumbuhi pepohonan lebat, ½ kilo meter di selatan Plengkung
Gading (pintu gerbang masuk Kraton Yogyakarta). Tanah Krapyak ini adalah

56
Deny Hudaeny Ahmad Arifin, KH. M. Munawwir Krapyak (1870-1941), h. 26-27.
35

milik Bapak Jopanggung (penjaga gedung panggung, yang oleh masyarakat


sering disebut kandang menjangan). Konon, M. Munawwir membeli tanah
tersebut dari uang amal yang berasal dari Haji Ali dari Graksan Cirebon atas
saran KH. Sa’id.
Pada akhir tahun 1909 M, M. Munawwir mulai merintis beridirinya
pondok pesantren yang kemudian dikenal dengan pondok pesantren Krapyak
Yogyakarta. Tahap awal berupa rumah kediaman dan langgar yang bersambung
dengan kamar santri, serta sebagian komplek pesantren. Kemudian pada tahun
1910 pesantren ini mulai ditempati oleh santri yang hendak mempelajari al-
Qur’an dan ia sendiri sebagai pengasuhnya. Namun demikian, sebelum benar-
benar pindah ke Krapyak, terlebih dahulu ia bertempat tinggal di Gading dalam
waktu sementara, dalam rangka membantu kakaknya, KH. Mudzakkir, mengajar
pengajian al-Qur’an dan Ilmu Syariah.57
Kemudian pada perkembangan selanjutnya Pondok Pesantren Al-
Munawwir tidak hanya mengkhususkan pendidikannya dalam bidang al-Qur’an
saja, melainkan merambat ke bidang ilmu yang lain, khususnya kitab-kitab
kuning, yang kemudian disusul dengan penerapan sistem madrasah (klasikal)
yang melahirkan lembaga-lembaga pendidikan, di antaranya: Madrasah
Salafiyah, Al-Ma’had al-‘Aly, Madrasah Diniyah, Madrasah Huffadh (1 dan 2),
dan Majlis Ta’lim dan Majlis Masyayikh.58
Dalam khidmahnya, KH. M. Munawwir berhasil membentuk kader bagi
ahli-ahli al-Qur’an di berbagai daerah. Mereka antara lain, KH. Umar
Magkuyudan (Solo), KH. Arwani Amin (Kudus), KH. Umar (Cirebon), KH.
Muntaha (Wonosobo), KH. Murtadlo (Cirebon), KH. Yusuf Agus (Indramayu),
KH. Aminuddin (Bumiayu), KH. Zuhdi (Kertosono), KH. Abu Amar (Kroya,)
KH. Hasan Tholabi (Kulonprogo), KH. Dimyathi (Bumiayu), KH. Fathoni
(Brebes), KH. Basyir (Kauman Yogyakarta), dan sebagainya. Setelah pulang
dari Krapyak, umumnya mereka mendirikan pesantren tahfidhul Qur’an dan
menjadi ahli-ahli dalam bidang ulum al-Qur’an.

57
Deny Hudaeny Ahmad Arifin, KH. M. Munawwir Krapyak (1870-1941), h. 27.
58
“Sejarah Pondok Pesantren Al-Munawwir” http://www.almunawwir.com/sejarah/
36

Pada masa pendudukan Jepang, seperti halnya pesantren lain pada


umumnya, pesantren Krapyak mengalami cobaan sangat berat, hampir gulung
tikar, karena selama 2 tahun santrinya pulang kampung akibat politik Jepang
yang menyebabkan bangsa Indonesia mengalami “susah sandhang, susah
pangan” (susah pakaian dan susah makan). Apalagi pesantren Krapyak juga
masih berkabung dengan wafatnya KH. M. Munawwir, pada hari Jum’at, 11
Jumadil Akhir 1361H (1942 M) sementara putra-putri almarhum masih terlalu
muda untuk diberi tanggung jawab mengelola pesantren. Akhirnya pihak
keluarga memutuskan untuk memboyong KH. Ali Maksum (menantu KH. M.
Munawwir yang dinikahkan dengan Nyai Hasyimah) dari pesantren Al-Hidayat
Lasem yang sedang dibenahi karena juga menghadapi problem akibat politik
Jepang.
Setelah tiga kali diminta keluarga Krapyak, meskipun dengan berat hati
KH. Ali Maksum menerima ajakan itu. Demikian juga KH. Ma’shum (ayahanda
KH. Ali) dan semua keluarga Lasem akhirnya merelakan KH. Ali untuk
diboyong ke Krapyak Yogyakarta. Di Krapyak, KH. Ali Maksum langsung
mengambil langkah strategis, yaitu menyiapkan sumber daya manusia (SDM)
yang berkualitas sebagai upaya mencetak kader, sebelum mencetak santri-santri
lainnya. Langkah yang dimaksud yakni memprioritaskan para putra dan cucu
serta menantu almarhum KH. M. Munawwir.59 Ada yang mengatakan bahwa
langkah yang ditempuh Kiai Ali adalah menutup pesantren untuk sementara
waktu untuk memfokuskan diri pada kaderisasi.60
Mereka adalah Abdul Qadir, Mufid Mas’ud, Nawawi Abd. Aziz, Dalhar,
Zainal Abidin, Abdullah Affandi, Ahmad dan Warson. Beberapa orang tetangga
yang diikutkan adalah Wardan Joned (Kauman), Zuhdi Dahlan dan Abdul
Hamid. Selama 2 tahun (1943-1944), KH. Ali menggembleng mereka secara
marathon hingga akhirnya mereka menjadi para kiai yang secara bersama-sama
membesarkan pesantren Krapyak. Beriringan dengan itu, pesantren Krapyak

59
Ifhtul Emka, “Sejarah Awal Perkembangan Ponpes Krapyak Yogyakarta, diakses pada tanggal
2 Juni 2018 dari ” http://emka.web.id/ke-nu-an/2012/sejarah-awal-perkembangan-ponpes-krapyak-
yogyakarta/
60
Mustolehudin dan Siti Muawanah, “Pemikiran Pendidikan K. H. Ali Maksum Krapyak
Yogyakarta”, EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, 16 (1), 2018, h. 26.
37

dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren Al-Munawwir, diambilkan dari nama


Alm. KH. M. Munawwir.
Sepeninggal KH. Ali Maksum, pesantren Krapyak mengalami
perkembangan luar biasa, (hingga tulisan ini dibuat) aset pesantren “Al-
Munawwir” dipimpin oleh putra-putra KH. M. Munawwir seperti KH. Zainal
Abidin Munawwir, KH. A. Warson Munawwir, dan cucu-cucu KH. M.
Munawwir. Sedang aset pesantren yang merupakan pengembangan oleh KH. Ali
Maksum dikelola dalam Yayasan Ali Maksum dengan sesepuhnya KH. Atabik
Ali, dibantu para putera yang lain dan cucu dari KH. Ali Maksum.61
Saat ini Pesantren Al-Munawwir dipimpin oleh KH. Zainal Abdidin
Munawwir, salah seorang putra KH. M. Munawwir yang merintis Pesantren ini.
Setelah 100 tahun berkiprah dalam pengajaran keagamaan, saat ini Pesantren Al-
Munawwir telah berkembang pesat. Berbagai bangunan baru terus di bangun.
Sementara tepat di jantung pesantren berdiri sebuah Masjid yang megah dan
menjadi pusat kegiatan pesantren dan warga masyarakat sekitar. Seiring dengan
perkembangan zaman dan proses perubahan sosial, Yayasan Pesantren Al-
Munawwir telah mengembangkan berbagai lembaga pendidikan, termasuk
pendidikan umum seperti SMK Teknik Mekanika serta unit kegiatan lainnya.
Namun pesantren ini tetap setia pada ciri khas yang telah dibangun
pendahulunya yaitu sebagai pesantren Salafy yang mengembangkan ilmu-ilmu
al-Qur’an.62

b. Metode Pembelajaran
Sebelum menjelaskan metode pembelajaran tahfidz al-Qur’an di Pondok
Pesantren al-Munawwir Krapyak, terlebih dahulu perlu diketahui metode
penghafalan al-Qur’an dari pribadi KH Muhammad Munawwir sewaktu masih
tinggal di Mekkah. Tim penelitian kemenag telah menulis bahwa ada tiga
tahapan yang dirumuskan oleh KH. Munawwir.

61
Ifhtul Emka, “Sejarah Awal Perkembangan Ponpes Krapyak Yogyakarta, diakses pada tanggal
2 Juni 2018 dari ” http://emka.web.id/ke-nu-an/2012/sejarah-awal-perkembangan-ponpes-krapyak-
yogyakarta/
62
Saidin Ernas, Bias Politik Pesantren, h. 78.
38

Sewaktu muda, KH M. Munawwir memiliki metode tersendiri untuk


menjaga halafal al-Qur’an, yaitu: 1) Pada tiga tahun pertama, ia mengkhatamkan
sekali Al-Qur’an selama tujuh hari tujuh malam; 2) Tiga tahun selanjutnya, ia
mengkhatamkan Al-Qur’an dalam waktu tiga hari tiga malam; 3) Tiga tahun
terakhir, ia hanya butuh waktu sehari semalam untuk mengkhatamkan al-
Qur’an.63
Mengingat kemampuan santri yang berbeda-beda, riyadhah (latihan diri)
yang telah dilakukan oleh KH. M. Munawwir ini tidak serta merta diterapkan di
Pondok Pesantren Krapyak. Secara garis besar, ada dua jenis pembelajaran
tahfidz pengajian al-Qur’an di Pondok Pesantren Krapyak, yaitu: 1). Bi al-
nadzar, yaitu santri membaca al-Qur’an di depan gurunya dengan membuka
mushaf al-Qur’an; 2). Bi al-ghaib, yaitu santri membaca al-Qur’an di depan
gurunya dengan cara hafalan, tanpa melihat atau membuka mushaf al-Qur’an.
Kedua jenis tersebut disyaratkan oleh KH. M. Munawwir untuk talaqqi
musyafahah. Talaqqi berarti pertemuan guru dan murid dalam satu majelis.
Sedangkan musyafahah artinya guru dapat mengamati cara gerak lisan murid,
demikian murid juga dapat dilihat lisan guru. Semua santri pada saat itu secara
langsung mengaji al-Qur’an di depan KH. M. Munawwir baik yang kelompok bi
al-nadzar ataupun yang bi al-ghaib.

2. Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an Kudus


a. Profil
Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an (PTYQ Dewasa) merupakan salah satu
lembaga pendidikan non formal di bawah naungan Yayasan Arwaniyah.
Lembaga pendidikan yang berupa pesantren salaf ini menitiktekankan pada
pengajaran al-Qur’an, yaitu meliputi tahsin (pembenaran bacaan), tahfidh
(hafalan) dan qirā’āt sab’ah. PTYQ dewasa atau yang biasa disebut PTYQ
pusat, terletak kurang lebih 1,5 km dari pusat kota Kudus dan tidak jauh dari

63
Kementerian Agama RI, Para Penjaga Al-Qur’an (Jakarta: Lajnah Pentashihan Al-Qur’an,
2011), Cet. Pertama, h. 24.
39

kompleks makam Sunan Kudus. Tepatnya berlokasi di Jl. KH.M. Arwani,


kelurahan kajeksan, Kudus.64
Selain dikenal dengan sebutan Kota Kretek, Kudus juga dikenal sebagai
Kota Religius atau lebih medasar lagi dikenal dengan sebutan Kota Santri.
Pasalnya, banyak di antara santri yang menuntut ilmu di kota yang kharismatik
yang menjadi panutan masyarakat sekitar Kudus. Di antara sekian banyak ulama
di kota Kudus banyak ulama di kota Kudus yang menjadi tauladan bagi
masyarakat adalah al-Maghfurlah KH. M. Arwani Amin.
Cikal bakal pesantren ini berawal dari pengajian yang diampu oleh KH.
M. Arwani Amin yang telah dimulai sejak tahun 1942 di Masjid Kenepan. Ia
kembali ke Kudus untuk mengajarakan al-Qur’an di Masjid tersebut sebagai
amanat gurunya. Di Masjid ini, ia menerima para santri yang ingin belajar al-
Qur’an baik bi al-nadhar maupun bi al-ghaib. Pengajian ini sempat terhenti
pada rentang waktu antara tahun 1947-1957 disebabkan kesibukannya menuntut
ilmu Thariqah di Pesantren Popongan, Solo. Setelah tahun 1957 pengajian itu
pun kembali berlanjut. Pada tahun 1962, KH. M. Arwani menempati sebuah
rumah baru di kelurahan Kajeksan, maka tempat pengajian pun turut
dipindahkan tak jauh dari rumahnya yang baru yaitu di masjid Busyro Latif.
Seiring berjalannya waktu, pengajian al-Qur’an semakin berkembang pesat.
Melihat kenyataan ini, KH. Muhammad Arwani berinisiatif mendirikan sebuah
tempat bagi mereka, namun keterbatasan dana dan lahan menjadi salah satu
faktor hal tersebut. Doa dan ikhtiar tak henti-hentinya selalu ia panjatkan agar
diberi jalan kemudahan dan kelancaran dalam niat sucinya.65
Sekitar tahun 1969 Muhammad Arwani beserta istrinya Naqiyul Khod
berniat melaksanakan ibadah haji ke tanah suci, biaya telah disiapkan dari hasil
tabungan yang dikumpulkannya. Menjelang pembayaran ongkos naik haji
(ONH) tanpa diduga sebelumnya, seorang pengusaha dan pemilik rokok merek
“Djambue Bol” H. Ma‘ruf memberikan hadiah uang kepadanya untuk biaya
ONH bersama istrinya. Dengan demikian, uang pribadi yang sedari awal telah

64
Rozikin, “Pondok Tahfidh Yanbu’ul Qur’an Kudus, Cetak Santri Salaf Penghafal Al-Qur’an”,
diakses pada tanggal 2 Juni 2018 dari http://www.ppmaswaja.org/index.php/2017/02/22/pondok-tahfidh-
yanbuul-quran-kudus-cetak-santri-salaf-penghafal-al-quran/
65
Urwah, “Metodologi Pengajaran Qirā’āt Sab‘ah Studi Observasi di Pondok Pesantren
Yanbu‘ul Qur'an dan Dar Al-Qur'an”, Ṣuḥuf, Vol. 5, No. 2, 2012, h. 150.
40

disiapkan untuk ONH dibelikan rumah dan sebidang tanah di sekitarnya.


Kemudian sepulang naik haji ia membangun pesantren hingga tahun 1973.66
Seiring berjalannya waktu, santri yang belajar kepadanya semakin
bertambah. Ia pun berniat untuk mendirikan sebuah pesantren untuk
menampung para santri agar mereka bisa lebih mudah dalam belajar. Akhirnya
pada tahun 1973 didirikanlah sebuah pesantren al-Qur’an yang diberi nama
“Yanbu’ul Qur’an”.67 Nama Yanbu’ul Qur’an yang berarti mata air (sumber) al-
Qur’an dipilih oleh KH. M. Arwani sendiri yang dipetik dari QS. al-Isrā’ [17]:
90. Dengan nama tersebut diharapkan PTYQ bisa benar-benar menjadi sumber
ilmu al-Qur’an.68
Paling tidak ada empat tujuan pokok didirikannya PTYQ saat itu;
Pertama, menyediakan pemukiman bagi para santri yang ingin belajar dan
menghafal al-Qur’an. Kedua, memudahkan kontrol kepada para santri dan
memperlancar keberlangsungan proses belajar mengajar. Ketiga, menjaga
kemurnian al-Qur’an. Keempat, turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pada tanggal 1 Oktober 1994 KH. M. Arwani berpulang ke rahmatullah.
Sepeninggal KH. M. Arwani, pengelolaan pesantren dilanjutkan oleh putra-
putranya, KH. M. Ulin Nuha Arwani dan KH. M. Ulil Albab Arwani, serta
seorang murid kesayangannya yaitu KH. Muhammad Mansur Maskan
(alhamarhum).69
Pada penelitian Urwah yang berlangsung pada Maret 2011 disebutkan
bahwa tidak ada data tentang jumlah alumni yang telah menghatamkan al-
Qur’an kepada KH. Muhammad Arwani. Sedangkan untuk pembelajaran qirā’āt
sab‘ah tercatat tidak lebih dari tiga puluh alumni yang sampai khatam.70

b. Metode Pembelajaran
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa Pondok Pesantren Yanbu’
Kudus yang dipimpin oleh KH. Arwani adalah murid terbaik dari KH.

66
Urwah, Metodologi Pengajaran Qirā’āt Sab‘ah, h. 151.
67
Urwah, Metodologi Pengajaran Qirā’āt Sab‘ah, h. 150.
68
Urwah, Metodologi Pengajaran Qirā’āt Sab‘ah, h. 151.
69
PTYQ Putra, “Profil dan Sejarah Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an”, diakses pada tanggal 2
Juni dari http://ptyqputra.arwaniyyah.com/profil-dan-sejarah-pondok-tahfidh-yanbuul-quran/
70
Urwah, Metodologi Pengajaran Qirā’āt Sab‘ah, h. 151.
41

Munawwir krapyak. Adanya hubungan guru dengan murid yang sangat kuat ini
menjadikan metodologi pembelajaran tahfidz al-Qur’an di Yanbu’ Kudus bisa
dikatakan sama persis dengan Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak yaitu
adanya pembagian kelompok bi al-Nadzar dan bi al-Ghoib dan adanya
persyaratan bagi yang khatam bi al-Nadzar disamping sudah khatam setor
membaca mushaf al-Qur’an mulai juz satu sampai juz tiga puluh ditambah juga
menghafalkan juz ‘amma dan tujuh surah pilihan. Jika ini sudah terpenuhi
semua, maka santri tersebut diizinkan untuk mengikuti wisuda khataman al-
Qur’an bi al-nadzar dan masuk ke kelas bi al-Ghoib. Proses setoran bi al-Ghaib
juga sama dengan Krapyak minimal satu hari satu halaman maksimal tidak
dibatasai kemudian sampai akhir ada ujian membaca tiga puluh juz. Demikian
yang bisa dijelaskan terkait metode pembalajaran menghafal al-Qur’an di
Yanbu’ Kudus.

3. Pondok Pesantren Al-Qur’an Al-Falah Cicalengka Bandung


a. Profil
Pondok Pesantren Al-Qur’an Al-Falah Cicalengka Bandung sudah
berdiri sejak tahun 1970, dan sampai sekarang pesantren ini sudah berumur 48
tahun pada bulan Mei 2018 lalu. Pendiri (muassis) Pesantren Al-Falah adalah
KH. Q. Ahmad Syahid, Ph.D bin KH. Sholeh. Kemudian yang menjadi dasar
atau latar belakang berdirinya pesantren ini berawal dari beliau saat
mendapatkan kejuaraan MTQ tingkat Nasional pertama pada tahun 1968 di
Makassar. Selain itu, karena dari basic keilmuan al-Qur’an yang ia kuasai dan
keilmuan lain yang mendukung, pada akhirnya saat kepulangan beliau bertekad
mendirikan pesantren ini.
Bermula beliau menampung para murid pada tahun 1969 sampai 1970, di
kediamannya dekat pasar Cicalengka yang waktu itu masih kontrak rumah. Pada
tahun 1970 di sini baru didirikan pesantren yang cukup sederhana. Santri yang
pertama kali datang untuk menimba ilmu di sini adalah KH. Abdullah Maqih
yang sekarang sebagai pengasuh Pesantren Salafiyah di Sukabumi, dan beberapa
santri-santri lain yang kira-kira berjumlah 10 orang, laki-laki dan perempuan.
Mulai dari sana pesantren ini mulai berkembang pesat, dan menginjak 10 tahun
yang tepatnya pada tahun 1980 pesantren ini memang berbentuk salaf seperti
42

pesantren-pesantren lain. Pada tahun 1980, justru dimulai mendidirikan sebuah


lembaga Perguruan Tinggi yang dikemukakan keilmuannya adalah al-Qur’an,
yang disebut dengan Pondok Pesantren Akademi Ilmu Al-Qur’an (AIQ).
Kemudian pada tahun 1983 mendirikan Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs). Dan dari sanalah santri-santri yang ngaji di pesantren ini di
samping memang ada yang mesantren salaf dan ada juga yang sambil sekolah,
dan yang tidak sekolah disebut santri takhashshus mendalami ilmu al-Qur’an
dan keilmuan lainnya yang berkaitan dengan ulum al-Qur’an.71
Secara resmi, Pondok Pesantren Al-Qur’an Al-Falah Cicalengka
Bandung merupakan Lembaga Pendidikan Agama Islam berada di bawah badan
hukum Yayasan Asy-Syahidiyyah. Yayasan yang didirikan atas prakarsa KH. Q.
Ahmad Syahid pada tahun 1983 dengan akta tanggal 28 Maret 1983 No. 20 di Jl.
Kapten Sangun No. 6 Tenjolaya Nagreg Cicalengka Bandung Jawa Barat. Visi
pondok pesantren ini adalah menjadikan Pondok Pesantren Al-Qur’an Al-Falah
sebagai pondok pesantren terdepan dalam mencetak calon ulama dalam kajian
ulum al-Qur’an.72
Seiring dengan perjalanan waktu, terutama setelah lawatan pendiri ke
Negeri Thailand masih pada tahun 1971 dalam rangka muhibah tilawat al-
Qur’an, jumlah santri yang ingin berguru semakin bertambah, sehingga tempat
pemondokan pun tidak mampu lagi menampung mereka. Oleh karena itu, para
santri pada waktu itu sempat dititipkan sementara di pabrik tekstil yang belum
beroperasi. Berkat kegigihan beliau dan kerjasama dengan semua lapisan
masyarakat maka Pondok Pesantren Al-Qur’an Al-Falah, dalam tiga dasawarsa
telah menjadi lembaga yang besar dan dikenal oleh banyak kalangan, karena
peranannya dalam kehidupan masyarakat.73
Memang sejak berdirinya pesantren ini, bagi santri yang mendalami
hafalan al-Qur’an langsung mendapat perhatian khusus dari pengasuhnya.

71
Wawancara dengan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Qur’an Al-Falah Bandung dengan KH.
Cecep Abdullah Syahid, M.Pd.I (Putra dari KH. Q. Ahmad Syahid) pada tanggal 20 September 2018 di
kediamannya
72
Aam Abdussalam, dkk., “Program Pembelajaran Tilawah Al-Qur’an pada Pondok Pesantren
Al-Qur’an Al-Falah Cicalengka Bandung (Studi Deskriptif tentang Program Pembelajaran Tilawah Al-
Qur’an Tahun 2015), Artikel Program Studi Ilmu Pendidikan Agama Islam Fak. Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia, h. 6.
73
http://pondok.pesantrenku.com/listing/al-quran-al-falah-bandung/
43

Sampai saat ini, agar lulusan dari pesantren ini tidak terputus sanadnya –bagi
yang menghafal al-Qur’an– maka santri tersebut disarankan oleh pengasuhnya
untuk tetap melanjutkan hafalannya supaya memperoleh sambung sanad dari
pesantren Krapyak, Kudus dan Kiai Abu dari Gedongan Cirebon. Oleh karena
itu, supaya pengajaran tahfidz al-Qur’an tetap berlangsung, saat itu pengasuhnya
mengambil seorang menantu yang hafidz al-Qur’an bernama H. Ahmad Farizi
dari Jakarta yang sanadnya sambung, alumni Pondok Pesantren Ilmu Al-Qur’an
(PPIQ) Ciomas Bogor yang diasuh oleh KH. MA Murtadlo.
Saat KH. Q. Ahmad Syahid menjuarai MTQ Nasional di Makassar, hal
ini menjadi modal utama dan motivasi untuk membangkitkan masyarakat agar
cinta terhadap al-Qur’an. Karena saat itu sistem pengajaran al-Qur’an di sini
adalah fokus di tilawah, karena ada seni tilawatil Qur’an itu akhirnya sangat
mudah diminati oleh masyarakat.

b. Metode Pembelajaran
Sebagaimana dijelaskan bahwa pesantren Al-Falah pada awalnya adalah
pesantren yang konsentrasinya pada tilawah atau nagham. Munculnya materi
tahfidz al-Qur’an pada tahun-tahun kemudian. Oleh karena itu, santri-santri yang
mengkhususkan pada tahfidz al-Qur’an dan keilmuwan keislaman dikategorikan
sebagai santri takhossush. Metode pembelajaran bagi santri khusus
(takhashshush) tidak sama dengan santri reguler yang semuanya mengikuti
kegiatan sekolah formal. Santri tahfidz ini memperoleh perhatian khusus dari
pengasuh pondok pesantren al-Falah, Kyai Syahid. Sehingga ia sendiri yang
menyimak setoran hafalannya.
Model setorannya bi al-nadhar dan bi al-ghaib sebagaimana di
Krapyak.74 Di sini dimulai dari juz 30, dan surat-surat pendek lain yang penting,
dan kemudian baru berlanjut dari juz pertama. Untuk bi al-nadhar, diupayakan
bagi santri yang baru masuk, pembelajaran dasar yakni tahfidz al-ulum
diutamakan dengan penguatan pengenalan makharij al-huruf, sifat-sifatnya dan
hukum-hukum bacaan, kira-kira selama 2 bulan. Bi al-nadhar di sini ada

74
Pengertian bi al-nazhar dan bi al-ghaib telah diuraikan dalam penjelasan Pondok Pesantren
Krapyak
44

beberapa tingkatan; pertama, mushaf al-mu’alla dan mushaf al-murattal. Dari


mushaf al-murattal baru bisa bercabang untuk melanjutkan ke tahfidz,
pendalaman qira’at al-‘asyrah atau semuanya digabung dalam mushaf al-
mujawwad.75 Mushaf al-mu’alla bagi santri-santri yang belum lancar dalam
membaca al-Qur’an, atau masih dituntun, yang ditekankan pada makharij al-
huruf, sifat-sifat huruf, dan hukum-hukum bacaan.
Pada tahap bi al-Nazhar, santri diwajibkan menguasai materi ilmu tajwid,
antara lain materi makhraj al-Huruf, sifat al-Huruf dan hukum-hukum bacaan.
Kyai Cecep Abdullah mengistilahkan dengan tahfidz al-Huruf atau cara
pengucapan huruf. Menurutnya, santri baru yang notabene tingkat
kemampuannya beragam harus ditekan dan diwajibkan sampai benar-benar
menguasainya lebih kurang selama dua bulan. Inilah yang disebut dengan
tahapan atau peringkat mushaf mu’alla atau tahapan pembacaan mushaf
kelompok pemula. Usaha keras dan kesabaran para pengajar di tahap pemula
sangat diperlukan, karena murid atau santri masih belum lancar, banyak
kesalahan dalam melafalkan ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian, target utama
peringkat ini adalah kelancaran dan ketepatan pembacaan al-Qur’an tanpa
mempertimbangkan irama membacanya.
Materi selanjutnya adalah hafalan. Hafalan yang pertama adalah juz
‘amma (juz 30) diteruskan dengan tujuh surah pilihan yaitu surah yasin, al-
Waqi’ah, al-Rahman, al-Sajdah, al-Kahfi, al-Dukhan, al-Insan. Artinya, sebelum
santri masuk kelas tahfidz tiga puluh juz, ia sudah memiliki hafalan juz tiga
puluh dan tujuh surah pilihan. Hal ini sekaligus sebagai upaya latihan hafalan
sebelum memulai juz satu dan seterusnya sampai juz dua puluh sembilan.
Argumentasi ayat dan surah-surah pilihan tersebut sama persis dengan Pondok
Pesantren Krapyak yang dijadikan sebagai rujukan utama tahfidz di Indonesia.
Santri yang telah lulus pada tingkat pemula akan direkomendasikan
untuk peringkat berikutnya yaitu mushaf murattal. Pada tingkat ini penekanan
utamanya adalah pembacaan mushaf secara murottal. Bila peringkat sebelumnya
target utamanya adalah kelancaran dan ketepatan penerapan kaidah tajwid dalam

75
Pembelajaran mujawwad di Pesantren Al-Falah disamakan seperti tahsin, dengan melengkapi
bacaan al-Qur’an atau ilmu qari’ (maqam, bayati, hijaz, saba’, rast, jiharkah, sikah, dan nahawand).
45

membaca al-Qur’an, pada tingkat ini penekanannya pada seni melagukan ayat-
ayat al-Qur’an. Setiap santri akan diajari irama-irama membaca ayat al-Qur’an
sebagaimana yang diperdengarkan pembacaan murottal di beberapa CD. Karena
menurut pengasuhnya, melalui seni baca al-Qur’an dapat lebih mudah menarik
perhatian masyarakat.
Santri yang telah lulus pada peringkat kedua ini akan direkomendasikan
untuk memilih tingkat berikutnya yaitu pertama tahfidz, kedua Qiro’ah asyrah,
dan ketiga mujawwad atau memilih ketiganya. Bagi yang memilih tahfidz,
hafalan dimulai dari juz satu karena telah memiliki hafalan juz ‘amma dan tujuh
surah pilihan dilanjutkan sampai juz dua puluh sembilan. Sedangkan bagi yang
memilih Qiro’ah ‘Asyrah materi pembelajarannya antara lain adalah Nafi’, Ibn
Katsir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amir, ‘Ashim, Hamzah, al-Kisa’i, Ya’qub, Khalaf, Abu
Ja’far. Bagi yang memilih mujawwad akan ditekankan pada pembelajaran
memperbagus bacaan yang dilengkapi dengan ilmu nagham yaitu Bayati, Hijaz,
Saba’, Rast, Jiharkah, Sikah dah Nahawan.
Sebagai ilustrasi, metode tahfidz di Pondok Pesantren Al-Falah Bandung
dapat dilihat dalam gambar berikut:

Santri Baru

Kelas A
Bi Al-Nazhar

Tingkat I Tingkat II
Mu’alla Murattal
Materi: Materi:
Makhraj al- Penguatan
Huruf, Sifat, Kelas B salah satu
Bacaan tajwid, (memilih salah irama dalam

Kelas B.1 Kelas B. Kelas B. Kelas B.


Bi al- 2 3 4
Ghaib/Ta Qira’ah Mujawwa Gabunga
hfidz 30 ‘Asyrah d n dari

4. Pesantren Hamalatul Qur’an (PPHQ) Jombang Jawa Timur


a. Profil
46

Pesantren PPHQ dengan menempati lahan seluas 1.185 m2 berlokasi di


dusun Sumber Bendo, Desa Jogoroto, Kabupaten Jombang. Posisi mapnya di
jalan perlintasan jalur antara makam Gus Dur ke arah Surabaya. Tepatnya di
jalan Raya Jogoroto no.11 Jogoroto, sekitar 10 km dari pusat kota Jombang ke
arah Barat laut. Pesantren ini berada di antara pesantren besar dan telah dikenal
masyarakat luas, misalnya pesantren Darul Ulum Peterongan, Pesantren
Tebuireng, Pesantren Tambak Beras, dan Pesantren Denanyar. Tidak jauh dari
PPHQ juga terdapat pesantren tahfidz al-Qur’an, misalnya: pesantren Safinatul
Huda, Diwek, pesantren Super Camp La Roiba Hanifida, Bandung, Diwek, dan
pesantren Nurul Qur’an dan pesantren al-Itqan, di Bandung Rejo.76
Menurut penuturan KH. Ainul Yaqin, SQ77, di rumahnya, ”Pesantren
PPHQ didirikan di atas lahan milik PPHQ, yang pada jaman dulu digunakan
sebagai sarana berkumpulnya para sesepuh di sekitar desa Jogoroto dan dukuh
Bandung untuk merapatkan barisan mendukung perjuangan mengusir penjajah
dan berkonsolidasi dalam rangka syiar agama Islam, tepatnya di musholla
“Baitul Muttaqin” kompleks PPHQ. Musholla tersebut pada saat itu ramai
didatangi para santri yang berkeinginan mengaji, meskipun belum terdapat
fasilitas listrik yang memadai seperti sekarang ini”.
Kyai Nurul Yaqin bercerita, “Sebagai lembaga yang berkategori usia
muda (7 tahun), PPHQ Mojoroto, Jombang termasuk salah satu lembaga tahfidh
yang berkembang cukup signifikan. Perkembangan tersebut bisa dilihat dari 3
(tiga) segi, yaitu kuantitas, kualitas, dan fasilitas. Dalam perkembangannya,
sempat terjadi kekosongan aktifitas mengaji para santri di musholla tersebut,
namun saat ini musholla tersebut kembali menjadi ramai untuk kegiatan mengaji
dan bertepatan dengan berdirinya PPHQ pada tanggal 02 Juli 2011, musholla
tersebut difungsikan sebagai pusat kegiatan tahfidzul qur’an di PPHQ hingga
sekarang”.78
Kyai Ainul Yakin menambahkan, “Atas persetujuan keluarga pengasuh
dan dukungan dari masyarakat serta restu dari para sesepuh qurra’ kabupaten

76
Ainul Yaqin, Diktat, Penguatan Oreintasi dan Potret Visi menuju PJC, hal. 1. Tidak
diterbitkan.
77
Wawancara dengan beliau, pada hari Rabu-Kamis, 19-20 September 2018 jam 10.00-12.00 di
kediaman beliau didampingi anak dan menantu, serta Ustadz Imron Rosaydi.
47

Jombang, PPHQ berdiri di bawah naungan Yayasan Ulul Albab, Surabaya,


namun dalam kondisi yang sangat terbatas, baik dari segi fasilitas maupun yang
lainnya. Meski demikian, dari sisi kualitas, PPHQ tidak mau ketinggalan dengan
pesantren yang memang sudah mapan dan kondusif. Dengan sekuat tenaga,
seluruh civitas akademika PPHQ (pengasuh, pengurus, dan yayasan) berusaha
untuk membawa PPHQ ke arah yang lebih baik. Keterbatasan fasilitas PPHQ
saat itu bisa dilihat dari asrama santri yang seadanya, yaitu satu unit rumah kecil
peninggalan Bapak Imam, satu kamar mandi dan WC, satu buah gubuk bambu
yang difungsikan untuk kegiatan setoran para santri dan pembinaan fashohah
para huffadz, serta musholla Baitul Muttaqin sebagai tempat kegiatan sholat
berjamaah, muroqobah ba’da Dhuhur dan Ashar, dan sholat tahajjud
berjama'ah”.79
Pondok Pesantren Hamalatul Qur’an, Jogoroto, Jombang didirikan KH.
Ainul Yaqin, untuk memberi solusi bagi generasi yang berpotensi untuk
menghafal al-Qur’an. Dengan menggunakan metode tahfidh cepat, para santri
didesain untuk bisa menghafal al-Qur’an dalam waktu kurang dari satu tahun.
Dengan adanya metode ini diharapkan para santri bisa menempuh jenjang
tahfidh dengan waktu tempuh yang tidak terlalu lama, sehingga bisa segera
melanjutkan studi ke jenjang berikutnya, seperti meneruskan studi di Perguruan
Tinggi, konsentrasi pendalaman kitab salaf, penguasaan bahasa asing,
pengabdian masyarakat, dll.
Dengan berpedoman pada prinsip yang dipegang Pendiri Madrasat al-
Qur’an, Tebuireng (Hadlrotus Syaikh KH. Muhammad Hasyim ‘Asy’ari dan
KH. Yusuf Masyhar), pesantren Hamalatul Qur’an menjalankan prinsip dasar
pengembangan tahfidh ul-Qur’an, di antaranya adalah pembinaan fashohah
secara intensif sehingga para huffadh tidak hanya mampu menghafal al-Qur’an
30 juz dengan lancar, tetapi juga dibekali dengan bacaan yang haqqu al-tilawah
sesuai dengan standar qira’ah muwahhadah versi Madrasatul Qur’an,
Tebuireng.80

79
Wawancara dengan Kyai Ainul Yaqin, pada hari Rabu, 19 September 2018 jam 09.00-1200 di
kediaman beliau didampingi anak dan menantu, serta Ustadz Imron Rosaydi.
80
Ainul Yaqin, Sekilas Renungan PJC (Pesantren Jogorot Collaboration), makalah, tidak
diterbitkan, hal. 1
48

b. Metode Pembelajaran
KH. Ainul Yaqin dalam salah satu seminar81 menjelaskan, pendekatan
yang memudahkan hafalan al-Qur'an yaitu penjiwaan dengan fashohah. Dari
segi lughah, (fashahah) mempunyai makna “vokal atau suara manusia”.
Sedangkan menurut istilah, mengandung makna ucapan yang mudah dan
pendengar memahami. Istilah Jawa yaitu “pantese omong, penake rungon” yang
berarti ketika seorang penghafal mampu menguasai fashohah dengan baik,
ketika mereka melantunkan ayat al-Qur'an, mereka akan mengucapkan dengan
mudah dan enak didengarkan. Sekaligus membuat seorang penghafal mudah
untuk menghafal82. Dulu yang mengajarkan Kyai Manan, katanya, "Salah satu
nilai plus dari menjiwai fashohah yang sekaligus mempelajari Tajwid adalah
dapat menyelamatkan diri dari ghuroba’ (sesuatu yang sulit untuk diucapkan).
Al-Qur'an itu nikmat diucapkan, nikmat juga didengarkan. Serta penjelasan lain
yang salah satunya, ahkamul huruf, konsonan yang mati dan vokal yang mati".
Beliau mengatakan, (Seseorang) tidak harus cerdas dalam menghafalkan al-
Quran, melainkan akan cerdas dengan sendirinya jika menjadi penghafal al-
Qur’an. “Menghafalkan al-Qur’an tidaklah susah, malah mudah,” papar beliau.
Beliau juga menjelaskan bahwa di PP. Hamalatul Qur’an menggunakan
model habituasi (pembiasaan)83 sebagai salah satu cara cepat hafal al-Qur'an.
Habituasi di PPHQ ini maksudnya, pembuatan sarana dan budaya satu macam
tujuan, satu macam konsumsi telinga secara alamiah dan ilmiah.
Adapaun habituasi yang diterapkan pada PPHQ tersebut adalah setiap
satu minggu sekali, para santri sudah khatam al-Qur'an. Satu hari dibagi menjadi
5 juz secara istiqomah dan santri masih tetap bersekolah di pagi dan siang
harinya.

81
Tebuireng.online-Seminar Al-Qu’ran oleh BEM FAI Unhasy pada Minggu (9/12/18)
mengusung tema “Metode Menghafal Al-Qur’an Serta Cara EfektifMenjaganya” dengan pembicara KH.
Ainul Yaqin (Pengasuh PP Hamalatul Qur’andi Jogoroto ) dan KH Abdullah Afif, M.HI (Pengasuh PP.
Nurul Jadid dan Direktur PSQ FAI Unhasy).
82
https://tebuireng.online/cara-efektif-menjaga-dan-menghafal-al-quran/
83
Ainul Yaqin, Habituasi Sebagai Salah satu Cara Cepat Hafal Al-Qur’an di PPHQ Jogoroto,
makalah, tidak diterbitkna, hal. 1.
49

Di PP. Hamalatul Qur’an juga menerapkan metode Disiplin Edukasi84


dengan slogan, “Moco Njogoroto” yang menurut beliau tidak diterapkan di
pondok lain yang berbasis menghafal. Di dalam metode tersebut ada 3 tahap,
yaitu: moco (membaca), njogo (menjaga), dan roto (sama rata).
Selanjutnya KH. Ainul Yaqin mengatakan, “Tahfidh ul-Qur’an disertai
dengan pengetahuan (lain) yang berlaku sepanjang zaman. Dengan
mengesampingkan hal sia-sia sementara, lekas selesai program tahfidh
kemudian tathbiq (mengaplikasikan) ke ilmu berikutnya. Maka Allah Swt. akan
mengangkat derajat utul ‘ilm (pemilik ilmu). Mulia di sisi Allah Swt. dan mulia
di sisi manusia sesama,”. Adapun metode menghafal al-Qur'an di PPHQ dengan
mengunakan istilah disiplin edukasi yang telah disederhanakan menjadi konsep
Moco Jogoroto85, rinciannya sebagai berikut:
1). Moco (membaca), yaitu:
a) Membaca yang berarti melihat, memahami, dan menindak lanjuti;
b) Membaca-menyuarakan tulisan sebagai lambang bunyi al-Qur’an
dengan menirukan bacaan dari guru yang bersambung silsilahnya
sampai Rasullllah saw;
c) Membaca situasi alam dengan upaya bagaimana program tahfidh
menjadi unggul;
d) Membaca peluang output didikan agar ke depan para hafidh menjadi
dominan pemegang peran di negeri yang didirikan para kyai dengan
nama Republik Indonesia.
2) Njogo (menjaga), yaitu:
a) Membaca al-Qur'an dengan hafalan yang diatur kaedah baca Ilmu
Tajwid, Sharaf, Nahwu, Balaghah, Usul Fiqih, dan ilmu Tafsir.
b) Menjaga niat yang ada kemauan sampai kepada tujuan. Jangan terbuai
dengan godaan yang menyesatkan
c) Konsisten (istiqamah) shalat berjama’ah dan shalat Tahajjud dengan
menggunakan maqro’ ½ juz dan kkhatam pada setiap dua bulan sekali.

84
Ainul Yaqin, Habituasi Sebagai Salah satu Cara Cepat Hafal Al-Qur’an di PPHQ Jogoroto,
makalah, tidak diterbitkna, hal. 3.
85
Wawancara dengan KH. Ainul Yaqin, SQ, pada hari Kamis, 20 September 2018. Lihat juga,
Makalah KH. Ainul Yaqin, SQ berjudul, "Habituasi Sebagai Salah satu Cara Cepat Hafal al-Qur'an di
PPHQ, Jogoroto (tidak diterbitkan), hal. 3.
50

d) Menjaga istiqomah untuk berkesinambungan setor kepada guru dengan


bacaan qiro’ah Muwahhadah.

3) Roto (merata), yaitu: 86


a) Pemerataan bacaan al-Qur’an yang meliputi: Ta’dil al-harakat, ta’yin nun
sukun, dan tahqiq al-tasydid; Daur-tasalsal, khatam berulang-ulang dan
tidak pilih-pilih. Tidak membaca hanya yang disuka dengan selalu
membacanya. Sedangkan yang tidak disuka dibiarkan; Setoran hafalan
kepada guru merata pada semua tingkatan.
b) Pemerataan sosial, yaitu mengirim santri ke pesantren mitra dengan
ketentuan sebagai berikut: Punishment, agar tercipta nuansa baru agar
berhasil menjadi hamil al-Qur'an (penghafal al-Qur'an); Reward, untuk
belajar pendalaman ilmu yang dibutuhkan sebagai langkah untuk
pengembangan syiar al-Qur'an; Prakarsa berdirinya pesantren baru
menggunakan model yang sama dengan PPHQ meskipun beda nama.
Selanjutnya Kyai Ainul Yakin87 menjelaskan, bahwa tahapan dan
langkah menghafal yang digunakan di pondok Pesantren Hamalatul Qur’an
adalah sebagai berikut:
1). Membaca dengan cara NaBiTeBu (Nafas, Bidik, Teliti, dan Bunyi), yaitu:
mengambil nafas dengan melepas semua ewuh-pekewuh (rasa tidak enak
hati); Membidik tulisan yang akan dihafal dengan konsentrasi; Meneliti
semua tanda yang ada bentuk tulisan dan tempat maqra’; Setelah ketiganya
(Nafas, Bidik, Teliti) sudah fix, barulah diucapkan dengan fashih ala Syaikh
al-Mishriyyah Mahmud Khalil al-Khashari.
2). Mengulang-ulang beberapa kali dengan kehalusan bacaan yang bisa tercipta
reflek dengan ukuran tahqiq. Memperhalus pengucapan kalimat al-Qur’an
ketika perpindahan huruf satu keberikutnya dengan tepat makhraj dan
sifatnya.

86
Ibid..
87
Wawancara dengan KH. Ainul Yaqin, SQ, pada hari Rabo, 19 September 2018. Lihat juga
makalah beliau berjudul, "Habituasi Sebagai Salah satu Cara Cepat Hafal al-Qur'an di PPHQ, Jogoroto
(tidak diterbitkan), hal. 3.
51

3). Sumber pendengaran atau konsumsi telinga satu panutan dan satu contoh
model bacaan Syaikh Mahmud Khalil al-Khashari yang berulang setiap
waktu. Sehingga, tanpa sadar bibir terucap bacaan al-Qur’an.

B. Lembaga Tahfidz di Iran


1. Profil
Obyek penelitian di Iran ada 3 lembaga yang terkait langsung dengan
pembelajaran tahfidz al-Qur’an yaitu:
a. Dar Al-Qur’an Lil Haram Sayyidah Ma’shumah
Dar al-Qur’an adalah sebuah lembaga yang berada di tanah Haram
Sayyidah Ma’shumah. Kaum Syi’ah menyebut sebagai tanah Haram karena di
situ terdapat Makam Sayyidah Ma’shumah. Sayyidah Ma’shumah sebuah
julukan Ma’shumah artinya perempuan yang disucikan karena ia adalah putri
dari Imam ‘Alī Riḍā. Imam ‘Alī Riḍā merupakan salah satu dari 12 imam
Syi’ah. Sebagaimana layaknya makam seseorang yang sangat dimuliakan, maka
tanah Haram Sayyidah Ma’shumah inipun sangat ramai dikunjungi para ziarah
kaum Syi’i, untuk mendapatkan keberkahan Sayyidah Ma’shumah ini pula
didirikannya sebuah lembaga tahfidz yang disebut dengan Dar Al-Qur’an lil
Haram Sayyidah Ma’shumah. Dari tahun ke tahun semakin meningkat peserta
didiknya, mulai dari usia SD (6 tahun) sampai SMA (18-19 tahun). Demikian
penjelasan dari Sayyid Aḥmad Musyrīf sebagai Atase Kebudayaan Haram
Sayyidah Ma’shumah.
b. Jami’at Al-Qur’an wa Ahl al-Bait
Lembaga ini dipimpin oleh Sayyid Muhammad Mahdī Ṭabāṭabā’ī.
Didirikannya lembaga ini sekitar tahun 2003 Sayyid Muḥammad Mahdī
Ṭabāṭabā’ī telah berhasil mendidik putra kandungnya yang bernama Sayyid
Muḥammad Ḥusein Ṭabāṭabā’ī untuk menghafalkan al-Qur’an beserta makna,
pengertian mufradat-mufradatnya dalam waktu 1 setengah tahun pada waktu
anaknya masih berusia 5 tahun sudah menyelesaikannya. Jadi pembelajarannya
kira-kira selama 2 tahun yang dimulai pada umur 3 tahun. Menurut M. Mahdī
Ṭabāṭabā’ī, ketika anak kecil sudah mulai bisa berbicara maka itu sudah dapat
diberi materi penghafalan al-Qur’an.
52

Keberhasilan dari Sayyid Muḥammad Ḥusein Ṭabāṭabā’ī yang kemudian


memperoleh gelar Doktor dari beberapa negara yang telah lulus dari ujian dari
beberapa Syekh di sebagian negara Timur Tengah. Keberhasilan ini membuat
masyarakat Iran berinisiatif membawa anak-anaknya untuk belajar seperti itu
kepada Sayyid Muhammad Mahdī Ṭabāṭabā’ī. Atas dasar permintaan sebagian
besar masyarakat yang membawa anak-anaknya ke Sayyid Muḥammad Mahdī
Ṭabāṭabā’ī agar diajari metode serupa, sehingga ia mendirikan lembaga Jami’at
Al-Qur’an wa Ahl al-Bait. Lembaga ini sangat bersifat pribadi bukan dari
pemerintah, sehingga perkembangannya pun sangat tergantung dari upaya
penggalangan dana atau pemasukkan dana yang diperoleh dari usaha
pimpinannya yaitu Sayyid Muḥammad Mahdī Ṭabāṭabā’ī, bukan bantuan dari
pemerintah.
c. Universitas Imam Khomeini
Kampus Imam Khomeini merupakan lembaga formal, yakni sebuah
kampus yang di dalamnya juga memberikan wadah untuk penghafalan al-
Qur’an. kampus Imam Khomeini adalah salah satu lembaga pendidikan di
bawah naungan Jami’at al-Mushthafa. Jami’at al-Mushthafa adalah yayasan
besar di Iran yang membawahi beberapa lembaga keislaman di Iran. Kampus
Imam Khomeini memiliki kurang lebih 3000 mahasiswa dari berbagai negara
termasuk Indonesia. Kampus ini memiliki 9 Fakultas antara lain; Fakultas
Ma’arif (pengetahuan Islam) yang konsentrasi kajiannya terdiri dari Hikmat dan
Filsafat, Al-Qur’an, Sejarah, dan Perbandingan Agama.
Luas dari bangunan Kampus Imam Khomeini ini sekitar 3 hektar persegi.
Bangunan Kampus Imam Khomeini memiliki 2 menara; sebelah kiri untuk
masjid dan sebelah kanan untuk perpustakaan. Makna filosofis dari 2 menara ini
adanya gabungan antara spiritualitas dan rasionalitas. Kedua hal inilah yang
ditekuni di kampus ini, yakni peningkatan bidang spriritualitas dan bidang
rasionalitasnya. Rektor atau pimpinan utama dari Kampus Imam Khomeini
adalah Prof. Dr. Syahidi, seorang aktifis MTQ Internasional dan sudah puluhan
tahun ditunjuk sebagai Dewan Juri Internasional dalam bidang Waqaf dan
Ibtida’. Ia juga sahabat dari Prof. Dr. Said Agil Husein Al-Munawar dalam juri
MTQ Internasional.
53

Demikian tiga lembaga yang mengajarkan tahfid al-Qur’an di Iran.


Peneliti tidak mendapatkan secara detail profil bangunan maupun profil dari
masing-masing pimpinan, baik dari penjelasan lisan maupun cetak. Karena
penjelasan dari masing-masing pimpinan lembaga fokus pada metodologi
tahfidz al-Qur’an sehingga kurang luas penjelasannya tentang profil lembaga
dan pimpinan-pimpinannnya.
d. Lembaga Al-Qur’an Virtual
Menghafalkan ayat-ayat al-Qur’an adalah semangat utama yang tumbuh
pada masyarakat Iran secara umumnya, sebagaimana telah dijelaskan oleh
Hujjatul Islam ‘Alī Rabbānī. Semangat kuat inilah tampak di semua lembaga-
lembaga tahfidz al-Qur’an sudah bermunculan di Iran terutama di Kota Qom.
Namun tidak sedikit pula yang mengajukan keberatan untuk hadir setiap
penyetoran hafalan. Satu demi satu kegelisihan inilah yang menjadi landasan
utama munculnya gagasan mendirikan sebuah sistem yang mengakomodir
kebutuhan masyarakat terhadap al-Qur’an.
Setelah gagasan menghafal al-Qur’an melalui telepon ini diterima,
mulailah gerakan berikutnya yaitu sosialisasi. Sosialisasi dimulai dari rumah-
rumah, masjid-masjid kemudian tempat-tempat ibadah lainnya sehingga ini bisa
menyebar ke seluruh masyarakat. Lembaga semacam ini sagat diharapkan oleh
orang-orang yang tidak memiliki waktu menghafal secara hadir/ fisik.
Menanggapi pertanyaan sebagian tim peneliti akan adanya kerjasama perlatihan
kader untuk membuka lembaga-lembaga serupa di Indonesia, pimpinan lembaga
al-Qur’an virtual menjawab kalau seandainya ada tenaga-tenaga Indonesia atau
yang lain yang bisa dikirim di sini kami akan mengajarinya; 1) software, 2)
bagaimana psikologis seseorang mengadakan kontak dengan orang-orang yang
menghafal. Dia tidak harus hafal 30 juz, bisa misalnya 15 juz, 20 juz cukup. Jadi
misalnya ia ingin datang kesini kemudian belajar dengan apa yang telah kami
miliki, kami akan mengajarkan semuanya hanya membutuhkan ruangan dan
komputer kemudian ada orang-orang yang mendaftar dan dari situlah kita bisa
memulai. Kita sama sekali tidak mengambil biaya bagi peserta. Tapi semenjak
biaya sudah mulai membengkak karena peserta melampaui seribuan akhirnya
kita mengambil 50%. Jadi mereka tidak 100% membayar. Beliau mengatakan
54

saya siap datang ke Indonesia atau ada orang yang mau datang ke sini secara
gratis.
Lebih lanjut ia mengatakan, kalau masyarakat Indonesia mau ikut
mendaftarkan maka maksimalnya hanya 20 orang atau 100 orang. Kami akan
membuka cabang khusus di Indonesia. Ia memiliki cita-cita untuk melahirkan 10
juta hafidz al-Qur’an, dan tidak hanya dari Iran. Kalau metode ini diterapkan di
negara lain, maka juga akan bisa seperti Iran. Mereka akan dididik bagaimana
caranya untuk mengajarkan al-Qur’an secara virtual. Misalnya, 2 minggu yang
lalu saya mengajarkan satu kelompok (40 orang) dari irak. Dari kami 5 atau 6
orang mengajarkan kepada mereka bagaimana caranya pengajaran tahfidz
dengan virtual.
2. Metode Pembelajaran
Secara prinsip, metode pembelajaran tahfidz al-Qur’an di Iran tidak jauh
berbeda dengan metode yang diterapkan oleh Lembaga-lembaga lain di negara-
negara muslim, termasuk di Indoneia, yaitu bi al-nadhar dan bi al-ghaib.
Sementara itu, untuk menyetorkan hafalan al-Qur’an, lembaga-lembaga tahfidz
di Iran secara umum menerapkan dua metode, yaitu setoran langsung (talaqqi
musyafahah) dan setoran tidak langsung (talaqqi ghairu musyafahah).
a). Talaqqī Musyāfahah
Inilah syarat utama dalam pembelajaran al-Qur’an. Talaqqī berarti guru
dan murid bertemu dalam satu tempat. Talaqqī ini harus dilengkapi dengan
musyāfahah. Artinya, murid dapat melihat lisan guru, demikian juga guru dapat
melihat lisan murid. Karena masing-masing huruf memiliki tempat keluar
(makhraj) dan sifat yang berbeda-beda setiap guru harus bisa memberi contoh
kepada murid pengucapannya sekaligus mentashih bacaaan murid. Di Iran juga
menekankan dua syarat utama ini. Melalui Talaqqī musyāfahah ini, guru dapat
memberikan beberapa metode menghafal al-Qur’an.
b). Talaqqī tanpa Musyāfahah
Penggunaan Talaqqī tanpa musyāfahah ini adalah solusi terakhir
banyaknya masyarakat Iran ingin menghafal tapi tidak bisa hadir di tempat.
Solusi yang dipilih adalah menghafal melalui telephone. Suara guru didengar
55

oleh murid dan suara murid didengar oleh guru. Saling mendengar ini bisa
dikategorikan Talaqqī tapi tidak bisa saling melihat lisan (musyāfahah).
Adapun metode tahfidz al-Qur’an di Lembaga Al-Qur’an Virtual di Iran
memiliki beberapa tahapan yang harus dilakukan bagi calon peserta didik.
Lembaga Al-Qur’an Virtual ini yaitu: 1). Calon peserta mendaftarkan diri ke
para tutor yang telah disediakan lembaga; 2). Setelah data CV (Curriculum
Vitae) sudah tercatat tutor akan menguji kualitas bacaan al-Qur’an; 3). Bila
bacaan sudah baik, bisa langsung menghafalkan; 4). Setiap hafalan yang
disetorkan melalui telephone dicatat lengkap dengan nilai-nilainya; 5).
Telephone yang digunakan adalah telephone seluler. Pihak lembaga telah
kerjasama dengan pihak perhubungan setempat sehingga total pembayaran
telephone tersebut ditanggung lembaga.
Proses menghafalkan al-Qur’an melalui telephone memperoleh sambutan
yang luar biasa dari masyarakat Iran. Hal ini pengelolaannya yang serius.
Keseriusan ini tampak dari beberapa guru atau tutor yang sangat santun
menerima setoran hafalan melalui telephone. Termasuk juga adanya ujian untuk
mengevaluasi kualitas hafalannya.

C. Lembaga Tahfidz Al-Qur’an di Turki


Ma'had (Ma'had) merupakan sistem pendidikan Islam tertua yang mengajarkan
ilmu-ilmu keagamaan, mengkaji dan menghafal al-Qur'an, mengkaji hadis, fiqih,
sejarah, akhlak, dan sejarah yang eksistensinya teruji dan berlangsung hingga kini,
tersebar di pelbagai negara Islam, termasuk negara Turki. Salah satu ma'had yang
mengajarkan membaca dan menghafal Al-Qur'an di Turki adalah ma'had tahfidz
Sulaimaniyah yang beralamat di Postane Mah. Akar Sokak No. 3 Tuzla/Istanbul, Turki.
Ma'had tahfidz ini di bawah Yayasan Sulaimaniyah yang didirikan Syaikh Sulaiman
Hilmi Tunahan di Turki.

1. Profil
Sejarah ma'had Sulaimaniyah dan Syaikh Sulaiman tidak bisa dilepaskan
dari sejarah masa lalu Turki Usmani sampai Turki menjadi negeri sekuler. Ketika
56

Sultan Muhammad al-Fatih berhasil menaklukan kota Kostantinopel88, Syaikh


Aksamsettin, guru Sultan Muhammad al-Fatih meminta agar Sultan Muhammad al-
Fatih mendatangkan para ulama keturunan Rasulullah shalallaahu ‘alaihi
wassallam ke Kostantinopel yang telah diubah Sultan Muhammad al-Fatih menjadi
Kota Islambol (Pusat Islam)89. Sultan al-Fatih mendatangkan para ulama keturunan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam, di antaranya adalah Syaikh Idris al
Husaini dari Yaman. Karena kecintaan Sultan Muhammad al-Fatih terhadap ahlu al-
bait, Sultan Muhammad al-Fatih menikahkan Sayyid Idris dengan salah seorang
saudara perempuannya. Dari pernikahan ini, akhirnya lahir Syaikh Sulaiman.

Pada saat runtuhnya khilafah Usmaniyah tahun 1924, Kemal Attarturk


berusaha menghapuskan Islam dari Turki. Semua yang berbau Islam dihilangkan,
termasuk Bahasa Osmaniah, bahasa resmi Turki sejak ratusan tahun lalu yang huruf-
hurufnya sama dengan huruf Arab, digantikan dengan huruf Latin. Semua yang
dianggap berbau arab dilarang keras, bahkan siapapun yang menyebut kalimat
"Allah Akbar" langsung dihukum gantung di depan masjid. Perempuan dilarang
memakai jilbab dan pakaian tertutup. Bahkan tentara akan mencabut paksa (jilbab)
perempuan berjilbab di jalan. Adzan dilarang dan pada akhirnya diganti dalam

88
Konstantinopel (bahasa Yunani: Κωνσταντινούπολις Ko̱nstantinoúpolis, bahasa Latin:
Constantinopolis, bahasa Turki Utsmaniyah: ‫قسطنطینیه‬, bahasa Turki: Kostantiniyye atau İstanbul) adalah
ibu kota Kekaisaran Romawi, Kekaisaran Romawi Timur, Kekaisaran Latin, dan Kesultanan Utsmaniyah.
Hampir selama Abad Pertengahan, Konstantinopel merupakan kota terbesar dan termakmur di Eropa.
Lihat, Pounds, Norman John Greville. An Historical Geography of Europe, 1500-1840, hal. 124. CUP
Archive, 1979. ISBN 0-521-22379-2. https://id.wikipedia.org/wiki/Konstantinopel.
89
Istanbul (/ˌɪstænˈbuːl/ atau /ˌiːstɑːnˈbuːl/; bahasa Turki: İstanbul [isˈtanbuɫ], yang dalam sejarah
juga dikenal sebagai Konstantinopel dan Bizantium, adalah kota terpadat di Turki yang menjadi pusat
perekonomian, budaya, dan sejarah negara tersebut. Istanbul merupakan kota lintas benua di Eurasia yang
membentang melintasi Selat Bosporus di antara Laut Marmara dan Laut Hitam. Pusat perdagangan dan
sejarahnya terletak di sisi Eropa, sementara sekitar sepertiga penduduknya tinggal di sisi Asia. Kota ini
merupakan pusat pemerintahan dari Munisipalitas Metropolitan Istanbul (berbatasan dengan Provinsi
Istanbul); keduanya memiliki keseluruhan populasi sekitar 14 juta penduduk. Istanbul merupakan salah
satu kota yang paling padat penduduknya di dunia, menempati peringkat 6 terbesar di dunia menurut
populasi dalam batas kota, dan merupakan kota terbesar di Eropa. Didirikan dengan nama Bizantium
sekitar tahun 660 SM di sebuah tanjung kecil bernama Sarayburnu, kota ini berkembang sehingga
menjadi salah satu kota terpenting dalam sejarah. Setelah pendiriannya kembali dengan nama
Konstantinopel pada tahun 330 M, kota ini berfungsi sebagai ibu kota kekaisaran selama hampir 16 abad,
yaitu selama Kekaisaran Romawi dan Bizantium atau Romawi Timur (330–1204 dan 1261–1453), Latin
(1204–1261), dan Utsmaniyah atau Ottoman (1453–1922). Kota ini berperan penting dalam
perkembangan Kekristenan selama zaman Kekaisaran Romawi dan Bizantium sebelum Utsmaniyah
menaklukkannya pada tahun 1453 dan mengubahnya menjadi kubu pertahanan Islam serta tempat
kedudukan Kesultanan Utsmaniyah. lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Istanbul
57

Bahasa Turki. semua lembaga pendidikan agama Islam ditutup, madrasah


pengajaran al-Quran dilarang keras karena dianggap ke arab-araban.

Turki yang dulunya adalah Pusat Kekuasaan Islam dengan kehidupan yang
sangat islami dan menampilkan nuansa syar’i dalam tata pergaulan, berubah drastis.
Kota Islambol yang berarti pusat Islam diganti dan diplesetkan menjadi Istanbul.
Anak-anak Turki yang dahulunya ahli al-Quran dan ilmu agama, menjadi buta al-
Quran dan ilmu agama, karena tidak ada lagi tempat untuk mempelajarinya.

Saat itulah muncul keprihatinan yang mendalam dari Syaikh Sulaiman.


Beliau segera mengumpulkan 50 orang pemuka agama dari kawan-kawan
belajarnya dulu di Madrasah Otsmaniyah untuk membuat gerakan penyelamatan
Islam di Turki. Namun karena resiko yang sangat besar dan tekanan dari pemerintah
sekuler yang kejam, banyak di antara kawan-kawan syaikh Sulaiman yang memilih
mundur.

Sejak itu, Sayyid Sulaiman mengajarkan Al-Quran dan agama Islam. Bahkan
pembelajaran itu dimulai dari taksi ke taksi tanpa mengenal lelah. Kenapa taksi?
Karena hanya taksilah salah satu tempat di mana beliau bisa bertemu masyarakat
dan aman dari tekanan penguasa sekuler, yang kerap memeriksa dan mengawasi
semua tempat. Usaha ini tidak berjalan lama, karena rezim sekuler mulai mencium
perjuangan dakwah yang dilakukan syaikh Sulaiman. Akhirnya, rezim
memperketat pengawasan taksi di Kota Istanbul. Situasi dakwah di taksi tidak lagi
kondusif, akhirnya Syaikh Sulaiman berpindah dakwah dengan cara menyewa
gerbong kereta api sebagai tempat mendakwahkan Islam dan mengajarkan Al-
Quran. Cara ini pun akhirnya diketahui pihak rezim. Beliau lari ke daerah
pegunungan, bersembunyi di gua-gua terpencil dan kembali mengajarkan Islam dan
Al-Quran. Bahkan syaikh Sulaiman rela membayar upah para petani dua kali lipat
dalam sehari agar waktu bekerjanya di ladang mau diganti untuk belajar agama dan
mengkaji al-Qur'an.

Dalam perjalanan dakwahnya yang mulia ini, berkali-kali Syaikh Sulaiman


harus merasakan pahitnya dikejar-kejar, ditangkap, dan dipenjara. Syaikh Sulaiman
pernah mengalami penganiayaan selama tiga hari di markas besar polisi Istanbul.
58

Tahun 1939 menghadapi tuntutan di depan sidang di pengadilan tinggi Istanbul.


Pada tahun 1944 kembali ditangkap dan disidangkan di Pengadilan Negeri Istanbul.
Beliau kembali dipenjara selama 8 hari. Tahun 1957, ia dikaitkan dengan kasus
‘Mahdi Palsu’ yang terjadi di Masjid Agung di Kota Bursa, menyebabkan kembali
ditangkap bersama menantunya dan kemudian diadili di pengadilan tinggi.
Akhirnya Syaikh Sulaiman dipenjara selama dua bulan. Pada akhirnya syaikh
Sulaiman dibebaskan atas segala tuntutan yang dituduhkan atas dirinya, semuanya
tidak terbukti.

Kebijakan rezim sekuler menjadi salah satu kendala terbesar syaikh


Sulaiman dalam berdakwah dan mengajarkan al-Qur'an. Namun, ia pantang
menyerah. Ia terus bergerilya mencari murid-murid yang mau diajari. Hanya saja,
ambisi dan kemauan keras ini, tidak mendapatkan respon yang baik dari masyarakat
dan calon murid-muridnya. Banyak di antara mereka yang bimbang untuk mengikuti
pembelajaran syaikh Sulaiman karena takut diketahui rezim penguasa. Sulaiman
Hilmi tidak berputus asa, sebaliknya beliau memulai dengan mengajar 2 anak
perempuannya di rumah, supaya mereka mengajar suami dan anaknya masing-
masing.

Upaya mendapatkan murid bagi Sulaiman Hilmi bukanlah hal mudah.


Namun beliau tetap berusaha karena komitmennya yang tinggi terhadap pendidikan.
Bahkan, seandainya ada muridnya yang jatuh sakit, Sulaiman Hilmi akan mengantar
ke dokter, dibayar dengan duit beliau sendiri, agar murid-muridnya terus
bersemangat untuk belajar agama Islam. Beliau adalah seorang guru yang
penyayang. Muridnya datang dari kampung Anatolia, yang umumnya dari kalangan
fakir dan miskin. Setelah didik dengan baik, muridnya pulang ke kampung masing-
masing sebagai da'I dan guru yang memiliki komitmen tinggi untuk mengajarkan
agama Islam dan al-Qur'an kepada masyarakat.

Strategi Sulaiman Hilmi Tunahan dalam mengembangkan pendidikan agama


dan pembelajaran al-Qur'an dalam situasi yang represif dari rezim sekuler, melalui
proses dan tahapan sebagai berikut:
59

Pertama, berpindah dan bertukar tempat untuk pembelajaran. Syaikh


Sulaiman pernah mengajar muridnya di ruangan Muazzin di Masjid Şahzade Paşa
dan pada hari yang berikutnya beliau mengajar di rumah salah seorang muridnya di
ujung kota Istanbul. Kadang-kadang beliau membawa murid-muridnya ke salah satu
sudut ruangan bangunan tua, atau di ruangan bawah tanah bangunan kosong yang
tidak berpenghuni.

Kedua, mengambil upah bertanam. Syaikh Sülaiman Hilmi Tunahan dalam


penyamarannya sebagai guru al-Qur'an pernah bekerja sebagai petani, bercocok
tanam bersama murid-muridnya di ladang. Di waktu siang, mereka memakai
pakaian ala petani dan bercocok tanam. Setelah matahari terbenam, mereka mulai
mengaji dan belajar al-Qur'an dengan sembunyi-sembunyi. Apabila tempat belajar
mereka diketahui polisi, mereka akan membawa al-Qur'an dan kitab-kitab lainnya
berpindah tempat, bahkan kepindahannya sampai di kaki pergunungan di pedalaman
dan tersembunyi, yang penting bisa meneruskan proses pembelajaran al-Qur'an dan
agama Islam.

Ketiga, mengantar kuridnya ke Merata untuk dikader menjadi guru dan juru
dakwah (da'i). Syaikh Sülaiman Hilmi Tunahan senantiasa mendorong murid-
muridnya supaya merantau dan membuka pusat-pusat pengajian al-Quran.

Pada tahun 1949, kerajaan Turki membuka kembali sekolah agama, hasil
tekanan massa umat Islam di Turki. Situasinya makin kondusif setelah Partai
Demokrat mendapat mandat untuk memerintah di Turki pada tahun 1950. Aktifitas
keagamaan kembali aktif dan semarak. Apa yang selama ini menjadi cita-cita dan
impian Sülaiman Hilmi, sekarang terbuka lebar. Beliau bisa mengajar agama Islam
dan al-Qur'an dengan leluasa tanpa ada hambatan dan kecurigaan dari rezim
penguasa. Akhirnya ma'had dan madrasah untuk para murid yang akan belajar dan
menghafal al-Quran secara resmi didirikan Syaikh Sulaiman di Istanbul pada tahun
1952.90

2. Metode Pembelajaran

90
http://tamanulama.blogspot.com/2008/02/suleyman-hilmi-tunahan-ulama-turki-yang.html?m=1
60

Seorang murid calon hafidz hendaknya berakhlak terpuji, perilakunya sesuai


syariat, dan menjauhi sifat-sifat tercela. Al-Qur’an bukan hanya untuk dibaca, tetapi
yang lebih penting untuk dipelajari dan diamalkan isinya. Kondisi semacam ini
dipersyaratkan lembaga tahfidz al-Qur'an di dunia Islam, termasuk ma'had Tahfidz
Sulaimaniyah di Turki.

Trend lembaga tahfidz di dunia Islam dalam proses menghafal Al-Qur’an91


dilakukan melalui pembelajaran guru tahfidz sebagai berikut:

6) Bi al-Nazhar, yaitu membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang akan dihafal dengan cermat
dengan melihat mushaf Al-Qur’an secara berulang-ulang. Proses pembelajaran bi
al-nazhar ini hendaknya dilakukan sebanyak mungkin atau diulang empat puluh satu
kali seperti yang dilakukan ulama terdahulu.
7) Tahfidz, yaitu menghafalkan sedikit demi sedikit ayat-ayat Al-Qur’an yang telah
dibaca berulang-ulang secara bi al-nazhar. Misalnya menghafal satu baris, beberapa
kalimat, atau sepotong ayat pendek sampai tidak terjadi kesalahan.
8) Talaqqi, yaitu seorang murid menyetorkan atau mendengarkan hafalan yang baru
dihafal kepada seorang guru. Guru tersebut harus seorang hafidz Al-Qur’an, yang
sholih dan wara’. Proses talaqqi ini dilakukan untuk mengetahui hasil hafalan murid
calon hafidz dan mendapatkan bimbingan seperlunya.
9) Takrir/muraja'ah, yaitu murid mengulang-mengulang hafalan yang pernah dihafalkan
kepada seorang guru tahfidz. Takrir dimaksudkan agar hafalan si murid tetap terjaga
dengan baik. Selain itu takrir juga dilakukan sendiri-sendiri untuk melancarkan
hafalan dan tidak mudah lupa.
10) Tasmi’, yaitu memperdengarkan hafalan kepada orang lain baik kepada guru
pendamping, sesama murid secara perseorangan, maupun kepada jama’ah. Dengan
tasmi’ ini, murid calon penghafal Al-Qur’an akan diketahui kekurangannya. Misalnya
kesalahan mengucapkan huruf atau harakat.
Ke lima langkah ini secara umum dipraktekan di ma'had Sulaimaniyah di Turki
dan cabang-cabangnya di seluruh dunia, hanya cara atau metode tahfidznya berbeda,
yang menjadi ciri khasnya.

91
http://digilib.uinsby.ac.id/22732/1/Hervina%20Kusumawati_D01214004.pdf
61

Bisa dinyatakan di sini, metode tahfizh Al-Qur'an yang paling unik di dunia
adalah metode Usmani yang umum dipakai umat Islam di Turki92. Metode Utsmani ini
menurut pimpinan ma'had Sulaimaniyah di Turki, sudah dipraktekan ulama Salaf sampai
sekarang sebagaimana dijelaskan dalam kitab Sunan al-Qurra' wa Manahij al-
Mujawwidin karya 'Abdul 'Aziz abdul Qari'93. Metode menghafal model ma'had
Sulaimaniyah Turki, menurut pandangan sebagian orang dianggap aneh dan unik,
namun terbukti mampu mencetak puluhan ribu hafizh mutqin (kuat hafalan) dan hafizah
mutqinah94.

Tahapan paling awal, murid-murid belajar mengenal huruf-huruf hijaiyah, yang


berlangsung kurang lebih selama 20 hari. Setelah itu, para murid membaca kata-kata
dan kalimat-kalimat dengan huruf-huruf hijaiyah disertai pengenalan tajwid. Setelah itu
murid-murid mulai menghafalkan surat Yasin, Juz ke-30, juz ke- sd. Juz ke-30 dengan
metode Usmani.

D. Lembaga Shaulatiyah di Arab Saudi


Secara umum, tim peneliti belum menemukan lembaga pendidikan di Arab Saudi
yang mengkhususkan diri pada tahfidz Qur’an secara formal. Beberapa temuan di
lapangan, pembelajaran tahfidz Qur’an justru dengan mudah bisa dijumpai di hampir
setiap masjid di sana, utamanya di Makkah dan Madinah. Pembelajarannya terbilang
sederhana, tidak seperti yang biasa dijumpai di negara-negara lain, semisal Indonesia,
yang justru memiliki lembaga atau pesantren khusus di bidang tahfidz Qur’an. Bentuk
pembelajaran tahfidz al-Qur’an yang biasa dijumpai di Makkah dan Madinah adalah
halaqah atau semacam kelompok pengajian kecil. Halaaqah ini jumlah terbilang banyak
dan tersebar di berbagai masjid di Arab Saudi. Bahkan, di masjid Haram dan masjid
Nabawi, hamper di setiap tempat atau sudut-sudut ruangan masjid bisa ditemukan
halaqah-halaqah yang sebagiannya mengajarkan tahfidz Qur’an.
Namun demikian, menurut data informan dari lembaga Shaulatiyah, selain
Madrasah Shaulathiyah dan juga lembaga lain yang secara nonformal
menyelenggarakan halaqah tahfidz Qur’an, di sekitar Makkah juga terdapat pesantren
tahfidz yang khusus diperuntukkan bagi kaum difabel, yaitu kaum tuna rungu, tepatnya

92
Abu Ammar & Abu Fatiah Al-Adnani, Negeri-negeri Penghafal Al-Qur‟an..., 378.
93
'Abdul 'Aziz Abdul Qari', Sunan al-Qurra' wa manahij al-Mujawwidin.
94
Kitab Sunan al-Qurra' wa manahij al-Mujawwidin. dikarang 'Abdul 'Aziz Abdul Qari'.
62

di Kawasan Thaif pada akhir tahun 2016.95 Pesantren yang diberi nama Pusat Tahfidz
Al-Quran “Al-Ridwan” memang dikhususkan untuk santri yang tidak memiliki
kemampuan mendengar atau tunarungu. Pesantren ini merekrut para guru yang
mengkhususkan diri pada bahasa isyarat. ketidakmampuan mendengar dan bahasa
isyarat. Bagi para santri tunarungu, disediakan fasilitas dan pelayanan khusus, seperti
transportasi antarjemput secara gratis bagi mereka yang tinggal di Thaif dan Al Hawaia,
termasuk biaya makan (mukafaah) setiap bulan.96
Pesantren yang terletak di distrik al-Qayyim Thaif ini berinisiasi membuka kelas
halaqah khusus tunarungu karena keterpanggilan sosial, yaitu melayani kelompok
disable di masyarakat untuk belajar dan menghafal al-Quran layaknya masyarakat
umum. Pesantren ini berdiri di bawah naungan lembaga amal tahfidz al-Qur’an “al-
Furqan”, sebuah lembaga pendidikan dan tahfidz Quran terbesar di Thaif yang memiliki
35 halaqah al-Quran dan 540 pelajar.

1. Profil
Madrasah al-Shaulatiyah merupakan salah satu madrasah terkemuka di tanah
suci Makkah yang didirikan oleh seorang ulama besar asal India yang bermukm di
sana, Syaikh Rahmatullah al-Kiranawi ibnu Khalil al-Hindi al-Dahlawi. Madrasah
al-Shaulathiyah adalah madrasah swasta pertama didirikan pada tahun 1292 H/1875
M,97 dan menggaung ke seluruh penjuru dunia Islam,98 termasuk ke wilayah
nusantara.99
Nama al-Shaulatiyah itu sendiri diambil dari nama seorang perempuan yang
berjasa besar dalam pencetusan ide berdirinya madrasah tersebut, yaitu Begum
Shaulatun Nisa Nigham yang juga berasal dari India. Awalnya, Al-Syaikh
Rahmatullah al-Kiranawi pada tahun 1290 H berdiskusi dengan seorang anak
menantu Sayyidah Shaulatun Nisa’ tentang hajat dan keinginannya membangun

95
Thaif adalah daerah yang berada sekira 100 km dari kota Makkah al-Mukarramah.
96
Fauzun, Wawancara Pribadi, Makkah, tanggal 15 Desember 2018.
97
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, h. 34.
dalam Nasir, H. M. (2012-12-14). "Taushiyah Syeikh Majid Mas'ud Salim Rahmatullah".
Waspada. Medan. hlm. Mimbar Jum'at - B10. Diakses tanggal 07 Desember 2018.
98
H.M. Nasir, "Taushiyah Syeikh Majid Mas'ud Salim Rahmatullah". Dalam Koran Harian
Waspada Medan. “kolom. Mimbar Jum'at”. Diakses tanggal 07 Desember 2018.
99
H.M. Nasir, "Taushiyah Syeikh Majid Mas'ud Salim Rahmatullah".
63

Ribath di tanah Makkah. Namun ide tersebut ditolak oleh al-Syaikh dengan alasan
bahwa membangun Ribath di Mekkah kurang signifikan, karena sudah banyak.100
Tetapi yang lebih urgen adalah membangun Madrasah Nidzamiyyah atau Jamiah
yang menampung kebutuhan masyarakat Makkah dan para muhajirin dalam mencari
ilmu. Jawaban tersebut kemudian disampaikan ke ibu mertuanya, Sayyidah
Shaulatun Nisa. Dari sinilah, sang mertua (Sayyidah Shaulatun Nisa) menemui
Syaikh Rahmatullah dan mewakafkan tanahnya di daerah Hayyi Khandarisah untuk
dibangun madrasah. Atas jasanya tersebut, madrasah tersebut kemudian diberi nama
Madrasah al-Shaulatiyah yang berhaluan ahlussunnah wal jamaah.101
Dari penelusuran sejarah, murid atau santri di madsarah ini ternyata
didominasi oleh santri dari melayu, khususunya Nusantara, yaitu sekira 95%.102
Bagi masyarakat Melayu, selain mendapat pendidikan di Masjidil Haram banyak
juga yang memasuki Madrasah Al-Shaulatiyah. Keakraban orang-orang Indonesia
dengan orang India juga ditandai dengan banyaknya Muslim Nusantara yang
menuntut ilmu di Madrasah Shaulatiyah.103
Lokasi Madrasah Al-Shaulatiyah pada mulanya berada tak jauh dari Masjidil
Haram. Namun dengan adanya proyek perluasan Masjidil Haram, Madrasah al-
Shaulatiyah dipindah ke Kakiyah yang berjarak sekitar 6,7 kilometer.
Madrasah Shaulatiyah merupakan madrasah favorit masyarakat Nusantara
yang ingin mendalami ilmu-ilmu keislaman. KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul
Ulama, hingga Syekh Musthafa Husein Purba, pendiri Pesantren Musthafawiyah,
Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, merupakan alumni Madrasah Shaulatiyah.104
K.H. Hasyim Asy’ary (pendiri Nahdlatul Ulama), K.H. Ahmad Dahlan (pendiri
Muhammadiyah), K.H. Muhammad Zainuddin Abdul Majid (pendiri Nahdlatul
Wathan Lombok-NTB) pernah belajar di Madrasah Shaulathiyah, demikian pula
dengan Sayyid Muhsin al-Musawwa (pendiri Dar al-Ulum di Makkah). Pada tahun
1346 H/1928 M, Syaikh Yasin bin Isa Al-Faddani pernah melanjutkan pendidikan

100
Mumazziq, "Majalah NU dan Santri Indonesia di Mekkah", edisi 25 Maret tahun 2018
101
Mumazziq, "Majalah NU dan Santri Indonesia di Mekkah"
102
Azyumardi Azra, penulis buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII; dalam Nasir, H. M. (2012-12-14). "Taushiyah Syeikh Majid Mas'ud Salim
Rahmatullah". Waspada. Medan. hlm. Mimbar Jum'at - B10. Diakses tanggal 2018-04-03.
103
Mumazziq 2018, "Majalah NU dan Santri Indonesia di Mekkah".
104
"Jejak Hadratus Syeh KH Hasyim Asy'ari di Makkah”, dalam news.okezone.com. Diakses
pada 07 Desember 2018.
64

ke Madrasah ash-Shaulatiyah selama kurang lebih 7 tahun. Bahkan bisa dikatakan


bahwa pada masa-masa itu, murid terbanyak justru berasal dari santri-santri
nusantara (Indonesia).105
Secara khusus tujuan dari ide membangun Madrasah Shaulatiyah didasarkan
pada tiga hal, yaitu; Pertama, melakukan pembelajaran kepada semua anak-anak
perantau dari berbagai negara termasuk di dalamnya anak-anak penduduk Makkah
dan Madinah al-Munawwarah dengan memberikan semua fasilitas termasuk
makanan, minuman, tempat tinggal, pakaian, referensi dan berbagai perlengkapan
pembelajaran.
Kedua, mengajarkan berbagai bidang ilmu keagamaan dan berbagai bidang
lain seperti ilmu-ilmu keterampilan. Dengan keterampilan, mereka diharapkan dapat
mandiri dengan berkarya dalam berbagai bidangnya, sehingga setelah lulus nanti,
mereka mampu berdiri sendiri di tengah masyarakat.
Ketiga, mencetak ulama yang mampu dan ahli dalam bidang al-Qur’an baik
qira’ah maupun tafsir dan kajian terhadap al-Qur’an. Mereka pulang ke negeri
masing-masing mengajarkan al-Qur’an tentang cara baca maupun mencari maksud
dalam kandungan ayat-ayatnya.
Hingga kini, Madrasah Shaulatiyah masih eksis sebagai corong ahlusunnah
wal jamaah di negara tersebut yang mayoritas berpaham salafi-wahabi.
2. Metode Pembelajaran
Pembelajaran tahfidz Qur’an di Madrasah Shaulatiyah diselenggarakan secara
nonformal atau dalam bentuk halaqah. Artinya, secara kurikulum, Lembaga ini tidak
mewajibkan para santrinya untuk menghafal al-Qur’an. Lembaga ini memfokuskan diri
pada kajian ilmu keislaman secara umum. Terkait dengan tahfidz al-Qur’an, Lembaga
ini hanya memfasilitasi dan memberikan kebebasan kepada para santrinya untuk belajar
menghafal al-Qur’an kepada para guru yang ada di lingkungan madrasah Shaulatiyah.
Selain itu, Lembaga ini juga memberi kebebasan tempat dan waktu bagi para guru yang
ingin mengajarkan hafalan al-Qur’an kepada para santrinya, tentunya dengan mengatur
waktu dan tempat pelaksanaannya. Biasanya, para guru memberikan pembelajaran

"Taushiyah Syeikh Majid Mas'ud Salim Rahmatullah" dalam “Mimbar Jumat”, Harian
105

Waspada Medan, Diakses tanggal pada 07 Desember 2018.


65

tahfidz di waktu-waktu senggang, semisal di malam hari atau bakda shalat, yang
bertempat di masjid atau di rumah kediaman sang guru.
Kegiatan pembelajaran tahfidz seperti itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
pola pembelajaran tahfidz yang menjadi kebiasaan masyarakat Arab selama ini, yaitu
dalam bentuk halaqah atau kelompok-kelompok kecil. Tradisi ini sudah turun menurun
dan sering kita lihat di sudut-sudut masjid, baik di Makkah maupun di Madinah. Meski
demikian, halaqah-halaqah kecil seperti ini sebenarnya telah didata secara resmi oleh
pemerintah setempat. Adapun alasan para guru halaqah ini tidak mengambil contoh
pembelajaran tahfidz Qur’an sebagaimana diterapkan di Turki maupun di Iran, karena
memang halaqah semacam ini merupakan warisan atau tradisi yang berlangsung sejak
lama, bahkan merupakan tradisi yang biasa dilakukan oleh Nabi Saw dan sahabat-
sahabatnya. Dengan demikian, para guru tahfidz di Arab Saudi lebih memilih metode
pembelajaran yang cenderung klise dan berharap memperoleh keberkahan dari apa yang
mereka terapkan, yaitu dengan mencontoh apa yang diajarkan oleh Nabi dan para
sahabatnya.
Saat ini, berdasarkan temuan informasi dari guru dan murid di sana, madrasah
ini tidak tidak secara formal memberikan pembelajaran tahfizh Quran. Pembelajaran
tahfizh Quran dibebankan pada masing-masing individu santri kepada para guru di
madrasah tersebut. Artinya, pada guru memberikan kelas halaqah di luar madrasah
untuk memberikan pelajaran khusus menghafal al-Quran bagi para santrinya. Mereka
mendatangi tempat-tempat kediaman guru-guru mereka untuk belajar menghafal al-
Quran dan ilmu-ilmu al-Quran.
Salah satu Halaqah yang dijadikan tempat penelitian adalah Halaqah yang
didirikan oleh Syaikh Muhammad Siraj yang notabene merupakan ulama dari Jawa
(Indonesia) yang kemudian diteruskan oleh anaknya, Mahmud Muhammad Siraj.
Dalam hal ini, salah satu sifat halaqah atau lembaga tahfizh yang diasuh oleh
guru-guru di lingkungan Shaulatiyah adalah kesederhanaannya dalam proses
pembelajaran, fasilitas, ataupun metode penghafalannya. Salah satu keunikan atau
kesederhanaan dari lembaga tahfiz nonformal di lingkungan Shaulatiyah adalah sifatnya
yang berbentuk halaqah-halaqah kecil yang rerata terdiri dari 6-10 santri. Halaqah
tersebut biasanya berada di masjid-masjid atau di rumah ustadz. Para santri yang dating
dan berguru adalah santri dari madrasah Shaulatiyah itu sendiri. Mereka biasanya
66

datang dan belajar atas kemauannya sendiri. Selain itu, ada juga santri yang berasal dari
kaum pekerja (tenaga kerja asing) yang berada di Mekkah.
Karenanya, halaqah ini tidak memberikan target khusus dalam hafalan maupun
dalam lamanya waktu. Semua diserahkan pada kesanggupan dan kemampuan masing-
masing murid.
Meski begitu, Syeikh Mahmud tetap memberikan pengajaran hafalan al-Quran
secara serius dan juga memberikan pelajaran-pelajaran lain sebagai pendukung, semisal
tafsir, fikih, balaghah, dan sebagainya.
Semangat untuk mengajarkan al-Qur’an memang tidak lepas alasan didirikannya
halaqah tersebut. Salah satu alasan utama Syeikh Mahmud Muhammad Siraj membuka
kelas halaqah tahfidz Qur’an di lingkungan Madrasah Shaulatiyah adalah adanya
keutamaan bagi umat Islam untuk menghafal al-Qur’an. Menghafal kitab suci al-Quran
merupakan hal yang paling mulia. Selain memiliki banyak keutamaan di akhirat, Allah
juga berjanji akan meninggikan derajat mereka yang hafal Alquran dibanding para
hamba-Nya yang lain.
Pada sesi wawancara di kediamannya yang juga tempat halaqah pembelajaran
tahfidz Qur’an, syeikh Mahmud Muhammad Siraj menerapkan beberapa metode yang
diterapkan kepada para santrinya, baik sebelum, saat, atau sesudah pembelajaran tahfidz
Qur’an. Metode ini secara umum biasa dipraktikkan oleh para guru al-Quran di Arab
saudi, utamanya di Mekkah dan Madinah.
Pertama, menanamkan cita-cita dan target hidup pada diri murid untuk
menjadi penghafal al-Qur’an. Keinginan untuk menjadi penghafal al-Qur’an sangat
penting dalam memudahkan dan meningkatkan kemampuan dan kemauan kuat untuk
menghafal al-Qur’an. Cita-cita ini harus terpatri pada diri santri atau murid yang
berkeinginan menghafal al-Qur’an. Cita-cita seperti ini harus menjadi target dalam
hidup santri akan dalam prosesnya kemudian, seorang murid dapat menghafal al-Quran
dengan semangat tinggi dan penuh kesabaran. Imajinasi ini juga bisa memotivasi diri si
murid untuk terus berusaha menghafal al-Qur’an tanpa lelah dan putus asa meski dalam
waktu yang lama.
Kedua, menggunakan satu mushaf al-Quran khusus (tertentu), dalam artian
tidak menggonta-ganti mushaf dengan tujuan untuk mempermudah menghafal
ayat.
67

Ketiga, melakukan teknik scaning sebelum membaca menghafal ayat. Artinya,


memperhatikan dengan seksama seluruh permukaan/lembaran mushaf dengan kekuatan
mata, lalu merekam satu per satu tulisan atau gambar pada lembaran mushaf tersebut
dengan seksama (konsentrasi). Kegiatan seperti ini dilakukan dengan menggunakan
otak kanan.
Keempat, membaca dengan mengangkat mushaf dengan posisi mushaf agak
sejajar dengan posisi mata, agak menyerong ke kiri.
Keenam, mengulang ayat demi ayat (takrir), caranya dengan mengaitkan satu
ayat dengan ayat sebelumnya. Dalam hal ini, murid dilarang memulai hafalan baru
sebelum ayat sebelumnya benar-benar sudah dihafal dan diikat dalam hati/pikiran.
Ketujuh, mencari guru pendamping atau teman yang memiliki hafalan lebih
tinggi untuk mengkoreksi setiap ayat atau surat yang dihafal. Belajar dari guru al-
Quran sebagai pendamping untuk memperbaiki dan menguatkan hafalan adalah wajib.
Kedelapan, menerapkan metode bisikan lembut. Dalam hal ini, seorang guru al-
Quran membisikan satu ayat ke dekat telinga muridnya. kemudian muridnya
mengulang-ulang ayat yang dibisikan gurunya tersebut. Metode ini dianggap lebih
mengena di hati, sebagaimana cara Malaikat Jibril saat menyampaikan wahyu kepada
nabi Muhammad Saw.
Kesembilan, membiasakan membaca dan menghafal ayat al-Qur’an seperti
halnya kebutuhan menggunakan sosial media (sosmed). Kebanyakan generasi
milenial saat ini sangat bergantung pada sosmed dalam aktivitas sehari-hari, semisal
membaca pesan singkat di Instagram, Facebook, Telegram, WhatsApp, dan lain-lain.
Mereka bahkan rela menghabiskan waktu banyak untuk sekadar membaca tulisan-
tulisan di sosmed tersebut. Kebiasaan berlama-lama untuk membaca seperti ini akan
sangat berguna jika diarahkan pada sesuatu yang positif, yaitu membaca ayat dan
menghafalnya.
Secara umum, metode pembelajaran tahfid al-Qur’an di lingkungan Madrasah
Shoulatiyah juga sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Syaikh Sa’ad al-Ghamidi,
Imam Masjid Nabawi, Madinah. Ia memberikan lima cara yang harus diperhatikan bagi
penghafal al-Qur’an.
Pertama, murid-murid yang datang ke halaqah tahfidz Qur’an ini harus memiliki
niat dan tujuan yang jelas, yaitu menghafal al-Qur’an. Kedua, harus ada lembaga yang
68

menyelenggarakan program menghafal al-Qur’an. Lembaga ini berfungsi untuk


mengoordinasi mereka yang ingin menghafal al-Qur’an supaya tidak patah semangat
atau berhenti di tengah jalan. Ketiga, metode yang digunakan harus jelas dan tidak bisa
asal-asalan. Artinya, metode yang digunakan untuk menghafal al-Qur’an harus
masyhur, efektif dan biasa digunakan oleh kebanyakan orang atau lembaga. Hal ini
dimaksudkan agar semua kalangan bisa menghafal al-Qur’an dengan mudah meskipun
dengan kemampuan individu yang berbeda-beda. Keempat, adanya guru yang menjadi
rujukan dan mempunyai kemampuan membaca al-Qur’an dengan fasih dan benar, serta
memiliki perilaku yang baik untuk dijadikan teladan bagi murid-muridnya. Kelima, ada
semacam evaluasi, tindak lanjut atau follow-up bagi murid yang telah menyelesaikan
hafalan al-Qur’an. Bagi mereka yang telah menyelesaikan hafalan al-Qur’an, hendaknya
tidak dilepas atau dibiarkan begitu saja tanpa ada tindak lanjut atau perhatian lembaga
atau madrasah terhadap alumni-alumninya.106

106
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/04/01/mkl35r-lima-tips-hafal-
alquran-dari-imam-masjidil-haram, diakses pada 25 Desember 2018
BAB V
ANALISIS KOMPARATIF
A. Sanad Tahfid Al-Qur’an
B. Sanad al-Qur’an
Secara istilah, sanad adalah mata rantai suatu berita hingga sampai pada yang
mengucapkanya. Jadi sanad suatu berita adalah mata rantai yang menghubungkan kita
dengan sumber pertama berita tersebut. Jika berita tersebut adalah hadits, maka sanad
adalah mata rantai penghubung hingga sampai ke Rasulullah Saw.

Istilah sanad dalam pembelajaran al-Qur’an adalah rentetan nama guru, sehingga
akan terlihat jalur keilmuan seseorang. Pengetahuan tentang sanad al-Qur’an ini telah
diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. pada generasi awal. Contoh, tokoh tabi’in
(Mekkah), Mujahid bin Jabbar telah belajar al-Qur’an kepada tokoh sahabat, yaitu
‘Abdullah ibn Abbas yang telah berguru kepada Rasulullah saw. Dengan mengetahui
guru, seseorang dapat diketahui pula hasil pembacaannya atas ayat-ayat al-Qur’an.

Nabi Muhammad Saw sebagai tokoh pertama penerima wahyu al-Qur’an telah
mengajarkan adanya guru dan murid dalam pembelajaran al-Qur’an. Sebagaimana
dijelaskan dalam pembelajaran al-Qur’an terdapat salah satu riwayat bahwa Nabi
Muhammad tiap malam pada bulan Ramadhan membaca al-Qur’an disimak atau
ditashih oleh malaikat Jibril sebagai utusan langsung Allah. Teladan metodologis ini
kemudian dilanjutkan oleh generasi sahabat yang berguru kepada Nabi Muhammad,
generasi tabiin berguru kepada para sahabat. Demikian juga seterusnya sampai pada
masa sekarang termasuk yang telah dilakulan oleh KH. M. Munawwir Krapyak.

M. Syatibi mengungkapkan bahwa para sanad107 hufadz di Indonesia


mempunyai perbedaan urutan atau sumber saat belajar di Makkah, seperti KH. M.
Munawwir termasuk mempunyai sumber sanad yang sama sebagaimana M. Sa’id bin
Isma’il (Sampang Madura), Munawwar (Sidayu Gresik), M. Mahfudz al-Tarmasi
(Pacitan), dan M. Dahlan Khalil (Rejoso Jombang). Kelima jaringan ulama tahfidz ini
mungkin hanya merupakan beberapa sanad yang ditemukan dalam penelitian ini, karena

107
Sanad adalah jaringan atau silsilah seorang hafidz yang diurutkan dari Nabi saw sampai guru
tahfidz yang ada. Tidak semua hafidz mempunyai sanad yang tertulis, itu tergantung dari guru yang
mengajarkan tahfidz kepadanya, apakah ia mempunyai sanad dari gurunya atau tidak.

69
70

masih banyak ulama-ulama lain yang belajar di Timur Tengah dan dimungkinkan hafal
al-Qur’an. Urutan sanad mereka bersumber dari Rasulullah saw mempunyai perbedaan,
khusus M. Munawwir pada urutan ke-31. Sanad kelima ulama tersebut bertemu pada
Syekh Nashir al-Dīn al-Ṭablawī dari Syekh Abū Yaḥyā Zakariyya al-Anṣārī, hanya saja
urutan jalurnya berbeda.108 Selain berhasil menghafal al-Qur’an 30 juz, M. Munawwir
juga berhasil menghafal al-Qur’an dengan qirā’āt sab’ah. kesuksesan ini sekaligus
menjadikannya tercatat sebagai ulama pertama Jawa yang berhasil menguasai qirā’āt
sab’ah.109

Penelitian tim kemenag telah merumuskan rentetan guru dari KH. Munawwir
dalam bidang pembacaan al-Qur’an melalui jalur imam ‘Ashim riwayat Imam Hafsh.
Secara rinci dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut:110

108
M. Syatibi AH, “Pendahuluan (Sejarah Perkembangan Lembaga Tahfizul Qur’an di
Indonesia)” dalam Muhammad Shohib dan M. Bunyamin (ed), Memelihara Kemurnian Al-Qur’an: Profil
Lembaga Tahfidz Al-Qur’an di Nusantara (Jakarta: LPMQ Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI,
2011), h. 9-10.
109
Deny Hudaeny Ahmad Arifin, KH. M. Munawwir Krapyak (1870-1941), h. 23.
110
Kementerian Agama RI, Para Penjaga Al-Qur’an, h. 23.
71

Muhammad
saw

‘Utsmān bin ‘Affān ‘Alī bin abī Ṭālib ‘Abdullāh bin


Mas’ūd
‘Abdurraḥmān al- Zaid bin Ṣābit Ubay bin Ka’ab
Sulamī
‘Aṣīm bin Abī al- Ḥafṣ bin Sulaimān ‘Ubaid bin al-Ṣabāḥ
Najūd
Ṭāhir bin Galbūn ‘Aḥmad bin Sahl al-Asynānī

Abū ‘Amr ‘Uṣmān al-Dānī Sulaimān bin Najāh al-Andalusī


(‘Abd. al-Sulamī)
Abū al-Qāsim al-Syāṭibī ‘Ali bin Muhammad bin Huẓail

Abū al-Ḥasan ‘Alī bin Syujā’ M. bin ‘Abdul Khalik al-Miṣrī

Ahmad al-Asyūṭī Muhammad al-Jazarī

Abū Yahyā Zakariyyā al- Nāṣiruddīn al-Ṭablāwī


Anṣārī
Saifuddīn ‘Aṭāillāh al-Fadālī Saḥāẓah al-Yamanī

Sulṭān al-Mizāḥī ‘Alī bin Sulaimān Ḥijāzī


al-Manṣūrī

Aḥmad al-Rasyīdī Musṭafā ‘Abdurraḥmān al-


Azmīrī
Ismā’il Basyaṭīn ‘Abdul Karīm ‘Umar al-Badrī

Muhammad Munawwir
72

Sementara di Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus, KH. Arwani Kudus adalah


murid pertama yang lulus terbaik dari segi tahfidz dan Qiro’ah Sab’ahnya dari KH, M.
Munawwir Krapyak, oleh karena itu sudah bisa dipastikan sanad al-Qur’annya adalah
melalui KH. Munawwir Krapyak. Begitu pula di Pesantren Al-Falah Cicalengka
Bandung, santri yang sudah hafidz 30 juz disarankan untuk melanjutkan hafalan dan
muraja’ahnya ke Pesantren Krapyak atau Pesantren Kudus, ataupun Pesantren
Gedongan Cirebon (Kiai Abu) agar sanadnya tidak terputus. Hal ini menunjukkan
bahwa persoalan sanad Qur’an dalam pembelajaran tahfidz di Indonesia sangatlah
penting dan mutlak dilakukan oleh seorang hafidz untuk menjaga hafalannya sekaligus
menyambung sanad guru-gurunya.

Berdasarkan informasi, saat ini ternyata memiliki jumlah penghafal Alquran di


Indonesia tertinggi di dunia, yakni mencapai 30 ribu orang. Arab Saudi bahkan hanya
memiliki 6.000 orang penghafal al-Qura’n.111

Secara umum, pembelajaran tahfidz Qur’an di beberapa pesantren di Indonesia


tidak banyak perbedaannya dari aspek metodologi. Hal ini mengingat jalur sanad guru
al-Qur’an di berbagai pesantren tahfidz di Indonesia ternyata bersambung pada guru
yang sama, yaitu KH. M. Munawwir Krapyak. Artinya, metode pembelajaran al-Qur’an,
baik dari aspek tahfidz maupun tahsinnya, di pesantren-pesantren tahfidz di Indonesia
memiliki banyak persamaan. Sekiranya terdapat perbedaan, hal itu biasanya berkaitan
dengan aspek keterampilan atau kekhasan dari masing-masing pesantren tahfidz yang
ada di Indonesia. Misalnya saja, Pesantren Al-Qur’an Al-Falah Cicalengka Bandung ini
memberikan tambahan keterampilan sebagai salah satu kekhasan dari pesantren ini,
yaitu berupa nagham atau ilmu mengiramakan bacaan al-Qur’an.112 Alhasil, para santri
di pesantren al-Qur’an ini memiliki irama yang bagus saat melafalkan ayat-aat al-Qu’an
setelah diajar oleh guru-gurunya. Karenanya, setiap santri yang akan mengikuti program
tahfidz al-Qur’an harus mengikuti terlebih dahulu program murattal dengan mengikuti
irama mengajai dari imam tertentu.

111
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/10/09/24/136336-jumlah-
penghafal-alquran-indonesia-terbanyak-di-dunia, diunduh pada 24 Desember 2018.
112
Adanya penguatan di bidang irama ini sangat terkait dengan KH. Q. Ahmad Syahid, Ph.D
pendiri pesantren tersebut yang menjadi juara MTQ tingkat Nasional peringkat I pada penyelenggaraan
MTQ pertama di Indonesia pada tahun 1968 di Makassar.
73

Hanya saja, setiap santri yang belajar di pesantren Al-Falah tersebut harus
mengikuti sekolah formal yang sudah ada di dalam lembaga tersebut. Jadi proses
penghafalan al-Qur’an kurang fokus, waktu yang tersedia untuk penjagaan hafalan
kurang memadai.

Tim peneliti tidak mendapatkan rentetan sanad pembelajaran al-Qur’an, karena:


a. Fokus pembelajaran adalah tahfidz al-Qur’an dengan hasil terbaik; dan b. Peserta
didik tidak diberikan rentetan nama guru-gurunya untuk menghilangkan rasa
kesombongan dengan membanggakan nama-nama gurunya. Namun demikian, dari
penelusuran tim peneliti, para guru tahfidz di Iran memiliki system yang kuat dalam
pembelajaran al-Qur’an. Tentunya hal ini juga didukung dengan jaringan keilmuan yang
kuat dari aspek riwayat guru-guru mereka di sana.

Proses penghafalan al-Qur’an disertai pemahaman makna. Bila santri belum


mampu memahami makna detailnya, ia diwajibkan memmahami makna globalny.
Kewajiban memahami makna ayat-ayat al-Qur’an yang dihafalkan masuk dalam metoe
tahfidz yang dirumuskan di lembaga tahfidz al-Qur’an di Iran.

Hasil observasi ke lembaga-lembaga tahfidz al-Qur’an di Indonesia, Iran, Turki


dan Saudi Arabia menyimpulkan bahwa secara teoritis metodologis lembaga tahfidz
Iran secara jelas mencantumkan pemahaman makna dalam tahapan proses
menghafalkan al-Qur’an. Kewajiban pemahaman makna inilah yang tidak ditemukan
tahfidz al-Qur’an di Indonesia.

Pada dasarnya metode dan teknis menghafalkan al-Qur’an di Iran sangat bagus.
Bila ditemukan hafidz lulusan lembaga tahfidz al-Qur’an dari Iran ternyata kurang
bagus kualitasnya kelancaran ataupun tidak memahami makna ayatnya, maka kesalahan
bukan pada metodenya tapi pada kondisi individualnya.

Hal penting yang sulit didapatkan ketika observasi adalah adanya sanad. Inilah
kekurangan utama dari metode tahfidz al-Qur’an di Iran. Dengan demikian, tidak
diketahui penelitian guru-guru dari lembaga tersebut. Ini berbeda dengan negara Turki
dan Saudi Arabia yang tetap menjaga sanad al-Qur’an atau tentetan guru-guru al-
Qur’an.
74

Di sisi lain, sebagai sumber pembelajaran al-Qur’an di masa awal Islam, Arab
Saudi tentunya memiliki banyak guru tahfidz yang tak diragukan lagi keilmuannya dan
keilmiahannya dari aspek bersambungnya guru-guru al-Qur’an. Meski pembelajaran al-
Qur’an di sana lebih banyak berupa halaqah-halaqah kecil yang berada di masjid-masjid
dan rumah-rumah guru, tetapi keilmuan di bidang al-Qur’an tak diragukan lagi. Artinya,
para santri yang belajar tahfidz al-Qur’an 30 juz di Arab Saudi akan diajarkan pula jalur
periwayatan al-Qur’an atau sanadnya bisa bersambung ke Rasulullah Saw, sehingga
keilmuan yang mereka kuasai berdasarkan asas yang benar, juga agar tidak terputus tali
silsilah yang penuh keberkahan dari Nabi Muhammad Saw.

Bahkan, beberapa halaqah saat ini telah menyediakan fasilitas setoran hafalan Al
Quran dan Matan Ilmiah langsung kepada para Masyayikh Masjid Nabawi Madinah.
Dari program tersebut, seluruh peserta akan mendapatkan Ijazah Sertifikat Al Quran dan
Sertifikat + Sanad Kitab Matan Ilmiah yang ditandatangani oleh Asy Syaikh Dr. Abdul
Muhsin Al Qosim (Imam dan Khatib Masjid Nabawi).113

Saat ini, sanad al-Qur’an tertinggi di dunia saat ini adalah sanad ke 28, yaitu
Syeikh Bakri al-Tharabisyi di Syria. Sementara di Indonesia, KH M Munawir disebut
sebagai pemegang sanad sanad ke-31 hanya dengan menyetorkan hafalannya dalam
waktu sekira satu bulan.114

B. Metode Tahfidz al-Qur’an


Secara metodologis, pembelajaran tahfidz al-Qur’an di Indonesia, Iran, Turki,
dan Arab Saudi secara umum memiliki persamaan. Hal ini bisa dilihat dari dua hal,
yaitu pertama, aspek kedisiplinan, yaitu ketatnya menghafal al-Qur’an dan ketatnya
menyetor hafalan. Artinya, masing-masing Lembaga atau pesantren di keempat negara
menerapkan prinsip “zero tolerant”, yaitu tidak ada toleransi bagi santri untuk salah
dalam menghafal al-Qur’an, bahkan kesalahan sekecil apapun dalam mengucapkan lafal
dan huruf dalam ayat al-Qur’an tidak bisa dibenarkan. Mereka yang lupa atau tersendat-
sendat dalam melafalkan kata demi kata atau huruf demi huruf dalam ayat al-Qur’an,

113
http://www.ruhama.or.id/2016/05/program-setoran-online-hafalan-al-quran.html, diunduh
pada 25 Desember 2018.
114
http://www.islamedia.web.id/2011/05/ketika-si-bintang-al-quran-meraih-sanad.html, diunduh
pada 25 Desember 2018.
75

maka dia dianggap tidak hafal (tidak lulus hafalannya) dan wajib mengulangi
hafalannya.

1. Metode Tahfidz di Indonesia


Secara garis besar ada dua jenis setoran pengajian al-Qur’an di Pondok
Pesantren Krapyak, yaitu: pertama, bi al-nadzar (melihat), yaitu santri membaca al-
Qur’an di depan gurunya dengan membuka atau melihat mushaf al-Qur’an. Dalam
hal ini, guru/Kyai harus bertemu dan dapat melihat gerak bibir santrinya sehingga
dengan cepat membenarkan bila terdengar kesalahan. Kedua, bi al-ghaib (tanpa
melihat), yaitu santri membaca al-Qur’an di depan gurunya dengan cara hafalan,
tanpa melihat atau membuka mushaf al-Qur’an. Guru/Kyai menyimak dan
mengoreksi bacaannya, baik segi kelancaran atau pun tajwidnya. 115 Kedua jenis ini
disyaratkan oleh KH. M. Munawwir untuk Talaqqi Musyafahah. Talaqqi berarti
pertemuan guru dan murid dalam satu majelis. Sedangkan musyafahah artinya guru
dapat mengamati cara gerak lisan murid, demikian murid juga dapat dilihat lisan
guru. Semua santri pada saat itu secara langsung mengaji al-Qur’an di depan KH.
M. Munawwir baik yang kelompok bi al-Nadzar ataupun yang bi al-Ghaib.
Selain dua jenis setoran tahfidz tersebut, sebenarnya masih ada satu tahapan
lagi, yaitu tahapan yang paling tinggi, qiraah sab’ah. Namun tahapan ini hanya
diberikan kepada santri yang memang memiliki kelebihan khusus. Dalam hal ini,
santri diharuskan menyetorkan bacaan imam tujuh secara hafalan atau tanpa melihat
di hadapan sang kyai. Salah satu santri KH M. Munawwir yang berhasil menguasai
qiraah sab’ah adalah KH. Arwani. Saat muda, KH Arwani merupakan salah satu
murid kesayangan KH. M. Munawwir yang mampu menghafal 30 juz sekaligus
menguasai ilmu qiraah sab’ah.
Dengan demikian, sebenarnya ada tiga tahapan setoran tahfidz yang
diterapkan di Pesantren Krapyak, hanya saja tahapan terakhir bersifat khusus. Dalam

115
Kedua metode tersebut ternyata berbeda dengan apa yang dilakukan KH M. Munawwir saat
muda dulu, yaitu saat belajar al-Qur’an di Makkah. Untuk menjaga hafalannya sewaktu di Mekkah, KH.
M. Munawwir memiliki metode tersendiri, yaitu dengan carat: 1) Pada tiga tahun pertama, ia
mengkhatamkan sekali Al-Qur’an selama tujuh hari tujuh malam; 2) Tiga tahun selanjutnya, ia
mengkhatamkan Al-Qur’an dalam waktu tiga hari tiga malam; 3) Tiga tahun terakhir, ia hanya butuh
waktu sehari semalam untuk mengkhatamkan al-Qur’an. Mengingat kemampuan santri yang berbeda-
beda, riyadhah (latihan diri) yang telah dilakukan oleh KH. M. Munawwir muda ini tidak serta merta
diterapkan di Pondok Pesantren Krapyak. Lihat Kementerian Agama RI, Para Penjaga Al-Qur’an
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Al-Qur’an, 2011), Cet. Pertama, h. 24.
76

hal ini, ketiga tahapan tersebut bersifat hirarkis atau bertingkat. Tahap qiraah sab’ah
hanya bisa ditempuh jika santri telah lulus tahap bi al-ghaib, sedangkan tahap bi al-
ghaib hanya bisa ditempuh oleh santri jika ia telah lulus tahap bi al-nadhar.
Agar hafalan para santri tidak hilang, maka ada 2 cara yang diajarkan
Pesantren Krapyak kepada santrinya dalam menyetorkan hafalan, yaitu: 1.
Menambah hafalan. Santri diwajibkan setiap hari menambah hafalannya minimal 1
halaman116 dengan lancar dan benar tajwidnya; 2. Mengulang hafalan. Santri tidak
hanya menyetorkan hafalan-hafalan baru, tetapi juga mengulang ayat-ayat yang
telah dihafalkan. Minimal 10 halaman atau setengah juz yang harus disetorkan. Bila
setoran lancar, diizinkan melanjutkan. Bila tidak lancar, maka santri tidak diizinkan
melanjutkan dan harus setor ulang pada pertemuan berikutnya.
Adapun waktu setoran adalah ba’da subuh dan ba’da maghrib. Dua waktu ini
dipilih karena 2 waktu inilah waktu lebih utama untuk zikir dibanding waktu-waktu
yang lain. Sedangkan zikir yang terbaik adalah membaca al-Qur’an. Pilihan waktu
ini secara tidak langsung akan menumbuhkan kebiasaan santri untuk selalu
meningkatkan diri dalam kedekatan kepada Allah. Dalam hal ini melalui membaca
al-Qur’an secara istiqamah. Sedangkan pilihan 2 cara setoran, yaitu menambah
hafalan dan mengulanginya merupakan upaya Pondok Pesantren Al-Munawwir
Krapyak Bantul Yogyakarta untuk menumbuhkan rasa tanggungjawab pada santri
yang telah diberi kemudahan oleh Allah untuk menghafalkan ayat-ayat al-Qur’an.
Sementara di Pesantren Yanbu’ Kudus, adanya hubungan guru dengan murid
yang sangat kuat antara KH Munawwir Krapyak dan KH Arwani (sebagai murid
terbaik) menjadikan metodologi pembelajaran tahfidz al-Qur’an di Yanbu’ Kudus
bisa dikatakan sama persis dengan Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak yaitu
adanya pembagian kelompok bi al-nadzar dan bi al-ghaib dan adanya persyaratan
bagi yang khatam bi al-Nadzar disamping sudah khatam setor membaca mushaf al-
Qur’an mulai juz satu sampai juz tiga puluh ditambah juga menghafalkan juz ‘amma
dan tujuh surah pilihan. Jika ini sudah terpenuhi semua, maka santri tersebut
diizinkan untuk mengikuti wisuda khataman al-Qur’an bi al-nadzar dan masuk ke
kelas bi al-Ghoib. Proses setoran bi al-Ghoib juga sama dengan Krapyak minimal

116
Maksudnya 1 halaman al-Qur’an pojok. Ada beragam model percetakan al-Qur’an, salah
satunya adalah al-Qur’an yang setiap pojoknya ra’s al-ayat (pangkal ayat). Mushaf al-Qur’an inilah yang
banyak dipakai para hafidz-hafidzah.
77

satu hari satu halaman maksimal tidak dibatasai kemudian sampai akhir ada ujian
membaca tiga puluh juz. Demikian yang bisa dijelaskan terkait metode
pembalajaran menghafal al-Qur’an di Yanbu’ul Qur’an Kudus.
Seperti diketahui, pengasuh Pesantren Tahfidz Yanbu’ul Qur’an Kudus
adalah santri terbaik dari KH. Munawwir Krapyak. Adanya jaringan keilmuan guru
dan murid inilah menjadikan model pembelajaran tahfidz Pondok Tahfidz Yanbu’ul
Qur’an Kudus dan di Pondok Pesantren Krapyak sama. Pondok Tahfidz Yanbu’ul
Qur’an Kudus juga menerapkan 2 metode yaitu setoran ayat-ayat yang baru
dihafalkan dan mengulang ayat-ayat yang telah dihafalkan sebelumnya. Santri
menyetorkan hafalannya minimal dua orang-dua orang. Sedangkan Kyai/Bunyai
menyimak dengan seksama dan membenarkan bila terdapat beberapa kesalahan atau
mengingatkan bila lupa.
Model penyetoran hafalan seperti ini terus-menerus mulai juz 1 sampai 30
juz. Pengalaman salah satu santri bila dia akan menyetorkan hafalan harus
mempersiapkan dengan sebaik-baiknya. Bila persiapan tidak kuat dipastikan hafalan
yang sudah ditargetkan gagal. Maka, esok hari dia harus mengulangi ayat tersebut.
Disamping itu, persiapan harus benar-benar kuat karena sistem setorannya bersama-
sama. Kekuatan konsentrasi inilah yang diperlukan. Masing-masing santri akan
memiliki pengalaman yang berbeda-beda.
Metode yang sama, yaitu bi al-nadzar dan bi al-ghaib, juga diterapkan oleh
Pondok Pesantren Al-Falah Bandung.117 Meski pada awalnya focus pada tilawah
atau nagham, pesantren ini pada akhirnya memasukkan materi tahfidz al-Qur’an
pada tahun-tahun berikutnya. Oleh karena itu, santri-santri yang mengkhususkan
pada tahfidz al-Qur’an dan keilmuwan keislaman dikategorikan sebagai santri
takhassush. Metode pembelajaran bagi santri takhosssush tidak sama dengan santri
reguler yang semuanya mengikuti kegiatan sekolah formal. Santri tahfidz ini
memperoleh perhatian khusus dari pengasuh pondok pesantren al-Falah, Kyai
Syahid, sehingga ia sendiri yang menyimak setoran hafalannya.
Pada tahap bi al-Nazhar, santri diwajibkan menguasai materi ilmu tajwid,
antara lain materi makhraj al-Huruf, sifat al-Huruf dan hukum-hukum bacaan. Kyai

117
Pengertian bi al-nazhar dan bi al-ghaib telah diuraikan dalam penjelasan Pondok Pesantren
Krapyak
78

Cecep Abdullah mengistilahkan dengan tahfidz al-Huruf atau cara pengucapan


huruf. Menurutnya, santri baru yang notabene tingkat kemampuannya beragam
harus ditekan dan diwajibkan sampai benar-benar menguasainya lebih kurang
selama dua bulan. Inilah yang disebut dengan tahapan atau peringkat mushaf
mu’alla atau tahapan pembacaan mushaf kelompok pemula. Usaha keras dan
kesabaran para pengajar di tahap pemula sangat diperlukan, karena murid atau santri
masih belum lancar, banyak kesalahan dalam melafalkan ayat-ayat al-Qur’an.
Dengan demikian, target utama peringkat ini adalah kelancaran dan ketepatan
pembacaan al-Qur’an tanpa mempertimbangkan irama membacanya.
Materi selanjutnya adalah hafalan. Hafalan yang pertama adalah juz ‘amma
(juz 30) diteruskan dengan tujuh surah pilihan yaitu surah yasin, al-Waqi’ah, al-
Rahman, al-Sajdah, al-Kahfi, al-Dukhan, al-Insan. Artinya, sebelum santri masuk
kelas tahfidz tiga puluh juz, ia sudah memiliki hafalan juz tiga puluh dan tujuh surah
pilihan. Hal ini sekaligus sebagai upaya latihan hafalan sebelum memulai juz satu
dan seterusnya sampai juz dua puluh sembilan. Argumentasi ayat dan surah-surah
pilihan tersebut sama persis dengan Pondok Pesantren Krapyak yang dijadikan
sebagai rujukan utama tahfidz di Indonesia.
Santri yang telah lulus pada tingkat pemula akan direkomendasikan untuk
peringkat berikutnya, yaitu mushaf murattal. Pada tingkat ini penekanan utamanya
adalah pembacaan mushaf secara murattal. Bila peringkat sebelumnya target
utamanya adalah kelancaran dan ketepatan penerapan kaidah tajwid dalam membaca
al-Qur’an, pada tingkat ini penekanannya pada seni melagukan ayat-ayat al-Qur’an.
Setiap santri akan diajari irama-irama membaca ayat al-Qur’an sebagaimana yang
diperdengarkan pembacaan murottal di beberapa CD. Karena menurut pengasuhnya,
melalui seni baca al-Qur’an dapat lebih mudah menarik perhatian masyarakat.
Santri yang telah lulus pada tahap pertama akan direkomendasikan untuk
memilih tahap berikutnya, yaitu pertama tahfidz bil ghaib, kedua Qira’ah asyrah,
dan ketiga mujawwad atau memilih ketiganya. Bagi yang memilih tahfidz, hafalan
dimulai dari juz satu karena telah memiliki hafalan juz ‘amma dan tujuh surah
pilihan dilanjutkan sampai juz dua puluh sembilan. Sedangkan bagi yang memilih
Qira’ah ‘Asyrah materi pembelajarannya antara lain adalah Nafi’, Ibn Katsir, Abu
‘Amr, Ibnu ‘Amir, ‘Ashim, Hamzah, al-Kisa’i, Ya’qub, Khalaf, dan Abu Ja’far.
79

Bagi yang memilih mujawwad akan ditekankan pada pembelajaran memperbagus


bacaan yang dilengkapi dengan ilmu nagham yaitu Bayati, Hijaz, Saba’, Rast,
Jiharkah, Sikah dah Nahawan.
Untuk lebih jelas metode tahfidz di Pondok Pesantren Al-Falah Bandung
dapat dilihat dalam gambar berikut:

Santri Baru

Kelas A

Bi Al-Nazhar

Tingkat I Tingkat II

Mu’alla (Pemula) Murattal

Materi: Materi:

Makhraj al-Huruf, Sifat, Penguatan salah satu


Bacaan tajwid, hafalan Kelas B irama dalam membaca
juz 30, hafalan tujuh al-Qur’an
surah pilihan (memilih salah satu)

Kelas B.1 Kelas B. 2 Kelas B. 3 Kelas B. 4

Bi al- Qiro’ah ‘Asyrah Mujawwad Gabungan dari


Ghaib/Tahfidz 30 ketiga kelas B.1,
Juz B.2, dan B.3

PP. Hamalatul Qur’an menerapkan metode menghafal al-Qur’an yang


dinamakan habituasi (pembiasaan), baik dalam: mengahafal, mengulang
(muraja’ah) dan memperdengarkan hasil hafalan kepada guru, atau teman, atau
kepada orang lain. Selian itu, Hamalat al-Qur’an menerapkan metode Disiplin
Edukasi dengan slogan, “Moco Njogoroto” yaitu: moco (membaca), njogo
(menjaga), dan roto (sama rata), di mana 3 tahapan metode ini tidak diterapkan di
lembaga tahfiz al-Qur’an yang lain.
80

Kelebihan yang dihasilkan dari metode Habituasi dengan konsep “Moco


Njogoroto” di PP. Hamalat al-Qur’an adalah:

Pertama, Proses menghafal al-Qur’an 30 juz bisa diselesaikan dengan waktu


yang relatif cepat karena efektifitas jadwal kegiatan (menghafal (tahfiz), mengulang
(muraja’ah), dll.) yang sangat padat. Habituasi (Pembiasaan) membaca al-Qur’an
atau moroja’ah (mengulang ayat yang sudah dihafal) antara 5 sampai 6 juz perhari,
dan khatam mengulang al-Qur’an 30 juz tiap 5 atau 6 hari sekali, memberikan efek
positif bagi para murid untuk melancarkan bacaan al-Qur’an dan meningkatkan
kecepatan dalam menghafal dengan memperhatian kualitas bacaaan yang baik
sesuai ilmu tajwid selain hafalan dengan irama yang enak didegar. Kelebihan yang
dimiliki dari pembiasaan ini selama di pondok, akan terus terbawa oleh para murid,
di mana mereka setelah pulang dari pondok dan balik kampung tidak merasa
terbebani jika diundang khatamaan al-Qur’an 30 juz.

Kedua, murid-murid tidak sekedar hafal al-Qur’an dengan waktu yang relatif
cepat, tetapi hafalannya selain diucapkan dengan benar sesuai ilmu Tajwid, juga
dilantunkan dengan irama hafalan yang enak didengar, hasil dari habituasi para
murid mendengarkan rekaman murattal syaikh-syaik kaliber dunia pada pada waktu-
waktu tertentu, yang dijadwalkan.

Ketiga, murid-murid selain mampu menghafal al-Qur’an 30 juz, juga


diperkuat hafalannya dengan memahami tafsir al-Qur’an yang diajarkan secara
khusus setelah mereka hafal 30 juz. Misalnya tafsir Jalalain, Ibn Katsir, dll.

Namun demikian, terdapat kelemahan dari penerapan metode habituasi


(pembiasaan) ini, baik dalam mengahafal, mengulang (muraja’ah) ataupun metode
disiplin edukasi, yaitu: pertama, penerapan metode ini membutuhkan Jadwal
kegiatan yang sangat padat dan ketat. Hal Ini tentu membutuhkan pengawasan 24
jam, agar proses pembelajarannya betul-betul bisa berjalan dengan baik. Kedua,
dibutuhkan stamina para murid yang baik. Kalau stamina para murid tidak prima,
mereka yang belum terbiasa dengan jadwal yang ketat seperti ini, bisa jatuh sakit
karena ketatnya jadwal akibat waktu tidur (istirahat) yang relatif sangat sedikit.
Tentu saja ini berpotensi mengganggu konsentrasi untuk menambah hafalan al-
81

Qur’an. Ketiga, ketatnya jadwal yang diterapkan diesantren, dan waktu istirahat
tidur para murid yang relatif pendek, dan pada saat yang sama mereka mengikuti
pendidikan di luar pondok, (sekolah SMP, Tsanawiyah, dll.), seringkali proses
pendidikan yang diikuti di luar pondok menjadi terkelahkan, akibat di antara mereka
yang kelelahan, dan akhirnya mereka kelihatan lesu atau bahkan tertidur pada waktu
belajar di sekolah formal di luar pesantren.118

Menurut K. Ainul Yaqin, “Slogan, “Moco Njogoroto” aplikasinya melalui


tahapan sebagai berikut119:

Pertama, Kaifiyat ul-ada’ wa al-tahammul wa sifat al-rijal. Tata cara


menghafal al-Qur'an dengan dibacakan guru terlebih dahulu, kemudian murid
disuruh baca. Setelah dinyatakan fasih (haqqo tilawatih), barulah si murid
dipersilahkan menghafal ayat al-Qur'an. Setelah hafal, kemudian ayat al-Qur'an
yang dihafal murid, dibaca di hadapan guru.

Kedua, Kaifiyatul dzikri wal muraqabah. Tatacara menjaga hafalan dan


menciptakan reflek positif yang fasih dengan membaca bersama-sama, dengan
kaidah yang sama, lagu yang sama, dengan didampingi seorang guru.

Ketiga, kaifiyatul istima’ fis shalah wal inshath. Semua ma'mum wajib
menyimak menggunakan mushaf pojok dengan memperhatikan cara baca imam
dengan khusyu’ dan seksama, kkhatam dalam waktu 2 bulan sekali.

Menurut K Ainul Yakin, dengan menerapkan metode 3 kaifiyah yang telah


diobservasi akan tercipta rekaman yang betul-betul “mbalung syumsum”
(mengakar) seperti halnya ketika para sahabat menerima sebaran wahyu al-Qur’an
yang diturunkan malaikat jibril kepada Nabi Muhammad Saw. Selain itu, secara
otomatis tercipta kondisi hafal-menghafal, baik secara bersama-sama atau
sendirian”.120

2. Metode Tahfidz di Iran

118
Wawancara dengan Ustd. Imron Rosyadi salah satu guru dan tokoh masyarakat, tanggal 23
Agustus 2018.
119
Wawancara dengan KH. Ainul Yaqin, SQ, pada hari Rabo, 19 September 2018.
120
Wawancara dengan KH. Ainul Yaqin, SQ, pada hari Rabo, 19 September 2018.
82

Secara keseluruhan metode tahfidz al-Qur’an yang diterapkan di Iran hampir


sama, karena target utama yang dikejar sama yaitu menghafal al-Qur’an sekaligus
memahami kandungannya. Para ulama di Iran tidak merekomendasikan menghafal
al-Qur’an hanya secara tekstual. Akan tetapi, harus memahami isi dari semua ayat
yang telah dihafal. Dalam sub bab ini akan diuraikan tahapan metodologis dalam
menghafal al-Qur’an di Iran. Menurut Hujjatul Islam dan Muslim Prof. Hakimi.
Menurut Prof. Hakimi, pembelajaran tahfidz al-Qur’an di Iran melalui tartibi
(tartib mushaf) yang didahulukan ayat-ayat mudah baru kemudian dilanjutkan ayat-
ayat sulit. Oleh karenanya pembalajarannya dimulai juz 30, surat al-Nas baru
kemudian al-Naba’, setelah juz 30 selesai langsung ke juz satu, kedua dan
seterusnya. Menurutnya terdapat lima tahapan dalam proses pembelajaran al-Qur’an
atau tahfidz al-Qur’an.
Pertama, siswa diarahkan untuk membaca teks yang akan dihafalkan, contoh
ِ َ‫سآ َءلُ ْونَ َع ِن النَّب‬
“..... ‫اء اْلعَ ِظ ِیم‬ َ َ ‫” َع َّم يَت‬, sedikit ayat dulu dibaca berulang kali dengan tujuan
siswa bisa membaca gaya bahasa lafadz yang dihafalkan, jadi tidak tiba-tida
dihafalkan tetapi dibaca berulang-ulang terlebih dahulu.
Tahapan kedua adalah al-istima’, mendengarkan semua siswa yang akan
menghafalkan setelah membaca sendiri surat yang telah ditentukan, kemudian siswa
mendengarkan salah satu Syeikh yang terbaik di lembaga ini. Menurut al-Ustadz
Shiddiq al-Minsawi (Iran), setiap siswa mendengarkan suara Syeikh kira-kira
setengah atau satu halaman secara berulang kali, sehingga masing-masing siswa itu
tahu cara membaca dengan bagus dan masuk dalam memorinya. Apa yang
didengarkan dari Syekh Shiddiq al-Minsawi tadi adalah satu halaman atau satu surat
ِ َ‫سا َءلُ ْونَ َع ِن النَّب‬
“..... ‫اء اْلعَ ِظ ِیم‬ َ َ‫ ” َع َّم يَت‬itu didengarkan berulang kali sehingga masuk ke
dalam memori.
Kemudian langka ketiga adalah pemahaman. Al-nadrah mafihim al-ayat,
yaitu memikirkan atau memahami isi ayat yang akan dihafal. Tahapan yang ketiga
ini sangat penting kerena seorang hafidz harus memahami kandungan ayat yang
akan dihafalkan sehingga dia memahami apa saja yang diperintahkan dan dilarang
Allah Swt.
Tahapan yang keempat adalah al-tikrār, yaitu mengulang-ngulang ayat yang
telah dihafal. Jadi ayat-ayat yang telah dilalui dalam tahapan pertama, kedua dan
83

ketiga harus diulang-ulang supaya tidak hilang. Dengan mengulang-ngulang proses


ini otomatis seorang hafidz dapat mentadabbur maknanya, Syekh Hakimi sangat
menyayangkan hanya hafal ayat-ayat saja tetapi sama sekali tidak tahu isinya,
padahal banyak ayat al-Qur’an yang menjelaskan “.... ‫”أفال يتدبرون القرآن‬.
Ketika mengulang-ngulang ayat ini tidak hanya mengulang teksnya tetapi
juga menghafalkan nomor halamannya, jadi yang diulang-ulang adalaj ayatnya,
nomor ayat, pemahaman isi, ayat demi ayat, juz demi juz, diulang-ulang sekuatnya
atau sebanyak mungkin. Menurutnya, menghafal al-Qur’an itu dikatakan maqbul
jika seseorang itu dapat memahami maknanya atau isinya. Beliau menggunakan
dalil dari QS. al-Tawbah [9] ayat 67; ‫س ْوا هللاَ فَ َن ِسیَ ُهم‬
ُ َ‫ن‬, ketika seseorang melupakan
Allah, maka Allah pun akan melupakannya.
Jadi tahapan satu, dua, dan tiga, yaitu tahapan membaca, mendengarkan dan
memahami itu adalah modal awal untuk mencapai tahapan keempat, yaitu
mengulang-ngulang. Pengulangan ayat ini sudah dikatakan komplit dengan
pemahaman ayatnya.
Syekh Hakimi mengusulkan, seharusnya para hafidz itu mengetahui
kandungan-kandungan makna ayat al-Qur’an yang dihafal. Kalaupun tidak bisa
secara rinci, para hafidz-hafidzah tersebut mengetahui makna secara globalnya,
mengetahui apa perintah dan apa larangan, contoh seperti ayat tentang hukum/fiqh.
Menurut beliau adalah wajib bagi hafidz mengulang-ngulang terus ayat yang telah
dihafal, jika tidak diulang-ulang akan dikhawatirkan hilang hafalannya.
Menurutnya, ketika ditanya tentang pembelajaran qira’ah sab’ah – arba’at
al-‘asyar, beliau mengatakan di Iran yang belajar qira’at sangat sedikit, tetapi yang
menghafal al-Qur’an dan makna-maknanya sangat banyak. Proses mengulangnya
harus sampai tidak melihat mushaf, padahal awalnya mungkin satu-dua kali melihat,
akan tetapi ketika dipastikan sudah beberapa kali maka mushafnya dilepas. Jadi
tingkat tikrār-nya sampai tidak memegang mushaf. Pengulang-ngulang hafalan ini
sangat tergantung tingkat kesulitan ayat atau kemampuan hafidz. Masing-masing
hafidz berbeda berapa kali ia mengulang, bisa jadi sampai 7 kali atau lebih, sesuai
dengan kebutuhan siswa.
84

Adapun tahapan yang kelima adalah al-itqān, yaitu meyakinkan atau


penguatan hafalannya sampai pada keselurhannya atau atqan. Seorang mukmin yang
mengamalkan sesuatu harus yakin.
Itulah 5 tahapan yang diberikan Syekh Al-Hakimi yang diterapkan di
lembaga tahfidz di Iran. Menurutnya, mengulang hafalan adalah hal yang penting
dalam proses menghafal al-Qur’an ada 4 tahapan: Pertama, mengulang semua juz
yang sudah dihafal, semisal sudah menghafal 4 juz maka setiap hari 4 juz itu sudah
terbaca, kemudian dianggap baik diluar kepala, fī ẓahr al-qalbi, menancap dalam
hati, maka kemudian ditambah dengan juz yang baru yang akan dihafalkan. Kedua,
mengulang hafalan yang baru sebanyak mungkin sampai kuat. Ketiga, mengulang
surat per-surat. Keempat, mengulang ayat atau juz yang baru diulang-ulang sampai
diluar kepala.
Syekh Hakimi melanjutkan, bila seorang hafidz baik usia anak-anak atau
dewasa jika sama sekali tidak mengetahui maknanya kurang bernilai, atau kurang
memberikan pengaruh baik terhadap dirinya. Maka beliau menggunakan dalil QS.
al-Naḥl ayat 44; “‫ ”بالبینات والزبور‬ini adalah dinisbahkan kepada Rasul, ketika rasul
menjelaskan maknanya kepada para sahabat, maka kita sekarang sebagai guru
mampu menjelaskan maknanya kepada murid yaitu ayat-ayat akan dihafal,
meskipun secara global. Beliau memberi contoh, “‫”فَ َمن يَ ْع َم ْل ِمثْقَا َل ذَ َّرةٍ َخی ًْرا يَ َره‬, paling
tidak murid mengetahui secara global maknanya bahwa perbuatan baik-jelek,
masing-masing akan dibalas oleh Allah. Makna global jangan sampai kita tidak
memberikan pemahaman kepada anak-anak. Sedangkan untuk usia dewasa
ditekankan memahami secara luas lagi.
Ada beragam model hafidz. Ada yang menghafal lafadznya, tetapi tidak tahu
maknanya, ada pula yang paham maknanya. tetapi tidak hafal lafadznya secara
bagus. Menurut Syekh Hakimi, yang hafidz hamil al-Qur’an secara hakiki adalah
hafal secara teksnya, memahami maknanya, dan bisa mengamalkannya. Ia mengutip
ِ ‫ض ْال ِكت َا‬
ٍ ‫ب َوتَ ْكفُ ُر ْونَ ِب َب ْع‬
ayat; “‫ض‬ ِ ‫”أَفَتُؤْ ِمنُ ْونَ ِب َب ْع‬.
Di samping itu, muncul pula beberapa tehnis utama yaitu hafal 30 juz beserta
maknanya. Salah satu pencetus tehnis metodologis tahfidz al-Qur’an adalah Sayyid
Muhammad Mahdī Ṭabāṭabā’ī, pimpinan utama Jami’at al-Qur’an wa Ahl al-Bait.
Setelah beberapa tahun mengumpulkan beberapa metode dan tehnis-tehnis
85

menghafal al-Qur’an di berbagai negara, ia mampu melahirkan tehnik baru berupa


isyarat atau bahasa tubuh.
Tehnik isyarat adalah sebuah metode menghafal al-Qur’an lafadz dan
maknanya dengan tehnis bahasa tubuh. Sayyid Mahdī telah berhasil merumuskan
beberapa gerakan anggota tubuh untuk melambangkan beberapa kosa kata dalam al-
Qur’an, sehingga murid hanya dengan melihat gerakan tangan gurunya, ia mampu
mengucapkan teks ayat yang dimaksud secara sempurna.
Menurut Sayyid Mahdī, metode isyarat ini sangat mempermudah murid
menghafalkan materi bukan hanya ayat al-Qur’an dan kaidah tajwidnya tetapi juga
hadis ataupun lainnya. Sayyid Mahdī juga memanfaatkan alat tulis kertas dan pensil.
Kedua alat ini ia gunakan sebagai media pembelajaran tahfidz al-Qur’an. guru dapat
menuliskan 1 ayat dalam sebuah kertas kecil untuk dipertunjukkan dan dibacakan
dan dijelaskan maknannya kepada murid. Kemudian murid bisa menirukan guru
menulis, membaca dan memahami maknanya.
Tidak hanya itu, Sayyid Mahdī dengan kreatifitas yang luar biasa berhasil
menggunakan alat tulis kertas dan pensil ini untuk membangun imaginasi murid.
Seorang guru dapat menuliskan satu ayat apa saja yang akan dihafalkan oleh murid
di atas kertas, murid mengamati gerakan jari-jari tangan guru. Setelah tulisan di atas
kertas sempurna, guru membacakannya berulang-ulang, sampai pada akhirnya,
murid yang mayoritas anak-anak, dapat melafalkan ataupun menebak bunyi ayat
yang sedang ditulis oleh guru hanya dengan memperhatikan gerakan jari-jari tangan.
Metode Jami’at al-Qur’an tidak hanya dimiliki oleh Iran bahkan beribu-ribu
lembaga yang ada di Iran juga menggunakannya. Oleh karena itu, metode ini tidak
hanya dipakai oleh orang-orang dewasa atau anak-anak kecil akan tetapi untuk
semua usia, semua lembaga pendidikan dapat menerapkan metode ini.
Metode ini sangat baik karena dapat menarik mereka untuk semangat
menghafal, memahami al-Qur’an. Karena cara-cara yang lain kadang-kadang bisa
membuat orang itu lelah atau bahkan menjadi tidak suka dan sebagainya. Maka
metode ini merupakan metode yang baik yang bisa menarik simpati masyarakat
kepada al-Qur’an. Dan ini juga bisa kita merealisasikan atau membumikan metode
tersebut dengan menjadikan salah satu metode terbaik untuk pemahaman dan
penghafalan al-Qur’an. Demikian penjelasan ketua Jami’at al-Qur’an.
86

Metode pengajaran ayat Quran dengan menggunakan isyarat yang diciptakan


oleh Sayyid Mahdi Thabathabai memang luar biasa. Anak beliau yang pertama pada
usia 5 tahun di bawah bimbingan beliau sendiri, sudah hafal seluruh juz al-Qur’an
beserta pemahaman arti atau maknanya, bahkan mampu menghafal topik-topiknya.
Misalnya saja, ketika ditanyakan kepada si anak untuk menyebutkan ayat-ayat apa
saja yang berkaitan dengan topik tertentu, maka si anak akan menjawab dengan
menyebutkan ayat-ayat yang dimaksud dengan benar. Selain itu, si anak juga
mampu bercakap-cakap dengan bahasa al-Qur’an. Misalnya saja, ketika ditanya
tentang makanan yang disukai, maka si anak menjawab “Kuluu mimma fil ardhi
halaalan thayyibaa”(Q.S al-Baqarah:168).
Anak kedua juga memiliki kemampuan sama, tapi sedikit lebih lambat,
mungkin usia 6 atau 7 tahun. Keberhasilan anak-anak Sayyid Thabathabi itu benar-
benar menjadai fenoema baru saat itu, sehingga anak pertamanya diberi gelar
Doktor Honoris Causa di bidang Ulumul Quran oleh sebuah universitas di Inggris.
Sejak saat itu, gerakan menghafal al-Qur’an untuk anak-anak kecil di Iran benar-
benar berkembang pesat dan menjadi bagian dari kebijakan dan kurikum Pendidikan
di Iran.
Dalam hal ini, setiap anak penghafal al-Qur’an dihadiahi pergi haji bersama
orangtuanya oleh negara. Setiap tahunnya, ratusan anak kecil di bawah usia 10 tahun
berhasil menghafal al-Qur’an. Kebijakan ini bertujuan salah satunya adalah untuk
menepis isu-isu dari musuh-musuh Islam yang ingin memecah-belah umat muslim,
yang menyatakan bahwa Quran-nya orang Iran itu beda/ lain daripada yg lain).
Metode seperti itu merangsang kecerdasan anak karena secara bersamaan
anak akan melihat gambar, mendengar suara, melakukan gerakan-gerakan yang
selaras dengan ucapan verbal, dll. Sebaliknya, menghapal secara membabi-buta,
malah akan membuntukan otak anak. Selain itu, anak-anak yang menghapal Quran
dengan melalui proses isyarat ini (jadi mulai sejak balita sudah masuk ke sekolah
itu) lebih berhasil dibandingkan anak-anak yang masuk ke sana ketika usia sekolah.
Sejatinya, menghafal al-Qur’an disertai pemahaman atas artinya lebih bagus dan
awet ketimbang sekadar menghafal dengan lisan.
Hal lain yang menarik dalam pembelajaran tahfidz Qur’an di Iran adalah
metode evaluasi. Semua lembaga tahfidz di Iran yang menjadi obyek penelitian ini
87

memberlakukan tes atau ujian sebagai alat evaluasi keberhasilan. Adapun model
ataupun tahapan evaluasinya secara umum adalah sebagai berikut:
Pertama, ujian kenaikan juz. Setiap siswa yang telah menyelesaikan setoran
hafalan ke guru pendampingnya harus mendaftarkan diri untuk diuji. Bila lulus, dia
diizinkan untuk menghafalkan juz berikutnya. Kedua, ujian merumuskan potongan
ayat. Dalam hal ini, guru membacakan setengah atau satu ayat kemudian murid
meneruskannya sampai sempurna beberapa halaman. Ketiga, ujian menyebutkan
nomor ayat dan nomor surat. Maksudnya guru menyebutkan nomor ayat, murid
menyebutkan ayatnya. Demikian juga sebaliknya.

Adapun komponen penilaiannya meliputi: Penerapan kaidah tajwid dalam


bacaan; Kelancaran hafalan; dan pemahaman makna.

Sebagai motivator kepada para santri. Setiap yang dinyatakan lulus harus
mengadakan tasyakuran berupa membawa kue –semampunya– untuk dibag-bagikan
ke teman sekelasnya juga guru pembimbingnya. Ujian ini berlaku sampai mencakup
30 juz.

Adapun di lembaga tahfidz virtual, metode evaluasi yang diterapkan juga


terbilang unik, meski secara materi atau isi tentu sama dengan metode yang
diterapkan oleh Lembaga-lembaga lain di Iran. Dalam hal ini, cara evaluasi yang
diterpakan adalah melalui telepon. Bentuk pertanyaan hampir sama dengan yang
dijelaskan sebelumnya yaitu meneruskan potongan-potongan ayat termasuk nama
surat dan nomornya. Letak perbedaannya hanya medianya yaitu dengan telepon.

Sementara di lembaga Jami’at Al-Qur’an wa Ahl al-Bait, metode


evaluasinya sedikit berbeda atau terdapat tambahan dan variasi. Hal ini terkait
dengan materi dan metode pembelajarannya yang diterapkannya. Karena lembaga
ini menggunakan alat bantu berupa gerakan tangan atau bahasa tubuh, maka
ujiannya antara lain berbentuk guru menggerakkan tangannya, murid mengamatinya
kemudian membacakan ayat dan maknanya sesuai dengan yang dimaksud dari
gerakan tersebut. Demikian sebaliknya, guru membacakan ayat, murid menjelaskan
maknannya dengan lisan dibarengi dengan gerakan tangan atau bahasa isyarat.

3. Metode Tahfidz al-Qur’an di Turki


88

Metode tahfidz Sulaimaniyah ini menurut pengakuan beberapa ustadz


pesantren Sulaimaniyah termasuk metode menghafal al-Qur’an tertua di dunia.
Sebagian mengatakan usia metode ini hampir sekitar 600 tahun. Metode menghafal
Sulaimaniyah ini sangat berbeda dengan metode menghafal al-Qur’an di beberapa
pesantren di Indonesia.
Mushaf yang biasa dipakai dan menjadi pegangan para murid di Ma'had
Sulaimaniyah untuk menghafal al-Qur'an adalah al-Qur'an Pojok atau Mushaf
Bahriah. Mushaf ini untuk pertama kalinya diterbitkan penerbit Bahriyah di
Istambul, Turki. Karena itu, mushaf pojok ini juga dikenal dengan nama Qur'an
Bahriyah. Di Indonesia, penerbit pertama yang menerbitkannya adalah Menara
Kudus dengan mengkopi dari penerbit di Turki.121 Mushaf ini mempunyai sistem
yang teratur, yaitu: Pertama, setiap halaman diawali dengan awal ayat dan diakhiri
dengan akhir ayat. Kedua, setiap halaman terdiri 15 baris. Ketiga, setiap juz terdiri
20 halaman.

Dengan adanya sistem dan layout yang teratur semacam ini, para murid
yang akan menghafalkan al-Qur'an akan mudah untuk mengingat urutan
letak/posisi ayat al-Qur'an perhalaman, dan pergantian setiap halaman.122

Metode Turki Utsmani disebut juga dengan menghafal al-Qur'an model urut
mundur.123 Cara Menghafal al-Qur’an semacam ini tidak lazim menurut tata cara
menghafal al-Qur'an di negara-negara Islam yang lain. Metode tahfidz Usmani ini
berbeda dengan metode-metode tahfizh lainnya. Jika metode lainnya menghafalkan
al-Qur'an dari halaman pertama dari setiap juz, dari juz pertama sampai juz ke-30,
metode Utsmani di Turki menghafal mundur dari halaman terakhir (halaman ke-20
dari setiap juznya124 mulai juz ke-1, sampai juz ke-29 dan juz ke-30.

Tahapan menghafal al-Qur’an dengan metode Usmani di ma'had


Sulaimaniyah, dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, murid menghafal surat
Yasin. Pilihan surat Yasin yang dihafal pertama kali, semata-mata mencari dan
mendapatkan keberkahan dari surat Yasin, yang keistimewannya banyak disebut

121
Ummu Habibah, 20 Hari Hafal…, 61.
122
Sa‟dulloh, 9 Cara Praktis…, 39.
123
http://uicci.wordpress.com/perpustakaan/sistem-tahfiz-turki-utsmani/
124
http://uicci.wordpress.com/perpustakaan/sistem-tahfiz-turki-utsmani/
89

dalam hadis Nabi Saw dan ditulis ulama dalam karya-karya mereka, antara lain;
Allah Swt akan memudahkan untuk memenuhi hajatnya (menghafal al-Qur'an).125
Kedua, menghafal juz ke-30 yang berisi surat-surat pendek. Ketiga, menghafal juz
ke-1 sampai juz ke-29 dengan cara menghafal urut mundur.

Deskripsi menghafal al-Qur'an dengan cara urut mundur di ma'had


Sulaimaniyah dapat diuraikan sebagai berikut:

Pada hari pertama dari bulan ke-1, setiap murid di Turki menghafalkan dan
menyetorkan hafalan halaman terakhir (halaman ke-20) Juz pertama (surat al-
Baqarah/2:135-141). Kemudian di hari berikutya menghafalkan halaman terakhir
juz ke-2. Demikian seterusnya, sampai pada hari ke-30, setiap murid di ma'had
Sulaimaniyah Turki menghafal dan menyetorkan hafalan terakhir dari Juz ke-30.
Apabila target hafalan murid sehari 1 lembar terpenuhi, di bulan pertama, setiap
murid telah menghafal halaman terakhir dari keseluruhan 30 Juz dalam al-Qur'an.

Pada hari pertama, dari bulan ke-2, setiap murid di ma'had Sulaimaniyah
Turki menghafalkan halaman sebelum terakhir (halaman ke-19) dari juz ke-1.
Halaman ke-19 dari juz ke-1 ini disetorkan kepada guru pengajar bersama dengan
hafalan halaman terakhir (halaman ke-20). dari juz ke-1. Kemudian hari ke-2
berikutya menghafalkan halaman sebelum terakhir (halaman ke-19) dari juz ke-2.
Demikian seterusnya, sampai pada hari ke-30, setiap murid di Turki telah hafal
halaman ke-20 dan halaman ke-19 dari keseluruhan 30 juz al-Qur‟an.

Cara menghafal urut mundur semacam ini dilanjutkan hari-hari pada bulan-
bulan berikutnya sampai semua murid bisa menghafalkan 30 juz al-Qur'an. Dengan
metode Utsmani ini, santri-santri di ma'had Sulaimaniyah Turki rata-rata
menyelesaikan hafalan 30 juz al-Qur‟an dalam waktu 30 bulan atau 2,5 tahun.
Paling cepat bisa menghafal 30 juz dalam kisaran waktu, 8-10 bulan dan paling
lambat biasanya mereka menyelesaikan 30 Juz Al-Qur'an dalam waktu 3 tahun.
Setelah murid-murid menghatamkan hafalan al-Qur'an 30 Juz, mereka masuk kelas
Tafaqauh fi al-Din, mengkaji ilmu-ilmu alat Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf,

125
Ibrahim Ali al-Sayid Ali Isa, Fadzail Suar Al-Qur'an Al-Karim, (Mesir: Dar al-salam, 2010),
hal. 292-300. Lihat juga: https://dalamislam.com/landasan-agama/al-quran/keistimewaan-surat-yasin
90

Balaghah) ilmu hadist, ushul fiqh, fiqih, tafsir, dan sebagainnya, 126 selain belajar
ilmu qiraat 'asyarah di mana ilmu ini dianggap mulai langka, termasuk di
Indonesia.

Salah satu kelebihan dengan model hafalan di Ma'had Sulaimaniyah ini


adalah murid mendapatkan hafalan al-Qur'an yang kuat, mengetahui letak ayat al-
Qur'an dan halamannya. Hanya saja, apabila murid penghafal Al-Qur‟an tidak sabar
untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur‟an 30 juz, ia hanya hafal beberapa potong juz
dari al-Qur'an yang tidak berkaitan antara satu dengan yang lain. Model ini sulit
direalisasikan secara parsial (hafal sebagian) tetapi mudah jika dihafalkan secara
sempurna (30 juz) dalam jangka waktu kurang lebih selama 30 bulan atau sekitar
dua setengah tahun.127

Hasil belajar santri dalam menghafalkan Al-Qur‟an salah satunya ditentukan


adanya program evaluasi yang ketat dan berkelanjutan. Evaluasi pada dasarnya
merupakan alat untuk mengukur hasil yang telah direncanakan. Evaluasi adalah
suatu proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk menentukan kualitas (nilai dan
arti) dari sesuatu, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu dalam rangka
pembuatan keputusan.

Dalam program hafalan al-Qur'an, hal yang dievaluasi adalah sebagai


berikut:

a. Ketepatan menghafal al-Qur'an menurut Ilmu Tajwid


Murid yang sedang belajar menghafal al-Qur'an, harus mempelajari dan
mengetahui ilmu Tajwid. Tajwid secara bahasa berarti memperbaiki. Ilmu tajwid
merupakan suatu disiplin ilmu yang mempunyai kaidah-kaidah tertentu yang
harus digunakan sebagai pedoman dalam pengucapan huruf-huruf dari
makhrajnya disamping harus diperhatikan cara pengucapannya. Oleh karena itu,
saat menghafal al-Qur’an perlu dinilai bacaan yang dihafalkan, apakah sudah
sesuai kaidah tajwid atau belum?

126
https://m.hidayatullah.com/berita/berita-dari-anda/read/2018/02/14/135562/mengunjungi-
pesantren-sulaimaniyah-di-istanbul.html
127
http://digilib.uinsby.ac.id/22732/1/Hervina%20Kusumawati_D01214004.pdf
91

b. Ketepatan menghafal al-Qur'an secara urut


Dalam mengevaluasi ketepatan menghafal al-Qur‟an dapat diukur
dengan berdasarkan jumlah ayat yang dihafalkan baik yang baru maupun hafalan
lama yang telah dihafalkan. Dengan adanya evaluasi ini dapat diketahui hafalan
yang dapat melekat di dalam memori ingatan masing-masing murid penghafal
al-Qur‟an.128

Di antara kelebihan mengaplikasikan hafalan al-Qur’an dengan metode


hafalan al-Qur’an di Ma'had Sulaimaniyah ini adalah: Pertama, para murid atau
santri yang menerapkan metode menghafal Al-Qur’an di Ma’had Sulaimaniyah di
seluruh dunia, asalkan mereka mengikuti dan menerapkan metodenya dengan
disiplin, akan mampu menghafal al-Qur’an dan menguasai hafalannya dengan
mengetahui letak/posisi ayat al-Qur'an (pojok, atas, bawah, tengah, maju, mundur,
melompat, dll.), dan mengetahui letak ayat di setiap halaman al-Qur’an. Murid
memiliki hafalan al-Qur'an yang kuat dan detail, seakan-akan kalau diuji
hafalannya murid akan mampu menjawab dan melantunkan hafalan sesuai
pertanyaan yang diajukan, seakan-akan lembaran-lembaran al-Qur’an terbuka di
depan mata mereka. Kedua, para santri tidak berhenti menghafal al-Qur’an satu
model bacaan (qiraat), tetapi hafalan mereka diperkuat dengan melanjutkan fase
mengahafal al-Qur’an metode 10 qiraat. (qiraat ‘asyarah) yang langsung
dibimbing dan diawasi guru qiraat, yang sanad ilmunya bersabung sampai
Rasulullah Saw.

Namun demikian, jika ditelisik lebih mendalam, metode metode tahfidz di


lembaga Sulaimaniyah juga memiliki kekurangan atau dampak yang berat bagi para
santrinya. Misalnya saja, metode menghafal al-Qur’an harus hafal tuntas 30 juz.
Metode menghafal Sulaimaniyah menuntut ketekunan para murid dan setidaknya
dalam jangka waktu kurang lebih selama 30 bulan atau sekitar dua setengah tahun
(sampai hafal 30 juz), waktu ini digunakan untuk menghafal, mengulang, dan
menguatkan hafalan. Murid-murid yang teledor dan tidak menerapkan metode
menghafal al-Qur’an di ma’had Sulaimaniyah dengan disiplin, akan gagal
mengahafal al-Qur’an 30 juz dan koleksi hafalannya tidak runtut.

128
http://digilib.uinsby.ac.id/22732/1/Hervina%20Kusumawati_D01214004.pdf
92

Lebih dari itu, para santri penghafal al-Qur‟an di ma’had Tsulaimaniyah


yang tidak mampu untuk menyelesaikan hafalan al-Qur‟an 30 juz, murid tersebut
akhirnya hanya hafal beberapa potong ayat dari masing-masing juz al-Qur'an yang
terlepas antara satu ayat dengan ayat al-Qur’an yang lain, tidak terhubung, tidak
tersambung, dan tidak terkait ayat tersebut satu dengan yang lainnya (beda
halaman) dan tidak urut.

Selain itu, mereka tidak mengenal istilah hafal 3 juz, 5 juz, 10 juz, ataupun
15 juz, kecuali surat Yasin dan Juz ke-30 yang dihafalkan terlebih dahulu senbelum
memulai mengahafal dengan urut mudur tiap halaman dari juz ke-1 sampai juz ke-
29. Target hafalan harus selesai 30 juz. Arinya, metode ini menuntut kesiapann
mental dan kesabaran untuk tekun menghafal hingga khatam 30 juz.

4. Metode Tahfidz al-Qur’an di Arab Saudi


Di Arab Saudi, halaqah bertebaran hampir di setiap masjid, mulai dari
halaqah kajian ilmu hingga halaqah tahfidz al-Qur’an. Dari pengamatan yang
dilakukan, utamanya di halaqah Syeikh Muhammad Siraj di lingkungan lembaga
Shaulatiyyah dan juga di masjid-masjid, baik di Makkah maupun di Madinah,
halaqah tersebut secara umum didominasi oleh anak-anak dan remaja. Tidak hanya
terbatas pada santri dari dalam negeri (masyarakat Arab Saudi sendiri), tetapi juga
diikuti oleh para santri dari luar Arab, termasuk pelajar atau santri dari Indonesia.

Bisa dibilang, perkembangan tahfizh al-Qur’an di Arab Saudi kian


semarak. Hampir setiap kampung terdapat masjid yang mengadakan halaqah
tahfizh al-Qur’an, biasanya untuk anak laki-laki. Untuk laki-laki dewasa juga ada
meski tidak sebanyak halaqah tahfizh anak-anak. Sedangkan untuk tahfizh wanita,
baik anak-anak maupun dewasa diadakan di sekolah khusus tertutup bukan di
masjid, kecuali di masjid besar seperti Masjid Nabawi, karena memang tempatnya
memungkinkan. Bahkan, di sana juga ada lembaga yang kegiatannya terfokus pada
tahfizh bagi orang lanjut usia. Banyak diantara orang tua yang hafal al-Qur’an
padahal umurnya sudah lebih dari 50 tahun.
93

Selain itu, sebagai bukti maraknya perkembangan tahfidz di sana, pada


akhir tahun 2016, untuk pertama kalinya, dibuka Pusat Tahfidz Al-Quran “Al-
Ridwan” khusus untuk kelas kategori tunarungu (tuli) di Taif, sekira 100 km dari
Makkah al-Mukarramah. Kelompok ini menarik para guru yang mengkhususkan
diri pada ketidakmampuan mendengar dan bahasa isyarat. Bagi peserta kelas
khusus tahfidz quran disable ini, disediakan pelayanan khusus, seperti disediakan
transportasi antar jemput gratis bagi tinggal di Taif dan Al Hawaia, termasuk
mukafaah setiap bulan.

Inisiatif kelas khusus tunarungu oleh halaqah “Al-Ridwan” di distrik al-


Qayyim Taif ini, merupakan bentuk keterpanggilan sebagai tanggung jawab sosial,
terutama untuk melayani kelompok disable di masyarakat. Tujuannya tidak lain,
untuk belajar dan menghafal kitab Allah.129

Para pengajar tahfidz juga memiliki latar belakang yang cukup beragam.
Misalnya saja, ada di antara dokter-dokter itu yang hafal al-Qur’an bahkan
memiliki sanad al-Qur’an ikut menjadi pengajar atau membuka halaqah untuk
mengajarkan hafalan al-Quran kepada orang lain. Pagi bekerja sebagai dokter dan
sore hari mengajar al-Qur’an di masjid. Tidak jarang mereka menasihati pasien
untuk bertawakal kepada Allah dan tidak bertawakkal kepada dokter atau obat.
Mereka memahami bahwa dokter dan obat hanya sebab dan Allah yang
memberikan kesembuhan. Apabila kedatangan pasien anak kecil, terkadang anak-
anak itu ditanya tentang sejauh mana hafalan al-Qur’an yang sudah dikuasainya.130

Mengingat begitu maraknya halaqah-halaqah tahfidz al-Qur’an di Arab


Saudi, hal itu telah mendorong pemerintah setempat untuk mendata sekaligus
memantau perkembangan dan kelangsungan tradisi tahfidz berbasis halaqah
tersebut.

129
Pusat Tahfidz Al-Quran “Al-Ridwan” berdiri di bawah naungan lembaga amal Tahfidz al-
Quran “al-Furqan,” sebuah lembaga pendidikan dan tahfidz Quran terbesar di Taif dan saat ini memiliki
35 halaqah al-Quran dan 540 pelajar.
130
https://almanhaj.or.id/3913-praktek-keagamaan-di-saudi-arabia-dan-fakta-yang-dirasakan-
masyarakat-di-sana.html
94

Tahfizh al-Qur’an ini biasanya dilaksanakan setelah Ashar, karena waktu


pagi untuk belajar di sekolah. Sementara bagi mereka yang tidak sekolah pada pagi
hari, banyak di antara mereka yang memilih tahfizh pagi hari.131

Adapun metode pengajarannya, seorang ustadz akan membebani murid-


muridnya untuk menghafal ayat yang ditentukan, dan biasanya diawali dari
halaman pertama dari mushaf al-Qur’an. Misalnya saja Rafiq, dia menyetor 4
halaman dari juz pertama. Pada pertemuan berikutnya, dia akan menyetorkan 4
halaman berikutnya, sekaligus dibebani muraja’ah (mengulang hafalan) untuk 8
halaman pertama yang telah dihafal sebelumnya.132

Semakin lama menghafal, maka akan semakin bertambah pula hafalannya.


Konsekuensinya, beban muraja’ah pun akan bertambah. Komposisinya adalah
setiap hari harus menghafal ayat-ayat baru, menyetorkan hafalan baru dan
mengulang (muraja’ah) hafalan-hafalan lama yang semuanya dilakukan di hadapan
guru. Intinya, dalam menghafal al-Qur’an, seorang murid dibebani dua tugas
sekaligus, menghafal ayat-ayat baru sekaligus mengulang hafalan ayat sebelumnya.

Hal yang menarik terkait muraja’ah di halaqah Madinah adalah muraja’ah


biasanya dilakukan secara acak. Misalnya, ustadz akan membaca salah satu ayat
yang pernah dihafal oleh murid, lalu si murid harus melanjutkan bacaan ayat
tersebut. Begitu pula seterusnya sampai sang ustadz yakin akan kemampuan dan
kelancaran hafalan si murid.

Dari analisis perbandingan di atas dapat dipahami bahwa metode-metode yang


diterapkan di lembaga atau pesantren-pesantren tahfidz al-Qur’an di Indonesia tidak
mencakup pemahaman makna ayat-ayat yang dihafal. Bila di Indonesia ditemukan
seorang hafidz ataupun hafidzah yang hafal al-Qur’an 30 juz sekaligus memahami
maknanya. Hal ini bukan dari metode tahfidznya tetapi karena telah malampaui dua
tahapan yaitu tahap menghafal al-Qur’an dan tahap penguasaan ilmu gramatikal bahasa
Arab dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Dua tahapan ini dilakukan dengan cara berikut:
pertama, menghafalkan al-Qur’an terlebih dahulu 30 juz. Setelah proses atau tahap

131
M. Rifqi, Wawancara pribadi, Makkah tanggal 15 Desember 2018.
132
M. Rifqi, Wawancara pribadi.
95

menghafal al-Qur’an ini selesai, kemudian dilanjutkan mendalami ilmu gramatikal


bahasa Arab dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Dengan demikian, pada akhirnya
seorang hafidz tersebut tergerak untuk memahami ayat-ayat yang telah ia hafal.

Kedua, model lain yang ditempuh santri Indonesia adalah mempelajari ilmu
gramatikal bahasa Arab dan ilmu keislaman terlebih dahulu kemudian pada tahun-tahun
berikutnya dia masuk program tahfidz al-Qur’an. Dengan demikian, waktu yang
diperlukan relatif lama untuk mencetak para penghafal al-Qur’an yang memahami
maknanya.

Kedua model pembelajaran inilah yang menjadi faktor utama ditemukannya 3


profil santri di Indonesia: 1). Memahami kajian Islam berikut dalil-dalilnya tetapi tidak
hafal al-Qur’an 30 juz; 2). Hafal al-Qur’an dengan kualitas tinggi tetapi kurang atau
bahkan tidak mampu memahami kandungan maknannya; dan 3). Hafal al-Qur’an 30 juz
berikut maknannya.

Profil ketiga dapat terwujud di Indonesia bila kedua tahapan (kajian ilmu
keislaman dan tahfidz al-Qur’an dilampaui. Sedangkan bila berhenti di salah satu tahap
maka akan terlahir profil yang pertama atau kedua).

Dua negara lain yang juga menjadi obyek penelitian, yaitu Turki dan Saudi
Arabia juga tidak memasukkan pemahaman makna ayat dalam proses menghafalkan.
Maka, apabila ditemukan lulusan pesantren tahfidz al-Qur’an baik di Indonesia, Turki
ataupun Saudi Arabia yang mampu menghafal al-Qur’an 30 juz dan memahami
maknanya, bukan pengaruh dari faktor metode pembelajaran tahfidznya tetapi terletak
pada pengembangan pribadi hafidz atau hafidzahnya.

Selain pembelajaran tahfid al-Qur’an, lembaga-lembaga tahfid di Iran, Turki dan


Arab Saudi juga mengajarkan materi pendamping bagi para santri. Di Iran misalnya,
diajarkan materi tafsir, bahasa asing (utamanya bahasa Arab), filsafat, dan ilmu-ilmu
keislaman lainnya, termasuk materi ilmu pengtahuan dan teknologi. Di Turki, lembaga
tahfidz Sulaimaniyah juga menyisipkan materi qira’at, tajwid, dan bahasa. Para santri
juga diajarkan membaca dan memahami kitab-kitab tafsir, tawawuf, ushul fiqih, dan
ilmu hadis. Begitu juga di Arab Saudi, meski secara umum lembaga-lembaga tahfidz di
sana berupa halaqah-halaqah kecil, tetapi secara kurikulum terbilang komprehensif.
96

Para santri tidak hanya sekadar menghafal, tetapi diwajibkan mempelajari ilmu tafsir,
ilmu hadis, bahkan ilmu faraid. Tentunya hal itu ditunjang dengan pembelajaran bahasa
Arab sebagai dasar mempelajari kitab-kitab kuning, utamanya bagi para santri yang
berasal dari luar Arab Saudi.

Selain pembelajaran yang berbasis kitab-kitab keilmuan Islam, para santri di


Iran, Turki, dan Arab Saudi juga diberikan bekal ilmu dakwah atau retorika. Hal ini agar
mereka memiliki kemampuan untuk mengajarkan ilmu-ilmu yang mereka pelajari
sebagai bekal pengabdian di masyarakat nantinya. Dengan demikian, setelah lulus nanti,
para santri tidak hanya menyandang sebagai seorang hafidz, tetapi juga memiliki
kemampuan yang cukup di bidang keilmuan Islam, meskipun hanya dasar-dasar
keilmuannya saja.

Materi dan kurikulum pembelajaran tahfidz seperti itu, sebagaimana bisa


dijumpai di lembaga-lembaga tahfidz ataupun halaqah di Iran, Turki, dan Arab Saudi
memang berbeda dengan materi atau kurikulum yang kebanyakan diterapkan di
lembaga atau pesantren tahfidz di Indonesia. Meski tidak sedikit lembaga atau pesantren
tahfidz di Indonesia yang juga memberikan materi sisipan atau penunjang, tetapi
sebagiam besarnya masih fokus pada pembelajaran tahfidz atau menghafal al-Qur’an
saja. Dengan kata lain, pesantren-pesantren tahfidz di Indonesia secara umum lebih
fokus pada hafalan al-Qur’an 30 juz saja, tanpa memberikan materi atau pelajaran yang
berkaitan denga ilmu-ilmu keislaman.

Kenyataan yang ada pada pesantren-pesantren tahfidz di Indonesia tersebut salah


satunya disebabkan adanya semacam kesan atau stereotip bahwa pesantren tahfidz
merupakan tempat untuk menghafal al-Qur’an saja dan dianggap berbeda dengan
pesantren non-tahfidz (yang biasa mengaji dan mengkaji kitab-kitab kuning). Dalam hal
ini, pesantren-pesantren yang memfokuskan diri pada penghafalan al-Qur’an (pesantren
tahfidz) jarang membekali santrinya dengan ilmu-ilmu keislaman, semisal dalam bentuk
mengkaji kitab-kitab kuning. Begitu juga sebaliknya, pesantren yang menekankan pada
pengkajian kitab-kitab kuning jarang membekali para santrinya dengan materi
penghafalan al-Qur’an (tahfidz). Fenomena ini seolah menunjukkan betapa penghafalan
al-Quran (tahfid al-Qur’an) dan pengkajian kitab kuning merupakan dua kemampuan
yang berbeda dan sulit digabungkan dalam satu kurikulum di pesantren.
97

Alhasil, para santri lulusan pesantren tahfidz hanya mampu menghafal al-
Qur’an, namun tidak atau kurang memiliki kemampuan di bidang keilmuan Islam,
semisal penguasaan kitab-kitab kuning. Jika ingin mempelajari kitab-kitab kuning,
mereka biasanya selepas lulus dari pesantren tahfidz akan mencari dan melanjutkan
belajar ke pesantren lain untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman. Tetapi hal ini jarang
terjadi. Selain waktu belajar yang menjadi bertambah lama atau usia belajar bertambah
panjang, mereka juga seolah merasa cukup dengan menghafal atau menguasai 30 juz al-
Qur’an.
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis perbandingan mengenai metode
pembelajaran tahfidz al-Qur’an di empat negara (Indonesia, Iran, Turki, dan Arab
Saudi), maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Secara metodologis, pembelajaran tahfidz Qur’an di Indonesia, Iran, Turki, dan


Arab Saudi memiliki persamaan dalam hal bersambungnya jalur sanad keilmuan al-
Quran para guru atau pembimbing al-Qur’an kepada Rasulullah Saw. Hal ini
menunjukkan bahwa pengajaran al-Qur’an di kalangan lembaga dan pesantren di
keempat negara tersebut memiliki dasar dan sumber yang sama dan bisa
dipertanggungjawabkan secara keilmuan, utamanya dari aspek kompetensi dan rentetan
guru-guru al-Qur’an beserta sanadnya.

Selain itu, metode pembelajaran yang diterapkan juga memiliki persamaan


antara satu lembaga/pesantren dengan lembaga/pesantren di negara-negara tersebut, di
mana metode tersebut diterapkan secara ketat dan terstruktur. Dalam hal ini, metode
pembelajaran tahfidz Qur’an yang diterapkan oleh lembaga/pesantren di negara-negara
tersebut secara umum adalah; 1). Metode bi al-nazhar atau disebut juga metode qira’ah,
yaitu yaitu membaca dengan cermat ayat-ayat al-Qur’an yang akan dihafal secara
berulang-ulang. Membaca secara berulang-ulang merupakan salah satu metode untuk
mempercepat hafalan al-Qur’an. 2). Metode kitabah, yaitu menuliskan ayat-ayat al-
Qur’an pada kertas atau buku khusus yang dipersiapkan terlebih dahulu, lalu membaca
dengan cermat dan menghafalkannya sampai lancar. 3). Metode sima’i, yaitu
mendengarkan atau menyimak dengan cermat suatu bacaan atau ayat untuk kemudian
dihafalkan. Metode ini dapat diterapkan dengan dua cara, yaitu: a. Mendengar dari guru
yang membimbingnya; b. Merekam ayat-ayat yang akan dihafalkan ke dalam pita kaset,
tape recorder, atau menggunakan alat perekam lainnya sesuai kebutuhan.

Keempat negara juga menerapkan model yang sama dalam pembelajaran yaitu
talaqqi-musyafahah (murid harus menyetorkan hafalannya kepada guru secara

98
berhadapan dan guru harus memperhatikan bacaan murid). Dalam hal ini ada dua
bentuk yaitu, pertama setoran ayat yang baru dihafal, kedua, setoran ayat yang sudah

99
100

pernah dihafalkan atau diistilahkan dengan muraja’ah atau takrir. Metode ini dilakukan
agar dapat memperbaiki kesalahan dalam pelafalan ayat, sekaligus untuk memperkuat
hafalannya dengan cara dimuraja’ah dan diperdengarkan kepada pembimbing (guru).

Adapun perbedaan yang signifikan di antara negara-negara tersebut berkaitan


dengan materi khusus atau sisipan adalah pada tingkat pemahaman ayat yang
dihafalkan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lembaga-lembaga tahfizh di negara
Iran lebih kreatif-inovatif dalam mengembagkan metode menghafal al-Quran secara
utuh 30 juz sekaligus memahaminya. Beberapa kreasi dalam dalam metode dan teknik
menghafalkan al-Qur’an di Iran bisa dikatakan sangat bagus dan unggul di banding
Indonesia, Turki, dan Arab Saudi. Sekiranya ditemukan hafidz lulusan lembaga tahfidz
al-Qur’an dari Iran ternyata kurang bagus kualitas kelancaran hafalannya ataupun tidak
memahami makna ayatnya, maka kekurangan tersebut pada dasarnya bukan pada
metode dan teknik yang diterapkan oleh lembaga, tetapi pada kondisi individualnya.

Metode khusus yang diterapkan di Iran tersebut tidak ditemukan di Indonesia,


Turki, maupun Arab Saudi. Artinya, di tiga negara tersebut, lembaga atau pesantren
tahfidz tidak memasukkan pemahaman makna ayat dalam proses menghafal al-Qur’an.
Namun demikian, dari temuan di lapangan ditemukan ada beberapa alumni atau santri
yang hafal 30 juz dan mampu memahami maknanya. Namun, kemampuan tersebut
sebenarnya tidak diperoleh dari metode atau sistem pengajaran yang diterapkan oleh
lembaga atau pesantren tahfidz yang bersangkutan. Tetapi hal itu diperoleh berkat
inisiasi atau kemampuan diri dari individu santri untuk belajar dan mengembangkan diri
dalam mehamami isi kandungan al-Qur’an.

Begitu pula lembaga pendidikan al-Qur’an Sulaimaniyah di Turki. Lembaga ini


menerapkan metode yang sedikit berbeda dengan lembaga atau pesantren-pesantren
tahfidz lainnya, khususnya di Indonesia. Salah satu perbedaan atau kekhasan dari
metode yang diterapkan di lembaga ini adalah menghafalkan al-Quran dari halaman
terakhir pada setiap juznya. Alasan utamanya karena pada halaman terakhir itulah para
penghafal al-Quran sering salah dalam melafalkannya atau kurang lancar dalam
menghafalkannya.
101

Sementara di Arab Saudi, model pembelajaran tahfidz Quran bersifat nonformal


atau halaqah. Artinya, lembaga ini dibentuk secara pribadi oleh guru yang hafidz Qur’an
yang bertempat di masjid-masjid ataupun di rumah-rumah pribadi. Pengelolaannya pun
tidak bersifat permanen, alias fleksibel, bergantung pada kompetensi manajemen sang
guru. Misalnya saja, guru tidak menentukan persyaratan atau kriteria khusus bagi santri
yang ingin belajar menghafal Qur’an, tidak menentukan target 30 juz, dan tidak
ditentukan pula batas waktu belajarnya, ataupun batas usia. Hal prinsip yang ditekankan
pada halaqah tahfidz Qur’an ini semata-mata didasarkan pada usaha mengajarkan al-
Qur’an bagi siapa saja yang berkeinginan kuat menghafal al-Qur’an. Namun demikian,
dalam proses pembelajarannya, sang guru menerapkan metode yang ketat dan
terstruktur, sebagaimana metode yang diterapkan oleh lembaga atau pesantren tahfidz
Qur’an di negara-negara lain. Kualitas hafalan sangat diperhatikan meskipun tidak
menargetkan jumlah hafalan dan waktunya.

Terkait metode pemahaman al-Quran dari keempat negara terdapat perbedaan,


Iran memiliki metode gabungan antara menghafal ayat dan memahamiya. Sedangkan
Indonesia, Turki dan Saudi Arabia belum ditemukan metode terstruktur menghafal ayat
al-Quran 30 juz sekaligus memahaminya dalam waktu yang sama. Tradisi yang sama
dari ketiga negara ini adalah adanya pengajian kitab-kitab klasik termasuk ilmu
gramatikal bahasa Arab. Pengajian mulai dari level paling dasar sampai pada level
paling tinggi, sehingga memerlukan waktu sampe 3 tahun lebih. Bila dalam fakta di
lapangan ditemukan beberapa santri yang hafidz Qur’an 30 juz dan mampu memahami
isi kandungan ayat yang dihafalkannya, maka kemampuan tersebut tidak diperoleh dari
sistem pembelajaran tahfidz Qur’an di lembaga atau pesantren. Akan tetapi, hasil dari
proses belajar dua tahap, yaitu tahap menghafalkan saja kemudian dilanjutkan tahap
pemahaman ilmu-ilmu keislaman. Bisa juga sebaliknya, santri belajar ilmu keislaman
terlebih dahulu termasuk ilmu gramatikal dan ilmu-ilmu al-Quran, kemudian
dilanjutkan tahap menghafalkan al-Qur’an. Dengan demikian, dilihat dari aspek
kompetensi yang dimiliki oleh seorang hafidz Qur’an yang yang belajar di lembaga atau
pesantren tahfidz di Indonesia, Turki dan Saudi Arabia, setidaknya terdapat 3 (tiga) tipe
atau karakter yang dimiliki oleh seorang hafidz Qur’an, yaitu 1). Memahami kajian
Islam berikut dalil-dalilnya tetapi tidak hafal al-Qur’an 30 juz; 2). Hafal al-Qur’an
102

dengan kualitas tinggi tetapi kurang atau bahkan tidak mampu memahami kandungan
maknannya; dan 3). Hafal al-Qur’an 30 juz berikut maknanya.

B. Saran dan Rekomendasi


Salah satu tantangan berat bagi pesantren tahfidz al-Qur’an adalah membangun
semangat dan kesabaran yang kuat pada diri para santri untuk menghafal al-Qur’an 30
juz. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan oleh lembaga atau pesantren tahfidz Qur’an
untuk mengevaluasi dan memperbaiki kurikulum metode dan cara pembelajaran tahfidz
Qur’an agar para santri bisa menghafal dan mengulang hafalan mereka dengan baik dan
tidak terburu-buru. Misalnya saja, bagi guru atau pendamping tahfidz, mereka
diharapkan bisa berperan lebih kreatif dan inovatif dalam mengajar dan membimbing
santri guna mengurangi rasa malas dan jenuh atau bosan untuk menghafal dan
mengulang hafalannya.

Pembelajaran tahfiz Qur’an di lembaga atau pesantren di beberapa negara


sejatinya sudah menerapkan metode pembelajaran yang baik dan terstruktur. Oleh
karena itu, metode seperti ini perlu dijaga dengan baik seraya berusaha mencari metode
dan kreativitas baru agar lembaga tersebut tetap eksis dan diakui oleh masyarakat luas,
bahkan dunia. Untuk itu, di antara Lembaga atau pesantren-pesantren di dunia,
utamanya di Indonesia, Iran, Turki, dan Arab Saudi perlu melakukan komunikasi dan
kerjasama kelembagaan dalam upaya mencari strategi dan kreatifitas baru dalam
meningkatkan kualitas pembelajaran tahfidz Qur’an di lembaga atau pesantren tahfidz
tersebut.

Guna membangun kerjasama dan komunikasi yang efektif dan berkelanjutan,


perlu digagas semacam jejaring kerjasama (networking) lembaga dan pesantren tahfidz
Qur’an sebagai bentuk partisipasi Lembaga dalam berkontribusi membangun
masyarakat Muslim yang qur’ani
DAFTAR PUSTAKA

Buku

‘Abd al-Fatah al-Qari’, Abi Mujahid ‘Abd al-Aziz bin. Sunan al-Qurra’ wa Manahij al-
Mujawwidin, Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Dar, 1414 H.

Alhafidz, Ahsin W. Bimbingan Praktis Menghafal Al- Qur'an, Jakarta: Bumi


Aksara,1994.

Ali, Mukti. Beberapa Masalah Pendidikan di Indonesia, Yogyakarta: Yayasan MDA,


1971.

Amirin, Tatang M. Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Rajawali Press, 1990.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT


Rineka Cipta, 1991.

----------. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 1997.

Dakir, Dasa-Dasar Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993.

Depag RI, Al- Qur 'an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra 1989.

Depag RI, Pedoman Pembinaan Tahfidzul Qur'an, Jakarta: Diljen Bimas Islam, 1983.

Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:


Balai Pustaka, 1990.

Dlofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,


Jakarta: LP3ES, 1994.

Djamarah, Syaiful Bahri dan Zain, Aswan. Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Renika
Cipta, 1997.

Hadi, Sutrisno. Metodologi Research, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fak. Psikologi


UGM, 1983.

Kartono, Kartini. Psikologi Umum, Bandung: Mandar Maju, 1996.

Masyhud, Fathin dan Rahmawati, Ida Husnur. Rahasia Sukses 3 Hafizh Qur’an Cilik
Mengguncang Dunia, Jakarta: PT Bestari Buana Murni, 2014.

Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996.

Nawabuddin, Abdurrab. Teknik Menghafal Al- Qur'an, terj. Bambang Syaiful


Ma’arif, Bandung: Sinar Baru, 1991.

An-Nawawi, Imam. Riyadhush Shalihin, terj. Salim Bahreisy, Bandung: PT AI-Ma’arif,


1987.

103
104

Parera, Jos Daniel. Linguistik Edukasional: Pendekatan, Konsep dan Teori


Pengajaran Bahasa, Jakarta: Erlangga, 1997.

Poerwadarminta, W. J. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,


1983.

Raharjo, M. Dawam (et.al), Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES, 1994.

Salim, Peter dan Salim, Yenny. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta:
Modern English Press, 1991.

Shohib, Muhammad dan Surur, M. Bunyamin Yusuf (ed.), Memelihara Kemurnian Al-
Qur’an: Profil Lembaga Tahfidz Al-Qur’an di Nusantara, Jakarta: LPMQ, 2011.

----------. Para Penjaga Al-Qur’an: Biografi Para Penghafal Al-Qur’an di Nusantara,


Jakarta: LPMQ Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2011.

Suryabrata, Sumadi. Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: PT. Raja Grafindo Persadu,


1993.

Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur'an/Tafsir, Jakarta: Bulan


Bintang, 1954.

Sudjiono, Anas. Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001.

Syahatah, Hasan. Ta’lim al-Lughat ‘Arabiyyah baina al-Nadhariyah Wa al-Tathbiq,


Libanon: Dar al-Mishriyyah Thab’ah Tsalitsah, 1996.

Soetopo, Hendyat dan Soemanto, Wasty. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum,


Jakarta: Bumi Aksara, 1993.

Tarigan, Henry Guntur. Berbicara Sebagai Suatu Ketrampilan Berbahasa, Bandung:


Angkasa, 1990.

Usa, Muslih. Sistem Pendidikan Islam Klasik dan Modern dalam Pendidikan Islam
dalam Peradaban Industrial, Yogyakarta: Aditya Media, 1997.

Zein, Muhammad. Methodologi Pengajaran Agama Jilid 3, Yogyakarta: Sumbangsih


Offset, 1991.

Zen, H. A. Muhaimin. Bimbingan Praktis Menghafal Al-Qur’anul Karim, Jakarta: Al-


Husna, 1996.

Artikel

Abdussalam, Aam. dkk., “Program Pembelajaran Tilawah Al-Qur’an pada Pondok


Pesantren Al-Qur’an Al-Falah Cicalengka Bandung (Studi Deskriptif tentang
105

Program Pembelajaran Tilawah Al-Qur’an Tahun 2015), Artikel Program Studi


Ilmu Pendidikan Agama Islam Fak. Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Universitas Pendidikan Indonesia.

Emka, Ifhtul. “Sejarah Awal Perkembangan Ponpes Krapyak Yogyakarta, diakses pada
tanggal 2 Juni 2018 dari ” http://emka.web.id/ke-nu-an/2012/sejarah-awal-
perkembangan-ponpes-krapyak-yogyakarta/

Ernas, Saidin. “Bias Politik Pesantren: Dari Pragmatisme-Transaksional Hingga


Resistensi Sosial”, Jurnal Studi Pemerintahan, Vol. 2 No.1 Februari 2011.

Ma’rifatun, “Peran KH. Ali Maksum dalam Pembaharuan Pendidikan di Madrasah


Aliyah Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta”, Skripsi, Jurusan Pendidikan
Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga, 2016.

Mustolehudin dan Siti Muawanah, “Pemikiran Pendidikan K. H. Ali Maksum Krapyak


Yogyakarta”, EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan,
16 (1), 2018.

Rozikin, “Pondok Tahfidh Yanbu’ul Qur’an Kudus, Cetak Santri Salaf Penghafal Al-
Qur’an”, diakses pada tanggal 2 Juni 2018 dari
http://www.ppmaswaja.org/index.php/2017/02/22/pondok-tahfidh-yanbuul-
quran-kudus-cetak-santri-salaf-penghafal-al-quran/

“Sejarah Pondok Pesantren Al-Munawwir” http://www.almunawwir.com/sejarah/

Urwah, “Metodologi Pengajaran Qirā’āt Sab‘ah Studi Observasi di Pondok Pesantren


Yanbu‘ul Qur'an dan Dar Al-Qur'an”, Ṣuḥuf, Vol. 5, No. 2, 2012.

PTYQ Putra, “Profil dan Sejarah Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an”, diakses pada
tanggal 2 Juni dari http://ptyqputra.arwaniyyah.com/profil-dan-sejarah-pondok-
tahfidh-yanbuul-quran/

Zaelani, A. Alex Ermansyah. “Analisis Empiris tentang Mubaligh melalui Tilawat Al-
Qur’an” diakses dari http://digilib.uinsgd.ac.id/1271/6/6_bab3.pdf

https://ma.alfalah.sch.id/sejarah-singkat/

http://ptyqputra.arwaniyyah.com/simbaharwani/

http://pondok.pesantrenku.com/listing/al-quran-al-falah-bandung/

Anda mungkin juga menyukai